abstrak fix landik

24
1 PROBLEMATIKA UJIAN NASIONAL A. Pendahuluan Kontroversi penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) di SD, SMP dan SMA masih terus berlanjut. Kedua belah pihak, pemerintah dan anggota masyarakat, tetap berpegang pada argumentasinya masing-masing. Masyarakat luas dari berbagai kalangan, mulai dari para siswa, orang tua siswa, praktisi pendidikan, pengamat pendidikan, akademisi (ahli pendidikan), sampai pada anggota legislatif (DPR), memrotes, dan tidak setuju dengan penyelenggaraan UN. Sekalipun dengan perspektif dan kepentingan yang berbeda, namun mereka sepakat bahwa dampak dari penyelenggaraan UN ini lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya. Para siswa merasa tertekan dan cemas yang berlebihan takut tidak lulus; para orang tua merasa khawatir dengan nasib dan masa depan anaknya; para praktisi pendidikan merasakan penyelenggaran UN menimbulkan diskriminasi terhadap sejumlah mata pelajaran; para pengamat dan akademisi menilai UN tidak sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan dan mengesampingkan aspek pedagogis dalam pendidikan; sedangkan sebagian anggota legislatif yang menolak, menilai pelaksanaan UN berdasarkan PP No.19/2005 bertentangan dengan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dimana dalam UU Sisdiknas otoritas evaluasi hasil belajar diberikan kepada pendidik, namun pada PP No.19/2005 No.19/2005 pasal 58 kewenangan

Upload: arum-dwi

Post on 03-Jan-2016

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

math

TRANSCRIPT

Page 1: Abstrak Fix Landik

1

PROBLEMATIKA UJIAN NASIONAL

A. Pendahuluan

Kontroversi penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) di SD, SMP dan SMA

masih terus berlanjut. Kedua belah pihak, pemerintah dan anggota masyarakat,

tetap berpegang pada argumentasinya masing-masing. Masyarakat luas dari

berbagai kalangan, mulai dari para siswa, orang tua siswa, praktisi pendidikan,

pengamat pendidikan, akademisi (ahli pendidikan), sampai pada anggota legislatif

(DPR), memrotes, dan tidak setuju dengan penyelenggaraan UN. Sekalipun

dengan perspektif dan kepentingan yang berbeda, namun mereka sepakat bahwa

dampak dari penyelenggaraan UN ini lebih banyak madharatnya daripada

manfaatnya. Para siswa merasa tertekan dan cemas yang berlebihan takut tidak

lulus; para orang tua merasa khawatir dengan nasib dan masa depan anaknya; para

praktisi pendidikan merasakan penyelenggaran UN menimbulkan diskriminasi

terhadap sejumlah mata pelajaran; para pengamat dan akademisi menilai UN tidak

sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan dan mengesampingkan aspek

pedagogis dalam pendidikan; sedangkan sebagian anggota legislatif yang

menolak, menilai pelaksanaan UN berdasarkan PP No.19/2005 bertentangan

dengan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dimana

dalam UU Sisdiknas otoritas evaluasi hasil belajar diberikan kepada pendidik,

namun pada PP No.19/2005 No.19/2005 pasal 58 kewenangan tersebut

ditugaskan pemerintah kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang

dalam penyelenggaraan UN bekerjasama dengan instansi terkait didaerah.

Banyak kejadian yang terjadi akibat UN, diantaranya kasus siswa bunuh

diri akibat gagal UN yaitu Endang Lestari Siswi SMPN 1 Kerjo Karang Anyar

Jawa tengah pada 23 Juni 2006; AN, warga desa Purwa Hamba, Kecamatan

Suradadi, Kecamatan Tegal, Jawa Tengah (27/06/06) menenggak racun setelah

dinyatakan tidak lulus UN padahal prestasi belajarnya cukup baik.

(ginapriani.wordpress.com)

Namun demikian, meskipun hampir semua menolaknya, pemerintah tetap

berjalan dengan rencananya untuk menyelenggarakan UN. Pemerintah seakan

Page 2: Abstrak Fix Landik

2

tidak peduli dengan berbagai argumentasi yang dikemukakan oleh masyarakat

luas. Upaya untuk mendorong motivasi belajar siswa dan meningkatkan kualitas

pendidikan kita adalah alasan yang dilontarkan oleh pemerintah untuk tetap

menyelenggarakan UN.

