50081185-isi

44
Kelompok 3 BAB I PENDAHULUAN Sejauh ini pengertian In Vivo adalah dalam tubuh dari dalam, sedangkan In Vitro adalah dari luar. Secara tidak langsug uji in vivo adalah tes yang dilakukan dengan cara mencobakan ke dalam bagian tubuh, sedangkan uji in vitro adalah proses mencobakan bukan didalam bagian tubuh-dipermukaan kulit. Adapun uji in vivo akan mengalami ADME dan adanya penggunaan uji in vitro pada beberapa pengujian ditujukan untuk mengamati efek yang lebih sempurna dari bahan cobaan. Uji-uji ini nampak lebih efektif disertakan dalam proses pengujian sediaan semisolid, disebabkan beberapa sediaan semisolid berupa sediaan pakai topikal. Pastinya setiap produsen obat melakukan serangkaian uji untuk memastikan mana bentuk sediaan yang tepat bagi bahan aktif obatnya. Uji ini dicobakan pada hewan uji berupa mencit, kelinci, bahkan kera, namun secara umum dilakukan pada mencit karena mudah diperoleh untuk jadi hewan percobaan. Pemilihan bentuk sediaan yang tepat bagi bahan aktif obat dapat membantu kecepatan ADME zat aktif dalam tubuh untuk menjangkau daerah sumber sakit, selain itu sesuai tuntutan perkembangan pengobatan saat ini diharapkan obat dengan tipe sediaan yang tepat memiliki sifat toksisitas selektif yang baik. Dimana sifat ini mampu menekan penyakit tanpa menimbulkan efek Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 1

Upload: pepeonet

Post on 15-Feb-2015

77 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 50081185-ISI

Kelompok 3

BAB I

PENDAHULUAN

Sejauh ini pengertian In Vivo adalah dalam tubuh dari dalam, sedangkan In Vitro adalah

dari luar. Secara tidak langsug uji in vivo adalah tes yang dilakukan dengan cara mencobakan

ke dalam bagian tubuh, sedangkan uji in vitro adalah proses mencobakan bukan didalam bagian

tubuh-dipermukaan kulit. Adapun uji in vivo akan mengalami ADME dan adanya penggunaan

uji in vitro pada beberapa pengujian ditujukan untuk mengamati efek yang lebih sempurna dari

bahan cobaan.

Uji-uji ini nampak lebih efektif disertakan dalam proses pengujian sediaan semisolid,

disebabkan beberapa sediaan semisolid berupa sediaan pakai topikal. Pastinya setiap produsen

obat melakukan serangkaian uji untuk memastikan mana bentuk sediaan yang tepat bagi bahan

aktif obatnya. Uji ini dicobakan pada hewan uji berupa mencit, kelinci, bahkan kera, namun

secara umum dilakukan pada mencit karena mudah diperoleh untuk jadi hewan percobaan.

Pemilihan bentuk sediaan yang tepat bagi bahan aktif obat dapat membantu kecepatan ADME

zat aktif dalam tubuh untuk menjangkau daerah sumber sakit, selain itu sesuai tuntutan

perkembangan pengobatan saat ini diharapkan obat dengan tipe sediaan yang tepat memiliki sifat

toksisitas selektif yang baik. Dimana sifat ini mampu menekan penyakit tanpa menimbulkan efek

samping merugikan, walau pun hingga saat ini pasti akan ada efek sampingan yang timbul yang

secara tidak langsung kadang tidak diinginkan konsumen. Karena ada pula beberapa sediaan

obat yang diminum buka untuk mendapatkan efek utama obat melainkan efek sampingnya

seperti mengkonsumsi CTM sebagai obat tidur, yang dasarnya obat tersebut sebagi obat

antialergi.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 1

Page 2: 50081185-ISI

1.1 LATAR BELAKANG

Peran farmasis dalam dunia kesehatan telah berkembang dengan cepat dan luas seiring

dengan perkembangan pelayanan kesehatan. Farmasis diharapakan dapat meningkatkan kualitas

pharmaceutical care yang berbasis patient oriented.

Untuk mewujudkan hal itu, sebelum membuat sediaan, farmasis harus memiliki pengetahuan

tentang manfaat dan efek samping dari suatu sediaan tersebut. Sebelum sediaan dipasarkan,

sediaan tersebut halus lulus serangkaian uji evaluasi sediaan fisik, kimia dan biologis agar

sediaan yang dibuat dapat memiliki efek teurapetik zat aktif yang diharapkan. Salah satu uji

evaluasi sediaan tersebut adalah uji invitro dan invivo. Uji ini diperlukan untuk mengetahui

farmakokinetik dan farmakodinamik dari suatu sediaan.

1.2 TUJUAN

Dengan tujuan untuk mencoba memahami pengaplikasian teknologi pada formulasi sediaan

semisolid dan liquid khususnya uji invitro dan invivo maka makalah ini penyusun buat.

Sedangkan tujuan lainnya adalah untuk mempelajari secara khusus mengenai mekanisme dalam

pembuatan sediaan sampai sediaan tersebut layak untuk dipasarkan.

1.3 RUANG LINGKUP MATERI

Beberapa ilmu yang dipakai dalam penjabaran mengenai uji invitro atau invivo sediaan

semisolid dan liquid, yaitu :

Farmasetika

Farmakologi

Farmakokinetik

Farmakodinamik

Farmasi fisik

Anatomi fisiologi

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 2

Page 3: 50081185-ISI

BAB II

SEDIAAN SEMISOLID DAN LIQUID

2.1 SEDIAAN LIQUID

2.1.1 SUSPENSI ORAL

Suspensi didefinisikan sebagai preparat yang mengandung partikel obat yang terbagi secara

halus disebarkan secara merata dalam pembawa dimana obat menunjukkan kelarutan yang

sangat minimum. Beberapa suspensi resmi yang diperdagangkan telah disebarkan dalam cairan

pembawa dengan atau tanpa penstabil dan bahan tambahan farmasetik lainnya.

