7 imunisasi bayi berisiko

13
Bab 3-1. Imunisasi Bayi Berisiko IMUNISASI BAYI BERISIKO Sjawitri P Siregar Pada anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi, harus di imunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya bayi prematur, anak dengan penyakit keganasan, anak yang mendapatkan pengobatan imunosupresi, radioterapi, anak yang menderita infeksi HIV, transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi. Pernah mendapat KIPI pada imunisasi terdahulu Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi, harus diberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit dengan pengawas-an dokter. Imunisasi pada pasien imunokompromais

Upload: rantiadriani

Post on 02-Jan-2016

22 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 7  Imunisasi bayi berisiko

Bab 3-1. Imunisasi Bayi Berisiko

IMUNISASI BAYI BERISIKO

Sjawitri P Siregar

Pada anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi, harus di imunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya bayi prematur, anak dengan penyakit keganasan, anak yang mendapatkan pengobatan imunosupresi, radioterapi, anak yang menderita infeksi HIV, transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi.

Pernah mendapat KIPI pada imunisasi terdahulu

Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi, harus diberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit dengan pengawas-an dokter.

Imunisasi pada pasien imunokompromais

Penekanan respons imun (imunokompromais) dapat terjadi pada penyakit defisiensi imun kongenital dan defisiensi imun didapat seperti pada leukemia, limfoma, pasien dengan pengobatan alkilating agents, antimetabolik, radioterapi, kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan lama.

Pasien dengan sistim imun tertekan

1. Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama atau lebih dari 20 mg sehari atau 2 mg/kg bb/hari dengan lama pengobatan >7 hari atau dosis 1 mg/kg bb/hari lama pengobatan >1 bulan

Page 2: 7  Imunisasi bayi berisiko

Bab 3-1. Imunisasi Bayi Berisiko

2. Pengobatan dengan alkylating agents, antimetabolik dan radioterapi untuk penyakit keganasan seperti leukemia dan limfoma.

Pada pasien dengan sistem imun yang tertekan, tidak boleh diberikan imunisasi vaksin hidup karena akan berakibat fatal disebabkan vaksin akan bereplikasi dengan hebat karena tubuh tidak dapat mengontrolnya. Vaksin hidup misalnya vaksin polio oral, MMR dan BCG. Vaksinasi dengan mikroorganisme hidup dapat diberikan setelah penghentian pengobatan minimal 3 bulan. Vaksinasi dengan mikroorganisme mati atau yang dilemahkan dapat diberikan seperti hepatitis B, hepatitis A, DPT, influenza dan Hib, dosis sama dengan anak sehat. Respons imun yang timbul tidak sama dengan anak sehat, sehingga bila kontak dengan pasien campak harus diberikan imunisasi pasif yaitu normal immunoglobulin human (NIGH) dengan dosis 0.2 ml/ kg bb/ intramuskular. Untuk profilaksis varisela dosis lebih besar 0,4-1,0 ml / kg bb, bila mungkin sebaiknya diberikan imunisasi spesifik dengan varicella-zoster imunoglobulin (VZIG) namun pada saat ini belum ada di Indonesia.

Pasien dalam pengobatan kortikosteroid

Pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid (1) topikal atau injeksi lokal misalnya erosol untuk asma, rinitis alergi, salep kulit, mata, intraartikular, (2) kortikosteroid dosis rendah yang diberikan setiap hari atau selang sehari, dapat diberikan imunisasi dengan vaksin hidup.

Sedangkan pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari atau selang sehari dan lama pemberian kurang dari 14 hari, dapat diberikan imunisasi dengan vaksin hidup segera setelah penghentian pengobatan, namun ada yang menganjurkan setelah penghentian 14 hari.

Pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari atau selang sehari selama >14 hari, dapat

Page 3: 7  Imunisasi bayi berisiko

Bab 3-1. Imunisasi Bayi Berisiko

diberikan imunisasi dengan vaksin hidup setelah penghentian pengobatan 1 bulan. Imunisasi dengan vaksin hidup dapat diberikan pada pasien yang telah menghentikan pengobatan imunosupresif selama 3 sampai 6 bulan dengan pertimbangan bahwa status imun sudah mulai membaik dan penyakit primernya sudah dalam remisi atau sudah dapat dikontrol.

