56.rtf

Upload: puji-widia

Post on 08-Oct-2015

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

I15ARTIKELPEMBANGKANGAN SIPIL YANG BERUJUNG KASEPEKANG(Analisis Dampak Pergeseran, Pelestarian Tugas dan Kewenangan Desa Pakraman pada Era Otonomi di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali)OlehDewa Bagus Sanjaya dan Dewa Nyoman SudanaABSTRAKPenelitian ini bertujuan menganalisis (1) jenis-jenis pembangkangan sipil yang berujung kasepekang kepada warga sebagai dampak pergeseran dan pelestarian tugas dan kewenangan Desa Pakraman Anturan, dan Desa Pakraman Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, (2) intensitas dan dinamika konflik yang berujung pada kasepekang (3) integrasi masyarakat sebagai dampak dari pergeseran dan pelestarian pelaksanaan tugas dan kewenanngan desa pakraman (4) upaya-upaya yang dilakukan desa pakraman untuk mengatasi konflik desa pakraman. Penelitian ini menggunakan rancangan studi etnografi. Subjek penelitian dipilih secara purposive dan menggunakan teknik snowball. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan pencatatan dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Jenis-jenis pembangkangan yang berujung kasepekang adalah ayahan, denda arta, rerampangan kanorayang, kemabil karang ayahan desa, dan kasepekan. (2) Intensitas dan dinamika konflik sebagai dampak kasepekang terjadi di Desa Pakraman Anturan diberikan kepada tiga warga (bersaudara), yang perkaranya sampai pengadilan, putusan pengadilan kemenangan ada pada pihak desa pakraman. Di Desa Pakraman Kubutambahan kasepekang dijatuhkan kepada kepada warga dan perkaranya telah diputus oleh Pengadilan Negeri Singaraja, kemudian melalui banding di Pengadilan Tinggi Denpasar dan terakhir oleh Mahkamah Agung, kemenangan juga pada pihak Desa Pakraman Kubutambahan. Warga yang kasepekang telah kalah dari perkara masih diberikan kesempatan untuk masuk kembali menjadi warga desa, atas kesadaran sendiri. (3) Intergrasi masyarakat terbina dengan baik, yang tampak dari adanya toleransi, kerjasama, kohesivitas dan solidaritas antara warga yang beragama Hindu dan non-Hindu, (4) Sebelum perkara sampai ke meja hijau, dari pihak prajuru desa pakraman telah berupaya melakukan upaya damai, namun tidak diindahkan oleh warga. Kata-kata kunci: pembangkangan sipil, kasepekang, pergeseran, pelestarian tugas dan kewenangan desa pakraman Kubutambahan dan Anturan. CIVIL DISOBEDIENCE WHICH HAVE CONSEQUENCE TO SOMEONE EXPELLED FROM THE SOCIETY (KASEPEKANG) (An Analysis of the Effect of Movement, Task Perpetuation and the Authority of Desa Pakraman on Autonomy Era at Buleleng Regency) ByDewa Bagus Sanjaya and Dewa Nyoman SudanaAbstractThis study aims at analyzing (1) the types of civil disobedience which makes someone expelled from the society as the effect of the movement, task perpetuation, and the authority Desa Pakraman Anturan, and Desa Pakraman Kubutambahan, Buleleng, Bali, (2) the intensity and dynamics of conflict, (3) the integrity of the society as the effect of the movement, task perpetuation, and the authority of Desa Pakraman, and (4) the efforts done by Desa Pakraman to solve the conflict. This research used ethnography study design. The subjects of the study are selected by using purposive sampling and used snowball technique. Data were collected by the use of observation, interview, and document recording. The results of the study showed that (1) the types of disobeidence which have consequence to someone expelled from the society, namely, ayahan, denda, arta, rerampangan kanorayang, kemabil karang ayahan desa, dan kasepekang. (2) The intensity and dynamics of conflict as the consequence of kasepekang happened at Desa Pakraman Anturan, and given to three people (one family) which their case arrived at the court, and the winner was the desa pakraman. At Desa Pakraman Kubutambahan kasepekang was given to a person and his case has been decided by Pengadilan Negeri Singaraja (the court), then equivalent to Pengadilan Negeri Denpasar, and the finally at Mahkamah Agung. The winner was Desa Pakraman Kubutambahan. A person who was expelled from the society was given an opportunity to be