67885 public disclosure...

63
67885 Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized

Upload: nguyenque

Post on 09-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

67885P

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

ed

Page 2: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

Provincial Governance Strengthening ProgramDecentralization and Local Governance Transformation Cluster

Democratic Governance Unit

Desentralisasi dan Provinsike Arah Penguatan Tatakelola Provinsi

2011

Page 3: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

Desentralisasi dan Provinsi:ke Arah Penguatan Tatakelola Provinsi

olehHARRY SELDADYO

PGSP ProjectGraha Mandiri Lantai 21Jl. Imam Bonjol 61, Menteng, Jakarta Pusat 10310IndonesiaTelp : 6221 391 7284, 391 8554, 3193 5361Fax : 6221 315 3461PGSP Paper Series No.2—Maret 2011

c©2011 ISBN: 978-602-98635-0-5

Pernyataan: Tulisan ini bukan merupakan pandangan resmi BAPPENAS, UNDP,DSF, maupun mitra-mitra PGSP terkait. PGSP adalah proyek pengembangankapasitas tata pemerintahan yang dikembangkan oleh BAPPENAS dan UNDPdengan dukungan DSF.

Page 4: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

Sekapur Sirih dari GM21

Paper ini adalah usaha untuk memberi konteks bagi program penguatan provin-si, Provincial Governance Strengthening Program (PGSP), yang diinisiasi olehDemocratic Governance Unit (DGU) UNDP bersama-sama mitra-mitra kerjaBappenas, Kementerian Dalam Negeri, dan tiga pemerintah provinsi —BangkaBelitung, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur melalui dukungan Decentra-lization Support Facility (DSF). Banyak pihak telah membantu hingga pa-per ini dapat berbentuk seperti sekarang ini. Tetapi pandangan-pandanganyang ada di dalamnya tidak mencerminkan posisi resmi pihak-pihak maupunlembaga-lembaga itu. Terima kasih disampaikan untuk segala bentuk kon-tribusi yang telah diberikan. Di antara kekurangan-kekurangan yang dapatditemui di paper ini, penulisnya bertanggungjawab atas keseluruhan paper ini.

Jakarta, Maret 2011Penulis

Page 5: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

Daftar Isi

Tema-tema Pokok . . . . . . . . . . . . 1? Provinsi dalam Tema 1? Organisasi Tulisan 4

Kerangka Hukum:Menuju Penguatan Peran Provinsi . . . . . . . . . . . . 5

? Hubungan Antarpemerintah 5? Peran Ganda Provinsi 10? Hubungan Horisontal 11? Hubungan Vertikal 15? Mencari Titik Temu 17

Perencanaan dan Penganggaran:Ke Arah Pencapaian Sinergi . . . . . . . . . . . . 21

? Perubahan-perubahan dalamPerencanaan dan Penganggaran 21

? Sinergi Perencanaan dan Penganggaran 25? Sinergi Pusat dan Daerah 32

Tatakelola Pelayanan Publik:Reformasi untuk Inovasi . . . . . . . . . . . . 37

? Tatakelola dalam Perspektif 37? Sektor Publik dan Inovasi 41? Standar Pelayanan Minimal 45

Provinsi:? Sebuah Epilog . . . . . . . . . . . . 49

? Rujukan

Page 6: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

Daftar Tabel

Tabel 1:Provinsi dalam Relasi Tatakelola . . . . . . . . . . . . 20Tabel 2:Kalender Perencanaan dan Penganggaran . . . . . . . . . . . . 24Tabel 3:Indeks Infrastruktur Indonesia . . . . . . . . . . . . 28Tabel 4:Rapat Kerja Gubernur-Presiden 2010 . . . . . . . . . . . . 30Tabel 5:Indonesia dalam Indeks Tatakelola . . . . . . . . . . . . 38Tabel 6:Provinsi dalam Indeks Tatakelola . . . . . . . . . . . . 39Tabel 7:Pembatalan Peraturan Daerah . . . . . . . . . . . . 42

Page 7: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

Daftar Kotak

KOTAK 1Lima Faktor Gubernur Tidak Ditaati . . . . . . . . . . . . 8KOTAK 2Staf Ahli Menteri Kecewa, Bupati Cuma Isi Absen . . . . . . . . . . . . 9KOTAK 3Persiapan DIPA Tidak Berarti Tanpa Langkah . . . . . . . . . . . . 27KOTAK 4Kepala Daerah Harus Berjiwa Inovasi . . . . . . . . . . . . 48KOTAK 5Peran Pembangunan Pemerintah Provinsi Didorong . . . . . . . . . . . . 52

Page 8: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

Tema-tema Pokok

Provinsi dalam Tema

Indonesia mengambil langkah berani untuk menjalankan agenda desentrali-sasi di tengah-tengah, sedikitnya, tiga keadaan. Pertama, tingginya tarik-menarik kepentingan mengenai konfigurasi hubungan antarpemerintah yangsecara dinamis terus-menerus menuntut penyesuaian kerangka hukum untukmenaunginya. Kedua, besarnya kebutuhan sinergi perencanaan dan peng-anggaran antarjenjang pemerintah sebagai pengalaman baru Indonesia yangterdesentralisasi. Ketiga, terbatasnya kapasitas tatakelola dan kemampuaninovatif untuk berhadapan pada desakan-desakan penerapan suatu standarpelayanan publik tertentu.

Bagaimana implikasi semua ini pada peran provinsi dan bagaimana tan-tangan-tantangan riil yang muncul harus dihadapi adalah tema sentral pa-per ini. Provinsi, kendatipun terkesan sebagai rantai pemerintah yang hilang(missing link, Sudarmo dan Sudjana (2009)), mendapat perhatian khusus disini karena posisinya yang strategis dalam perspektif hubungan organisasionalpemerintahan maupun ekonomi-politik. Secara organisasional, provinsi adalah‘yurisdiksi antara‘ yang menjembatani pemerintah pusat dan kabupaten-kotaserta sebaliknya. Sebagai ‘yurisdiksi antara’, provinsi menjadi titik-temu (melt-ing pot) kepentingan-kepentingan nasional dan lokal. Dalam tatahubunganantarpemerintah, provinsi adalah representasi kehadiran pemerintah nasionaldi daerah, dan sebaliknya berpotensi sebagai representasi advokasi kepentingan-kepentingan daerah ke tingkat nasional.

Provinsi sebagai ‘yurisdiksi antara‘ ini juga dibutuhkan untuk membagiperhatian berimbang kepada 399 kabupaten dan 98 kota yang memiliki 6.652kecamatan 77.012 desa. Dalam luas wilayah yang hampir dua juta km2 danpenduduk lebih dari 237,6 juta jiwa, tidak mungkin yurisdiksi-yurisdiksi ini di-kendalikan oleh suatu pengambilan kebijakan tunggal yang terpusat. Rentangkendali geografi-administrasi yang luas seperti itu dipersulit lagi oleh faktaketimpangan antardaerah yang nyaris persisten (Akita dan Alisjahbana, 2002)

1

Page 9: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

2

dan kecenderungan konvergensi regional yang tidak terjadi secara signifikan(Hill et al, 2008; 2009).

Dengan tetap mencatat sejumlah kemajuan yang ada, luar Jawa ataulebih khusus lagi di wilayah timur Indonesia praktis tertinggal dalam perkem-bangan sosial-ekonomi dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa atau di sisibarat Indonesia. Malahan, empiri menunjukkan bahwa semakin jauh suatuyurisdiksi dari pusat pengambilan keputusan, semakin buruk kinerja pemba-ngunan yang ditampilkannya (Seldadyo, et al., 2009). Pendapatan per kapitakabupaten-kota relatif terhadap pendapatan per kapita domestik dan IndeksPembangunan Manusia, misalnya, menampilkan gelagat menurun sejalan de-ngan jauhnya jarak dari Jakarta. Tingkat kemiskinan juga mencolok ketikasebuah yurisdiksi menjauh dari pusat pengambilan keputusan. Sebaliknya, iamembaik saat suatu yurisdiksi secara geografis dekat dengan pusat pengam-bilan keputusan. Situasi ini diperburuk pula oleh mutu tatakelola ekonomikabupaten dan kota, utamanya kabupaten dan kota yang jauh dari pusatpengambilan kebijakan. Ada tanda-tanda hubungan yang terbalik antara mu-tu tatakelola dengan jarak dari pusat pengambilan kebijakan. Kabupaten-kotayang jauh dari Jakarta tidak mampu menampilkan mutu tatakelola ekonomiyang baik (Seldadyo, et. al., 2010), padahal tatakelola ekonomi merupakansalah satu variabel penting dalam pembentukan daya saing daerah.

Lebih jauh lagi, dengan tetap menimbang faktor lain penentu kinerjadaerah,1 fakta di atas membawa pesan tentang pentingnya pusat pengambil-an keputusan untuk selalu dekat dengan target-target penetapan kebijakandi kabupaten-kota. Ini patut dibaca sebagai upaya memperpendek rentangkendali dari pusat ke kabupaten-kota, karena pemerintah provinsi dapat didu-dukkan di antara kedua entitas pemerintahan ini. Selain itu, pemerintahprovinsi —dilihat sebagai suatu ‘pemerintah di lapis kedua’— dapat memainkanperan sebagai kanal penghubung antara pemerintah di tingkat pusat dan dikabupaten-kota.

Selain alasan organisasional, alasan ekonomi-politik juga menjelaskanmengapa provinsi patut mendapat perhatian. Provinsi adalah skala ideal bagikegiatan-kegiatan ekonomi dan politik. Sejumlah kegiatan ekonomi dan politiknasional dan kabupaten-kota —termasuk eksternalitas ikutannya— terhitungefisien jika diterapkan pada skala provinsi.2 Inipun belum memperhitungkan

1Ada sejumlah faktor lain yang turut berperan sebagai penjelas capaian daerah. Untukissu ini, lihat, misalnya, Harry Seldadyo, et al., (2009), Creation of New Jurisdictions andPeople’s Welfare: In Search of Alternatives, UNDP, BAPPENAS, DSF..

2Ketika otonomi di kabupaten-kota dikenalkan pada 1999, misalnya, alasan-alasan yangmerujuk pada ‘skala ideal provinsi’ bagi terjadinya disintegrasi nasional juga muncul dalamwacana desentralisasi. Ini merupakan perspektif politik ‘skala ideal provinsi’, sedangkan dariperspektif ekonomi ‘skala ideal provinsi’ muncul investasi, lingkungan hidup, dan sebagainya.

Page 10: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

3

kegiatan-kegiatan pembangunan yang bersifat concurrent, lintaskabupaten-kota, ataupun guyub (common) yang kesemuanya membutuhkan otoritas mana-jemen tersendiri. Kegiatan-kegiatan pembangunan dengan sifat yang demikianjauh lebih efisien dan efektif di dalam kendali jaringan antarpemerintah denganprovinsi sebagai simpulnya.

Paper ini dimaksudkan untuk memberi konteks bagi sebuah programyang diinisiasi oleh UNDP melalui Democratic Governance Unit yang bernama‘Provincial Governance Strengthening Program’ (PGSP) di bawah skema pem-biayaan Decentralization Support Facility (DSF). Ditelisik dari namanya, pro-gram ini menjalankan agenda-agenda untuk memperkuat peran provinsi dalamkoordinasi, supervisi, serta pemantauan dan evaluasi pembangunan. Secarakhusus, paper ini mendiskusikan tiga tema pokok yang diungkap di paragrafawal —kerangka hukum, perencanaan-penganggaran, dan inovasi tatakelola—sehingga organisasi paper secara keseluruhan mengikuti urutan issu-issu itu.Bagian Pendahuluan membuka wacana singkat tentang ketiga issu ini, yangdi bagian-bagian selanjutnya elaborasi lebih dalam dilakukan. Bagian akhiradalah rangkuman keseluruhan diskusi.

Tema pokok yang pertama, kerangka hukum, pada prinsipnya adalah ke-butuhan akan basis legal bagi penguatan posisi dan peran provinsi. Ini tidakhanya menyangkut basis hukum bagi provinsi untuk menjadi pemegang ko-mando pembangunan daerah secara vertikal sebagaimana Peraturan Pemerin-tah (PP) 19/2010, lebih daripada itu kerangka hukum yang lebih fundamentaldibutuhkan bagi pengaturan hubungan antarpemerintah di dalam Indonesiayang berbentuk ‘pemerintahan berlapis dalam negara kesatuan yang tedesen-tralisasi’.3 Pada saat yang bersamaan, tema pokok yang pertama juga da-pat memberi basis legal bagi tema-tema pokok yang kedua dan ketiga, yakniperencanaan-penganggaran dan inovasi tatakelola. Oleh karena itu, perhatianterhadap proses revisi UU 32/2004 yang tengah berlangsung saat ini menjadiberalasan.

Tema pokok yang kedua merujuk pada tuntutan sinergi, integrasi, dankoordinasi perencanaan dan penganggaran. Tuntutan ini secara teknokratisbukan saja rasional dari sisi efektivitas pencapaian tujuan, tetapi juga dariefisiensi penggunaan sumber daya. Selain itu, secara politik, ini adalah tun-tutan mengenai akuntabilitas sektor publik yang dibutuhkan oleh Indone-sia dalam iklim demokratis. Di dalam rejim desentralisasi seperti sekarangini, tuntutan sinergi perencanaan-penganggaran lebih mengental lagi ketika

3Kecuali disebut khusus, hubungan antarpemerintah yang dimaksud dalam keseluruhanpaper ini adalah hubungan antara pemerintah pusat dengan provinsi dan provinsi dengankabupaten-kota secara vertikal, bukan antarkementerian dan lembaga secara horisontal ditingkat nasional.

Page 11: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

4

ia dibaca dalam format hubungan pusat-daerah. Provinsi, sebagaimana di-singgung di paragraf-paragraf sebelum ini, menduduki posisi dan memegangperan strategis untuk menjawab tuntutan sinergi, integrasi, dan koordinasiperencanaan-penganggaran.

Tema ketiga berurusan dengan bagaimana kerangka hukum dan perenca-naan-penganggaran diimplementasikan secara riil oleh sektor publik. Olehkarenanya, mutu dan kapasitas sektor publik, utamanya kemampuan untukmenciptakan tatakelola inovatif, merupakan tema pokoknya. Ini berhubungandengan bagaimana sektor publik berhubungan dengan masyarakat luas dalampenyediaan jasa publik. Provinsi berada dalam posisi yang unik, karena se-lain memiliki untuk ruang menyediakan jasa publik sendiri, ia juga dituntutmembina dan mengawasi penyediaan jasa publik oleh kabupaten-kota.

Organisasi Tulisan

Bagian-bagian berikut mendiskusikan issu-issu dan pendekatan-pendekatanyang bisa diambil di dalam konteks tiga tema yang diungkap di atas. Dalambeberapa situasi issu-issu dan pendekatan-pendekatan itu memang bersifatteoritis-konseptual. Walau begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa, dalam keada-an lain, kandungan empiris, praktis, dan implementatif termuat jua di dalam-nya. Dengan demikian dapat dikatakan issu-issu dan pendekatan-pendekatanyang didiskusikan adalah gabungan dari dua sifat itu: teoritis-konseptual danpraktis-implementatif.

Tema pertama, kerangka hukum bagi hubungan antarpemerintah, bolehdipandang sebagai sumbangan untuk proses revisi UU 32/2004 yang tengahberlangsung. Secara lebih khusus diskusi diarahkan untuk mendudukan provin-si dalam konteks hubungan antarpemerintah karena alasan-alasan yang telahdipaparkan di awal. Sementara itu, di tema kedua, provinsi juga masih tetapmenjadi sentra pembicaraan. Tapi kali ini sorotan diskusi digeser ke arahsinergi pusat dan daerah dalam perencanaan dan penganggaran. Di manadan bagaimana provinsi memainkan peran sinerginya akan mewarnai diskusiini. Akhirnya, di dalam tema ketiga —dengan tetap meletakkan provinsi—tatakelola inovatif adalah issu sentralnya. Reformasi ke luar (ke arah pelayananpublik), yang amat bertalian dengan reformasi ke dalam (ke arah birokrasi),adalah sorotan diskusi tatakelola inovatif ini.

Kelompok-kelompok issu ini diorganisasikan ke dalam tiga bab diskusisetelah pendahuluan ini. Sebagaimana lazimnya, tulisan ini akan diakhiri de-ngan suatu catatan penutup tentang penguatan provinsi. Bagaimana per-baikan di ketiga issu itu menyumbang bagi terbentuknya tatakelola provinsiyang kuat menjadi menu penutup dalam paper ini.

Page 12: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

Kerangka HukumMenuju Penguatan Peran Provinsi

Hubungan Antarpemerintah

Banyak tarikan kepentingan yang bersaing manakala momentum desentralisasidiambil, baik saat puncak perubahan politik akhir 1990-an terjadi maupunsaat-saat sesudahnya di tingkat nasional dan lokal. Persaingan kepentinganini melibatkan pelbagai ragam aktor, termasuk pemerintah pusat —melaluikementerian dan lembaga— dan pemerintah-pemerintah daerah, yang meman-dang desentralisasi dari sudut kepentingan yang berbeda satu sama lain.4 Iniselanjutnya membawa diskursus desentralisasi ke arah pertanyaan tentang ‘de-rajat desentralisasi’ itu sendiri, yakni di tingkat mana dan seberapa jauh de-sentralisasi —sekaligus juga otonomi karena pertautan kuat antarkeduanya—diletakkan, yang di dalamnya terjadi tawar-menawar politik di antara aktor-aktor itu (Bünte, 2009).

Tawar-menawar itu secara dinamis membentuk konfigurasi hubungan an-tarpemerintah. Ketika desentralisasi dikenalkan pada 1999 melalui Undang-undang (UU) 22, Indonesia memilih titik berat otonomi pada daerah di tingkatkabupaten-kota sebagaimana Penjelasan I.1.e dan h UU itu,5 serta menghapus

4Hadiz (2004) juga mencatat persaingan antaraktor lain, yakni mereka yang hendak mem-pertahankan konstruksi lama dalam rumah baru desentralisasi dengan mereka yang hendakmembangun rumah desentralisasi yang sama sekali baru. Dalam catatannya Hadiz menulis(h. 705),

“. . . decentralization policy in Indonesia after Soeharto is also a matter of po-wer; of contestation by an array of powerful interests, national and local, manyof which seek to preserve old predatory relations, but within a new, decentralizedand democratic political format.”

5Menarik untuk dicatat bahwa UU Pemerintahan Daerah yang lama, yakni UU 5/1974,juga memberikan titik tekan yang sama sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 Ayat 1, “Titikberat Otonomi Daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II.” Hanya saja, dalam bangunanhirarki yang bertingkat menurut UU ini, pemilihan pemimpin wilayah oleh DPRD di tingkatkabupaten-kota harus mendapatkan persetujuan pemimpin wilayah di tingkat provinsi (Pasal

5

Page 13: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

6

relasi hirarki pemerintah subnasional sebagaimana Penjelasan I.1.f, sehinggaterminologi ‘daerah tingkat’ (Dati) a la UU 5/1974 tidak dikenal lagi. Undang-undang revisinya, yakni UU 32/2004, menghilangkan pernyataan titik beratotonomi dan hubungan hirarki ini dari batang tubuhnya. Walau begitu, UUini tidak memberikan pernyataan pengganti yang eksplisit mengenai di manaotonomi diletakkan dan bagaimana bentuk hubungan hirarki antarpemerin-tah subnasional —antara provinsi dengan kabupaten-kota. Padahal, pele-takan otonomi justru merupakan kata kunci pokok desentralisasi, sebagaimanaLaporan Tahunan 1999/2000 Bank Dunia, Entering the 21st Century: TheChanging Development Landscape, Bab 5,

“Decentralization entails the transfer of political, fiscal and administrative po-wers to subnational units of government. A government has not decentralizedunless the country contains an ‘autonomous subnational elected government ca-pable of taking binding decisions in at least some policy area’. Decentralizationmay involve bringing such governments into existence. Or it may consist in ex-panding the resources and responsibilities of existing subnational governments.”

