77336583-makalah-hematologi-jadi
TRANSCRIPT
I. Pendahuluan
Komposisi Darah Dan Sistem Makrofag-Monosit
KOMPONEN DARAH NORMAL
Darah adalah suatu suspensi partikel dalam suatu larutan koloid cair yang
mengandung elektrolit. Darah berperan sebagai medium pertukaran antar sel yang terfiksasi
dalam tubuh dan lingkungan luar, serta memiliki sifat protektif terhadap organisme dan
khususnya terhadap darah sendiri.
Komponen cair darah yang disebut plasma terdiri dari 92% air yang berperan sebagai
medium transfor, dan 8 sampai 9% zat padat. Zat padat tersebut anatara lain protein – protein
seperti albumin, globulin, faktor-faktor pembekuan, dan enzim: unsur orgnanik seperti zat
nitrgen nonprotein (urea, asam urat, xantin, kreatinin, asam amino), lemak netral, fosfolipid,
kolesterol, dan glukosa, dan unsur organik, berupa natrium, klorida, bikarbonat, kalsium,
kalium, magnesium, fosfor, besi, dan iodium. Walaupu semua unsur memiliki peran penting
dalm homeostasis, tetapi protein plasma seringterlibat dalam diskrasia darah. Diantara tiga
jenis utam aprotein serum, albumin yang terbentuk dalam hati berjumlah 53 % dari seluruh
protein serum. Peran utama albumin adalah memperahankan volume darah dengan menjaga
tekanan osmotik koloid, keseimbangan pH dan elektrolit, serta transfor ion-ion logam, asam
lemak, hormon, dan obat-obatan.globulin Yng terbentuk dalam hati dan jaringan limfoid
berjumlah sebesar 43% dari protein serum. Globulin sangat berperan dalam pembentukan
antibodi (imunoglobulin). Fibrinogen yang jumlahnya hanya 4% merupakan salah satu faktor
pembekuan darah.
Unsur sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), beberapa jenis sel darah putih
(leukosit) dan fragmen sel yang disebut trombosit. Eritrosit berfungsi sebagai transfor atau
pertukaran oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2), leukosit berfungsi untuk mengatasi
infeksi dan trombosit untuk hemostasis (pembentukan dam pematangan sel darah). Terjadi
dalam sumsum tulang tengkorak, vertebra, peklvis, sternum, iga-iga, dan epifisis proksimal
tulang-tulang panjang. Apabila kebutuhan meningkat, misalnya pendarahan atau
penghancuran sel (hemolisis) maka dapat terjadi pembentukan kembali pada tulang, seperti
pada anak-anak.
1
Atas dasar pemerikasaan (kromosom), semua sel darah normal dianggap berasal dari
sel darah induk pluripotensial dengan kemampuan bermitosis. Sel induk dapat berdiferensasi
menjadi sel induk limfoid dan mieloid yang menjadi sel-sel progenitor. Diferesasi terjadi
pada keadaan terdapat faktor perangsang, koloni seperti eritropoietin untuk pembentukan
eritrosit dan G-CSF untuk difersasi melalui satu jalan. Sel induk sum-sum dalam keadaan
noramal terus mengganti sel yang mati dan memberi respon terhadap perubahan akut seperti
pendarahan atau infeksi dengan diferensasi menjadi sel tertentu yang dibutuhkan.
Sistem makrofag-monosit merupakan bagian dari sistem hematologik dn terdiri dari
monosit dalam darah dan sel prekursornya dalam sum-sum tulang. Monosit jaringan yang
lebih dewasa disebut sebagai makrofag (suatu leukosit spesifik yang bertanggung jawab atas
fagositosis pada reaksi peradangan).
METODE PEMERIKSAAN DARAH
Untuk memperoleh penegakan diagnosis penyakit hematologi yang akurat (diskrasia darah)
kita harus melakukan pemerikasaan dengan teilti. Pemerikasaan ini meliputi anamnesis yang
lengkap (sakit dimasa lampau, dan yang sedang berlangsung, penggunaan oba,
kecenderungan pendarahan, kebiasaan makan, dan riwayat keluarga), pemeriksaan fisik, dan
pemerikasaan diagnostik yang selektif, pemeriksaan khusus menenukan kuantitas berbagai
unsur darah dan sum-sum tulang. Tujuan ini dapat tercapai dengan melakukan pemerikasaan
darah dalm volume tertentu. Untuk mendapatkan hasil yang paling tepat sebaiknya sempel
darah diambil melalui pungsi vena. Meskipun demikian spesimen darah kapiler dapat juga
diperoleh dengan menusuk tepian bebas cupung telinga dan ujung jari bagian palmar.
Istilah Deskriptif Dan Metode Pengukuran
Hitung sel darah adalah jumlah sebenarnya unsur darah yang terbentuk (eritrosit,
leukosit, dan trombosit) dalam volume darah tertentu. Eritrosit harus dilisiskan (dihancurkan)
sebelum leukosit dapat dihitung. Jumlah sel yang ab-normal mencerminkan respons tubuh
atau tidak adanya respons tubuh terhadap proses-proses tertentu.
Hitung jenis sel darah menentukan karakteristik morfologis darah serta jumlah
berbagai sel darah. Hitung jenis ini dilakukan dengan mengekstrak setetes darah kapiler dari
ujung jari atau dari cuping telinga, setelah itu dengan hati-hati ditipiskan diatas gekas objek.
Gelas objek diwarnai dengan pewarnaan Wright, yang memberikan berbagai macam warna
kepada berbagai macam struktur sel sesuai dengan pH. Warna berkisar dari biru sampai
2
meran muda atau merah.berbagai jenis leukosit, eritroit, dan trombosit dapat dibedakan
menurut : (1) warna yang didapatkan, (2) ukuran dan konfigurasinya, (3) struktur kromatin
inti, (4) ada atau tidak adanya nukleolus di dalam inti. Seorang ahli hematologi,
hematopatologi, atau ahli teknik laboratorium yang berpengalaman dapa mengenali berbagai
jenis sel, kematangan, dan sifat-sifat lainnya.
Eritrosit yang terlihat pada sediaan apus dapat ditandai menurut berbsgsi ukuran Dn
bentuknya.istilah anisosiatosis menyatakan variasi ukuran sel ab-normal. Variasi yang
disebut ab-normal adalah pokilositosis dan menunjukan sel-sel yang terbentuknya seperti
tetesan air mata, buah pear, topi, dan oval. Pokilositosis dan anisositosis dapat menyatakan
adanya gangguan eritropoiesis (pembentukan dan pengembangan eritrosit).
Sperosit memiliki rasio antara diameter dan ketebalan yang berkurang dan berbentuk
speris, bukanya berbentuk cakram bikonkaf seperti bentuk eritrosit yang normal. Fragilitas
osmotik sel ini meningkat dan terlihat pada anemia hemolitik kongenital yang disebut sebagai
sperositosis kongenital. Sel sabit adalah ciri khas dari hemoglobin S dan bentuk-bentuk sabit
hemoglobin lainnya. Sel-sel ini mengambil bentuk sabit oleh karena adanya dioksigenasi.
Polikromasia adalah istilah yang digunakan jika sel-sel memiliki distribusi warna
yang berbeda. Normokromania (pewarnaan normal) menggambarkan konsetrasi hemoglobin
yang normal dalam sel. Hipokromia memperlihatkan suatu sel yang pucat, menggambarkan
pejnurunan konsentrasi hemoglobin seperti yang terlihat pada anemia difisiensi besi.
Variasi lain pada struktur eristrosit yang dapat ditentukan dengan sediaan apus yanng
telah diwarnai adalah siderosit, yaitu sel yang mengandung granula besi anorganik, dan
eritrosit berinti atau normoblas (eritroblas) yang terdapat dalam darah tepi (normalnya berada
dalam sum-sum tilang) akibat kebutuhan eritrosit yang meningkat.komponen utam aeritrosit
adalah hemoglobin (Hb) protein. Sitesis hemoglobin dalam eritrosit berlangsung dari stadium
perkembangan eritroblas sampai retrikulosit. Fungsi utama hemoglobin adalah transfor O2 dan CO2.
Konsentrasi hemoglobin darah diukur berdasarkan intensitas warnanya menggunakan seratus milimeter darah (g/100ml)
atau gram per desiliter (g/dl).
Jenis hemoglobin juga dapat ditentukan.kira-kira telah diidentifikasikan 300 jenis
hemoglobin yang berbeda dalam kode genetik dan urutan asam amino. Walapuun sebagian
hemoglobin tidak mempunyai makna klinik dan dapat berfungsi normal, namu nbeberapa
jenis hemoglobin dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna.
3
Elektroforesis hemoglobin dapat mengidentifikasi hemoglobin yang ab-normal . berbagai
jenis hemiglobin bergrak dengan kecepatan yang berbeda melintasi kertas atau jelli pati,
berdasarkan muatan listriknya. Hemoglibin diidentifikasi dengan huruf atau letak tempat
ditemukannya :
Hb A : hemoglobin dewasa normal
Hb F : hemoglobin fetus
Hb S : hemoglobin pada penyakit sel sabit
Hb : mempis
Pengukuran lain adalah hematokrit (Hct) atau volume packed cell, menunjukan
nvolume darah lengkap yang terdiri dari eritrosit. Pengukuran ini merupakan presentase
eritrosit dalam darah lengkap setelah spesimen darah disentrifugasi, dan dinyatakan dalam
milimeter kubuk packed cell/100ml darah atau volume /dl.
Hasil hitung dari sel darah merah, konsentrasi hemoglobim dan hematokrit digunakan
untuk menghitungindeks eritrosit, yang mencerminkan eritrosit , kadar hemoglobin, dan
konentrasinya. Pembagian hemtokrit berdasarkan jumlah eritrosit akan menghasilkan volume
eritrosit rat-rata (mean corpuscular volume,MCV). Ini adalah pengukuran besarnya sel yang
dinyatakan dalam mikrometer kubik, dengan renang nilai normal dari 81 hingga 96 µm3.
Eritrosit dalam batas-batas tersebut disebut sebagai normositik yaitu sel berukuran normal.
MCV yang nerukuran kurang dari 81 µm3 menujukan sel mikrositik karena berukuran kurang
dari 7 µm3 pada sendian apus, sedangkan MCV yang berukuran lebih dari 96 µm3
menunjukan sel-sel makrositiknyang berukuran lebih besar dari 8 µm3 pada sendian apus.
Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (mean corpucular hemoglobin
concentration, MCHC) mengukur jumlah hemoglobin dalam 100 ml (1dl) eritrosit packed.
MCHC didapat dengan membagi ukuran hemoglobin dengan hematokrit, dan dinyatakan
dalam gram/100 ml (g/dl). Batas normal MCHC adalah 30 sampai 36 g/100 ml darah, disebut
normokomik, hasil yang kurang dari 30 g/100 ml adalah hipokromik karena sel-sel ini
tampak pucat sediaan apus. Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (mean corpucular
hemoglobin concentration, MCHC) mengukur jumlah hemoglobin yang terdapat dalam satu
eritrosit, dan ditentukan melalui jumlah hemoglobin dalam 1000 ml darah melalui jumlah
eritrosit permilimeter kubik darah. MCHC dinyatakan dalam pikogram hemoglobin /eritrosit.
Nilai normal adalah sekitar 27 sampai 31 pg/eritrosit.
Hitung retikulosit, merupakan penentu penting lainnya yang menggambarkan
aktivitas sum-sum tulang. Retikulosit adalah suatu eritrosit imatur tidak berinti yang
4
mengandung sisa-sisa RNA dalam sitoplasmanya. Dalam keadaan normal, jumlah sel
retikulosit didalam sediaan apus darah tepi hanya berjumlah 1 sampai 2%. Pengambilan
sidiaan paus darah tepi dilakukan seperti yang sudah dijelaskan diatas, kemudian dipulas
dengan pewarnaan supravital yang memberi warna biru pada setiap RNA dalam eritrosit
imatur, sel-sel seperti in tampaknya memiliki jala-jala atau “retikulum” didalamnya, oleh
karena itu disebut retikulosit . sisa RNA menghilang dalam satu atau dua hari pertama setelah
sel berada diluar sum-sum tulang, sedangkan penuruna atau tidak adanya retikulosit
mehunjukan adanya kegagalan sum-sum tulang.
Pemeriksaan Sumsum Tulang
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang dilakukan jika pemeriksaan-pemeriksaan yang
terdahulu tidak cukup memberikan data, atau juga terdapat penyakit yang dapat memengaruhi
sistem hematologik. Pemeriksaan aspirasi juga digunakan untuk mengarahkan pemberiaan
dosis kemoterapi dan terapi radiasi pada penderita ke ganasan hematelogik.
Spesimen sumsum tilang yang akurat pada orang dewasa dapat diperoleh dari
sternum, prosesus spinosus vertebra, krista iliaka anterior, atau posterior. Apabila perliu
dilakukan biopsi, maka yang terakhir merupakan tempat yang lebih disukai
Biopsi maupun aspirasi sumsum tulang, harus dianggap sebagai tindakan bedah minor
dan dilakukan dalam keadaan aspetik. Penderita dibaringkan mering dengan punggung yang
agak dibengkokkan dan lutut ditarik kearah dada. Krista iliaka posterior dibersihkan dan
dioles larutan antiseptik. Kulit, jaringan subkutan, dan periosteum dianestesi dengan
menggunakan lidokain (Xilokain) 1 sampai 2%. Dibuat insisi 2 sampai 3 mm untuk
memudahkan penetrasi jarum sumsum tulang ukuran -14-gauge sedalam 2 sampai 4 cm, dan
untuk mencegah masuknya sumbat kulit dalam rongga sumsum tulang. Setalah masuk, stilet
dilepaskan dari jarum, apuit 10cc ditempelkan, dan dengan aspirasi cepat dan pendek diisap
sekitar 25 µl sumsum tulang. Walupun selama tindakan tersebut mengalami btekanan yang
hebat sekali, namun ia harus diberitahu bahwa mungkin akan merasa sakit dan menusuk
yang tiba-tiba tetapi hanya sebebtar yang disebabkan oleh tekana negatif yang terjadi pada
aspirasi. Kemudian dibuat sediaan apus secara cepat dengan aspirat tersebut, dan ditemukan
partikel putih yang keabu-abuan disertai dengan vakuola lemak. Sebagian spesimen dibiarkan
membeku dan diiris untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dari aspirat juga dapat dilakukan
berbagai hitung sel dan hitung jenis sel.
Biopso biasanya diindikasikan pada keganasan hematologik. Pada tindakan ini
digunakan jarum biopsi khusus (jarum jamshidi, panjang 11 cm berdiameter 3 mm yang
5
meruncing menjadi 2 mm diujungnya) untuk memperoleh s[ikula tulang. Spikula tulang ini
diletakan dalam gelas objek menggunakan sumbat yang disisspkan melalui ujungnya. Setelah
itu, dibuat beberapa cetakan dengan menyentuh gelas gelas objek secara halus dengan spikula
yang dapat diwarnai dengan pewarnaan Wright, seperti yang telah dijelaskan dalam pembuata
sediaan apus darah tepi. Satu atau dua sediaan dapat diwarnai dengan reaksi biru prusia yang
memperlihatkan adanya besi yang tersimpan. Spikula biopsi ditempatkan dalam larutan bouin
atau larutan zenker, yang keduanya merupakan larutan fiksasi. Spesimen tersebut kemudian
ditempatkan dalam blok parafin, diiris, diwarnai, dan diperiksa secara mikroskopik.
Biopsi sumsum tulang di gunakan untuk memeriksa keadaan sel sumsum tanpa
merusak arsitektur. Peningkatan aktivitas sumsum tulang tersebut hiperseluler atau
hiperplastik ( peningkatan jumlah sel dengan penurunan lemak) , sedangkan penurunan
aktivitas tulang di sebut hiposelular atau hipoplastik ( penurunan jumlah sel dengan
meningkatya lemak). Di lakukan perhitungan perbandingan unsur mieloid ( leukosit sumsum
tulang) terhadap unsur eritroid( eritrosit) (resio M/E) dan dipelajari jumlah
megakariosit( prekursor trombosit) yang normal , bertambah, atau berkurang . dari
pemeriksaan ini dapat di ketahui distribusi sel , kelainan maturasi dan adanya sel-sel
neoplastik. Keadaan tulang seperti fibrosis dapat juga diidenifikasi.
SITOGENIK
Dalam mendiagnosis keganasan hematologik,analisis sitogenetik telah di ketahui
merupakan salah satu pemeriksaan yang paling penting untuk menegakan diagnosis dan
pengobatan, dan penting untuk memperkirakan respon terhdap pengobatan dan potensial
untuk remisi atau penyembuhan dan untuk mengetahui terjadinya relaps. Sitogenetik sadalah
pemeriksaan komposisi kromosom sel, fungsi normal, dan setiap devasi dari yang normal.
Sel yang dipelajari dari setadium metafase mitosis (pembagian sel untuk menjelaskan
traslokasi, infersi, dan delesi bahan genetik dari satu kromosom ke keomosom lainya) analisis
sitogenetik dapat dilakukan pada jaringan yang diperah dari aspirasi dan biopsi sumsum
tulang pada darah tepi jika jumalahnya meningkat dan pada kelenjar getah bening, limapa,
hati. Pengujian sitogenetik juga dilakukan pada cairan amion dan menyebabkan terjadinya
konsepsi untuk menegakan diagnosis adanya kelainan vetus.
Uji utama lainya adalah penentuan imunovenotipe, yang digunakan untuk menegakan
diagnosis penyakin hematologik secara akurat terutama dalam membedakan
leukimialimpositik akut dari leukimiamielogenosa akut dan keganasa limpatika lainnya
penentuan imunovenotipe dilakukan dengan pemerikasaan sitometi aliran. Untuk
6
mengidentifikasi kelompok anti gen sebagai klaster diferensiasi pada permukaan sel
hematopoeitik.
Klasifikasi Anemia
Anemia di klasifikasikan menurut :
1. Factor – factor morfologik SDM dan indeks-indeksnya
2. Etiologi
Pada klasifkasi morfologik anemia , mikro- atau makro- menunjukan ukuran SDM dan
kromik untuk menunjukan warnanya . sudah di kenal tiga kategori besar. Pertama,
anemia nonmokromik normositik, SDM memiliki ukuran dan bentuk normal serta
mengandung jumlah hemoglobin normal ( mean corpus cular volume [MCV] dan mean
corpuscular hemoglobin concentratioan [MCHC] normal atau normal rendah). Penyebab –
penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronis yang
meliputi infeksi, gangguan ginjal , kegagalan sumsum tulang , dan penyakit- penyakit
infiltrative metastik pada sumsum tulang.
Kategori utama dan kedua adalah anemia nonmokromik makrositik, yang memiliki SDM
lebih besar dari normal tetapi nonmokromik krena konsentrasi hemoglobin normal (MCV
meningkat ; MCHC normal ) keadaan ini di sebabkan terganggunya atau terhentinya sintesis
asam deoksiribonukleat (DNA).