Berbagai keberatan yang dilontarkan oleh masyarakat luas terhadap

penyelenggaraan UN bukan tanpa alasan. Kepeduliannya terhadap kualitas proses

dan hasil pendidikan menjadi perhatian yang serius. Berdasarkan fakta yang ada

tampak bahwa UN berdampak negatif terhadap kualitas proses dan hasil

pendidikan. Apabila kondisi ini terus berlanjut dikhawatirkan kualitas pendidikan

kita akan semakin merosot dan tujuan pendidikan nasional kita akan sulit untuk

diwujudkan, dan pada akhirnya kondisi masyarakat dan bangsa ini tidak akan

pernah berubah, terus berada dalam keterpurukan.

Dari pendahuluan di atas maka permasalahan yang diambil dalam makalah ini

adalah:

1. Apasajakah tujuan dilaksanakan UN?

2. Apasajakah landasan hukum diterapkannya UN dalam sistem pendidikan

nasional?

3. Apa sajakah kriteria kelulusan UN?

4. Bagaimanakah dampak negatif yang terjadi sebagai akibat diterapkannya UN?

5. Apa sajakah alternatif solusi yang bisa ditawarkan dalam rangka mengganti

evaluasi secara nasional tipe UN?

B. Pembahasan

1. Pelaksanaan UN

Sejak tahun 1984 sampai dengan tahun 2001 kita telah mengenal apa

yang disebut dengan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) yaitu

merupakan suatu penilaian akhir terhadap sebuah jenjang pendidikan

untuk menentukan kelulusan atau ketamatan seseorang. EBTA ini

berlaku bagi jenjang pendidikan dari SD, SMP/yang sederajat, SMU dan

SMK/yang sederajat. EBTA terbagi menjadi dua macam yaitu soal yang

berasal dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Pusat atau

Page 3: Abstrak Fix Landik

3

yang disebut dengan istilah EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir

Nasional), dan berasal dari Depdiknas Pusat tetapi menjadi kewenangan

dari pihak sekolah masing-masing yang disebut dengan EBTA sekolah.

Sejalan dengan perkembangan pendidikan dalam rangka untuk

meningkatkan mutu pendidikan maka sejak tahun ajaran 2001/2002

istilah EBTA diganti dengan Ujian Akhir Nasional (UAN) atau sekarang

UN. Untuk jenjang SD/MI/SDLB sesuai dengan Permendiknas no 2

tahun 20011 yang sebelumnya bernama Ujian akhir Sekolah yang

Berstandar Nasional (UASBN) juga berubah nama menjadi UN. Pada

tahun ajaran 2002/2003 UN tetap diselenggarakan bahkan hingga

sekarang, namun beberapa perubahan dalam setiap tahunnya, terutama

menyangkut jumlah mata pelajaran, standar nilai, dan lainnya.

2. Pengertian UN

Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan

dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan,

dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan (UU

No. 20 tahun 2003). Sedangkan menurut peraturan menteri pendidikan

nasional nomor 75 tahun 2009 pasal 1 ayat 1, UN adalah kegiatan

pengukuran kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang

pendidikan dasar dan menengah. Adapun UN menurut Peraturan Mentri

Pendidikan Nasional RI Nomor 20 Tahun 2005 Pasal 4, dijadikan

pertimbangan untuk: a) penentuan kelulusan peserta didik dari suatu

satuan pendidikan, b) seleksi masuk jenjang pendidikan selanjutnya, c)

pemetaan mutu satuan dan/ atau program pendidikan, d) akreditasi satuan

pendidikan, dan e) pembinaan dan pemberian bantuan pada satuan

pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun

seharusnya evaluasi mampu menjawab kecerdasan peserta didik

sekaligus kemampuannya dalam bekerja. Sistem evaluasi yang lebih

banyak berbentuk tes obyektif akan membuat peserta didik mengejar

kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara mengafal

Page 4: Abstrak Fix Landik

4

saja. Artinya anak yang lulus ujian dalam bentuk tes obyektif belum

berarti bahwa anak tersebut cerdas apalagi terampil bekerja, karena

cukup dengan menghafal walaupun tidak mengerti maka dia dapat

mengerjakan tes. Sebagai konsekuensinya harus dikembangkan sistem

evaluasi yang dapat menjawab semua kemampuan yang dipelajari dan

diperoleh selama mengikuti pendidikan.

