5. sistem peradilan anak di indonesia dalam perspektif hak asasi manusia haris retno s dan hariyanti

8
Risalah HUKUM Fakultas Hukum Unmul, Juni 2007, Hal. 36 – 43 Vol. 3, No. 1 ISSN 021-969X Sistem Peradilan Anak di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (Indonesian Children Court System in Human Right Perspective) HARIS RETNO SUSMIYATI dan HARIYANTI Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Jl. Ki Hajar Dewantara Kampus Gunung Kelua Telp. (0541) 7095092 Samarinda 75123 Email : [email protected] ABSTRACT Positive law which arranging about justice of child acumulated in UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak and of UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Indonesia not ratified international instrument of human right yet relate to jurisdiction of child completely. This matter cause child system of judicature going into effect in Indonesia not fully yet protected child rights. Some problem which emerge in child system of judicature in Indonesia among others usage of less protecting naughty child term of children right because generating stigma to child demarcation of child age able to be punished is inappropriate of United Nations recommendation, rule of familiarity and closed inspection do not guarantee freshment and protecting of children right; there no case definition able to be processed by case and law which need and perpetrator do not need be under arrest; and also penalization to child more orienting to the crime is not cure action to victim and perpetrator. Therefore need special steps which conducted by government as does trying Restorative Justise as one of the effort overcome the problem of child. Key words: anak (child), peradilan anak (court of child), hak asasi manusia (human rights); konvensi hak anak (convention on the rights of the child/crc), keadilan pemulihan (restorative justice) PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa yang sangat penting. Perlakuan yang tidak tepat terhadap anak akan sangat mempengaruhi masa depan anak, sedangkan kualitas anak- anak akan menentukan masa depan suatu bangsa. Oleh karena itu sangatlah disadari bahwa keberadaan anak dalam kehidupan berbangsa menempati posisi yang sangat penting. Dipundak merekalah kelak masa depan negri ini ditentukan. Kondisi disekitar anak jika tidak mendukung perkembangannya secara baik maka dapat dibayangkan negara dan bangsa akan mengalami kerugian yang sangat besar. Tahun 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Konsekuensinya, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk semaksimal mungkin berupaya memenuhi hak-hak anak di Indonesia. Konvensi Hak Anak adalah salah satu instrumen internasional di bidang hak asasi manusia yang secara khusus mengatur segala sesuatu tentang hak anak. Konvensi ini disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 lewat Resolusi 44/25 dan sesuai ketentuan pasal 49 (1), resolusi tersebut mulai berlaku tanggal 2 September 1990. Anak dalam masa pertumbuhan seringkali dihadapkan pada situasi khusus, salah satunya anak harus berhadapan dengan hukum, karena tindakannya yang telah melanggar ketentuan yang berlaku dalam masyarakat. Anak-anak yang melakukan pelanggaran aturan atau kepatutan dalam masyarakat inilah yang sering dikatakan sebagai anak nakal. Namun yang terjadi akhir- akhir ini kenakalan anak semakin menjurus kepada tindakan pidana. Bahkan cenderung semakin meningkat tindakan pidana yang dilakukan oleh anak-anak dibawah umur. Kecenderungan perkembangan kasus anak yang terlibat persoalan hukum di Provinsi Kalimantan Timur juga mengalami peningkatan, di beberapa wilayah terjadi kasus-kasus bahkan dilakukan oleh anak di bawah umur. Terungkapnya beberapa kasus

Upload: riduan

Post on 16-Jan-2016

17 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

pidana

TRANSCRIPT

Page 1: 5. Sistem Peradilan Anak Di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Haris Retno S Dan Hariyanti

Risalah HUKUM Fakultas Hukum Unmul, Juni 2007, Hal. 36 – 43 Vol. 3, No. 1

ISSN 021-969X

Sistem Peradilan Anak di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

(Indonesian Children Court System in Human Right Perspective)

HARIS RETNO SUSMIYATI dan HARIYANTI

Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Jl. Ki Hajar Dewantara Kampus Gunung Kelua Telp. (0541) 7095092 Samarinda 75123

Email : [email protected]

ABSTRACT

Positive law which arranging about justice of child acumulated in UU Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak and of UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Indonesia

not ratified international instrument of human right yet relate to jurisdiction of child completely.