Kategori ketiga adalah anemia hipokromik mikrositik. Mikrositik berarti sel kecil an
hipokromik berarti pewarnaan yang berkurang , karena warna berasal dari hemoglobin , sel-
sel ini mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal ( penurunan
MCV;penurunan MCHC ) keadaan ini umumnya mencerminkan insufisiensi sintesis heme
atau kekurangan zat besi , seperti pada anemia difisiensi besi , keadaan sideroblastik , darah
kehilangan darah kronis, atau gangguan sintesis globin , seperti pada thalasemia. Ketidak
sesuaian jumlah rantai alfa dan beta yang di sintesis, dengan demikian terbentuk molekul
hemoglobin tetrameter normal.
Anemia di klasifikasikan menurut etiologi. Penyebab utama yang di pikirkan adalah:
1. Peningkatan hilangnya SDM
2. Penurunan atau kelainan pembentukan sel
Meningkatnya kehilangan SDM apat di sebabkan oleh pendarahan atau oleh penghancuran
sel . perdarahan dapat di akibatka dari trauma atau ulkus atau akibat perdarahan krnis karena
polop di kolon ,keganasa hemoroid dan menstruasi . penghancuran SDM di dalam sirkulasi di
kenal sebagai hemolisis , terjdi jika gangguan pada sdm itu sendiri memperpendek siklus
7
hidupnya ( kelainank) atau perubahan lingkungan yang menyebabkan penghancuran SDM
( kelainan intrinsic ).
Keadaan- keadaan yang SDM nya itu sendiri mengalami kelainan adalah:
1. Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang di wariskan, seperti,penyakit sel
sabit.
2. Gangguan sintesis globin , sperti thalasemia.
3. Kelainan membrane SDM , seperti sferositosis herediter dan eliptositosis
4. Defisiensi enzim, seperti difisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase.
Klasifikasi etiologic utama yang kedua adalah berkurangnya atau terganggunya produksi
SDM ( diseritropoienis) setiap keadaan mempengaruhi fungsi sumsum sumsum tulang
termasuk dalam kategori ini. Termasuk di dalam kelomopk ini adalah.
1. Keganasan jaringan padat metastatic, leukemia, limfoma dan myeloma multiple;
pajanan terhadap obay-obat dan zat kimia toksik ;serta iradiasi dapat mengurangi produksi
efektif SDM.
2. Penyakit – penyakit kronis yang mengenai ginjal dan hati serta infeksi dan defisiensi
endokrin. Kekurangan vitamin – vitamin C , dan zat besi dapat mengakibatkan pembetukan
SDM tidak efektif menimbulkan anemia. Untuk meentukan jenis anemia , baik pertimbangan
morfologik dan etiologic harus di gabungkan.
II. Teori
Anemia Aplastik
Anemia aplastik merupkan suatu gangguan menganam jiwa pada sel induk di sumsum
tulang, yang sel-sel darahnya di produksi dalam jumlah yang tidak mencukupi. Anemina
dapat congenital idiopatik ( penyebab tidak di ketahui) atau sekunder akibat penyebab –
penyebab industry atau virus . Individu dengan anemia aplastik mengalami pansitopenia
( kekurangan semua jenis sel darah ). Secara morfologis , SDM trelihat normositik dan
nonmokromik , jumlah retikulosit rendah atau tidak ada dan biopsy sumsun menunjukan
keadaan yang di sebut “fungsi kering” dengan hipoplasia nyata dan penggantian dengan
jaringan lemak. Pada sumsum tulang tidak di jumpai sel-sel abnormal. Anemia aplastik
idiopatik diyakini di mediasisecara imunologis dengan T limfosit pasien menekan sel-sel
induk hematopoietik.
Penyebab sekunder anemia aplastik ( sementara atau permanen) melputi berikut ini:
8
1. Lupus eritematosus sistemik yang berbasis autoimun
2. Agen antineoplastik atau sitotoksis
3. Terapi radiasi
4. Antibiotik tertentu
5. Berbagai obat seperti antikonvulsan, obat-obat tiroid , senyawa emas dan fenilbutazon.
6. Zat-zat kimia seperti benzen, pelarut organic, dan insektisida ( agen yang di yakini
merusak sumsum tulang secara langsung)
7. Penyakit – penyakit virus seperti mononucleosis infeksiosa dan
human immunodeficiency virus (HIV); anemia aplasytik setelah hepatitis virus terumatama
berat dan cenderung fatal.
Anemia Defisiensi Besi
Secara morfologis , keadaan ini di klasifikasikan sebagai anemia mikrositik
hipokromik dengan penurunan kuantitatif sintesis hemoglobin. Di\efisiensi besi merupakan
penyebab utama anemia di dunia dan terutama sering di jumpai pada perempuan usia subur,
di sebabkan oleh kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi
selama kehamilan.
Penyebab lain defisiensi besi adalah:
1. Asupan besi yang tidak cukup, misal, pada bayi yang hanya di beri dioet susu saja
selama 12-24 bulan dan pada individu-individu tertentu yang vegetarian ketat.
2. Gangguan absorpsi setaelah gastrektomi,
3. Kehilangan darah menetap, seperti pada pendarahan saluran erna lamat akibat polip,
neoplasma, gastritis, varises esophagus, ingesti aspirin, dan hemoroid.
Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa rata-rata mengandung 4-5 g besi, bergantung
pada jenis kelamin dan ukuran tubuhnya. Lebih dari dua per tiga besi terdapat di dalam
hemoglobin. Besi di lepas dengan semakin tua serta matinya sel dan di angkut melalui
transferin ke sumsum tulang untuk eritropoiesis. Dengan pengecualian mioglobin (otot) dan
enzim-enzim heme dalam jumlah yang sangat sedikit , sisa zat besi di simpan di dalam
hati ,limpa, dan sumsum tulang sebagai feritin dan hemosiderin unruk kebutuhan – kebutuhan
lebih lanjut.
Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik ( SDM besar) di klasifikasikan secara morfologis sebagai
anemia makrositikj normokromik. Anemia megaloblastik sering di sebabkan oleh defisiensi
vitmin B12 dan asam folat ynag mengakibatkan gangguan sintesis DNA , di sertai kegagalan
maturasidan pembelahan inti, defisiensi – defisiensi ini dapat sekunder akibat malnutrisi,
9
defisiensi asam folat, melabsorpsi, kekurangan factor intrinsic ( seperti pada anemia
pernisioasa dan pasca gastrektomi), infeksi parasit , penyakit usus, dan keganasan serta
sebagai akibat agens-agens kemoterapetik. Pada indiviu dengan inveksi cacing pita
( Diphyllobothrium latum) yang di sebabkan oleh ingesti ikan segar yang terinfeksi, cacing
pita berkompetisi denganpejamunya untuk mendapatkan vitamin B12 di dalam makanan yang
diingesti , yang menyebabkan anemia megaloblastik.
Anemia pernisioassa khas pada Anemia megaloblastik, defisiensi folat sering di
temukan dalam praktik klinis. Anemia megaloblastik sering terlihat sebagai malnutrisi pada
orang yang lebih tua, pecandu alcohol, atau remaja, dan pada perempuan selama kehamilan,
saat permintaan untuk mencukupi kebutuhan janin dan laktasi meingkat.
Penyakit Sel Sabit
Penyebab
Penyakit selsabit adalah hemoglobinopati yang di sebabkan oleh kelainan struktur
hemoglobin. Kelainan struktur terjadi pada fraksi globin di dalam malekul hemoglobin.
Globin tersusun dari dua pasang rantai polipeptida. Misalnya Hb S berbeda dari Hb A normal
karena valin menggantikan asam glutamate pada asalah satu pasang rantainya . pada Hb C ,
lisisn terdapat pada posisi itu. Seperti yang di jelaskan sebelumnya, terdapat banyak
hemoglobin abnormal dengan berbagai derajat gejala, bervariasi dari tidak dada sampai berat.
Penyakit sel sabit merupakan genetic resesif automosal, yaitu individu memperoleh
hemoglobin sabit ( Hemoglobib S ) dari kedua orang tua. Oleh kerana itu pasien homozigot.
Individu heterizigot ( gen abnormal di wariskan hanya ari salah satu orang tua) di katakana
memiliki sifat sel sabit. Individu ini umumnya asimtomatik dan memiliki usia harapan hidup
yang normal.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang terjadi sebagai akibat dari penyumbatan pembuluh darah yang
menyebabkan infark pada berbagai organ, seperti ginjal, paru, dan system saraf pusat. Bayi –
bayi biasanya asimtomatik selama 5 sampai 6 bulan karena adanya hemoglobin fetus ( Hb F )
yang cenderung menghambat pembentukan sabit. Manifestasi klinis meliputi sindrom
kegagalan perkembangan, gangguan tumbuh dakembang, dan seringnya episode infeksi
bakteri, teutama infeksi pneumokokus. Pada awalnya limpa membesar; akan tetapi karena
adanya infark berulang, limpa menjadi atrofi dan tidak berfungsi sebelum anak mencapai usia
8 tahun. Proses ini di sebut sebagai autoslenektomi. Kerentanan terhadap infeksi menetap
seumur hidup. Harapan hidup berkurang akibat infark yang menyebabkan gagal organ.
Pengobatan
10
Saat ini belum di ketahui ada pengobatan yang dapat mengembalikan bentuk sabit
menjadi normal.oleh karena itu , pengobatan terutama di tujukan pada pencegahan atau
penunjang. Kerana infeksi tampaknya mencetuskan krisis sel sabit, pengobatan di tekankan
pada pencegahan, deteksi dini , dan pengobatan segera infeksi. Pada tahun 1987, national
heart, lung, and blood institute ( NHLBI ) merekomendasikan penggunaan penisilin
profilaktik untuk anak kecil untuk mengurangi insiden pneumonia. Vaksin pneumokokus
( pneumovax) sebaikny di berikan secara provilaktik keran vaksin ini mengurangi insiden
infeksi pneumokokus. Pengobatan meliputi pemberian antibiotic dan hidrasi dengan cepat
dan kuat. Oksigen sebaiknya hanya di berikan jika pasien mengalami hipoksia . pemberian
suplemen asam folat per hari di perlukan untuk mengisi kehilangan cadangan folat akobat
hemolisis kronis. Krisis nyeri tyang terjadi secara tersendiri atau sekunder akibat infeksi
dapat mengenai setiap bagian tubuh.
Intervensi segera dengan hidrasi dan analgesic opioid dapat menghentikan atau
mengurangi lama dan beratnya krisis. Tranfusi di lakukan selama terjadi krisis aplastik atau
hemolitik, selama kehamilan, untuk pembedahan , atau untuk untuk menghentikan nyeri
berat. Transfusi tukar di gunakan pada pasien dengan krisis berulang atau kerusakan
neurologic. Kelebihan beban besi menjadi masalah, dan pasien – pasien ini memerlukan
deferoksamin untuk mengurangi cadangan besinya.
Seringnya timbul krisis mempengaruhi keseluruhan kualitas hidup pasien dan
keluarganya. Pasien- pasien sering mengalami kecacatan karena nyeri kronis berulang pada
kejadian – kejadian penyumbatan pembuluh darah.
Polisitemia
Pembahasan sebelumnya dipusatkan pada keadaan yang di sebabkan kurangnya jumlah
SDM. Keadaan yang di ketahui sebagai polisitemia di akibatkan dari terlalu banyak SDM.
Polisitemia berarti kelebihan ( poli-) semua jenis sel(sitemia), tetapi umumnya nama tersbut
di gunakan untuk keadaan-keadaan yang volume SDM nya melebihi normal. Keadaan ini
mengakibatkan peningkatan viskositas dan volume darah. Polositemia primer atau vera,
merupakan suatu gangguan mieloproliferatif. Sel induk pluripoten abnormal. Ditemukan juga
eritrositosis yang nyata dengan kadar eriropolin normal atau rendah, serta leukositis dan
trombositosis. Polisitemia vera merupakan penyakit progresif pada usia pertengahan, agak
lebih banyak mengenai laki- laki dari pada perempuan. Tanda dan gejala ini di sebabkan oleh
peningkatan volume darah total dan peningkata viskositas darah. Volume plasma biasanya
normal , dan terjadi vasodilatasi intuk menampung peningkatan eritrsosit. Pasien tersebut
datang dengan corak pletorik ( merah bata) dan mata merah meradang.
11
Gejala-gejala non spesifik, bervariasi dari sensasi “penuh kepala” sampai sakit kepala,
kesulitan berkonsentrasi, pandangan kabur, kelelahan , dan pruritus ( gatal ) setelah mandi.
Peningkatan volume dan viskositas ( aliran darah lambat) bersama dengan peningkatan
jumlah trombosit dan fungsi trombosit abnormal mempermudah induvidu mengalami
thrombosis dan pendarahan.
Pengobatan untuk polisitemia vera meliputi flebotomi mingguan untuk mencapai kadar
hematokrit kurang dari 45, dan kenmudian berdasarkan “seperlunya”. Pengguanaan fosfor
radio aktif dan agen pengalkilasi terbatas, secara luas karena penggunaan agen-agen tersebut
di ketahui karsinogenik dan dapat berparen dalam perkembangan leukemia akut. Penggunaan
busulfan jangka pendek ( yaitu, 4 hingga 6 minggu ) dapat mencapai remisis yang potensia.
Hidroksiurea sering di gunakan untuk mempermudah pemberian dan toleransi. Akan tetapi
obat-obat ini menyebabkn mielosupresi generalisata. Anagrelide hidroklorida (agrylin) di
gunakan untuk menurunkan jumlah trombosit.
Kondisi-kondisi medis mendasar yang merangsang produksi eritropotiein meliputi penyakit-
penyakit kardiopulmonal yang menurunkan saturasi O2 arteri atau tumor ginjal yang
menurunkan aliran darah ginjal. Keadaan tersebut juga terjadi pada orang yang hidup di
daerah tinggiO2 atmosfernya berkurang untuk polisitemia sekunder, di indikasikan
untukmengobati penyebab yang mendasarinya.
Gangguan Sel Darah Putih dan Sel Plasma
Neutrofilia
Neutrofilia adalah jumlah neutrofil meningkat melebihi nilai normal. Neutrofilia
sebagian besar disebabkan oleh infeksi bakteri. Selain itu, neutrofilia dapat disebabkan oleh
inflammatory bowel disease, rheumatoid arthritis, vasculitis (kawasaki syndrome),
keganasan, pemberian kortikosteroid, dan splenektomi.
Limfositosis
Limfositosis adalah jumlah limfosit meningkat melebihi nilai normal. Infeksi virus
biasanya menyebabkan limfositosis.
Monositosis
Monositosis adalah jumlah monosit meningkat melebihi nilai normal. Monositosis
dapat disebabkan oleh infeksi bakteri (tuberkulosis, endokarditis bakerialis subakut,
12
brucellosis), infeksi virus (mononucleosis), sifilis, infeksi protozoa, infeksi riketsia,
keganasan, sarkoidosis, dan autoimun.
Basofilia
Basofilia adalah jumlah basofil meningkat melebihi normal. Basofilia dapat
disebabkan oleh keganasan.
Eosinofilia
Eosinofilia adalah jumlah eosinofil meningkat melebihi normal. Eosinofilia dapat
disebabkan oleh alergi, hipersensitivitas terhadap obat, infeksi parasit, infeksi virus,
keganasan, dan kelainan kulit.
Secara umum, pemeriksaan laboratorium adalah alat bantu untuk menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil laboratorium harus memperhatikan kondisi klinis pasien. Demikian juga
dengan hasil laboratorium leukositosis. Untuk mengetahui apakah disebabkan infeksi bakteri
atau infeksi virus, harus menilai klinis pasien. Diskusikanlah dengan dokter anda untuk
mengetahui penyebab leukositosis.
Terdapat bermacam-macam cara untuk menetapkan kadar hemoglobin tetapi yang
sering dikerjakan di laboratorium adalah yang berdasarkan kolorimeterik visual cara Sahli
dan fotoelektrik cara sianmethemoglobin atau hemiglobinsianida. Cara Sahli kurang baik,
karena tidak semua macam hemo- globin diubah menjadi hematin asam misalnya karboksihe-
moglobin, methemoglobin dan sulfhemoglobin . Selain itu alat untuk pemeriksaan
hemoglobin cara Sahli tidak dapat distandarkan, sehingga ketelitian yang dapat dicapai hanya
± 10%. 1 .
Cara sianmethemoglobin adalah cara yang dianjurkan antuk penetapan kadar
hemoglobin di laboratorium karena larutan standar sianmethemoglobin sifatnya stabil, mudah
diperoleh dan pada cara ini hampir semua hemoglobin terukur kecuali sulfhemoglobin. Pada
cara ini ketelitian yang dapat dicapai ± 2%. 2 . Berhubung ketelitian masing-masing cara ber-
beda, untuk penilaian basil sebaiknya diketahui cara mana yang dipakai.
Nilai rujukan kadar hemoglobin tergantung dari umur dan jenis kelamin.3 0 Pada bayi
baru lahir, kadar hemoglobin lebih tinggi dari pada orang 'dewasa yaitu berkisar antara 13,6
-- 19, 6 g/dl. Kemudian kadar hemoglobin menurun dan pada umur 3 tahun dicapai kadar
13
paling rendah yaitu 9,5 -- 12,5 g/dl. Setelah itu secara bertahap kadar hemoglobin naik dan
pada pubertas kadarnya mendekati kadar pada dewasa yaitu berkisar antara 11,5 -- 14,8 g/dl.
Pada pria dewasa kadar hemoglobin berkisar antara 13 -- 16 g/dl sedangkan pada wanita
dewasa antara 12 -- 14 d/dl. 1 . Pada wanita hamil terjadi hemodilusi sehingga untuk batas
terendah nilai rujukan ditentukan 10 g/dl. 3 .
Pada keadaan fisiologik kadar hemoglobin dapat bervariasi. 3 Kadar hemoglobin
meningkat bila orang tinggal di tempat yang tinggi dari permukaan laut. Pada ketinggian 2
km dari permukaan laut, kadar hemoglobin kira-kira 1 g/dl lebih tinggi dari pada kalau
tinggal pada tempat setinggi permukaan laut. Tetapi peningkatan kadar hemoglobin ini
tergantung dari lamanya anoksia, juga tergantung dari respons individu yang berbeda-beda.
Kerja fisik yang berat juga dapat menaikkan kadar hemoglobin, mungkin hal ini disebabkan
masuknya sejumlah eritrosit yang tersimpan didalam kapiler-kapiler ke peredaran darah atau
karena hilangnya plasma.
Perubahan sikap tubuh dapat menimbulkan perubahan kadar hemoglobin yang
bersifat sementara. Pada sikap berdiri kadar hemoglobin lebih tinggi dari pada berbaring.