the member of Desa Pakraman, based on their awarenes. (3) The integrity of the society has been built well, which could be seen from their tolerance, cooperation, cohesiveness, and solidarity between Hindu and Non-Hindu society, (4) Before the case arrived at the court, the prajuru desa pakraman has done something peacefull to the society member, but it was not done by the society member.Key words : Civil Disobedience, Kasepekang, Movement, Task Perpetuation, and The Authority od Desa Pakraman Kubutambahan and Anturan. PendahuluanGelombang reformasi tahun 1998 di Indonesia berdampak dalam segala aspek kehidupan. Salah satu aspek yang sangat dirasakan dalam kaitan pemerintahan adalah menguatnya tuntutan otonomi yang berimbas pada otonomi pemerintahan yang paling bawah yaitu pemerintahan desa. Jika dicermati lebih mendalam terhadap tuntutan masyarakat tersebut, sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Croch (2000) yang menyatakan bahwa perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam masyarakat dan kebudayaan. Adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa perubahan merupakan suatu phenomena yang senantiasa mewarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat dan kebudayaannya. Tidak ada suatu masyarakatpun yang statis secara absolut. Setiap masyarakat akan megalami transformasi dalam arti waktu, sehingga tidak akan ada satu masyarakatpun yang memiliki potret yang sama, kalau kita cermati dalam alokasi waktu berbeda, apakah itu masyarakat modern atau masyarakat tradisional, meskipun dengan laju perubahan yang bervariasi.Bagi masyarakat Bali, agama Hindu merupakan simbol sakralisasi yang telah bertahan ratusan bahkan ribuan tahun, memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dalam setiap langkah mesyarakat pendukungnya (Atmadja, 2003). Hal ini dapat dilihat dari eksistensi politis dan sosiologis yang dilakukan oleh desa-desa adat/desa pakraman yang dikalangan masyarakat Bali dalam memajukan maupun mempertahankan nilai-nilai kultural ke-Hinduannya. Pitana (2001) menyatakan bahwa desa adat/pakraman sebagai lembaga sosial-politis dalam tatanan masyarakat Bali memiliki daya jelajah sosial-budaya setajam pisau cukur dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada dan terjadi di masyarakat adat/pakraman itu sendiri. Namun belakangan ini desa pakraman memiliki permasalahan yang cukup serius dengan warganya. Bahkan warga masyarakat melanggar awig-awig sampai-sampai dikenakan kasepekang. Namun warga yang dikenakan kesepekang tidak mau terima dengan keputusan desa pakraman, sampai akhirnya ke meja hijau. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis: (1) jenis-jenis pembangkangan sipil yang berujung kasepekang kepada warga sebagai dampak pergeseran dan pelestarian tugas dan kewenangan desa pakraman Anturan, dan desa pakraman Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. (2) menganalisis dinamika konflik yang berujung pada kasepekang di desa pakraman Anturan, dan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. (3) menganalisis integrasi masyarakat sebagi dampak dari pergeseran dan pelestarian pelaksanaan tugas dan kewenanngan desa pakraman di desa pakraman Anturan, dan Kubutambahan. (4) menganalisis upaya-upaya yang dilakukan desa pakraman untuk mengatasi konflik sebagai dampak dari pergeseran dan pelestarian tugas dan kewenangan desa pakraman di desa pakraman Anturan, dan Kubutambahan.Pembangkangan sipil (civil disobedience) atau pembangkangan warga, awalnya berarti ketidaktaatan warga kepada negara. Pembangkangan sipil (civil disobedience) hendaknya dilihat sebagai bagian dari ekspresi demokrasi mengeluarkan pendapat yang juga dijamin oleh UUD 1945 dan bukan sebagai upaya untuk merusak. Munculnya ide pembangkangan sipil harus dilihat dari upaya masyarakat menekan parlemen/pemerintahan yang mulai cenderung berjalan sendiri, meninggalkan aspirasi demokrasi yang dibawa rakyat. Gerakan ini sudah lama berlangsung, tetapi sebagai konsep gerakan dan perumusannya relatif baru. Karena itu, dalam rangka penegakkan hukum, ada dua hal penting yang patut dicatat: pertama, diperlukan penegak hukum sebagai model budaya hukum; dan