This matter cause child system of judicature going into effect in Indonesia not fully yet protected

child rights. Some problem which emerge in child system of judicature in Indonesia among others

usage of less protecting naughty child term of children right because generating stigma to child

demarcation of child age able to be punished is inappropriate of United Nations recommendation,

rule of familiarity and closed inspection do not guarantee freshment and protecting of children

right; there no case definition able to be processed by case and law which need and perpetrator do

not need be under arrest; and also penalization to child more orienting to the crime is not cure

action to victim and perpetrator. Therefore need special steps which conducted by government as

does trying Restorative Justise as one of the effort overcome the problem of child.

Key words: anak (child), peradilan anak (court of child), hak asasi manusia (human rights); konvensi hak

anak (convention on the rights of the child/crc), keadilan pemulihan (restorative justice)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan aset bangsa yang

sangat penting. Perlakuan yang tidak tepat

terhadap anak akan sangat mempengaruhi

masa depan anak, sedangkan kualitas anak-

anak akan menentukan masa depan suatu

bangsa. Oleh karena itu sangatlah disadari

bahwa keberadaan anak dalam kehidupan

berbangsa menempati posisi yang sangat

penting. Dipundak merekalah kelak masa

depan negri ini ditentukan. Kondisi disekitar

anak jika tidak mendukung perkembangannya

secara baik maka dapat dibayangkan negara

dan bangsa akan mengalami kerugian yang

sangat besar.

Tahun 1990 Indonesia telah

meratifikasi Konvensi Hak Anak.

Konsekuensinya, pemerintah Indonesia

berkewajiban untuk semaksimal mungkin

berupaya memenuhi hak-hak anak di

Indonesia. Konvensi Hak Anak adalah salah

satu instrumen internasional di bidang hak

asasi manusia yang secara khusus mengatur

segala sesuatu tentang hak anak. Konvensi ini

disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20

November 1989 lewat Resolusi 44/25 dan

sesuai ketentuan pasal 49 (1), resolusi tersebut

mulai berlaku tanggal 2 September 1990.

Anak dalam masa pertumbuhan

seringkali dihadapkan pada situasi khusus,

salah satunya anak harus berhadapan dengan

hukum, karena tindakannya yang telah

melanggar ketentuan yang berlaku dalam

masyarakat. Anak-anak yang melakukan

pelanggaran aturan atau kepatutan dalam

masyarakat inilah yang sering dikatakan

sebagai anak nakal. Namun yang terjadi akhir-

akhir ini kenakalan anak semakin menjurus

kepada tindakan pidana. Bahkan cenderung

semakin meningkat tindakan pidana yang

dilakukan oleh anak-anak dibawah umur.

Kecenderungan perkembangan kasus

anak yang terlibat persoalan hukum di

Provinsi Kalimantan Timur juga mengalami

peningkatan, di beberapa wilayah terjadi

kasus-kasus bahkan dilakukan oleh anak di

bawah umur. Terungkapnya beberapa kasus

Page 2: 5. Sistem Peradilan Anak Di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Haris Retno S Dan Hariyanti

Vol. 3, No. 1 Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

37

dimasyarakat merupakan fenomena gunung es,

artinya faktanya kasus anak yang terlibat

persoalan hukum lebih banyak jumlahnya

daripada yang terungkap di masyarakat.

Berdasarkan data Balai Pembimbing

Kemasyarakatan (Bapas) Kelas II Samarinda

diketahui telah menangani 1.057 kasus anak

yang melakukan tindak pidana. Data tersebut

meliputi wilayah 6 (enam) Kabupaten yaitu

Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat,

Berau, Malinau dan Bulungan serta 2 Kota

yaitu Samarinda dan Bontang. Angka yang

cukup fantastis,. Berdasarkan data tersebut,

tindak pidana yang dilakukan anak terbanyak

adalah pencurian sebanyak 425 kasus,

selanjutnya penganiayaan 121 kasus,

pengeroyokan 119 kasus, sajam 71 kasus,

pencabulan 52 kasus, psikotropika/narkoba 50

kasus dll, secara lengkap dapat dilihat tabel 1.

