51109592 antihistamin h1 non sedatif

12
ANTIHISTAMIN H 1 NON SEDATIF Pembimbing :Yono Hadi Agusni, dr. SpKK (K) PENDAHULUAN Antihistamin (AH) adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau menghambat kerja histamin pada reseptornya. Histamin sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu histos yang berarti jaringan merupakan autakoid yang berperan penting pada aktivitas organ tubuh baik pada proses fisiologis maupun patologis. Pada akhir tahun 1980 hingga tahun 1990, mulai diperkenalkan suatu generasi baru dari AH yang tidak menembus sawar otak sehingga mengurangi efek sedasi yang sering mengganggu. Antihistamin golongan ini sering disebut sebagai AH generasi kedua atau AH non- sedatif. Terfenadin dan astemisol merupakan AH generasi kedua yang pertama kali dikeluarkan, namun kini sudah ditarik dari peredaran karena memiliki bahaya interaksi obat yang serius berupa pemanjangan interval QT yang berhubungan dengan Torsades de pointes. Dengan adanya efek kardiotoksik itu maka dikembangkan suatu AH yang non- sedatif dan non-kardiotoksik seperti desloratadin, levosetirisin dan feksofenadin. Dalam bidang dermatologi, antihistamin secara luas telah digunakan sebagai terapi, sehingga pemahaman mengenai farmakologi antihistamin sangatlah penting. KLASIFIKASI DAN RUMUS BANGUN Rumus bangun 1

Upload: nona-sha

Post on 11-Aug-2015

98 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

memahami dan menjelaskan obat anit histamin,jenis-jeinis dan golongan-golongannya

TRANSCRIPT

Page 1: 51109592 Antihistamin h1 Non Sedatif

ANTIHISTAMIN H1 NON SEDATIF

Pembimbing :Yono Hadi Agusni, dr. SpKK (K)

PENDAHULUAN

Antihistamin (AH) adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau

menghambat kerja histamin pada reseptornya. Histamin sendiri berasal dari bahasa

Yunani yaitu histos yang berarti jaringan merupakan autakoid yang berperan penting

pada aktivitas organ tubuh baik pada proses fisiologis maupun patologis. Pada akhir

tahun 1980 hingga tahun 1990, mulai diperkenalkan suatu generasi baru dari AH

yang tidak menembus sawar otak sehingga mengurangi efek sedasi yang sering

mengganggu. Antihistamin golongan ini sering disebut sebagai AH generasi kedua

atau AH non-sedatif. Terfenadin dan astemisol merupakan AH generasi kedua yang

pertama kali dikeluarkan, namun kini sudah ditarik dari peredaran karena memiliki

bahaya interaksi obat yang serius berupa pemanjangan interval QT yang berhubungan

dengan Torsades de pointes. Dengan adanya efek kardiotoksik itu maka

dikembangkan suatu AH yang non-sedatif dan non-kardiotoksik seperti desloratadin,

levosetirisin dan feksofenadin.

Dalam bidang dermatologi, antihistamin secara luas telah digunakan sebagai

terapi, sehingga pemahaman mengenai farmakologi antihistamin sangatlah penting.

KLASIFIKASI DAN RUMUS BANGUN

Rumus bangun

Antihistamin pada umumnya

AH 1 generasi II

Yang termasuk golongan ini adalah:

- Akrivastin

- Astemisol

- Setirisin

- Loratadin

- Mizolastin

- Terfenadin

- Ebastin

1

Page 2: 51109592 Antihistamin h1 Non Sedatif

Rumus bangun

Astemisol Loratadin

Terfenadin Setirisin

AH 1 generasi III

Yang termasuk golongan ini adalah:

- Levosetirisin

- Desloratadin

- Feksofenadin

Rumus bangun

Feksofenadin Desloratadin

Levosetirisin

2

Page 3: 51109592 Antihistamin h1 Non Sedatif

FARMAKOLOGI

Mekanisme kerja

Antihistamin tipe H1 non sedatif merupakan antagonis dari histamin pada

reseptor H1, Antihistamin tipe H1 adalah inhibitor yang kompetitif - reversibel

terhadap histamin pada reseptor jaringan, sehingga mencegah histamin berikatan

serta mengaktivasi reseptornya dan tidak mudah diganti oleh histamin, dilepaskan

secara perlahan, masa kerjanya lebih lama. Antihistamin H1 non sedatif ini kurang

bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar darah otak, dan lebih mengikat

reseptor H1 di perifer secara lebih spesifik. Walaupun golongan ini sering dikatakan

nonsedasi, obat-obat ini tetap dapat menyebabkan efek sedasi, namun dalam banyak

penelitian dikatakan insidensi sedasi jauh lebih sedikit dibandingkan antihistamin H1

klasik, demikian pula efek antikolinergiknya lebih jarang terjadi dibanding

antihistamin H1 klasik. Salah satu penelitian yang membandingkan efek sedasi dari 4

macam antihistamin nonsedatif yang berbeda, yaitu loratadin, akrivastin, setirisin dan

feksofenadin, didapatkan hasil loratadin paling tidak menyebabkan sedasi, kemudian

secara berurutan diikuti oleh feksofenadin, akrivastin dan setirisin. Setirisin memiliki

efek anti inflamasi seperti hambatan aktivasi eosinofil, neutrofil, limfosit dan

kemotaksis dengan jalan menghambat:

- Adhesi leukosit ke endotel

- Efek kemotaksis sehingga terjadi migrasi melalui jaringan ke tempat radang

- Aktivasi sel radang/ pelepasan mediator

- Ekspresi adhesi molekul oleh endotel/sel target

Farmakodinamik dan farmakokinetik:

Antihistamin tipe H1 non sedatif diabsorbsi dari saluran cerna dan mencapai

puncak konsetrasi plasma dalam 2 jam. Obat tersebut dapat menghilangkan urtikaria

dan reaksi eritema sekitar 1-24 jam. Terfenadin, astemisol, loratadin, aktivastin,

mizolastin, ebastin dan oksatomid dimetabolisme di hepar melalui sistem enzim

sitokrom P450 3A4 dalam hepar. Setirisin, feksofenadin, dan desloratadin tidak

dimetabolisme dalam hepar.

Astemisol mempunyai efek jangka panjang dibandingkan dengan AH-1 yang

lain. Astemisol mempunyai afinitas lebih besar terhadap reseptor H1 sehingga khasiat

anti urtikaria masih dapat berlangsung 4 minggu setelah obat dihentikan. Waktu

paruh eliminasi setirisin dan feksofenadin pada anak-anak sama dengan dewasa yaitu

7-8 jam.

3

Page 4: 51109592 Antihistamin h1 Non Sedatif

Kegunaan klinis

Antihistamin tipe H1 non sedatif digunakan terutama untuk pengobatan rinitis

alergi dan urtikaria kronis.

Kontraindikasi

Kehamilan

Ibu menyusui

Efek samping

Antihistamin ini memiliki efek sedasi dan antikolinergik yang sedikit,

sehingga memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan

antihistamin tipe H-1 klasik.

Sistem saraf pusat

Dalam beberapa penelitian dikatakan tefenadin, astemizol dan

loratadin memiliki efek sedasi yang lebih rendah dibandingkan

antihistamin H1 klasik.

Kardiovaskular

Efek samping kardiovaskular berupa fibrilasi ventrikel, pemanjangan

interval QT serta aritmia ventrikular torsades de pointes yang

berhubungan dengan pemakaian astemizol dan terfenadin. Kelainan ini

dapat terjadi terutama pada wanita dan penderita dengan kelainan

jantung organik yang sebelumnya telah ada (seperti iskemia,

kardiomiopati), aritmia, ataupun penderita dengan gangguan elektrolit

(seperti hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia)

Hepar

Hepatotoksisitas jarang terjadi, namun dilaporkan adanya kasus

hepatitis yang berhubungan dengan penggunaan terfenadin selama 5

bulan. Peningkatan serum transaminase dengan kadar ringan sampai

sedang dapat terjadi.

Kulit

Fotosensitivitas, urtikaria, erupsi makulopapular, eritema serta

pengelupasan kulit tangan dan kaki. Selain itu juga dilaporkan adanya

reaksi fotoalergi dan alopesia yang diduga berhubungan dengan

penggunaan terfenadin. Dilaporkan juga suatu kasus psoriasis yang

mengalami eksaserbasi selama menggunakan terfenadin.

4

Page 5: 51109592 Antihistamin h1 Non Sedatif

Efek samping lainnya

Dilaporkan adanya sakit kepala, mual, kekeringan pada mukosa mulut

dan beberapa efek antikolinergik lainnya, namun insidensinya sangat

rendah.