Variasi diurnal juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, kadar hemoglobin tertinggi pada
pagi hari dan terendah pada sore hari. Kadar hemoglobin yang kurang dari nilai rujukan
merupa- kan salah satu tanda dari anemia. Menurut morfologi eritrosit didalam sediaan apus,
anemia dapat digolongkan atas 3 go- longan yaitu anemia mikrositik hipokrom, anemia
makrositik dan anemia normositik normokrom 5 Setelah diketahui ada anemia kemudian
ditentukan golongannya berdasarkan morfo- logi eritrosit rata-rata.
Untuk mencari penyebab suatu anemia diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan lebih
lanjut. Bila kadar hemoglobin lebih tinggi dari nilai rujukan, maka keadaan ini disebut
polisitemia. Polisitemia ada 3 macam yaitu polisitemia vera, suatu penyakit yang tidak
diketahui penye- babnya; polisitemia sekunder, suatu keadaan yang terjadi seba- gai akibat
berkurangnya saturasi oksigen misalnya pada kelain- an jantung bawaan, penyakit paru dan
lain-lain, atau karena peningkata n kadar eritropoietin misal pada tumor hati dan ginjal yang
menghasilkan eritropoietin berlebihan; dan po- lisitemia relatif, suatu keadaan yang terjadi
sebagai akibat kehilangan plasmanya misal pada luka bakar. 5 Laju endap darah. Proses
pengendapan darah terjadi dalam 3 tahap yaitu tahap pembentukan rouleaux, tahap
pengendapan dan tahap pema- datan.
14
Di laboratorium cara untuk memeriksa laju endap darah yang sering dipakai adalah
cara Wintrobe dan cara Weetergren. Pada cara Wintrobe nilai rujukan untuk wanita 0 -- 20
mm/jam dan untuk pria 0 -- 10 mm/jam, sedang pada cara Westergren nilai rujukan untuk
wanita 0 -- 15 mm/jam dan untuk pria 0 -- 10 mm/jam. ' Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi laju endap darah adalah faktor eritrosit, faktor plasma dan faktor teknik.
Jumlah eritrosit/ul darah yang kurang dari normal, ukuran eritrosit yang lebih besar dari
normal dan eritrosit yang mudah beraglutinasi akan menyebabkan laju endap darah cepat.
Walau pun demikian, tidak semua anemia disertai laju endap darah yang cepat.
Pada anemia sel sabit, akantositosis, sferositosis serta poikilositosis berat, laju endap
darah tidak cepat, karena pada keadaan-keadaan ini pembentukan rouleaux sukar terjadi. 4
Pada polisitemia dimana jumlah eritrosit/ µl darah meningkat, laju endap darah normal. 6
Pembentukan rouleaux tergantung dari komposisi protein plasma. Peningkatan kadar
fibrinogen dan globulin memper- mudah pembentukan roleaux sehingga laju endap darah
cepat sedangkan kadar albumin yang tinggi menyebabkan laju endap darah lambat. 6 ,7 Laju
endap darah terutama mencerminkan perubahan protein plasma yang terjadi pada infeksi akut
maupun kronik, proses degenerasi dan penyakit limfoproliferatif.
Peningkatan laju endap darah merupakan respons yang tidak spesifik terhadap
kerusakan jaringan dan merupakan petunjuk adanya penyakit. 6 Bila dilakukan secara
berulang laju endap darah dapat dipakai untuk menilai perjalanan penyakit seperti
tuberkulosis, demam rematik, artritis dan nefritis. Laju endap darah yang cepat menunjukkan
suatau lesi yang aktif, peningkatan laju endap darah dibandingkan sebelumnya menunjukkan
proses yang meluas, sedangkan laju endap darah yang menurun dibandingkan sebelumnya
menunjukkan suatu perbaikan 7 Selain pada keadaan patologik, laju endap darah yang cepat
juga dapat dijumpai pada keadaan-keadaan fisiologik seperti pada waktu haid, kehamilan
setelah bulan ketiga dan pada orang tua. 6 ,7 Dan akhirnya yang perlu diperhatikan adalah
faktor teknik yang dapat menyebabkan kesalahan dalam pemeriksaan laju endap darah.
Selama pemeriksaan tabung atau pipet ha rus tegak lurus; miring 3 0 dapat menimbulkan
kesalahan 30%.
Tabung atau pipet tidak boleh digoyang atau bergetar, karena ini akan mempercepat
pengendapan. Suhu optimum selama pemeriksaan adalah 20°C, suhu yang tinggi akan
mempercepat pengendapan dan sebaliknya suhu yang rendah akan memperlambat. Bila darah
yang diperiksa sudah membeku sebagian hasil pemeriksaan laju endap darah akan lebih
15
lambat karena sebagian fibrinogen sudah terpakai dalam pembekuan. Pemerik- saan laju
endap darah harus dikerjakan dalam waktu 2 jam setelah pengambilan darah, karena darah
yang dibiarkan terlalu lama akan berbentuk sferik sehingga sukar membentuk rouleaux dan
hasil pemeriksaan laju endap darah menjadi lebih lambat. 6 ,7 Hitung leukosit.
Terdapat dua cara untuk menghitung leukosit dalam darah tepi. Yang pertama adalah
cara manual dengan memakai pipet leukosit, kamar hitung dan mikroskop. Cara kedua adalah
cara semi automatik dengan memakai alat elektronik. Cara kedua ini lebih unggul dari cara
pertama karena tekniknya lebih mudah, waktu yang diperlukan lebih singkat dan
kesalahannya lebih kecil yaitu ± 2%, sedang pada cara pertama kesalahannya sampai ± 10%.
2 Keburukan cara kedua adalah harga alat mahal dan sulit untuk memperoleh reagen karena
belum banyak laboratorium di Indonsia yang memakai alat ini. Jumlah leukosit dipengaruhi
oleh umur, penyimpangan dari keadaan basal dan lain-lain . 4 Pada bayi baru lahir jumlah
leukosit tinggi, sekitar 10.000--30.000/ µl. Jumlah leukosit tertinggi pada bayi umur 12 jam
yaitu antara 13.000 -- 38.000 / µl. Setelah itu jumlah leukosit turun secara bertahap dan pada
umur 21 tahun jumlah leukosit berkisar antara 4500 -- 11.000/ µl. Pada keadaan basal jumlah
leukosit pada orang dewasa berkisar antara 5000 -- 10.0004 /µ1.' Jumlah leukosit meningkat
setelah melakukan aktifitas fisik yang sedang, tetapi jarang lebih dari 11.000/ µl 4 Bila
jumlah leukosit lebih dari nilai rujukan, maka keadaan tersebut disebut leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi secara fisiologik maupun patologik.
Leukositosis yang fisiologik dijumpai pada kerja fisik yang berat, gangguan emosi,
kejang, takhikardi paroksismal, partus dan haid. 4 Leukositosis yang terjadi sebagai akibat
peningkatan yang seimbang dari masing-masing jenis sel, disebut balanced leoko- cytosis.
Keadaan ini jarang terjadi dan dapat dijumpai pada hemokonsentrasi. Yang lebih sering
dijumpai adalah leukosi- tosis yang disebabkan peningkatan dari salah satu jenis leuko- sit
sehingga timbul istilah neutrophilic leukocytosis atau netrofilia, lymphocytic leukocytosis
atau limfositosis, eosino- filia dan basofilia. Leukositosis yang patologik selalu diikuti oleh
peningkatan absolut dari salah satu atau lebih jenis leu- kosit. 4 Leukopenia adalah keadaan
dimana jumlah leukosit kurang dari 5000/0 darah. Karena pada hitung jenis leukosit, netrofil
adalah sel yang paling tinggi persentasinya hampir selalu leukopenia disebabkan oleh
netropenia. 8 Hitung jenis leukosit. Hitung jenis leukosit hanya menunjukkan jumlah relatif
dari masing-masing jenis sel.
16
Untuk mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel maka nilai relatif
(%) dikalikan jumlah leukosit total (sel/ µl). Hitung jenis leukosit berbeda tergantung umur.
Pada anak limfosit lebih banyak dari netrofil segmen, sedang pada orang dewasa
kebalikannya. Hitung jenis leukosit juga bervariasi dari satu sediaan apus ke sediaan lain, dari
satu lapangan ke lapangan lain. Kesalahan karena distribusi ini dapat mencapai 15%. 4 Bila
pada hitung jenis leukosit, didapatkan eritrosit berinti lebih dari 10 per 100 leukosit, maka
jumlah leukosit/ µl perlu dikoreksi. Netrofilia. Netrofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah
netrofil
lebih dari 7000/ µl dalam darah tepi. Penyebab biasanya adalah infeksi bakteri,
keracunan bahan kimia dan logam berat, gangguan metabolik seperti uremia, nekrosia
jaringan, kehi- langan darah dan kelainan mieloproliferatif. 4, 8 Banyak faktor yang
mempengaruhi respons netrofil terhadap infeksi, seperti penyebab infeksi, virulensi kuman,
respons penderita, luas peradangan dan pengobatan. Infeksi oleh bakteri seperti Streptococcus
hemolyticus dan Diplococcus pneumonine menyebabkan netrofilia yang berat, sedangkan
infeksi oleh Salmonella typhosa dan Mycobacterium tuberculosis tidak menimbulkan
netrofilia. Pada anak-anak netrofilia biasanya lebih tinggi dari pada orang dewasa. Pada
penderita yang lemah, respons terhadap infeksi kurang sehingga sering tidak disertai
netrofilia.
Derajat netrofilia sebanding dengan luasnya jaringan yang meradang karena jaringan
nekrotik akan melepaskan leukocyte promoting substance sehingga abses yang luas akan
menimbulkan netrofilia lebih berat daripada bakteremia yang ringan. Pemberian
adrenocorticotrophic hormone (ACTH) pada orang normal akan menimbulkan netrofilia
tetapi pada penderita infeksi berat tidak dijumpai netrofilia 6 Rangsangan yang menimbulkan
netrofilia dapat mengaki- batkan dilepasnya granulosit muda keperedaran darah dan keadaan
ini disebut pergeseran ke kiri atau shift to the left. 4 Pada infeksi ringan atau respons
penderita yang baik, hanya dijumpai netrofilia ringan dengan sedikit sekali pergeseran ke kiri.
Sedang pada infeksi berat dijumpai netrofilia berat dan banyak ditemukan sel muda. Infeksi
tanpa netrofilia atau dengan netrofilia ringan disertai banyak sel muda menunjukkan infeksi
yang tidak teratasi atau respons penderita yang kurang. 8
Pada infeksi berat dan keadaan toksik dapat dijumpai tanda degenerasi, yang sering
dijumpai pada netrofil adalah granula yang lebih kasar dan gelap yang disebut granulasi
toksik. Disamping itu dapat dijumpai inti piknotik dan vakuolisasi baik pada inti maupun
17
sitoplasma 4 Eosinofilia. Eosinofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah eosinofil lebih dari
300/ µl darah. Eosinofilia terutama dijumpai pada keadaan alergi. Histamin yang dilepaskan
pada reaksi antigen- antibodi merupakan substansi khemotaksis yang menarik eosinofil.
Penyebab lain dari eosinofilia adalah penyakit kulit kronik, infeksi dan infestasi parasit,
kelainan hemopoiesis seperti polisitemia vera dan leukemia granulositik kronik. 4 Basofilia.
Basofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah basofil lebih dari 100/µl darah. Basofilia
sering dijumpai pada polisitemia vera dan leukemia granulositik kronik.
Pada penyakit alergi seperti eritroderma, urtikaria pigmentosa dan kolitis ulserativa
juga dapat dijumpai basofilia. Pada reaksi antigen-antibodi basofil akan melepaskan histamin
dari granulanya. 8 Limfositosis. Limfositosis adalah suatu keadaan dimana terjadi pening-
katan jumlah limfosit lebih dari 8000/µl pada bayi dan anak- anak serta lebih dari 4000/µl
darah pada dewasa. Limfositosis dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti morbili,
mononu- kleosis infeksiosa; infeksi kronik seperti tuberkulosis, sifilis, per- tusis dan oleh
kelainan limfoproliferatif seperti leukemia limfositik kronik dan makroglobulinemia primer.
4 Monositosis. Monositosis adalah suatu keadaan dimana jumlah monosit lebih dari 750/ µl
pada anak dan lebih dari 800/µl darah pada orang dewasa. Monositosis dijumpai pada
penyakit mielopro- liferatif seperti leukemia monositik akut dan leukemia mielo- monositik
akut; penyakit kollagen seperti lupus eritematosus sistemik dan reumatoid artritis; serta pada
beberapa penyakit infeksi baik oleh bakteri, virus, protozoa maupun jamur. 8 Perbandingan .
antara monosit : limfosit mempunyai arti prognostik pada tuberkulosis. Pada keadaan normal
dan tuberkulosis inaktif, perbandingan antara jumlah monosit dengan limfosit lebih kecil atau
sama dengan 1 /3, tetapi pada tu- berkulosis aktif dan menyebar, perbandingan tersebut lebih
besar dari 1/3. 7 Netropenia.
Netropenia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil kurang dari 2500/µl darah.
Penyebab netropenia dapat dike- lompokkan atas 3 golongan yaitu meningkatnya
pemindahan netrofil dari peredaran darah, gangguan pembentukan netrofil dan yang terakhir
yang tidak diketahui penyebabnya. 8 Termas uk dalam golongan pertama misalnya umur
netrofil yang memendek karena drug induced. . Beberapa obat seperti aminopirin bekerja
sebagai hapten dan merangsang pembentukan antibodi terhadap leukosit.
Gangguan pembentukan dapat terjadi akibat radiasi atau obat-obatan seperti
kloramfenicol, obat anti tiroid dan fenotiasin; desakan dalam sum-sum tulang oleh tumor.
Netropenia yang tidak diketahui sebabnya misal pada infeksi seperti tifoid i infeksi virus,
18
protozoa dan rickettisa; cyclic neutropenia, dan chronic idiopathic neutropenia. 8 Limfopenia.
Pada orang dewasa l imfopenia terjadi bila jumlah limfosit kurang dari 1000/µl dan pada
anak-anak kurang dari 3000/ µl darah. Penyebab limfopenia adalah produksi limfosit yang
menurun seperti pada penyakit Hodgkin, sarkoidosis; penghancuran yang meningkat yang
dapat disebabkan oleh radiasi, korti- kosteroid dan obat-obat sitotoksis; dan kehilangan yang
me- ningkat seperti pada thoracic duct drainage dan protein losing enteropathy. 8
Eosinopenia dan lain-lain.
Eosinopenia terjadi bila jumlah eosinofil kurang dari 50/ µl darah. Hal ini dapat
dijumpai pada keadaan stress seperti syok, luka bakar, perdarahan dan infeksi berat; juga
dapat terjadi pada hiperfungsi koreks adrenal dan pengobatan dengan kortikosteroid. 7
Pemberian epinefrin akan menyebabkan penurunan jumlah eosinofil dan basofil, sedang
jumlah monosit akan menurun.
NEUTROPENIA
Neutropenia adalah jumlah neutrofil yang sangat sedikit dalam darah. Neutrofil
merupakan sistem pertahan seluler yang utama dalam tubuh untuk melawan bakteri dan
jamur. Neutrofil juga membantu penyembuhan luka dan memakan sisa-sisa benda asing.
Pematangan neutrofil dalam sumsum tulang memerlukan waktu selama 2 minggu. Setelah
memasuki aliran darah, neutrofil mengikuti sirkulasi selama kurang lebih 6 jam, mencari
organisme penyebab infeksi dan benda asing lainnya. Jika menemukannya, neutrofil akan
pindah ke dalam jaringan, menempelkan dirinya kepada benda asing tersebut dan
menghasilkan bahan racun yang membunuh dan mencerna benda asing tersebut. Reaksi ini
bisa merusak jaringan sehat di daerah terjadinya infeksi.
Keseluruhan proses ini menghasilkan respon peradangan di daerah yang terinfeksi,
yang tampak sebagai kemerahan, pembengkakan dan panas. Neutrofil biasanya merupakan
70% dari seluruh sel darah putih, sehingga penurunan jumlah sel darah putih biasanya juga
berarti penurunan dalam jumlah total neutrofil. Jika jumlah neutrofil mencapai kurang dari
1.000 sel/mikroL, kemungkinan terjadinya infeksi sedikit meningkat; jika jumlahnya
mencapai kurang dari 500 sel/mikroL, resiko terjadinya infeksi akan sangat meningkat.
Tanpa kunci pertahan neutrofil, seseorang bisa meninggal karena infeksi.
1. PENYEBAB
19
Neutropenia memiliki banyak penyebab. Penurunan jumlah neutrofil bisa disebabkan
karena berkurangnya pembentukan neutrofil di sumsum tulang atau karena penghancuran
sejumlah besar sel darah putih dalam sirkulasi. Anemia aplastik menyebabkan
neutropenia dan kekurangan jenis sel darah lainnya. Penyakit keturunan lainnya yang
jarang terjadi, seperti agranulositosis genetik infantil dan neutropenia familial, juga
menyebabkan berkurangnya jumla sel darah putih.
Pada neutropenia siklik (suatu penyakit yang jarang), jumlah neutrofil turun-naik
antara normal dan rendah setiap 21-28 hari; jumlah neutrofil bisa mendekati nol dan
kemudian secara spontan kembali ke normal setelah 3-4 hari. Pada saat jumlah
neutrofilnya sedikit, enderita penyakit ini cenderung mengalami infeksi. Beberapa
penderita kanker, tuberkulosis, mielofibrosis, kekurangan viatamin B12 dan kekurangan
asam folat mengalami neutropenia.
LEUKIMIA
1. Pengertian
Leukemia atau kanker darah adalah sekelompok penyakit neoplastik yang beragam,
ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel
pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum
tulang digantikan oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum
dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi
hematopoiesis atau proses pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita.
Kata leukemia berarti darah putih, karena pada penderita ditemukan banyak sel darah putih
sebelum diberi terapi. Sel darah putih yang tampak banyak merupakan sel yang muda,
misalnya promielosit. Jumlah yang semakin meninggi ini dapat mengganggu fungsi
normal dari sel lainnya
2. Klasifikasi
- Perjalanan alamiah penyakit: akut dan kronis
Leukemia akut ditandai dengan suatu perjalanan penyakit yang sangat cepat,
mematikan, dan memburuk. Apabila tidak diobati segera, maka penderita dapat
meninggal dalam hitungan minggu hingga hari. Sedangkan leukemia kronis memiliki
perjalanan penyakit yang tidak begitu cepat sehingga memiliki harapan hidup yang
lebih lama, hingga lebih dari 1 tahun bahkan ada yang mencapai 5 tahun.
20
- Tipe sel predominan yang terlibat: limfoid dan mieloid
Kemudian, penyakit diklasifikasikan dengan jenis sel yang ditemukan pada sediaan
darah tepi. Ketika leukemia mempengaruhi limfosit atau sel limfoid, maka disebut
leukemia limfositik. Ketika leukemia mempengaruhi sel mieloid seperti neutrofil,
basofil, dan eosinofil, maka disebut leukemia mielositik.