Preparat lain yang tersedia adalah serbuk kering yang dimaksudkan untuk disuspensikan

dalam cairan pembawa. Jenis produk ini umunya campuran serbuk yang mengadung obat dan

bahan pensuspensi maupun pendispersi, yang dengan melarutkan dan pengocokan dengan

sejumlah cairan pembawa (biasanya air murni) menghasilkan bentuk suspensi yang cocok untuk

diberikan. Obat seperti ini tidak stabil untuk disimpan dalam periode waktu tertentu dengan

adanya cairan pembawa air lebih sering diberikan sebagai campuran serbuk kering unutk dibuat

suspensi pada waktu akan diberikan.

Alasan Pembuatan Suspensi Oral

Salah satu alasan pembuatan suspensi oral adalah karena obat-obat tertentu tidak stabil

secara kimia bila ada dalam larutan tapi stabil bila disuspensikan. Dalam hal ini suspensi oral

menjamin stabilitas kimia dan memungkinkan terapi dengan cairan. Umumnya bentuk cair lebih

disukai dibandingkan bentuk padat, karena mudahnya menelan cairan dan keluwesan dalam

pemberian dosis, pemberian lebih mudah, serta lebih mudah untuk memberikan dosis yang

relative sangat besar, aman , mudah diberikan untuk anak-anak, juga mudah diatur penyesuaian

dosisnya untuk anak.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 3

Page 4: 50081185-ISI

Kerugian dari obat tertentu yang mempunyai rasa tidak enak bila diberikan dalam bentuk

larutan akan tidak terasa bila diberikan sebagai partikel yang tidak larut dalam suspensi. Dengan

membuat sediaan dalam bentuk-bentuk yang tidak larut untuk digunakan dalam suspensi

mengurangi kesulitan ahli farmasi unutk menutupi rasa obat yang tidak enak dan pemilihan zat

pemberi rasa dapat lebih disesuaikan dengan rasa yang diinginkan, bukan untuk menutupi rasa

yang tidak enak dari suatu obat. Kebanyakan suspensi oral berupa sediaan air dengan pembawa

yang diharumkan dan dimaniskan untuk memenuhi selera pasien.

Sifat-sifat yang diinginkan dalam suatu suspensi farmasi:

1. Suatu suspensi farmasi yang dibuat dengan tepat mengendap secara lambat dan harus rata lagi

bila dikocok

2. Karakteristik suspensi harus sedemikian rupa sehingga ukuran partikel dari suspensinoid tetap

agak konstan untuk yang lama pada penyimpanan.

3. Suspensi harus bisa dituang dari wadah dengan cepat dan homogen.

2.1.2 EMULSI

Suatu emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamik yang mengandung

paling sedikit dua fase cair yang tidak bercampur, di mana satu di antaranya didispersikan

sebagai bola-bola dalam fase cair lain. Sistem dibuat stabil dengan adanya suatu zat pengemulsi.

Tipe Emulsi.

Salah satu fase cair dalam suatu emulsi terutama bersifat polar (sebagai contoh: air),

sedangkan lainnya relative nonpolar (sebagai contoh: minyak). Bila fase minyak didispersikan

sebagai bola-bola ke seluruh fase kontinu air, sistem tersebut dikenal sebagai suatu emulsi

minyak dalam air (o/w). Bila fase minyak bertindak sebagai fase kontinu, emulsi tersebut dikenal

sebagai produk air dalam minyak (w/o). Emulsi obat untuk pemberian oral biasanya dari tipe o/w

dan membutuhkan penggunaan suatu zat pengemulsi o/w. Zat pengemulsi tipe ini termasuk zat

sintetik yang aktif pada permukaan dan bersifat nonionic, akasia, (gom), tragacanth, dan gelatin.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 4

Page 5: 50081185-ISI

Tetapi tidak semua emulsi yang dipergunakan termasuk tipe o/w. Makanan tertentu seperti

mentega dan beberapa saus salad merupakan emulsi tipe w/o.

Mekanisme Pemisahan Zat Pada Emulsi

Pemisahan zat pada emulsi disebabkan karena kurangnya stabilitas emulsi. Umumnya suatu

emulsi dianggap tidak stabil jika :

a. Fase dalam atau fase terdispersi pada jika didiamkan cenderung membentuk agregat dari

bulatan-bulatan.

b. Jika bulatan-bulatan atau agregat naik ke permukaan atau turun ke dasar emulsi, maka

akan membentuk suatu lapisan pekat dari fase dalam.

c. Jika semua atau sebagian dari cairan fase dalam tidak teremulsikan dan membentuk suatu

lapisan yang berbeda pada permukaan atau pada dasar emulsi , yang merupakan hasil dari

bergabungnya bulatan-bulatan fase dalam.

Agregat dari bulatan fase dalam mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk naik ke

permukaan emulsi atau jatuh ke dasar emulsi tersebut. Terjadinya bulatan-bulatan seperti itu

disebut creaming dari emulsi tersebut dan apabila tidak terjadi penggabungan maka akan

merupakan proses yang bolak-balik. Bagian yang membentuk cream dari suatu emulsi dapat

didistribusikan kembali secara merata dengan cara mengocoknya, tetapi jika agregat tersebut

sukar untuk dipecahkan atau pengocokan tidak mencukupi, maka akan diperoleh pemberian

dosis dari zat menjadi tidak tepat.

Menurut persamaan Stokes, laju pemisahan dari fase terdispers dari suatu emulsi dapat

dihubungkan dengan faktor-faktor seperti ukuran partikel dari fase terdispersi, perbedaan dalam

kerapatan antar fase, dan viskositas fase luar. Laju pemisahan meningkat dengan makin besarnya

ukuran partikel fase dalam, makin besarnya perbedaan kerapatan antar kedua fase dan

berkurangnya viskositas dari fase luar. Oleh karena itu, untuk meningkatkan stabilitas suatu

emulsi, bulatan atau ukuran paertikel harus dibuat sehalus mungkin, perbedaan fase tersdispers

dan fase luar harus sekecil mungkin dan viskositas fase luar harus cukup tinggi. Creaming ke

arah atas terjadi dalam suatu emlusi tipe a/m atau m/a yang tidak stabil dimana fase terdispersi

mempunyai kerapatan yang lebih kecil daripaa kerapatan fase luar. Creaming ke arah bawah

dalam emulsi yang tidak stabil dimana kerapatan fase dalam lebih besar dari kerapatan fase luar.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 5

Page 6: 50081185-ISI

Kerusakan yang lebih besar daripada creaming pada suatu emulsi adalah penggabungan

bulatan-bulatan fase dalam dan pemisahan fase tersebut menjadi suatu lapisan. Pemisahan fase

dalam dari emulsi tersebut disebut pemecahan (breaking) emulsi dan emulsinya disebut pecah

atau retak (cracked). Hal ini bersifat reversible karena lapisan pelindung di sekitar bulatan-

bulatan fase terdispersi tidak ada lagi. Usaha untuk menstabilkan kembali emulsi tersebut dengan

pengocokan, dari dua lapisan yang memisah umumnya gagal. Biasanya diperlukan zat

pengemulsi tambahan dan pemrosesan kembali dengan mesin yang sesuai untuk dapat

memproduksi emulsi kembali.