Karena terbatasnya penelitian pada manusia, penggunaan antihistamin non

sedasi pada wanita hamil dan ibu menyusui sebaiknya dihindari.

Interaksi obat

Perpanjangan interval QT dapat terjadi pada penderita yang mengkonsumsi

terfenadin bersamaan dengan ketokonazol dan itrakonazol, antibiotik makrolid,

seperti eritromisin dan klaritromisin, troleandomisin, lovastatin, protease inhibitor

dan flavonoid, seperti naringin dalam grapefruit juice.

Obat-obatan lain yang dapat berpengaruh pada peningkatan kadar

antihistamin serum dan yang memiliki risiko kardiovaskular adalah Human

Immunodeficiency Virus-1 (HIV-1) protease inhibitors, Selective Serotonin Reuptake

Inhibitors (SSRI) antidepresant, seperti quinin, zileuton.

Tabel Perbandingan Efek Farmakologis Anihistamin AH1 non-sedatif

Golongan Obat Aktivitas

antihistamin

Efek

sedatif

Aktivitas

antimuskarinik

Alkylamines Acrivastine +++ + +

Phthazinone Azelastine ++ sd +++ + +

Piperazine Cetirizine ++ sd +++ + +

Levocetirizine ++ sd +++ + +

Piperidin Astemizole ++ sd +++ + +

Desloratadine ++ sd +++ + +

Ebastine ++ sd +++ + +

Fexofenadine ++ sd +++ + +

Loratadine ++ sd +++ + +

Terfenadine ++ sd +++ + +

BEBERAPA OBAT AH1 NON SEDATIF YANG SERING DIGUNAKAN

Loratadin

Loratadin adalah trisiklik piperidin long acting yang mempunyai aktivitas

yang selektif dengan efek sedatif dan antikolinergik yang minimal pada dosis yang

5

Page 6: 51109592 Antihistamin h1 Non Sedatif

direkomendasikan, merupakan antihistamin yang mempunyai masa kerja yang lama.

Metabolik utamanya, deskarboetoksi-loratadin, adalah biologikal aktifnya.

Loratadin cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg, sekali sehari dan

cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg. Eliminasi waktu paruhnya sekitar 8-

11 jam, diekskresikan melalui urine 40%, feses 42% dan air susu 0,029%. Loratadin

diindikasikan untuk rinitis alergi dan urtikaria kronik idiopatik pada pasien diatas 6

tahun. Loratadin mempunyai efek terhadap fungsi dari miocardial potassium channel

tetapi tidak menyebabkan disritmia jantung. Loratadin merupakan antihistamin long

acting dengan lama kerja 24 jam. Dosis yang direkomendasikan 10 mg dosis oral,

pada anak-anak (< 30 kg) adalah 0,5 mg/kg BB dosis tunggal. Meskipun loratadin

tidak mempunyai kontraindikasi pada penderita hati dan ginjal kronis, disarankan

untuk mengurangi dosis yang diberikan.

Sediaan:

- Loratadin sirup (1 mg/ml): 480 ml

- Loratadin tablet 10 mg

- Loratadin reditabs 10 mg

Setirisin

Merupakan metabolit karboksil asid dari hidroksisin. Obat ini pada manusia

hanya mempunyai transformasi metabolik yang minimal menjadi bentuk metabolit

aktif dan obat ini terutama diekskresi lewat urin. Karena setirisin cepat diabsorbsi dan

sedikit yang dimetabolisme, dan juga diekskresi lewat urin, maka dosis obat ini harus

dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal.

Kadar puncak plasma dicapai dalam 1 jam dan waktu paruh plasma sekitar 7

jam, diekskresikan dalam urine sebanyak 60% dan feses 10%. Setirisin dapat

menghambat eosinofil, netrofil dan basofil dan menghambat IgE serta menurunkan

prostaglandin D2. Setirisin diindikasikan untuk terapi urtikaria kronik di Amerika

Serikat. Beberapa studi kemudian mendukung khasiat cetirizin untuk kondisi ini dan

juga ditemukan khasiatnya untuk terapi cold urticaria.

Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa 10 mg/hari (maksimal 20 mg)

dosis tunggal, pada anak-anak adalah 0,3 mg/kgBB sedangkan pada pasien dengan

gangguan ginjal kronik dan hepar dosis yang diberikan adalah 5 mg/hari. Lama kerja

dari setirisin adalah 12-24 jam.