Keluarga pasien imunokompromais yang kontak langsung (serumah) dianjurkan untuk mendapatkan imunisasi polio inaktif (inactivated polio vaccine), varisela, dan MMR. Vaksin varisela sangat dianjurkan untuk keluarga imunokompromais, oleh karena walaupun dapat terjadi penularan tranmisi virus varisela pada pasien tetapi gejala lebih ringan dari pada infeksi alamiah yang akan berakibat lebih buruk dan dapat fatal.

Pengecualian untuk penderita leukemia limfositik akut dalam keadaan remisi lebih dari 1 tahun, dapat diberikan imunisasi dengan virus hidup varisela, oleh karena bila mendapat infeksi alamiah dengan varisela dapat fatal.

Pasien defisiensi imun kongenital ataupun yang didapat, imunisasi tidak akan memberikan respons maksimal seperti yang diinginkan, sehingga dianjurkan memeriksa titer antibodi serum setelah imunisasi sebagai data untuk pemberian imunisasi berikutnya.

Pasien infeksi human immunodeficiency virus (HIV)

Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi sehingga diperlukan imunisasi, walaupun responsnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang. Kapan pasien HIV harus diberi imunisasi? Apabila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karena penyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak ada atau kurang; namun apabila diberikan dini, vaksin hidup akan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga memperberat

Page 4: 7  Imunisasi bayi berisiko

Bab 3-1. Imunisasi Bayi Berisiko

penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikro- organisme yang dilemahkan atau yang mati (Tabel 1).

Tabel 1. Rekomendasi imunisasi untuk pasien HIV anak

Vaksin Rekomendasi KeteranganIPVDPTHibHepatitis B*Hepatitis AMMR**InfluenzaPneumokokBCG***Varisela

yayayayayayayayaya

tidak

Pasien dan keluarga se rumahPasien dan keluarga se rumahPasien dan keluarga se rumahSesuai jadwal anak sehatSesuai jadwal anak sehatDiberikan umur 12 bulanTiap tahun diulangSecepat mungkinDianjurkan untuk Indonesia

Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA, 2004 * Ada yang menganjurkan dosis hepatitis B dilipat gandakan dua kali

** MMR dapat diberikan pada pasien HIV asimptomatik atau HIV dengan gejala ringan

*** Tidak diberikan pada kasus HIV beratPenyakit Hodgkin

Pasien penyakit Hodgkin yang berusia lebih dari 24 bulan dan orang dewasa dianjurkan mendapat imunisasi pneumokok dan Hib, karena adanya peningkatan risiko mendapatkan infeksi pneumokok dan H.influenzae. Respons antibodi paling baik bila imunisasi diberikan 10-14 hari sebelum imunoterapi untuk pengobatan penyakit Hodgkin dimulai. Apabila diberikan bersama dengan imunoterapi hasilnya kurang efektif dan harus diulang 3 bulan setelah kemoterapi atau radioterapi dihentikan.

Pada splenektomi dianjurkan untuk pemberian imunisasi pneumokok dan Hib sebelum pengangkatan limpa. Pemberian profilaksis antibiotik penisilin V dianjurkan untuk

Page 5: 7  Imunisasi bayi berisiko

Bab 3-1. Imunisasi Bayi Berisiko

pasien anemi sickle sel, thalasemia terhadap infeksi pneumokok. Dosis yang dianjurkan 2 x 125 mg sehari untuk anak kurang dari 5 tahun dan 2 x 250 mg sehari untuk anak > 5 tahun. Dapat juga profilaksis dengan amoksilin 20 mg/kg sehari.

Harus dijelaskan kepada orang tua bahwa walaupun sudah mendapat profilaksis antibiotik anaknya masih dapat menderita infeksi oleh kuman lain, sehingga bila demam harus segera berobat untuk menghindarkan sepsis.

Pada pasien keganasan seperti leukemia, limfoma sebelum memulai peng-obatan dengan kemoterapi sebaiknya diberikan dahulu imunisasi (Tabel 2).