- Jumlah leukosit dalam darah
a. Leukemia leukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah lebih dari normal,
terdapat sel-sel abnormal
b. Leukemia subleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang dari
normal, terdapat sel-sel abnormal
c. Leukemia aleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang dari normal,
tidak terdapat sel-sel abnormal
- Prevalensi empat tipe utama
Dengan mengombinasikan dua klasifikasi pertama, maka leukemia dapat dibagi
menjadi:
a. Leukemia limfositik akut (LLA) merupakan tipe leukemia paling sering terjadi
pada anak-anak. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang terutama telah
berumur 65 tahun atau lebih.
b. Leukemia mielositik akut (LMA) lebih sering terjadi pada dewasa daripada anak-
anak.Tipe ini dahulunya disebut leukemia nonlimfositik akut.
c. Leukemia limfositik kronis (LLK) sering diderita oleh orang dewasa yang
berumur lebih dari 55 tahun. Kadang-kadang juga diderita oleh dewasa muda,
dan hampir tidak ada pada anak-anak.
d. Leukemia mielositik kronis (LMK) sering terjadi pada orang dewasa. Dapat juga
terjadi pada anak-anak, namun sangat sedikit. Tipe yang sering diderita orang
dewasa adalah LMA dan LLK, sedangkan LLA sering terjadi pada anak-anak.
3. Patogenesis
Leukemia akut dan kronis merupakan suatu bentuk keganasan atau maligna yang muncul
dari perbanyakan klonal sel-sel pembentuk sel darah yang tidak terkontrol. Mekanisme
kontrol seluler normal mungkin tidak bekerja dengan baik akibat adanya perubahan pada
kode genetik yang seharusnya bertanggung jawab atas pengaturan pertubuhan sel dan
21
diferensiasi. Sel-sel leukemia menjalani waktu daur ulang yang lebih lambat
dibandingkan sel normal. Proses pematangan atau maturasi berjalan tidak lengkap dan
lanbar dan bertahan hidup lebih lama dibandingkan sel sejenis yang normal.
4. Etiologi
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti:
- Radiasi
Radiasi dapat meningkatkan frekuensi LMA dan LMA. Tidak ada laporan mengenai
hubungan antara radiasi dengan LLK. Beberapa laporan yang mendukung:
a. Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia
b. Penderita dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia
c. Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima dan
Nagasaki, Jepang
- Faktor leukemogenik
Terdapat beberapa zat kimia yang telah diidentifikasi dapat mempengaruhi frekuensi
leukemia:
a. Racun lingkungan seperti benzena
b. Bahan kimia industri seperti insektisida
c. Obat untuk kemoterapi
5. Epidemiologi
- Leukimia merupakan keganasan yang sering dijumpai tetapi hanya sebagian kecil dari
kanker secara keseluruhan. Beberapa data epidemiologi yang terkumpul menunjukkan
hal-hal berikut:
1. insiden
Insiden leukemia di Negara Barat adalah 13/100.000 penduduk/tahun. Leukimia
merupakan 2,8% dari seluruh kasus kanker. Belum ada angka pasti mengenai
insiden leukemia di Indonesia.
2. Frekuensi relatif
Frekuensi relatif leukemia di Negara Barat menurut Gunz:
Leukimia akut : 60%
CCL : 25%
CML : 15%
- Di Afrika, 10-20% penderita LMA memiliki kloroma di sekitar orbita mata
22
- Di Kenya, Tiongkok, dan India, LMK mengenai penderita berumur 20-40 tahun
- Pada orang Asia Timur dan India Timur jarang ditemui LLK.
6. Herediter
Penderita sindrom Down memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar dari orang
normal.
7. Virus
Virus dapat menyebabkan leukemia seperti retrovirus, virus leukemia feline, HTLV-1
pada dewasa.
8. Leukemia akut
Manifestasi klinik
Manifestasi leukemia akut merupakan akibat dari komplikasi yang terjadi pada neoplasma
hematopoetik secara umum. Namun setiap leukemia akut memiliki ciri khasnya masing-
masing. Secara garis besar, leukemia akut memiliki 3 tanda utama yaitu:
Jumlah sel di perifer yang sangat tinggi, sehingga menyebabkan terjadinya
infiltrasi jaringan atau leukostasis.
Penggantian elemen sumsum tulang normal yang dapat menghasilkan komplikasi
sebagai akibat dari anemia, trombositopenia, dan leukopenia.
Pengeluaran faktor faali yang mengakibatkan komplikasi yang signifikan.
9. Alat diagnosa
Leukemia akut dapat didiagnosa melalui beberapa alat, seperti:
Pemeriksaan morfologi: darah tepi, aspirasi sumsum tulang, biopsi sumsum
tulang.
Pewarnaan sitokimia.
Immunofenotipe.
Sitogenetika.
Leukemia Limfositik Akut
Lymphoblastic akut leukemia (ALL), adalah suatu bentuk leukemia, atau kanker sel
darah putih yang ditandai oleh kelebihan lymphoblasts ganas, belum matang sel darah putih
terus bertambah banyak dan overproduced di sumsum tulang. Semua menyebabkan
23
kerusakan dan kematian oleh crowding out sel-sel normal di sumsum tulang, dan dengan
menyebarkan (menyebar) ke organ lain. Semua paling sering terjadi pada masa kanak-kanak
dengan puncak insidensi pada usia 2-5 tahun, dan satu lagi puncaknya pada usia tua.
Keseluruhan angka kesembuhan pada anak-anak adalah 85%, dan sekitar 50% dari orang
dewasa memiliki penyakit jangka panjang-free survival.
Leukemia limfositik akut (LLA) merupakan kanker yang paling sering menyerang anak-anak
di bawah umur 15 tahun, dengan puncak insiden antara umur 3-4 tahun. Namun 20% insiden
terjadi pada orang dewasa yang menderita leukemia akut. Manifestasinya berupa proliferasi
limfoblas abnormal dalam sumsum tulang dan tempat-tempat ekstramedular.
Diagnosis ditegakkan melalui hitung sel darah lengkap, diferensiasi, hitung trombosit, dan
pemeriksaan sumsum tulang.
Manifestasi klinik menyerupai leukemia granulositik akut, dengan tanda dan gejala dikaitkan
dengan penekanan sumsum tulang normal. Karena itu, infeksi, perdarahan, dan anemia
merupakan manifestasi utama.
Awitan biasanya mendadak disertai perkembangan dan kematian yang cepat jika tidak
diobati. Angka harapan hidup yang membaik dengan pengobatan. Pengobatan menggunakan
kombinasi vinkristin, prednison, L-asparaginase, siklofosfamid, dan antrasiklin seperti
daunosubisin.
Leukemia Granulositik Kronik
Leukemia granulositik kronik atau leukemia mielositik kronik menerangkan 15% leukemia,
paling sering terlihat pada orang dewasa usia pertengahan, tetapi dapat juga timbul pada
setiap kelompok umur.
Tanda dan gejala berkaitan dengan keadaan hipermetabolik, kelelahan, penurunan berat
badan, diaforesis meningkat, dan tidak tahan panas. Tujuan pengobatan adalah mengurangi
kromosom Philadelphia yang terbentuk akibat tranlokasi gen ke 22. Gen ini dianhap
mencentuskan pertumbuhan sel leukemik yang tak terkontrol.
Pengobatan saat ini dengan kemoterapi intermiten, mengunakan hidroksiurea dan alfa
interferon. Uji klinis menggunakan homoherringtoninene, suatu alkaloid tanaman, dan sitosin
arabinosid, telah terbukti efektif pada lebih dari 65% pasien. Sebagian besar pengobatan
menyebabkan supresi hematopoiesis dan pengurangan ukuran lien.
24
Meskipun morbiditas dan mortalitas tetap tinggi selama transplantasi, transplantasi sel induk
alogenik harus dipikirkan untuk semua pasien muda dengan donor tak terkait atau saudara
kandung identik-HLA.
Obat oral baru, inhibitor tirosin kinase, telah diuji klinis dengan pasien pada fase agresif
penyakitnya. Dengan semua pengnbatan baru, uji waktu akan memeriksa pencapaian harapan
hidup dan penyembuhan hidup jangka panjang yang diantisifasi.
Leukemia Limfosit Kronik
Leukemia limfositik kronik merupakan suatu gangguan limfoproliferatif yang ditemukan
pada orang tua, umur median 60 tahun, dengan perbandingan 2:1 untuk laki-laki.
Manifestasinya oleh proliferasi dan akumulasi 30% limfosit matang abnormal kecil dalam
sumsum tulang, darah perifer, dan tempat-tempat ekstramedular.
Awitannya tersembunyi dan berbahaya dan sering ditemukan pada pemeriksaan darah rutin
yang memperlihatkan jumlah limfosit absolut atau karena limfadenopati dan splenomegali
yang tidak sakit. Waktu penyakit berkembang hati juga membesar.
Sekitar 5 sampai 10% pasien mengalami anemia hemolitik autoimun atau trombositopenia
atau keduanya, memerlukan intervensi dengan steroid atau agen kemoterapi atau keduanya.
Tanda dan gejala yang serupa dengan LGK menggambarkan keadaan hipermetabolik.
Pembesaran organ secara masif menyebabkan tekanan mekanik pada lambung sehingga
menimbulkan gejala cepat kenyang, rasa tidak enak pada abdomen, dan buang air besar tidak
teratur.
Pneumonia sering terjadi. Pengobatan komplikasi ini memerlukan antibiotik intravena dan
agen antiviral yang tepat. Agen ini kadang juga dipelukan untuk profilaksis selama hidup
pasien. Profilaksis imunoglobulin intravena setiap bulan juga diindikasikan pada pasien
dengan episode infeksi yang sering yang perlu dirawat inap.
Leukemia Sel Berrambut
Leukemia sel berambut relatif jarang terjadi. Leukemia limfositik sel B indolen. Nama
mengidentifikasi projeksi mikroskop seperti gelondong pada limfosit pada apusan darah dan
sumsum tulang yang diwarnai.
Gejala dan tanda yang tampak adalah kelelahan, pansitopenia, splenomegali. Meskipun kedua
jenis kelamin dapat diserang, leukemia sel berambut secara umum terjadi pada laki-laki usia
pertengahan dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan 5:1. Antigen CD11 dan CD22
25
ditunjukkan pada limfosit. Pengobatan pilihan terdiri dari 7 hari imfus komtinu dengan
cladribin yang menyebabkan lebih dari 80% remisi, sering berlangsung lebih dari 10 tahun.
Limfoma
Limfoma merupakan keganasan sistem limfatik. Penyebab tidak diketahui, tetapi faktor risiko
yang diidentifikasi mencakup keadaan imunodefisiensi, serta pajanan dengan herbisida,
pestisida, dan pelarut organik seperti benzena. Peningkatan insiden AIDS dihubungkan
dengan limfoma derajat tinggi yang menunjukkan imunosupresi sebagai faktor penyebab.
Pembentukkan tumor awal adalah pada jaringan limfatik sekunder tempat limfosit abnormal
menggantikan struktur normal.
Salah satu determinan utama pengobatan, serta prognosis, adalah stadium klinis pasien pada
waktu diagnosis dibuat. Setelah diagnosis jaringan ditegakkan, harus dilakukan prosedur
penentuan stadium. Prosedur ini sering mencakup berikut ini:
1. Anamnesis kengkap yang mencakup pajanan infeksi, demam, keringat malam, berat
badan turun dalam kurang 6 bulan.
2. Pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada sistem limfatik
3. Hitung sel darah rutin, pemeriksaan diferensiasi, dan hitung trombosit
4. Pemeriksaan kimiawi darah
5. Pembuatan radiogram dada
6. CT scan, MRI dada, abdomen dan pelvis
7. Scan tulang
8. Scan gallium
9. Biopsi dan aspirasi sumsum tulang pada penyakit stadium III dan IV
10. Evaluasi sitogenetik dan sitometri aliran
Penyakit Hodgkin
Penyakit hodgkin adalah limfoma yang terutama ditemukan pada orang dewasa muda antara
umur 18 dan 35 tahun dan pada orang diatas umur 50 tahun. Penyebab sampai saat ini tidak
diketahui tetapi mungkin kulmhnasi untuk membedakan proses patologi, seperti infeksi virus,
pajanan lingkungan, dan respon pejamu yang secara genetis telah ditentukan. Perbandingan
laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 2.
26
Limfoma Hodgkin, juga diketahui sebagai penyakit Hodgkin, adalah tipe limfoma yang
pertama kali dideskripsikan oleh Thomas Hodgkin tahun 1832. Secara klinis, Limfoma
Hodgkin dikarakterisasikan dengan penyebaran penyakit melalui satu grup nodus limfa
menuju lainnya dan dengan perkembangan gejala B dengan penyakit yang sudah jauh
berkembang. Secara pathologi, penyakit ini dikarakterisasikan oleh kehadiran sel Reed-
Sternberg. Limfoma Hodgkin adalah salah satu dari kanker pertama yang dapat disembuhkan
oleh radiasi. Nantinya limfoma Hodgkin merupakan salah satu yang pertama kalinya dapat
disebuhkan oleh kombinasi kemoterapi. Rata penyembuhan sekitar 93%, membuat penyakit
ini sebagai salah satu kanker yang paling dapat disembuhkan.
Klasifikasi Limfoma adalah sebagai berikut.:
A. Limfoma Hodgkin predominan limfosit nodular, membawa risiko transformasi menjadi
limfoma non hodgkin.
B. Limfoma hodgkin klasik
1. Limfoma hodgkin sklerosis nodular
2. Limfoma hodgkin klasik kaya limfosit
3. Limfoma hodgkin selularitas campuran
4. Limfoma hodgkin kurang limfosit
Jenis histologi yang paling sering adalah sklerosis nodular. Kegunaannya
berhubungan dengan distribusi penyakit.
Manifestasi klinis bervariasi. Pasien yang lebih muda umumnya menunjukkan
kelenjar getah bening yan membesar, teraba seperti karet, tidak nyeri tekan di cwah
pada area servikal atau supraklavikular atau mengalami batuk kering dan nafas
pendek akibat limfadenopati hilar.
Cara penyebaran umum adalah menyerang dari tepat-tempat yang berdekatan. Kira-
kira 25% pasidn memiliki gejala demam persisten yang tidak diketahui penyebabnya
atau kerhngat malam hari. Penentuan stadium klinis dan patologis yang teliti disertai
pengnbatan yang tepat dapat memperbaiki prognosis penyakit Hodgkin.
Limfoma derajat rendah bersifat indolen tetapi sering diseminata pada waktu
diagnosis. Terkenanya sumsum tulang sering terjadi.
27
Limfoma non Hodgkin
Umur median pasien limfoma non Hodgkin adalah 5o tahun. Klasifikasinya berada dalam
keadaan transisi, didasarkan pada sitologi dan susunan arsitektur limfosit maligna dalam
kelenjar limfe. Klasifikasi ini membagi limfoma menurut jenis nodular dan jenis difus,
dimana pada jenis difur tidak terjadi agregasi. Kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang
imunologi dan fisiologi limfosit, seperti membedakan limfosit sebagai sel B atau sel T,
memberikan klasifikasi yang lebih pasti dari limfoma non Hodgkin seperti yang tercermin
dalam klasifikasi oleh Lukes dan Collins.
Pasien mungkin tidak memerlukan pengobatan kecuali jika mereka simtomatik. Pengobatan
dan hasil bergantung pada usia, status perfoma mereka, ada atau tidak adanya gejala,
penenvan stadium, dan histologi. Seseorang dengan limfoma derajat rendah, jaringah limfoid
terkait mukosa MALT, yang berbatasan dengan lambung, dianggap terkait dengan infeksi
Helicobacteq pylori dan memberi respons pada aktibiotik. Bila pengobatan diindikasikan
untuk limf6a derajat rendah gunakan agan pengalkil seperti klorambulsil sebagai agen
tunggal,atau kombinasi kemoterapi dengan siklofosfamid, vinkristin, dan prednisom.
Limf6a Burkit dan imunoblastik merupakan limfoma derajat tinggi dan mempunyai
kecenderungan mengenai SSP. Ini jug meruakan daerah yang sering terkena pada pashen
relaps dengan penyakit stadium IV Bersama daerah lain yang sebelumnya terkena. Pasien ini
memerlukan kemoterapi multiobat yang agresif, mencakup kemoterapi intratekal.
Meskipun limfoma derajat sedang dan tinggi sangat agresif dan fatal tanpa pengobatan,
liofoma ini berespons terhadap kemoterapi dan berpotensi untuk sembuh. Pengobatan standar
yang membandingkan kombinasi adalah CHOP, cyclophosphamif, Andriamycin, vincristine,
dan prednison. Antibodi mooklonal juga dipelajari untuk penggunaan potensialnya pada
limfoma. Agen kemoterapi yang umum digunakan pada keganasan hematologi.
Sering didapatkan menyerang lambung dan usus halus, keadbn ini ditandai dengan gejala
yang mirip dengan gejala ulkus peptikum, anore
Diskrasia sel plasma
Diskrasia sel plasma merupakan sekelompok gangguan yang bermanifestasi proliferasi sel
plasma dalam sumsum tulang atau darah tepi atau keduanya. Sel plasma berasa dari limfosit
B dan secara normal berperan dalam sintesis lima golongan utama imunoglobulin, IgA, IgD,
IgE, IgG, IgM. Pada diskrasia sel plasma, sel plasma mensintesis dan menyekresi
28
imunoglobulin yang secara struktural homogen, disebut komponen M. Protein ini ditemukan
dalam serum atau urine pasien yang terserang.
GAMMOPATI POLIKLONAL
- Gammopati poliklonal terjadi akibat ekspansi bbrp klon sel B yang berbeda, yg msg-msg
memproduksi imuno globulin yg berbeda.
- Gammopati poliklonal srg timbul pd kondisi inflamasi kronis spt :
1. Infeksi kronis :
a. Tbc,
b. Hepatitis kronis,
c. Osteomielitis,
d. Endokarditis bakterialis.
2. Gangguan autoimun :
a. Artritides inflamatori,
b. Vaskulitides,
c. Gangguan rematologik lain.
d. Elektroforesis serum mempelihatkan peningkatan diffus globulin gamma
(imunoglobulin) tanpa danya klonoti- pik atau paraprotein monoklonal.
GAMMOPATI MONOKLONAL
- Gammopati monoklonal mencermnakn ekspansi dari klon sel B tunggal.
- Setiap sel neoplastik akan mensekresikan imunoglobu-lin yang identik.
- Seklai klone mengekspansi hingga ke kadar 108-9 sel maka produk imunoglobulin
klonotipik dpt dideteksi dgn serum imunoelektroforesis.
- Usaha hrs dilakukan utk mengetahui gammopati mono klonal kecuali pd kasus dgn usia sgt
lanjut atau dgn komorbid yg mengancam hdp.
- Lbh dr setengah kasus gammopati monoklonal berupa kelainan yg indolen, biasanya
asimtomatik, dikenal sbg monoclonal gammopathy of unknown significance (MGUS).
- Hampir sepertiga penderita dgn gammopati monoklonal memp mieloma pd evaluasi awal
29
dgn sebag besarnya mengalami keganasan limfoid.