Kondisi lingkungan seperti adanya cahaya, udara dan kontaminasi mikroorganisme, dapat

memberikan efek yang mengubah stabilitas emulsi, formulasi dan tindakan pengemasan yang

sesuai harus dilakukan guna mengurangi kerusakan stabilitas produk menjadi sekecil mungkin.

Untuk emulsi yang peka terhadap cahaya, dipakai wadah tahan cahaya. Untuk emulsi yang rusak

karena oksidasi, dapat ditambah antioksidan dalam formulasinya dan dicantumkan label

peringatan yang jelas untuk memastikan bahwa wadahnya tertutup rapat. Untuk mencegah

adanya jamur, umumnya pada fase cair dari emulsi m/a ditambahkan pengawet, karena jamur

(jamur dan ragi) lebih banyak kemungkinan mengkontaminasi emulsi daripada bakteri. Suatu

kombinasi dari metal paraben dan propil paraben sering digunakan utnuk tujuan ini. Alkohol

dalam jumlah 12-15% yang dihitung dari volume fase luar sering ditambahkan pada emulsi m/a

yang diberikan secara oral sebagai pengawet.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 6

Page 7: 50081185-ISI

2.2 SEDIAAN SEMISOLID

Katz telah merancang “dunia pengobatan topikal”. Dengan gambar tersebut, seseorang dapat

mempertimbangkan berbagai pengobatan topikal sepereti pasta, dasar salep pengabsorpsi,

produk-produk teremulsi, lotio dan suspensi. Komponen dasar dari prparat dermatologis adalah

serbuk, air, minyak dan pengemulsi. Mulai dari serbuk (A) pada ”roda dunia” dalam gambar 20-

14, seseorang diharapkan dengan pengobatan serbuk biasa yang digunakan sebagai pelindung,

zat pengering dan pelumas serta sebagai pembawa untuk obat yang digunakan secara lokal.

Mengikuti arah berlawanan dengan jarum jam mengelilingi roda tersebut, kita sampai pada pasta,

B, yang merupakan suatu kombinasi serbuk dari bagian A dan bahan-bahan yang bersifat minyak

seperi minyak atau petrolatum. Suatu salep yang bersifat minyak atau pelumas dan pelunak dan

tidak mengandung serbuk terlihat pada bagian salep, C.Selanjut bagian basis

pengabsorpsimerupakan suatu basis salep pengabsorpsi yang tidak mengandung air, terdiri dari

fase minyak dan pengemulsi w/o serta mampu mengabsorpsi larutan obat dalam air. Begitu pula

seterusnya.

2.2.1 SALEP

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 7

Page 8: 50081185-ISI

Salep adalah preparat setengah padat untuk pemakaian luar. Dasar salep digolongkan ke

dalam empat golongan besar:

1. dasar salep hidrokarbon

2. dasar salep absorpsi

3. dasar salep yang dapat dicuci dengan air

4. dasar salep yang larut dalam air.

Pemilihan dasar salep yang tepat untuk dipakai dalam formulasi dari salep tergantung pada

pemikiran yang cermat atas sejumlah faktor-faktor termasuk:

laju pelepasan yang diinginkan bahan obat dari dasar salep

keinginan peningkatan oleh dasar salep absorpsi perkutan dari obat

kelayakan melindungi kelembapan kulit oleh dasar salep

janka lama dan pendeknya obat stabil dalam dasar salep

pengaruh obat terhadap kekentalan dasar salep.

Salep dibuat dengan dua metode umum yaitu:

1. Pencampuran

Dalam metode pencampuran komponen dari salep dicampur bersama-sama dengan

segala cara sampai sediaan yang rata tercapai.

Dalam pencampuran bahan padat, dasar salep dibuat dengan menggerus, meratakan

dan mengumpulkan komponen-komponennya pada permukaan yang kasar dengan

bantuan spatula hingga hasilnya lembut dan rata. Komponen serbuk dihaluskan

terlebih dahulu dengan mengggunakan mortir yang telah bersih. Lalu sebagian dari

serbuk dicampur dengan dasar salep sampai merata dan kemudian semua bahan

pengisi salep dicampurkan dan digerus homogen.

2. Peleburan

Dengan metode peleburan semua atau beberapa komponen dari salep dicampurkan

dengan melebur bersama dan didinginkan dengan pengadukan yang konstan sampai

mengental.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 8

Page 9: 50081185-ISI

Komponen-komponen yang tidak dicairkan biasanya ditambahkan pada cairan

biasanya ditambahkan pada campuran yang sedang mengental setelah didinginkan

dan diaduk. Bahan-bahan yang mudah menguap ditambahkan terakhir, bila

temperatur dari campuran telah cukup rendah tidak menyebabkan penguraian atau

penguapan dari komponen. Penambahan serbuk yang tidak larut biasanya digerus

dengan sebagian dasar salep.

Basis salep yang tidak mengandung air terdiri dari fase minyak dan pengemulsi w/o,

serta mampu mengabsorpsi larutan obat dalam air.

2.2.2 KRIM

Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung air tidak kurang dari

60 %, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Dibedakan dua tipe, krim tipe minyak air-minyak.

Krim tipe air-minyak mudah menjadi kering dan mudah rusak.

Untuk membuat krim digunakan zat pengemulsi, umumnya berupa surfaktan anion, kation,

atau nonion. Pemilihan surfaktan didasarkan atas jenis dan sifat krim yang dikehendaki. Untuk

krim tipe minyak-air digunakan zat pengemulsi seperti trietanolaminil stearat dan golongan

sorbitol, polisorbat, poliglikol,sabun. Untuk membuat krim tipe air-minyak digunakan zat

pengemulsi seperti lemak bulu domba,setilalkohol,stearilalkohol, setaseum, dan emulgida.