3. Dasar Hukum UN yang menjadi landasan atau dasar pelaksanaan UN

adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, Pasal 58 ayat (2): “Evaluasi peserta didik, satuan

pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga

mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk

menilai pencapaian standar nasional pendidikan”.

b. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan.

Pasal 63 ayat (1): Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan

dasar dan menengah terdiri atas: 1) penilaian hasil belajar oleh

pendidik; 2) penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan 3)

penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.

Pasal 66 ayat (1): Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 63 ayat (1) butir c bertujuan untuk menilai pencapaian

kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu

dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan

dilakukan dalam bentuk Ujian Nasional.

Pasal 66 ayat (2): UN dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan

akuntabel.

Pasal 66 ayat (3): UN diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan

sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran.

Pasal 68: Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan

untuk: 1) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; 2)

dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; 3) penentuan

Page 5: Abstrak Fix Landik

5

kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; 4)

pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam

upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Pasal 69 ayat (1): Setiap peserta didik jalur formal pendidikan dasar

dan menengah dan pendidikan jalur nonformal kesetaraan berhak

mengikuti ujian nasional dan berhak mengulanginya sepanjang

belum dinyatakan lulus dari satuan pendidikan. (Draf-revisi 20

Desember 2011).

Pasal 69 ayat (2): Setiap peserta didik sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) wajib mengikuti satu kali Ujian Nasional tanpa dipungut

biaya.

Pasal 69 ayat (3): Peserta didik pendidikan informal dapat mengikuti

UN setelah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Badan Standar

Nasional Pendidikan (BSNP).

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Repulbik Indonesia

Nomor 59 tahun 2011 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari

Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah

dan Ujian Nasional.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007

tentang Standar Penilaian Pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidkan Nasional Nomor 75 Tahun 2009

tentang Ujian Nasional SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB,

dan SMK.

Permendiknas No 2 tahun 2011. Tentang Ujian Sekolah dan Ujian

Nasional SD/MI/SDLB.

4. Kriteria Kelulusan UN Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 tahun 2011 pasal 6 yaitu:

ayat (1)

a. SD/MI dan SDLB ditetapkan oleh satuan pendidikan dalam rapat

dewan guru;

Page 6: Abstrak Fix Landik

6

b. SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK dikembangkan

oleh BSNP dan ditetapkan oleh Menteri; berdasarkan perolehan NA.

(2) NA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari nilai

gabungan antara Nilai S/M dari mata pelajaran yang diujinasionalkan

dan Nilai UN, dengan pembobotan 40% untuk Nilai S/M dari mata

pelajaran yang diujinasionalkan dan 60% untuk Nilai UN. (3) Peserta

didik SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK dinyatakan

lulus UN apabila nilai rata-rata dari semua NA sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) mencapai paling rendah 5,5 (lima koma lima)

dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0 (empat koma nol).

Sebagaimana yang tertera pada pasal 72 PP 19/2005, peserta didik

dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan

menengah setelah: 1) menyelesaikan seluruh program pembelajaran;

2) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh

mata pelajaran kelompok mata mata pelajaran agama dan akhlak

mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian,

kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran

jasmani, olah raga, dan kesehatan. 3) lulus ujian sekolah/ madrasah

untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. 4)

lulus UN. Keempat kriteria kelulusan peserta didik dalam satuan

pendidikan di atas harus dipenuhi oleh peserta didik. Apabila salah

satu kriteria tidak terpenuhi, peserta didik dinyatakan tidak lulus dari

satuan pendidikan.

5. Tujuan dan Fungsi UN

Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UN sebagai

salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Permendiknas No. 75

tahun 2009 pasal 2, UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan

secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata

pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu Ujian Nasional

bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawab-

Page 7: Abstrak Fix Landik

7

kan penyelenggaraan pendidikan di tingkat Nasional, provinsi,

kabupaten, sampai di tingkat sekolah.