Tabel 1 : Data Kasus Anak yang ditangani Bapas

Samarinda

No Data Kasus Jumlah

Kasus

1 Pencurian 425

2 Sajam 71

3 Penganiayaan 121

4 Laka Lanta 47

5 Pengeroyokan 119

6 Menyetrum Ikan 2

7 Pemerasan 31

8 Asusila 43

9 Psikotropika/Narkoba 50

10 Perjudian 6

11 Kehutanan 3

12 Perampokan 3

13 Pencabulan 52

14 Pembakaran 8

15 Penadah 3

16 Perzinahan 4

17 Kejahatan susila 10

18 Kejahatan di muka umum 1

19 Pengrusakan 1

20 Pembunuhan 12

21 Tantib 1

22 Pengancaman 8

23 Perkelahian 29

24 Penipuan 4

25 Penebang Pohon 1

26 Melarikan anak orang 1

27 Penggelapan 1

TOTAL 1. 057

Sumber : Bapas Samarinda dalam Tribun, 15 Maret 2007

Menghadapi kasus anak yang terlibat

persoalan hukum, tentu penyelesaian dan

perlakuannya harus berbeda dengan prosedur

orang dewasa. Dalam prosesnya harus

dilakukan secara cermat, agar anak tetap

mendapatkan perlindungan secara maksimal.

Adanya kesadaran tersebut mendorong

dikeluarkannya Undang-undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU

Nomor 3 Tahun 1997). Diberlakukannya

ketentuan ini merupakan tonggak penting

dalam perkembangan hukum anak di

Indonesia.

UU Nomor 3 Tahun 1997 mengandung

makna bahwa kasus-kasus anak yang terlibat

persoalan hukum harus ada penanganan secara

khusus dalam proses persidangannya, yaitu

melalui peradilan anak. Prinsip yang harus

dipegang bahwa proses hukum terhadap anak

harus mengedepankan perlindungan bagi hak

anak.

B. Perumusan Masalah Hak anak merupakan bagian integral

dalam Hak Asasi Manusia. Sehingga menjadi

keharusan bagi seluruh negara di dunia untuk

memberikan perlindungan terhadap hak anak

sebagaimana terhadap Hak Asasi Manusia.

Fenomena yang terjadi banyak anak-anak yang

terlibat dalam kasus hukum sebagai pelaku

tindak pidana, terhadap kondisi tersebut

diperlukan perlu perlakuan khusus.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dirasa

penting untuk mengkaji:

1. Bagaimana payung hukum peradilan anak

yang ada di Indonesia (UU Nomor 3

Tahun 1997) dalam perspektif Hak Asasi

Manusia ?

2. Persoalan-persoalan apa yang muncul

dalam sistem peradilan anak ?

3. Bagaimana upaya mengatasi persoalan

yang muncul dalam sistem peradilan

anak?

PEMBAHASAN

A. Peradilan Anak dalam Perspektif Hak

Asasi Manusia

Peradilan Anak sudah seharusnya tetap

mengedepankan perlindungan hak-hak anak.

Page 3: 5. Sistem Peradilan Anak Di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Haris Retno S Dan Hariyanti

HARIS RETNO SUSMIYATI dan HARIYANTI Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

38

Instrumen Internasional yang mengatur

tentang Peradilan anak :

1. Konvensi tentang Hak-hak anak

/Convention on the Rights of the Child

(CRC),

2. Peraturan Standar minimum Perserikatan

Bangsa-bangsa untuk Administrasi

Peradilan Anak/ United Nation Standard

Minimum Rules for Administration of

Juvenile Deliquency (Beijing rules);

3. Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa

untuk Pencegahan Pelanggaran Hukum

Anak / United Nation Guidelines for The

Prevention of Juvenile Deliquency

(Riyadh Guidelines);

4. Peraturan Perserikatan bangsa-bangsa

bagi perlindungan anak yang dicabut

kebebasan mereka United Nation Standar

Rules for The Protection of Juvenile

Desprived of Their Liberty (UNRPJ);

5. Peraturan Standar Minimum bagi

Tindakan non-Penahanan United Nation

Standard Minimum Rules for Non

Custodial Measures / (Tokyo-rules).

Kelima Instrumen Internasional diatas

yang telah diratifikasi oleh pemerintah

Indonesia hanya satu yaitu Konvensi tentang

Hak-hak anak /Convention on the Rights of the

Child (CRC), Sedangkan keempat intrumen

yang lain belum dilakukan ratifikasi. Sehingga

ketentuan yang belum diratifikasi tidak

mempunyai sifat mengikat secara hukum,

hanya menjadi sebatas seruan moral saja.

Ketentuan hukum positif yang sejalan

dengan upaya penegakan hak asasi manusia

dalam hal ini hak-hak anak terangkum dalam

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak (UU Nomor 23

Tahun 2002) dan Undang-undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU

Nomor 3 Tahun 1997). Berdasarkan pasal 1

ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2002,

perlindungan anak dalam adalah segala

kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak

dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang dan berpartisipasi, secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 1 ayat (12) UU Nomor 23 Tahun

2002, hak anak adalah bagian dari hak asasi

manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan

dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,

pemerintah dan negara. Anak yang berhadapan

dengan hukum menurut ketentuan pasal 1 ayat

(15) dan Pasal 59, menjadi kewajiban

pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk

memberikan perlindungan khusus.