- Terdpt sebag bsr kumpulan penyakit yg disertai gammopati monoklonal spt :
1. Gangguan inflamasi,
2. Penyakit infeksius,
3. Gangguan dermatologik,
4. Idiopatik.
- Pesan harus ditanyakan tentang :
1. Riwayat demam, - Keringat malam,
2. Nyeri tulang, - BB turun,
3. Kelelahan, - Malaise.
- Pemeriksaan fisik hrs menyingkirkan adanya,
- Purpura, - Adenopati,
- Area nyeri tulang, - Splenomegali,
- Hepatomegali, - Massa pd kranium.
- Penderita dgn MGUS umumnya memp protein mono klonal (IgG < 3,0 g/dl, IgM < 500
mg/dl dan IgA < 1 mg/dl) dan tdk ada hipogammagloblinemi. Pemeriksaan radilolgis krg
membantu.
- Sebag kecil psn memp gjl klinis limfositosis tiba-tiba, kdg dgn limfadenopati, shg dicurigai
leukemia limfosi tik krnik.
- Bbrp psn lain dgn limfadenopati yg menyolok, atau dgn gejala B, sesuai dgn limfoma non
Hodgkin.
- Utk diagnosis kdg diperluakn hapusan drh tepi, biopsi sum-sum tlg, atau biopsi kel limfe.
- Pesan dicurigai mieloma jk :
1. Infeksi sinopulmoner rekurens,
2. Nyeri tulang,
3. Poliuria,
30
4. Hiperkalsemia, atau
5. Anemia.
- Psn dicurigai Makroglobulinemia Waldenstrom jk:
1. Memar,
2. Perdarahan,
3. Bingung,
4. Somnolent yg progresif,
5. Hepatosplenomegali,
6. Protein monoklonal IgM meninggi.
Kelainan yang disertai gammopati monoclonal
A. Kelainan paling umum
1. Monoclonal gammopathy of unknown significance (MGUS).
2. Mieloma multiple.
3. Leukemia limfositik kronik.
4. Limfoma non Hodgkin
B.Kelainan tidak umum
a. Kelainan sel plasma
1. Makroglobluinemia Waldenstrom.
2. Plasmasitoma osseus soliter.
3. Plasmasitoma ekstramedular.
4. Amiloidosis.
5. Heavy chain disease.
b. Kelainan inflamasi
31
1. Mixed cryoglobulinemia.
2. Sindroma Sjogren.
3. Cold agglutinin disease
c. Kelainan lain (jarang)
1. Lichen myxedematosus.
2. Pyoderma gangrenosum.
3. Sezary syndrome.
4. Erotema elevatum diutinum.
5. Diffuse plane xanthomatosis.
6. AIDS.
MGUS (MONOCLONAL GAMMOPATHY OF UNKNOWN SIGNIFICANCE)
- Dulu dikenal sbg benign monoclonal gammopathy.
- Umumnya asimtomatik atau sekurangnya tdk memp gjl yg berhub lsg dgn diskrasi sel
plasma mereka.
- Frekuensi sama antara laki-laki dan perempuan.
- Insidens terkait usia dan meningkat cepat setelah dekade kelima kehidupan.
- Tdk ada tanda-tanda :
1. Hipekalsemia,
2. Lesi litik tulang,
3. Gagal ginjal,
4. Anemia, atau
5. Hipogammaglobulinemia
- Kdr protein monoklonal biasnaya lbh rendah dr mieloma.
32
- Biopsi sum-sum tlg biasanya normal dan pd semua kasus sel plasma kg dr 10%.
- 30-40% psn MGUS akan berkembang menjd keganasan hematologi dalam 30 thn.
- Psn dgn MGUS memp resiko plg tinggi utk berkembang menjd mieloma multipel tp dpt
juga menjd makroglobulin emia Waldenstrom, amiloidosis, leukemia limfositik kronik
(CLL), dan limfoma non Hodgkin.
- Pasien dgn peningkatan kdr Ig monoklonal (>0,5 mg/dl/thn) hrs di re-evaluasi utk mieloma.
- Psn dgn gammopati monoklonal IgM memp resiko 15-20% berkembang jd
makroglobulinemia Waldenstrom dalam 20 thn.
- 15% dr populasi ini akan bekrembang jd CLL, limfoma, atau amiloidosis dlm peridoe yg
sama.
- Tdk ada terapi yg efektif dlm prefensi progresivitas MGUS.
- Paparan jgk pjg terapi alkylating dikontraindikasikan krn leukomogenic.
KRITERIA UNTUK MIELOMA MULTIPEL DAN MGUS
MGUS
I. Gammopati monoklonal.
II. Komponen M. IgG < 3,5 g/dl IgA< 1,0 g/dl
III. Sel plasma sum-sum tlg <10%.
IV. Tdk ada lesi litik tlg.
V. Tdk ada gjl yg konsisten dgn mieloma.
MIELOMA MULTIPEL
Kriteria mayor
I. Plasmasitoma pada biopsi jaringan.
II. Sel plasma pd sum-sum tlg >30%.
III. Gammopati monoclonal
33
IgG > 3,5 g/dl
IgA > 2,0 g/dl Bence-Jones > 1,0 g/24 jam urin tamping
IV. Kriteria minorI. Sel plasma sum-sum tlg 10-30%.
II. Gammopati monoklonal, tp krg dr kdr kriteria mayor.
III. Lesi-lesi litik tlg.
IV. HipogammaglobulinemiaIgM < 50 mg/dlIgA < 100 mg/dlIgG < 600 mg/dl
Diagnosis
Dikonfirmasi bl sekurangnya 1 kriteria mayor atau 1 kriteria minor ada, atau, alternatif lain, 3
kriteria mnor, termsk I dan II. Peningkatran kadar globulin abnormal menyebabkan
peningkatan viskositas serum disertai gangguan penglihatan, sakit kepala, mengantuk, mudah
marah dan kebingungan. Pengembangan volume plasma dan infiltrasi amiloid dapat
mengakibatkan gagal jantung kongestif. Sel-sel darah merah berlapiskan proteinyang saling
melekat seperti tumpukan mata uang ( rouleaux). Terjadi manifestasi perdarahankarena
protein mengadakan interaksi dengan factor koagulasi plasma dan mengganggu fungsi
trombosit. Salah satu dari globulin itu (krioglobulin) mengendap pada suhu dingin,
menyebabkan pucat, rasa sakit, dan timbulnya tukak pada ujung jari tangan dan kaki
(fenomena Raynaud0. Juga terdapat anemia normositik normokrom. Menunjukan sediaan
apus darah tepi pada myeloma multiple yang menggambarkan keganasaan sel plasma.
Nyeri tulang hebat yang mengakibatkan pasien cacat, trauma di daerah yang
menanggung berat badan, terjadi akibat destruksi tulang dan fraktur patologis. Gerakan
sederhana seperti membalikan badan ditempat tidur, batuk atau bersin dapat mengakibatkan
fraktur lengan dan tulang iga. Faraktur kompresi pada vertebra thoracica dan lumbalis
mengakibatkan tinggi badan berkurang. Karena destruksi tulang ini, kalsium dimobilisasi,
sehingga menyebabkan hiperkalsemia ( kadar kalsium dalam darah meningkat). Gejala
menyangkut kebingungan mental, muntah, konstipasi, polidipsi, dan poliuri. Gejala
neurologis berkisar dari neuropati perifer sampai penekanan ,odula spinalis. Yang terakhir ini
merupakan keadaan darurat medic, dan bila tidak dilakukan segera dengan radioterapi
34
dan/atau kemoterapi pasien akan menjadi lumpuh. Pasien-pasien ini mungkin menunjukan
gejala gagal ginjal, anoreksia, kebingungan dan koma. Jika gagal ginjal tidak diobati dapat
terjadi kematian. Selain hiperkalsemia, gagal ginjal juga dapat diakibatkan oleh protein
myeloma (yang disebut protein Bence Jones) yang merusak tubulus ginjal. Kadar asam urat
tinggi yang disebabkan peningkatan pergantian sel plasma juga dapat mengakibatkan gagal
ginjal. Hal ini mungkin diakibatkan oleh penyakit primer atau mungkin akibat kemoterapi.
Dehidrasi dapat mempercepat gagal ginjal yang sebenarnya.
Pasien mieloma multiple dengan massa tumor besar yang baru ditegakan
diagnosisnya, memiliki kadar hemoglobin dibawah 8,5 g, hiperklasemia dan Ig G serum
diatas 7 g atau Ig A di atas 5 g, dan gagal ginjal menunjukan prognosis buruk, sedangkan
mereka dengan massa tumor kecil mempunyai harapan hidup rata-rata 5 samapi 6 tahun.
Respons terhadap terapi juga merupakan indicator prognosis yang baik.
Pengobatan ditunjukan untuk mengurangi beban tumor (sel plasma ganas dan
imunoglobulin), mencegah dan mengontrol komplikasi (missal, infeksi, anemia,
hiperkalsemia, fraktur patologi), serta menangani nyeri. Tujuan pengobatan mempertahankan
mobilitas sebanyak mungkin. Pasien dengan penyakit indolen harus dimonitor secara regular
dan pengobata dimulai bila terdapat tanda progresi dan mencakup monitoring untuk
peningkatan sel plasma, peningkatan imunoglobulin, hiperkalsemia, anemia, dan penambahan
gejala, seperti nyeri, fraktur, atau perubahan neurologi. Terapi lini pertama terdiri dari
prednisone dan melfalan (Alkeran). Regimen ini diberikan secara intermiten setiap 4 sampai
6 minggu selama 12 bulan.jika mendapat remisi, maka remisi. Maka pasien harus dimonitor
tanpa terapi yang terus menerus, selain infuse bulanan salah satu bifosfonat. Jika pasien tidak
lagi berespons atau memperlihatkan progresi, maka kombinasi banyak obat menggunakan 3
sampai 5 agen dapat diberikan, yang mencakup berbagai kombinasi seperti carmustine
(BCNU), vinkristin, melfalan, siklosfamid,, prednison atau Adriamycin, vinkristin, dan
deksametason (Anderson dkk, 1998). Thalidomide, obat antiangiogenik baru, dianggap
mencegah vaskularisasi baru yang diperlukan untuk harapan hidup tumor (Goldman, Bennet,
2001). Sekitar 50% pasien akan menunjukan pengecilan tumor yang bermakna. Transplantasi
sel induk autolog digunakan pada beberapa kasus untuk remisi jangka panjang.
Lesi tulang lokalisata yang nyeri atau massa tumor lain diobati dengan terapi radiasi.
Karena immobilitas yang tinggi. Penggunaan analgetik yang bijaksana, pakaian yang
menunjang, dan alat bantu berjalan akan bermanfaat. Tindakan freventif lain seperti
35
pengawasan terhadap hidrasi dan control infeksi serta pendarahan, akan membatasi timbulnya
banyak komplikasi. Bifosfonat (Aredia) digunakan setiap bulan sebagai infuse intravena
untuk meminimalkan hilangnya tulang, mengobati hiperkalsemia, dapat diberikan untuk
menghindari infeksi rekuren. Injeksi eritropoietin digunakan pada pasien dengan anemia,
terutama bila mengalami insufisiensi ginjal (Anderson dkk, 1998). Obat-obat yang secara
kebalikan dapat mempengaruhi fungsi ginjal, seperti obat nyeri nonsteroid dan kontras
pencitraan, harus dihindari.
Makroglobulinemia Waldenstrom
Makroglobulinemia Waldenstrom adalah diskrasia sel plasma yang kurang sering
terjadi yang terutama menyerang laki-laki berusia lebih dari 50 tahun. Secara morfologis
makroglobulinemia Waldenstrom menyerupai limfoma ganas dengan limfosfit B, set plasma,
dan limfosfit plasmastoid (mirip dengan plasmasit), yang menginflitrasi sumsum tulang,
dengan berkembangnya penyakt, gambaran kliniks asalah gambaran limforma atau leukemia
limfosfit kronik. Sering dijumpai keterlibatan jaringan hati, lien, dan jaringan limfolid
lainnya, yang menyebabkan pembesaran organ-organ ini. Sel ganas jarang menimbulkan
destruksi tulang tetapi mensistesis dan mengeluarkan banyak sekali lgM ke dalam ruang
intravascular. Ini menyebabkan peningkatan volume plasma dan hiperviskositas berat.
Immunoglobulin reatif tidak berfungsi tetapi dapat menekan pembentukan immunoglobulin
normal.
Kerja diagnostic mirip myeloma multiple tetapi mencakup viskositas serum, dan CT
scan dada, abdomen, dan panggul. Gambaran labolatorium mencakup peningkatan LED dan
pembentukan rouleaux (eritrosit menyerupai tumpukan koin pada apusan darah).
Pansitopania terjadi dengan berkembangnya penyakit. Volume darah dan viskositas serum
meningkat. Sumsum tulang sering merupakan “tetasan Kering” karena hiperselularitas. Sel
yang dominan adalah limfosit plasmasitoid. Sel ini juga ditemukan dalam kelenjar getah
bening dan lien. Elektroforesis protein serum menggambarkan puncak LgM (McDermott,
Bell, 1999).
Pasien dapat mengalami kelemahan menyeluruh, kelelahan, penurunan berat badan,
dan kecenderungan perdarahan selama bertahun-tahun sebelum diagnosis seuai
perkembangan penyakit (Foerster, 1999). Manifesatsi klinis utama berkaitan dengan sindrom
hiperviskotas, imunoglobulin plasama abnormal, dan infiltrasi susmsum tulang. Gejala
hiperviskositas mirip dengan gejala pada myeloma multiple. Gejala tersebut berupa
36
peningkatan nyata volume plasma, gangguan penglihatan, dan dilatasi segmental dari vena
retina disertai perdarahan. Penyakit agglutinin dingin (aglutinasi eritrosit pada suhu dingin)
disertai anemia hemolitik telah dikemukakan, karena fenomena Raynaud dan anemia akibat
penggantian sumsum tulang. Kecenderungan perdarahan, yang dikaitkan dengan pelapisan
trombosit dan gangguan factor pembekuan, juga ditemukan dan diperberat oleh
trombositopenia karena penggantian sumsum tulang. Mungkin ditemukan limfadenopati dan
splenomegali. Pasien mungkin mengalami memar, perdarahan selaput lender mulut, dan
perdarahan retina. Polineuropati juga dapat terjadi.
Pengobatan makroglobulenia Waldenstrom ditujukan pada pengurangan beban, IgM plasma
dan ilfiltrasi sumsum tulang serta jarigan limfoid. Karena IgM terutama adalah protein
intravascular dalam sirkulasi, plasmaferesis dapat digunakan secara efektif untuk
menurunkan globulin dan untuk sementara mengurangi gejala- gejala hiperfiskositas. Plasma
feresis adalah suatu proses membuang plasma dengan memakai alat pemisah sel dan diganti
oleh pengembang volume. Pada penderita anemia, pengobatan ini sebaiknya dilakukan
sebelum infuse eritrosit, karena sel-sel darah merah meningkatkan sindrom hiperfiskositas.
Kombinasi kemooterapi dengan agen pengalkil seperti cytoxan, bersama steroid, digunakan
setiap bulan. Analog urine ( antinetabolit ), Cladribine ( Leustatin, 2CdA) dan fludaradine
juga aktif pada gangguan ini (NCCN, 1998: Mcdermott, Dell, 1999). Radiasi digunakan
untuk mengurangi agregasi limfoid besar. Pencegahan, deteksi dini, dan pengobatan infeksi
yang cepat adalah suatu keharusan karena banyaknya insiden dan meningkatnya angka
kematian. Pasien asimtomatik dengan komponen M stabil dan tanpa hiperfiskositas atau
perubahan hematologi dapat hidup bertahun – tahun tanpa pengobatan. Setelah penyaakit
berkembang, bahkan denga pengobatan yang tepat, angka harapan hidup median hanya 4
tahun.
PENGOBATAN KEGANASAN HEMATOLOGI
Pengobatan utama untuk keganasan selama beberapa dekade adalah pembedahan,
kemoterapi, dan terapi radiasi. Tanda pada pengobatan pada keganasan hematologi adalah
pengobatan kemoterapeutik dan terapi radiasi. Saat ini, pengobatan utama keempat tersedia
terbatas tetapi penggunaannya meningkat dengan kemajuan dalam uji klinis. Kelompok
pengobatan ini dikenal sebagai Biological. Kelompok obat ini adalah zat alami yang diambil
dari sumber alami disintesis dalam laboratorium untuk menyerang target biologi tertentu
(finley, 2000). Contohnya mencakup antibody monoclonal, rituxan yang menargetkan
37
limfosit B dengan antigen permukaan sel CD20, dan Campath-1H, yang menargetkan
limfosit B dengan antigen permukaan sel CD 52. Beberapa obat seperti khalidomide,
mengganggu angiogenesis, pembentukan pembuluh darah baru dan karenanya menghambat
nutrient penting yang diperlukan untuk pertumbuhan tumor, dengan apoptosis resultan
(kematian sel terprogram) (goldman,bennett,2001:Finley,2000). Vaksin dan terapi gen yang
ditujukan untuk menghambat pembelahan sel juga masih dalam uji coba klinis
(mayers,1999). Modalitas ini telah digunakan secara bebas atau bersama agen kemoterapi.
Seperti zat alami, yang menjadi target, biological dianggap menjadi sel induk hematopoietic
dan oleh karena itu kurang toksik dan bersifat kuratif.
Regimen kemoterapi mutakhir terdiri dari satu agen atau banyak obat yang digunakan dalam
kombinasi, yang menyebabkan tingkat remisi lebih tertahan. Pada kasus penyakit Hodgkin
tertentu, limfoma dan leukemia akut, penyembuhan dapat dicapai. Pada penyakit lain seperti
nielomamultipal, kualitas hidup dan harapan hidp membaik.
Semua sel yang menjalani serangkaian pembelahan (litosis) dan stadium pematangan disebut
siklus sel. Selama fase litosis, terjadi replikasi kromososm, disusul oleh celah pertama atau
fase G 1 dengan sintesis RNA dan protein. Fase ini diikuti oleh fase S atau fase sintesis DNA
dan kemudian celah kedua atau fase G2 dengan mulai lagi sintesis RNA. Litosis terjadi lagi,
menghasilkan dua sel anak (Fischer, Knobf,1997).
Pad umumnya, regimen terapeutik yang dikembangkan mencakup obat – obat yang bekerja
pada berbagai stadium siklus sel. Agen – agen spesifik fase menghentikan atau mematikan sel
– sel yang sedang membelah selama fase tertentu dari siklus ini. Misalnya, Vinkristin
menghentikan pembelahan sel, dan sitaradin ( cytosar ) mengganggu sintesis DNA selama
fase S. obat – obat spesifik siklus seperti siklofosfamid (Cytoxan) mematikan sel – sel yang
sedang berproliferasi lebih efektif daripada sel – sel yang sedang istirahat, dan agen – agen
tidak spesifik siklus seperti mustard nitrogen dan karmustin (BCNU) mematikan baik sel
yang sedang berfoliferasi maupun sel yang sedang istirahat.
