68-264-1-pb.pdf

19
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008 1 Islam dan Etos Kerja: Relasi Antara Kualitas Keagamaan dengan Etos Produktivitas Kerja di Daerah Kawasan Industri Kabupaten Bekasi Acep Mulyadi Abstract Acep Mulyadi, lahir di Cianjur, 6 Mei 1968, lulusan Sarjana S1 dari IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Fakultas Tarbiyah dan tengah menyelesaikan Program S2 di Unisma Bekasi jurusan Konsentrasi Manajemen Pendidikan dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Saat ini sebagai Dosen Tetap Yayasan pada Fakultas Agama Islam Unisma Bekasi, sebagai Ketua Jurusan Syari’ah dan dan pernah menjadi Dekan Fakultas Agama Islam Unisma Bekasi tahun 2000-2001. Saat ini aktif sebagai Sekretaris Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah Indonesia (JATMI) Provinsi Jawa Barat, dan pendiri Badan Wakaf Kota Bekasi. Pendahuluan enelitian ini merupakan kelanjutan dari studi-studi sosiologi sejak Max Weber hingga penelitian-penelitian mane- jemen belakangan ini yang semua- nya bermuara pada satu kesimpulan bersama, bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ter- nyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Perilaku kerja atau etos kerja me- rupakan dasar utama bagi kesuk- sesan yang sejati dan autentik. Ia P

Upload: ardiie-aremania

Post on 26-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Etos kerja dalam islam

TRANSCRIPT

Page 1: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008 1

Islam dan Etos Kerja: Relasi Antara Kualitas Keagamaan dengan Etos Produktivitas Kerja

di Daerah Kawasan Industri Kabupaten Bekasi

Acep Mulyadi

Abstract

Acep Mulyadi, lahir di Cianjur, 6 Mei 1968, lulusan Sarjana S1 dari IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Fakultas Tarbiyah

dan tengah menyelesaikan Program S2 di Unisma Bekasi jurusan Konsentrasi

Manajemen Pendidikan dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Saat

ini sebagai Dosen Tetap Yayasan pada Fakultas Agama Islam Unisma Bekasi,

sebagai Ketua Jurusan Syari’ah dan dan pernah menjadi Dekan Fakultas Agama Islam Unisma Bekasi tahun 2000-2001.

Saat ini aktif sebagai Sekretaris Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah Indonesia

(JATMI) Provinsi Jawa Barat, dan pendiri Badan Wakaf Kota Bekasi.

Pendahuluan

enelitian ini merupakan kelanjutan dari studi-studi sosiologi sejak Max Weber

hingga penelitian-penelitian mane-jemen belakangan ini yang semua-nya bermuara pada satu kesimpulan bersama, bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ter-nyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Perilaku kerja atau etos kerja me-rupakan dasar utama bagi kesuk-sesan yang sejati dan autentik. Ia

P

Page 2: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

2

merupakan seperangkat nilai yang dipegang dan diimplementasikan oleh sebuah kelompok atau komu-nitas dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks ini, seiring dengan perkembangan teknologi dan industrialisasi yang menuntut orang untuk bekerja keras, maka etos kerja merupakan prasyarat utama sebuah komunitas, daerah atau negara yang ingin masuk wi-layah persaingan global. Sebab globalisasi mengisyaratkan adanya kompetisi antarpenduduk dunia yang menuntut norma-norma untuk bisa bersaing dengan yang lain. Kerja keras, ketekunan, tanggung jawab dan disiplin merupakan salah satu norma tuntutan dunia global. Untuk itu, sebagai bangsa yang agamis, sudah sepatutnya apabila bangsa Indonesia mulai menum-buhan etos kerja masyarakat me-lalui nilai-nilai yang terkandung dalam agama-agama. Selain me-libatkan sesuatu yang bersifat tran-sendental, upaya ini juga sebagai cara untuk membangun nilai-nilai yang berorientasi pada pengem-bangan kearifan lokal (local wisdom).

Dengan mengadopsi teori fung-sional Max Weber, penelitian ini mengkaji relasi antara Islam dan etos kerja di lingkungan buruh industri. Hal ini menarik, sebab sejak beberapa tahun belakangan ini, sejumlah perusahaan raksasa yang terdapat di kawasan industri Kabupaten Bekasi, membuka akses dan peluang sebesar-besarnya untuk

kegiatan-kegiatan keagamaan. Kon-disi demikian selain didukung dengan Peraturan Pemerintah Daerah (Perda), juga adaya tuntutan yang kuat dari segenap karyawan yang menghendaki adanya kegiat-an-kegiatan yang bersifat keagama-an, mulai dari acara maulid Nabi Saw. hingga sampai pengajaran Al-Quran. Hal ini melahirkan dewan kemakmuran masjid dan para râis di hampir setiap perusahaan. Na-mun pada sisi lain, nampaknya maraknya kegiatan keagamaan tidak berimbas pada kebijakan pemerin-tah dan pengusaha untuk men-sejahterakan para buruh.

Melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan memfo-kuskan pada aspek ritual (ritual involvement), ideologi (ideological involvement), intelektual (intellect-tual involvement), pengalaman (experience involvement), aspek konsekuensi sikap dan komitmen-nya terhadap ajaran agama (con-sequential involvement), penelitian berusaha mengungkap apakah ada korelasi positif antara agama dengan etos kerja. Atau dengan kata lain, apakah kesalehan ritual dengan maraknya kegiataan keagamaan terejewentahkan menjadi kesalehan sosial dalam bentuk etos kerja. Selain itu, analisis politik penelitian juga mencoba menelusuri ideologi yang terdapat di belakang kebijakan pemerintah daerah melalui Perda-nya dan kepentingan pengusaha di balik kebijakan membuka ruang kegiatan keagamaan di sektor industri

Page 3: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

3

Signifikasi Penelitian Sudah diakui secara umum oleh

para pengkaji bahwa semua ma-syarakat yang dikenal di dunia ini bersifat religius. Keyakinan ter-hadap Keberadaan Transendental atau kekuatan supra-manusia ini telah ada sepanjang sejarah umat manusia. Bahkan dalam masyarakat primitif pun, “cara beragama” telah melekat dengan mempercayai ke-kuatan-kekuatan ruh (spirit), dewa-dewa dan jin yang terdapat di beberapa tempat seperti batu atau pohon. Dalam Islam, fenomena ‘bertuhan pada diri manusia’ ini disebut sebagai bentuk “perjanjian primordial”, yakni mengakui ada-nya Tuhan dan hasrat berbakti pada-Nya sebagai alam asli manusia.1