Menurut pasal 16 ayat (1) UU Nomor

23 Tahun 2002, khusus hak anak yang

berhadapan dengan hukum, adalah : Setiap

anak berhak memperoleh perlindungan dari

sasaran penganiayaan, penyiksaan atau

penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

Pada ayat 3 pasal tersebut dinyatakan bahwa

penangkapan, penahanan atau tindakan pidana

penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai

dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 17 ayat (1) menyatakan setiap

anak yang dirampas kebebasannya berhak

untuk :

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi

dan penempatannya dipisahkan dari orang

dewasa;

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan

lainnya secara efektif dalam setiap

tahapan upaya hukum yang berlaku;

c. Membela diri dan memperoleh keadilan

di depan pengadilan anak yang obyektif

dan tidak memihak dalam sidang tertutup

untuk umum.

Selain itu dalam pasal 17 ayat (2)

diatur bahwa setiap anak yang menjadi korban

atau pelaku kekerasan seksual atau yang

berhadapan dengan hukum berhak

dirahasiakan. Pasal 18 kembali menegaskan

bahwa setiap anak yang menjadi korban atau

pelaku tindak pidana berhak mendapatkan

bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Ketentuan jaminan hak anak dalam

sistem peradilan anak terdapat dalam pasal 37

Konvesi Hak Anak (Convention on the Rights

of the Child/CRC), yaitu :

1. Penyiksaan dan penganiayaan terhadap

anak dilarang;

2. Pidana mati dan pidana badan juga tidak

diperbolehkan;

Page 4: 5. Sistem Peradilan Anak Di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Haris Retno S Dan Hariyanti

Vol. 3, No. 1 Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

39

3. Dilarang mencabut kebebasan anak

dengan melawan hukum dan semena-

mena;

4. Anak-anak yang dicabut kebebasannya

harus diperlakukan secara manusiawi

dengan menghormati harkat

kemanusiaannya dan dengan cara yang

mempertimbangkan kebutuhan khusus

pribadi menurut usia mereka;

5. Tahanan anak dipisahkan dengan tahanan

dewasa;

6. Tahanan anak berhak untuk memelihara

hubungan dengan keluarga mereka,

diberikan akses ke bantuan hukum dengan

segera, dan untuk menentang keabsahan

penahanan mereka di depan pengadilan

atau otoritas lainnya.

Menurut ketentuan Perlindungan anak

yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002

(Pasal 16 butir c), penahanan dan pemenjaraan

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum

harus menjadi upaya yang paling akhir dan

kalaupun terpaksa dilakukan harus untuk masa

yang singkat.

UU Nomor 3 Tahun 1997 dibuat ketika

UU perlindungan anak belum ada. Sehingga

beberapa muatan hukum yang terngkum dalam

UU Nomor 3 Tahun 1997 belum sepenuhnya

melindungi hak-hak anak, diantaranya tentang

batas umur anak yang dapat diproses di

pengadilan anak serta batasan kasus yang

dapat diproses menurut UU Nomor 3 Tahun

1997.

Kelemahan yang lain dalam sistem

peradilan anak adalah belum diratifikasinya

konvensi yang berkaitan dengan peradilan

anak. Sehingga secara keseluruhan sistem

peradilan anak Indonesia belum sepenuhnya

mengacu kepada instrumen HAM. Harus

dibedakan antara pengadilan anak dan

peradilan anak. Peradilan anak adalah sistem

peradilan anak yang terintegrasi mulai dari

kepolisian, kejaksaan, pengadilan, bantuan

hukum dan pelayanan lainnya, hingga

pemasyarakatan. Tetapi pengadilan anak

adalah proses yang lebih terfokus pada

jalannya sidang anak atau pada tahap

pengadilan. Indonesia hanya memiliki aturan

mngenai pengadilan anak saja belum

menyeluruh. Oleh karena itu perlu dilakukan

revisi terhadap UU Nomor 3 Tahun 1997

dalam perspektif hak asasi manusia.

B. Persoalan dalam Sistem Peradilan Anak

di Indonesia UU Nomor 3 Tahun 1997 mengatur

beberapa ketentuan yang membedakannya

dengan sidang pidana untuk orang dewasa.