kedua, perlawanan warga (civil disobedience) terhadap praktek hukum yang tidak adil harus diakui dan dilindungi sebagai hak politik legitimasi warga negara. Hukum harus ditegakkan secara pasti, juga terhadap mereka yang memiliki kekuasaan politik, termasuk para penegak hukum itu sendiri. Dalam konteks ini, asas public accountability menuntut proses penegakan hukum serta sistem peradilan yang lebih terbuka.Secara etimologis kata kasepekang berarti dikucilkan atau diasingkan. Karena ia dianggap sebagai orang asing, maka warga masyarakat lainnya seolah-olah tidak kenal (kapuikin). Pada prinsipnya warga yang dikenakan sanksi ini sudah memenuhi kriteria terlalu, sehingga lingkungan masyarakatnya menganggap sudah sepatutnya dikenakan sanksi puikin banjar (kasepekang). Putu Setia (2007) kasus kasepekang alias pengucilan dari desa adat adalah sebuah tragedi, dan ini hanya ada di Bali. Masyarakat adat lain di Nusantara tak pernah mengenal hukum model begini. Banyak masyarakat Bali yang tak paham, siapa yang seharusnya mengayomi masalah ini. Mereka menumpahkan kekesalannya kepada Parisada yang disebut-sebut tak berbuat untuk masyarakat sehingga muncul kasus kasepekang. Kasepekang tidak menyangkut badan, karena tidak ada penahanan. Juga tidak menyangkut rumah karena bisa keluar rumah sebebas-bebasnya. Bagi desa yang tergolong keras, krama desa adat dilarang berbicara kepada orang yang sedang kasepekang. Bahkan yang kasepekang dilarang ke pura untuk bersembahyang. Kasepekang hanya dikenakan pada krama Bali, krama pendatang tidak kena apa-apa. Apalagi kalau pendatang itu bukan orang Hindu, halus sekali penerimaan orang Bali. Integrasi masyarakat yang dimaksudkan adalah integrasi nasional seperti yang dirumuskan oleh Sjamsuddin dalam Bahar dan A.B Tangdililing (1996) bahwa integrasi nasional ini sebagai proses penyatuan suatu bangsa yang mencakup semua aspek kehidupannya: sosial politik, ekonomi, dan budaya serta meliputi aspek vertikal dan aspek horisontal. Persoalan hakiki dari integrasi politik adalah bagaimana membina kesetiaan nasional yang menyangkut pengaturan hubungan antara rakyat dengan negara. Ada dua aspek lanjutan dari masalah integrasi politik, yaitu bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh kepada negara dan bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku politik masyarakat atau individu-individu yang ada di dalamnya. Dalam suatu masyarakat yang secara etnik adalah majemuk, integrasi menunjuk pada proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam satu kesatuan wilayah serta pada pembentukan identitas nasional. Dalam hal ini, integrasi bangsa menunjuk pada masalah membangun rasa kebangsaan dalam sustu wilayah dengan menghapuskan kesetiaan picik pada ikatan-ikatan yang lebih sempit atau primoldialisme menurut Weiner (dalam Yahya Muhaimin & Collin Mac Andrews, 1977). Lebih lanjut dikatakan bahwa strategi yang dipakai untuk mencapai integrasi nasional, yaitu (1) mengambil budaya dari kelompok yang dominan untuk dijadikan budaya nasional, (2) kebijakan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam integrasi masyarakat yang kuat, akan terjadi mekanisme hubungan antar kelompok dapat berjalan dengan baik. Sehubungan dengan hal itu maka Nasikun (1995) mengatakan bahwa setiap konflik yang terjadi diantara kelompok dengan kelompok lain segera akan dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting affiliation). Loyalitas, solidaritas, dan kohesivitas kelompok masyarakat perlu dikembangkan untuk membangun integrasi masyarakat kokoh untuk mendukung terwujudnya integrasi nasional. MetodePenelitian ini menggunakan pendekatan Critical Etnography Research dalam paradigma penelitian kualitatif (Carspecken, 1998) yang mengedepankan social research sebagai bentuk kritik sosial dan budaya masyarakat (Miles dan Huberman, 1992). Penelitian ini dilakukan di desa pakraman Anturan, dan desa pakraman Kubutambahan, di kabupaten Buleleng, Bali. Subjek penelitian ini terdiri dari : (1) warga masyarakat desa pakraman yang dikenakan kesepekang, berjumlah 6 orang kepala keluarga, (2) aparatur pemerintah desa (desa dinas) dan pengurus (prajuru) desa pakraman, (3) ketua