Keadaan ini bukan tanpa implikasi mengingat Indonesia adalah sebuahnegara kesatuan dengan pemerintahan berlapis dalam sistem yang terdesen-tralisasi, yang berbeda dari sistem federal. Salah satu implikasi, misalnya, terli-hat dari pemerintah-pemerintah subnasional yang saat ini seolah-olah menjadientitas-entitas pemerintahan yang terpisah satu sama lain dan masing-masingbergerak dalam dinamika otonominya sendiri-sendiri. Introduksi ‘otonomiseluas-luasnya’ —yang menurut Hotlzappel (2009) merupakan gabungan ‘otono-mi nyata’ dan ‘otonomi yang bertanggungjawab’— tidak berhasil menciptakanrelasi yang kokoh antarpemerintah subnasional dan antara pemerintah pusatdengan pemerintah daerah.6. Konflikpun bukan hal yang tidak lazim terjadi.

Di dalam konteks ini, penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) 19/2010menjadi dapat dipahami, kendati ia hanya sebuah kerangka hukum dalam hi-rarki perundangan yang lebih rendah daripada UU. Peraturan ini meman-faatkan celah yang tersedia dalam UU desentralisasi dengan memaksimalkanperan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Di Bagian Umum Penjelasan(paragraf 5) PP ini dinyatakan,

“Penguatan fungsi gubernur sebagai kepala daerah sekaligus sebagai wakil Pe-merintah di wilayah provinsi juga dimaksudkan memperkuat hubungan antar-tingkatan pemerintahan. Dalam pelaksanaan peran gubernur sebagai wakil

16 Ayat 1 dan 2). Dalam menjalankan tugasnya, pemimpin wilayah di tingkat ini bertang-gung jawab kepada pemimpin wilayah di tingkat yang lebih tinggi (Pasal 78). Di atas se-muanya, perbedaan yang mencolok termaktub dalam spirit sentralisasi yang melekat dalamUU ini.

6Konflik antara undang-undang sektoral dengan UU desentralisasi lazim ditemui (Bro-djonegoro, 2005), seperti yang mencolok terlihat pada sektor kehutanan (Yasmi et al., 2006).

Page 14: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

7

Pemerintah, maka hubungan antara gubernur dengan bupati/walikota bersi-fat bertingkat, dimana gubernur dapat melakukan peran pembinaan dan pe-ngawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebaliknya bupati/walikota dapat melaporkan permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraanpemerintahan di daerah, termasuk dalam hubungan antarkabupaten/kota. Disamping itu penguatan peran gubernur sebagai kepala daerah akan dapat mem-perkuat orientasi pengembangan wilayah dan memperkecil dampak kebijakandesentralisasi terhadap fragmentasi spasial, sosial, dan ekonomi di daerah.”

Tiga hal krusial kemudian muncul. Pertama, hingga batas mana gu-bernur sebagai wakil pusat menjadi dirigen pembangunan tingkat provinsiyang di dalamnya juga terdapat kabupaten-kota? Berkenaan dengan itu,kedua, hingga batas mana otonomi yang memang diberikan kepada provin-si dan kabupaten-kota itu sendiri dapat didayagunakan? Selanjutnya, ketiga,bagaimana hubungan organisasional antarkedua yurisdiksi otonom itu (provin-si dan kabupaten-kota) dibentuk?

Ketiga hal krusial ini menagih penyusunan suatu kerangka hukum untukmenaungi hubungan antarpemerintah, karena kerap terdengar tidak jelasnyapayung hukum bagi relasi antarpemerintah telah membuat hubungan antarpe-merintah berlangsung tanpa harmoni. Padahal, walau pemerintah-pemerintahdi setiap lapis pada prinsipnya memiliki tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi)sendiri-sendiri (distinctive), pemerintah-pemerintah ini tetaplah saling bergan-tung (interdependent) and saling berkait (interrelated). Selanjutnya, ketikasaling-ketergantungan dan saling-keterkaitan dapat diterjemahkan ke dalamkonfigurasi hubungan antarpemerintah subnasional, tentu dibutuhkan suatukerangka hukum untuk menaunginya.

Kerangka hukum ini tidak hanya memberi landasan legal bagi setiaplapis pemerintah untuk menjalankan tupoksinya, tetapi juga memandu mana-jemen organisasi relasi antarpemerintah. Di dalamnya ada kebutuhan ten-tang ketentuan-ketentuan yang tegas, gamblang, eksplisit, dan tidak melulunormatif mengenai peran dan posisi setiap lapis pemerintah. Selanjutnya iniperlu diikuti oleh pengaturan yang jelas tentang otoritas dan distribusinya diantara pelbagai lapis pemerintahan itu. Ini berarti suatu kerangka hukum ditingkat UU akan dapat menolong kejelasan konfigurasi hubungan antarpeme-rintah. Walau begitu, untuk membuatnya tak bertafsir-ganda, aturan-aturanturunannya harus pula menjadi agenda pembentukan kerangka hukum desen-tralisasi.

Page 15: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

8

KOTAK 1Lima Faktor Gubernur Tidak Ditaati

Terdapat lima faktor yang memengaruhi ketidaktaatan para bupati atau wali ko-ta kepada gubernurnya. Salah satunya adalah perbedaan asal partai dari keduapemimpin daerah itu. Demikian dikatakan pengamat politik, Sukardi Sunarkit,dalam Diskusi Panel Penguatan Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Dae-rah yang digelar Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI, Rabu (29/9/2010)di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masingpunya loyalitas pada partai, maka seorang bupati atau wali kota bisa jadi tidaksepenuhnya loyal kepada gubernur yang berbeda basis partai politiknya,” jelasPeneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate itu.

Faktor kedua, mereka sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Ketiga, magnitudekabupaten dan kota lebih unggul. “Bupati dan wali kota itu kan dekat denganrakyat yang memilihnya. Masyarakat merasa jauh dengan gubernur sehingga parabupati dan wali kota lebih peduli langsung dengan rakyatnya daripada dengangubernur,” ujar dia. Kekayaan bupati dan wali kota, lanjut Sukardi, juga meme-ngaruhi ketaatan mereka terhadap gubernur. “Seorang bupati atau wali kota yangpunya harta Rp 100 miliar kerap mengabaikan gubernur yang kekayaannya hanyaRp 2 miliar,” katanya.

Terakhir, primordial, baik dilihat dari segi tingkat pendidikan maupun dari latar be-lakang keluarga. Sukardi mencontohkan, bupati atau wali kotanya doktor, sedang-kan gubernurnya itu sarjana. Atau, bupati atau wali kotanya berlatar ningrat ataukeluarga kerajaan, sedangkan gubernurnya tidak keturunan raja. Menurut Sukardi,sebenarnya gubernur mempunyai legitimasi ganda karena aspek ketidaktaatan bu-pati/wali kota yang lebih bersifat kultural. Ke depannya, bupati/wali kota harusdidelegitimasi. “Di China, bupati cukup dipilih DPRD karena kebutuhan biayasangat besar. Sebaliknya, rakyat memilih langsung gubernur untuk mewujud-kan otonomi daerah secara efektif. Pemerintah pusat pun akan merasakan benaradanya wakil di daerah,” papar Sukardi. Ia juga mengatakan, harus ada kejelasanmengenai sanksi dalam revisi UU yang mengatur pemerintahan daerah serta koor-dinasi bidang-bidang yang strategis dalam mewujudkan sistem pemerintahan yangkuat. “Indeks pembangunan manusia semestinya bisa dijadikan standar gubernuruntuk memberikan sanksi,” ujar Sukardi.

Sumber: Dicuplik dengan penyesuaian dariKompas, 29 September 2010

http://nasional.kompas.com/read/2010/09/29/18041955/Lima.Faktor.Gubernur.Tidak.Ditaati

Page 16: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

9

KOTAK 2Staf Ahli Menteri Kecewa,Bupati Cuma Isi Absen

Kekecewaan terlihat di wajah Koesnan Agus Halim, stah ahli Menteri Dalam Negeriketika mengetahui cuma ada tiga bupati yang hadir saat Musyawarah RencanaPembangunan Daerah Provinsi Kalteng, Kamis (18/11/2010). Sebelas kabupaten-kota lainnya hanya dihadiri wakil bupati atau kepala Bappeda. Bahkan, ada bupatiyang hanya mengisi absen namun tidak mengikuti acara. Dia mengaku kecewakarena bupati dan wali kota tidak hadir langsung dalam acara tersebut, padahalacara itu sangat penting untuk pembangunan daerah yang mereka pimpin untuklima tahun ke depan. “Ini kan ada paparan dari Kemendagri, Bappenas dan Ke-menterian Keuangan sehingga mereka bisa tahu secara jelas sehingga mudah dalammerencanakan pembangunan. Tapi kalau cuma staf yang hadir, saya kurang yakinapa pesan yang disampaikan utuh sesuai yang kita maksudkan,” ujarnya.

Koesnan mengakui, kondisi ini sering ditemuinya di beberapa provinsi di Indonesia.Dia menduga hal itu sebagai dampak negatif otonomi daerah sehingga membuatbupati/wali kota sering mengabaikan imbauan seorang gubernur. Untuk itulahsaat ini sedang dilakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor19/2010. Di dalamnya akan dipertegas tentang kewenangan seorang gubernursebagai wakil pemerintah pusat di daerah, serta sanksi terhadap bupati/wali ko-ta yang membandel. “Nanti akan ada sanksi administrasi, misalnya pengurangananggaran untuk daerah itu atau bagaimana. Sebenarnya gubernur sebagai wakilpemerintah pusat di daerah, bisa mengambil kewenangan presiden untuk mem-berikan sanksi. Nanti masalah itu akan kita pertegas,” sambungnya.

Kekecewaan juga terlihat jelas di wajah Gubernur Agustin Teras Narang yangmenyempatkan mengabsen satu persatu kepala daerah yang hadir. Hanyatiga daerah yang langsung dihadiri bupatinya, yakni Kapuas, Murungraya danKotawaringin Barat. Sisanya dihadiri Wakil Bupati, bahkan ada yang hanya me-ngirim Kepala Bappeda. Teras makin kecewa ketika melihat ada tanda tanganBupati Seruyan H Darwan Ali di daftar absen, namun yang bersangkutan tidak adadi ruang pertemuan itu. “Ini Bupati Seruyan ada tanda tangannya, tapi orangnyatidak ada, ke mana? Ini bukan seperti kuliah yang cuma ngisi absen lalu hilang,”katanya. Kepala Biro Humas dan Protoko Setdaprov Kalteng Kardinal Tarungmenegaskan, masalah itu akan ditindaklanjuti secara serius dan dilaporkan kepadapemerintah pusat. Menurutnya, sangat disayangkan bupati dan wali kota tidakhadir padahal Musrenbang kemarin juga sangat menentukan nasib pembangunandi daerah mereka masing-masing.

Sumber: Dicuplik dengan penyesuaian dariBanjarmasin Post , 19 November 2010

http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/2010/11/19/63881/staf-ahli-meteri-kecewa-bupati-cuma-isi-absen

Page 17: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

10

Peran Ganda Provinsi

Tarik-menarik kepentingan antaraktor, sebagaimana diurai di depan, mewar-nai perjalanan desentralisasi Indonesia. Secara dinamis tarik-menarik ini lalumembentuk konfigurasi hubungan antarpemerintah. Pada tingkat pemerin-tah subnasional, konfigurasi ini dikelola melalui pembentukan hubungan ho-risontal dan vertikal sekaligus antara provinsi dan kabupaten-kota. Provinsi,melalui gubernur, dalam hal ini diberi dua peran. Pertama adalah peran se-bagai kepala daerah otonom yang merupakan konsekuensi dari kepemimpinandaerah dalam format desentralisasi. Dalam peran ini, UU 32/2004 sama sekalitidak menyebutkan adanya hubungan hirarkis antara gubernur dan bupati-walikota.7 Tetapi di dalam praktek hubungan antarpemerintah subnasionaldapat dikatakan berjalan secara horisontal, sehingga gubernur dan bupati-walikota adalah ‘mitra sejajar’ di dalam otonominya sendiri-sendiri.8

Di tingkat empiri, kerumitan terjadi manakala otonomi dalam hubung-an horisontal ini diterjemahkan secara pragmatis menjadi independensi. Lu-as diketahui bahwa setiap entitas pemerintahan daerah praktis berdiri relatifindependen satu sama lain. Ini bukan hanya terjadi antara satu kabupaten-kota dengan kabupaten-kota yang lain dalam satu provinsi, melainkan jugaantara kabupaten-kota dengan provinsi itu sendiri. Provinsi dan kabupaten-kota menjadi entitas-entitas pemerintahan yang seolah-olah terisolasi dalamdinamikanya sendiri-sendiri, padahal keduanya bertanggung jawab pada kons-tituen yang beririsan, karena berbasis pada metoda dan daerah pemilihan yangsama. Keadaan ini menjelaskan mengapa koordinasi, apalagi sinergi, pemba-ngunan provinsi dan kabupaten kota terus menerus menjadi issu desentralisasi.

Walau begitu, bukan tidak ada celah yang bisa ditelusuri bagi pem-bentukan hubungan antarpemerintah subnasional yang terorganisasi. Seba-gaimana kelak didiskusikan di bawah ini, celah itu tersedia melalui suatu modeltatakelola yang berperspektif interorganisasi. Model ini berbeda dengan mo-del tatakelola dengan perspektif ke arah dalam (‘internal’, melayani kebutuhanorganisasi sendiri) dan model tatakelola dengan perspektif ke arah luar (‘eks-ternal’, melayani publik luas). Di dalam model ini, keguyuban dalam concur-rency merupakan basisnya.

7Beberapa pihak, misalnya Kumorotomo (2008), berpendapat bahwa UU 32/2004 yangmerevisi UU 22/1999 mengembalikan hubungan hirarkis antarpemerintah subnasional.

8Ini adalah warisan dari Pasal 4 Ayat 2 UU 22/1999 yang menegaskan ketiadaan hi-rarki antara provinsi dan kabupaten-kota. Undang-undang revisinya, yakni UU 32/2004,tidak secara tegas menyebutkan hal itu. Walau demikian, di dalam praktek keseharian,warisan ini tetap terbawa. Kekosongan ini diisi oleh PP 19/2010 yang di bagian Penjelasansecara eksplisit dinyatakan mengenai bangunan hubungan bertingkat antara provinsi dankabupaten-kota —tema yang akan dibahas dalam bab ini.

Page 18: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

11

Kedua adalah peran sebagai wakil pemerintah pusat yang merupakankonsekuensi format negara kesatuan. Dalam peran yang kedua ini, PP 19/2010memberi penjelasan bahwa hubungan antarpemerintah subnasional bersifatbertingkat. Jadi, ia berjalan secara vertikal sehingga membuat hubungan gu-bernur dan bupati-walikota sebagaimana ‘atasan dan bawahan’. Secara organi-sasional fungsi-fungsi ‘pembinaan, pengawasan, dan pemberian sanksi’ oleh gu-bernur serta tugas-tugas ‘melaporkan’ oleh bupati-walikota kepada gubernur,sebagaimana PP 19/2010, adalah cermin hubungan ‘atasan-bawahan’ itu.

Di dalam sejarah hubungan antarpemerintah, relasi vertikal semacam itutelah lama dikenal, sehingga boleh jadi tidak banyak potensi hambatan dapatditemukan. Sampai sejauh ini, revisi UU 32/2004 secara substantif tampaknyaakan mempertahankan spirit yang telah dituangkan dalam PP 19/2010. Dalamhal ini, sebagai wakil pemerintah, gubernur akan dibebani rangkaian tugaspembinaan dan pengawasan disertai kewenangan untuk memberikan sanksikepada bupati-walikota, sehingga sifat commanding —walau tampaknya takakan tegas dinyatakan dalam UU revisi— tetap akan melekat secara intrin-sik. Jika keadaan ini terjadi, hasil revisi kelak akan ‘menaikkan status legal’hubungan hirarkis antarpemerintah subnasional dari PP ke UU, kendati per-nyataan eksplisit —dalam bentuk pasal-pasal— tentang hubungan hirarkis itutampaknya akan cenderung dihindari.

Walau begitu, hambatan bukan sama sekali tidak ada. Potensi yangtersembunyi kontradiksi itu akan mencuat manakala relasi yang berbeda (verti-kal-horisontal) dikelola oleh aktor-aktor yang sama, apalagi ketika batasan diantara keduanya tidak didefinisikan secara tegas dalam suatu kerangka perun-dangan. Dalam situasi inilah pertanyaan tentang porsi peran gubernur sebagaiwakil pusat dan porsi sebagai kepala daerah otonom membutuhkan jawabanhukum untuk menaungi hubungan antarpemerintah subnasional. Bagaimana-pun, mengambil ungkapan di muka, kendati pemerintah di setiap jenjangmemiliki tupoksi yang berbeda, pemerintah-pemerintah ini saling-berkait dansaling-bergantung.

Hubungan Horisontal

Peran sebagai kepala daerah otonom dalam relasi horisontal antara gubernurdan bupati-walikota praktis merupakan pengalaman baru, sehingga pelbagaibentuk praksis —dialektika teori dan praktek— tentang hubungan horisontalantarpemerintah selalu dibutuhkan. Untuk sampai pada dialektika itu, upaya-upaya menuju pencapaian suatu tatakelola pemerintahan yang baik perlu dili-hat dulu dari tiga perspektif.

Page 19: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

12

Pertama, perspektif internal organisasi, yakni masing-masing organisasipemerintah dalam dirinya sendiri bergerak ke arah perubahan untuk kepen-tingan efisiensi organisasi di sisi input. Ini umumnya mengambil wujud refor-masi birokrasi, kepegawaian, administrasi, atau sistem organisasi. Pemerintah,dalam perspektif ini, melayani dirinya sendiri.

Kedua, perspektif eksternal organisasi, yakni pemerintah berhubungandengan publik atau masyarakat luas dengan menggunakan cara-cara yangdapat meningkatkan efektivitas organisasi di sisi output ataupun outcome.Bentuknya dapat dilihat dari reformasi pelayanan sosial dan ekonomi seper-ti penyediaan infrastruktur kebutuhan dasar, perijinan, dan lain-lain, dengansuatu standar tertentu. Dalam perspektif ini, pemerintah melayani publiksebagai pihak di luar organisasi.

Ketiga, ‘perspektif antara’ (intermediate, interogranizational), yakni hu-bungan antarsesama organisasi pemerintah yang berientasi pada pemenuhankebutuhan bersama melalui pembangunan konsensus (Hudson, 1998), comple-mentarity with embeddedness (Evans, 1996), ataupun coproduction (Ostrom,1996), yang pada prinsipnya merupakan tindakan-tindakan kolektif berbasisnegosiasi. Dalam perspektif ini, suatu organisasi pemerintah ‘melayani’ organi-sasi pemerintah yang lain untuk pencapaian tujuan bersama.

Perspektif yang terakhir lebih relevan untuk dijadikan acuan dalam pem-bentukan hubungan horisontal antarpemerintah karena sejumlah alasan. Seba-gaimana telah disebut, provinsi dan kabupaten-kota adalah yurisdiksi-yuridiksiotonom dalam relasi horisontal, sehingga gubernur dan bupati-walikota adalahmitra yang sejajar. Sebagai mitra sejajar integrasi provinsi dan kabupaten-kota tidak digerakkan oleh sebuah komando vertikal ataupun dominasi. Selainitu, ‘perspektif antara’ ini sejalan dengan atribut yang melekat pada masing-masing yurisdiksi, yakni setiap yurisdiksi pada prinsipnya memiliki potensidan kapasitas tertentu yang berbeda (unik) sehingga melahirkan kompetensiyang berbeda (unik) pula. Dalam relasi yang horisontal, potensi, kapasitas,dan kompetensi yang unik ini didayagunakan dalam ujud tindakan-tindakankolektif dengan basis negosiasi.9

Namun demikian, pembentukan hubungan keguyuban seperti itu tidak-lah tanpa syarat. Kesepakatan akan tujuan-tujuan organisasional yang spesi-

9Negosiasi dalam konteks ini adalah upaya masing-masing pihak menemukan titik opti-mum dalam tindakan kolektifnya dengan mempertimbangkan kendala sumberdaya yang dim-ilikinya secara internal. Termasuk dalam kendala ini, misalnya, variabel-variabel geografi,kultural, maupun infrastruktur. Jadi, negosiasi ini merupakan ‘optimisasi yang terkendala’,yakni kepentingan organisasi dalam tindakan kolektif itu dimaksimisasi atau diminimisasihingga batas (kendala) tertentu. Secara konseptual ini jauh lebih realisitik ketimbang op-timisasi tanpa kendala yang mengandaikan seluruh sumber daya tersedia untuk memenuhikepentingan organisasi dalam tindakan kolektif itu.

