5 konflik sumberdaya hutan -...

64
117 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1. Penyebab dan Bentuk Konflik Konflik dalam penguasaan sumberdaya hutan pada dua kawasan konflik yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Hutan Sungai Utik disebabkan karena adanya kebijakan negara tentang tata kelola hutan. Di TNGHS, negara mengeluarkan kebijakan tentang pelestarian hutan, sedangkan di Hutan Sungai Utik, negara mengeluarkan kebijakan pemanfaatan hutan. Konflik ini melibatkan berbagai macam aktor dengan berbagai kepentingan. Di kawasan TNGHS, konflik yang terjadi adalah konflik negara dengan Masyarakat Kasepuhan. Negara dalam arti pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) dalam tataran kebijakan, dan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) dalam tataran praktis pengelolaan hutan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Adapun di Sungai Utik, konflik terjadi antara negara dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Negara dalam arti pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) dan pemerintah daerah (Kabupaten Kapuas Hulu) dalam tataran kebijakan. Kebijakan negara tersebut melahirkan rezim penguasaan hutan pada tataran praktis oleh pengusaha baik pengusaha yang mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) dari pemerintah pusat maupun pengusaha yang mengantongi izin usaha perkebunan (IUP) dari pemerintah daerah. Bentuk konflik pada kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik tersebut berupa konflik laten sampai konflik terbuka. Pada kawasan TNGHS, sebenarnya konflik sudah ada sejak lama, sejak terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan melalui klaim oleh masyarakat dan klaim oleh pihak lain atau Negara Hindia Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun dalam perjalanan sejarah konflik ini timbul tenggelam, kadang muncul ke permukaan menjadi konflik terbuka, kadang hanya sekedar konflik laten yang muncul di ruang wacana, tapi ketika terjadi konsensus maka konflikpun mereda. Dalam kasus Hutan Sungai Utik, telah terjadi konflik fisik antara pihak masyarakat adat dengan pengusaha pemegang IUPHHK yang merupakan representasi negara di kawasan. Konflik ini berujung pada pengusiran secara fisik

Upload: phamtruc

Post on 30-Aug-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

117

5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

5.1. Penyebab dan Bentuk Konflik

Konflik dalam penguasaan sumberdaya hutan pada dua kawasan konflik

yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Hutan Sungai Utik

disebabkan karena adanya kebijakan negara tentang tata kelola hutan. Di TNGHS,

negara mengeluarkan kebijakan tentang pelestarian hutan, sedangkan di Hutan

Sungai Utik, negara mengeluarkan kebijakan pemanfaatan hutan. Konflik ini

melibatkan berbagai macam aktor dengan berbagai kepentingan.

Di kawasan TNGHS, konflik yang terjadi adalah konflik negara dengan

Masyarakat Kasepuhan. Negara dalam arti pemerintah pusat (Departemen

Kehutanan) dalam tataran kebijakan, dan Balai Taman Nasional Gunung Halimun

Salak (BTNGHS) dalam tataran praktis pengelolaan hutan kawasan Taman

Nasional Gunung Halimun Salak. Adapun di Sungai Utik, konflik terjadi antara

negara dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Negara dalam arti pemerintah

pusat (Departemen Kehutanan) dan pemerintah daerah (Kabupaten Kapuas Hulu)

dalam tataran kebijakan. Kebijakan negara tersebut melahirkan rezim penguasaan

hutan pada tataran praktis oleh pengusaha baik pengusaha yang mengantongi izin

usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) dari pemerintah pusat maupun

pengusaha yang mengantongi izin usaha perkebunan (IUP) dari pemerintah

daerah.

Bentuk konflik pada kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik tersebut

berupa konflik laten sampai konflik terbuka. Pada kawasan TNGHS, sebenarnya

konflik sudah ada sejak lama, sejak terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan

melalui klaim oleh masyarakat dan klaim oleh pihak lain atau Negara Hindia

Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun dalam perjalanan sejarah

konflik ini timbul tenggelam, kadang muncul ke permukaan menjadi konflik

terbuka, kadang hanya sekedar konflik laten yang muncul di ruang wacana, tapi

ketika terjadi konsensus maka konflikpun mereda.