Tabel 2. Rekomendasi imunisasi pada pasien kanker

Vaksin Rekomendasi

Keterangan

DPTPolio (IPV)*PneumokokHibInfluenzaVarisela*MMR*

yaya ya yaya ya

tidak

Pasien kanker anak Pasien kankerUntuk limfomaPasien kanker anakTergantung musim**Pasien seronegatif

Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA,2004* Keluarga dekat / se rumah juga harus diimunisasi dengan IPV, varisela & MMR

** Untuk daerah yang tidak tergantung musim, vaksin influenza diberikan pada bulan Agustus – September tiap tahun

Page 6: 7  Imunisasi bayi berisiko

Bab 3-1. Imunisasi Bayi Berisiko

Pasien transplantasi sumsum tulang (TST)

Resipien transplantasi sumsum tulang alogenik akan menjadi defisiensi imun disebabkan 4 komponen (1) pengobatan imunsupresi terhadap penyakit primer, (2) kemoterapi dan radioterapi yang diberikan pada pejamu, (3) reaktivitas imunologi antara graft dan pejamu, serta (4) pengobatan imunsupresi yang diberikan setelah tranplantasi dilakukan. Sedangkan pada transplantasi sumsum tulang otolog hanya komponen (1) dan (2) yang berperan. Rekomendasi yang dianjurkan pada pasien transplantasi sumsum tulang tampak pada Tabel 3. Pada TST alogenik, sistim imun resipien digantikan oleh sistim imun pejamu. Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada resipien diberikan imunisasi polio dan DTP terlebih dahulu; karena terbukti setelah transplantasi imunitas terhadap virus polio, tetanus dan difteria hampir tidak ada. Penelitian klinis menunjukkan bahwa bila donor diberikan imunisasi difteria dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudian segera setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang sama akan memberikan respons yang baik. Hal yang sama dapat dilakukan dengan vaksin inaktif pertusis, Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV (inactivated polio vaccine). Pada TST otolog tidak terdapat perbedaan imunologik antara graft dan pejamu, sehingga regenerasi sistim imun lebih cepat dan bahaya infeksipun tidak seperti pada transplantasi alogenik. Pada transplantasi SST alogenik, sistim imun resipien digantikan oleh sistim imun pejamu. Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan diberikan imunisasi polio dan DTP terlebih dahulu kepada resipien. Penelitian klinis menunjukkan bahwa bila donor diberikan imunisasi difteri dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudian segera setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang sama akan memberikan respons yang baik. Hal yang sama dapat

Page 7: 7  Imunisasi bayi berisiko

Bab 3-1. Imunisasi Bayi Berisiko

dilakukan dengan vaksin inaktif pertusis, Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV.

Imunisasi influenza dapat diberikan 1 tahun setelah transplantasi, dan diulangi setiap tahun sebelum epidemi tiba. Sedangkan imunisasi dengan hepatitis B diberikan setelah 1 tahun transplantasi. Pasien berumur lebih dari 12 tahun yang akan mendapat transplantasi organ sebaiknya diperiksa terlebih dahulu titer antibodi campak, rubela dan varisela. Mereka yang berisiko tinggi harus mendapat imunisasi MMR sebelum transplantasi dilakukan. Waktu terbaik adalah 1 bulan sebelum transplantasi dilakukan. Titer antibodi setelah setahun trans-plantasi sebaiknya diperiksa. Pada mereka yang rentan infeksi bila kontak dengan pasien campak, varisela dan rubela sebaiknya diberikan imunoglobulin dan titer antibodi diperiksa terlebih dahulu. Karena hanya ada sedikit data mengenai imunisasi pada pasien transplantasi, setiap senter mempunyai pengalaman dan cara yang berbeda.

Tabel 3. Rekomendasi imunisasi untuk pasien transplantasi sumsum tulang

Vaksin TST alogenik TST autolog Keterangan

DPT

Polio (IPV)

Campak

RubelaHib

Hepatitis BPneumok

ya

ya

Bila terjadi epidemik campak

yaya

yaya

ya

ya

Hanya pada pasien anak

yaya

ya?