Page 20: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

13

fik, atau, paling sedikit, kesepadanan dalam tujuan, menjadi syarat pokoknya.10

Dalam banyak keadaan, urusan atau kegiatan antarpemerintahan sendiri bersi-fat guyub, sehingga tidak ada otoritas tunggal yang mengambil dominasi ataumemiliki klaim tentang ‘kepemilikan’-nya. Dengan kata lain, urusan itu tidak‘diotorisasi’ untuk dan oleh satu pihak secara individual. Ini mirip dengansifat barang publik yang dijelaskan di dalam teori ekonomi, di mana seti-ap pihak tidak dapat disingkirkan dari perolehan manfaat dan dampak yangditimbulkannya. Atau, di dalam absennya otoritas, setiap pihak dapat sajamengambil sikap tidak peduli pada eksternalitas yang dirasakan oleh pihakyang lain. Kesepakatan akan tujuan bersama yang spesifik meminimumkaneksternalitas ini.

Hingga derajat tertentu, Provinsi Gorontalo dapat dijadikan ilustrasi.Provinsi ini berhasil menciptakan suatu ‘tujuan khusus bersama’ antara provin-si dan kabupaten-kota melalui pengembangan komoditas jagung.11 Kendatipuntotal produksi jagung bukanlah yang tertinggi, capaian Gorontalo dalam empattahun belakangan ini berada di atas rata-rata Indonesia dan menduduki posisiketiga di Indonesia Timur setelah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur.Patut diingat luas wilayah Gorontalo jauh lebih kecil dibandingkan banyakprovinsi lain di Indonesia. Provinsi ini berada di urutan terbawah dalam luaswilayah setelah Jakarta, Jogjakarta, Bali, dan Banten —provinsi-provinsi ur-ban berbasis sektor nonpertanian— serta Kepulauan Riau. Yang juga menarikialah spesifikasi pencapaian tujuan bersama itu berhasil ditetapkan di sektorlain, yakni reformasi tatakelola untuk perbaikan Indeks Pembangunan Manusia(IPM). Walaupun bukan yang terbaik, tingkat dan perubahan IPM Gorontalomendekati apa yang dicapai oleh Sulawesi Selatan, provinsi termaju di timurnegeri.

Selanjutnya, manakala tujuan spesifik yang ditetapkan bersifat guyub,sumber daya yang digunakan untuk pembiayaan tujuan itu juga akan bersifatguyub. Tetapi, secara rasional, masing-masing pihak tidak bersedia menang-gung pembiayaan untuk pencapaian tujuan bersama itu secara individual (costinternalization). Kalau mungkin, bahkan, setiap pihak akan bertindak seba-

10Selain pembangunan konsesus atas tujuan-tujuan yang spesifik, hubungan keguyubanini membutuhkan suatu pertukaran organisasional, yaitu transfer barang atau jasa dalamsuatu hubungan yang timbal-balik. Hudson (1998) menyatakan pertukaran ini berman-faat karena ia berpusat pada power processes sebagai sesuatu yang fundamental untukmemahami keguyuban. Dalam pertukaran, power processes itu tidak lain adalah saling-ketergantungan, sehingga kebutuhan-kebutuhan kedua pihak yang berpartisipasi dipenuhimelalui pertukaran itu, yang memang bermanfaat bagi keduanya.

11Dengan dukungan PGSP, Provinsi Bangka-Belitung saat ini juga tengah membangun‘tujuan khusus bersama’ melalui tatakelola revitalisasi komoditas lada putih yang memilikisejarah ekonomi panjang di provinsi ini untuk mengintegrasikan provinsi dan kabupaten-kota.

Page 21: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

14

gai ‘pembonceng gratis’ yang hanya bersedia untuk menerima manfaat. Inifenomena tipikal yang lazim ditemui dalam situasi tanpa kerjasama (non-cooperative situation) yang mengarah pada prisoner’s dilemma. Oleh kare-nanya, selain kesepakatan akan tujuan bersama, kesepakatan akan kontribusisumber daya untuk digunakan bersama juga menjadi penting. Ini menjadisyarat kedua.

Kedua syarat ini dapat menerangkan mengapa kerjasama antarpemerin-tah relatif hanya terjadi pada kasus-kasus yang terbatas. Pemimpin-pemimpindaerah, bahkan dalam provinsi yang sama, bukan hanya memiliki tujuan atauvisi-misi spesifik yang berbeda, tetapi didukung pula oleh partai-partai berbe-da yang secara intrinsik memiliki tujuan atau visi-misi spesifik yang juga berbe-da. Pada saat yang sama, dalam urusan-urusan antarpemerintahan yang bersi-fat guyub, tidak ada satu pemerintahan pun yang bersedia mengambil inisiatifuntuk melakukan internalisasi biaya yang ditimbulkannya. Tetapi jika keadaansemacam ini dapat dihalau, kesepakatan akan tujuan yang spesifik dan kesepa-katan akan pembiyaannya dapat membimbing pihak-pihak yang berbeda kearah integrasi urusan antarpemerintahan.

Lebih jauh lagi, karena sifat keguyubaannya, urusan-urusan antarpeme-rintah membutuhkan suatu intermediary coordinating agent. Penetapan agensemacam ini, hingga tingkat tertentu, merupakan upaya untuk mengatasi ab-sennya otoritas atas urusan-urusan antarpemerintahan yang bersifat guyub.Jadi, ini semacam ‘rekayasa kewenangan’ ketika ‘hak kepemilikan’ absen dalamurusan-urusan yang bersifat guyub. Agen ini pada prinsipnya bertindak se-bagai sebuah simpul jaringan yang (1) mengelola seluruh interaksi dan relasiantaraktor, termasuk menjaga kohesivitasnya, (2) mengidentifikasi dan memo-bilisasi potensi dan sumber daya, serta, yang terpenting, (3) menghidupkanterus menerus tujuan spesifik bersama yang telah disepakati. Mengingat karak-ter yang melekat padanya, pemerintah provinsi berpotensi mengambil peransebagai intermediary coordinating agent itu.12

Untuk membuatnya lebih official, hubungan keguyuban ini selanjutnyamembutuhkan derajat formalisasi tertentu. Derajat formalisasi biasanya akanmeningkat sekali sebuah kesepakatan diverbalisasi, ditulis, diatur dalam kon-

12Pendapat umum yang menyebutkan bahwa gubernur tidak mempunyai wilayah dan rak-yat —tapi hanya bupati-walikota yang memilikinya— dapat dikatakan salah kaprah. Sebab,jika logika ini diteruskan ke atas, presiden tak akan berkuasa atas sejengkal wilayah danseorang warga negarapun. Sementara itu, jika diteruskan ke bawah, hanya ketua rukuntetangga (RT) yang memilliki kekuasan atas wilayah dan warga yang berdiam di atasnya.Lagi pula, wilayah dan warga masyarakat yang lebih kecil hanyalah anak-gugus wilayahdan warga masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini, di setiap jenjang pemerintahan akanselalu ada irisan-irisan kekuasaan atas wilayah dan warga —apalagi bila diingat bahwa setiapjenjang pemimpin wilayah dipilih secara legitimate melalui proses yang diakui oleh hukumdan perundangan Republik Indonesia.

Page 22: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

15

trak dan peraturan, dan akhirnya diwajibkan kepada pihak-pihak yang berse-pakat (Hudson, 1998). Konsensus atas common goal membutuhkan payunghukum untuk menaunginya sebagai bentuk formalisasi, termasuk formalisasiatas kontribusi sumber daya untuk pembiayaannya. Dalam revisi UU 32/2004,konsensus ini dapat diakomodasi ke dalam pasal-pasal yang mengatur po-la hubungan antardaerah. Ini dapat dimulai dari kerjasama urusan-urusanpemerintahan yang (1) eksternalitasnya tidak dapat dibatasi oleh yurisdik-si administratif, (2) besarannya berskala provinsi, (3) pelaksanaannya bersi-fat lintasyurisdiksi, (4) penyelenggaraannya dilakukan di wilayah-wilayah yangsaling berbatasan secara administratif, hingga (5) urusan-urusan pemerintahanyang dikerjasamakan atas inisiatif sendiri.

Apa yang diperlukan kemudian di dalam kerangka hukum itu adalahbatasan-batasan formal mengenai eksternalitas, skala besaran, lintasyurisdiksi,perbatasan administratif, dana inisiatif sendiri. Selain itu, tentu saja azas-azas penuntun dan anasir-anasir pokoknya perlu digariskan. Tidak ketinggalandi sini adalah penyusunan institusi bagi penanganan pengaduan dan resolusikonflik yang berpotensi terjadi pada setiap bentuk interaksi —apalagi untukinteraksi mengenai urusan-urusan yang bersifat guyub seperti ini.

Akhirnya, pengalaman-pengalaman kerjasama pembangunan yang per-nah ada, misalnya dalam tataruang, seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK),Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), agro atau minapoli-tan, dan sejenisnya, tampaknya perlu ditelaah serius. Ini adalah upaya untukmemetik pelbagai pelajaran mengenai issu-issu di atas —dari penetapan tu-juan bersama hingga resolusi konflik— untuk dijadikan praksis-praksis baruhubungan horisontal provinsi dan kabupaten-kota di sektor-sektor yang lain.

Hubungan Vertikal

Jika relasi horisontal provinsi dan kabupaten-kota menunjukkan wajah Indone-sia yang terdesentralisasi, relasi vertikalnya menampilkan Indonesia dalam ru-pa negara kesatuan. Relasi vertikal pemerintah subnasional ini terjadi mana-kala gubernur memainkan perannya yang kedua sebagai wakil pemerintahpusat. Dalam peran ini gubernur tidak lain adalah pemerintah pusat yangberoperasi, yakni melaksanakan kewenangan pemerintah pusat, di provinsi dandi kabupaten-kota, sehingga lazim disebut sebagai kepala wilayah administratifuntuk membedakannya dari kepala daerah otonom. Di sini pemerintah pusatmemiliki agenda-agenda dan target-target pembangunan tersendiri yang kemu-dian didelegasikan, didekonsentrasikan, atau dialirkan sebagai tugas pemban-tuan kepada gubernur. Gubernur kemudian mengimplementasikan kekuasaanotoritatif vertikal itu dengan suatu derajat commanding power tertentu.

Page 23: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

16

Sudah barang tentu proses pelaksanaan agenda-agenda pemerintah pusatitu dan tingkat pencapaian target-targetnya di daerah ditentukan oleh sebera-pa jauh gubernur mampu ‘membina’, ‘mengawasi’, dan ‘melakukan koordi-nasi’ —kosa-kosa kata PP 19/2010— dengan agen-agen daerah dan pusat.Selain itu, pelaksanaan agenda-agenda dan tingkat pencapaian target-targetpemerintah pusat ini ditentukan pula oleh seberapa jauh gubernur mampumemantau, mengevaluasi, serta memberikan rekomendasi atas proses dan hasilinteraksi (1) antara instansi-instansi vertikal pusat dengan pemerintah provinsidan kabupaten-kota, (2) antarinstansi vertikal pusat sendiri yang beroperasi didaerah, (3) pemerintah provinsi dengan kabupaten-kota, serta (4) antarpeme-rintah kabupaten-kota dalam konteks dekonsentrasi ataupun tugas pembantu-an. Oleh karenanya, tugas sebagai wakil pemerintah pusat ini tidak lain adalahtugas mengelola ‘titik-temu’ kepentingan-kepentingan pusat dan daerah.

Walau begitu, ada cukup banyak kementerian dan lembaga (KL), ter-masuk badan-badan, beroperasi di daerah, sehingga tugas mengelola ‘titik-temu’ kepentingan ini sesungguhnya pelik juga. Ada beberapa alasan untukitu. Pertama, sampai sejauh ini belum tampak pembedaan yang tajam antaraorganisasi perangkat pendukung gubernur sebagai wakil pemerintah pusat de-ngan organisasi perangkat gubernur sebagai kepala daerah. Dalam format PP19/2010, operasi harian wakil pemerintah pusat secara ex-officio dikendalikanoleh sekretaris daerah, yang ditopang oleh sebuah sekretariat khusus. Formatini menuntut ketentuan yang khusus pula mengenai pendayagunaan aparatur—termasuk juga mengenai pembiayaan atas operasi hariannya. Dalam hal pen-dayagunaan aparatur, ‘dualisme sektoral’ masa lalu antara ‘dinas daerah’ dan‘kantor wilayah departemen’ berpotensi untuk muncul kembali, khususnya jikadiingat bahwa selain tugas dekonsentrasi dalam jalur Kemdagri, ada pula tugasdekonsentrasi yang dilimpahkan melalui jalur KL yang masing-masing memi-liki perangkat institusi (aturan, organisasi, dan tatalaksana) sendiri-sendiri,termasuk Unit-unit Pelaksana Teknis, dan Badan-badan di luar kementerian.

Ada pula issu yang mirip dengan itu dan, sedikit-banyak, membutuhkanpertimbangan dalam kerangka hukum bagi penguatan provinsi, yakni relasiprovinsi dengan Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN) —termasuk pu-la Badan-badan Otorita— yang beroperasi secara vertikal di daerah (tugasdelegasi). Issu-issu teknis harian, seperti kelangkaan Bahan Bakar Minyak(BBM), ledakan tabung gas, pemadaman atau kekurangan pasokan listrik,kerusakan jaringan telekomunikasi, ataupun kelangkaan pupuk, barang-baranglogistik pangan, dan semen, tidak sepenuhnya bisa disolasi melulu sebagai is-su Pertamina, PLN, dan PT Telkom, Bulog, atau BUMN-BUMN yang secaraotoritatif mengelelolanya. Sektor-sektor seperti ini adalah juga ‘titik-temu’ ke-pentingan BUMN dan daerah sekaligus. Ilustrasi tentang keluhan yang lazimterdengar dapat memperjelas hal ini. Tatkala kinerja negatif terjadi dalam

Page 24: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

17

pasokan barang-barang ini di daerah, pemerintah daerah tidak dapat mem-bebaskan diri ‘biaya sosial’ yang harus ditimbulkannya —protes, demonstrasi,bahkan juga subsidi. Tetapi, ketika kinerja positif terjadi dan manfaat ekono-mi secara vertikal diakumulasi oleh BUMN-BUMN ini, pemerintah daerahtidak mendapat bagiannya. Oleh karenanya, dukungan regulasi atas keadaansemacam ini, yakni regulasi yang mengatur distribusi manfaat dan biaya, akanmemberi arti bagi penguatan provinsi dalam konteks hubungan vertikal.

Kedua, tidak semua UU sektoral sepadan dengan UU PemerintahanDaerah dan aturannya turunannya. Hal-hal yang diatur dalam UU sektoralpada prinsipnya kewenangan-kewenangan KL di pusat. Jika implementasinyadi daerah bertabrakan dengan kewenangan-kewenangan yang diatur dalam UUPemerintahan Daerah, konflik regulasi akan bertumpuk di tangan gubernur.Beberapa contoh tentang ini telah ditelisik dalam, misalnya, sektor kehutanan,perkebunan, pertambangan, perairan-laut, dan sebagainya. Konflik regulasi—bahkan juga ‘dualisme sektoral’ yang disebut di atas— menagih pemben-tukan kerangka hukum yang jauh lebih terintegrasi. Konflik itu tidak cukupdiselesaikan sepihak oleh satu UU secara parsial —misalnya oleh UU Pemerin-tah Daerah atau UU sektoral saja. Dengan kata lain, pembentukan kerangkahukum yang lebih terintegrasi akan menjadi agenda desentralisasi yang lebihluas dan lebih panjang daripada revisi UU 32/2004.

Alasan ketiga lebih politis daripada legalistis. Bagaimana meletakkankeberhasilan (atau kegagalan) agenda-agenda dan target-target pembangun-an itu sebagai suatu politik citra? Apakah itu dipandang sebagai keber-hasilan (atau kegagalan) pemerintah pusat, gubernur, atau bupati-walikota?Pertanyaan senada juga bisa dilontarkan untuk distribusi dana dekonsentrasimelalui program-program pembangunan yang langsung dilaksanakan di tingkatpemerintahan terbawah, figur politik siapakah yang (tengah) dicitrakan? Dalamkonteks kompetisi politik yang tinggi di Indonesia saat ini, citra tampaknyamasih memainkan peran yang penting, apalagi bila diingat konstituensi presi-den, gubernur, bupati-walikota, dan partai politik yang berhimpit. Mengelolamelting pot, tapi sekaligus juga kontestasi, kepentingan politik semacam inimerupakan kepelikan tersendiri, karena gubernur —sebagaimana juga presidendan bupati-walikota— adalah agen-agen politik yang juga punya kepentinganpolitik, sehingga citra (positif ataupun negatif) selalu sensitif secara politikpula.

Mencari Titik Temu

Tabel 1 merangkum tiga varian relasi tatakelola provinsi yang didiskusikan didepan, yakni (1) relasi antara gubernur dengan bupati-walikota, (2) relasi an-

Page 25: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

18

tara gubernur, instansi vertikal, dengan bupati-walikota, serta (3) relasi antaragubernur dengan rakyat dalam wilayah administratifnya di sisi lain. Dua relasiyang pertama dapat dikategorikan sebagai relasi yang teknokratis, sedangkanrelasi yang terakhir lebih bersifat politis. Tatakelola yang bersifat teknokratissudah barang tentu tidak bisa diisolasi dari tatakelola yang bersifat politis,karena jabatan gubernur sesungguhnya adalah jabatan politis yang diman-datkan untuk menjalankan tugas-tugas teknokratis dan kelak dipertanggung-jawabkan secara politis.13 Pada saat yang bersamaan, visi-misi politis memangharus diimplementasikan secara teknokratis untuk membuatnya menjadi nyatadan terukur.

Diskusi yang lebih jauh dibutuhkan ialah relasi di dalam tatakelola tekno-kratis sendiri, yakni bagaimana melaksanakan desentralisasi secara konsistendi dalam rumah negara kesatuan? Lebih dalam lagi, hingga batas mana gu-bernur memainkan porsi peran sebagai wakil pemerintah pusat atau kepalawilayah administratif (WPP-KWA) untuk dihadapkan sebagai peran kepaladaerah otonom (KDO)? Dalam satu keadaan, relasi ini dapat bersifat saling-meniadakan, yakni bilamana porsi peran sebagai WPP-KWA membesar, porsiperan sebagai KDO dapat menyusut. Ini berarti agenda-agenda nasional lebihmendominasi daripada agenda-agenda daerah.14 Sebaliknya, peningkatan por-si peran gubernur sebagai KDO menurunkan porsi peran gubernur sebagaiKWA. Pengaturan yang lebih jauh tentang hal ini amat dibutuhkan, meng-ingat sekarang ini Indonesia berada dalam konstelasi rejim desentralisasi yang,bagaimanapun, menuntut aksentuasi agenda-agenda daerah. Patut dicatat pu-la, apa yang dimaksud dengan agenda-agenda daerah itu sendiri tidaklah tung-gal, karena di dalamnya terdapat agenda-agenda kabupaten-kota dan provinsimasing-masing sebagai daerah otonom.

Apa yang dibutuhkan dalam pengaturan itu adalah keseimbangan an-tara dua peran itu agar desentralisasi tetap kentara mewarnai pembangunanIndonesia yang berprinsip negara kesatuan. Ini adalah agenda penting untukmenghilangkan kesan bahwa penguatan gubernur WPP-KWA adalah proses re-sentralisasi yang melulu mengutamakan agenda-agenda pemerintah pusat danmelemahkan otonomi provinsi dan kabupaten-walikota. Penguatan gubernursecara normatif tetap harus dibaca dalam satu tarikan napas, yakni sebagaipenguatan gubernur WPP-KWA dan KDO sekaligus, termasuk relasi gubernursecara horisontal dengan bupati-walikota yang pula sebagai KDO. Pengaturanini berisi azas-azas penuntun dan anasir-anasir pokok tentang batasan perangubernur sebagai WPP-KWA, sebagai KDO, dan dalam relasi horisontalnya

13Ini dapat diperluas lagi ke dalam sistem Pemilukada yang memperhatikan pola hubunganantarpemerintah.