majelis madya, dan ketua majelis desa, yang ditentukan secara purposive melalui teknik snowball sampling. Hasil Jenis-jenis/macam-macam pembangkang sipil yang berujung kasepekang warga di Desa Pakraman Anturan dan Desa Pakraman Kubutambahan sebagaimana tertuang dalam awig-awig pada kedua desa pakraman tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. a) Ayahan panukun kesisipan, b)Denda arta (desa, danda saha panikel-panikelnya miwah panikel-panikel urunan, c) Rerampangan, d) Kasepekang, e) Keambil karang ayahan, f)KanorayangKasepekang yang terjadi di Desa Pakraman Anturan disebabkan oleh tuntutan atau gugatan yang dilakukan oleh 3 (tiga) kepala keluarga dalam satu keluarga (kakak beradik) dengan Desa Pakraman Anturan. Sesungguhnya jalan damai telah diupayakan oleh prajuru desa dan prajuru banjar, namun tidak membuahkan hasil. Yang menjadi objek sengketa antara Desa Pakraman Anturan dengan warga (kakak beradik) di atas adalah sebidang tanah seluas 7 Ha (700 M2) yang disebut oleh warga desa Petirtan Mumbul. Petirtan Mumbul adalah tempat air suci yang dipergunakan oleh warga pada saat upacara adat dan agama Akhirnya konflik yang terjadi di Desa Pakraman Anturan antara warga dengan desa pakraman sampai ke meja hijau. Keputusan Pengadilan Negeri Singaraja yang dimenangkan oleh Desa Pakraman Anturan. Sedangkan kasepekang di Desa Pakraman Kubutambahan proses perkaranya terjadi sejak tahun 1974, tepatnya 27 Mei 1974 sampai 29 Mei 2003 yang berawal dari tukar menukar tanah antar Desa Pakraman Kubutambahan dengan tanah milik atas nama I Gede Mangku Oka Cs, pipil 135, persal 37B, kelas II luas 1.250 Ha. Dari pihak keluarga I Gede Gintaran Saputra, saat itu mengakui memiliki tanah tersebut, kemudian ditukarkan dengan tanah cecampuan I Gede Wira yaitu, objek eksekusi dengan pipil 127, persil 65 B kelas III luas 2,50 Ha. Berdasarkan awig-awig Desa Pakraman Kubutambahan, bahwa I Gede Wira Ceput (tidak memiliki keturunan) sehingga berdasarkan hukum adat/awig-awig menjadi tanah Pura Desa yang dikuasai oleh Desa Pakraman Kubutambahan. Saat penukaran tersebut, Desa Pakraman Kubutambahan, diwakili oleh I Putu Wirya (Penyarikan Desa) dengan I Made Wijaya Seputra (Adik I Gede Gintara Seputra). Bentuk tukar menukar tanah tersebut, dibuatkan dalam bentuk formal berupa akta jual beli, dihadapan Camat Kubutambahan dengan No. 64/1974. Dimana saat itu Camat Kubutambahan dijabat oleh I Made Intaran Seputra (ayah I Made Wijaya Seputra) akta mana telah pula ditanda tangani oleh Kepala Desa Kubutambahan saat itu dijabat oleh I Gede Gintaran Seputra (Kakak dari Made Wijaya Seputra). Oleh karena demikian adanya pihak Desa Adat/Pakraman mengadakan keputusan perarem untuk menggugat keluarga Gede Gintara Seputra melalui Pengadilan Negeri Singaraja, yang akhirnya dengan keputusan Pengadilan Negeri Singaraja No. Putusan 66/Pdt. G/1999/PN, SGR, Desa Adat/Pakraman adalah pihak yang dimenangkan. Kemudian dilanjutkan dengan upaya banding di Pengadilan Tinggi, Denpasar, putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 49/Pdt/2000/PT.Dps. Tanggal 29 Mei 2000, menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Singaraja. Setelah kalah ditingkat banding dilakukan upaya kasasi, yang berakhir dengan putusan Mahkamah Agung No. 3340.K/Pdt./2000, tanggal 15 Januari 2002 dengan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar yang terlaksana dengan pelaksanaan eksekusi hari Kamis 29 Mei 2003. Kasus Tanah Duwe (Milik) Pura Desa Kubutambahan dengan Pihak Gede Kastawan Cs. Penguasa fisik tanah-tanah Adat (Tanah Laba Pura Adat Kubutambahan) telah dikuasai secara turun-temurun, sejak saat adanya klasiran 1 tahun 1942, telah terdaftar menjadi tanah Duwe Pura Desa. Lebih-lebih tahun 2001 disertifikasikan melalaui P3HT Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Buleleng, berhasil menyertifikasikan seluas tanah 415 Ha Laba Pura Tanah Cecamputan Yang Menjadi Laba Pura, 35 Ha. Berdasarkan Paruman Desa tanggal 15 Agustus 1970 telah menetapkan Almarhum I Gede Wira tidak ada keturunan (ceput). Munculnya masalah adanya gugatan dari Sdr. Gede Kastawan anak dari Nyoman Tileh, atas dasar silsilah yang dibuat