Fungsi UN sama halnya dengan tujuan dari UN, fungsi UN pun

telah tercantum dalam permendiknas No. 75 tahun 2009 pasal 2, yaitu

hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: a) pemetaan

mutu satuan dan/atau program pendidikan; b) seleksi masuk jenjang

pendidikan berikutnya; c) penentuan kelulusan peserta didik dari program

dan/atau satuan pendidikan; d) pembinaan dan pemberian bantuan kepada

satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

Menurut Khaerudin (http://www.ilmu pendidikan.net/2012/10/28), berbagai

dampak negatif yang nyata terjadi di sekolah sebagai akibat diterapkannya UN di

sekolah, diantaranya:

1. Terjadinya disorientasi pendidikan di sekolah

Mata pelajaran yang di-UN-kan tidak seluruh mata pelajaran. Tahun 2005–

2007 pada tingkat SMP dan SMA, hanya mata pelajaran Matematika, Bahasa

Indonesia, dan Bahasa Inggris. Tahun 2008 untuk tingkat SMA ada

penambahan mata pelajaran dan berbeda antara jurusan IPA, IPS, dan Bahasa.

Untuk SMA jurusan IPA, akan ditambah mata pelajaran Fisika, Kimia, dan

Biologi; Untuk jurusan IPS ditambah mata pelajaran Ekonomi, Geografi, dan

Sosiologi, dan untuk jurusan Bahasa ditambah mata pelajaran Sastra

Indonesia, Bahasa asing lain, dan Antropologi/Sejarah Budaya. Selain itu,

pada tahun 2008 juga dilaksanakan UN untuk tingkat SD, dengan mata

pelajaran yang diuji adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan

IPA. Pembatasan mata pelajaran yang diujikan dalam UN, berakibat pada

fokus proses pembelajaran di sekolah hanya ditekankan pada penguasaan mata

pelajaran tersebut, sedangkan mata pelajaran lain dianggap hanya sebagai

pelengkap.

Disorientasi juga terjadi pada arah dan tujuan pembelajaran yang harus

dicapai. Dengan adanya UN, maka pembelajaran cenderung hanya

mengembangkan ranah kognitif, pada penguasaan pengetahuan, dan

mengesampingkan ranah lain yang sebenarnya tidak kalah pentingnya untuk

Page 8: Abstrak Fix Landik

8

menghasilkan individu-individu yang utuh dan berkarakter, yaitu ranah afektif

dan psikomotorik.

2. Proses pembelajaran yang tidak bermakna

Untuk mempersiapkan para siswanya menghadapi dan mengerjakan soal-

soal UN, para guru biasanya menggunakan metode pembelajaran drill, dimana

para siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan keluar

dalam ujian. Melalui metode ini guru mengharapkan para siswa terbiasa

menghadapi soal ujian, dan menguasai teknik-teknik dan trik mengerjakan

soal yang dihadapi. Pembelajaran dengan model ini jelas tidak bermakna,

karena apa yang dipelajari bersifat mekanistik, bukan pada penguasaan konsep

yang esensial. Pembelajaran seperti ini tidak dapat mengembangkan

kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi indikator

kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui pembelajaran.

3. Upaya-upaya yang tidak fair

Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik terhadap persentase/jumlah siswa

yang dinyatakan lulus, maupun besarnya nilai yang diperoleh para siswa,

mendorong sekolah untuk melakukan berbagai upaya untuk mencapainya.

Tuntutan seperti ini sekaligus berdampak pada terbentuknya citra dan prestise

sebuah sekolah. Sekolah yang mampu meluluskan siswanya dengan

prosentase yang tinggi dengan nilai UN yang tinggi, dinilai sebagai sekolah

yang berkualitas dan unggul. Setiap sekolah menginginkannya dan berbagai

upaya dilakukan untuk mencapai posisi tersebut. Namun sayang, tidak sedikit

oknum guru dan kepala sekolah melakukan upaya-upaya yang tidak terpuji.

Untuk mewujudkan itu, tidak jarang upaya-upaya yang tidak fair dilakukan

oleh oknum guru dan kepala sekolah untuk mencapai target kelulusan yang

setinggi-tingginya. Sekolah membentuk “Tim Sukses” untuk mendapatkan

kelulusan 100% supaya memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan

(SPM Kepmendiknas 053/U/2001, Guru memberi ‘contekkan’ kepada siswa

adalah suatu upaya yang sering dilakukan untuk mendongkrak nilai para

siswanya dan prosentase kelulusan di sekolah. Kasus di beberapa sekolah,

guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional dengan

Page 9: Abstrak Fix Landik

9

berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat

penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk

menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan

membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa. Kondisi seperti ini

jelas jauh dari nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan yang seharusnya menjadi

bagian yang harus dikembangkan secara serius di sekolah. Bila ini berlanjut,

bisa dibayangkan manusia-manusia seperti apa yang dihasilkan oleh dunia

pendidikan (formal) kita. Manusia yang berkembang dalam suasana yang

serba tidak jujur.