14Diskusi tentang bagaimana RPJMD harus ‘memperhatikan’ RPJMN ditampilkan dibagian lain paper ini.

Page 26: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

19

dengan kabupaten kota, serta, yang paling penting, keseimbangan yang harusdimainkan di antara peran ganda itu.

Dalam keadaan yang lain, ada hal menarik yang, paling kurang secarateoritik, dapat dicatat. Jika secara bertahap kewenangan pemerintah pusatmelalui KL15 dapat didesentralisasikan —tidak melulu sebagai kegiatan dekon-sentrasi dan tugas pembantuan— kepada gubernur dalam perannya sebagaiWPP-KWA, di masa depan keberadaan instansi vertikal akan menyusut secarabertahap pula. Ini dimungkinkan karena, dalam format WPP-KWA, entitaspemerintah pusat telah hadir dan direpresentasikan oleh gubernur, yang ope-rasi hariannya dijalankan oleh perangkat pendukung gubernur WPP-KWA.Pada titik ini, koordinasi dan sinergi lebih memiliki potensi untuk terjadi, se-hingga dualisme dapat diminimumkan. Tentu saja pencapaian ke arah itumembutuhkan standar kapasitas tertentu yang perlu dimiliki oleh perangkatgubernur. Ia bisa saja mengikuti derajat pelimpahan wewenang yang didesen-tralisasikan, sehingga pelimpahan menjadi fungsi dari kapasitas. Dengan katalain, jika dalam konteks ‘tatakelola eksternal’ yang berinteraksi dengan publikluas dituntut suatu standar pelayanan minimum tertentu, suatu ‘standar kapa-sitas minimum’ dalam tatakelola internal juga dibutuhkan sebagai padanan-nya. Oleh karena itu, suatu penyusunan ‘Peta Kapasitas Perangkat Gubernur’menjadi amat relevan. Berbasis kapasitas ini, wewenang yang didesentrali-sasikan tidak harus simetrik dan seragam untuk semua provinsi, karena dera-jat desentralisasi wewenang itu akan mengikuti ‘peta kapasitas’ yang disusunsebelumnya.

Keseluruhan tahapan di atas dapat dirangkum ke dalam sebuah strate-gi besar penguatan peran gubernur yang memuat pergerakan bertahap desen-tralisasi wewenang KL ke tangan gubernur WP-WKA, termasuk pemetaan ka-pasitas dan agenda perbaikan kapasitas perangkat serta sistem pendukungnya.Strategi besar ini dapat dipandang sebagai suatu gerakan ‘Desentralisasi Ge-nerasi Kedua’ untuk 10 tahun ke depan, di mana penguatan hubungan an-tarpemerintah dan keseimbangan peran gubernur menjadi agenda pokoknya.Dalam perspektif inilah penguatan peran provinsi secara sistematis lebih ter-aksentuasi, terjadwal, dan terukur.

15Tidak termasuk lima wewenang yang direstriksi oleh UU, yakni pertahanan-keamanan,moneter dan fiskal, politik luar negeri, agama, dan justisi.

Page 27: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

20

Tab

el1:

Provinsid

alam

RelasiT

atakelola

Atribut

TatakelolaTekno

kratis

Tatakelola

Kep

alaDaerah

Wak

ilPem

erintah

Politis

Otono

mPusat

•Agenterkait

Kab

upaten

,kota

Kem

enterian

,lem

baga

Kon

stitue

n,pe

milih

•Bentukhu

bung

anHorison

tal,nirjen

jang

Vertikal,be

rjen

jang

Man

dataris

+Instan

sivertikal

Koo

rdinasi

+Kab

upaten

-kota

Penyelarasan

Pem

bina

an,p

engawasan

•Azashu

bung

anDesentralisasi,

Dekon

sentrasi,

Kep

ercayaan

oton

omi

tuga

spe

mba

ntua

n,de

lega

si(fun

gsiona

l)•Sifathu

bung

anKerjasama

Instruksiona

lJa

njik

ampa

nye,

sank

si,p

engh

arga

anman

datpo

litik

•Kegiatanpe

mba

ngun

anCon

curren

cy,

Pem

erintaha

num

um,

eksterna

litas,

urusan

pusatyang

skalaefi

sien

sidilim

pahk

an•Pertang

gung

jawab

anKon

sensus

Preside

nviaMenda

gri

Pem

ilukada

•Hub

unga

nkeua

ngan

APBD

APBN

dana

deko

nsentrasi

dana

tuga

spe

mba

ntua

n

Page 28: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

Perencanaan dan PenganggaranKe Arah Pencapaian Sinergi

Perubahan-perubahandalam Perencanaan dan Penganggaran

Selain hubungan antarpemerintah yang menuntut penyusunan suatu kerangkahukum yang tepat, tema kedua dalam desentralisasi Indonesia adalah sinergi.Ini menyangkut sinergi antara perencanaan dan penganggaran pembangun-an itu sendiri dan sinergi perencanaan dan penganggaran antara pusat dandaerah. Sinergi menjadi issu penting karena dua hal. Pertama, keragamansektor persoalan. Kegiatan-kegiatan pembangunan semakin bervariasi semen-tara issu-issu masa lalu masih tetap persisten. Masalah-masalah lama, seper-ti kemiskinan, ketertinggalan, dan ketimpangan, masih dihadapi hingga kini;tetapi problem-problem baru yang tidak dikenal sebelumnya, semisal perubah-an iklim, migrasi tenaga kerja, atau bencana alam beruntun, justru mengemukadan menagih perhatian tersendiri.

Kedua, keragaman organisasi pembuat, pelaksana, dan pengendali ke-bijakan. Meski telah dibatasi oleh UU 39/2008 tentang Kementerian Negara,di tingkat nasional jumlah kementerian cenderung besar. Ini belum ditambahdengan badan-badan dan komisi-komisi sebagai state auxiliary bodies.16 Padasaat yang sama, di tingkat daerah, kendati berkali-kali gagasan moratoriumpembentukan daerah otonomi baru (DOB) diwacanakan, jumlah DOB tetapmembesar. Malahan juga, walaupun dibatasi oleh PP 41/2007 tentang Orga-nisasi Perangkat Daerah (OPD), postur provinsi dan kabupaten-kota melaluiSatuan Kerja Perangkat Daerah tidak bisa dikatakan ramping.

Di dalam kompleksitas itu, anggaran akan selalu bersifat sebagai kendala.Besar anggaran hampir tidak dapat mengikuti dinamika issu-issu pembangun-an yang ada, apalagi bila diingat bahwa pembiayaan melalui utang luar negerisemakin sensitif secara politik, sedangkan hibah tidak mungkin diandalkan

16Hingga saat ini sedikitnya ada 16 komisi dan dewan independen di luar eksekutif dan 41komisi, komite, badan, pusat, dewan, tim, dan lembaga dalam jaringan eksekutif.

21

Page 29: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

22

sebagai sesuatu yang permanen.17 Sementara itu tuntutan-tuntutan penam-bahan anggaran atau pencapaian batas alokasi minimal tertentu, seperti disektor pendidikan, tidak terhindarkan. Tak pelak lagi, sinergi perencanaandan penganggaran pada akhirnya bukan hanya menjadi kebutuhan, tetapi ju-ga merupakan konsekuensi logis dari seluruh kompleksitas ini.

Dalam perjalanan waktu, perencanaan dan penganggaran pembangunanjuga mengalami dinamikanya sendiri. Perubahan-perubahan signifikan telahdibuat. Salah satu tengara yang terpenting dalam perencanaan dan peng-anggaran ialah dikeluarkannya UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pem-bangunan Nasional (SPPN), menyusul sister law -nya yang lebih dahulu di-sahkan: UU 17/2003 mengenai Keuangan Negara (KN). Kedua UU ini dapatdikatakan sebagai landasan hukum baru dalam perencanaan dan penganggaranyang praktis tidak dikenal sebelumnya.18 Apa yang berbeda antara sistemperencanaan pada masa sentralisasi dan masa kini adalah UU 25/2004 menge-mukakan dengan tegas muatan-muatan dasar yang harus dilekatkan pada sis-tem perencanaan. Pertama, UU ini dibuka dengan kata-kata kunci yang pen-ting bahwa sistem perencanaan disusun untuk tujuan-tujuan ‘koordinasi’, ‘in-tegrasi’, ‘sinkronisasi’, ‘sinergi’, ‘keterkaitan’, dan ‘konsistensi’ pembangunan.Kedua, tujuan-tujuan ini mesti dicapai di bawah lima norma dasar yang jugaharus dipertimbangkan, yaitu yakni ‘politik’, ‘teknokratik’, ‘partisipatif’, ‘atas-bawah’, serta ‘bawah-atas’ —baik untuk perencanaan tingkat pusat maupundaerah. Ketiga, aktor-aktor perencana, termasuk pemangku kepentingan-nya, selanjutnya dituntut untuk menerjemahkan kata-kata kunci itu ke dalamdimensi-dimensi regional (antardaerah), spasial (antarruang), temporal (antar-waktu), fungsional (antarsektor), dan struktural (antarjenjang pemerintahan).

Keempat, ini semua dimaksudkan untuk menghasilkan suatu perencanaanyang ‘sistematis’, ‘terarah’, ‘terpadu’, ‘menyeluruh’, dan ‘tanggap terhadapperubahan’. Tapi, kelima, ini belum cukup, karena dokumen perencanaanyang dihasilkan di bawah konsep seperti dimaksud dalam kata-kata kunci ituharus dikombinasikan pula dengan ‘penganggaran’, ‘pelaksanaan’, serta ‘peng-

17Belum lagi ada persoalan-persoalan pembangunan yang membutuhkan tindakan cepatdan menimbulkan konsekuensi anggaran, semisal penanganan bencana alam, wabah penyakitnon-endemik, ataupun konflik perbatasan wilayah.

18Pada masa lalu landasan hukum perencanaan pembangunan bertumpu pada ketetapanMPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sejalan dengan perubahan UUD45 dan bergantinya sistem pemilihan presiden, GBHN sebagai pedoman presiden untukmenyusun rencana pembangunan dihilangkan dari sistem ketatanegaraan. Sementara itu,landasan hukum penganggaran di masa lalu merujuk pada [1] Indische Comptabiliteitswet(ICW) Stbl. 448-1925, [2] Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 419-1927 jo. Stbl. 445-1936,dan [3] Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 381-1933, serta [4] khususnyauntuk pemeriksaan keuangan negara, Instructie en verdere bepalingen voor de AlgemeeneRekenkamer (IAR) Stbl. 320-1933, sebelum diubah dan diundangkan dalam [5] LembaranNegara 6-1954, [6] Lembaran Negara 49-1955, dan (7) UU 9/1968.

Page 30: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

23

awasan’. Pada saat yang sama, keenam, masih ada tambahan empat tahapanproses perencanaan yang harus dilalui, yakni ‘penyusunan’, ‘penetapan’ se-bagai produk hukum, ‘pengendalian pelaksanaan’, dan ‘evaluasi pelaksanaanrencana’. Akhirnya, ketujuh, kesemuanya ini harus disertai catatan “diseleng-garakan secara berkelanjutan sehingga secara keseluruhan membentuk satusiklus perencanaan yang utuh.”19

Sementara itu, UU 17/2003 juga memuat sejumlah kata kunci. Pertama,ada tuntutan mengenai pengelolaan keuangan negara yang ‘tertib’, ‘taat padaperaturan perundang-undangan’, ‘efisien’, ‘ekonomis’, ‘efektif’, ‘transparan’,dan ‘bertanggung jawab’. Selain itu, kedua, pengelolaan keuangan negara jugadituntut untuk ‘memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan’. Ini dilengkapipula, ketiga, dengan asas-asas umum pengelolaan keuangan negara yang meli-puti ‘akuntabilitas berorientasi pada hasil’, ‘profesionalitas’, ‘proporsionalitas’,‘keterbukaan’, pemeriksaan yang ‘bebas dan mandiri’. Yang kesemuanya di-maksudkan, keempat, untuk ‘memperkokoh landasan pelaksanaan desentrali-sasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.’

Jelas terlihat kedua UU ini sarat nilai —mengandung muatan-muatandasar yang ideal. Pada tingkat muatan-muatan dasar itu, tidak banyak kesulit-an dihadapi untuk membangun sinergi antara dua UU itu, karena sifat yangideal itu. Di atas kertas, kesepadanan antara muatan-muatan dasar itu mudahdicari.20 Pasal-pasal pengaturnya pun menegaskan bagaimana sinergi sektoraldan regional harus dijalankan. Itu semua bahkan diterjemahkan lagi secara tek-nis ke dalam aturan-aturan turunan dalam bentuk PP yang merupakan kompaspetunjuk bagi KL dan daerah dalam membangun sinergi. Tiga yang terpentingdi antaranya ialah PP 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP), PP21/2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian-Lembaga (RKA-KL), dan PP 40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana PembangunanNasional (TCPRPN). Ketiga PP ini secara rinci mengatur bagaimana peren-canaan dan anggaran dipertautkan, serta —sebagaimana diperlihatkan olehTabel 2— dijadwalkan dalam suatu kalender yang ketat.

19Bagian Umum Penjelasan UU 25/2004 Angka 3.20Kendati begitu, Koven (2009) sebaliknya mencatat ada kontradiksi nilai antara

teknokrasi-birokrasi dengan politik-demokrasi. Yang pertama lazimnya menuntut tatanan-keteraturan (order), efisiensi, dan keseragaman, sedangkan yang terakhir mengandung nilai-nilai transparansi, fleksibilitas, dan ketanggapan.

Page 31: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

24

Tab

el2:

Kalen

derPeren

cana

anda

nPen

gang

garan

Institusi

Janu

ari-April

Mei-A

gustus

Septem

ber-Desem

ber

DPR

Pem

baha

san

Pok

ok-pokok

Kebija

kan

Fiskal&

RKP

Pem

baha

san

RKA-K

LPem

baha

san

RAPBN

UU

APBN

Presiden-

Kab

inet

Kebija

kan

Umum

&Priori-

tasAng

garan

NotaKeuan

g-an

RAPBN

&Lam

piran

Keppres

Rincian

RAPBN

Kem

enterian

Peren

cana

an

Penelaaha

nKon

sisten

siRKP

Surat

Eda

ran

BersamaPriori-

tasProgram

&Indikasi

Pagu

Kem

enterian

Keuan

gan

Surat

Eda

ran

PaguSementara

Lam

piran

RAPBN

(Him

puna

nRKA-K

L)

Ran

cang

anKeppres

Rincian

RAPBN

Pen

gesaha

n

Penelaaha

nKon

sisten

siAng

garan

KL

Renstra

KL

Ran

cang

anRenja

KL

RKA-K

LKon

sep

Dok

umen

Pelak

sana

anAng

garan

Dok

umen

Pelak

sana

anAng

garan

Sumbe

r:PP

21/2004

Page 32: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

25

Lebih jauh lagi, bagi kepentingan pemantauan dan evaluasi, hal menarikyang laik dicatat di sini ialah kehadiran dua PP yang lain, yakni PP 39/2006mengenai Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pemba-ngunan dan PP 6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah-an Daerah. Inipun belum termasuk PP 8/2008 tentang Tahapan, Tata CaraPenyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana PembangunanDaerah, apalagi Kementerian Dalam Negeri juga telah mengeluarkan pedo-man rinci mengenai Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah melaluiSurat Edaran 050/200/II/BANGDA/2008. Keseluruhan aturan teknis ini ju-ga amat potensial digunakan sebagai instrumen sinergi muatan-muatan dasardalam UU SPPN dan KN, bahkan juga sinergi antara pusat dan daerah.

Gambaran ini memperlihatkan bahwa semua syarat normatif bagi pem-bentukan teknokrasi pembangunan telah disusun untuk pembentukan siklusperencanaan, penganggaran, monitoring, dan evaluasi. Dengan kata lain, agakberbeda dengan apa yang terjadi dalam hubungan antarpemerintah, fondasinormatif bagi pembentukan sinergi antara perencanaan dan pembangunan ser-ta sinergi antara pusat-daerah bukan lagi menjadi issu.21 Issunya justru ter-letak pada tingkat implementasi, yakni bagaimana perencanaan-penganggarandipadukan dalam tindakan riil dan bagaimana pusat-daerah dipertautkan un-tuk menegakkan kepedulian bersama.

Sinergi Perencanaan dan Penganggaran

Pada tingkat implementasi, ada banyak issu yang harus ditangani untuk penca-paian sinergi itu. Mengikuti formasi pembagian issu yang dikenalkan di depan,diskusi ini juga dibagi ke dalam dua kelompok issu. Pertama, sinergi antaraproses perencanaan dan penganggaran sendiri, yang akan didalami di bagianini. Kedua, sinergi perencanaan-penganggaran antara pusat dan daerah, yangakan dibahas setelah bagian ini.

Hal paling mencolok dalam issu sinergi antara perencanaan dan anggarandi tingkat implementasi adalah timing. Kendati kalender perencanaan kegiatantelah dijadwal begitu rupa, tidak ada jaminan bahwa pembiayaan kegiatan

21Kendati begitu, tetap ada issu di tingkat normatif meski bersifat minor. UU 25/2004dan 17/2003 memandang berbeda posisi perencanaan dan penganggaran. Undang-undang17/2003 (Pasal 3, ayat 4) menyatakan bahwa APBN(D) mempunyai fungsi perencanaan,yang berarti bahwa “anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam meren-canakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.” Tetapi UU 25/2004 (Pasal 25, ayat 1 dan2) menegaskan bahwa “RKP menjadi pedoman penyusunan RAPBN” —yang berlaku pulabagi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan APBD. Dalam struktur perencanaandengan horison waktu (jangka panjang, menengah, dan pendek), penganggaran kegiatanpembangunan tahunan sesungguhnya adalah perencanaan jangka pendek itu sendiri. Olehkarena itu, kedua UU ini tidak senafas dalam mendudukkan perencanaan dan penganggaran.

Page 33: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

26

akan terjadi dalam irama yang sama. Luas diketahui bahwa proses penyusunanDaftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan pencairannya sendiri bukan-lah pekerjaan satu malam, apalagi tatkala DIPA harus direvisi. Tentang iniKontan, 5 Januari 2011, melaporkan,

“Proses pencairan DIPA terbilang tak mudah. Pencairan itu memakan prosesdan waktu yang cukup lama. Sekretaris Menteri Perencanaan PembangunanNasional (PPN), Syahrial Loetan, mengatakan, banyak aturan dan mekanismeyang harus dipatuhi. Dia mencontohkan seperti adanya pembatasan uangmuka dan pembatasan dalam pencairan. Selain itu, Syahrial menambahkan,kendala yang dihadapi adalah pemberian tanda bintang untuk program KLyang belum mendapat persetujuan baik dari Kementerian Keuangan maupunDPR. Sehingga, dia bilang, rencana program atau belanja yang sudah disusuntidak serta merta dapat dijalankan pada tahun anggaran berjalan.”

Lebih jauh lagi, juga telah menjadi kelaziman bahwa irama penyerapananggaran memuncak pada kwartal terakhir tahun anggaran, sehingga bukanhanya kuantitas tapi juga kualitas penyerapan dipertanyakan. Sekjen IkatanSarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Anggito Abimanyu, (Kompas, 21 Desember2010) mengatakan, “Dalam tiga tahun terakhir, rasio pencairan DIPA sudahlebih dari 90 persen meski lebih dari setengahnya baru cair di kuartal ketigadan keempat. Namun, di tahun 2010, pencairan diperkirakan di bawah 90persen dan masih juga lambat dicairkan.” Kompas, 29 Desember 2010, ju-ga melaporkan bahwa dalam kurun tiga minggu antara November-Desember2010 terjadi penambahan penyerapan anggaran 10,5 persen dari target belanjanegara yang ditetapkan. Angka ini melonjak hingga 12 persen di minggu ter-akhir 2010. Mengutip Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN)DPR, Ahmad Muzani, Kompas, 8 Januari 2011, kembali melaporkan fenomenapenyerapan APBN di setiap bulan Desember,

“Pada 30 November 2010, serapan APBN di kementerian rata-rata baru 60persen, bahkan kurang. Namun, di laporan pada bulan Desember, penyerapanrata-rata di atas 80 persen. Aneh jika dalam waktu satu bulan penyerapanyang terjadi dapat di atas 20 persen.”