oleh Sdr Kastawan, diketahui oleh Made Ngadeg selaku Kepala Desa, tanpa diketahui / disahkan oleh Penghulu Desa Adat/Bendesa terhadap silsilah tersebut. I Gede Wira (alm) dan segala kekayaan/tanah-tanah tersebut, berhak dirinya mewarisi. Dalam peta rincik Desa Kubutambahan leluhurnya Made Pas (Kastawan Cs.), tercatat atas nama Pan Sandat, itu artinya sumber tanah/warisan I Gede Wira, pasti berasal dari leluhur yang mengangkat yang bernama I Putu Gigi Putih, bukan berasal dari leluhurnya Kastawan (Pan Sandat). Proses hukum terjadi di Pengadilan Negeri pihak Gede Kastawan yang memenangkan, dan lanjut Bandung ke Pengadilan Tinggi akhirnya Pengadilan Tinggi menolak keputusan Pengadilan Negeri dan pihak Desa Adat yang dimenangkan. Kemudian maju ke Kasasi, yang dimenangkan oleh pihak Kastawan. Dari keputusan Mahkamah Agung yang mempunyai kekuatan hukum tetap di lanjutkan dengan PK (peninjauan kembali) yang belum ada keputusan, toh pelaksanaan eksekusi dipaksaan, sehingga terjadi pergolakan menentang / menolak eksekusi tanggal 28 Nopember 2005. Setelah Keputusan Mahkamah Agung menetapkan Keputusan Nomor 2946 K/Rdt/2002 Pihak penyungsung Pura Desa Kubutambahan mengadakan kesepakatan dengan wali-wali dadia yang dilaksanakan di Wantilan Pura Desa sepakat untuk mengajukan permohonan untuk tidak dilaksanakan Eksekusi atas Putusan Pn Singaraja NO. 97/Pdt.G/200/PN Sgr, Jo: Putusan PT.Denpasar No.228/Pdt/2001/PT.Dps, Jo. Putusan MA. RI No.2946 K/Pdt/2002, surat permohonan tanggal 15/3/2005 telah dikirimkan ke Pengadilan Negeri Singaraja. Kemudian, pihak Penyungsung Pura Desa Kubutambahan mengajukan surat Penolakan Eksekusi dan Melarang masuk areal batas tanah-tanah hak milik Pura Desa Kubutambahan tertanggal 12-7-2005 dengan alasan bahwa tanah hak milik Pura Desa Kubutambahan telah dikuasai secara fisik oleh Pura Desa kurang lebih 20 tahun lebih (sesuai dengan pasal 24 ayat (2) PP No. 24 tahun 1997, yo pasal 76 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. Tahun 1997, yo pasal 4 dan pasal 5 ayat (2) PP No 38 tahun 1963, Yo SK Menteri Dalam Negeri No. 556/DJA/1986, Yo pasal 25 ayat (2) dan pasal 49 UUPA). Di samping hal tersebut di atas dasar penolakan Penyungsung Pura adalah Pura Desa Kubutambahan sebagai subjek hukum dan subjek hak milik atas tanah-tanah tersebut di atas tidak pernah perkara, digugat objeknya, tidak pernah ditaruh sita jaminan. Kemudian pada tanggal 3 Februari 2005 penyungsung pura mengajukan perlawanan pihak ketiga (Derden Verset) kepada I Gede Kastawan, yang akhirnya permohonan perlawanan pihak ketiga ditolak/ dan eksepsinya tidak dapat diterima melalui proses PK (Peninjauan Kembali) yang diajukan pada tanggal 27 Mei 2005. Pengajuan PK dengan bukti-bukti baru yaitu : Surat Pernyataan I Gede Dame, I Gede Rai bahwa sebagai satu siwa kawitan tidak ada hubungan waris-mewaris, masing-masing dadia sanggahnya berbeda. Surat keberatan berupa pelawanan pihak Ketiga dari pengemong pura Desa Kubutambahan tertanggal 3 Februari 2005. Surat permohonan untuk tidak dilaksanakan eksekusi atas putusan MA RI No. 2946/K/Pdt/2002 tertanggal 15 Maret 2005. Warga desa pakraman yang dikenakan kasepekang oleh Desa Pakraman Kubutambahan saat ini telah kembali menjadi warga desa pakraman. PembahasanSecara teoretik ada beberapa penyebab integrasi yang perlu dikelola agar dapat menjadi kekuatan, diantaranya kesepakatan sistem budaya fundamental koordinatif, tidak dapat dipungkiri Pancasila merupakan to be or not to be; adanya kebudayaan dominan; kuantitas sosio-demografis. Dibutuhkan adanya kelompok sosial menyilang dan memotong, seperti klub Sepak Bola, Volley misalnya; dan penciptaan budaya komplementer yang saling melengkapi. Beberapa fakta sosial itu perlu diupayakan secara bersama-sama dan terus-menerus agar kerukunan sosial antar segmen bangsa itu terjadi (Atmadja, 2001). Lebih lanjut Atmadja menyebutkan proses sosial dalam masyarakat multietnik memberi peluang adanya dua kemungkinan, yaitu konflik dan atau integrasi masyarakat bercorak multietnik. Konflik bisa berbentuk terbuka (oven), pemicu konflik bisa datang dari seorang provokator atau karena terjadi kebuntuan dialog diantara komponen