4. Hanya ranah kognitif yang terukur

UN yang menggunakan bentuk soal multiple choise hanya akan dapat

mengukur hasil belajar pada ranah kognitif. Mengacu pada ranah kognitif dari

Bloom, tingkatan berpikir yang mampu terukur melalui bentuk soal MC hanya

sampai pada tingkat berpikir aplikasi. Kondisi seperti ini mendorong para

siswa belajar dengan menghafal. Belum lagi, ranah afektif dan psikomotorik

yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur

ketercapaiannya, tidak dilakukan. Sulit diharapkan dapat diukur dengan

menggunakan UN, yang sifatnya masal dan dilakukan dalam waktu yang

sangat terbatas. Sekali lagi kondisi ini akan berakibat pada pembelajaran di

sekolah hanya pada pengembangan kecerdasan intelektual, sementara

kecerdasan lainnya akan tidak mendapatkan perhatian yang memadai.

5. Keputusan yang tidak fair

Selama ini hasil UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Proses

belajar yang dilakukan siswa selama 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP dan

SMA, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang dilakukan beberapa jam saja.

Ketidaklulusan siswa dalam UN bisa jadi bukan karena faktor

ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena faktor

kelelahan mental, karena stres pada saat mengerjakan ujian atau karena

kesalahan pengukuran yang biasa terjadi pada setiap tes.

6. Menutup akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin

Page 10: Abstrak Fix Landik

10

Di samping sebagai persyaratan untuk kelulusan, hasil UN juga dijadikan

sebagai bahan pertimbangan untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.

Sekolah-sekolah yang berkualitas dan ‘favorit’ akan menjadi tujuan para

siswa, yang berakibat pada terjadinya persaingan yang ketat antarsiswa. Tidak

ada pilihan lain bagi mereka, selain berusaha mendapatkan nilai UN yang

setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan impian itu, dengan

mempertimbangkan karakteristik model UN yang akan dihadapi para siswa

berusaha menambah waktu belajar tambahan dengan mencari guru privat atau

mengikuti bimbingan belajar adalah pilihan yang selama ini dianggap tepat.

Upaya ini tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mampu, karena

upaya tersebut menuntut biaya yang tidak sedikit. Siswa miskin hanya bisa

berusaha keras atas kemampuannya sendiri. Kondisi akhir sudah bisa ditebak

mereka yang miskin akan kalah bersaing untuk dapat masuk ke sekolah

berkualitas.

Untuk mengukur hasil pendidikan sebagaimana digambarkan di atas, maka

diperlukan instrumen evaluasi yang variatif dan komprehensif; tidak cukup hanya

dengan menggunakan instrumen evaluasi dalam bentuk tes tetapi juga diperlukan

dalam bentuk non-tes. Karena evaluasi dalam bentuk tes hanya dapat mengukur

penguasaan pengetahuan yang masuk dalam ranah kognitif. Apalagi bentuk tes

yang digunakan hanya dalam bentuk tes pilihan ganda (multiple choise).

Sementara untuk mengetahui perkembangan dan keberhasilan pencapaian tujuan

pada ranah psikomotorik dan afektif diperlukan alat evaluasi dalam bentuk non

tes. Dan ini tidak (mungkin) dilakukan dengan UN, karena untuk melakukan itu

harus dilakukan secara berkelanjutan.

Pembatasan aspek yang dievaluasi melalui UN, yang hanya mengukur

prestasi akademik yang hanya mengukur penguasaan pengetahuan, berakibat pada

proses pembelajaran yang terjadi di sekolah pun menjadi berfokus pada

pengembangan ranah kognitif. Aspek-aspek afektif, seperti berakhlak mulia,

kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab menjadi terabaikan.