Obat – obat lebih lanjut digolongkan menurut cara obat ini bekerja. Agen pengalkil adalah zat
yang menggantikan radikal alkil (mulekul hidrokarbon yang kehilangan satu atom hydrogen)
untuk sebuah atom hydrogen sehingga menyebabkan hubungan silang untai DNA dan
pasangan dasar abnormal , menghambat replikasi DNA. Kategori ini terdiri atas mustard
nitrogen, cyclofosfamid, fenilalanin mustard, dan klorambusil (Fischer, knobf, 1997).
Antimetabolit, seperti metotreksat, sitosin aradinosid, dan enam merkaptopurin, mengganggu
38
sintesis biologi DNA dan RNA, dan dengan demikian mengganggu metabolism sel dengan
menghambat enzim – enzim pertumbuhan yang dibutuhkan ataupun benar –benar tergabung
ke dalam DNA atau RNA, atau keduanya.
Agen – agen antibiotika yang diisolasi dari mikroorganisme, tampak menghambat sintesi
DNA dan RNA. Doksorubisin hidroklorida (Adryamicin) dan Bleomycin hanya dua dari
banyak agen antibiotika antitumor. Produk alami – alkaloid vinka, vincristin dan vinblastin,
berasal dari tumbuhan periwinkle mengganggu pembentukan pilina litosis dan menghentikan
pembelahan sel pada stadium metaphase (Fischer, knobf, 1997).
Mitrosurat adalah agen pengalkil yang larut dalam lipid, menghambat sintesis asam nukleat
(DNA atau RNA atau keduanya). Obat – obat yang termasuk dalam kategori ini adalah
lomustin ( CCNU ) dan karmostin ( BCNU ).
Adrenokortikosteroid adalah pretarat hormon. Walaupun cara kerjanya yang tepat tidak jelas,
agen ini dapat mempengaruhi proses sintesis yang berkaitan dengan sintesis RNA dan
protein. Pregnison adalah salah satu obat yang paling sering digunakan pada keganasan
hematologis dan dapat ditemukan dalam banyak kombinasi.
Agen – agen kemoterapeutik yang sering digunakan disusun berdasarkan klasifikasinya.
Rekasi – reaksi yang tidak diinginkan dibagi menurut toksisitas akut atau kroni. Toksisitas
akut terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah pemberiannya: toksisitas
kroni timbul sesudah periode yang lebih lama dan umumnya merupakan efek kumulatif, atau
yang berkaitan dengan dosis.
KONSEP KUNCI
Pertahanan melawan infeksi merupakan peran leukosit SDT yang utama.
Lima jenis SDT yang diidentifikasi dalam darah tepi adalah (1) Neutrofil, (2)
Eosinofil, (3) Basofil, (4) Monosit, dan (5) Limfosit.
Beberapa CSF atau factor pertumbuhan hematofoietik telah diidentifikasi. CSS adalah
glikoprotein yang berasal dari sel, merupakan golongan regulator SDT yang lebih luas
yang disebut Sitokin.
Leukositosis adalah keadaan peningkatan jumlah leukosit yang secara umum melebihi
10000/mm3.
39
Granulositosis merupakan keadaan peningkatan granulosit tetapi, pada penggunaan
yang lazim menunjukkan hanya neutrofil yang meningkat: oleh karena itu, Neutrofilia
merupakan istilah yang lebih tepat.
Gangguan terjadinya peningkatan sel pembentukan darah disebut gangguan
nieloproliferatif.
Leukopenia merupakan keadaan dengan penurunan jumlah leukosit, dan neutropenia
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil yang absolute.
Agranulositosis merupakan keadaan serius yang ditandai dengan jumlah leukosit yang
sangat rendah dan dengan tidak adanya neutrofil.
Leukimia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi
sel induk hematopoietic yang mengalami transformasi yang ganas, menyebabkan
supresi dan penggantian elemen sumsum normal.
FAB adalah klasifikasi morfologi yang didasarkan pada diferensiasi dan maturasi sel
leukemik yang dominan pada sumsum tulang, serta pada studi sitokimia.
Kemajuan biologi molecular, sitogenetik, dan imunologi telah memiliki dampak yang
nyata dalam membedakan sel hematopoietic normal dengan klon maligna.
Teknologi imunologi menambah klasifikasi leukemia dengan mengidentifikasi klon
maligna sebagai mieolid, limfoid B, limfoid T, atau bifenotitik (mempunyai cirri khas
myeloid dan sel limfoid).
Kromosom Philadelphia (Ph) merupakan contoh perubahan sitogenetik pada 85%
pasien dengan leukemia myeloid kronik dan pada beberapa pasien dengan leukemia
limfoid atau nielositik akut.
Leukemia akut yang mempengaruhi rangkaian myeloid disebut LNLA, LMA, atau
leukemia granulositik akut.
LNLA merupakan 80% leukemia akut pada orang tua, dan diagnosis dibuat
berdasarkan gambaran darah tepi tetapi diuji melalui aspirasi dan biopsy sumsum
tulang.
Manifestasi klinis leukemia limfositik akut (LLA) menyerupai manifestaasi leukemia
granulositik akut, dengan tanda dan gejala terkait supresi unsur sumsum tulang
normal.
Awitan LLA biasanya mendadak dan secara cepat berkembang menjadi kematian
tanpa pengobatan, tetapi harapan hidup yang membaik dengan pengobatan sangat
dramatis ; 90% sampai 95% anak – anak mrncapai remisi penuh dan bahkan, 69%
dapat disembuhkan; 80% orang dewasa mencapai remisi lengkap.
40
Leukemia mielositik atau granulositik kronik (LGK atau LMK), menjelaskan 15%
leukemia, ditemukan paling sering pada dewasa usia pertengahan tetapi dapat terjadi
pada setiap kelompok usia.
Leukemia limfositik kronik (LLK) merupakan gangguan limfoproliferatif pada orang
tua (usia median 60 tahun) dengan donminasi laki – laki terhadap perempuan 2:1.
Limfoma digolongkan sebagai keganasan system limfatik
Pembentukan tumor awal pada limfoma adalah pada jaringa limfatik sekunder
(missal, kelenjar getah bening atau lien); pada jaringan ini limfosit abnormal
menggantikan struktur normal.
Dua kategori luas limfoma adalah penyakit Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin.
Meskipun tanda dan gejala limfoma tumpang tindih, pengobatan dan prognosis untuk
penyembuhan setiap jenis limfoma berbeda.
Myeloma multiple merupakan diskrasia sel plasma neoplastik yang berasal dari satu
klon (monoclonal) sel plasma matur dan imatur yang tak terkontrol pada sumsum
tulang.
Makroglubulinemia Waldenstrom adalah diskrasi sel plasdma yang kurang sering
yang terutama menyerang laki – laki yang berusia lebih dari 50 tahun.
GANGGUAN KOAGULASI
Proses koagulasi normal dan factor –faktor pembekuan plasma
Hemostasis dan koagulasi adalah serangkaian kompleks reaksi yang menyebabkan
pengendalian perdarahan melalui pembentukan trombosit dan pembekuan fibrin pada tempat
cedera. Pembekuan diikuti dengan resolusi atau lisis bekuan dan regenerasi endotel. Pada
keadaan horneostatik, hemostasis dan koagulasi melindungi individu dari perdarahan massif
akibat trauma. Pada keadaan abnormal, dapat terjadi perdarahan yang mengancam jiwa atau
trombosit yang menyumbat cabang-cabang pembuluh darah.
Pada saat cedera, ada 3 proses utama yang menyebabkan hemostasis dan koagulasi : (1)
Vasokonstriksi sementara: (2) reaksi trombosit yang terdiri atas adhesi, reaksi pelepasan dan
agregasi trombosit: serta (3) Aktifitas factor – factor pembekuan (kotak 19-1). Langkah –
langkah awal terjadi pada permukaan jaringan cedera yang terpajan, dan reaksi – reaksi
selanjutnya terjadi pada permukaan fosfolipid trombosit yang mengalami agregasi.
TROMBOSIT
41
Trombosit bukan merupakan sel, tetapi merupakan fragmen – fragmen sel granular,
berbentuk cakram, tidak berinti: trombosit ini merupakan unsure selular sumsum tulang
terkecil dan penting untuk honeostasis dan koagulasi. Trombosit berasal dari sel induk
pluripoten yang tidak terikat (non committed pluripotent stepcell), yang jika ada permintaan
dan dalam keadaan adanya factor perangsang trombosit (Mk-CSF [factor perangsang koloni
megakariosit]), interleukin dan PTO (factor pertumbuhan dan perkembangan megakariosit)
(bagley, Heinrich,2000), berdiferensiasi menjadi kelompok sel induk yang terikat (committed
stempcell pool) untuk membentuk megakarioblas. Sel ini, melalui serangkaian proses
maturasi menjadi megakariosit raksasa. Tidak seperti unsure sel lainnya, megariosit
mengalami endomitosis, terjadi pembelahan inti di dalam sel tetapi sel itu sendiri tidak
membelah. Sel dapat membesar karena sintesis DNA meningkat. Sitoplasma sel akhirnya
memisahkan diri menjadi trombosit – trombosit.
Trombosit berdiameter 1 – 4 µm dan memiliki siklus hidup kira – kira 10 hari. Kira – kira 1/3
berada di dalam lien sebagai sumber cadangan, dan sisanya berada di dalam sirkulasi,
berjumlah antara 150000 dan 400000/mm3. Jika apusan darah perifer terlihat biru muda
dengan granula berwarna merah ungu yang di absorpsi oleh membran trombosit adalah factor
V, VIII dan IX, protein kontraktil aktomiosin atau trombostenin dan berbagai protein serta
enzim lain. Granula mengandung serotonin vasokontriktor yang kuat, factor agregasi
adenosine difostat (ADP), fibrinogen, factor von wilebrand, factor – factor III dan IV
trombosit (factor penetralisir-heparin), dan kalsium serta enzim – enzim. Emua factor ini
dilepaskan dan diaktifkan akibat respon terhadap cedera.
FAKTOR – FAKTOR PEMBEKUAN
Factor – factor pembekuan, kecuali factor III (tromboplastin jaringan) dan factor IV (ion
kalsium), merupakan protein plasma yang berada dalam sirkulasi darah sebagai molekul
inaktif. Kotak 19-1 menunjukkan factor – factor koagulasi dengan menggunakan angka
romawi yang baku dan diterima secara internasional, memberikan sinonimnnya dan
meringkas fungsi – fungsinya. Prakalikrein dan kininogen dengan berat molekul – tinggi
(HMWK) bersama factor XII dan XI disebut factor – factor kontak dan diaktifasi pada saat
cedera dengan berkontak dengan permukaan jaringan: faktor – factor tersebut berperan dalam
pemecahan bekuan – bekuan pada saat terbentuk.
Aktivasi factor-faktor koagulasi diyakini terjadi karena enzim – enzim memecahkan fragmen
bentuk rekursor yang tidak akktif, oleh karena itu disebut prokoagulan. Tiap factor yang
42
diaktivasi, kecuali factor V, VIII, XIII dan I (fibrinogen), merupakan enzim pemecah protein
(Protease serin), yang mengaktivasi prokoagulan berikutnya.
Hati merupakan tempat sintesis semua factor koagulasi kecuali factor VIII dan mungkin
factor XI dan XIII. Vitamin K penting untuk sintesis factor – factor protrombin II, VII, IX,
dan X. bukti – bukti yang ada member kesan bahwa factor VIII benar – benar merupakan
molekul kompleks yang terdiri atas 3 subunit yang berbeda: (1) bagian prokoagulan, yang
mengandung factor anti hemophilia, VIII AHG, yahng tidak dijumpai pada pasien – pasien
hemophilia klasik: (2) subunit lain yang mengandung tempat antigenic: dan (3) factor von
willebrand, VIII VWF, yang diperlukan untuk adhesi trombosit pada dinding pembuluh darah
(Rslave, gabusda, 1985).
FASE – FASE KOAGULASI
Koagulasi diawali dalam keadaan homeostasis dengan adanya cedera vascular. Vasokontruksi
merupakan respon segera terhadap cedera yang diikuti dengan adhesi trombosit pada kolagen
pada dinding pembuluh yang terpajan dengan cedera. ADT dilepas oleh trombosit,
menyebabkan agregasi trombosit. Sejumlah kecil thrombin III merangsang agregasi
trombosit, bekerja memperkuat reaksi. Factor III trombosit dari membrane trombosit, juga
mempercepat pembekuan plasma. Dengan cara ini, terbentuklah sumbatan trombosit
kemudian segera diperkuat vilamentosa yang dikenal sebagai fibrin. Produksi fibrin dimulai
dengan perubahan factor X menjadi Xa, seiring dengan terbnetuknya bentuk aktiv suatu
factor. Factor X dapat diaktifasi melalui 2 rangkaina reaksi. Rangkaian pertama, memerlukan
factor jaringan, atau tromboplastin jaringan, yang dilepaskan oleh endotel pembuluh darah
pada saat cedera. Karena factor jaringan tidak terdapat di dalam darah maka fakor ini
merupakan factor ekstrinsik koagulasi, dengan demikian disebut jalur ekstrinsik untuk
rangakaian ini. Rangkaian lainnnya yang menyebabkan aktifasi factor X adalah jalur
intrinsic, disebut demikian karena rangkaian ini menggunakan factor – factor yang terdapat di
dalam system vascular plasma. Dalam rangkaian ini terjadi reaksi “cascade, aktifasi I
prokoagulan menyebabkan aktifasi bentuk pengganti. Jalur intrinsic diawali dengan plasma
yang keluar terpajan dengan kulit atau kolagen di dalam pembuluh darah yang rusak. Factor
jaringan tidak diperlukan tetapi trombosit yang melekat pada kolagen, sekali lagi berperan.
Faktor – factor XII, XI dan IX harus diaktifasi scara berurutan dan factor VIII harus
dilibatkan sebelum factor X dapat diaktifasi. Zat – zat prakalikrein dan HNWK juaga turut
berpartisipasi dan diperlukan ion kalsium.
43
Dari hal ini koagulasi terjadi di sepanjang apa yang dinamakan jalur bersama. Seperti yang
diperlihatkan oleh gambar , aktivitas factor X terjadi sebagai akibat reaksi jalur ekstrrinsik.
Pengalaman klinis menunjukan bahwa kedua jalur tersebut peran dlam hemostasis
(Handin,2001)
Langkah berikutnya pada pembekuan fibrin berlangsung jika factor Xa, dibantu oleh
fosfolipid dari trombosit yang diaktivasi, memecah protrombin, membentuk thrombin.
Selanjutnya thrombin memecahkan fibrinogen membentuk fibrin. ( sejumlah kecil thrombin
tampaknya dicadangkan untuk memperkuat agregasi trombosit.) fibtin ini, yang awalnya
merupakan jeli yang dapat larut, distabiolkan oleh factor XIIIa dan mengalami polimerisasi
menjadi jalinan fibrin yang kuat, trombosit dan merangkap sel-sel darah. Untaian fibrin
kemudian memendek (retraksi bekuan), mendekatkan tepi-tepi dinding pembuluh darah yang
cedera dan menutup daerah tersebut.
Penghentian Pembekuan Bekuan
Setelah pembentukan bekuan, sangat penting untuk melakukan pengakhiran pembekuan
darah lebih lanjut untuk menghindari kejadian trombotik yang tidak diinginkan yang
disebabkan oleh pembentkan bekuan sistemik yang berlebihan. Antikoagulan yang terjadi
secara alami meliputi antitrombin III (ko-faktor heparin), protein C dan protein S.
Antitrombin III bersirkulasi secara bebas di dalam plasma dan menghambat system
prokoagulan, dengan mengikat thrombin, serta mengaktivasi factor Xa, IXa, dan Xia,
menetralisasi aktivasinya dan menghambat pembekuan (Sacher, Mcpherson, 2001; Jenny,
Mann, 1998). Protein C, suatu polipeptida, juga merupakan antikoagulan fisiologik yang
dihasilkan oleh hati, dan beredar secara bebas dalam bentuk inaktif dan diaktivasi menjadi
protein Ca. protein C yang diaktivasi mengaktivasi protombin dan jalur intrinsic dengan
membelah dan menginaktivasi factor Va dan VIIIa. Protein S mempercepat inaktivasi factor-
faktor itu oleh protein C. trombomodulin, suatu zat yang dihasilkan oleh dinding pembuluh
darah, diperlukan untuk menimbulkan pengaruh netralisasi yang tercatat sebelumnya (Jenny,
Mann, 1998; Sacher, McPherson, 2001). Definisi protein C dan S menyebabkan episode
trombotik. Individu dengan factor V yang abnormal (factor V Leiden) cenderung untuk
mengalami trombosit vena, karena factor V Leiden resisten terhadap degradasi oleh ptotein C
yang diaktivasi (Linker, 2001).
Resolusi Bekuan
44
Sistem fibrinolitik merupakan rangkaian yang fibrinnya dipecahkan oleh plasmin (disebut
juga fibrinolisin) menjadi produk-produkdegradasi fibrin, menyebabkan hancurnya bekuan.
Seprti yang terlihat secara diagramatis pada gambar 19-2, di[erlukan beberapa interaksi untuk
mengubah protein plasma spesifik inaktif didalam sirkulasi menjadi enzim fibrinolitik
plasmin aktif. Protein dalam bersikulasi, yang dikenal sebagai proaktivator flasminogen,
dengan adanya (enzim-enzim) kinase seperti streptokinase, stafilokinse, kinse jaringan, serta
factor XIIa, dikatalisasi menjadi activator plasminogen. Dengan adanya enzim-enzim
tambahn seperti urokinase, maka activator-aktivator mengubah plasminogen, menjadi suatu
protein plasma yang sudah bergabung dalam bekuan fibrin, menjadi plasmin. Kemudian
plasmin memecahkan fibrin dan fibrinogen menjadi fragmen-fragmen (produk degradasi
fibrin-fibrinogen), yang mengganggu aktivitas thrombin, fugsi trombosit, dan polimerisasi
fibrin, menyebabkan hancurnya bekuan. Makrofag dan neutrofil juga berperan dalam
fibrinolisis melalui aktivitas fagositiknya. Gambar.19-3 merupakan tampilan grafik
rangkaian-rangkaian peristiwa proses pembekuan, seperti yang sudah dibicarakan
sebelumnya.
Pendekatan Diagnostik
Pembahasan sebelumnya membuktikan bahwa kelainan dapat terjadi dalam setiap stadium
proses hemostatik. Evaluasi meliputi anamnesis yang teliti dan penilitan fisik serta
laboratorium. Anamnesis yang diperoleh dengan teliti sering mengarah kan pada diagnosis
yang tepat dan pemeriksaan laboratorium yang dierlukan. Penilaian ini meliputi riwayat
keluarga, masalah-masalah medis yang menyertai, pajanan obat-obatan, episode perdarahan
sebelumnya (misalnya perdarahan “spontan” atau yang berkaitan dengan pembedahan atau
pencabutan gigi), dan kebutuhan akan terapi komponen darah.