Pembuatan krim

Bagian lemak dilebur diatas tangas air kemudian tambahkan air dan zat pengemulsi dalam

keadaan sama-sama panas, aduk sampai terjadi suatu campuran bentuk krim.

2.2.3 GEL

Gel adalah sediaan bermassa lembek, berupa suspense yang dibuat dari zarah kecil senyawaan

organic atau makromolekul senyawa organic, masing masing terbungkus dan saling terserap oleh

cairan. Jika massa gel terdiri dari gumpalan zarah kecil, gel digolongkan dalam system dua fasa;

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 9

Page 10: 50081185-ISI

massanya bersifat tiksotropik, artinya, massanya akan mengental jika dibiarkan dan akan

mencair kembali jika dikocok. Gel demikian disebut magma. Jika massa gel mengandung banyak

cairan, umumnya air, gel disebut jelli.

Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul yang terdispersi merata ke seluruh cairan

sedemikian rupa hingga tidak menunjukkan batas antara makromolekul yang terdispersi dengan

cairannya.

2.2.4 SUPPOSITORIA

Suppositorium adalah sediaan padat, melunak, melumer, dan larut pada suhu tubuh,

digunakan dengan cara menyisipkan ke dalam rectum, berbentuk sesuai dengan maksud

penggunaannya, umumnya berbentuk torpedo.

Suppositorium dibuat dengan mencampur obat atau campuran beberapa jenis obat dengan

suppositorium yang melumer hingga merata, tuangkan campuran pada suhu yang cocok kedalam

cetakan yang telah diolesi zat pelican. Dapat juga dibuat dengan mencampurkan obat dengan

suppositorium dasar hingga merata dan dibentuk menggunakan cetakan kempa dingin atau

dengan mesin.

Jika tidak dinyatakan lain, sebagai suppositorium dasar digunakan lemak coklat dan untuk

memperoleh massa suppositorium yang baik, sebagian lemak coklat dapat diganti dengan malam

putih dalam jumlah yang sesuai.

Suppositorium yang dibuat menggunakan suppositorium dasar lemak coklat berbobot antara 1

g sampai 2 g.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 10

Page 11: 50081185-ISI

Tabel Bentuk Sediaan Obat

Bentuk Sediaan Keterangan

Sediaan Obat Oral

Kapsul

Eliksir

Emulsi

Pelapis enteral

Lozenge (troche) /

tablet hisap

Bubuk

Suspensi / Larutan

Sirup

Tablet

 

Tincture

 

Pembungkus terbuat dari gelatin yang berisi bubuk atau cairan obat

Sediaan obat cair dengan pelarut alcohol

Obat dalam bentuk suspensi / larutan kental

Pelapis khusus yang hanya larut ketika berada di usus dan tidak

dilambung karena sifatnya mengiritasi lambung

Tablet yang dapat dilarut dimulut (dihisap)

Bentuk dasar obat, dilarutkan dengan air sebelum digunakan

Bentuk obat cair yang harus dikocok sebelum digunakan karena

biasanya terpisah dari larutannya

Obat dalam bentuk larutan air dan gula

Bentuk padat bubuk obat (bulat, elips) yang dapat dibelah menjadi 2

bagian. Dapat dilapisi gula atau lapisan tipis untuk membantu daya

kohesi

Larutan sangat kental yang larut dalam alcohol, biasanya berasal dari

tumbuhan dan dalam dosis kecil

Sediaan Obat Topikal

Krim

Gel atau jelly

Liniment

Lotion

Salep

Pasta

 

Sediaan obat dalam bentuk semisolid, tidak lengket / berminyak

Sediaan semisolid yang transparan / bening yang mencair saat

mengenai kulit

Cairan mengandung minyak yang digosokkan pada kulit

Suspensi cair atau kental, digunakan pada kulit

Obat yang dikombinasikan dengan larutan minyak

Cairan / salep yang kental untuk kulit

Obat yang mengandung gelatin (dibuat agar mudah diserap tubuh),

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 11

Page 12: 50081185-ISI

Suppositoria

Transdermal patch

hancur sesuai dengan suhu tubuh dan perlahan diserap oleh tubuh.

Obat dalam bentuk sediaan  plester, digunakan pada kulit untuk secara

bertahap mengontrol penyerapan obat pada kulit.

BAB III

UJI INVITRO

3.1. PENGERTIAN

Uji In Vitro merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh bentuk sediaan terhadap laju

disolusi. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat dilakukan untuk menyelidiki

pengaruh bentuk sediaan kapsul, tablet dan sediaan pelepasan diperlambat terhadap disolusi

sulfadiazin dalam medium lambung buatan pH 1,2.

Sebuah prosedur dilakukan in vitro ( bahasa Latin : dalam kaca) dilakukan tidak dalam

hidup organisme tetapi dalam lingkungan terkontrol, misalnya di dalam tabung reaksi atau cawan

Petri . Banyak percobaan biologi seluler dilakukan di luar organisme atau sel ; karena kondisi

pengujian mungkin tidak sesuai dengan kondisi di dalam organisme, ini dapat mengakibatkan

hasil yang tidak sesuai dengan situasi yang muncul dalam organisme hidup. Akibatnya, hasil

eksperimen tersebut sering dijelaskan dengan in vitro, bertentangan dengan in vivo.

Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel eksperimental pada

subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung untuk memfokuskan pada organ ,

jaringan , sel , komponen sel, protein , dan atau biomolekul . Dalam penelitian in vitro yang lebih

cocok dibandingkan in vivo penelitian untuk menyimpulkan mekanisme biologis tindakan.

Dengan variabel yang lebih sedikit dan perseptual diperkuat menyebabkan reaksi halus, hasil

yang umumnya lebih jelas.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 12

Page 13: 50081185-ISI

Percobaan penetrasi dengan cara difusi in vitro dapat digunakan untuk menduga aktivitas

terapetik zat aktifnya dari suatu sediaan. Meskipun kondisi dari percobaan in vitro sangat

berbeda dari kondisi percobaan secara in vivo, tetapi telah banyak hasil-hasil penelitian yang

membuktikan adanya hubungan yang baik antara hasil percobaan in vitro dan percobaan in vivo,

seperti pada penelitian-penelitian terhadap kortikosteroid dan asam salisilat (Mar'u, Roufliac dan

Bazex,1982).