Pendidikan di sekolah telah melupakan fungsi pendidikan yang sesungguhnya,

Page 11: Abstrak Fix Landik

11

yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Disorientasi pembelajaran, sebagai akibat dari penyesuaian dengan

tuntutan UN juga terjadi pada fokus perhatian para siswa dan orang tua terhadap

mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Mata pelajaran yang di-UN-kan

mendapatkan prioritas utama dan sekaligus mendapat porsi yang lebih besar

dalam proses belajar siswa. Seolah-olah hanya ketiga mata pelajaran itu saja yang

penting. Padahal penetapan mata pelajaran yang ditetapkan di sekolah didasarkan

pada kebutuhan pencapaian tujuan pendidikan yang lebih luas.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas

pendidikan, khususnya melalui pengembangan pendekatan dan strategi

pembelajaran. Berbagai pendekatan dan strategi pembelajaran telah dikenalkan,

diujicobakan dan juga dilatihkan pada para guru, seperti pendekatan CBSA,

Keterampilan Proses, sampai pada PAKEM. Berbagai inovasi tersebut memang

dilakukan untuk meningkatkan kualitas proses belajar yang dialami siswa, karena

proses belajar yang berkualitas pada akhirnya akan mendorong mutu hasil belajar

siswa. Dengan pendekatan dan strategi pembelajaran yang inovatif diharapkan

akan terjadi proses pembelajaran yang menyenangkan, menstimulasi

pengembangan potensi diri siswa, jauh dari tekanan dan stres, dan mendorong

siswa belajar menemukan. Model pembelajaran seperti inilah sebenarnya yang

diharapakan terjadi sehingga pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah sesuai

dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagaimana tertuang dalam UU No.

20 tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yaitu pendidikan diselenggarakan secara

demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif; pasal 4 ayat (3) Pendidikan

diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta

didik yang berlangsung sepanjang hayat; serta pasal 4 ayat (4) yang menyatakan

Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan,

dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

Namun sayang, berbagai upaya tersebut kembali kandas pada saat akan

dilaksanakan di kelas. Bukan karena para guru tidak mampu melaksanakan

berbagai pendekatan tersebut, tetapi karena terbentur dengan tuntutan dan ukuran

Page 12: Abstrak Fix Landik

12

keberhasilan belajar yang menggunakan nilai UN. Guru lebih suka menggunakan

pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan nilai UN. Strategi

pembelajaran yang di dalamnya menggunakan metode drilling dianggap efektif

untuk mengkondisikan proses belajar siswa agar siap dan mampu menghadapi UN

dengan baik. Demikian juga dengan siswa, mereka akan belajar sesuai dengan apa

yang akan diujikan dalam ujian. Bila soal-soal dalam ujian menuntut mereka

untuk hafal banyak hal, maka proses belajar yang dilakukannya adalah dengan

cara menghafal. Bila kita kaji dari sudut pandang yuridis formal penyelenggaraan

UN, terdapat sejumlah catatan yang perlu mendapat perhatian serius. UU No. 20

Tahun 2003 pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik

dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil

belajar peserta didik secara berkesinambungan. Sementara pasal 59 ayat 1

menyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap

pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Kedua pasal ini telah

membagi tugas yang jelas antara pendidik dan pemerintah dalam penyelenggaraan

evaluasi pendidikan di sekolah. Pendidik bertugas mengevaluasi proses dan hasil

belajar, sedangkan pemerintah bertugas mengevaluasi pengelolanya, baik pada

satuan jalur, jenjang maupun jenis pendidikannya. Mengacu pada aturan ini, jelas

penyelenggaraan UN sebagaimana dilakukan selama ini telah mengambil alih

tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab pendidik.

D. Penutup

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sudah selayaknya UN

segera ditinggalkan. Walaupun UN bertujuan untuk menilai pencapaian

kompetensi lulusan pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran

ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengukur mutu pendidikan secara nasional

serta memiliki landasaan hukum yang jelas. Namun, ada beberapa landasan

hukum yang masih bertentangan. Selain itu, UN juga telah membawa dampak

negatif yang sangat luas terhadap penyelenggaran pembelajaran di sekolah

diantaranya: terjadinya disorientasi pendidikan khususnya mata pelajaran di

sekolah, proses pembelajaran yang tidak bermakna, upaya-upaya yang tidak fair

Page 13: Abstrak Fix Landik

13

untuk mencapai target kelulusan 100%, hanya ranah kognitif yang terukur,

keputusan yang tidak fair dimana UN dijadikan penentu kelulusan, dan menutup

akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin.