Namun seiring dengan perkem-bangan dan perubahan zaman, hubungan antara manusia dengan agama terus mengalami tantangan akan eksistensinya. Bahkan ter-kadang tantangan tersebut men-jadikan agama sebagai penyebab kemunduran peradaban manusia.2 Di antara tantangan yang paling besar adalah munculnya paham tidak beragama (ateisme) dengan berbagai macam variannya. Feuerbach mengatakan bahwa esensi agama terletak pada manusia, agama merupakan proyeksi manusia yang sama sekali bersifat jasmani (ateisme antropologis); Karl Marx menyebutnya sebagai ideologi kaum borjuis, agama itu candu masyarakat (ateisme sosio-politis); Sigmund Freud menyebutnya sebagai ilusi yang tidak sehat

(ateisme psikoanalitis); dan posisi yang paling radikal diajukan oleh Friedrich Nietzsche yang mengaku telah “membunuh

Tuhan”. Dia mengatakan bahwa “Tuhan sudah mati” (nihilisme) dan mengusulkan transvaluasi nilai.3

Tantangan ini semakin nyata ketika agama dihadapkan dengan perkembangan industrialisasi dan perubahan struktur masyarakat. Para sosiolog mengakui bahwa dalam masyarakat industri, kemaju-an teknologi banyak mengurangi kecenderungan untuk menjelaskan setiap peristiwa dengan mengacu kepada bermacam-macam dewa, setan, mantra, dan doa. Mereka me-nganggap bahwa pandangan dunia yang bersifat keagamaan digantikan dengan pandangan dunia yang bersifat sekular.4 Asumsi ini tentu saja memperoleh tanggapan yang serius dari kalangan sosiolog lainnya, seperti Max Weber. Weber berusaha menangkis tesis Marx bahwa supra-struktur ditentukan oleh infra-struktur atau ide ditentukan oleh materi. Weber hendak mengatakan sebaliknya, bahwa ide mempengaruhi sikap terhadap materi dalam rangka membantah salah satu kesimpulan bahwa agama adalah candu masyarakat. Weber menyimpulkan bahwa etika Protestan telah melahirkan prestasi ekonomi yang luar biasa, berkat nilai-nilai hidup hemat yang menimbulkan gerakan menabung untuk hari esok, keyakinan sebagai manusia pilihan Tuhan yang potensial mendorong

Page 4: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

4

gairah bekerja keras untuk mem-buktikan keterpilihan itu bahkan sampai pada pencapaian prestasi yang bersifat keduniaan.5 Dengan menggunakan konsep “asketisme-dunia batin (inner-worldly asce-ticism), dia berpandangan negatif terhadap asketisme dunia lain [keakheratan, ukhrawi] agama-agama sebagai penyimpangan dari tujuan agama itu sendiri, seperti Hindu, Budha, ordo Taoisme, Kong Hu Cu, dan agama lainnya.6

Sekalipun memperoleh banyak kritikan dan sanggahan, namun penekanan Weber terhadap arti pentingnya sikap dan nilai, baik yang diambil dari ajaran agama maupun yang tidak, sangat menarik karena dua hal. Pertama, mem-berikan paradigma pemikiran untuk mengembangkan paham ajaran-ajaran keagamaan di tengah-tengah derasnya industrialisasi dan seku-larisme. Paradigma pemikiran ini berkenaan dengan cara mengem-bangkan pemahaman keagamaan dalam kehidupan industrialisasi. Kedua, memposisikan agama dari peran yang bersifat teologis ke arah peran yang lebih sosio-kritik dengan menempatkan agama pada tantangan kehidupan sosial secara global. Dengan demikian, agama tidak hanya berperan sebagai “juru penyelamat” dan nilai-nilai untuk pegangan hidup manusia, namun juga berfungsi edukatif, kontrol sosial, transformatif, kreatif, dan sublimatif.7

Dalam jargon sosiologi agama, ditemukan istilah “agama etika”

atau ethical Religion, yakni agama yang mengajarkan—dalam sistem teologisnya—bahwa keselamatan manusia diperoleh melalui kegiatan atau amal perbuatan yang berbudi luhur. Islam termasuk kelompok agama etika ini. Bahkan seorang ahli menyebutnya sebagai “mono-teisme etis” (ethical monotheisme).8 Hal demikian karena Islam me-ngajarkan bahwa cara seseorang mendekati Tuhan ialah dengan berbuat baik (beramal saleh) dan mengabdi kepada Tuhan dengan tulus. Orientasi kerja ini merupakan perombakan fundamental terhadap orientasi keturunan pada bangsa Arab sebelum Islam. Karena itu, Ibn Taimiyah mengatakan, al-i’tibâr fî al-jâhiliyyah bi al-ansâb, wa al-i’tibâr fî al-Islâm bi al-a’mâl (penghargaan dalam jahiliyyah berdasarkan keturunan, dan peng-hargaan dalam Islam berdasarkan kerja).9 Bahkan Munir Mulkhan mengatakan bahwa amal saleh perlu diartikan sebagai pemeranan sumber daya alam dan manusia yang percaya pada kebenaran Islam dalam seluruh tahapan sejarah.10 Dalam salah satu hadis diceritakan bahwa “Rasulallah menegaskan kepada seorang sahabat bahwa apabila seseorang setiap waktu senantiasa beribadah di dalam masjid dan tidak pernah bekerja mencari nafkah untuk keluarganya dan dirinya sendiri sehingga setiap waktu diberi makan dan minum oleh saudaranya, maka orang yang memberi makan-minum itulah yang kelak akan menerima pahala yang

Page 5: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

5

sebenarnya harus diterima oleh orang yang beribadah tanpa melakukan sesuatu mata penca-harian tersebut.”11

Ajaran Islam selain menempatkan prinsip kebebasan pada tempat yang begitu sentral untuk mengejar tujuan kedunia-wian, juga mengharuskan umat Islam bekerja secara etik menurut norma yang secara garis besar telah disuratkan dan siratkan dalam Al-Quran dan hadis. Beberapa dari norma tersebut merupakan bagian rangkaian sistem yang mewajibkan manusia untuk bekerja keras.

Islam sebagai rahmatan li al-â’lamîn, memberikan sumber-sum-ber normatif yang berkaitan dengan kerja, nilai kerja, dan etos kerja.12 Etos kerja harus didasarkan pada tiga unsur, tauhid, taqwa, dan ibadah. Tawhîd akan mendorong bahwa kerja dan hasil kerja adalah sarana untuk men-Tawhidkan Allah SWT. sehingga terhindar dari pemujaan terhadap materi. Taqwa adalah sikap mental yang men-dorong untuk selalu ingat, waspada, dan hati-hati memelihara dari noda dan dosa, menjaga keselamatan dengan melakukan yang baik dan menghindari yang buruk. Se-dangkan ibadah adalah melak-sanakan usaha atau kerja dalam rangka beribadah kepada Allah SWT., sebagai perealisasian tugas khalîfah fî al-ardl, untuk menjaga mencapai kesejahteraan dan ketentraman di dunia dan akherat

.