Anak dan

2-3 dosis setelah 6-12 bulan transplantasi2-3 dosis setelah 6-12 bulan transplantasiTidak diberikan dalam 24 bulan setelah tranplantasi,tidak pada GVHDTerutama wanita2 dosis mulai 6-12 bulan setelah transplantasi12 bulan setelah transplantasiHasil tidak baik pada

Page 8: 7  Imunisasi bayi berisiko

Bab 3-1. Imunisasi Bayi Berisiko

ok

Varisela

Tidak dewasa muda GVHD,24 bulan setelah transplantasiTidak pada GVHD

Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA, 1998.Keterangan: TST = transplantasi sumsum tulang GVHD= graft versus host disease

Bayi Prematur

Bayi prematur dapat diimunisasi sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan. Vaksin DPwT atau DTaP, Hib dan OPV diberikan pada usia 2 bulan. Bila bayi masih dirawat pada usia 2 bulan sebaiknya diberikan IPV, bila akan diberikan OPV pemberian ditunda sampai saat bayi akan dipulangkan dari rumah sakit/rumah bersalin untuk menghindari penyebaran virus polio kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada bayi prematur respons imun kurang bila dibandingkan bayi cukup bulan terhadap imunisasi hepatitis B, sehingga pemberiannya vaksin hepatitis dapat dilakukan dengan 2 cara, sebagai berikut.

Bayi prematur dengan ibu HbsAg positif harus diberikan hep B bersamaan dengan HBIG pada 2 tempat yang berlainan dalam waktu 12 jam. Dosis ke-2 diberikan 1 bulan kemudian , dosis ke-3 dan ke-4 diberikan usia 6 dan 12 bulan

Bayi prematur dengan ibu HBs Ag negatif pemberian imunisasi dapat dengan

Dosis pertama saat lahir, ke-2 umur 2 bulan, ke-3 dan ke-4 umur 6 dan 12 bulan. Titer diperiksa setelah imunisasi ke-4.

Dosis pertama diberikan saat bayi sudah mencapai berat badan 2000 gr atau sekitar 2 bulan. Vaksinasi hepatitis B pertama dapat diberikan bersama-sama DPT, OPV (IPV) dan Hib. Dosis hepatitis B ke-2 diberikan 1 bulan

Page 9: 7  Imunisasi bayi berisiko

Bab 3-1. Imunisasi Bayi Berisiko

kemudian dan ke-3 usia 8 bulan. Titer antibodi diperiksa setelah imunisasi ke-3.

Saat ini telah beredar vaksin kombinasi hepatitis B dengan DTP (DTP/HepB). Untuk bayi berumur kurang dari 6 minggu tidak dianjurkan diberi DTP, jadi vaksin kombinasi tidak dapat diberikan sebagai imunisasi pertama pada bayi baru lahir.

Bila status ibu tidak diketahui, vaksin hepatitis B diberikan segera diberikan setelah lahir.

Air Susu Ibu dan Imunisasi

Tidak terdapat kontra indikasi pada bayi yang sedang menyusui bila ibunya diberikan imunisasi baik dengan bakteria/ virus hidup dan kuman yang dilemah kan. Sebaliknya, air susu ibu tidak akan menghalangi seorang bayi untuk mendapatkan imunisasi.

Page 10: 7  Imunisasi bayi berisiko

Bab 3-1. Imunisasi Bayi Berisiko

Daftar Pustaka

1. Anderson CD, Givner BL, Shearer TW. Active and passive immunisation in the prevention of infection diseases. Dalam: Sthiem ER, penyunting. Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders 1989.h.689-728.

2. Centers for Disease Control and Prevention. General recommendations on immunization. Dalam: Atkinson W, Humiston S, Wolfe C, Nelson R., penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine preventable diseases. Edisi ke-5. Atlanta: Department of Health & Human Services, Public Health Service, CDC, 1999.h.18-20.

3. Cohen SN. Immunisation. Dalam: Stites DP, penyunting. Basic clinical immunology. Edisi ke-5. Singapore, Lange Med Pub 1984.h.728-43

4. Halsey NA, Georges P, Hall BC. Immunisation in special clinical circumstances. Dalam: Halsey NA, penyunting. Report of the committee on infectious diseases. Edisi ke-24. Northwest 1997.h.48-71

5. Lan Y-L, Tan AYC, Ng KW. Response of preterm infants to hepatitis B vaccine. J Pediatr 1992;121:962-5.

6. National Health and Medical Research Council. Special risk group. Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-6. Canberra: NHMRC 1997.h.28-36.