Penerapan besar murah in vitro biologi molekular teknik telah menyebabkan pergeseran dari

in vivo penelitian yang lebih istimewa dan mahal dibandingkan dengan mitra molekulnya. Saat

ini, dalam penelitian in vitro adalah vital dan sangat produktif.

Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda secara signifikan dari

yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh karena itu, dalam studi in

vitro biasanya diikuti oleh studi vivo. Contohnya termasuk:

Dalam biokimia, fisiologis stoikiometri konsentrasi non-aktif dapat mengakibatkan enzim

dalam arah terbalik, misalnya beberapa enzim dalam siklus Krebs mungkin tampak

memiliki tata-nama, salah.

DNA dapat mengadopsi konfigurasi lainnya, seperti A DNA .

Protein lipat mungkin berbeda seperti dalam sel ada kepadatan tinggi protein lain dan ada

sistem untuk membantu lipat, sementara in vitro, kondisi kurang bergerombol dan tidak

membantu.

Uji in vitro  untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan yang

dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah merah, RAST, uji

pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan (basofil/lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel),

sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen dan lain-

lain bukanlah untuk konfirmasi alergi obat.

Percobaan penetrasi dengan cara difusi in vitro dapat digunakan untuk menduga aktivitas

terapetik zat aktifnya dari suatu sediaan. Meskipun kondisi dari percobaan in vitro sangat

berbeda dari kondisi percobaan secara in vivo, tetapi telah banyak hasil-hasil penelitian yang

membuktikan adanya hubungan yang baik antara hasil percobaan in vitro dan percobaan in vivo,

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 13

Page 14: 50081185-ISI

seperti pada penelitian-penelitian terhadap kortikosteroid dan asam salisilat (Mar'u, Roufliac dan

Bazex, 1982).

Pengujian in vitro memungkinkan preparat percobaan dievaluasi dengan pembandingan

berbagai profil pelepasan yang berlainan dan juga suatu klasifikasi. Jika percobaan klinik

menyatakan bahwa sediaan obat yang dikembangkan menunjukkan kerja optimal, maka

pengujian in vitro berlaku untuk control produksi {Voigt, 1995}.

Kemampuan bahan obat untuk berpenetrasi ke dalam kulit dan mencapai efek yang

diharapkan ditentukan oleh dua proses yang berurutan yaitu bahan obat harus dapat terbebaskan

dari sediaan untuk mencapai permukaan kulit, kemudian bahan obat harus dapat berpenetrasi ke

dalam kulit menuju saluran sistemik (Ostrcnga, Steinoetz dan Poulsen, 1971).

Bila suatu obat diberikan secara topikal maka obat akan lepas dari pembawanya, kemudian

berdifusi pasif nenuju ke epidermis dan dermis. Kecepatan pelepasan obat dari sediaan topikal

secara langsung tergantung pada sifat fisika kimia pembawa dan obat yang digunakan.

Ketersediaan biologis obat yang digunakan tergantung kecepatan pelepasan obat dari pembawa

dan permeabilitas obat melewati kulit (Banker dan Rhodes, 1979).

Difusi senyawa atau obat secara in vitro tergantung tidak hanya oleh pembawa (Delonca et

al, 1977; Ogiso dan Shintani,1990) dan sifat fisika kimia obat tetapi juga parameter-parameter

percobaan. Seperti percobaan yang telah dilakukan oleh Walkow dan McGinity (f 987), Itoh et al

(199O), Taro Ogiso dan Masako Shintani (1990) dan Harada et al 11992) menunjukkan bahwa

tipe membran dan komposisi cairan penerima {Walkow dan McGinity, 1987) dapat

mempengaruhi profil difusi. Difusi metil salisilat sangat tergantung pada tipe membran yang

dipakai (Walkow dan McGinity, 1987).

Ada 2 macam metode pelepasan sistem transdermal secara in vitro yaitu metode pelepasan

tanpa suatu membrane pembatas kecepatan dan metode difusi dengan suatu membrane pengatur

kecepatan yang menggunakan membran kulit tiruan (seperti selulosa acetat, polidimetilsiloksan,

membrane kulit alamiah {dapat digunakan kulit bermacam-macam hewan seperti tikus, kelinci,

ular), sel difusi orde nol dan sel difusi dengan kondisi tiruan seperti proses in vivo (Barry, 1983).

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 14

Page 15: 50081185-ISI

DISOLUSI

Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut

menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses dimana zat padat melarut.

Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan

kecepatan disolusi dari berbagai bentuk sediaan padat terlibat berbagai proses disolusi yang

melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan

penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi, dan

degradasi sediaan, merupakan sebagaian dari faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi

obat dari sediaan.

Kecepatan Pelarutan

Secara sederhana kecepatan pelarutan didefinisikan sebagai jumlah zat yang terlarut dari

bentuk sediaan padat dalam medium tertentu sebagai fungsi waktu. Dapat juga diartikan sebagai

kecepatan larut bahan obat dari sediaan farmasi atau granul atau partikel-partikel sebagai hasil

pecahnya bentuk sediaan obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium. Dalam hal

tablettent bias diartikan sebagai mass transfer, yaitu kecepatan pelepasan obat atau kecepatan

larut bahan obat dari sediaan tablet ke dalam medium penerima. Penelitian tentang disolusi telah

dilakukan oleh Noyes Whitney dan dalam penelitiannya diperoleh persamaan yang mirip hukum

difusi dari Fick :

dc = DAK (Cs-C)

dt h

dimana :

dc/ct : laju pelarutan obat

D : tetapan laju difusi

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 15

Page 16: 50081185-ISI

A : luas permukaan partikel

Cs : kadar obat dalam “stagnant layer”

C : konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarut

K : koefisien partisi munyak/air

h : tebal “stagnant layer”

Dari persamaan di atas terlihat bahwa kinetika pelarutan dapat dipengaruhi oleh sifat

fisikokimia, formulasi, dan pelarut.