Sebaliknya, lemahnya kesadar-

an keagamaan akan mempengaruhi etos kerja dan cenderung mengarah pada perbuatan dosa. Sebagai contoh, sekitar tahun 1950-an di perusahaan minyak Stanvac (Plaju dan Sungai Gerong) diseleng-garakan ceramah agama Islam untuk para buruhnya. Kegiatan ini diselenggarakan berdasarkan asum-si bahwa ajaran agama mengandung nilai-nilai moral yang dapat menyadarkan para buruh dari per-buatan tidak terpuji dan merugikan perusahaan. Setelah melalui eva-luasi, ternyata kegiatan tersebut dapat mempengaruhi para buruh dengan berkurangnya kebocoran seperti mencuri, manipulasi maupun penjualan barang-barang perusaha-an yang sebelumnya sukar di-lacak.13 Contoh sebaliknya adalah sekitar tahun 1979, perusahaan tekstil di Majalaya pernah melarang buruhnya menunaikan shalat Jum-’at. Menurut pimpinan perusahaan, waktu siang dan shalat Jum’at mengurangi jam kerja dan akan mengurangi produksi. Namun setelah larangan dilaksanakan, dan buruh dipaksakan tetap bekerja,

Etos Kerja

Tawhid

Taqwa Ibadah

Page 6: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

6

ternyata produksi menurun secara drastis.14

Maraknya kegiataan keagamaan belakangan ini di sejumlah perus-ahaan besar di daerah kawasan industri Bekasi, memberikan gam-baran umum mengenai apa yang sedang terjadi. Gambaran umum ini menyangkut pergeseran paradigma dan pendekatan kalangan pengusaha dalam memberikan kebijakan tentang peningkatan produktivitas kerja dari timing oriented ke arah keagamaan. Pergeseran ini dilaku-kan untuk meningkatkan etos dan produktivitas kerja pada satu sisi, dan mengurangi tingkat manipulasi buruh. Untuk itu, tidak heran apabila saat ini kegiatan keagamaan mulai dari rutinitas ibadah shalat lima waktu, peringatan hari-hari besar Islam, sampai kepada peng-ajaran cara membaca Al-Quran sangat marak dan berkembang luas di perusahaan-perusahaan besar.

Sebagai bangsa yang berpendu-duk mayoritas Islam, maka sudah selayaknya kita perlu meng-eksplorasi nilai-nilai Islam yang berhubungan dengan kegiatan kerja sehingga memiliki etos kerja yang bernafaskan Islam.

Karena timbulnya etos kerja pada seseorang berhubungan dengan ketinggian kualitas keaga-maannya, maka perlu dilihat se-berapa tinggi kualitas keagamaan para buruh perusahaan. Untuk dapat melihat permasalahan-permasalahan yang timbul berkenaan dengan kualitas keagamaan, tuntutan kerja,

maka diperlukan sebuah penelitian lapangan.

Telaah Pustaka

Secara teoritis, pengkajian dan penelitian tentang relasi antara agama secara umum dengan etos kerja ini memang melahirkan satu teori ilmu besar (grand theory) yang disebut teori fungsional. Teori ini berpandangan bahwa fungsi agama adalah mendukung dan meles-tarikan masyarakat yang sudah ada. Karena itu, agama bersifat fungsional terhadap persatuan dan solidaritas sosial.15 Salah satu tokoh besar dari aliran ini adalah Max Weber. Dalam buku mognum opus-nya yang berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, dia menyatakan adanya korelasi positif antara agama Kristen Protestan dengan etos kerja dalam membangun dan mengembangkan kapitalisme.16

Teori ini kemudian diuraikan secara lebih mendetail dalam karya Taufiq Abdullah (ed.), Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (Jakarta: LP3ES, 1979). Buku yang memuat beberapa tulisan dari sejumlah penulis yang berbeda luar maupun dalam negeri, memberikan gambaran secara lengkap mengenai pemikiran dan kerangka teoritis Max Weber mengenai teori fung-sional. Di antara mereka adalah Taufiq Abdullah, “Tesis Weber dan Islam di Indonesia; Max Weber, “Sekte-sekte Protestan dan Semangat Kapitalisme”; Max Weber, “Sikap Agama-agama

Page 7: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

7

Dunia Lain terhadap Orde Sosial dan Ekonomi”; Bryan S. Turner, “Islam, Kapitalisme dan Tesis Weber”; dan Hussein Alatas, “Tesis Weber dan Asia Tenggara”. Selain itu, untuk memperkuat aspek teoritis mengenai relasi agama dan etos kerja, buku ini juga memuat tulisan Clifford Geertz, dengan judul “Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia”. Kumpulan tulisan yang terdapat dalam buku ini selain banyak memberikan landasan pemi-kiran, juga mengkritisi teori Weber sebagai salah satu alternatif pe-mikiran yang bisa dijadikan landasan penerapannya di agama-agama lain.

Dengan menggunakan asumsi yang sama mengenai relasi agama dan etos kerja, Muhammad Tholchah Hasan melalui karyanya Dinamika Kehidupan Religius, mengembangkan kajian Islam dan etos kerja dari perspektif tasawuf. Dalam kajian tasawuf, posisi manusia terhadap kerja dapat dibagi ke dalam dua kategori. Pertama, orang yang berada di maqâm tajrîd, yakni orang-orang yang posisinya sudah tidak lagi membutuhkan kerja. Ini terjadi karena beberapa factor, seperti sudah lanjut usia, terlalu kecil melakukan pekerjaan, atau mungkin orang tersebut telah memiliki satu tingkat tertentu dalam hidupnya sehingga tidak meng-inginkan berbagai kesenangan yang mengharuskannya kerja. Kategori kedua, orang yang berada pada maqâm ikhtiyâr, yakni mereka yang

masih membutuhkan kerja karena masih memerlukan rumah, kenda-raan dan kebutuhan-kebutuhan lain-nya. Dalam konteks ini, Tholchah Hasan melakukan kontekstualisasi kategori maqâm ikhtiyâr untuk mengembangkan etos kerja dalam Islam.17