Tegas terlihat, timing merupakan soal serius dalam sinergi perencanaandan penganggaran. Pacuan kuda pencairan anggaran berkecepatan tinggidi detik-detik terakhir kwartal keempat jelas jauh dari pola belanja yangsehat. Lebih buruk lagi, dalam siklus penyerapan anggaran yang berpolademikian, mutu belanja publik suboptimal dan efek riil belanja pemerintah pa-da perekonomian, bahkan pada kesejahteraan secara keseluruhan, juga subopti-mal. Untuk itu, ISEI (Kompas, 21 Desember 2010) mangajukan tiga rekomen-dasi, yakni (1) penganggaran tahun jamak, (2) percepatan pelaksanaan sis-tem anggaran berbasis akrual dan meninggalkan sistem berbasis kas, serta (3)

Page 34: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

27

pendisiplinan kementerian dalam menyusun perencanaan hingga pelaksanaananggaran dengan Kementerian Keuangan dan DPR. Sejalan dengan rekomen-dasi terakhir ini, Syahrial Loetan (Kontan, 5 Januari 2011) menyatakan,

“ . . . Permasalahan itu bisa diatasi asalkan KL dapat membuat master planyang bagus, sehingga pada saat pengajuan tak bolak-balik. Buat rencanakegiatan yang masuk akal, ajukan, dan bisa langsung keluar pada waktu yangkita mau.”

KOTAK 3Percepatan DIPA Tidak Berarti Tanpa Langkah

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan Daftar Isian PelaksanaanAnggaran 2011 kepada para menteri, pemimpin lembaga, dan gubernur di IstanaNegara, Jakarta, Selasa (28/12). Presiden Yudhoyono mengatakan, daftar isianpelaksanaan anggaran (DIPA) yang biasanya diserahkan pada awal tahun berjalankali ini penyusunannya diselesaikan dan diserahkan pada akhir tahun anggaran se-belumnya. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan bisa dipercepat mulaihari pertama 2011.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengingatkan, percepatan penyelesaian DI-PA 2011 tidak akan banyak berarti jika tidak diikuti langkah serius untuk menyerapanggaran sesuai rencana secara efektif dan efisien. Agus mengakui, pelaksanaanAPBN dari tahun ke tahun belum memenuhi harapan karena tingkat penyerapananggaran yang belum maksimal. Menurut Agus, rendahnya penyerapan antara laindisebabkan permasalahan proses pengadaan barang dan jasa serta keterlambatanpenempatan pejabat pengelola keuangan.

Terkait hal itu, pemerintah menyempurnakan sistem penganggaran serta menyeder-hanakan pengadaan barang dan jasa untuk mempercepat penyerapan anggaran.Melalui langkah itu, pemerintah memperkirakan penyerapan anggaran belanja ke-menterian/lembaga hingga akhir tahun ini diperkirakan akan mencapai 93,6 persen.

Sumber: Dicuplik dengan penyesuaian dariKompas, 29 Desember 2010

Page 35: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

28

Ada beberapa issu lain yang juga mengemuka dalam relasi perencanaan-penganggaran. Salah satu di antaranya ialah kekurangan pembiayaan. Telahmenjadi pengetahuan umum bahwa beberapa sektor, seperti infrastruktur atau-pun energi, menderita underinvestment. Sementara itu, luas pula diketahuibahwa sektor-sektor ini banyak memainkan peran dalam mempersempit ke-senjangan antarwilayah, mempertajam efektivitas pembiayaan pembangunan,dan menjaga kelangsungan pertumbuhan.

Dalam Global Competitiveness Report 2010-2011 yang dikeluarkan olehthe World Economic Forum, misalnya, indeks infrastruktur22 Indonesia masihdinilai 3,7 dalam skala 1-7, dekat dengan India (3,6) dan Kenya (3,8), tapi jauhdi bawah Thailand (4,9) atau Malaysia (5,5). Sejak krisis keuangan 1997-98kemampuan pemerintah untuk memacu investasi di sektor infrastruktur me-mang cenderung terbatas. Kong dan Ramayandi (2008) mengemukakan, ditahun-tahun setelah krisis, keterbatasan pemerintah itu bersumber dari be-ban anggaran yang harus dialokasikan untuk menanggung sektor perbankanyang runtuh akibat krisis. Di tahun-tahun belakangan ini, menurut Resosudar-mo dan Yusuf (2009), kendatipun ada windfall kenaikan harga minyak, keter-batasan alokasi masih ditemui, karena rejeki itu harus ditransformasi menjadisubsidi konsumsi minyak domestik.

Tabel 3: Indeks Infrastruktur Indonesia

Indeks Nilai PeringkatIndeks Keseluruhan 3,7 90Jalan Raya 3,5 84Jaringan Rel Kereta1 3,0 56Pelabuhan Laut 3,6 96Pelabuhan Udara 4,6 69Kursi Pesawat2 1450,9 21Pasokan Listrik 3,6 97Telepon Statik3 14,8 82Telepon Genggam4 69,2 98Sumber: Global Competitiveness Report 2010-20111Hanya 116 dari 139 negara disurvey2Ketersediaan kursi-kilometer terjadwal per minggu3Jumlah jaringan telepon fixed aktif per 100 orang4Jumlah pelanggan telepon moblie aktif per 100 orang.

22Indeks ini juga bisa didisagregasi atas mutu jalan raya, rel kereta, pelabuhan laut danudara, pasokan listrik, termasuk kapasitas angkut penerbangan dan jaringan telepon. Lihat,http://www3.weforum.org/docs/WEF_GlobalCompetitivenessReport_2010-11.pdf.

Page 36: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

29

Apa yang hendak disajikan dalam diskusi yang amat terbatas ini adalahkekurangan pembiayaan akan selalu menjadi issu meskipun disadari bahwasektor-sektor tertentu, semacam infrastruktur dan energi, sesungguhnya bisamenjadi fondasi bagi pergerakan sektor lain. Kompetisi dalam prioritas peren-canaan dan alokasi anggaran telah memaksa sektor-sektor seperti itu berkem-bang amat lambat. Sayangnya, suatu peta jalan yang sistematis dan terjadwalmengenai tahapan-tahapan pemenuhan kebutuhan sektor-sektor itu hampir-hampir tidak terlihat, kendatipun issu ini kali mengemuka dalam dua kali rapatkerja presiden-gubernur (Tabel 4). Untuk infrastruktur dan energi, misalnya,telah menjadi kesepakatan umum bahwa suatu langkah siginifikan yang amatserius dibutuhkan di sini. Tentang ini Resosudarmo dan Yusuf (2009, h. 310)mengingatkan,

“It is unlikely that the government’s target rate of 7% annual growthby 2014 can be achieved unless there is a dramatic improvement inthe level of investment in infrastructure.”

Telah dua kali Infrastructure Summit dilaksanakan dalam lima tahun terakhirini. Sayangnya langkah-langkah lanjutan dari pertemuan penting semacam inikurang teraksentuasi. Editorial Jakarta Post, 13 April 2010, secara khususmenyoroti issu ini dengan menyebut bahwa lingkungan fiskal dan peraturantidak cukup atraktif bagi sektor swasta untuk mengisi kekosongan kemam-puan pemerintah dalam pembiayaan infrastruktur. Pada 19 Juli 2010, melaluisudut yang berbeda, Jakarta Post kembali menurunkan editorialnya. Empatfaktor dinilai sebagai tengara rendahnya mutu infrastruktur Indonesia. Perta-ma, komitmen yang rendah. Dari tahun ke tahun nisbah pembiayaan untukinfrastruktur terhadap PDB menurun terus: 3,7% (1999), 3,6% (2003), 2,9%2008, dan hanya 1,5 (2009). Kedua, pembiayaan yang ada pun dialokasikanpada kegiatan yang tak langsung ke arah pembangunan fisik. Bagian terbe-sar pembiayaan itu habis dipakai untuk jasa konsultasi, perencanaan, peman-tauan, dan supervisi. Ketiga, realisasi belanja infrastruktur berjalan lambatdan tertunda. Sebagai contoh, tahun 2009 belanja infrastruktur oleh Kemente-rian Pekerjaan Umum hanya 49% dari total anggaran Rp 35 triliun hing-ga bulan September. Dalam tiga bulan kalender fiskal yang tersisa, mutubelanja anggaran yang tersisa (Rp 17,9 triliun) dipertanyakan dengan amatserius. Akhirnya, kalaupun ada aturan main untuk memeliharan mutu infra-struktur, penegakannya juga diragukan. Ini mudah ditemui pada pelanggaran-pelanggaran batas maksimum beban jalan yang hampir-hampir tidak ditanganisecara serius.

Page 37: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

30

Tab

el4:

Rap

atKerja

Gub

ernu

r-Preside

n20

10

Tan

ggal

Tem

pat

Tem

aAraha

nPresiden

1-3Fe

brua

riIstana

RPJM

N2010

-2014

+Percepa

tanpe

laksan

aanprioritaspe

mba

ngun

anna

sion

alCipan

as,

Evaluasiprogram

pusatda

nda

erah

(Inp

resNo.1/2010)

Bogor

100ha

ripe

rtam

aKIB

II

19-21April

Istana

+Pem

bang

unan

ekon

omida

n+

Ben

chm

arkun

tukstatistikprovinsi

adalah

angkana

sion

alTam

pak

duniausah

a+

Pengu

rang

ankemiskina

ndeng

anpe

rtum

buha

nyang

merata

Siring

,+

Peningkatan

program

pro-raky

at+

Pem

bang

unan

infrastruk

tur

Bali

+Peningkatan

kead

ilanba

giraky

at+

Peningkatan

pena

naman

mod

al+

Lan

gkah

-lan

gkah

pencap

aian

+Program

pemba

ngun

anbe

rkeadilan(Inp

resNo.3/2010)

target

MDGs

5-6Agu

stus

Istana

+Evaluasiatas

efektivitas

+Perum

usan

sinergipu

satda

nda

erah

Bogor,

pemba

ngun

an,term

asuk

+Permusan

nilaitunjan

ganba

giap

aratur

pemerintah

Jawa

peng

guna

anan

ggaran

+Perum

usan

jumlahpe

gawai

negeri

sipil

Barat

+Pem

bang

unan

infrastruk

tur

+Perom

bakanmekan

ismepe

nentua

nda

nadekonsentrasi

+Pen

erap

anefisiensi

dalam

peng

guna

anan

ggaran

+Pen

ingkatan

serapa

nan

ggaran

daerah

+RevisiKeppres

No.80/2003tentan

gpe

ngad

aanba

rang

/jasa

18Oktob

erMakassar,

+Pengu

atan

SinergiPusat-D

aerah

+Mem

antapk

anko

ordina

sian

tarlevel

pemerintaha

nSu

lawesi

dalam

Penyeleng

garaan

Pem

erintaha

nda

nmem

perkua

tsinergipe

merintahpu

satda

nda

erah

Selatan

+Meningkatkankeam

anan

danketertiban

daerah

deng

anpe

ngua

tanpe

rangu

bernur

seba

gai

one

sing

leco

mm

and

+Pen

deteksiandini

pencegah

ankonfl

ik+

Melak

ukan

tind

akan

persua

sif

+Menyelesaikan

konfl

ikdeng

anefektif

baik

melalui

kesepa

katanda

mai

mau

punsecara

huku

m

Page 38: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

31

Tan

ggal

Tem

pat

Tem

aAraha

nPresiden

+Mendu

kung

efektivitaspe

nyelenggaraanpe

merintahda

erah

+Antisipasiun

tukmencegahda

nmengatasi

dampa

kko

ndisicuacabu

rukda

nbe

ncan

a+

Meningkatkanpe

lestarianlin

gkun

ganhidu

pun

tukmencegahda

mpa

knegatifpe

man

asan

glob

almelalui

pening

katanku

alitas

peng

elolaanhu

tan

+Melak

sana

kanreform

asibirokrasida

npe

ning

katan

kesejahteraanpe

gawai

negeri

sipilan

tara

lain

deng

anmenyediakan

rumah

laya

khu

ni+

Meningkatkanak

untabilitas

peng

elolaankeua

ngan

dankinerjada

erah

sertape

ngad

aanba

rang

dan

jasa

agar

kualitas

lapo

rankeua

ngan

daerah

dapa

tmencapa

iop

iniwajar

tanp

ape

ngecua

lian

Page 39: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

32

Sinergi Pusat dan Daerah

Di masa lalu, di bawah rejim sentralisasi, tidak banyak tantangan perencanaanpembangunan yang dimuati oleh norma-norma sinergi pusat-daerah, karenaotonomi daerah memang praktis absen dari tatakelola pembangunan nasio-nal secara keseluruhan. Saat ini proses perencanaan menjadi jauh lebih rumit.Dalam rejim desentralisasi, daerah harus mendapat porsi khusus; tetapi dalamformat negara kesatuan, kepentingan-kepentingan pusat tak pula dapat diabai-kan. Dengan kata lain, muatan-muatan dasar yang diulas di muka menyimpankepelikan tersendiri untuk diejawantahkan secara rill dalam kacamata sinergihubungan pusat-daerah. Tidak mengherankan issu ini kemudian mengemukadalam dua dari empat kali rapat kerja presiden-gubernur tahun 2010 (Tabel3). Kendati begitu, ada beberapa issu yang penting untuk diperhatikan untukmengentalkan sinergi pusat-daerah.

Pertama adalah politik. Kendatipun dukungan substansial suara padapemilihan pemimpin nasional berpotensi sebagai stabilizing factor, ‘politik for-mal’ Indonesia —termasuk juga ‘politik nonformal’ melalui organisasi massaataupun masyarakat sipil— pasca reformasi 1998-1999 jauh lebih terfragmen-tasi daripada politik masa sebelumnya. Dalam politik yang terfragmentasibiaya untuk mencapai konsensus menjadi lebih mahal. Hal yang serupa ju-ga sangat potensial terjadi di daerah, karena sebagaimana Baswedan (2007, h.333) mengenai korelasi nisbah suara partai pada pemilu nasional dan daerah23,“local politics was simply a mirror of national politics.”. Selain itu, masih tetapdalam perspektif politik, tidak ada jaminan bahwa masing-masing pemimpinterpilih di setiap jenjang memiliki visi-misi yang searah, apalagi terkait de-ngan rencana pembangunan jangka menengah dan panjang. Pada saat yangsama, pula tidak ada jaminan bahwa bupati-walikota dan gubernur, bahkanpresiden, secara politik berasal dari dan ditopang oleh partai-partai yang samaatau memiliki visi-misi yang sama —seperti juga terjadi perbedaan antara par-tai pemenang Pemilu di lingkup kabupaten-kota, provinsi, dan nasional.

Kedua, di pusat —apalagi di daerah— kapasitas teknokratik masih jauhdari memadai dan tidak terdistribusi merata di antara pelbagai institusi peme-rintahan.24 Beberapa usaha untuk memperbaiki kemampuan teknokrasi peren-

23Korelasi ini positif dan signifikan, bergerak antara 0,89 hingga 0,99. Baswedan, di ha-laman artikel yang sama, juga menyatakan, “. . . the distribution of power at local level isheavily influenced by national politics, with voters tending to vote for the same party accrossdifferent levels of government.”

24Lihat diskusi selanjutnya tentang tatakelola pemerintahan setelah bab ini. Selain itu,studi UNDP (2009) tentang kapasitas 10 SKPD Pemerintah Provinsi Gorontalo menunjukkanmasih ada senjang yang cukup lebar antara ‘kapasitas riil’ dan ‘kapasitas yang diharapkan’dalam tujuh issu pokok, yakni (1) sumber daya manusia, (2) restrukturisasi organisasi, (3)pengelolaan keuangan, (4) kepemimpinan, (5) koordinasi, (6) akuntabilitas, serta (7) penge-

Page 40: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

33

canaan, misalnya pelibatan tenaga ahli dari luar, pelatihan peningkatan kapa-sitas perencanaan, praktek-praktek magang, serta pendidikan lanjutan bagitenaga-tenaga di upper-low dan mid management telah menunjukkan banyakkemajuan. Walau begitu, defisit tenaga fungsional perencana —apalagi yangmemiliki kualifikasi tinggi— masih dirasakan di sejumlah daerah dan sektor.Issu ini merupakan salah satu butir yang direkomendasikan oleh Forum KepalaBAPPEDA Se-Kawasan Timur Indonesia II, 9-10 September 2008. Bappenas,melalui Badan Pendidikan dan Pelatihan, diminta mengambil peran untukmengisi defisit ini.25

Sejalan dengan itu, dalam konteks Indonesia yang demokratis dan ter-desentralisasi, norma perencanaan partisipatif dalam kombinasi pendekatanatas-bawah dan bawah-atas menuntut kapasitas teknokrasi yang lain lagi. Pro-ses perencanaan partisipatif semacam Musrenbang, membutuhkan fasilitator-fasilitator perencana andal yang belum tentu dimiliki oleh pemerintah-pemerin-tah di setiap jenjang. Musrenbang yang berjenjang memang dirancang untukdijadikan jalan keluar mengakomodasi kepentingan-kepentingan stakeholdersyang bervariasi. Sayangnya, proses Musrenbang itu sendiri justru menjadi titikkelemahannya: ketika ia menjadi suatu forum formal dengan proses berjenjang,kecenderungan seremonial, keterbatasan keterwakilan, dan penyusutan usulanprogram dari jenjang ke jenjang menjadi hal yang tak terhindarkan. Apa yangdapat dilihat di sini adalah sinergi pusat-daerah dalam perencanaan juga masihmenjadi agenda desentralisasi yang penting. Musrenbang di pelbagai tingkatansesungguhnya berpotensi untuk dijadikan sebagai forum sinergi. Dalam forumseperti ini, Musrenbang menjadi arena pertemuan dua arah: (1) tidak hanyasebagai arena sosialisasi rencana KL atau SKPD jenjang pemerintahan yanglebih tinggi, (2) tetapi juga arena untuk mengintegrasikan rencana-rencanajenjang pemerintahan yang lebih rendah ke dalam rencana-rencana pemba-ngunan di jenjang pemerintahan yang lebih tinggi. Kesuksesan desentralisasijuga bisa ditentukan dari sinergi ini.

Lebih jauh lagi, kalaupun kapasitas teknokratik itu sudah terpenuhi, di-mensi non-teknokratik acapkali tak terhindarkan dan membutuhkan perhatianserius pula. Sebagai ilustrasi, misalnya, bagaimana usulan-usulan kegiatanpembangunan di lokasi dan sektor tertentu oleh DPR(D) —melalui ‘JaringAsmara’ (Penjaringan Aspirasi Masyarakat)— pasca reses parlemen harus di-

tahuan dan keterampilan, yang ditelaah melalui empat dimensi, yaitu (1) perumusan visi-orientasi kebijakan, (2) perencanaan dan perumusan program kerja, (3) implementasi, serta(4) monitoring dan evaluasi. Dalam skala 1 (amat rendah) hingga 5 (amat tinggi) ‘kapasitasriil’ dan ‘kapasitas harapan’ diukur oleh masing-masing SKPD. Selisih antarkedua keduakapasitas itu berkisar 0,73-1,05. Lihat, Abdi Suryaningati dan Catur Utami Dewi (2009),Peninjauan Kapasitas/Strategi Pengembangan Kapasitas: Tinjauan Kapasitas 10 SKPD Pe-merintah Provinsi Gorontalo. BRiDGE-UNDP.

25http://222.124.179.75/bakti1/index.php/berita–-content/items/90.html.

Page 41: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

34

akomodasi? Bagaimana pula jika gelagat pork barrel26 terasa lebih mengentaldaripada nilai-nilai ideal yang diboboti dalam ‘Jaring Asmara’? Keadaan inimenjadi rumit manakala diingat bahwa parlemen secara politik memiliki legiti-masi konstituensi dan memegang hak anggaran, sementara usulan-usulan yangdisampaikannya itu berada di luar alur proses dan konsultasi Musrenbang yangada. Komplikasi ini meninggi apabila usulan-usulan itu ternyata bersifat barudan berbeda dari apa yang sudah diakumulasi oleh pemerintah, serta berpoten-si mementahkan seluruh proses perencanaan yang telah dijalankan. Kapasitasteknokratik memang memenuhi ‘syarat perlu’, tetapi ia masih harus dilengkapilagi dengan syarat kedua, yakni ‘syarat cukup’ di dimensi non-teknokratik.