Banyak cara untuk mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan suat zat atau sediaan. Selain

persamaan di atas cara lain untuk mengungkapkan pelarutan adalah sebagai berikut :

1. Metode Klasik

Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang

kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini hanya

menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tida diketahui. Titik

terebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu.

2. Metode Khan

Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency (DE)area di bawah

kurva disolusi di antara titik waktu yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagi

berikut :

DE = 0t ∫Y dt x 100%

Y100.t

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 16

Page 17: 50081185-ISI

Beberapa peneliti mensyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat yang

terlarut. Keuntungan metode ini adalah :

a. dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE

b. dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena

penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara penggambaran pecobaan in vivo

3. Metode linierisasi kurva kecepatan pelarutan dengan menggunakan sebagai contoh

persamaan wagner

Berdasarkan pada asumsi sebagai berikut :

a. kondisi percobaan harus dalam keadaan sink yaitu Cs>>>C

b. proses pelarutan mengikuti orde I

c. luas permukaan spesifik (S) turun secara eksponensial fungsi waktu

d. kondisi proes pelarutannya non reaktif

Alat Uji Disolusi Farmakope

Uji disolusi hamper di semua negar telah mengikuti kriteria dan peralatan yang sama.

Sedangkan metode dan peralatan secara rinci dinyatakan dalam masing-masing farmakope,

seperti jecepatan pengadukan, komposisi volume media dan ukuran mesh dapat bervariasi untuk

monografi individu obat dan masing-masing farmakope.

Alat Uji Disolusi 1 dan 2

Cara pertama yang diuraikan dalam Farmakope Indonesia adalah cara keranjang yang

menggunakan pengaduk jenis keranjang dan cara yang kedua adalah cara dayung yang

menggunakan pengaduk

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 17

Page 18: 50081185-ISI

Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang digunakan salah

satu model atau gabungan dari model-model tersebut.

a. Model lapisan difusi (diffusion layer model)

Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat

satu lapis tipis cairan dengan ketebalan ℓ , merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah

yang berlawanan dengan permukaan padat (Banakar, 1992)Reaksi pada permukaan padat-cair

berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar muka “liquid film – bulk

film”,pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu

kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liguid film

(Banakar, 1992).

b. Model barrier antar muka (interfacial barrier model)

Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini

terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan seperti (Banakar, 1992).Sebagai hasilnya, tidak

dianggap adanya kesetimbangan padatan-larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam

membahas model ini. Proses pada antar muka padat-cair sekarang menjadi pembatas kecepatan

ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan

tipis statis (stagnant)

(Banakar, 1992).

c. Model Dankwert (Dankwert model)

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 18

Page 19: 50081185-ISI

Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui

cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka padat-cair karena terjadi pusaran difusi

secara acak (Banakar, 1992).

Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:

1. Sifat fisika kimia obat

Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan

efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar

karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju

disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam

maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika

pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal

secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf,

kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal

(Shargel dan Yu, 1999).

2. Faktor formulasi

Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat

mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium

tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat.

Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan

tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat

membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang

membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat

terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi

(Shargel dan Yu, 1999).

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 19

Page 20: 50081185-ISI

3. Faktor alat dan kondisi lingkungan

Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan

kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat,

semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat

menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium,

serta pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat (Swarbrick dan

Boyland, 1994b; Parrott, 1971)

Dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan

(1) pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100 %

(2) laju pelepasan seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju pelepasan dari batch

yang telah dibuktikan berbioavailabilitas dan efektif secara klinis (Lachman et al., 1994).

3.2. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Kecepatan pelepasan obat dari sediaan topikal secara langsung tergantung pada sifat

fisika kimia pembawa dan obat yang digunakan. Ketersediaan biologis obat yang digunakan

tergantung kecepatan pelepasan obat dari pembawa dan permeabilitas obat melewati kulit

(Banker dan Rhodes, 1979).

Difusi senyawa atau obat secara in vitro tergantung tidak hanya oleh pembawa (Delonca et

al, 1977; Ogiso dan Shintani,1990) dan sifat fisika kimia obat tetapi juga parameter-parameter

percobaan. Selain itu, bentuk sediaan juga kurang lebih membawa pengaruh yang cukup banyak

terhadap uji in vitro ini.

Faktor Fisika yang Berpengaruh pada Uji Pelarutan In Vitro

a) Pengadukan, kondisi pengadukan akan sangat berpengaruh pada kecepatan disolusi yang

dikontrol difusi dengan ketebalan lapisan difusi berbanding terbalik pada kecepatan putaran

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 20

Page 21: 50081185-ISI

pengadukan. Kecepatan pengadukan mempunyai hubungan dengan tetapan kecepatan disolusi

(Shargel et al, 2005).

b) Suhu, umumnya semakin tinggi suhu medium akan semakin banyak zat aktif yang terlarut.

Suhu medium dalam percobaan harus dikendalikan pada keadaan yang konstan umumnya

dilakukan pada suhu 37oC, sesuai dengan suhu tubuh manusia. Adanya kenaikan suhu selain

dapat meningkatkan gradien konsentrasi juga akan meningkatkan tetapan difusi, sehingga akan

menaikkan kecepatan disolusi (Shargel et al., 2005).

c) Medium Kelarutan, sifat medium larutan akan mempengaruhi uji pelarutan. Medium larutan

hendaknya tidak jenuh obat. Medium yang terbaik merupakan persoalan tersendiri dalam

penelitian. Beberapa peneliti telah menggunakan cairan lambung yang diencerkan, HCL 0,1 N,

dapar fosfat, cairan lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan tergantung dari sifat produk obat

dan lokasi dalam saluran pencernaan dan perkiraan obat yang akan terlarut (Shargel et al., 2005).

d) Wadah, ukuran dan bentuk dapat mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan. Untuk mengamati

kemaknaan dari obat yang sangat tidak larut dalam air mungkin perlu wadah berkapasitas besar

(Shargel et al., 2005).

3.3. METODE UJI INVITRO

Ada 2 macam metode pelepasan sistem transdermal secara in vitro yaitu :

Metode pelepasan tanpa suatu membrane pembatas kecepatan

Metode difusi dengan suatu membrane pengatur kecepatan yang menggunakan membran

kulit tiruan (seperti selulosa acetat, polidimetilsiloksan,membrane kulit alamiah {dapat

digunakan kulit bermacam-macam hewan seperti tikus, kelinci, ular), sel difusi orde nol

dan sel difusi dengan kondisi tiruan seperti proses in vivo (Barry, 1983).