Pemeriksaan cermat dan menyeluruh pada kulit dan membrane mukosa dengan
memperhatikan jenis lesi dapat menunjukan kelainan yang ada.
Telangiekstasia adalah pelebaran kapiler dan venula yang berukuran 2-3mm, berupa
bercak macula berwarna ungu sampai merah ungu, yang memucat bila ditekan, dan berdarah
bila terna trauma yang sangat ringan. Bercak-bercak ini paling sering ditemukan pada wajah,
bibir, membrane mukosa, ujung jari. Telangiektasia dapat ditemukan sebagai tanda lahir, atau
gangguan hemoragik herediter, penykit Osler-Weber-Rendu. Laba-laba arteri (arterial
spiders) merupakan lesi merah-terang yang [usatnya berdenyut dan memancar kearah luar
seperti benang, memiliki panjang 5 sampai 10 mm, sering ditmukan pada wajh, tubuh, di atas
45
garis pinggang. Lesi ini juga memucat jika ditekan di bagian tengahnya dan mencerminkan
kelainan vascular, sering ditemukan pada penykit hati.
Pekie merupakan lesi hemoragik keunguan, datar, bulat, tidak memucat, berdiameter
1 sampai4 mm, yang dapat bergabung menjadi lesi yang lebih besar, disebut purpura. Lesi-
lesi ini ditemukan pada membrane mukosa dan kulit, terutama di daerah yang bebas atau
daerah yang mendapat tekanan. Hematoma (lepuh darah) dapat juga ditmukan pada
membrane mukosa.
Semua lesi ini mencerminkan kelainan trombosit atau fungsinya.
Ekimosis, memar atau tanda hitam-dan-biru, adalah daerah ekstravasasi darah yang
luas didalam jaringan subkutan dan kulit. Perdarahan baru berwarna biru-hitam dan berubah
warna menjadi hijau-coklat dan kuning pada penyembuhan. Walaupun ekimosis sering terjadi
pada trauma, ekimosis yang luas dapat mencerminkan kelainan trombosit atau gangguan
koagulasi atau keduanya.
Evaluasi Laboratorium
Evaluasi labolatorium lebih lanjut akan menunjukan dan memastikan kelainan hemostatik.
Penilaian ini sebaiknya selalu mencakup sediaan apus darah perifer dan hitung trombosit
seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya. Pemeriksaan ini memberikan karakteristik
morfologik dan jumlah trombosit.
Waktu pendarahan menguji keadaan vaskular dan jumlah fungsi trombosit;akan
tetapi, tes ini tidak dapat membedakan antara keduanya. Caranya adalah membuat insisi pada
lobus telinga yang menggantung bebas (cara Duke) atau pada permukaan volar lengan bawah
(cara Lvy). Lamanya waktu pendarahan sampai berhenti di catat. Waktu pendarahan yang
normal adalah 3 sampai 7 menit. Memanjangnya waktu pendarahan, misalnya 10 menit,
dapat menunjukan trombositopenia (jumlah trombositnkurang dari 100.000/mm3) atau
trombositopati (fungsi trombosit abnormal) atau keduanya. Ingesti aspirin dapat mengganggu
fungsi trombosit selama 7 sampai 10 hari dan dengan demikian sebaiknya tidak boleh
diberikan sebelum dilakukan pemriksaan waktu pendarahan. Walaupun terdapat serangkaian
tes untuk mengevaluasi, uji-uji tapis sebaiknya meliputi waktu protombin (PT), mengukur
jalur ekstrinsik dan jalur bersama, dan waktu tromboplastin parsial (PPT), mengukur jalur
intrinsik dan jalur bersama.
46
Pada tes PT, bagian plasma pasien yang sudah dicampur sitrat dicampur dengan
fosfolipid dan tromboplastin jaringan. Kerena kalsium sudah dihilangkan, maka tidak terjadi
koagulasi. Kemudian kalsium ditambahkan, dan waktu yang diperlukan untuk pembentukan
bakuan dicatat. Dalam keadaan ini, plasma normal memerlukan waktu 11 sampai 13 detik
untuk membeku. Definisi faktor-faktor VII, X dan V, protrombin, serta fibrinogen akan
memperpanjang PT.
Pada tes PPT, fosfolipid ditambahkan pada plasma pasien yang sudah di campur
dengan sitrat, mengakibatkan pembentukan bekuan dalam waktu 60 sampai 90 detik.
Penambahan agen pengaktivasikontak seperti kaolin, mengurangi variabilitas pemeriksaan,
dan waktu yang diperlukan untuk pembentukan bakuan. Modifikasi ini menghasilkan waktu
tromboplastin parsial terktivasi (APTT). Hasilnya dibandingkan dengan APTT plasma
normal. Kisaran normal adalah 26 sampai 42 detik. Karena PPT mengukur jalur intrinsik dan
jalur bersama, maka PPT akan memanjang pada defisiensi prakalikrein, HMWK, faktor V,
VII, IX, X, XI, dan XII, protrombin, serta fibrinigen. Jika hanya PT yang memanjang, maka
dianggap terdapat difisiensi atau penghambatan faktor V dan X jalur bersama, penyakit hati
dapat menyebabakan pemanjangan PT dan PTT.
Pada tes masa trombin (TT) atau masa pembekuan trombin (normal 10 asampai 13
detik), trombin eksogen ditambah pada plasma yang sudah di campur sitrat, dan masa
pembekuan diukur. Kerana pemeriksaan ini mengukur waktu perubahan fibrinogen menjada
fibrin dan mendeteksi kelainan-kelainan polimerisasi fibrin atau kadar fibrinogen yang
rendah, maka pemeriksaan ini di gunakan lebih lanjut untuk mencari faktor-faktor
pembekuan yang tidak ada jika PT dan PTT abnormal. Tes koagulasi ditunjukan pada Gbr.
19-1. Heparin, suatu antikoagualan kuat, meningkatkan efek netralisasi antitrombin III pada
faktor-faktor Ixa, Xa, Xia, trombin, dan plasmin dan dengan demikian memperpanjang masa
PT, PTT dan TT.
Karena luasnya kisaran variasi nilai PT anatara laboratorium,berdasarkan pada reagen
yang digunakan, International Normalized Ratio (INR) mengembangkan perbandingan
reagen lokal terhadap reagen internasional dan menetapkan nilai relatif (International
Sensitivity Index). Proses ini menghasilkan nilai yang dinormalisasi di semua laboratorium
dan menjadi standar untuk memantau pasien-pasien yang terapi antikoagulan. Sebagai
contoh, untuk pencegahan atau pengobatan beisiko tingi trombosis v ena atau pengobatan
embolisme paru, pencegahan stroke setelah infark miokardium, INR yang direkomendasikan
47
adalah antara 2,0dan 3,0. Individu-individu dengn katup prostetik mekanis dipertahankan
pada INR 2,5 sampai 3,5 (Sacher, McPherson, 2000).
KELAINAN HEMOSTASIS DAN KOAGULASI
Kelainan Vaskular
Berbagai kelainan dapat terjadi pada tiap tingkat mekanisme hemostatik. Pasien pada kelaina
vaskular biasanya datang dengan pendarahan kulit, dan sering mengenai membran mukosa.
Perdarahan dapat diklasifikasikan menjadi purpura alergik dan purpura nonalergik. Pada
kedua keadaan ini, fungsi trombosit dan koagulasi adalah normal.
Terdapat banyak bentuk purpura nonalergik, yaitu pada penyakit-penyakit ini tidak
terdapatalergi sejati tetapi terjadi berbagai bentuk vaskulitis. Yang paling sering ditemukan
adalah lupus eritematosus sistemik. Kelainan ini merupakan penyakit vaskular-kolagen, yaitu,
pasien membentuk autoantibodi (lihat Bab 72). Vaskulitis, atau peradangan pembuluh darah,
mengakibatkan purpura.
Jaringan penyokong pembuluh darah yang mengalami perburukan, dan tidak efektif,
yang terjadi seiring proses penuaan, mengakibatkan purpura senilis. Umumnya terlihat
perdarahan kulit pada dorsum manus dan lengan bawah serta diperburuk olehtrauma. Kecuali
mengganggu secara kosmetik, keadaan ini tidak membahayakan jiwa. Menisfestasi kulit yang
serupa juga terlihat pada terapi kortikosteroid jangka lama, yang diyakini diakibatkan dari
katabolisme protein di dalam jaringn penyokong pembuluh darah. Skorbut, yang berkaitan
dengn malnutrisi, dam alkoholisme, sama-sama memengaruhi integritas jaringan ikat dinding
pembuluh darah.
Bentuk purpura vaskular yang domonan autosomal, telangiektasia hemoragik
(penyakit Osler Weber-Rendu), terdapat pada epistaksis dan perdarahan saluran cerna yang
intermiten dan hebat. Telangiektasia difus umumnya terjadi pada masa dewasa, ditemukan
pada mukosa bukal, lidah, hidung, dan bibir, dan tanpaknya meluas ke seluruh saluran cerna.
Pengobatan terutama soportif.
Sindrom Ehlers-Danlos, suatu penyakit herediter lain, meliputi penurunan daya
pengembangan (compliance) jaringan perivaskular yang mengakibatkan perdarahan barat.
Purpura alergik atau purpura anafilaktoid diduga diakibatkan oleh kerusakan
imunologik pada pembuluh darah, ditandai dengan perdarahan petekie pada bagian tubuh
48
yang tergantung dan juga mengenai bokong. Purpura Henoch-Schonlein, suatu trias purpura
dan perdarahan mukosa, gejala-gajala saluran cerna, dan artritis, merupakan bentuk purpura
alergik yang terutama mengenia anak-anak. Mekanissme penyakit ini tidak diketahui dengan
baik; gejala-gajalanya sering didahului oleh keadaan infeksi. Pasien-pasien mengalami
peradangan pada cabang-cabang pembuluh darah, kapiler dan vena, mengakibatkan pecahnya
pembuluh, hilangnya sel-sel darah merah, dan perdarahan. Glomerulonefritis merupakan
komplikasi yang srring terjadi. Pengobatan bersifat suportif dengan menghindari aspirin serta
senyawa-senyawanya.
Trombositosis dan Trombositopenia
Trombosit yang melakat pada kolagen yang terpajang pada pembuluh yang cedera, mengerut
dan melespaskan ADP serta faktor 3 trombosit, penting untuk mengawali sistem pembekuan.
Kelainan jumlah atau fungsi trombosit (atau keduanya) dapat mengganggu koagulasi darah.
Trombosit yang terlalu banyak atau terlalu sedikit mengganggu koagulasi darah. Keadaan
yang di tandai dengan trombosit berlebihan dinamakan trombositosis atau trombositemia.
Istila-astilah ini salaing bertukar (Barui, Finazzi, 1998). Trombositosis umumnya
didefinisikan sebagai peningkatan jumlah trombosit lebih dari 400.000/mm3 dan dapat primer
atau skunder. Trombositosis primer timbul dalam bentuk trombositemia primer, yang terjadi
proliferasi abnormal megakariosit, dengan jumlah trombosit melibihi 1 juta. Trombositosis
primer timbul juga ditemukan dengan gangguan mieloproliferatif lain, seperti polistemia vera
atau leukimia granulositik kronis, yang terjadi poliferasi abnormal megakariosit, bersam
dengan jenis sel-sel lain, didalam sum-sum tulang. Untuk menyingkirkan gangguan-
gangguan ini diperlukan pemeriksaan sitogenik. Dapat terjadi perdarahan dan trombosis.
Patofisiologinya masih belum jelas tetapi diyakini berkaitan dengan kelainan kualitatif
intrinsik fungsi trombosit, serta akibat peningkatan massa trombosit. Waktu perdarahan
biasanya memanjang (Rogers, greenberg, 1999).
Jika jumlah trombosit melebihi 1 juta atau pasien simtomatik, pengobatan di mulai
dan ditujukan untuk mengurangi aktivitas sumsum tulang melalui penggunaan agen-agen
sitotoksik seperti hidroksiurea, yang secara dramatis menurunkan jumlah semua jenissel.
Anogrelid hidroklorida (agrylin) ditambahkan untuk spesifisitasnya dalam mengurangi
produksi trombosit. Dalam keadaan terjadinya perdarahan atau trombosis akut, tromboferesis
sementara waktu dapatmenyenbuhkan. Agen-agen antitrombosit seperti aspirin dan
antikoagulan juga digunakan.
49
Trombositosis sekunder terjadi sebagai akibat adanya penybab-penyebab lain, baik
secara sementara setelah stres atau olah raga dengan pelepasan trombosit dari sumber
cadangan (dari lien), atau dapat menyertai keadaan meningkatnya permintaan sumsum tulang
seperti pada perdarahan, anemia hemolitik, atau anemia defisiensi besi. Peningkatan tajam
jumlah trombosit terjadi pada pasien-pasien yang liennya sudah dibuang secara pembedahan.
Karena lien merupakan tempat primer penyimpanan dan penghancuran trombosit, maka
pengangkatan (splenektomi) tanpa disertai pengurangan produksi di dalam sumsum tulang
akan mengakibatkan trombositosis, yang sering melebihi 1 juta /mm3 . pengobatan
trombositosis sekunder atau reaktif umumnya tidak diindikasikan.
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari 100.000/mm3 .
jumlah trombosit yang rendah ini merupakan akibat berkurangnya produksi atau
meningkatnya penghancuran trombosit. Namun, umumnya tidak ada manifestasi klinis
hingga jumlahnya kurang dari 100.000/mm3 dan lebih lanjut di pengaruhi oleh keadaan-
keadaan lain yang mendasari atau yang menyertai, seperti leukimia atau penyakit hati.
Ekimosis yang bertambah dan perdarahan yang memanjang akibat trauma ringan terjadi pada
kadar trombosit kurang dari 50.000/mm3. Petekie merupakan manifestasi utama, dengan
jumlah trombosit kurang dari 30.000/mm3. Terjadi perdarahan mukosa, jaringan dalam, dan
intrakranial dengan jumlah trombosit kurang dari 20.000, dan memerlukan tindakan
segerauntuk mencegah perdarahan dan kematian.
Penurunan produksi trombosit, dibuktikan dengan aspirasi dan biopsi sumsum tulang,
dijumpai pada segala kondisi yang mengganggu atau menghambat fungsi sumsum tulang.
Kondisi ini meliputi anemia aplastik (Bab 17), mielofibrosis (penggantian unsur-unsur
sumsum tulang dengan jaringan fibrosa), leukimia akut (Bab 18), dan karsinoma metastatik
lain yang mengganti unsur-unsur sumsusm normal. Pada keadaan-keadaan defisiensi, seperti
defisiensi vitamin B12 dan asm folat, mempengaruhi megakariosit besar yang hiperlobulus.
Agens-agens kemoterapeutik (Bab 18) terutama bersifat toksik terhadap sumsum tulang,
menekan produksi trombosit.
Keadaan trombositopenia dengan produksi trombosit normal biasanya disebabkan
oleh penghancuran atau penyimpanan yang berlebihan. Segala kondisi yang menyebabkan
splenomegali (lien yang jelas membesar) dapat disertai trombositopenia, meliputi keadaan
seperti sirosis hati, limpoma, dan penyakit-penyakit mieloproliferatif. Lien secara normal
50
menyimpan sepertiga trombosit yang di hasilkan, tetapi dengan splenomegali, sumber ini
dapat meningkat sampi 80% , dan mengurangi sumber sirkulasi yang tersedia.
Trombosit dapat juga dihancurkan oleh produksi antibodi yang diinduksi oleh obat,
seperti yang ditemukan pada quinidin dan emas atau oleh autoantibodi (antibodi yang bekerja
melawan jaringan sendiri). Antibodi-antibodi ini ditemukan pada penyakit-penyakit seperti
lupus eritematosus, leukimia limfositik kronis, limfoma tertentu, dan purpura
trombositopenik idiopatik (ITP). ITP, terutama ditemukan pada perempuan muda,
bermanifestasi sebagai trombositopenia yang mengancan jiwa dengan jumlah trombosit yang
sering kurang dari 10.000/mm3. Seperti sudah dijelaskan pada Bab 12, antibodi igG yang
ditemukan pada membran trombosit, menyebabkan gangguan agregasi trombosit dan
meningkatkan pembuanagn dan penghancuran trombosit oleh sistem makrofag.
Fungsi trombosit dapat berubah (trombositopati) melalui berbagai cara, yang
mengakibatkan semakin lamanya perdarahan. Obat-obatan seperti aspirin, indometasin, dan
fenilbutazon menghambat agregasi dan reaksi pelepasan trombosit, dengan demikian
menyebabkan perdarahan yang memanjang walaupun jumlah trombosit normal. Pengaruh
dosis tunggal dapat berlangsung selama 7 hingga 10 hari.
Protein plasma, seperti yang ditemukan pada makroglobulinemia dan mieloma
multipel menyelubungi trombosit, mengganggu adhesi trombosit, retraksi bekuan, dan
polimerisasi fibrin. Pada semua keadaan ini, dengan memperbaiki gangguan yang
mendasarinya akan memperbaiki fungsi trombosit abnormal tersebut.
GANGGUAN FAKTOR PLASMA HEREDITER
Hemofilia
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang paling sering di
jumpai, bermanifestasi sebagai episode perdarahan intermiten. Hemofilia disebabkan oleh
mutasi gen faktor VIII (FVIII) atau faktor IX (FIX), di kelompokan sebagai hemifilia A dan
hemofilia B. Kedua gen tersebut terletak pada kromosom x, sehingga termasuk penyakit
resesif terkait-X (Ginsberg,2000). Oleh karena itu, semua anak perempuan dari laki-laki yang
menderita hemofilia adalah karier penyakit, dan anak laki-laki tidak terkena. Anak laki-laki
dari perempuan yang karier kemungkinan 50% untuk menserita penyakit hemofilia. Dapat
terjadi wanita homozigot dengan hemofilia (ayah hemofilia, ibu karier), tetapi keadaan ini
51
sangat jarang terjadi. Kira-kira 33% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dan mungkin
akaibat mutasi spontan (Hoffbrand,Pettit, 1993).