Sedang kajian secara politis mengenai relasi Islam dan etos kerja sebagai pilihan politik kebijakan pemerintah terungkap dalam tulisan Dr. Yahya Muhaimin, “Islam dan Etos Kerja: Tinjauan Politik”. Da-lam pandangannya, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim, sudah sepantasnya apabila di masa mendatang pemerintah Indonesia mulai membuat policy untuk meng-ambil dan mengembangkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran-ajaran Islam sebagai spirit pem-bangunan bangsa. Hal ini dianggap penting dan signifikan untuk men-transformasikan agama ke dalam aspek kehidupan sosial. Pandangan demikian didukung oleh tulisan Prijono Tjiptoherijanto, Etos Kerja dan Moral Pembangunan dalam Islam, (1988). Ideologi pembangun-anisme (developmentalism) yang cenderung positivistik yang selama ini dijadikan sebagai sandaran pembangunan bangsa Indonesia, telah melahirkan alienasi dan degradasi agama dari wilayah-wilayah yang bersifat sosial. Kuatnya ideologi ini telah me-nyingkirkan agama hanya ber-kenaan dengan persoalan ritualistik-formalistik semata. Karenanya, fungsi sosial agama pun selama dua

Page 8: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

8

dekade termarjinalkan dalam kehidupan nyata. Untuk itu, sebagai aset dan “budaya” bangsa, sebenarnya agama memiliki peran yang signifikan dalam pem-bangunan bangsa ini. Melalui nilai-nilai humanis, keadilan sosial, tanggung jawab, amanah, dan sebagainya yang terkandung di dalam agama Islam, sebagai contoh, pemerintah bisa mengembang-kannya sebagai budaya etos kerja bangsa. Kenyataan ini diperkuat oleh buku Prof. Dr. KH Ali Yafie dkk., Fiqih Perdagangan Bebas, yang mengungkapkan “ekonomi pembangunan” di Indonesia telah melahirkan permasalahan-permasa-lahan yang tidak diantisipasi, seperti inflasi, beban utang, dan kesulitan dalam hal perencanaan.18

Sementara dalam kerangka aplikatif dari teori Weber ini, tulisan M. Bambang Pranowo, “Tarekat dan Perilaku” Ekonomi” (1992), memberikan sejumlah kerangka pemikiran mengenai perilaku ekonomi di kalangan pengikut tarekat. Dalam pandang-annya, perilaku perekonomian yang menjunjung tinggi ketekunan, kegigihan, mentalitas usaha yang tinggi memiliki korelasi yang positif dengan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam tarekat tertentu. Penelitiannya membuktikan aliran tarekat sebagai spirit dalam meningkatkan aktivitas dan kegiatan-kegiatan perekonomian. Selain itu, dengan menggunakan teori Weber, Sugeng Sugiyono dkk. berusaha mengaplikasikan dalam

satu penelitian tentang Etos Kerja Wanita Bakul Di Kotamadia Yogyakarta dan Kabupaten Sle-man.19 Dalam penelitiannya, Sugeng berusaha mengaplikasikan grand theory Weber dalam konteks pedagang bakul dengan menghu-bungkan antara kualitas keagamaan pedagang dengan kegiatan bisnis bakul.

Adapun menyangkut hubungan antara etos kerja dengan Islam dalam konteks pekerja pabrik atau buruh di wilayah industri kabupaten Bekasi, fenomena ini belum tersentuh oleh sebuah penelitian yang utuh.

Fokus Penelitian

Untuk melakukan penelitian ini, permasalahan pokok yang perlu dipecahkan mencakup latar bela-kang maraknya kegiatan keagamaan di perusahaan-perusahaan di wila-yah industri kabupetan Bekasi, ada atau tidaknya hubungan antara kualitas keagamaan dengan etos kerja para buruh perusahaan, dan terakhir menyangkut ada atau tidaknya hubungan antara etos kerja dengan peningkatan produktivitas buruh perusahaan. Pertanyaan ini menjadi penting sebab maraknya kegiatan keagamaan di perusahaan-perusahaan tidak lepas dari ke-pentingan para pengusaha dalam meningkatkan produktivitas kerja buruh. Atau memang, kegiatan keagaman ini sebagai ”kompensasi” atau strategi pengusaha untuk menjadikan agama sebagai

Page 9: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

9

”tameng” dan alat kontrol terhadap sikap kritis buruh.

Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan-permasalah-an tersebut dan memudahkan penelitian ini, maka hipotesis yang diajukan adalah “semakin tinggi tingkat pengamalan keagamaan seseorang maka semakin baik pula etos dan produktivitas kerja sese-orang”. Hipotesis ini berdasarkan pada gabungan antara nilai-nilai trilogi Islam—sebagai agama etis—yakni tawhid, taqwa dan ibadah dalam mengembangkan etos kerja dengan trilogi dalam konsep “etika”, yakni etika, etos dan pandangan-dunia atau worldview. Untuk memperkuat hipotesis ini, didukung dengan analisis politik dengan menggunakan analisis wacana.

Dari asumsi tersebut, ada satu

benang merah yang bisa mendukung hipotesis tersebut.

Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian kali ini memiliki

tujuan untuk menjajaki, mengurai-kan sekaligus membuktikan adanya relasi positif antara agama Islam dengan peningkatan etos dan produktivitas kerja. Untuk itu diharapkan tujuan praktis yang hendak dicapai adalah:

1. Untuk mengetahui latarbela-kang maraknya kegiatan keagamaan di sejumlah peru-sahaan di daerah kawasan industri kabupaten Bekasi.

2. Untuk melihat hubungan antara kualitas keagamaan dengan etos kerja para buruh perusahaan-perusahaan besar.

3. Untuk mendukung percepatan perubahan sosial dan ekono-mi di tingkat pemerintah dae-rah, pengusaha dan masya-rakat yang hidup di ling-kungan masyarakat industri.

Dengan demikian, maka hasil

penelitian ini, paling tidak, bisa memberikan bukti ilmiah dan empirik yang konstruktif dan kritis bahwa:

1. Peran Islam dalam peningkat-an etos kerja di kalangan buruh perusahaan-perusahaan di daerah industri kabupaten Bekasi.

2. Sebagai sarana dan nilai alternatif untuk menumbuh-kembangkan sumber daya manusia Indonesia yang handal, memiliki kemampuan mengembangkan life skills,

Etos Kerja

Tawhid worldview

Taqwa etika

Ibadah etos

Page 10: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

10

berdaya saing tinggi dan bermoral.

3. Memberikan solusi dan infor-masi kepada pemerintah dae-rah dalam mengambil kebi-jakan di bidang pengem-bangan industri dan perlin-dungan bagi para buruh.