Uji Penetrasi Secara In Vitro Menggunakan sel difusi Franz

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 21

Page 22: 50081185-ISI

A = kompartemen donor

B = kompartemenreseptor

C = membran

D = O-ring

E = water jacket

F = pengaduk magnetik

G = tempat pengambilan sampel

Kecepatan penetrasi zat aktif pada steady state ( fluks, J, μg cm-2jam-1) dapat dihitung dengan

menggunakan rumus:

J = Q / A · t

J = D A K / h (C2 – C1)

J = kecepatan penetrasi zat aktif (μg cm-2jam-1)

Q = jumlah zat aktif yang terpenetrasi (μg)

A = luas membran (cm2)

t = waktu (jam)

D = koefisien difusi

K = koefisien partisi

h = tebal membran

(C2 – C1) = gradien konsentrasi

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 22

Page 23: 50081185-ISI

Pengujian ini dilakukan diluar tubuh ternak dengan menggunakan simulasi/tiruan yang mirip

dengan proses-proses yang terjadi dalam tubuh.

3.4. KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN

Kondisi percobaan in vitro mempunyai beberapa keuntungan antara lain :

Kondisi percobaan dapat dikontrol

Faktor individual yang dapat mempengaruhi percobaan dapat dihilangkan

Metode in vitro dapat digunakan untuk percobaan fisika kimia seperti koefesien partisi

dan koefesien difusi.

Kejelekan dari metode ini adalah kondisi percobaan tidak sama dengan kondisi jaringan kulit

yang asli, terutama mengenai pengadaan aliran darah (Barry, 1983).

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 23

Page 24: 50081185-ISI

BAB IV

UJI IN VIVO

4.1 PENGERTIAN

In vivo ( bahasa Latin untuk "dalam hidup") adalah eksperimen dengan menggunakan

keseluruhan, hidup organisme sebagai lawan dari sebagian organisme atau mati, atau in vitro

dalam lingkungan yang terkendali. Hewan pengujian dan uji klinis dua bentuk dalam penelitian

in vivo. Dalam vivo pengujian sering mempekerjakan lebih in vitro karena lebih cocok untuk

mengamati efek keseluruhan percobaan pada subjek hidup. Hal ini sering dijelaskan oleh pepatah

di veritas vivo.

Dalam biologi molekular in vivo sering digunakan untuk merujuk pada eksperimen

dilakukan di sel isolasi hidup bukan di seluruh organisme, misalnya, berasal dari sel-sel kultur

biopsi. Dalam situasi ini, istilah yang lebih spesifik adalah ex vivo . Setelah sel terganggu dan

bagian individu yang diuji atau dianalisis, ini dikenal sebagai in vitro. dalam percobaan vivo

dalam hidup; dalam studi in vitro dalam tabung reaksi.

Uji In Vivo merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh rute pemberian terhadap

bioavailabilitas. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat dilakukan untuk

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 24

Page 25: 50081185-ISI

menyelidiki pengaruh rute pemberian terhadap parameter farmakokinetik menggunakan data

konsentrasi obat dalam darah.

Penelitian penetrasi sistem transdermal secara in vivo dapat dilakukan pada binatang atau

langsung pada manusia. Pada model binatang, sebagai media percobaan telah memberikan

sumbangan dalam mempelajari anatomi, fisiologi dan biokimia dari kulit (Barry, 1983).

Percobaan pada manusia sudah pasti memberikan informasi yartg paling akurat. Akan

tetapi jika ditinjau dari sisi metodenya, cara inipun nasih baoyak permasalahannya. Seringkali

dijumpai adanya tingkat kesulitan yang tinggi untuk mendeteksi bahan obat yang diabsorpsi

dalam darah, akibat sangat rendahnya konsentrasi. Kesulitan selanjutnya adalah dalam

menentukan seberapa jauh keterkaitan antara harga kadar darah dengan kerja klinik obat. Oleh

karena itu aktifitas farmakologis juga sulit dipastikan, apalagi jika zat aktif tidak lagi dapat

dideteksi dalem darah atau jaringan. Juga penetuan bahan obat atau metabolitnya dalam urin

serta evaluasi hasilnya banyak dipengaruhi oleh faktor ketidakpastian. Pada dasarnya dengan

cara in vivo hendaknya diperhatikan hubungan kuantitatif, antara absorbsi, kadar serum dan

eliminasi (Voigt, 1995).

Uji invivo.

Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan

antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari

positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen

obat yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi

alergi terhadap makro molekul: insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul

sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.

Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur

diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis

sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai.

Karena itu maka uji provokasi merupakan indikasi kontra untuk alergi obat yang berat misalnya

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 25

Page 26: 50081185-ISI

anafilaksis, sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematology, eritema vesiko

bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap

obat.

Bioavailabilitas

Konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Osser pada tahun 1945, yaitu

pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang dipakai pertamakali

adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas pengertiannya dengan istilah

bioavailabilitas.Dimulai di negara Amerika Serikat, barulah pada tahun 1960 istilah

bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosi obat. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya

produk obat yang sama yang diproduksi oleh berbagai industri obat,adanya keluhan dari pasien

dan dokter di mana obat yangsama memberikan efek terapeutik yang berbeda, kemudian dengan

adanya ketentuan tidak diperbolehkannya Apotek mengganti obat yang tertulis dalam resep

dengan obat merek lainnya.

Sebagai cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai definisi tentang

bioavailabilitas dalam berbagai literatur. Bagian yang esensial dalam konsep bioavailabilitas

adalah absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur penting dalam absorpsi obat yang

perlu dipertimbangkan,yaitu :

1) kecepatan absorpsi obat

2) jumlah obat yang diabsorpsi

Kedua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang diinginkan dengan

toksisitas yang minimal.Atas dasar kedua faktor ini dapat diperkirakan bagaimana seharusnya

definisi tentang bioavailabilitas.