konflik. Sedangkan integrasi multikultural dapat berbentuk akomodatif, kooperatif, toleran, koordinatif, peminjaman unsur budaya selektif, dengan penuh kesadaran agar terjadi integrasi sosial secara damai. Namun, jika dicermati warga desa pakraman tidak lagi hanya etnik Bali, melainkan banyak pula etnik lain, sehingga melahirkan desa pakraman multietnik. Pada tahun 2000, dari 162 desa pakraman di Kabupaten Buleleng, ada sebanyak 72 (45,06%) desa pakraman bercorak multietnik berpenduduk campuran antara etnik Bali, Jawa, Madura, Bugis, Sasak, Tionghoa, dan lain-lain. Sedangkan sisanya yakni sebanyak 90 (54,94%) desa pakraman bercorak monoetnik berpenduduk hanya etnik Bali (Tim Ahli Bupati Buleleng dalam Atmadja, 2004). Setiap etnik mengembangkan identitas budaya sendiri-sendiri, misalnya dalam bentuk bahasa, kesenian, adat-istiadat, dan lain-lain. Mereka menganut pula agama yang berbeda-beda, yakni Hindu, Katolik, Kristen, Buddha, karena itu mereka tidak saja bercorak multietnik, tetapi juga multiagama. Apapun agama yang mereka anut, selalu menekankan pada kedamaian lewat pengembangan persaudaraan yang universal. Hal ini dapat ditunjukkan dari kata-kata yang sering mereka ucapkan pada setiap pertemuan di ruang publik, misalnya agama Hindu mengenal kata Shanti, agama Buddha mengenal kata Sadhu, Kristen mengenal kata Shlama, dan Islam mengenal kata Salam. Semua ungkapan tersebut bermakna damai (Penerbit Qalam, 2002, Kung, 2000 dalam Atmadja, 2004). Begitu pula kearifan lokal yang mereka miliki, sebagaimana yang berlaku pada kebudayaan Bali, juga mendambakan kedamaian lewat pengembangan solidaritas sosial atau menyama braya. Sistem kebudayaan nasional, misalnya Pancasila juga sangat menekankan penghargaan pada toleransi sebagai modal sosial bagi terbentuknya masyarakat Indonesia yang damai dengan berasaskan pada Bhineka Tunggal Ika. Demikian pula halnya Desa Pakraman Anturan dan Desa Pakraman Kubutambahan, warganya sebagian besar beragama Hindu, hanya sebagian kecil menganut agama Islam, dan agama Kristen. Masyarakat yang beragama Hindu dan masyarakat yang beragama non-Hindu di Desa Pakraman Anturan dan Desa Pakraman Kubutambahan sampai saat ini hampir tidak pernah konflik yang besar. Warga masyarakat yang beragama Hindu maupun yang beragama non-Hindu selalu mengembangkan rasa solidaritas, kohesivitas, dan kerjasama. Hal ini diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari seperti saling membawa makanan pada saat hari raya Hindu maupun Islam yang istilah Balinya ngejot. Pada saat ada kematian salah satu warga baik Hindu maupun Islam, warga saling melakukan acara melayat. Desa pakraman Anturan dan Desa Pakraman Kubutambahan selalu memberi ruang untuk melaksanakan keimanan bagi warga non-Hindu. Warga masyarakat non-Hindu melakukan kewajiban dengan baik, hal ini tampak dari keterlibatan dalam gotong royong, dan memberikan sumbangan terhadap kegiatan di bajar/desa. Bertolak dari kenyataan di atas, tampak bahwa Desa Pakraman Anturan dan Desa Pakraman Kubutambahan berkecenderungan semakin lama bersifat multietnik dan multiagama. Hal ini sangat rawan konflik, namun jika tidak dikelola dengan baik, maka sumber-sumber konflik tersebut bisa berubah menjadi konflik terbuka, sehingga dapat menimbulkan disintegrasi masyarakat. Pengelolaan konflik harus dilakukan secara terus menerus, karena konflik merupakan penyakit kronis bagi masyarakat multietnik. Sesungguhnya konflik antara warga dengan Desa Pakraman Anturan dan Desa Pakraman Kubutambahan. telah sering dilakukan uapaya damai kepada warga yang membangkang, namun usahanya sia-sia bahkan warga menantang tidak debat kusir untuk dibawa ke jalur hukum. Karena kehendak warga seperti itu, akhirnya desa pakraman melayani. Usaha-usaha dari prajuru desa pakraman dan prajuru banjar pakraman sangat relevan dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Bali, sebagaimana yang berlaku pada kebudayaan Bali, yaitu mendambakan kedamaian lewat solidaritas sosial atau menyama braya. Pandangan Pancasila yang menekankan pada toleransi sebagai modal sosial terbentuknya masyarakat Indonesia yang damai berlandaskan Bhineka Tunggal Ika. Namun dalam kenyataannya