Namun jika ditelaah dalam perkembangannya

sistem peradilan anak yang diterapkan

memunculkan beberapa persoalan diantaranya:

1. Pengertian Anak dan Anak Nakal Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun

2002, pengertian anak dalam pasal 1 ayat (1)

adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan. Ketentuan ini sesuai

dengan Konvensi Hak Anak (Convention on

the Rights of the Child/CRC), yang telah

diratifikasi Indonesia melalui Keputusan

Presiden No. 36 Tahun 1990 Tentang

Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Pasal 1

Ketentuan Konvensi Hak anak “Anak berarti

setiap manusia dibawah usia 18 tahun kecuali,

berdasarkan hukum yang berlaku terhadap

anak, usia dewasa telah dicapai sebelumnya.”

Jika ditelaah dalam hukum kita

terdapat pluralisme kriteria tentang anak,

namun anak yang dapat diajukan sebagai

pelaku tindak pidana adalah yang dirumuskan

dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun

1997, yaitu orang yang dalam perkara anak

nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun

tetapi belum mencapai umur 18 (delapan

belas) tahun dan belum kawin.

Jadi berdasarkan ketentuan UU Nomor

3 Tahun 1997, maka anak yang dapat diproses

hukum dibatasi dengan umur 8 (delapan)

tahun sampai berumur 18 (delapan Belas)

tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum

pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat

dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan

kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat

dalam perkawinan atau perkawinannya putus

karena perceraian, maka si anak dianggap

sudah dewasa walaupun umurnya belum genap

18 tahun. (Darwan Prinst : 2003).

Anak Nakal menurut pasal 1 ayat (2)

UU Nomor 3 Tahun 1997 adalah anak yang

Page 5: 5. Sistem Peradilan Anak Di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Haris Retno S Dan Hariyanti

HARIS RETNO SUSMIYATI dan HARIYANTI Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

40

melakukan tindak pidana atau anak yang

melakukan perbuatan yang dinyatakan

terlarang bagi anak, baik menurut peraturan

perundang-undangan maupun menurut

peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku

dalam masyarakat yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan ini maka istilah

kejahatan anak tidak dikenal dalam sistem

peradilan anak di Indonesia. Hal ini

dimaksudkan untuk memberi perlindungan

terhadap hak-hak anak.

Pemakaian istilah anak nakal dalam

UU Nomor 3 Tahun 1997, ternyata

menimbulkan berbagai protes dan ketidak

setujuan, karena dianggap tidak sejalan dengan

Konvensi Hak Anak dan ketentuan UU Nomor

23 Tahun 2002. Pemakaian istilah anak nakal

akan memunculkan stigma terhadap anak yang

akan berpengaruh kepada kondisi

kejiwaannya. Sehingga istilah yang dipakai

sesuai dengan semangat perlindungan hak

anak adalah anak yang berkonflik dengan

hukum.

2. Pembatasan Umur Batas usia pemidanaan anak menurut

ketentuan Pasal 4 UU Nomor 3 Tahun 1997

adalah:

(1) Batas umur anak nakal yang dapat

diajukan ke sidang anak adalah sekurang-

kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum

mencapai umur 18 (delapan belas) tahun

dan belum kawin.

(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana

pada batas umur sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang

pengadilan, setelah anak yang

bersangkutan melampaui batas umur

tersebut tetapi belum mencapai umur 21

tahun, tetap diajukan ke sidang anak.

Apabila pelaku kejahatan adalah anak

dibawah batas usia minimum yang ditentukan

maka anak tidak dapat diajukan di pengadilan

anak melainkan menurut ketentuan Pasal 5 UU

Nomor 3 Tahun 1997 adalah :

(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8

(delapan) tahun melakukan atau diduga

melakukan tindak pidana, maka terhadap

anak tersebut dapat dilakukan

pemeriksaan oleh penyidik.

(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan

penyidik berpendapat bahwa anak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

masih dapat dibina orang tua, wali, atau

orang tua asuhnya, penyidik

menyerahkan kembali anak tersebut

kepada orang tua, wali, atau orang tua

asuhnya;

(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan,

penyidik berpendapat bahwa anak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

tidak dapat dibina lagi oleh orang tua,

wali, atau orang tua asuhnya, penyidik

menyerahkan anak tersebut kepada

Departemen Sosial setelah mendengar

pertimbangan dari pembimbing

kemasyarakatan.