Ketiga, timing kembali lagi menjadi issu tatkala sinergi perencanaan danpenganggaran dilihat melalui perspektif relasi provinsi dan kabupaten-kota.Kecepatan proses perencanaan-penganggaran yang berbeda antara provinsidan kabupaten kota mengganggu pencapaian sinergi. Jika proses di provin-si berlangsung lebih lambat daripada proses sejenis di kabupaten kota, iramapelaksanaan kegiatan terdistorsi sedemikian rupa padahal setiap target lazim-nya terukur dan terkonversi menurut waktu. Keadaan ini menjadi lebih ru-mit lagi manakala terjadi perubahan anggaran (APBD-P) di provinsi dan dikabupaten-kota. Ini menggiring implementasi kegiatan ke arah dua pilihan,yakni melakukan proses penyesuaian yang baru lagi untuk pencapaian sinergiatau melepaskan sama sekali sinergi sebagai norma pembangunan.

Kepelikan juga ada pada sinergi dalam timing perencanaan yang me-ngandung target-target berdasarkan waktu. Sayangnya, selain UU KK danSPPN, PP turunannya, yakni PP 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintahdan PP 40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Na-sional, juga tidak dapat memberikan jawaban memuaskan mengenai issu sinergidalam timing perencanaan ini. Ini bermula dari perbedaan kalender Pemilu na-sional dengan kalender Pemilu kepala daerah. Padahal, paling lambat dua bu-lan setelah dilantik UU memerintahkan Musrenbang JMN(D) sudah harus di-lakukan. Manakala hasil Musrenbang ini diterjemahkan ke dalam RPJMN, tu-runan rencana detail (renstra KL, RKP, dan Renja KL), dan target-target yanglebih defintif telah ditetapkan, maka RPJMD dan derivasinya akan merujuk pa-da hal itu, termasuk pula target-target definitifnya. Ini semakin rumit, mana-kala target-target itu harus berhadapan dengan keterbatasan anggaran pem-bangunan sebagaimana telah didiskusikan. Tentang target-target semacam iniBooth (2005, h. 198) menulis kritiknya,

26Lancaster (1986) mendefinisikan pork barrel sebagai a particular type of constituencyservice through which a legislator’s geographic constituency benefits from the distribution ofpublic works projects. Thomas D. Lancaster. 1986, ‘Electoral Structures and Pork BarrelPolitics’, International Political Science Review 7(1): 67-81.

Page 42: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

35

“The national planning process continues to place primary emphasis on thesetting of targets, with little or no indication of how these targets are to beachieved. Too little attention is paid to how limited budgetary resources shouldbe allocated among competing claims from different government programs.”

Sementara itu, target-target itu sendiri bersifat progresif menurut waktu—yang direncanakan mencapai puncaknya pada masa akhir jabatan presiden.Jika Pemilukada baru terjadi di tengah-tengah masa jabatan presiden, bisadipastikan sinergi dalam target tidak akan terjadi. Ini sama halnya mana-kala Pemilukada mendahului Pemilu Presiden, pencapaian sinergi mengalamikerumitan tersendiri pula. Dalam perbedaan kalender itu, tidak ada jaminanbahwa setiap pemimpin yang terpilih di setiap jenjang pemerintahan memilikivisi-misi yang searah, apalagi terkait dengan rencana pembangunan jangkamenengah dan panjang.

Lebih jauh lagi, kalaupun target-target itu dapat didefinsikan denganbaik dan indikator yang tepat dapat ditetapkan, data akan menjadi kesulitanyang lain. Perbedaan data antara apa yang dimiliki oleh pusat dan daerah,termasuk pula kelangkaan (regularitas dan kontinuitas ketersediaan) data, bisamenerangkan keadaan ini. Data acapkali menjadi sumber kekisruhan dalamperencanaan, monitoring, dan evaluasi pembangunan, bahkan menjadi sumberkekisruhan antara pusat-daerah. Pada saat yang sama, kekisruhan tentangdata juga terjadi antarunit atau perangkat pemerintahan di setiap jenjang.Di tingkat pusat rekonsiliasi data menjadi issu antarkementerian-lembaga, se-mentara di tingkat daerah issu yang serupa juga terjadi antarperangkat pe-merintahan atau antara provinsi dan kabupaten-kota. Padahal, dalam banyaksituasi, data yang diproduksi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) juga berasaldari KL dan SKPD sendiri. Dalam situasi ini, tentu saja sinergi dalam targetdan indikator pencapaian pembangunan sulit dilakukan. Inipun belum mem-perhitungkan mutu data, padahal mutu data menentukan mutu perencanaan,sedangkan mutu perencanaan menentukan mutu hubungan antarpemerintah.

Suatu inisiatif mengenai pembangunan sistem data pembangunan yangmengawinkan informasi spasial, perkembangan sosial-ekonomi, dan tatakeloladaerah akan sangat membantu sinergi pusat-daerah. Bakorsurtanal menya-takan tak kurang dari 94 UUmenuntut ketersediaan data dan informasi spasial.27

Sistem ini akan jauh lebih bermakna jika pemerintah provinsi, juga kabupaten-kota, mengambil inisiatif yang serupa sehingga suatu jaringan data pemba-ngunan daerah yang rinci bisa dibangun. Tentu saja lembaga statistik profe-sional semacam BPS tidak mungkin dipisahkan dari inisiatif ini. Itu artinyapersoalan-persoalan di seputar kekurangan pendanaan yang dihadapi oleh lem-

27http://www.bakosurtanal.go.id/bakosurtanal/lebih-dari-94-uu-menyatakan-perlunya-data-dan-informasi-geospasial.

Page 43: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

36

baga pengelola data (Hull, 2001) semestinya sudah harus dikurangi secarabertahap. Penyusun kebijakan dan peneliti diuntungkan oleh kemudahan ak-ses data bagi kepentingan perencanaan dan analisis kebijakan.

Lekat dengan issu soal data adalah sinergi pusat-daerah dalam subs-tansi perencanaan dan penganggaran. Issu ini juga memiliki pertalian kuatdengan issu hubungan antarpemerintah yang didiskusikan sebelumnya. Desen-tralisasi Indonesia sendiri masih mencari format ideal sinergi dalam substansiperencanaan-penganggaran antara pusat dan daerah, apalagi jika diingat bah-wa landasan hukum bagi perencanaan dan penganggaran belum lama diintro-duksi. Dalam hal sinergi itu, provinsi tampaknya menghadapi beban relatifyang lebih berat daripada pemerintah-pemerintah di lapis lainnya. Ini karena,hingga tingkat tertentu, substansi rencana pembangunan provinsi —dalam halini rencana jangka menengah (RPJM). Walau begitu, perlu dicatat di sini UUtidak menyatakan bahwa RPJMN merupakan hasil agregasi RPJMD.— me-ngandung tiga hal yang merupakan implikasi penyelarasan rumusan RPJPMDaerah dengan RPJPMNasional berdasarkan tuntutan UU. Pertama, ia ditun-tut untuk ‘memperhatikan’ rencana pembangunan nasional yang merupakanpenjabaran visi-misi presiden. Di tingkat provinsi ini bisa berarti bahwa ren-cana nasional didisagregasi secara regional dan spasio-administratif. Kedua,provinsi memiliki rumusan rencana pembangunannya sendiri yang merupakanterjemahan visi-misi gubernur. Kendati demikian, ketiga, bagi kepentingansinergi dalam substansi, rencana pembangunan provinsi dituntut pula untukmemperhatikan rencana pembangunan kabupaten-kota (atau sebaliknya), ter-lepas dari fakta bahwa UU tidak secara eksplisit menyatakannya. Ini berar-ti provinsi melakukan agregasi rencana kabupaten-kota, paling kurang secarasubstantif. Bagaimanapun, daerah juga memiliki agenda, prioritas, dan tar-get pembangunan sendiri yang tidak mungkin diisolasi dari keseluruhan sistemperencanaan.

Sebuah eksperimen untuk menetapkan target bersama di skala provinsiagaknya menarik untuk diujicoba atau diperdalam intensitasnya. Target pe-ningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ataupun perbaikan indikator-indikator Millenium Development Goals (MDGs), misalnya, dapat dijadikantarget bersama antara pemerintah pusat, provinsi, dan, terlebih lagi, kabupaten-kota. Ilustrasi tentang Gorontalo di muka dapat dijadikan rujukan. Melaluidukungan UNDP, Provinsi ini berhasil menyusun dan memanfaatkan lapo-ran pembangunan manusia untuk menuntun pengalokasian anggaran publikyang lebih memiliki fokus di sektor-sektor pendidikan, kesehatan, dan sek-tor yang terkait dengan peningkatan pendapatan masyarakat kepada 15 ke-camatan yang diidentifikasi memiliki IPM rendah. Bersama-sama pemerintahkabupaten-kota intervensi anggaran yang lebih dalam diterapkan untuk mem-perbaiki sektor-sektor penopang pembangunan manusia.

Page 44: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

Tatakelola Pelayanan PublikReformasi untuk Inovasi

Tatakelola dalam Perspektif

Telah menjadi pengetahuan umum bahwa desentralisasi dilangsungkan di te-ngah kualitas institusi tatakelola yang terbatas. Beberapa indikator tatakelolayang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional menegaskan hal itu. Duagugus data dari dua organisasi internasional dapat dipakai sebagai rujukan:International Country Risk Guide (ICRG) dan World Bank (WB). Keduanyamenyajikan potret yang serupa.

Ketika UU 22/1999 dikenalkan, indeks mutu birokrasi Indonesia yangdirekam oleh ICRG tercatat pada angka skor 2,8 dalam skala 4. Manakala UUini diejawantahkan di tahun 2001, indeks merosot menjadi 2,3. Lalu, saat UUini direvisi menjadi UU 32/2004, mutu birokrasi jatuh ke angka 2,0, dan terusbertahan di angka itu tatkala PP 19/2010 tentang kedudukan gubernur dikelu-arkan. Meski dengan kecenderungan yang berbeda, mutu penegakan hukumdan peraturan, termasuk korupsi, juga berada jauh di bawah nilai ideal. Indeksyang agak meyakinkan, walau juga dengan gelagat antarwaktu yang berbeda,ditampilkan oleh indeks akuntabilitas demokratis dan stabilitas pemerintahanyang berada tak jauh dari nilai ideal. Tabel 5 melaporkan perkembangan in-deks tatakelola Indonesia.

Bank Dunia melaporkan nada yang mirip: mutu tatakelola tidak meyakin-kan ketika desentralisasi dikenalkan dan dijalankan. Dalam bentang indeks−2, 5 hingga +2, 5, setahun setelah UU 22/1999 dikeluarkan, seluruh kom-ponen indeks tatakelola dapat dikategorikan buruk. Indeks efektivitas peme-rintah di dalam menyediakan jasa publik serta merumuskan dan menerapkankebijakan, misalnya, hanya sebesar −0, 5. Angka ini tak berubah banyak se-tahun setelah UU 22/1999 diimplementasikan (2002),28 maupun ketika UU inidirevisi di tahun 2004 oleh UU 32. Sedikit perbaikan terjadi ketika UU 32/2004

28UU ini dikeluarkan tahun 1999, tapi baru diterapkan dua tahun kemudian (2001).

37

Page 45: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

38

tengah mengalami proses revisi (2009). Mutu regulasi, hukum, dan pengen-dalian korupsi di tahun awal desentralisasi juga setali tiga uang. Bahkan, tidakbanyak perbedaan kualitas tatakelola yang diperlihatkan setelah desentralisasidijalankan selama 10 tahun.

Tabel 5: Indonesia dalam Indeks Tatakelola

Indeks ICRG 1999 2001 2004 2010 SkalaBureaucracy Quality 2,8 2,3 2,0 2,0 0−4Democractic Accountability 2,6 4,0 4,8 5,0 0−6Law and Order 2,0 2,0 2,7 3,0 0−6Corruption 1,1 1,0 1,0 3,0 0−6Government Stability 9,1 7,8 7,2 9,0 0−12

Indeks Bank Dunia 2000 2002 2004 2009 SkalaGovernment Effectiveness −0,5 −0,5 −0,4 −0,2 -2,5−2,5Regulatory Quality −0,3 −0,7 −0,6 −0,3 -2,5−2,5Rule of Law −0,8 −1,0 −0,7 −0,6 -2,5−2,5Control of Corruption −0,9 −1,1 −0,9 −0,7 -2,5−2,5Voice-Accountability −0,4 −0,4 −0,3 −0,1 -2,5−2,5Political Stability −1,8 −1,6 −1,6 −0,6 -2,5−2,5Catatan: Makin besar indeks, makin baik mutu tatakelola

Masih ada indeks lain lagi yang melaporkan mutu tatakelola Indonesiadengan nada serupa, walau dengan cakupan series dan indikator tatakelolayang terbatas. Indeks yang dikeluarkan oleh Foreign Policy, misalnya, men-catat bahwa meski tak terlalu buruk, mutu layanan publik tetap masih jauhdari meyakinkan. Dalam skala 0–12, Indonesia hanya mendapat skor 6,7.29

Dalam korupsi, Transparency International tidak memberi catatan bagus.

Keadaan ini bukanlah khas pada observasi di level makro, karena surveydi tingkat provinsi dan kabupaten-kota juga memperlihatkan hasil serupa. Sur-vey Partnership 2008 tentang tatakelola, misalnya, menunjukkan tidak satupunprovinsi yang bisa mendekati, apalagi melebihi, skor tujuh dalam skala penilai-an 10. Hanya pemerintah Jakarta, Jawa Timur dan Bali yang mendekati skortujuh, yakni 6,8, 6,5, dan 6,3. Ini artinya sebagian besar pemerintah provinsilainnya menunjukkan kinerja yang lebih buruk. Birokrasi agak sedikit berbe-da. Beberapa provinsi —Gorontalo, Kepulauan Riau, dan Jakarta— memangmencatat skor 7,0, 7,0, dan 7,3, tetapi birokrasi di 30 provinsi lain berkinerjatak beda dengan pemerintah (Tabel 6).30

29Indeks ini sesungguhnya menjelaskan progressive deterioration of public service, sehinggaskor besar bermakna negatif, yakni penurunan mutu layanan publik.

30Lihat keterangan Tabel 6 untuk perbedaan definsi ‘pemerintah’ dan ‘birokrasi’.

Page 46: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

39

Tab

el6:

Provinsid

alam

Inde

ksTatakelola

Pro

vins

iPem

erin

tah

Bir

okra

siP

rovi

nsi

Pem

erin

tah

Bir

okra

siN

angg

roe

Ace

hD

arus

sala

m5.

65.

7N

usa

Ten

ggar

aB

arat

4.9

6.0

Sum

ater

aU

tara

4.1

4.3

Nus

aTen

ggar

aT

imur

4.5

5.6

Sum

ater

aB

arat

5.4

5.9

Kal

iman

tan

Bar

at4.

94.

3R

iau

5.2

6.2

Kal

iman

tan

Ten

gah

5.7

5.3

Jam

bi5.

65.

8K

alim

anta

nSe

lata

n5.

16.

3Su

mat

era

Sela

tan

4.8

6.1

Kal

iman

tan

Tim

ur5.

05.

1B

engk

ulu

3.7

5.6

Sula

wes

iUta

ra4.

05.

9La

mpu

ng6.

06.

2Su

law

esiT

enga

h3.

53.

9B

abel

4.3

5.7

Sula

wes

iSel

atan

5.4

6.1

Kep

ri5.

27.

0Su

law

esiT

engg

ara

4.2

5.4

DK

IJa

kart

a6.

87.

3G

oron

talo

6.0

7.0

Jaw

aB

arat

5.7

5.8

Sula

wes

iBar

at4.

35.

7Ja

wa

Ten

gah

4.5

5.6

Mal

uku

4.3

4.3

DI

Jogj

akar

ta5.

66.

2M

aluk

uU

tara

3.9

4.6

Jaw

aT

imur

6.5

6.1

Iria

nJa

yaB

arat

3.9

4.0

Ban

ten

3.9

5.4

Pap

ua4.

54.

6B

ali

6.3

6.3

Sumbe

r:kemitraan.or.id.

Catatan

:Sk

ala0-10.

Mak

inbe

sarskor,m

akin

baik.Pem

erintahad

alah

gubernur

danDPRD

seba

gaip

embuat

kebijakan.

Inde

ksny

amen

jelaskan

kapa

sitaspe

mbu

atan

regu

lasi,k

oordinasip

emba

ngun

an,d

anpe

ngalokasian

anggaran

.Birokrasi

adalah

dina

sda

nbadanseba

gaip

elaksana

kebijakan.

Inde

ksny

amen

jelaskan

kemam

puan

men

jalank

anfung

sipe

layana

npu

blik,p

eningkatan

pene

rimaankeua

ngan

daerah

danpe

ngaturan

ekon

omid

aerah.

Page 47: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

40

Survey Doing Business 2010 oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Oto-nomi Daerah (KPPOD) melaporkan nada yang sama. Untuk mendirikan usa-ha, 15 ibukota provinsi yang disurvey membutuhkan 8 (Palangkaraya) hing-ga 11 (Semarang dan Manado) prosedur perizinan, dengan waktu antara 43(Jogjakarta dan Bandung) hingga 67 hari (Semarang). Sementara itu, untukmendapatkan ‘izin mendirikan bangunan’ diperlukan 8 (Jogjakarta) sampai 15hari (Manado), dengan kebutuhan waktu antara 56 (Makasar) dan 230 hari(Surabaya). Prosedur itu meliputi kelengkapan dokumen notaris, akta pendiri-an, pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), persetujuan Ke-menterian Hukum dan HAM, NPWP, kepesertaan Jamsostek, dan lain-lain redtape yang menimbulkan soal serius.

Apa yang lebih memprihatinkan tentang kondisi lingkungan usaha didaerah adalah lahirnya perda-perda yang tidak bersahabat dengan dunia usa-ha. Tabel 7 memperlihatkan bahwa, kecuali Jakarta, 32 provinsi lain seolah-olah berkompetisi untuk memproduksi perda sebanyak mungkin. Bertentang-an dengan apa yang ditemui dalam literatur mengenai fenomena race to thebottom dalam kompetisi antaryurisdiksi, yurisdiksi di masa desentralisasi diIndonesia malahan membuat berbagai variasi hambatan bagi perkembangandunia usaha. Tidak mengherankan jika kemudian Kementerian Keuanganmerekomendasikan belasan hingga ratusan perda untuk direvisi dan dibatalkanoleh Kementerian Dalam Negeri. Sepanjang 2001-2009 rekomendasi untuk re-visi pembatalan atau perda tertinggi ditemukan di dalam sektor perhubung-an (477 perda), perdagangan dan industri (434 perda), budaya-pariwisata(309), energi-mineral (302), pekerjaan umum (161), ketenagakerjaan (141),kelautan-perikanan (131), administrasi-kependudukan (103). Di sektor-sektorlain perda yang direkomendasikan untuk direvisi atau dibatalkan berkisar an-tara 34-99 perda (Nota Keuangan dan APBN 2010). Sebagaimana bisa dilihat,sektor-sektor ini adalah penggerak perekonomian daerah, sehingga hambatan-hambatan yang diciptakan justru mengancam pergerakan ekonomi daerah.