di masyarakat apa yang ideal tersebut tidak secara otomatis terlaksana. Pitana (2001) menyatakan bahwa potensi konflik di Bali sudah ada yang manifes antara lain: pertama, potensi konflik antaretnis, khususnya etnis Bali dengan non-Bali. Potensi ini semakin membesar dengan munculnya kristaliasi etnis diantara manusia Bali yang semakin membuat tembok pembatas antara kekitaan dengan kemerdekaan. Kedua, potensi konflik antar kelas yang berlatar belakang ekonomi. Masyarakat kelas ekonomi bawah merasa termarinalisasi sudah mulai memposisikan diri secara frontal dengan kaum kaya, khususnya pengusaha. Ketiga, kelompok homo-aegualis dan homo-hierarchius. Keempat, potensi konflik yang merupakan penyakit menaun yaitu antara masyarakat Bali yang demokratis dengan masyarakat Bali yang mempertahankan status quo. Kelima, konflik antar banjar terkait dengan otonomi daerah. Keenam, konflik politik, konflik antar banjar, intern banjar yang sering muncul kepermukaan misalnya kasus-kasus kasepekang, katundung, atau pengadilan massa. PenutupJenis-jenis kasepekang yang pernah terjadi di Desa Pakraman Anturan dan desa pakraman Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali adalah ayahan panukun kesisipan, denda arta (desa, danda saha panikel-panikelnya miwah panikel-panikel urunan, rerampangan, kasepekang, keambil karang ayahan, kanorayang.Kasepekang di desa Pakraman Anturan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali adalah dijatuhkan kasepekang oleh desa pakraman Anturan kepada 3 (tiga) kepala keluarga dalam satu keluarga (kakak beradik). Yang menjadi objek sengketa adalah sebidang tanah seluas 7 Ha (700 M2) yang disebut oleh warga desa Petirtan Mumbul. Kasepekang di Desa Pakraman Kubutambahan, pertama, Perkara Tanah Pura Desa Adat Kubutambahan pada tanggal 29 Mei Tahun 2003. Proses perkara yang terjadi sejak tahun 1974, tepatnya 27 Mei 1974 sampai sekarang 29 Mei 2003 (27 tahun) yang berawal dari tukar menukar tanah antar Desa Pakraman Kubutambahan dengan tanah milik warga. Warga mengaku memiliki tanah tersebut, yang akhirnya sampai kemeja hijau. Kedua, Kasus Tanah Duwen (Milik) Pura Desa Kubutambahan dengan pihak warga yang akhirnya sampai juga di pengadilan. Putusan pengadilan memenangkan pihak Desa Pakraman Kubutambahan. Integrasi masyarakat di Desa Pakraman Anturan dan desa pakraman Kubutambahan sampai saat ini hampir tidak pernah terjadi konflik yang besar. Warga masyarakat desa baik yang beragama Hindu maupun yang beragama non-Hindu selalu mengembangkan rasa solidaritas, kohesivitas, dan kerjasama yang baik. Hal ini diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari seperti saling membawa makanan pada saat hari raya Hindu maupun Islam yang istilah Balinya ngejot. Pada saat ada kematian salah satu warga baik Hindu maupun Islam, gotong-royong dan aktivitas sosial lain termasuk saling melayat bilamana ada acara kematian. Desa Pakraman Anturan dan Desa Pakraman Kubutambahan selalu memberi ruang untuk melaksanakan keimanan bagi warga non-Hindu. Kewajiban yang dilakukan oleh warga masyarakat non-Hindu dilakukan dengan baik dengan warga desa pakraman seperti misalnya gotong royong kegiatan di bajar ikut serta menyumbang. Konflik warga dengan desa pakraman yang terjadi di Desa Pakraman Anturan dan Desa Pakraman Kubutambahan telah sering didamaikan/dilakukan pendekatan kepada warga yang membangkang, namun usahanya sia-sia bahkan warga menantang untuk tidak debat kusir akhirnya dibawa ke jalur hukum. Perjuangan prajuru desa pakraman dan prajuru banjar pakraman tidak membuahkan hasil, bahkan warga melayangkan gugatan ke pengadilan, akhirnya desa pakraman melayani. Usaha-usaha dari prajuru desa pakraman dan prajuru banjar pakraman sangat relevan dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Bali, sebagaimana yang berlaku pada kebudayaan Bali, mendambakan kedamaian lewat solidaritas sosial atau menyama braya.Pasca kasepekang, warga masih diberikan kesempatan untuk masuk desa pakraman sebagai warga desa pakraman dengan kesadaran sendiri, dan memenuhi ketentuan yang ditetapkan desa pakraman, seperti membuat sesajen guru piduka dan syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh desa pakraman.Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disajikan saran penelitian yaitu dalam merespons tuntutan masyarakat di era otonomi hendaknya desa pakraman mampu mengakomodasi kepentingan warga, sehingga tidak menimbulkan konflik antar warga dengan warga dan antar warga dengan desa pakraman.Daftar Rujukan............... 2002. Tanah Paruman Desa di Desa Adat Julah, Buleleng, Bali: Pengelolaan, Alih Status, dan Implikasinya terhadap Desa Adat. Laporan Penelitian. Jakarta: Pascasarjana UI. ..............2003. Desa Adat: Aset Bagi Pengembangan Masyarakat Madani. Makalah. IKIP Negeri Singaraja.Anderson, G. 1989. Critical Etnography in Education: Origins, Current Status, and New Directions. Review of Educational Research 59.Bagus, I Gusti Ngurah. 1979. Kebudayaan Bali, dalam Koentjaraningrat (Ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan.Budiwanti, Erni. 1996. Minoritas Islam dalam Perspektif Integrasi Nasional: Studi Kasus di Desa Pegayaman Bali Utara, dalam Saafroedin Bahar dan Tangdililing A.B (Peny.), Integrasi Nasional: Teori Masalah dan Strategi, Jakarta: Ghalia Indonesia.Carspecken, P.F. 1996. Critical Ethnograpyphy in Educational Research : A theoritical and practical guide. London and New York: Routledge.Depdagri. 1992. Pembinaan Lembaga Adat di Desa dan Kelurahan, Jakarta: Depdagri.Griadhi, I Ketut Wirta. 1991. Peranan Otonomi Desa Adat dalam Pembangunan. Kerta Patrika No. 54, Th. XVII. h. 57-62.Masoed, Mohtar. 1997. Tantangan terhadap Integrasi Bangsa: Studi Kasus Konflik Sosial dan Kerusuhan Massal, (makalah) Yogjakarta: P.S Tannas Pascasarjana UGM.Muhaimin, Yahya dan Andrew M.C. 1995. Masalah-masalah Pembangunan Politik, Yogyakarta: Gama Press.Maridjan, Katjung. 1996. Integrasi Politik Pasca Primordial, dalam Saajroedin Bahar dan Tandililing A.B (Peny.) Integrasi Nasional : Teori Masalah dan Strategi, Jakarta: Ghalia Indonesia.MPLA Derah Tingkat I Bali. 1998. Hasil-hasil Pesamuhan Pembina Desa Adat Daerah Tingkat I Bali tanggal 20 Maret 1998, Depasar: MPLA.Miles M.B and Haberman, A.B. 1992. Analisis Data Kualitatif (Terj. Jakarta: UI Press.Moleong, L.J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya.Perda Propinsi Bali No.3 Tahun 2001. Tentang Desa Pakraman, Bali: Biro Hukum dan HAM Setda Bali.Pelly, Usman. 1993. Pengukuran Intensitas Konflik dalam Masyarakat Majemuk. Analisis CSIS No. 3 Tahun XXII, Jakarta: CSIS. Pitana, I Gede. 1994. Desa Adat dalam Arus Modernisasi. Editor. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Denpasar: Bali PostSjamsuddin, Nazaruddin. 1996. Dimensi Politik dan Integrasi nasional : Tinjauan Teoritis, Saafroedin Bahar dan Tangdililing A.B (Peny.) Integrasi Nasional: Teori Masalah dan Strategi, Jakarta : Ghalia Indonesia.Surpha, I Wayan. 1993. Eksistensi Desa Adat di Bali, dengan Diundangkannya UU No. 5 Tahun 1979 (tentang Pemerintahan Desa). Denpasar: Upada Sastra.Sanjaya, D.B. 2002. Desa Adat dan Integrasi Masyarakat: (Studi Kasus tentang Pelestarian dan Pergeseran Tugas dan Kewenangan Desa Menyongsong Otonomi Daerah di Desa Kedaton sebagai salah satu Objek Pariwisata di Tabanan. Laporan Penelitian IKIP Negeri Singaraja.............. 2003. Dampak Otonomi Daerah terhadap Pelestarian Tugas dan Kewenangan Desa Pakraman di Desa Pakraman Beraban (Tanah Lot) Tabanan Bali. Laporan Penelitian IKIP Negeri singaraja.............. 2004. Dualisme Pemerintahan Desa Pasca Otonomi Daerah di Desa Pakraman Anturan, Buleleng. Laporan Penelitian IKIP Negeri Singaraja.Sudiatmaka, Ketut; Sukadi; I Wayan Lasmawan. 2006. Perempuan dalam Pendidikan Sosial Politik (Studi Sosial Budaya terhadap Pendidikan Politik Kaum Perempuan Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani di Desa Adat Julah Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng). Laporan Penelitian: Singaraja: Undisha. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta: Sinar Grafika.Wirnata. Nengah.1990. Hubungan Sosial Perantau Karangasem dengan Masyarakat Desa Julah di Desa Julah, Kecamatan Tejakula, Kabupeten Daerah Tingkat II Buleleng, Skripsi Sarjana Pendidikan Sejarah pada FKIP UNUD Singaraja. Bali Post. 6 Mei 2008, halaman 4.