Persidangan terhadap Muhammad

Azwar alias Raju usia 8 (delapan) tahun, yang

sudah diputus Pengadilan Negeri Stabat

Sumatera Utara, mengingatkan bahwa

pengaturan Pasal 4 UU Nomor 3 tahun 1997

soal batas usia anak yang dapat dipidana

kurang tepat.

Batas usia anak yang dapat dipidana

menurut pasal 4 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun

1997 adalah minimum 8 tahun sedangkan

sesuai Rekomendasi Perserikatan Bangsa-

bangsa (PBB) adalah minimum 12 tahun.

Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (1)

UU Nomor 3 Tahun 2002, maka anak berusia

16 (enam belas) tahun yang melakukan tindak

pidana dan pernah kawin akan kehilangan

haknya sebagai anak.

3. Proses Hukum Harus Ditangani Pejabat

Khusus ( Pasal 1 ayat 5, 6 dan 7)

Menurut ketentuan UU No 3 tahun

1997 yang dimaksud dengan pejabat khusus

adalah:

a. Ditingkat penyidikan oleh penyidik anak;

b. Ditingkat penuntutan dan penuntut umum

anak;

c. Dipengadilan oleh hakim anak, hakim

banding anak dan kasasi anak.

Ketersediaan pejabat khusus diseluruh

wilayah Indonesia masih patut dipertanyakan.

Perintah UU sudah sangat jelas namun

sumberdaya aparat penegak hukum seringkali

sangat kurang.

Page 6: 5. Sistem Peradilan Anak Di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Haris Retno S Dan Hariyanti

Vol. 3, No. 1 Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

41

4. Acara Pemeriksaan Tertutup (Pasal 8

ayat 1) Acara pemeriksaan di sidang

pengadilan anak dilakukan secara tertutup. Ini

demi kepentingan si anak sendiri. Akan tetapi

putusan harus diucapkan dalam sidang yang

terbuka untuk umum. Dalam kasus Raju

pemeriksaan dilakukan secara terbuka hal ini

merupakan tekanan psikologis yang berat bagi

anak seusia Raju.

5. Suasana Pemeriksaan Kekeluargaan

(Pasal 42 ayat 1) Pemeriksaan perkara di pengadilan anak

dilakukan dalam suasana kekeluargaan, oleh

karena itu hakim, penuntut umum dan pembela

hukum tidak mengenakan toga. Meskipun

petugas tidak memakai seragam tetap saja

suasana sidang layaknya orang dewasa akan

merupakan tekanan bagi anak, oleh karena itu

seharusnya yang dijadikan ukuran adalah

suasana yang nyaman bagi perkembangan

kejiwaan anak.

6. Tidak Ada Batasan Kasus yang Dapat

Diproses Hukum dan Dilakukan

Penahanan Masa penahanan terhadap anak

menurut ketentuan UU No 3 Tahun 1997 Pasal

44 sampai dengan 49 lebih singkat dibanding

penahanan menurut KUHAP.

Tabel 2 : Perbandingan Penahanan Bagi Anak dan Orang Dewasa

Instansi Tingkatan

Proses

Penahanan

Orang Dewasa

(KUHAP)

Penahanan anak

(UU No 3 tahun

1997)

Kepolisian Penyidikan 60 hari 30 hari

Kejaksaan Penuntutan 50 hari 25 hari

Pengadilan Negeri Persidangan 90 hari 30 hari

Pengadilan Tinggi Banding 90 hari 30 hari

Mahkamah Agung Kasasi 110 hari 30 hari

Total 400 hari 145 hari

Penahanan terhadap anak berdasarkan

pasal 44 (6) dilaksanakan di tempat khusus

untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan

Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara atau

di tempat tertentu.

Penerapan penahanan anak harus

berorientasi perlindungan terhadap hak-hak

anak, lagi-lagi kasus Raju hanya gara-gara

berkelahi dengan teman sebaya Raju ditahan

dan dicampur dengan tahanan dewasa. Kasus

ini mencerminkan tidak jelasnya batasan

kasus-kasus yang dapat diproses melalui

pengadilan anak dan tidak. Selain itu tidak ada

batasan kasus yang perlu pelaku dalam hal ini

anak ditahan dan tidak.

Meskipun penahanan terhadap anak

lebih ringan dibandingkan orang dewasa,

harus ada ketentuan tentang batasan kasus

yang perlu ditahan dan yang tidak. Kasus di

Majalengka mengajarkan kepada kita, seorang

anak usia 14 tahun yang ditahan di Polsek

dengan tuduhan mencuri rokok, tewas gantung

diri pada hari pertama ia masuk sel tahanan.