Kerangka Teoretik

Etos kerja termasuk dalah satu di antara global narrative, pembicaraan global. Salah satu di antara ciri sumber daya manusia (SDM) yang diharapkan negera-negera maju dan berkembang adalah wagra yang memiliki etos kerja yang tinggi. Dalam mana-jemen industri, ada empat parameter yang biasanya digunakan untuk melihat seseorang atau kelompok memiliki etos kerj atau tidak. Pertama, bagaimana pandangan seseorang tentang kerja. Orang yang memiliki etos kerja tinggi dan baik pasti memiliki pandangan bahwa kerja sebagai hal yang mulia. Karena sebagai sesuatu yang mulia, dia menghargai kerja. Parameter kedua, ada atau tidaknya semangat untuk melakukan pekerjaan, sema-ngat bekerja atau menyelesaikan pekerjaan. Orang-orang yang memiliki etos kerja baik, apabila ditugasi untuk melakukan pekerjaan akan tumbuh semangatnya untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan baik. Parameter ketiga, ada-nya upaya untuk menyempurnakan kerja agar menjadi lebih produktif. Dia tidak hanya melakukan suatu pekerjaan berdasarkan semangat

atau perintah saja, namun berusaha menjadikan cara kerja, model kerja, atau sistem kerja menjadi lebih baik dan bernilai produktif. Adapun parameter keempat, adanya kebang-gaan dapat melakukan pekerjaan yang menjadi tugasnya. Dia merasa bangga dan puas kalau dapat melakukan pekerjaan itu dengan baik. Orang yang memiliki empat parameter tersebut dianggap orang yang memiliki etos kerja yang tinggi.20

Dalam tradisi filsafat, istilah “etika” lazim dipahami sebagai teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk me-nyusun teori mengenai penye-lenggaraan hidup yang baik. Nilai-nilai etis yang dipahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut sebagai etos.21 Dalam hubungan ini, etos berhubungan erat dengan pandangan-dunia (worldview) atau sistem nilai yang dipegang oleh sebuah masyarakat.22

Menurut kamus Webster dan New Oxford, kata etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari sebuah organisasi atau komunitas, namun juga mencakup motivasi yang meng-gerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap, aspirasi, keyakinan, prinsip dan standar-standar.23

Page 11: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

11

Dalam pandangan Clifford Geertz, etos adalah the underlying attitude toward themselves and their world that life reflects (sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan dalam hidup). Etos adalah aspek evaluatif, yang bersifat menilai.24 Berkenaan dengan etos kerja, banyak para ahli telah mendefinisikan etos kerja ini sebagai “sebuah sikap mendasar dan ide pokok yang senantiasa berpengaruh besar terhadap kerja.” Etos kerja berarti sikap yang mendasar tentang kerja pada diri seseorang. Sebagian ahli lainnya berpendapat bahwa etos kerja adalah sifat-sifat dan karakteristik dari kerja dan karya. Bahkan dalam rumusan Jansen Sinamo, etos kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komit-men total pada paradigma kerja tertentu. Menurutnya, setiap manu-sia memiliki spirit untuk sukses, ruh keberhasilan, yakni motivasi murni untuk meraih dan menikmati keberhasilan. Spirit inilah yang mengejawantah menjadi perilaku yang khas, seperti kerja keras, disiplin, teliti, tekun, integritas, rasional dan bertanggungjawab me-lalui keyakinan, komitmen dan penghayatan atas paradigma kerja tertentu seperti ”kerja adalah rah-mat”, ”kerja adalah amanah”, ”kerja adalah ibadah”.25 Akhirnya etos kerja dapat disimpulkan sebagai jiwa dan semangat kerja yang dipegaruhi oleh cara pandang terhadap pekerjaan. Cara pandang

ini bersumber pada nilai-nilai yang tumbuh, berkembang dan dianut oleh seseorang yang sebagian besarnya merupakan refleksi dari nilai-nilai yang tumbuh, ber-kembang dan dianut oleh masyarakat. Untuk itu, etos kerja adalah fondasi sukses yang sejati dan otentik. Di sini kita akan me-masuki persoalan yang disebut etos kerja yang cukup rumit dan memiliki banyak teori.

Salah satu teori yang relevan bahwa etos kerja terkait dengan sistem kepercayaan yang diperoleh karena pengamatan bahwa ma-syarakat tertentu—dengan sistem kepercayaan tertentu—memiliki etos kerja lebih baik atau lebih buruk dari masyarakat lainnya. Sebagai contoh, yang paling terkenal adalah pengamatan so-siolog Max Weber terhadap ma-syarakat Protestan aliran Calvin-isme,26 yang diangkat menjadi dasar apa yang disebut ”Etika Protestan”. Para peneliti lainnya, juga melihat gejala yang sama pada masyarakat-masyarakat dengan sistem keper-cayaan yang berbeda. Misalnya, masyarakat Tokugawa di Jepang oleh Robert N. Bellah, komunitas santri di Jawa dan masyarakat Hindu Brahmana di Bali oleh Clifford Geertz. Semua tesis ini bertitik tolak dari sudut pandang nilai, atau dalam bahasa agama bertitik tolak dari keimanan.

Max Weber sendiri mence-tuskan ide etos kerja sebagai aspek evaluatif yang bersifat penilaian diri terhadap kerja yang bersumber dari

Page 12: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

12

realitas spiritual keagamaan yang diyakininya. Selanjutnya dijelaskan bahwa cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan adalah memenuhi kewajiban yang ditimpa-kan kepada si individu oleh kedudukannya di dunia. Inilah yang disebut sebagai calling atau panggilan, sebuah konsepsi agama mengenai tugas yang ditentukan oleh Tuhan, sebuah tugas hidup dan lapangan yang jelas tempat ia bekerja.27

Sejalan dengan tesis Weber ini, etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan seorang Muslim bahwa kerja memiliki kaitan dengan tujuan hidup, yakni memperoleh perkenan Allah Swt. Ini adalah implementasi dari kenyataan bahwa Islam adalah agama amal atau kerja (praxis) yang mengajarkan ”orientasi kerja” (achievement orientation). Islam menghendaki setiap individu hidup di tengah masyarakat secara layak sebagai manusia, paling tidak ia dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang dan pangan, memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahlian-nya, atau membina rumah tangga dengan bekal yang cukup. Artinya, bagi setiap orang harus tersedia tingkat kehidupannya sesuai dengan kondisinya, sehingga mampu me-laksanakan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah Swt. serta berbagai tugas lainnya. Untuk me-wujudkan hal itu, Islam meng-ajarkan bahwa setiap orang dituntut untuk bekerja atau berusaha dan memanfaatkan rezeki pemberian

Allah Swt. (Qs. Al-Mulk [67] 5). ”...apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (Qs. Al-Jumu’ah [62]: 10), menunjukkan bahwa Islam menghendaki adanya etos kerja yang tinggi bagi umatnya dalam memenuhi keinginannya, bukan semata-mata berdoa. Bahkan untuk memotivasi etos kerja umatnya, Rasulullah Saw. bersabda ”Makanan yang paling baik dimakan oleh seseorang adalah hasil usaha tangannya sendiri” (HR. Bukhari).