Sediaan:

- Setirisin tablet 5 mg, 10 mg.

6

Page 7: 51109592 Antihistamin h1 Non Sedatif

- Setirisin sirup 5mg/ml: 120 ml.

Feksofenadin

Feksofenadin, metabolit aktif utama dari terfenadin, merupakan reseptor

kompetitif antagonis H-1 yang selektif dengan sedikit atau tanpa efek samping

antikolinergik dan non sedatif, serta bersifat non kardiotoksik.

Feksofenadin diabsorbsi cepat setelah pemberian dosis tunggal atau dua

kapsul 60 mg dengan waktu rata-rata mencapai konsentrasi plasma maksimum 1-3

jam setelah pemberian per oral. Feksofenadin terikat pada protein plasma sekitar 60-

70%, terutama pada albumin dan 1-acid gylcoprotein. Waktu paruh feksofenadin

adalah 11-15 jam, diekskresikan sebanyak 80% pada urin dan 12% pada feses.

Feksofenadin diindikasikan pada penderita rinitis alergi dan urtikaria idiopatik

kronis. Pemberian feksofenadin bersama antibiotik golongan makrolid dan obat anti

jamur golongan imidazol tidak menunjukkan adanya interaksi obat sehingga tidak

terdapat pemanjangan interval QT.

Sediaan :

- Feksofenadin kapsul 30 dan 60 mg

- Feksofenadin tablet 60 mg, 120 mg dan 180 mg

Antihistamin yang aman digunakan:

- Pada wanita hamil dan menyusui:

Antihistamin yang teraman untuk wanita hamil dan meyusui adalah golongan

klorfeniramin maleat, meskipun AH non sedatif sangat sedikit menembus

plasenta, namun penggunaannya sebaiknya dihindari karena masih kurangnya

penelitian AH non sedatif pada wanita hamil dan menyusui.

- Pada anak-anak:

Bromfeniramin maleat, klorfeniramin maleat, difenhidramin HCL, loratadin,

desloratadin, feksofenadin, setirisin.

- Pada bayi:

Penggunaan antihistamin pada bayi sebaiknya dihindari, karena efek samping

antikolinergik dari obat-obatan AH yang dapat membahayakan. Pada satu

penelitian mengatakan AH yang aman digunakan adalah desloratadin

(clarinex®), dapat digunakan pada bayi berumur 6 bulan dengan gejala alergi

dan urtikaria.

7

Page 8: 51109592 Antihistamin h1 Non Sedatif

RINGKASAN

Antihistamin adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau menghambat

kerja histamin pada reseptornya. Anti histamin tipe H1 banyak digunakan dalam

bidang dermatologi, terbagi atas AH-1 sedatif dan AH-1 non sedatif.

Antihistamin sedatif bersifat lipofilik, sehingga dapat terdistribusi secara luas

terutama pada sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan depresi SSP. Antihistamin

non sedatif kurang bersifat lipofilik dan sangat sedikit menembus sawar darah otak,

sehingga efek samping yang terjadi lebih sedikit bila dibandingkan dengan AH-1

yang sedatif.

Terfenadin dan astemisol dapat menyebabkan perpanjangan interval QT,

aritmia dan takikardi ventrikular (torsades de pointes), penggunaannya dapat

digantikan oleh feksofenadin yang bersifat non kardiotoksik. Setirisin berpengaruh

pada perpindahan sel dalam kulit dan jaringan lainnya, pelepasan atau pembuatan dan

pelepasan mediator inflamasi serta ekspresi molekul adhesi.

Antihistamin non sedatif yang sering digunakan diantaranya adalah: loratadin,

setirisin, dan feksofenadin.

KEPUSTAKAAN

1. Katzung GB, Julius DJ. Histamine, serotonin, and the ergot alkaloids. Dalam: Katzung BG, penyunting. Basic and clinical pharmacology. Edisi ke-6. San Fransisco: Prentice-Hall International Incorporation; 1995.

2. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Farmakologi Ulasan Bergambar, autacoid dan antagonis autacoid Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott; 2000.

3. Soter NA. Antihistamines. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill Incorporation; 2003.

4. MIMS INDONESIA. Volume 32 No. 3; 2003

8