(Pikiran Rakyat, 26/1/2003)

7. Hukuman Bagi Anak Lebih Berorientasi

Pemidanaan Bukan Pemulihan

Hukuman yang dijatuhkan terhadap

anak nakal, menurut pasal 22 – 32 lebih

ringan dari ketentuan yang diatur dalam

KUHP. Hukuman maksimal untuk anak nakal

adalah 10 (sepuluh) tahun.

Penangkapan, penahanan dan

pemenjaraan anak seharusnya menjadi pilihan

terakhir dari aparat penegak hukum terkait,

sebagaimana diamanatkan UU Pengadilan

anak Pasal 22, 23 dan 24. Vonis hakim

seharusnya lebih mengedepankan menjatuhkan

tindakan seperti yang termuat dalam pasal 25

dibandingkan pemidanaan yang dimuat dalam

pasal 23.

Page 7: 5. Sistem Peradilan Anak Di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Haris Retno S Dan Hariyanti

HARIS RETNO SUSMIYATI dan HARIYANTI Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

42

Kasus di Bandung (Pikiran Rakyat

6/11/2001) seorang anak yang lumpuh karena

polio (15 tahun), anak tersebut tidak dapat

berjalan dan hanya dapat bergerak dengan cara

menggeser pantat dengan kedua tangan. Bocah

tersebut bekerja berjualan boneka dan topi di

tepi jalan, sekitar maret 2001 jualannya

ditambah dengan ganja oleh ayahnya, kata

ayahnya hasil dari jualan ganja akan dipakai

untuk biaya operasi bagi anak tersebut. Ketika

tertangkap oleh Pengadilan Negeri Bandung

divonis 2 tahun penjara, karena terbukti

menguasai narkotika golongan I. Sungguh

putusan yang aneh.

Menurut Komisi Perlindungan Anak,

tindakan hukuman terhadap anak seharusnya

tidak hanya melihat aspek keadilan, namun

keputusan peradilan lebih mengedepankan

perlindungan terhadap anak.

C. Restorative Justice Sebagai Alternatif

Penanganan Anak yang Berkonflik

Dengan Hukum Proses peradilan terhadap anak tidak

pernah berdampak baik pada anak karena akan

menimbulkan trauma, stigmatisasi dan resiko

mengalami kekerasan dan eksploitasi. Oleh

karena itu bagi anak diversi atau pengalihan

dari sistem peradilan formal kepada

mekanisme penanganan berbasis keluarga dan

masyarkat adalah langkah yang terbaik.

UNICEF sebuah lembaga dibawah

PBB sedang mengembangkan konsep

Restorative Justice (Keadilan Pemulihan)

sebagai alternatif penanganan anak yang

berkonflik dengan hukum. Konsep ini telah

muncul sejak 20 tahun lalu. Kelompok Kerja

Peradilan anak PBB mendefinisikan Restoratif

justice sebagai suatu proses semua pihak yang

berhubungan dengan tindak pidana tertentu

untuk duduk bersama-sama untuk

memecahkan masalah dan memikirkan

bagaimana mengatasi akibat dimasa yang akan

datang. Proses restorative justice pada

dasarnya dilakukan melalui diskresi

(kebijaksanaan) dan diversi, yaitu pengalihan

dari proses pengadilan pidana keluar proses

formal untuk diselesaikan secara musyawarah

pemulihan. Mediator dalam musyawarah dapat

diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya

dan bila kejadiannya disekolah dapat

dilakukan oleh Kepala Sekolah atau Guru.

(Working Group Restorative Justice LPA

Jabar-UNICEF : http://groups.

yahoo.com/group/majelismuda ).

Syarat utama dari penyelesaian melalui

musyawarah pemulihan adalah adanya

pengakuan dari pelaku serta adanya

persetujuan dari pelaku dan keluarga korban,

untuk menyelesaikan perkara melalui

musyawarah pemulihan. Musyawarah tidak

boleh didasarkan atas paksaan. Apabila pihak-

pihak tidak menghendaki penyelesaian melalui

musyawarah pemulihan, maka proses

peradilan harus berjalan. (Working Group

Restorative Justice LPA Jabar-UNICEF :

http://groups. yahoo.com/group/majelismuda ).

Penerapan restorative justice

diharapkan akan berdampak (Melani:

http://groups.

yahoo.com/group/majelismuda/):

1. Berkurangnya jumlah anak-anak yang

ditangkap, ditahan, dan divonis penjara;

2. Menghapuskan stigma /cap dan

mengembalikan anak menjadi manusia

normal sehingga diharapkan dapat berguna

kelak.