Konsep keseimbangan (equi-llibrium) dalam Islam merupakan sesuatu yang fundamental. Komit-men kewajiban seorang Muslim terhadap Allah SWT. sama esensialnya dengan komitmen ke-wajiban terhadap tetangga. Apabila teori Weber menjelaskan tentang adanya hubungan langsung secara fungsional antara sistem nilai suatu ajaran agama dengan kegairahan bekerja, maka dalam kerangka berpikir semacam itu dapat dika-takan bahwa ketakwaan dan kesalehan dalam menganut ajaran Islam secara kaffah dalam kondisi tertentu akan mendinamisasikan pemeluk Islam dalam melakukan kegiatan duniawi.

”Katakanlah:’Aku hanya se-orang manusia seperti kamu, yang diberi wahyu; namun Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Barangsiapa yang mengharapkan pertemuan

Page 13: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

13

dengan Tuhan, maka kerja-kanlah amal kebaikan, dan dalam beribadah kepada Tuhan janganlah perseku-tukan dengan siapa pun’” (Qs. Al-Kahfi [18]: 110)

Dalam kerangka ajaran Islam,

maka konsep inner-worldly asce-ticism ini tidak terletak pada “panggilan” untuk menjadi diri manusia sebagai orang terpilih, namun pada kemutlakan islami pada setiap Muslim untuk melaksanakan kewajiban ibadah dan mu’âmalah secara simultan dan hanya kepada mereka yang bekerja akan diberikan balasan kedunia-wiannya (QS. Al-Baqarah [2]: 202). Karena itu, kesalehan tidak hanya bermakna menjauhkan diri dari dunia (out-worldy asceticism) na-mun juga bermakna mencurahkan diri dalam kegiatan-kegiatan kedu-niaan, termasuk kegiatan ekonomi (inworldy asceticism).28 Kesalehan macam ini misalnya menjiwai keulaten dalam aktivitas ekonomi sebagai media dakwah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Ditinjau dari berbagai sisi dalam sistem nilai Islam maka dapat ditegaskan bahwa ajaran Islam memberikan kondisi spiritual (psychological dynamics) kepada umat Islam untuk melakukan aktivitas keduniawian yang memi-liki makna religius. Ajaran Islam juga merupakan sumber aktivitas untuk berlangsungnya transformasi struktural dan memberikan bentuk sistem perilaku anggota masyarakat

yang berkaitan dengan fenomena sosial-ekonomi.29 Karenanya, etos kerja yang tinggi selalu berhu-bungan dengan kesalehan, karena dalam kesalehan, ada tujuan hidup yang tidak semata-mata duniawi namun transendental. Kehidupan yang transendental tersebut menjadi sumber harapan yang bisa membuat orang bisa menyelesaikan sejumlah kesulitan. Dalam hal ini, surah Al-Dlûha bisa menjadi sumber etos kerja yang baik karena tiga alasan. Pertama, ada tuntutan bahwa kita harus berorientasi ke masa depan; kedua, kita harus optimis bahwa akan ada kemenangan di masa depan sebagai wujud dari ganjaran (reward) pekerjaan kita sendiri; ketiga, ada tuntutan agar kita tetap tawaddlu dan tahu diri sehingga tidak menjadi sombong.30

Dalam konteks ini, relasi antara agama dan etos kerja digambarkan secara implisit dalam konsep Jansen Hulman Sinamo, yang disebut dengan delapan etos etos kerja professional. Di antaranya:

1. Kerja adalah rahmat, aku bekerja tulus penuh syukur;

2. Kerja adalah amanah, aku bekerja benar penuh tang-gung jawab;

3. Kerja adalah panggilan, aku bekerja tuntas penuh inte-gritas;

4. Kerja adalah aktualisasi, aku bekerja keras penuh semangat;

5. Kerja adalah ibadah, aku bekerja serius penuh pe-ngabdian;

Page 14: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

14

6. Kerja adalah seni, aku be-kerja cerdas penuh krea-tivitas;

7. Kerja adalah kehormatan, aku bekerja tekun penuh keunggulan;

8. Kerja adalah pelayanan, aku bekerja sempurna penuh kerendahan hati.

Metodologi

Penelitian lapangan ini meng-gunakan pendekatan kualitatif-kuantitatif untuk memperkuat temu-an-temuan yang diperoleh dari nara sumber dan data lapangan. Kua-litatif digunakan untuk menemukan kecenderungan yang tidak bisa dikuantifikasi dengan angka-angka, sedang kuantitatif diperlukan untuk mendukung kecenderungan yang terungkap melalui pendekatan kua-litatif. Untuk memudahkan pene-litian ini, maka penjelasan me-nyangkut arah dan orientasi dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut.

1. Definisi variabel penelitian

Untuk mengukur kualitas ke-agamaan pada individu subyek dalam penelitian ini, digunakan pendekatan multi dimensional ter-hadap penilaian kualitas keagamaan yang dirumuskan Glock,31 antara lain:

a. Aspek ritual (ritual invol-vement)

b. Aspek ideologi (ideological involvement)

c. Aspek intelektual (intellect-tual involvement)

d. Aspek pengalaman (expe-rience involvement)

e. Aspek konsekuensi sikap dan komitmennya terhadap ajaran agama (consequen-tial involvement).

Adapun etos dan produktivitas kerja diukur melalui aspek-aspek sebagai berikut:

a. Sikap terhadap kerja b. Etika kerja c. Keberhasilan kerja. 2. Penentuan Sampel Subyek yang dijadikan bahan

penelitian ini adalah para pekerja pabrik atau buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar di daerah kawasan industri kabupetan Bekasi. Di daerah kawasan industri ini setidaknya ada lima daerah kawasan industri, yakni kawasan industri MM2100 Cibitung, kawas-an industri East Industrial Jakarta Park (EJIP) Cikarang Selatan, Cikarang Barat, Lippo Cikarang dan daerah kawasan industri Jababeka Cikarang Selatan. Adapun perusa-haan-perusahaan besar yang telah ditentukan dalam penelitian ini adalah:

1. PT. Epson (East Jakarta Industrial Park [EJIP])

2. PT. Nippon Elektrik Glass (Jababeka)

3. PT. Matel (Jababeka) 4. PT. Unilever (Jababeka) 5. PT. SHOWA (Jababeka) 6. PT. Gobel (Cikarang Barat) Adapun cara random dikenakan

kepada para pekerja pabrik yang bekerja di perusahaan-perusahaan

Page 15: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

15

tersebut, yakni para pekerja yang beragama Islam. Random di sini dalam arti bahwa semua pekerja Muslim yang berada di perusahaan-perusahaan tersebut memiliki ke-sempatan yang sama untuk menjadi subyek penelitian tanpa mem-perhitungkan jenis kelamin, umur, dan pangkat.

3. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam

penelitian ini ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:

a. Observasi Teknik obervasi atau pengamatan ini ditempuh dalam rangka men-dapatkan data dengan cara me-ngamati gejala-gejala yang sedang berlangsung. Observasi dengan cara pengamatan langsung pada obyek penelitian dilakukan secara sepintas dalam arti obser-vasi yang tidak mendalam. Pengamatan langsung di lapangan dimaksudkan untuk melihat dam-pak dari kualitas keagamaan dengan etos dan produktivitas kerja seorang buruh. b. Angket Untuk memperoleh data primer, maka ditempuh cara angket yang harus diisi sendiri oleh masing-masing subyek, yakni para pekerja Muslim. c. Wawancara

2. Analisis Data dan Penarikan Kesimpulan

Analisis data dalam penelitian ini merupakan langkah akhir, penting dan mutlak agar membuat data berbicara dan mempunyai arti. Analisis data ini dilakukan

dengan menguraikan tahapan-tahapan kategorisasi dan klafisi-kasi, perbandingan dan persa-maan hubungan antara variabel yang merujuk kepada kerangka pemikiran. Dari analisis ini kemudian bisa diperoleh satu kesimpulan mengenai relasi Islam dengan etos dan produktivitas kerja buruh di daerah kawasan industri kabupaten Bekasi.

Daftar Rujukan Mulkhan, Abdul Munir, Perburuh-

an dalam Gerakan dan Pemi-kiran Islam, 1995 makalah tidak diterbitkan.

Yafie, Ali, dkk., Prof. Dr. KH., Perdagangan Bebas, Teraju, Jakarta, 2003.

Scharf, Betty R., Kajian Sosiologi Agama, (terj.) Drs. Machnun Husein, Tiara Wacana, Yogy-akarta, 1995.

Rachman, Budhy Munawar, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jld. III, Mizan-Paradamina-CSL, Jakarta, 2006.

Arifin, HM., ed., Prof., Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, PT. Golden Terayon Press, Jakarta, 1995.

Jalaluddin, Dr., Psikologi Agama, Rajawali Press, Jakarta, 1996.

Sinamo, Jansen Hulman, Guru Etos Indonesia, makalah tidak diter-bitkan.

Hidayat, Komaruddin, “Etika Dalam Kitab Suci dan Rele-vansinya Dalam Kehidupan Modern: Studi Kasus Di Turki”, dalam Budhy Munawar-

Page 16: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

16

Rachman (ed.), Kontekstualisa-si Doktrin Islam Dalam Sejarah, Yayasan Paramadina, Jakarta, 1994.

Pranowo, M. Bambang, “Tarekat dan Perilaku” Ekonomi”, Pesantren, No. 1, Vol. IX, 1992.

Hasan, Muhammad Tholchah, Dinamika Kehidupan Religius, Listafariska Putra, Jakarta, 2000.

Madjid, Nurcholish, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, 1994.

Tjiptoherijanto, Prijono, Etos Kerja dan Moral Pembangunan dalam Islam, 1988 makalah tidak diterbitkan.

Firth, Raymond, Religion: A Humanist Interpretation, Rout-ledge, 1997.

Martin, Richard C., “Understanding The Qur’an in Text and Context”, History of Religions, 21: 4 (1982).

Sunardi, St., “Dialog: Cara Baru Beragama Sumbangan Hans Küng Bagi Dialog Antaragama” dalam Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Kerjasama DIAN dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1993.

Abdullah, Abdullah (ed.), Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, LP3ES, Jakarta, 1979.

Muhaimin, Yahya, “Islam dan Etos Kerja: Tinjauan Politik”, dalam Abdul Basir Solissa, dkk (ed.), Al-Quran dan Pembinaan

Budaya: Dialog dan Transfor-masi, LESFI, Yogyakarta, 1993.

Swasono, Sri Edi, dkk., Sekitar Kemiskinan dan Keadilan Dari Cendikiawan Kita Tentang Islam, Penerbit UI, Jakarta, 1988.

Sugiyono, Sugeng, dkk., “Etos Kerja Wanita Bakul Di Kotamadia Yogyakarta dan Kabupaten Sleman”, dalam Jurnal Penelitian Agama, Bo. 3, Januari-April 1993.

Catatan Kaki 1 Cak Nur menggunakan istilah “perjanjian primordial” berdasarkan ayat Al-Quran: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengambil dari anak-cucu Adam—dari punggung-punggung mereka—keturunan mereka, dan dimintakan saksi atas mereka: Bukankah aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Benar kami bersaksi. Demikianlah agar kamu (tidak) berkata pada hari kiamat: Sesungguhnya kami lupa akan hal itu” (QS. Al-A’râf [7]: 172). Untuk lebih jelasnya lihat Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 232. Bandingkan dengan “fitrah beragama” manusia yang disebut oleh J. J. Jung dengan Naturaliter religiosa (bakat beragama), atau homo divinans (mahluk ber-Tuhan) atau homo religios (mahluk beragama). Lihat Prof. HM. Arifin, M. Ed., Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar (Jakarta: PT. Golden Terayon Press, 1995), h. 8. 2 Di antara para filsuf ateistik modern

Page 17: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

17

yang banyak menyudutkan dan mengkritik agama adalah Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche. Namun terlepas dari perdebatan pro dan kontra antara pendukung agama dan kalangan ateis, namun fenomena ini bisa menjadi renungan kalangan agamawan untuk mampu merumuskan kembali ajaran-ajaran agama dalam konteks masa kini. 3 St. Sunardi, “Dialog: Cara Baru Beragama Sumbangan Hans Küng Bagi Dialog Antaragama” dalam Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Kerjasama DIAN dan Pustaka Pelajar, 1993), h. 63-64. Dalam ungkapan lain, Marx menyebut Agama adalah aroma spiritual dunia (‘jene Welt, deren geistiges Aroma die Religion ist’. Dalam pandangan Raymond Firth, kritik Marx sebenarnya tidak ditujukan pada eksistensi agama namun lebih kepada struktur masyarakat tempat agama itu berada. Sedangkan untuk kasus Nietzsche dan gerakan modern ‘Tuhan telah Mati’ dalam teologi Kristen menunjukan bahwa gagasan tradisional tentang transenden Tuhan sudah tidak lagi berlaku dalam dunia sekular; menunjukan bahwa gagasan Judeo-Kristen tentang gagasan personal Tuhan telah digantikan oleh pencarian ketuhanan dengan sifat yang berbeda, seperti cinta Kristus. Dalam pandangan dialektis, Tuhan transenden primordial yang absolut telah menihilkan dirinya sendiri, telah mematikan Yesus Kristus sehingga muncul entitas spiritual baru. Untuk lebih jelasnya lihat, Raymond Firth, Religion: A Humanist Interpretation (Routledge: 1997), h. 40-70. 4 Betty R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama, (terj.) Drs. Machnun Husein