Apa yang dipilih pemerintah daerah bukanlah menurunkan ‘tarif pu-ngutan’ ke tingkat minimum seraya memaksimumkan jumlah ‘wajib pungut’,tetapi justru mengembangkan pelbagai varian pungutan —dan bukan tidakmungkin pada tingkat ‘tarif pungutan’ maksimum— di segala sektor. Bahkan,boleh ada dikatakan, tidak ada sektor ekonomi yang lolos dari perda pungutan.Dalam satu keadaan, alasan pemerintah daerah mengambil pilihan untuk se-banyak mungkin mengeksploitasi sumber-sumber potensial bisa dipahami. Yangpertama adalah karena kebutuhan. Kebutuhan belanja daerah tidak sepenuh-nya dapat dibiayai dari transfer pusat, sehingga segala upaya dilakukan un-tuk menambah sumber-sumber pendapatan daerah. Tetapi alasan kedua yangtidak kalah penting adalah UU. Ada ruang lebar yang dibuka oleh UU 34/2000bagi daerah untuk pelbagai jenis pungutan, pajak atau retribusi yang baru —

Page 48: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

41

bahkan untuk pungutan yang telah dibatalkan oleh UU 18/1997 (Nota Keuang-an dan RAPBN, 2010).31

Dalam keadaan yang lain, mengingat potensi distorsi ekonomi yang ter-jadi, tampaknya suatu petunjuk teknis atas UU 34/2000 yang lebih detaildan tegas amat diperlukan. Ini dapat diimbangi oleh pemberian porsi peranyang lebih kuat kepada gubernur WPP-KWA untuk dapat melakukan evaluasiatas perda. Pada saat yang bersamaan, agaknya suatu insentif bagi daerahyang mengambil pilihan untuk meminimumkan sumber-sumber distorsi ekono-mi perlu diberikan. Dengan begitu, fenomena yang berkebalikan justru bisadiciptakan, yakni daerah akan berkompetisi untuk menciptakan distorsi yangpaling minimum. Dalam distorsi yang minimum, daya tarik daerah atas inves-tasi jauh lebih kuat. Ini sejalan dengan tujuan peningkatan daya saing daerahsebagai tujuan desentralisasi seperti yang diamanatkan UU.

Sektor Publik dan Inovasi

Tidak dapat dipungkiri kalau sektor publik adalah sektor yang penting bahkandalam sistem ekonomi liberal sekalipun. Di Indonesia, sektor ini mengam-bil porsi antara 9-10 persen dalam membentuk total Produk Domestik Bruto(PDB) dalam lima tahun belakangan, yakni antara Rp 300-600 trilyun. Iamembelanjakan antara Rp 55-113 trilyun APBN, atau 11-12 persen dari totalAPBN, untuk membayar pegawai. Sektor publik juga mempekerjakan hampirlima juta pegawai, dengan lebih dari 70 persen di antaranya berada di daerah.Tetapi, yang lebih penting daripada statistik ini ialah peran sentral yang di-mainkan sektor publik dalam membuat dan menerapkan hukum dan kebijakanpembangunan, memobilisasi dan mengalokasikan anggaran, serta menyediakanbarang-barang publik dan barang-barang administratif, termasuk pula mem-berikan jasa layanan publik baik layanan sosial dasar maupun ekonomi.

Peran sentral sektor publik seperti itu umumnya tidak berbeda di semuanegara dan selalu amat strategis. Sayangnya, birokrasi sektor publik cenderungdipandang negatif. Seorang profesor administration publik dari Kean Univer-sity in Union, New Jersey, USA, Patricia Moore (2005, hal. 141) mencatat,

“I asked a class of undergraduate students to use one word to de-scribe bureaucracy. Their responses included waste, inefficiency,red tape, rules, paperwork, formality, unresponsiveness, idleness,and rigidity.”

31UU 34/2000 merupakan UU perubahan perubahan atas UU 18/1997 tentang Pajak Dae-rah Dan Retribusi Daerah.

Page 49: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

42

Tabel 7: Pembatalan Peraturan Daerah

2001(2) 2008 20091

Provinsi 2006(7)R B R B R B

Nanggroe Aceh Darussalam 31 14 38 0 12 1Sumatera Utara 167 74 79 29 1 8Sumatera Barat 80 27 44 8 2 0Riau 64 36 11 5 8 1Kepulauan Riau 10 4 7 0 7 0Jambi 52 35 33 2 12 1Sumatera Selatan 39 25 21 1 25 0Bangka Belitung 39 9 0 6 10 0Bengkulu 25 18 19 1 32 2Lampung 26 33 0 2 0 0DKI Jakarta 1 1 0 0 0 0Jawa Barat 120 47 54 5 0 9Banten 40 18 21 0 0 2Jawa Tengah 115 37 74 3 13 8DI Yogyakarta 37 9 15 3 0 0Jawa Timur 157 50 106 38 9 14Kalimantan Barat 55 26 27 2 0 0Kalimantan Tengah 95 36 43 6 0 7Kalimantan Selatan 55 22 45 7 2 5Kalimantan Timur 62 27 71 4 35 5Sulawesi Utara 34 23 11 2 12 2Gorontalo 33 10 20 7 17 1Sulawesi Tengah 32 28 27 1 11 18Sulawesi Selatan 110 57 32 7 1 0Sulawesi Barat 17 1 6 1 0 0Sulawesi Tanggara 30 8 48 3 0 0Bali 41 15 14 4 9 1Nusa Tenggara Barat 77 32 37 11 11 0Nusa Tenggara Timur 45 21 10 6 9 0Maluku 28 11 8 1 0 0Maluku Utara 10 7 42 0 8 5Papua 54 6 34 13 0 1Papua Barat 31 7 36 16 0 4

Total 1812 774 1033 194 246 95Sumber: Nota Keuangan dan APBN 2010R: Rekomendasi batal atau revisi; B: Dibatalkan1Hingga pertengahan Juli 2009

Page 50: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

43

Untuk itu, pelbagai seri reformasi di sektor publik dilakukan dipelbagainegara. Kendati begitu, upaya mereformasi birokrasi sektor publik juga bukanpekerjaan satu malam. Di USA, Ronald Reagan dalam kampanye politiknyamenuju kursi presiden berjanji untuk memangkas birokrasi, tetapi ketika iameninggalkan Gedung Putih, Farazmand (2009, hal. 8) menulis, “. . . he lefta much larger bureaucracy than he inherited and had promised to dismantle.”Di Indonesia, Megawati ketika menjadi presiden mengeluh bahwa ia diwarisibirokrasi sampah. Tetapi ketika ia memasuki istana, ICRG melaporkan indeksmutu birokrasi Indonesia dalam skala 0-4 sebesar 2,3. Indeks ini kemudianmerosot 0,3 poin ke 2,0 saat ia menyerahkan kekuasaan ke presiden berikutnya,SBY. Hingga Presiden SBY memenangi periode kedua kepresidennya, angkaitu tidak berubah. Bahkan ia tetap di angka itu, ketika SBY membawa pasang-an wakil presiden baru, Boediono, dengan agenda reformasi birokrasi.

Perubahan-perubahan bukan tidak ada. Dunia global melakukan temu-ulang dan revitalisasi peran sentral sektor publik dalam pencapaian kesejahte-raan, keberlanjutan, serta pertumbuhan masyarakat, kota, dan bangsa (Hart-ley dan Skelcher, 2008), juga tak henti mencari inovasi (Walker dan Daman-pour, 2008). Inovasi dalam sektor publik kini tidak lagi sekedar dorongansisi permintaan sebagai tuntutan dari masyarakat luas, tetapi telah menjadifenomena sisi penawaran sebagai praktek baku pelayanan publik di banyaktempat. Maksudnya ialah bukan hanya pelayanan publik diperbaiki untukmenyesuaikan diri dengan dan mengimbangi tuntutan masyarakat, tetapi ino-vasi dalam pelayanan itu sendiri juga terus menerus diperbaiki. Ini berartidari masa ke masa pelayanan publik menampilkan perubahan ke arah sesuatuyang baru dan baru.32 Jadi, perbaikan pelayanan adalah satu hal, tapi inovasidalam pelayanan adalah hal lain. Banyak negara, termasuk Indonesia, tengahmelakukannya.33

Meluasnya gagasan-gagasan tentang sektor publik yang berorientasi pa-da pelayanan dan kepuasan masyarakat telah mendorong inovasi sebagai suatufenomena lazim yang ditemui di sektor ini. Ini membantah anggapan lama bah-wa inovasi hanya berada di sektor swasta, sedangkan sektor publik dianggapkonservatif, birokratis, lamban, tidak berjiwa wirausaha, dan tidak berinovasi

32Bagi suatu organisasi, termasuk organisasi sektor publik, Walker dan Damanpour (2008,hal. 219) mendefinisikan inovasi sebagai “a means of creating change in the organization toensure adaptive behaviour and contribute to effectiveness of the organization.”

33Hartley (2008) membedakan dengan tegas apa yang disebut ‘perbaikan’ dengan ‘inovasi’.Dalam matriks 2×2, ia memetakan empat situasi, yakni (1) tanpa perbaikan dan tanpainovasi di sel barat-selatan, (2) perbaikan tapi tanpa inovasi di sel utara-barat, (3) inovasitanpa perbaikan di sel timur-selatan, serta (4) inovasi dan perbaikan di sel utara-timur. Selketiga (timur-selatan) penting untuk mendapat catatan khusus, karena inovasi tidak serta-merta membawa perbaikan, bahkan dapat berujung pada kegagalan.

Page 51: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

44

(Windrum, 2008).34 Ada sejumlah faktor penjelas mengapa inovasi juga (bisa)terjadi di sektor publik. Walker dan Damanpour (2008) mengindentifikasi bah-wa tekanan eksternal dan inisiatif internal sebagai pilihan manajemen adalahpendorong penting terjadinya inovasi di sektor publik. Dalam hal ini,

“Either way, innovation adoption is intended to address internal organizationalneeds and/or respond to external environmental conditions. Regardless of theimpetus, and the internal or external origin, the adoption of innovation is ameans of creating change in the organization to ensure adaptive behaviour andcontribute to effectiveness of the organization.”

Apa yang menarik kemudian ialah dari sisi eksternal inovasi sektor publikdidorong oleh perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi yang juga terus-menerus mengalami inovasi. Di sisi internal dorongan ini diimbangi denganmelakukan perbaikan kapasitas sumber daya manusia, sistem dan organisasi,serta perbaikan jaringan organisasi secara dinamis dan juga terus menerus.Perbaikan terus menerus di sisi internal ini ternyata juga menghasilkan inovasiyang lain lagi di tahap berikutnya. Secara agregat inovasi di sisi internal inilalu membawa dampak ke sisi eksternal. Oleh karena itu tidak mengherankanjika, dalam perspektif makro, inovasi sektor publik mampu menyumbang per-tumbuhan nasional dan kesejahteraan masyarakat (Windrum, 2008). Selainitu, ia juga memaksimumkan sumber daya kapasitas, meningkatkan rasa per-caya publik, mendongkrak kebanggaan korps pegawai, dan menimbulkan efekdomino bagi pembentukan inovasi berikutnya (Alberti dan Bertucci, 2006).Inovasi bahkan memberi kontribusi pula pada proses demokratisasi kelemba-gaan (Lopez, 2006). Jadi, inovasi di sisi eksternal juga mendorong terjadinyainovasi di sisi internal, yang secara dinamis berjalan siklikal.

Inovasi di dalam dirinya sendiri adalah perombakan dari keajegan. Hart-ley (2008), misalnya, menyatakan inovasi tidak hanya berurusan dengan gagasan-gagasan baru (invention), tetapi juga bagaimana meletakkan gagasan-gagasanitu dalam bentuk praktek nyata (adoption). Hal ini yang kemudian men-jadi soal bagi banyak pemerintah daerah. Ketika gagasan-gagasan baru di-terapkan, ia harus berhadapan dengan aspek-aspek aturan main dan hukumyang cenderung konservatif dan lambat berubah. Inovasi, bagaimanapun, se-lalu mendahului aturan dan hukum. Tetapi bekerja di luar keajegan aturandan hukum, bagi kebanyakan pemerintah daerah, adalah tindakan amat bere-

34Dalam pandangan yang dikotomis seperti itu gagasan yang mengemuka untuk men-dorong inovasi di sektor publik adalah dengan melakukan privatisasi sektor publik. Pan-dangan ini dominan di tahun 1980 hingga 1990-an, yang turunannya dapat dilihat darirekomendasi-rekomendasi kebijakan yang berupa pengembangan sistem outsourcing atautender kompetitif untuk layanan publik, adopsi sistem manajemen sektor swasta, hinggapengembangan inisiatif pembiayaan public-private. Lihat Wundrum (2008) yang dirujuk dibadan teks.

Page 52: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

45

siko —apalagi jika inovasi itu gagal membawa perbaikan.35 Sementara itu,‘belajar dari kegagalan’ lazimnya kurang mendapat dukungan moral, politik,lebih-lebih finansial. Ini menjelaskan mengapa ideal-ideal dalam inovasi sektorpublik, sebagaimana didiskusikan di depan, sulit diejawantakan secara nyata.

Harus diakui, ini memang agak rumit mengingat situasi tatanan hukumIndonesia yang penuh ujian berat saat ini. Hingga derajat tertentu tindakaninovatif yang melampaui konservatisme aturan dan hukum malahan bisa di-pandang sebagai rekayasa negatif terhadap aturan dan hukum itu sendiri, se-hingga dikategorisasi sebagai ‘melawan hukum’. Di dalam perspektif ini, untukmembuat inovasi sektor publik berjalan dan transmisinya melebar ke pelbagaisektor publik lain, bukanlah dukungan finansial atau bantuan teknis —apalagidalam skala besar— yang menjadi penentu utamanya. Yang dibutuhkan jus-tru suatu kerangka hukum yang memungkinkan para inovator berkreasi secaralebih leluasa. Dengan kata lain, inovasi sektor publik membutuhkan inovasisektor hukum.

Standar Pelayanan Minimal

Gambaran di atas menuntut terobosan-terobosan inovatif pemerintah, uta-manya ketika pemerintah berinteraksi dengan publik luas dalam di sektor-sektor sosial dan ekonomi. Dipandu oleh kualitas kepemimpinan tertentu,sejumlah daerah telah berupaya membangun dan menerapkan suatu stan-dar pelayanan dalam publik di sektor-sektor itu. Ini sejalan dengan temuanvon Luebke (2009) tentang relasi antara kepemimpinan pemerintah dan mututatakelola daerah. Ia menunjukkan bahwa mutu tatakelola daerah lebih di-tentukan oleh mutu kepemimpinan pemerintah daripada tekanan yang munculdari masyarakat. Jadi, desakan dari sisi penawaran lebih kuat daripada yangdatang dari sisi permintaan. Dalam studi itu von Luebke menerangkan bah-wa keadaan ini terjadi karena mutu kepemimpinan pemerintah secara politikmampu menarik dukungan pemilih.36

Desentralisasi Indonesia tak dapat melepaskan diri tuntutan penyedia-an pelayanan publik yang terstandardisasi dalam mutu tertentu. Alasannyaialah, pertama, Indonesia telah beranjak dari suatu negara yang sebelumnyadikategorikan ‘miskin’ menjadi ‘menengah’ —meskipun ‘menengah bawah’.37

35Lihat catatan kaki sebelum ini tentang pemetaan inovasi oleh Hartley (2008), khususnyadi sel timur-selatan, bahwa inovasi bisa saja berujung pada kegagalan.

36Grindle (2007) untuk kasus di Meksiko juga menjelaskan gelagat serupa mengenai re-lasi kompetisi politik, motivasi kepemimpinan, dan perbaikan mutu tatakelola pemerintahdaerah.

37http://data.worldbank.org/country/indonesia.

Page 53: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

46

Perubahan ini tentu saja menuntut banyak agen dan sektor pembangunanuntuk berubah secara inovatif dari mutu pelayanan sekelas negara miskin kekelas negara berpendapatan menengah. Tidak masuk akal jika negara denganpendapatan menengah hanya mampu menyediakan pelayanan publik sekelasnegara miskin.

Kedua, perbaikan pelayanan publik itu sendiri memiliki sifat endogeneitas.Artinya ialah perbaikan di sektor ini mendorong terjadinya perbaikan di sektor-sektor lain yang dapat merangsang terjadinya pembentukan dan akumulasisumber daya. Pembentukan dan akumulasi sumber daya ini pada gilirannyadapat dipakai untuk melakukan perbaikan pelayanan lagi, yang memancingpembentukan dan akumulasi sumber daya di tahap berikutnya. Begitu seterus-nya sektor-sektor ini bergerak dalam suatu gerakan siklikal.

Dalam bentang luasnya ragam pelayanan publik, suatu Standar PelayananMinimal (SPM) dibutuhkan sebagai patokan mengenai apa yang paling sedikitharus dipenuhi oleh pelayan di sektor publik kepada masyarakat. Walau begi-tu, secara anekdotal apa yang disebut ‘minimal’ telah diintepretasi sedemikianrupa sehingga paling kurang memunculkan empat varian pengertian. Pertama,‘minimal’ berarti ‘inferior’ sehingga mutu layanan diberikan ‘seadanya’ yanghampir-hampir tidak ada standar apapun. Kedua, ‘minimal’ didefinisikan ter-lalu rinci sehingga ia kehilangan makna minimalnya. Ketiga, ‘minimal’ dimak-nai sebagai ‘ideal’ sehingga patokan-patokan yang ditetapkan menjadi begitutinggi. Keempat, ‘minimal’ diartikan sebagai apa yang bisa dihasilkan dalamkondisi anggaran yang given.

Pengertian yang pertama membawa konsekuensi pada kebutuhan untukmeningkatkan mutu layanan, sehingga ia menuntut suatu kebutuhan pembi-ayaan tertentu. Pengertian yang kedua juga meminta kebutuhan pembiayaanuntuk memenuhi tuntutan yang rinci itu. Dalam hal yang ketiga, tuntutanpembiayaan juga muncul mengingat adanya standar ideal yang ditetapkanatas suatu layanan. Tiga pengertian yang pertama ini menggiring wacanake arah pembiayaan SPM, yakni berapa biaya layanan per kapita yang diper-lukan supaya suatu jasa publik tertentu bisa disediakan kepada masyarakat.38

Secara tersirat, wacana ini memandang pelaksanaan SPM dalam suatu kondisi‘tanpa kendala anggaran’. Jelas wacana ini bertentangan dengan pengertianyang keempat, yang justru memandang sebaliknya, yakni bagaimana suatujasa publik bisa diberikan di dalam suatu kondisi kendala anggaran.

Sayangnya, PP 65/2005 tentang Pedoman dan Penetapan SPM sendiriselain tidak memberikan definisi yang tegas tentang apa yang disebut mini-

38Dari sini kemudian diwacanakan perubahan formula Dana Alokasi Umum (DAU), dariformula berbasis karakteristik yurisdiksi (populasi, geografi, jumlah PNSD, dan lain-lain) keformula berbasis biaya layanan kebutuhan dasar.

Page 54: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

47

mal, tampaknya rancu dalam mengambil posisi. Pada satu sisi, PP itu menya-takan bahwa SPM disusun untuk “untuk menjamin akses dan mutu pelayanandasar kepada masyarakat secara merata” dan “diberlakukan untuk seluruhPemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota”.Tetapi, di sisi lain dinyatakan bahwa SPM “disesuaikan dengan perkembang-an kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah ser-ta kemampuan kelembagaan dan personil daerah.”39 Tambahan lagi, terdapatpasal yang menyebutkan bahwa “Pemerintah wajib mendukung pengembang-an kapasitas Pemerintahan Daerah yang belum mampu mencapai SPM” dan“Pemerintah dapat melimpahkan tanggungjawab pengembangan kapasitas Pe-merintahan Daerah Kabupaten/Kota yang belum mampu mencapai SPMkepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah”.40 Inipun masih di-tambah dengan pernyataan bahwa “Pemerintah dapat memberikan penghar-gaan kepada Pemerintahan Daerah yang berhasil mencapai SPM denganbaik. . . ” dan “Pemerintah dapat memberikan sanksi kepada PemerintahanDaerah yang tidak berhasil mencapai SPM dengan baik. . . ”.41

Jadi, PP 65/2005 tampaknya mencampur-baur SPM dalam empat penger-tian anekdotal yang disebut di muka, yakni (1) antara apa yang lepas dari atautanpa kendala anggaran dan apa yang berbasis kendala anggaran, serta (2) an-tara apa yang disebut kelaikan dengan apa yang diidealisasi sebagai targettindakan, perlakuan, dan fasilitas jasa publik. Tampaknya, sebelum pemba-gian peran antarpemerintah dalam penyusunan dan penerapan kebijakan SPMdilakukan, suatu tinjauan ulang tentang cara pendefinisian SPM diperlukan disini. Ini supaya penerapan SPM memiliki acuan yang pasti, baik dari segikonsep dasarnya, juga dari segi pembiayaannya.