Dua definisi berikut ini merupakan definisi yang relative lebih sesuai dengan kedua

faktor di atas adalah :

Definisi 1:

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 26

Page 27: 50081185-ISI

Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat

tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik.

Definisi 2 :

Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat

tersebut yang diabsorpsi.

Metode penilaian availabilitas menurut FDA meliputi :

a. Bioavailabilitas in vivo dari suatu produk obat dilakukan jika laju dan jumlah absorpsi produk,

sebagaimana dinyatakan oleh perbandingan parameter-parameter terukur (misal konsentrasi

bahan obat aktif dalam darah, laju ekskresi urin dan efek farmakologik), tidak berbeda secara

bermakna dengan bahan pembanding.

b. Teknik analisis statistik yang dipakai hendaknya cukup peka untuk menemukan perbedaan

laju dan jumlah absorpsi yang tidak disebabkan oleh adanya perbedaan subjek.

c. Suatu produk obat yang berbeda dari bahan pembanding dalam hal laju absorpsi, tetapi tidak

berbeda dalam jumlah absorpsi, dapat dianggap berada dalam sistematik jika perbedaan laju

absorpsi disengaja dan dinyatakan dengan tepat dalam label dan atau laju absorpsi tidak

mengganggu keamanan dan efektifitas produk obat (Shargel et al, 2005).

Untuk produk-produk tertentu availabilitas dapat ditunjukkan dengan fakta yang diperoleh secara

in vitro. Studi disolusi obat memberikan indikasi yang sama dengan bioavailabilitas obat.

Idealnya, disolusi obat in vitro berkorelasi dengan bioavailabilitas obat in vivo (Shargel et al.,

2005).

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 27

Page 28: 50081185-ISI

Pelepasan obat dari formula tablet diperoleh dengan mengukur bioavailabilitas in vivo. Namun

karena beberapa alasan, penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu: lamanya waktu yang

diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan menginterpretasi; tingginya keterampilan yang

diperlukan bagi pengkajian pada manusia; ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan

pengukuran; besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian subjek manusia bagi penelitian yang

“nonesensial”; dan keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia

yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji. Akibatnya uji disolusi secara in vitro

dipakai dan dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai sebagai pengukur

availabilitas obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan

berbagai metode pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavailabilitas (Lachman et

al., 1994).

4.2 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Pada penelitian in vivo juga terdapat faktor yang mempengaruhi penyerapan bahan obat pada

permukaan kulit, yaitu :

kondisi fisiologis kulit yang meliputi antara lain keadaan dan umur kulit

aliran darah

tempat pengolesan

kelembaban dan suhu kulit (Devissaquet dan Aiache, 1993),

4.3 METODE IN VIVO

Uji invivo.

• Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik

• Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 28

Page 29: 50081185-ISI

• Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul: insulin,

antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi

alergi terhadap penisilin saja.

4.4 KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN

Keuntungan dari uji in vivo ini adalah hasil yang diperoleh lebih akurat karena langsung

mengacu pada efek farmakodiamik dari sediaan tersebut.

Kerugian dari uji in vivo ini, adalah :

Tingkat kesulitan yang tinggi untuk mendetekdi bahan obat yang diabsorpsi dalam darah

Sulit menentukan seberapa jauh keterkaitan antara harga kadar darah dengan kerja klinik

obat

Apabila zat aktif tidak lagi dapat dideteksi di dalam darah atau jaringan, efek farmakologi

sulit ditentukan

Contoh cara pengujian absorpsi obat secara in vivo dan in vitro:

Kelinci dicukur punggungnya dengan luas 25 cm 2 (5x5 cm2), lalu sediaan (contoh salep) seberat

4 gram dioleskan pada daerah yang dicukur tersebut, ditutup punggungnya dengan alumunium

foil dan dibalut. Pengambilan sampel darah dilakukan pada jam ke 0,25; 0,5; 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7;

24; 28; 32. Sampel darah 1 ml diberi EDTA, diambil TCA 1 ml, disentrifus selama 15 menit, lalu

campuran diambil 1.0 ml ditambah aquadest 2.0 ml selanjutnya dibaca absorbansinya pada

spektrofotometer UV dengan panjang gelombang 276 nm. Dengan uji in vitro akan diperoleh

harga DE sedangkan uji in vivo akan diperoleh harga Kel dan Ka zat aktif dari beberapa basis.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 29

Page 30: 50081185-ISI

BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Uji In Vitro merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh bentuk sediaan terhadap laju

disolusi. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat dilakukan untuk menyelidiki

pengaruh bentuk sediaan kapsul, tablet dan sediaan pelepasan diperlambat terhadap disolusi

sulfadiazin dalam medium lambung buatan pH 1,2.

Uji In Vivo merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh rute pemberian terhadap

bioavailabilitas. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat dilakukan untuk

menyelidiki pengaruh rute pemberian terhadap parameter farmakokinetik menggunakan data

konsentrasi obat dalam darah.

Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel eksperimental pada

subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung untuk memfokuskan pada organ ,

jaringan , sel , komponen sel, protein , dan / atau biomolekul . Dalam penelitian in vitro yang

lebih cocok dibandingkan in vivo penelitian untuk menyimpulkan mekanisme biologis tindakan.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 30

Page 31: 50081185-ISI

Dengan variabel yang lebih sedikit dan perseptual diperkuat menyebabkan reaksi halus, hasil

yang umumnya lebih jelas.

Penerapan besar murah in vitro biologi molekular teknik telah menyebabkan pergeseran dari

in vivo penelitian yang lebih istimewa dan mahal dibandingkan dengan mitra molekulnya. Saat

ini, dalam penelitian in vitro adalah vital dan sangat produktif.

Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda secara signifikan dari

yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh karena itu, dalam studi in

vitro biasanya diikuti oleh studi vivo.

5.2 USUL DAN SARAN

Berikut ini penyusun memberikan saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pengujian

sediaan selanjutnya. Adapun saran tersebut :

Pengujian in vivo pada mencit atau tikus seharusnya dilakukan secara terkontrol, jangan

sampai mencit dan tikus dijadikan bahan percobaan dengan semena-mena.

Saat formulasi sediaan hendaknya mempertimbangkan segala macam efek teurapetik

yang diharapkan dengan seksama.

Uji In Vitro dan In Vivo Sediaan Semisolid dan Liquid 31