(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995), h. 40. 5 M. Bambang Pranowo, “Tarekat dan Perilaku” Ekonomi”, Pesantren, No. 1, Vol. IX, 1992, h. 15-16. 6 Pandangan ini mendapatkan kritikan dan sanggahan dari pemikir lainnya, dengan mengutarakan bukti bahwa ternyata orang-orang Katolik juga bisa membuat usaha dengan etos kerja yang sama dengan pengusaha protestan dan agama-agama lainnya. Lihat Betty R. Scharf, Kajian…, op. cit., h. 187-188. 7 Fungsi edukatif adalah bahwa ajaran agama yang dianut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Perintah dan larangan yang terdapat dalam agama dapat mengarahkan penganutnya untuk menjadi baik sesuai dengan agamanya. Fungsi kontrol sosial (control social) adalah agama memberikan pengawasan kepada individu sosial. Fungsi transformatif adalah merubah kepribadian seseorang atau kelompok dalam kehidupan yang dihadapinya. Fungsi kreatif adalah ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, namun juga untuk kepentingan orang lain. Dan terakhir fungsi sublimatif adalah ajaran agama mensucikan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat ukhrawi, namun juga yang bersifat keduniawian. Untuk lebih jelasnya, lihat Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), h. 233-236. 8 Pandangan ini diperkuat dengan mengutip dua ayat Al-Quran: “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, hendaknya dia mengerjakan perbuatan baik, dan hendaknya dalam beribadah

Page 18: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

18

kepada Tuhannya dia tidak mempersekutukan Tuhan itu dengan sesuatu apapun juga” (QS. Al-Kahf [18]: 110). Juga ditegaskan bahwa “Manusia tidaklah memperoleh sesuatu kecuali yang ia usahakan (sendiri), dan hasil usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian dia akan dibalas dengan balasan setimpal” (QS. Al-Najm [53]: 40-42). Lihat Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu… op. cit., h. 140. 9 Ibid. 10 Bahkan dalam menghadapi milenium ketiga, fenomena budaya yang termasuk Iptek perlu dimasukan sebagai media religiusitas dan jalan mendekatkan diri kepada Allah. Untuk lebih jelasnya lihat Abdul Munir Mulkhan, Perburuhan dalam Gerakan dan Pemikiran Islam, 1995 makalah tidak diterbitkan, h. 5. 11 Hadits ini dikutip dari Dr. Yahya Muhaimin, “Islam dan Etos Kerja: Tinjauan Politik”, dalam Abdul Basir Solissa, dkk (ed.), Al-Quran dan Pembinaan Budaya: Dialog dan Transformasi (Yogyakarta: LESFI, 1993), h. 115. 12 Prijono Tjiptoherijanto, Etos Kerja dan Moral Pembangunan dalam Islam, 1988 makalah tidak diterbitkan, h. 59-64. 13 Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama, op. cit., h. 18. 14 Ibid. 15 Betty R. Scharf, Kajian Sosiologi…, op. cit., h. 93. 16 Untuk lebih jelasnya, lihat ibid., bab 7, h. 177-211. 17 Muhammad Tholchah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, (Jakarta: Listafariska Putra, 2000), h. 184-196.

18 Prof. Dr. KH. Ali Yafie dkk., Fiqih Perdagangan Bebas (Jakarta: Teraju, 2003), h. 82. 19 Sugeng Sugiyono, dkk., “Etos Kerja Wanita Bakul Di Kotamadia Yogyakarta dan Kabupaten Sleman”, dalam Jurnal Penelitian Agama, Bo. 3, Januari-April 1993. 20 Muhammad Tholchah Hasan, op. cit., h. 183-184 21 Komaruddin Hidayat, “Etika Dalam Kitab Suci dan Relevansinya Dalam Kehidupan Modern: Studi Kasus Di Turki”, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994), h. 509. 22 Menurut Geertz, pandangan dunia (worldview) adalah konstruksi realitas mental atau sekumpulan konsep realitas yang diambil secara bersama-sama oleh sebuah masyarakat. Sedangkan etos adalah merujuk kepada “style” kehidupan umum dan cara mereka melakukan sesuatu. Pandangan dunia bisa dipercaya karena etos, sedangkan etos bisa dibenarkan karena pandangan dunia yang dianggap menjadi kebenaran. Lihat Richard C. Martin, “Understanding The Qur’an in Text and Context”, History of Religions, 21: 4 (1982), h. 368. 23 Jansen Hulman Sinamo, Guru Etos Indonesia, makalah tidak diterbitkan, h. 1. 24 Dikutip dari Taufiq Abdullah (ed.), Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1979), h. 3. 25 Jansen Hulman Sinamo, op. cit., h. 1. 26 Dalam tradisi tawasuf Islam, banyak sekali diajarkan hal demikian. Dalam tesis Max Weber, kalangan tasawuf

Page 19: 68-264-1-PB.pdf

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

19

adalah kaum Calvin, yakni mereka yang sangat saleh beragama dan sangat zuhud, tidak mau hidup bermewah-mewah namun merekalah yang berhasil secara ekonomis. Kezuhudan telah membuat mereka menjadi rajin, ulet dan produktif, sehingga menyisihkan sebagian keuntungannya untuk modal. Karena itu, secara sederhana bisa dikatakan bahwa tesis Max Weber mengenai kapitalisme sebenarnya dimulai dari orang-orang yang saleh. Kaum Calvin atau Calvinis adalah kaum puritan yang memiliki paham Jabari, artinya menyakini bahwa manusia telah ditentukan tempatnya di mana, surga atau neraka. Kendati demikian, di dunia ini manusia diberi tanda-tanda oleh Tuhan, apakah nanti akan masuk surga atau neraka. Salah

satu tandanya yang terpenting adalah sukses, sehingga kalau orang sukses di dunianya maka di akherat pun sukses. Karena itu, orang Calvin terdorong untuk bekerja keras demi mencapai sukses. Lihat Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jld. II, (Jakarta: Mizan-Paradamina-CSL, 2006), h. 1513. 27 Taufiq Abdullah (ed.), op. cit. 28 Bambang Pranowo, “Tarekat… op. cit., h. 16. 29 Sri Edi Swasono, dkk., Sekitar Kemiskinan dan Keadilan Dari Cendikiawan Kita Tentang Islam, (Jakarta: Penerbit UI, 1988) h. 51. 30 Budhy Munawar-Rachman, op. cit., h. 1513. 31 Sugeng Sugiyono, dkk., “Etos Kerja…, op. cit., h. 40.