39Kutipan ini adalah prinsip-prinsip SPM yang dinyatakan di Pasal 3 yang sama. Cetaktebal oleh penulis paper ini.

40Pasal 16 ayat 1 dan 241Pasal 18 dan 19

Page 55: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

48

KOTAK 4Kepala Daerah Harus Berjiwa Inovasi

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan, kepala daerah diberikan kebe-basan untuk membuat perda sebagai bagian inovasi untuk memajukan pembangun-an di daerah asalkan perda itu tidak bertentangan dengan undang-undang sertatak mengganggu iklim investasi di daerah.

“Silakan saja, kepala daerah membuat perda, asalkan tetap berpegang pada aturandan tidak mengganggu iklim investasi,” ujar Mendagri kepada wartawan usai mem-buka seminar dalam rangka peringatan Hari Otonomi Daerah ke-14, di Jakarta,Kamis (29/4).

Gamawan menambahkan, sejak kebijakan desentralisasi diberlakukan, pemerin-tah daerah berupaya keras meningkatkan pembangunan di daerahnya. Daerahdiberikan kebebasan untuk mengelola sendiri. “Tidak seperti dulu lagi, ketika ke-bijakan masih sentralisasi. Semua diputuskan oleh pusat. Sepatu, ikat pinggangcamat, semua dari pusat. Membangun lapangan sepak bola saja, tidak ada yangberani kalau belum menjadi kebijakan pusat. Tapi, sekarang dengan desentralisasi,muncul inovasi dan kebebasan. Cerdik cendekia sekarang sudah mau ke daerah,aliran dana pun sekarang banyak yang mengalir ke daerah,” tutur mantan BupatiSolok ini.

Untuk itu, Mendagri menekankan, kepala daerah dituntut untuk memiliki jiwainovatif dalam membangun dan memajukan daerah. “Pemerintah (pusat) tentumemberikan diskresi kepada kepala daerah, namun kita juga perlu memikirkanagar diskresi yang diberikan ini tidak sampai melanggar hukum,” ujarnya. Ia men-contohkan, untuk meningkatkan perekonomian di daerah, ada usulan agar diben-tuk lembaga mikro perkreditan. Namun, usulan ini dikhawatirkan melanggar UUPerbankan. “Jangan sampai lembaga mikro perkreditan ini dituding sebagai bankilegal,” ujarnya.

Sumber: Dicuplik dengan penyesuaian dariSuara Karya, 30 April 2010

Page 56: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

ProvinsiSebuah Epilog

Di manakah letak Kabupaten Sitaro? Kabupaten Siau, Tagulandang, danBiaro ini adalah kabupaten kepulauan hasil pemekaran Kabupaten Sangihe(UU 15/2007) yang terletak di lepas laut Provinsi Sulawesi Utara. Bagaimana-kah pemerintah pusat mampu menjangkau kabupaten seluas 280 km2 denganpenduduk sekitar 70 ribu jiwa ini? Sitaro hanyalah satu dari 399 kabupaten (98kota) di Indonesia yang hampir-hampir tidak mungkin dijangkau secara inten-sif oleh pemerintah pusat di Jakarta yang berjarak tak kurang dari 2000 km.Tetapi, selepas laut menuju Manado dari Sitaro, Pemerintah Provinsi Sulawe-si Utara hanya 70 km jauhnya. Pemerintah Provinsi pun berurusan dengansedikit saja kabupaten-kota: 11 dan 4. Jadi, jika wewenang yang memadai da-pat dilimpahkan kepada pemerintah provinsi, meski tak seluruhnya, sebagianbesar issu rentang kendali geografi-administrasi bisa ditangani.

Ilustrasi pembuka itu menunjukkan bahwa rentang kendali geografis danadministratif menjadi issu penting bagi pemerintah pusat untuk membagi per-hatian kepada pemerintah-pemerintah di bawahnya. Tapi, bukan hanya itu,rentang kendali geografis dan administratif juga menjadi issu bagi setiap pe-merintah untuk menyambangi warga masyarakat, memproduksi barang-barangpublik, serta menyediakan layanan-layanan publik. Issu ini semakin menge-muka sejalan dengan keragaman yurisdiksi-yurisdiksi di Indonesia, baik dalamkarakter dasar maupun dalam capaian pembangunan sosial-ekonomi. Olehkarena itu, pelimpahan wewenang dipilih sebagai jalan keluarnya. Pertanyaan-nya kemudian ialah dalam konfigurasi hubungan antarpemerintah seperti apapelimpahan wewenang itu dapat ditetapkan? Lebih luas lagi, bagaimana de-sentralisasi harus diletakkan di dalam bingkai negara kesatuan Indonesia?

Hingga saat ini pilihan kebijakan yang diambil adalah memberi kedudukankhusus kepada gubernur sebagai WPP-KWA dalam relasi vertikal dengan kabu-paten-kota, seraya tetap mempertahankan relasi horisontal antara gubernurdan bupati-walikota sebagai sesama KDO. Ini merupakan kedudukan yang unikdan menyimpan kepelikan di tingkat praktis, mengingat pada dasarnya dalam

49

Page 57: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

50

relasi apapun gubernur dan bupati-walikota adalah agen-agen yang sama.Dalam satu keadaan agen-agen ini adalah mitra-mitra yang sejajar, namundalam keadaan lain satu agen bertindak sebagai atasan bagi agen yang lain-nya. Untuk itu, suatu porsi peran yang berimbang bagi gubernur bukan hanyaperlu dirumuskan dengan lebih cermat, tetapi juga dinaungi suatu kerang-ka hukum yang memadai. Tantangan pembentukan kerangka hukum tentangtatakelola vertikal dan horisontal merupakan issu penting dalam penguatanposisi dan peran provinsi.

Selanjutnya, manakala konfigurasi hubungan administratif ini dapat dite-tapkan dalam suatu kerangka hukum tertentu, hubungan yang lebih substantifdalam perencanaan dan penganggaran pembangunan penting untuk dikem-bangkan. Sebagai sebuah simpul melting pot pelbagai kepentingan, provin-si dituntut untuk menerjemahkan kepentingan-kepentingan itu menjadi se-buah sinergi. Ini bukan tugas yang mudah mengingat banyaknya perbedaan-perbedaan yang ada. Beberapa di antaranya yang dapat disebut di sini adalahperbedaan dalam kalender pemilihan pemimpin pusat dan daerah, latar be-lakang partai politik peminpin dan partai politik pendukung, visi-misi pemim-pin dan kepedulian pusat-daerah, timing ataupun pembiayaan kegiatan pemba-ngunan. Tugas itu semakin berat manakala sinergi perencanaan dan pengang-garan sendiri masih menjadi issu yang perlu diselesaikan. Di dalam perspek-tif ini sinergi pusat-daerah dalam perencanaan dan penganggaran, termasuksinergi antara perencanaan dan penganggaran itu sendiri, menagih perhatiankebijakan juga.

Ini semua membutuhkan organisasi, manajemen, dan sistem pendukung—aturan main dan anggaran— yang cukup. Keberhasilan pencapaian sinergimelalui organisasi, manajemen, dan sistem pendukung tidaklah bersifat gi-ven, tetapi ditentukan oleh kapasitas aparat perangkatnya. Di sinilah ke-mudian mengemuka bahwa wewenang organisasional memerlukan kapasitasminimal tertentu agar tujuan-tujuan sinergi yang politis atau teknis dapatditerjemahkan menjadi lebih substantif. Dalam issu-issu yang lebih substan-tif, sebagaimana telah disinggung depan, masih dijumpai persoalan-persoalanpembangunan yang terwariskan dari rejim ke rejim walau dalam kadar yangberbeda-beda. Telah menjadi harapan dan keinginan pemerintah dan kalang-an luas agar persoalan-persoalan warisan ini bisa segera diakhiri. Pada waktuyang bersamaan, ada pula persoalan-persoalan baru yang dahulu tidak mencu-at ke permukaan atau kurang mendapatkan perhatian yang lebih nyata. Kapa-sitas minimal untuk mengentaskan persoalan-persoalan ini lalu menjadi syarat-nya. Kapasitas minimal ibarat daya kepak sayap Garuda, yang mengepak ku-at untuk terbang tinggi melihat peta persoalan secara lebih luas, selain jugamampu menukik tajam untuk menginvestigasi detail setiap persoalan.

Page 58: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

51

Susahnya, ketika kapasitas pemerintah dibutuhkan untuk menyelesaikanpersoalan-persoalan substantif ini, kapasitas itu sendiri juga menjadi persoalan.Survey-survey yang ada memberi pesan bahwa kapasitas masih merupakan soalyang serius. Akibatnya, pemerintah —lebih-lebih di tingkat provinsi— meng-hadapi dua persoalan sekaligus. Di luar ada persoalan-persoalan sebagaimanadisebut, sedangkan di dalam ada tantangan-tantangan untuk peningkatan ka-pasitas. Untuk itulah reformasi tatakelola lalu menjadi kebutuhan baru. Selaindiperlukan untuk membangun relasi dengan sesama organisasi pemerintah danmenangani kepentingan internal organisasi, reformasi tatakelola dibutuhkanpula untuk menjawab tuntutan pelayanan publik. Inovasi sektor publik lalumenjadi tuntutan berikutnya. Dengan kata lain, inovasi tatakelola adalahtema ketiga dalam penguatan provinsi, setelah kerangka hukum dan sinergiperencanaan-penganggaran.

Dalam hal reformasi dan inovasi pelayanan publik, sebuah wacana un-tuk memberikan layanan minimal telah mengemuka. Beberapa sektor bahkantelah menyusun ketetapan-ketetapannya, sedangkan beberapa daerah telahmengklaim penerapannya. Walau begitu, apa yang mengemuka secara anek-dotal adalah layanan minimal diterjemahkan ke dalam kebijakan dan praktekyang berbeda-beda. Pedoman penyusunan layanan minimal yang ada belummemadai untuk dipakai sebagai alat rekonsiliasi pandangan yang berbeda-bedaitu. Ini berarti, suatu tinjauan ulang atas pedoman itu merupakan agendatersendiri pula.

Akhirnya, desentralisasi dipandang dari sudut apapun senantiasa men-janjikan kebaikan-kebaikan. Duduk soalnya ialah proses ke arah kebaikan-kebaikan itu tidaklah sederhana. Ada dimensi ketatanegaraan yang perludipertimbangkan, dimensi politik yang membutuhkan perhatian, juga ada di-mensi teknokratis yang patut menjadi rujukan. Keberhasilan desentralisasi kearah kebaikan-kebaikan itu sesungguhnya terletak pada harmoni ketiga dimensiini.

Page 59: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

52

Kotak 5Peran Pembangunan Pemerintah Provinsi Didorong

Tiga institusi, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), dan Kementeri-an Dalam Negeri merancang program Provincial Governance Strengthtening Pro-grame (PGSP) yang akan dibicarakan dalam Seminar “Penguatan Provinsi: Mem-bangun Sinergi Meningkatkan Mutu Tata Kelola” di Jakarta, Senin (2/8).

“Program ini bertujuan untuk membantu Pemerintah Indonesia merumuskan ke-bijakan dan regulasi yang memperkuat peran serta kedudukan pemerintah provin-si, sehingga dapat memberikan konstribusi bagi pencapaian tujuan pembangunannasional, termasuk pertumbuhan ekonomi serta pencapaian Standar PelayananMinimum (SPM) provinsi, target Millenium Development Goals (MDG,s) danpeningkatan Indeks Pembangunan (IPM),” kata Irman G Lanti, Team Leader ofDemocratic Governance Unit UNDP.

Dia mengatakan kesenjangan penyelenggaraan pemerintahan timbul karena ku-rangnya koordinasi dan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah. “Ko-ordinasi, pengawasan, dan evaluasi antarpemerintahan belum optimal,” katanya.Program ini mengidentifikasi tiga provinsi yaitu Gorontalo, Kepulauan Bangka Beli-tung (Babel), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai provinsi pilot bagi PGSP.“Provinsi tersebut dipilih berdasarkan kriteria tertentu seperti: mengukur pen-duduk miskin, pendapatan per kapita, letak geografis dan kendali pemerintahanberdasarkan jumlah kabupaten atau kota,” kata dia.

Dia berharap dengan diadakannya seminar ini, isu desentralisasi dapat dibicarakandan ditemukan jalan keluar untuk semua permasalahan yang ada. “Semoga ke-harmonisan hubungan pemerintahan antara pusat, daerah, dan provinsi dapatterwujud sebagai tantangan ke depan menghadapi desentralisasi yang sekarangditerapkan,” katanya.

Sumber: Dicuplik dengan penyesuaian dariJurnal Nasional, 3 Agustus 2010

http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Ekonomi-Keuangan-Bisnis&berita=139209&pagecomment=1

Page 60: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

Rujukan

Alberti, Adriana dan Guido Bertucci. 2006. ‘Replicating Innovations in Gov-ernance: An Overview’, dalam Guido Bertucci (ed.) Innovations in Gov-ernance and Public Administration: Replicating What Works, 1-24. NewYork: Department of Economic and Social Affairs, United Nations.

Akita, Takahiro dan Armida Alisjahbana. 2002. ‘Regional Income Inequalityin Indonesia and the Intial Impact of the Economic Crisis’, Bulletin ofIndonesia Economic Studies 38(2): 201-223.

Booth, Anne. 2005. ‘The Evolving Role of the Central Government in Eco-nomic Planning and Policy Making in Indonesia’, Bulletin of IndonesiaEconomic Studies 41(2): 197-220.

Brodjonegoro, Bambang. 2005. ‘The Indonesian Decentralization After LawRevision: Toward a Better Future?’, Mimeo. University of Indonesia.Jakarta.

Bünte, Marco. 2009. ‘Indonesia’s Protracted Decentralization: ContestedReforms and Their Unintended Consequences’, dalam Marco Bünte danAndreas Ufen (eds.), Democratization in Post-Suharto Indonesia, 102-123. London: Routledge.

Evans, Peter (1996), ‘Government Action, Social Capital, and Development:Reviewing the Evidence on Synergy’, World Development, 24(6): 1119-1132.

Grindle, Merilee Serrill (2007), Going Local: Decentralization, Democratiza-tion, and the Promise of Good Governance, Princeton: Princeton Uni-versity Press.

Hadiz, Verdi R. 2004. ‘Decentralization and Democracy in Indonesia: ACritique of Neo-Institutionalist Perspectives’, Development and Change35(4): 697-718.

53

Page 61: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

Hartley, Jean. 2008. ‘The Innovation Landscape for Public Service Organi-zations’, dalam Jean Hartley, Cam Donaldson, Chris Skelcher, dan MikeWallace (eds.), Managing to Improve Public Services, 196-216. Cam-bridge: Cambridge University Press.

Hartley, Jean dan Chris Skelcher. 2008. ‘The Agenda for Public Service Im-provement’, dalam Jean Hartley, Cam Donaldson, Chris Skelcher, danMike Wallace (eds.), Managing to Improve Public Services, 3-24. Cam-bridge: Cambridge University Press.

Hill, Hal, Budy P. Resosudarmo, dan Yogi Vidyattama (2008), ‘Indonesia’sChanging Economic Geography’, Bulletin of Indonesian Economic Stu-dies 44(3): 407-435.

Hill Hal, Budy P. Resosudarmo, and Yogi Vidyattama (2009), ‘EconomicGeography of Indonesia: Location, Connectivity, and Resources’, dalamReshaping Economic Geography in East Asia, Yukon Huang and Alessan-dro Magnoli Bocchi (eds.), The World Bank, Washington.

Holtzappel, Coen J. G. 2009. ‘Introduction: The Regional Governance Re-form in Indonesia, 1999-2004’, dalam Coen J. G. Holtzappel dan MarinRamstedt (eds.), Decentralization and Regional Autonomy in Indonesia:Implementation and Challenges. International Instititute for Asian Stu-dies the Netherlands and Institute of Southeast Asian Studies Singapore.

Hudson, Bob. 1998. ‘Collaboration in Social Welfare: A Framework of Analy-sis’, dalam Michael Hill (ed.), The Policy Process: A Reader, London:Prentice Hall.

Hull, Terence H. (2001) ‘Counting for Democracy: Development of NationalStatistical Systems in a Desentralised Indonesia’, Bulletin of IndonesianEconomic Studies 37(1): 253-258.

Kong, Tao dan Arief Ramayandi. 2008. ‘Survey of Recent Development’,Bulletin of Indonesian Economic Studies 44(1): 7-32.

Koven, Steven G. 2009. ‘Bureaucracy, Democracy, and the New Public Man-agement’, dalam Ali Farazmand (ed.), Bureaucracy and Administration,139-154. Boca Raton: CRC Press, Taylor & Francis Group.

Kumorotomo, Wahyudi (2008), Desentralisasi Fiskal: Politik dan PerubahanKebijakan 1974-2004, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.

Lancaster, Thomas D.. (1986), ‘Electoral Structures and Pork Barrel Poli-tics’, International Political Science Review 7(1): 67-81.

Page 62: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

López, Tonatiuh Guillén. 2006. ‘Local Capacities for Adaptation of Innova-tive Ideas and Practices: Lessons from Municipalities in Mexico’, dalamGuido Bertucci (ed.) Innovations in Governance and Public Adminis-tration: Replicating What Works, 87-98. New York: Department of Eco-nomic and Social Affairs, United Nations.

Moore, Patricia. 2005. ‘Bureaucracy and Bureaucrats’, dalam Donijo Rob-bins (ed.) Handbook of Public Sector Economics, 141-168. Boca Raton:CRC Press, Taylor & Francis Group.

Ostrom, Elinor (1996), ‘Crossing the Great Divide: Cooproduction, Synergy,and Development’, World Development Review, 24(6): 1073-1087.

Resosudarmo, Budy P. dan Arief A. Yusuf. 2009. ‘Survey of Recent Deve-lopment’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 45(3): 877-315.

Seldadyo, Harry, Deli Sopian, Denny Julian, Retno Handini, Rullan Rinal-di, dan Wahyudi Romdhani (2009), Creation of New Jurisdictions andPeople’s Welfare: In Search of Alternatives, UNDP, BAPPENAS, DSF.

Seldadyo, Harry, Wahyudi Romdhani, dan Andika Pambudi (2010), Desen-tralisasi, Tatakelola, dan Provinsi: Catatan dari Tiga Daerah tentangPenguatan Provinsi, Mimeo, PGSP-UNDP.

Sudarmo, Sri Probo dan Brasukra Sudjana. 2009. ‘The Missing Link: TheProvince and Its Role in Indonesia’s Decentralization’, UNDP IndonesiaPolicy Issues Paper, Mei.

Suryaningrati, Abdi dan Catur Utami Dewi. 2010. Peninjauan Kapasitas/Stra-tegi Pengembangan Kapasitas: Tinjauan Kapasitas 10 SKPD PemerintahProvinsi Gorontalo, Bappenas, Pemprov Gorontalo, dan UNDP.

von Luebke, Christian. 2009. ‘The Political Economy of Local Governance:Findings from an Indonesian Field Study Result’, Bulletin of IndonesianEconomic Studies 45(2): 201-230.

Walker, Richard M. dan Fariborz Damanpour. 2008. ‘Innovation Type andOrganizational Performance: An Empirical Exploration’, dalam JeanHartley, Cam Donaldson, Chris Skelcher, dan Mike WallaceM (eds.)Managing to Improve Public Services, 217-235. Cambridge: CambridgeUniversity Press.

Windrum, Paul. 2008. ‘Innovation and Entrepreneurship in Public Services’,dalam Paul Windrum dan Per Koch (eds.), Innovation in Public SectorServices: Entrepreneurship, Creativity, and Management, 3-20. Chel-tenham: Edward Elgar.

Page 63: 67885 Public Disclosure Authorizeddocuments.worldbank.org/curated/en/180611468050355907/pdf/678850WP... · di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing

Yasmi, Yurdi, Gusti Z. Anshari, Heru Komarudin, dan Syarif Alqadri. 2006.‘Stakeholder Conflicts and Forest Decentralization Policies in West Kali-mantan: Their Dynamics and Implications for Future Forest Manage-ment’, Forests, Trees and Livelihoods 16(2): 167-180.