Dua jenis utama hemofilia yang secara klinis identik adalah: (1) hemofilia klasik atau
hemofilia A, yang ditemukan adanya defisiensi atau tidak adanya aktivitas faktor
antihemofilia VIII, dan (2) penyakit Christmas, atau hemofilia B, yang di temukan adanya
defisiensi atau tidak adanya aktivitas faktor IX. Hemofilia diklasifikasikan sebagai (1) berat,
dengan kadar aktivitas faktor kurang dari 1% (2) sedang, dengan kadar aktivitas di anatara
1% dan 5% serta (3) ringan, jika 5% atau lebih. Perdarahan spontan dapat terjadi jika kadar
aktivitas faktor kurang dari 1%. Akan tetapi, pada kadar 5% atau lebih, perdarahan umumnya
terjadi berkaitan dengan trauma atau prosedur pembedahan. Manifestasi klinis meliputi
perdarahan jariangan lunak, otot, dan sendi, terutama sendi-sendi yang menopang berat
badan, disebut hemartrosis (perdarahan sendi). Perdarahan berulang ke dalam sendi
menyebabkan degenerasi kartilago artikularis disertai gejalgejala artritis. Perdarahan
retroperitonial dan intrakranial merupakan keadaan yang mengancam jiwa. Derajat
perdarahan berkaitan dengan banyaknya aktifitas faktor dan beratnya cedera. Perdarahan
dapat terjadi segera atau berjam-jam setelah cedera. Perdarahan karena pembedahan sering
terjadi pada semua pasien hemofilia, dan sgala prosedur pembedahan yang diantisipasi
memerlukan penggantian faktor secara agresif sewaktu praoperasi dan pascaoperasi sebanyak
lebih dari 50% tingkat aktivitas.
Diagnosis laboratorium meliputi pengukuran kadar faktor yang sesui: faktor VIII
untuk hemofilia A atau faktor IX untuk hemofilia B. Karena faktor-faktor VIII dan IX
merupakan bagian jalur intrinsik koagulasi, maka PPT memanjang, sedangkan PT, yang tidak
melalui jalur intrinsik tetap normal. Waktu perdarahan, pemeriksaan fungsi trombosit
biasanya normal, tetapi dapat terjadi perdarahan yang terlambat karena stabilisasi fibrin yang
tidak adekuat. Jumlah trombosit normal.
Pengobatan hemofila menganjurkan pemberian infus profilaktik yang di mulai pada
usia 1 hingga 2 tahun pada anak-anak yang mengalami defisiensi berat untuk mencegah
penyakit sendi kronis (Lusher, 2000). Intervensi dini pada saat timbul gejala-gejala atau
tanda-tanda perdarahan paling awal, serta penggantian faktor praoperatif pada persiapan
untuk prosedur pembedahan, penting dilakukan pasien-pasien ini. Pengobatan ditujukan
untuk meningkatkan faktor dan aktivitas yang berkurang ketingkat normal dan dengan
demikian mencegah komplikasi. Beratnya perdarahan, kompleksitas pembedahan yang sudah
52
diantisipasi, berat badan pasien, kadar faktor spesifik pasien akan menentukan dosis untuk
penggantian. Pada perdarahan ringan, seperti pada awal perdarahan otot atau sendi, tingkat
aktivitas dapat cukup dipertahankan sebanyak 20% sampai 50% untuk beberapa hari,
sedangkan untuk perdahan berat seperti perdarahan intrakranial atau pembedahan, sebaiknya
dicapai tingkat aktivitas 100% dan dipertahankan selama minimal 2 minggu. Yang saat ini
tersedia, produksi-produksi rekombinan faktor VIII yang sangat dimurnikan adalah
Recombinate dan Kogenate. Monoclate-P adalah produk monoklonal faktor VIII yang
dipasteurisasi, dan mononine adalh sediaan faktor IX yang sangat dimurnikan. Dosis-dosis
untuk semua faktor dihitung dalam unit per kilogram berat badan dan diinfuskan per hari.
Diberikan dosis pembebanan faktor yang diikuti dengan pemberian dosis dua kali sehari.
Infus yang kontinu dapat diberikan pada pasien-pasien dengan hemofilia yang menjalani
prosedur pembedahan. Pada pasien tersebut dilakukan pemantauan dengan menentukan kadar
faktor serum dan respons terhadap terapi yang diberikan.
Pada awal tahun 1980an, terdapat insiden infeksi human immunodeficiency virus
()HIV yang jelas pada populasi pasien hemofilia. Selain itu, sebagian besar populasi dewasa
memiliki serologik adanya hepattis. Semakin majunya penapisan pada donor, pemeriksaan
HIV darah, dan berkembangnya metode virusidal serta sediaan faktor rekombinan (dibuat
secara genetis), seperti yang terlihat dengan faktor-faktor yang disebutkan sebelumnya,telah
sangat mengurangi resiko penularan infeksi melalui darah, termasuk acquired immune
deficiency syndrome (AIDS) (Andreoli et al, 1993; Bauer et al,1994). Sejak tahun 1985
penggunaan profilaktik rangkaian vaksinasi hepatitis pada saat diagnosis lebih lanjut telah
mengurangi insiden atau mengeliminasi hepatitis B pada pasien-pasien ini.
Sebagian besar pasien sekarang dipantau dipusat-pusat pengobatan hemofilia yang
ditujukan pada kebutuhan global para pasien, dan pasien-pasien tersebut memperoleh
manfaat konsultasi dari tim perawatan kesehatan komprehensif. Kemajuan dalam perawatan
preventif, terafi fisik, dan mengajari kebiasaan kesehatan yang baik serta pemberian sendiri
konsentrat faktor-faktor yang dilakukan dirumah sangat memajukan kualitas hidup pada
populasi pasien-pasien ini. Harapan hidup meningkat sehingga lebih dari 70 tahun. Dengan
identifikasi gen-gen yang berurutan pada kedua jenis hemofilia A dan B, keadaan ini
sebaiknya di antisipasi pada pasien-pasien yang sakit berat. Informasi ini memiliki implikasi
besar untuk konseling genetik dan parental.
53
Penghambat antibodi yang ditujukan untuk faktor koagulasi spesifik terjadi pada 5%
sampai 10% pasien dengan defisiensi faktor VIII dan lebih jarang pada faktor IX. Infus faktor
selanjutnya merangsang pembentukan antibodi yang lebih banyak. Agen-agen imunosupresif,
plasmaferesis untuk membuang inhibitor dan kompleks protrombin yang memintas inhibitor
faktor VIII dan faktor IX yang ditemukan didalam plasma beku segar (FFP, fresh frozen
plasma) yang digunakan untuk mengobati pasien-pasien ini. Dengan penggunaan produk-
produk rekombinan, masih ditemukan adanya inhibitor, tetapi sebagian besarnya pasien
sembuh dengan spontan. Timbulnya inhibitor-inhibitor dapat dipengaruhi oleh genetik karena
adanya insidensi yang lebih tinggi pada Afro-Amerika dan keturunan Spanyol (Lusher,
2000). Suatu produk sintetik, yaitu DDAVP (1-deamino 8-D-arginin vasopresin) sudah
tersedia untuk mengobati pasien-pasien hemofilia ringan sampai sedang. Pemberian DDAVP
secara intravena (IV), dapat menginduksi peningkatan tingkat aktivitas faktor VIII tiga
sampai enam kali lipat. Karena DDAVP merupaka produk sintetik, maka risiko transmisi
virus yang membahayakan seperti AIDS atau hepatitis berkurang.
Penyakit von Willebrand
Penyakit von Willbrand adalah gangguan koagulasi herediter yang paling sering terjadi.
Dikenal berbagai subtipe, tetapi yang paling sering adalah tipe I, sama-sama terjadi pada laki-
laki dan perempuan. Seperti pada hemofilia, kasus-kasus terjadi tanpa riwayat keluarga, dan
gangguan tersebut diyakini terjadi akibat mutasi genetik. Bergantung pada subtipe dan
beratnya penyakit, spektrum perdarahan dapat jarang terjadi, perdarahan mukokutaneus (kulit
dan membran mukosa) ringan sampai sedang; perdarahan akibat trauma atau pembedahan;
atau perdarahan yang mengancam jiwa. Sering terjadi perdarahan saluran cerna, epistaksis,
dan menoragia. Sebagian besar pasien asimtomatik. Pada penyakit von Willebrand, terdapat
penurunan aktivitas faktor VIIIVWF dan faktor VIIIAHG (Handin, 2001). Faktor von Willebrand
disintesis di dalam sel-sel endotel dan megakariosit serta disimpan di dalam organel
penyimpanan. Faktor von Willebrand mempermudah adhesi trombosit pada komponen-
komponen di dalam subendotel vaskular di bawah keadaan aliran yang tinggi dan bertekanan,
serta faktor ini merupakan karier intravaskular untuk faktor VIII di tempat perdarahan aktif
(Bauer et al, 1994; Handin, 2001). Pada penyakit von Willebrand, trombosit tidak melekat
pada kolagen karena adanya defisiensi faktor VIII dan kelainan agregasi trombosit jika
diberikan ristosetin (suatu antibiotik yang menyebabkan agregasi trombosit) bersifat
diagnostik untuk penyakit von Willebrand.
54
Pengobatan penyakit von Willebrand bervariasi bergantung pada tipe dan derajat
perdarahan.pilihan pengobatan meliputi kriopresipitat, konsentrat faktor VIII, desmopresin
(DDAVP), plasma beku segar, dan estrogen. Tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan
ketersediaan faktor von Willebrand (Bauer et al, 1994). Jika digunakan kriopresipitat,
sebaiknya diperoleh dari donor yang telah diseleksi secara seksama dan diperiksa secara
berulang menurut medical and scientific council of america.
DDA VP digunakan dalam pengobatan penyakit von Willebrand tipe I dan IIA. Pada
sebagian besar kasus, DDAVP dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan ringan, secara
profilaktik digunakan sebelum prosedur pembedahan. Sekarang tersedia dalam bentuk
semprot hidung, DDAVP berperan dalam pelepasan faktor von Willebrand dari tempat
penyimpanan cadangan. Untuk penggantian faktor von Willebrand digunakan generasi yang
lebih baru yaitu faktor VIIIS yang diinaktifkan virus, yang diketahui mengandung faktor von
Willebrand. Pasien-pasien yang dijadwalkan untuk menjalani prosedur pembedahan harus
dievaluasi dan dipersiapkan oleh ahli hematologi selama dan setelah menjalani prosedur
pembedahan.
DEFISIENSI FAKTOR PLASMA DIDAPAT
Defisiensi faktor plasma didapat berkaitan dengan penurunan produksi faktor-faktor
koagulasi, seperti yang ditemukan pada penyakit hati atau defisiensi vitamin K, atau
peningkatan konsumsi yang menyertaikoagulasi intravaskular diseminata (DIC) atau
fibrinilisis.
Karena hati merupakan tempat utama sintesis faktor-faktor II.V, IX, dan X, gangguan
hati berat (yaitu, sirosis) akan mengubah respons hemostatik. Selain itu, terjadi juga
penurunan pembersihan hati dari faktor-faktor koagulasi yang sudah diaktivasi. Penyerapan
vitamin K juga terganggu, yang lebuh lanjut akan mengganggu sintesis faktor-faktor
koagulasi bergantung-K. Hipertensi porta pada penyakit hati mengakibatkan spenomegali
kongestif diseertai trombositopenia, serta varises esofagus. Keadaan-keadaan ini, dapat
menyebabkan perdarahan masif. PT, PPT, dan masa perdarahan memanjang.
Vitamin K, yang diperoleh dari diet dan sintesis bakteri,diperlukan untuk sintesis
faktor-faktor II, VII, IX dan X. Pada kasus-kasus malnutrisi, malabsorpsi, atau sterilisasi
saluran cerna oleh antibiotik, vitamin K berkurang secara nyata dengan akibat penurunan
aktivitas biologi faktor-faktor koagulasi (Beck, 1991). Terapi perdarahan berat memerlukan
55
penggantian faktor-faktor pembekuan dengan plasma beku segar (yang memasok faktor-
faktor II, VII, IX, dan X), vitamin K parentral, dan penyembuhan proses penyakit penyebab.
Koagulasi Intravaskular Diseminata
Koagulasi intravaskular diseminata (DIC) adalah suatu sindrom kompleks yang terdiri atas
banyak segi, yang sistem hemeostatik dan fisiologik normalnya mempertahankan darah tetap
cair berubah menjadi suatu sistem patologik yang menyebabkan terbantuknya trombi fibrin
difus, yang menyumbat mikrovaskular tubuh. Sistem fibrinolitik diaktivasi oleh trombin
didalam sirkulasi, yang memecah fibrinogen menjadi monomer fibrin. Trombin juga
merangsang agregasi trombosit, mengaktivasi faktor V dan VIII, serta melepas aktivator
plasminogen, yang membentuk plasmin. Plasmin memecah fibrin, membentuk produk-
produk degradasi fibrin, dan selanjutnya mengaktivasi faktor V dan VIII. Aktivitas trombin
yang berlebihan mengakibatkan berkurangnya fibrinogen, trombositopenia, faktor-faktor
koagulasi, dan fibrinolisis (Linker, 2001), yang mengakibatkan perdarahan difus. DIC bukan
merupakan penyakit, tetapi akibat proses penyakit yang mendasarinya. Perubahan pada
segala komponen sistem vaskular, yaitu, dinding pembuluh darah, protein plasma, dan
trombosit, dapat menyebabkan suatu gangguan konsumtif (Coleman et, al, 1993). Masukan
zat atau aktivitas prokoagulan kedalam sirkulasi darah mengawali sindron tersebut dan dapat
terjadi dalam segala kondisi yang tromboplastin jaringannya dibebaskan diakibatkan
destruksi jaringan, dengan inisiasi jalur pembekuan ekstrinsik. Karena plasenta merupakan
sumber yang kaya kan tromboplastin jaringan, maka salah satu penyebab tersering DIC adalh
solusio plasenta (solusio plasenta, plasenta lepas secara dini). Keadaan ini menyebabkan
retensi produk-produk kosepsi (plasenta, janin)yang menyebabkan nekrosis dan kerusakan
jaringan lebih lanjut. Produk-produk tumor, luka bakar, cedra remuk menyebabkan pelepasan
tromboplastin. Pada leukimia promielositik,promielosit granular mengeluarkan aktivita
seperti tromboplastin yang sering pada saat dimulainya kemotrapi dan dilepasnya granula.
Selam proses koagulasi, trombosit beragregasi dan, bersam dengan faktor-faktor koagulasi,
akan digunakan dan jumlahnya berkurang. Hasil trombus fibrin dapat atau menyumbat
mikrovaskular. Bersama dengan hal ini, sistem fibrinolitik diaktivasi untuk pemecahan
trombi fibrin, menghasilkan banyak fibri dan produk degradasi fibrinogen yang mengganggu
polimerisasi fibrin atau fungsi trombosit (Guyton, 2001). Aksi ini menyebabkan perdarahan
difus yang khas pada DIC.
56
Menisfestasi klinis tergantung pada luas dan lamanya pembentukan trombin fibrin,
organ-organ yang terlibat, dan nekrosis serta perdarahan yang ditimbulkan, organ-organ yang
paling sering terlibat adalah ginjal, kulit, otak, hipofisis, paru, dan adrenal, serta mukosa
saluran cerna. Terdapat perdarahan membran mukosa dan jaringan dalam, serta perdarahan
disekitar tempat cedera, pungsi vena, penyuntikan, dan pada setiap orifisium. Sering dijumpai
petekie dan ekimosis. Manifestasi lain berupa hipotensi (syok), oliguria atau anuria, kejang
dan koma, mual dan muntah, diare, nyeri abdomen, nyeri punggung, dispnea, dan sianosis
(Guyton, 2001). Tes diagnostik menunjukan PT, PTT, TT, yang memanjang dan peningkatan
produk-produk pemecahan fibrin. Kadar fibrinogen dan jumlah trombosit menurun. Sediaan
apus darah perifer dapat menunjukan fragmentasi eritosit sekunder dengan bentuk yang
beraneka ragam akibat kerusakan oleh serabut fibrin.
Penanganan ditujukan pada perbaikan mekanisme yang mendasarinya, yang mungkin
memerlukan penggunaan antibiotik, agen-agen kemoterapeutik, dukungan kardiovaskular,
serta pada keadaan retensio plasenta, is uterus dikeluarkan. Penggantian faktor-faktor plasma
dengan plasma dan kriopresipitat, serta transfusi trombosit dan sel darah merah, mungkin
diperlukan. Bila terjadi perdarahan yang hebat, yang merupakan suatu antikoagulan
antitrombin yang kuat, masih sangat kontroversial. Heparin menetralkan aktivitas trombin,
dan dengan demikian menghambat penggunaan faktor-faktor pembekuan dan pengendapan
fibrin. Meningkatkan konsentrasi faktor-faktor pembekuan dan trombosit dengan memberi
infus plasma dan trombosit seharusnya menghambat diatesis perdarahan. Heparin
diindikasikan kapanpun terjadi kegagalan terapi penggantian untuk meningkatkan faktor-
faktor koagulasi dan perdarahan tetap ada. Heparin juga diindikasikan pada keadaan adanya
pengendapan fibrin yang menyebabkan nekrosis dermal (Logan, 1994). Heparin dosis rendah
telah berhasil digunakan bersama agen kemoterapeutik pada pengobatan leukimia
promielositik, untuk mencgah DIC akibat pelepasan tromboplastin oleh granula leukosit.
Dapat terjadi juga hiperkoagulasi yang disertai dengan peningkatan insiden trobosis.
57
III. Kesimpulan
Pertahanan tubuh melawan infeksi adalah peran utama leukosit atau sel darah putih. Batas
normal jumlah sel darah putih berkisar 4000 sampai 10.000/mm3. Lima jenis sel darah putih
yang sudah diidentifikasi dalam perifer adalah neutrofil(50%-75% SDP total), eosinofil(1%-
2%), basofil(0,5%-1%), monosit (6%), dan limfosit(25%-33%).
Homeostasis merupakan suatu keadaan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dalam
mempertahankan kondisi yang dialaminya.
Dalam mendiagnosis keganasan hematologik,analisis sitogenetik telah di ketahui merupakan
salah satu pemeriksaan yang paling penting untuk menegakan diagnosis dan pengobatan, dan
penting untuk memperkirakan respon terhdap pengobatan dan potensial untuk remisi atau
penyembuhan dan untuk mengetahui terjadinya relaps. Sitogenetik sadalah pemeriksaan
komposisi kromosom sel, fungsi normal, dan setiap devasi dari yang normal. Sel yang
dipelajari dari setadium metafase mitosis (pembagian sel untuk menjelaskan traslokasi,
infersi, dan delesi bahan genetik dari satu kromosom ke keomosom lainya) analisis
sitogenetik dapat dilakukan pada jaringan yang diperah dari aspirasi dan biopsi sumsum
tulang pada darah tepi jika jumalahnya meningkat dan pada kelenjar getah bening, limapa,
hati. Pengujian sitogenetik juga dilakukan pada cairan amion dan menyebabkan terjadinya
konsepsi untuk menegakan diagnosis adanya kelainan vetus.
58
DAFTAR PUSTAKA
1. A.J. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss. 2005. Kapita Selekta : Hematologi. Edisi4.
Jakarta : EGC. Hlm 221-229.
2. Ambarwati, 2008. Asuhan Kebidanan . Yogyakarta: Mitra Cendikia. (hlm: 86).
3. Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC.
4. Saleha, 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika (hlm: 61-
62).
5. Soenarto. Anemia Megaloblastik dalam Sudoyo, Aru W, et.al. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
6. http://www.jevuska.com/2010/06/plasma
7. http://www.kalbe.co.id
8. http://www.husada.co.id/pdf
59