Dengan menyelenggarakan UN, menyebabkan pemerintah melanggar UU

No. 20 tahun 2003 pasal 58 ayat 1 pasal 59 ayat 1. Pemerintah telah mengambil

alih tugas pendidik untuk melakukan evaluasi hasil belajar peserta didik,

sementara tugasnya sendiri untuk melakukan evaluasi terhadap pengelola tidak

dilakukannya. Dari pengalaman UN yang telah dilakukan selama ini, juga terdapat

berbagai kecurangan yang dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai daerah, yang

seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk segera mempertimbangkan

kembali kelanjutan penyelenggaraan UN. Berbagai kecurangan tersebut jelas akan

berdampak negatif pada perkembangan siswa dan kualitas pendidikan kita.

Dengan demikian agar sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi dan mengurangi

adanya kecurangan maka solusi yang ditawarkan penulis sebagai pengganti UN

adalah menggunakan standar kelulusan dengan sistem seperti dulu yaitu

berapapun hasil ujian nasional anak akan tetap lulus dan ini tidak akan membuat

guru untuk membantu siswanya untuk lulus. Karena dalam hal kelulusan yang

lebih tau tentang siswanya adalah gurunya atau pendidiknya sendiri bukan negara.

Atau dengan kata lain, UN tetap dilaksanakan, hanya dalam “rumus” pelulusan

tidak harus seragam, tiap sekolah bisa memililih kriteria pelulusan yang tepat.

Kriteria “rumus” pelulusan tersebut ditentukan oleh pemerintah (hal ini pernah

dilakukan ketika Ebtanas terkahir diberlalukan).

Page 14: Abstrak Fix Landik

14

DAFTAR PUSTAKA

Badrun, 2009. Dampak Ujian Nasional. Diunduh dari http://Staffuny.ac.id/sites/default/files. Pada 27 Oktober 2012 pukul 19.30.

Gina. Ujian Nasional. Diunduh dari Http://ginapriani.wordpress.com. Pada 27 Oktober 2012 pukul 20.00.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan BSNP, 2011. Tanya Jawab UN 2012. Diunduh dari Http:// draf-revisi 2012.pdf. pada 27 oktober 2012 pukul 08.00

Khaerudin, Ujian Nasional dan Kualitas Pendidikan Kita. Diunduh darihttp://www.ilmu pendidikan.net/2012/10/28. Pada 27 Oktober 2012 pukul19.00.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 75 Tahun 2007. Ujian Nasional

Tahun Pelajaran 2009/2010. Diunduh dari Http://yuskos.wordpress.com /2009/11/07. Pada 27 Oktober 2012 pukul 20.15.

Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005. Standar Nasional Pendidikan. Diunduh dari Http://wrksitb.id/app/images/files_produk_ hukum/PP_19_2005.pdt. pada 26 Oktober 2012 pukul 19.30.

Permendiknas No 2 tahun 2011. Ujian Sekolah dan Ujian NasionalTP 2010/2011. Diunduh dari dindikJatim.net/UN/Permendiknas no 2 Th 2011/pdf . Pada 26 Oktober 2012 pukul 09.00.

Undang-Undang No 20 Tahun 2003. Standar Penilaian Pendidikan. Diunduh dari Http:// Fiffhgllar.wordpress.com./2010/09/30. pada 27 Oktober 2012 pukul 09.00.

Page 15: Abstrak Fix Landik

15

PROBLEMATIKA UJIAN NASIONAL(Makalah)

Mata Kuliah: Landasan Ilmu PendidikanDosen Pengampu: Dr. Imam Sujadi, M.Si.

Oleh:Ari Suningsih (S851208008)

Binti Anisaul Khasanah (S851208012)

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKAUNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

Page 16: Abstrak Fix Landik

16

2012

ABSTRAK

Berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking) adalah berpikir pada tingkat lebih tinggi daripada sekedar menghafalkan fakta atau mengatakan sesuatu kepada seseorang persis seperti sesuatu itu diceritakan kepada kita.

Peningkatan daya saing antar bangsa ini merupakan kebutuhan untuk mengetahui segala perubahan. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan penguasaan yang memadai bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena tu, tidak heran jika berbagai bangsa dapat kita saksikan sangat antusias berlomba dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan , termasuk menciptakan, mengembangkan, dan menggunakannya dalam rangka mencapai kesuksesan yang kompetitif.

Kurikuklum 2013 berorientasi pada perkembangan globalisasi dunia yang didalamnya terdapat kemajuan teknologi informasi, masalah lingkungan hidup, serta kebangkitan industri kreatif dan budaya.

Keywords : High Order Thinking, Daya Saing Bangsa, Kurikulum 2013.