3. Pelaku pidana anak dapat menyadari

kesalahannya sehingga tidak mengulangi

perbuatannya; 4. Mengurangi beban kerja polisi, jaksa,

rutan, pengadilan dan lapas;

5. Menghemat keuangan negara;

6. Tidak menimbulkan dendam karena

pelaku telah dimaafkan oleh korban;

7. Korban dapat cepat mendapat ganti

kerugian;

8. Memberdayakan orang tua dan masyarkat

dalam mengatasi kenakalan anak;

9. Pengintegrasian kembali anak kedalam

masyarakat.

Restorative Justice/keadilan pemulihan

melalui musyawarah. Pemulihan merupakan

alternatif dalam mengatasi masalah anak-anak

yang berkonflik dengan hukum. Dalam konsep

hukum Indonesia upaya musyawarah bukan

hal baru, Hukum Adat Indonesia tidak

membedakan perkara pidana dan perdata,

semua perkara dapat diselesaikan secara

Page 8: 5. Sistem Peradilan Anak Di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Haris Retno S Dan Hariyanti

Vol. 3, No. 1 Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul

43

musyawarah dengan tujuan mendapatkan

keseimbangan atau pemulihan keadaan.

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Indonesia belum meratifikasi instrumen

internasional hak asasi manusia

berkaitan dengan peradilan anak secara

lengkap. Hal ini menyebabkan sistem

peradilan anak yang berlaku di Indoensia

belum sepenuhnya melindungi hak-hak

anak.

2. Beberapa persoalan yang muncul dalam

sistem peradilan anak di Indoensia

diantaranya pemakaian istilah anak

nakal yang kurang melindungi hak anak

karena menimbulkan stigma bagi anak;

pembatasan umur anak yang dapat

dipidana tidak sesuai rekomendasi PBB,

Ketentuan pemeriksaan secara

kekeluargaan dan tertutup tidak

menjamin kenyamanan dan

terlindunginya hak anak; tidak ada

batasan kasus yang dapat diproses

hukum dan kasus yang perlu dan tidak

perlu pelaku ditahan; serta hukuman

bagi anak lebih berorientasi pemidanaan

bukan tindakan pemulihan terhadap

pelaku dan korban.

3. Restorative Justice / Keadilan

Pemulihan di Indonesia diartikan

sebagai musyawarah pemulihan

merupakan salah satu alternatif dalam

mengatasi persoalan anak yang

berkonflik dengan hukum.

B. Saran 1. Pemerintah Indonesia harus segera

meratifikasi instrumen HAM berkaitan

dengan peradilan anak;

2. Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-

undang Nomor 3 tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak agar sejalan dengan

prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia;

3. Perlu uji coba pelaksanaan Restorative

justice sebagai salah satu alternatif

mengatasi masalah anak yang berkonflik

dengan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Abdussalam, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Bandung.

Rover C. de, 2000, To Serve To Protect-Acuan Universal

Penegakan HAM, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Salam Moch. Faisal, 2005, Hukum Acara Peradilan Anak

Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

Gautama Candra, 2000, Konvensi Hak Anak-Panduan Bagi Jurnalis, LSPP, Jakarta.

Kasim Ifdhal, 2001, Hal Sipil dan Politik, ELSAM,

Jakarta.

Prinst Darwan, 2003, Hukum Anak Indonesia, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Hak-hak Anak

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan

Anak

Konvensi tentang Hak-hak anak /Convention on the Rights of the Child (CRC),

Peraturan Standar minimum Perserikatan Bangsa-bangsa

untuk Administrasi Peradilan Anak/ United Nation Standard Minimum Rules for Administration of

Juvenile Deliquency (Beijing rules);

Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pencegahan Pelanggaran hukum Anak / United Nation

Guidelines for The Prevention of Juvenile

Deliquency (Riyadh Guidelines);

Peraturan Perserikatan bangsa-bangsa bagi perlindungan

anak yang dicabut kebebasan mereka United

Nation Standar Rules for The Protection of

Juvenile Desprived of Their Liberty (UNRPJ);

Peraturan Standar Minimum bagi Tindakan non-

Penahanan United Nation Standard Minimum Rules for Non Custodial Measures / (Tokyo-rules).

C. Lain-lain :

http://groups. yahoo.com/group/majelismuda

Pikiran Rakyat 6/11/2001

Pikiran Rakyat, 26/1/2003 Tribun, 15 Maret 2007