Dalam kasus Hutan Sungai Utik, telah terjadi konflik fisik antara pihak

masyarakat adat dengan pengusaha pemegang IUPHHK yang merupakan

representasi negara di kawasan. Konflik ini berujung pada pengusiran secara fisik

Page 2: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

118

termasuk perusakan alat-alat berat dari lokasi yang dilakukan oleh masyarakat

terhadap pengusaha. Namun setelah pengusaha terusir dari lokasi konflikpun

mereda, berubah menjadi konflik laten di ruang wacana.

5.1.a. Kasus Konflik TNGHS: Kebijakan Negara Tentang Pelestarian Hutan

Setelah merdeka, Negara Kesatuan Republik Indonesia mengeluarkan

kebijakan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional

Gunung Halimun Salak di tahun 2003 berdasarkan SK Menteri Kehutanan

No.175/Kpts-II/2003. Taman Nasional Gunung Halimun bergabung dengan

kawasan Gunung Salak di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-

Salak seluas 113.357 hektar (ha). Penggabungan kedua kawasan ini mencakup

pula beberapa kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang sebelumnya

dikelola oleh Perum Perhutani.

Dampak dari penggabungan hutan tersebut menyebabkan masyarakat

kehilangan akses dan berbagai macam haknya. Jika mengacu pada teori property

right dari ostrom dan schlager (1990), dapat dibedakan hak yang dimiliki oleh

masyarakat sebelum dan sesudah tahun 2003, sebagai berikut:

Tabel 9. Hak Masyarakat Kasepuhan Sebelum dan Sesudah Tahun 2003 Tipe hak (right) Sebelum tahun 2003 Sesudah tahun 2003

Access right Ya Tidak (ya tapi terbatas) Withdrawal right Ya Tidak

Management right Ya Tidak

Exclusion right Ya Tidak

Alienation/ diversion right Tidak Tidak

Sejak tahun 2003, masyarakat mulai kehilangan berbagai macam hak, hak

untuk mengelola hutan berdasarkan konsep mereka, hak untuk memanfaatkan

hasil hutan, bahkan terlarang untuk memotong pohon yang pernah mereka tanam

di lahan pekarangan mereka sendiri. Satu-satunya hak yang masih ada adalah hak

akses untuk memasuki kawasan hutan karena beberapa masyarakat terlanjur

bermukim di lokasi tersebut. Dalam kontek ini, kondisi Masyarakat Kasepuhan

menunjukkan bahwa mereka kehilangan berbagai macam hak, walaupun masih

ada akses untuk memasuki kawasan tapi sifatnya sangat terbatas. Ketiadaan hak

(property right) membuat akses juga terbatas. Konflik menjadi tidak terhindarkan

manakala kebijakan perluasan TNGHS tersebut menyebabkan Masyarakat

Page 3: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

119

Kasepuhan kehilangan akses terhadap hutan, bahkan masyarakat kehilangan lahan

garapan mereka yang berada di dalam kawasan hutan taman nasional. Mereka

dilarang untuk mengerjakan lahan pertanian yang sudah lama dimiliki, padahal

hutan merupakan sumber livelihood masyarakat tersebut.

Kebijakan perluasan TNGHS dikeluarkan atas pertimbangan adanya

kerusakan lingkungan di kawasan tersebut. Selama tahun 1998-2001, hutan alam

berkurang 25% atau penurunan sebesar 22 ribu hektar. Penurunan ini diikuti

dengan peningkatan semak-semak, ladang dan lahan matang. Namun ternyata

hilangnya hak akses masyarakat terhadap pengelolaan kawasan hutan, tidak serta

merta memperbaiki kerusakan hutan, bahkan masih terjadi penurunan tutupan

lahan setelah tahun 2003 di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

disertai terjadinya peningkatan pada kawasan ladang, kebun campuran, semak-

semak termasuk lahan terbangun.

Pada tahun 2004-2007 terjadi penurunan tutupan hutan sebesar 2163,65 ha

dan penurunan tutupan semak yang cukup besar yaitu dari 16.386 ha menjadi

7.875,27 ha atau sebesar 8.510,73 ha. Penurunan tutupan hutan dan semak ini

diikuti oleh kenaikan pada tutupan kebun campuran seluas 4275,83 ha, tutupan

ladang sebesar 2.293 ha, tutupan lahan kosong sebesar 2737 ha dan tutupan lahan

terbangun seluas 1970 ha. Selama periode tahun 2007-2008, luas hutan alam di

kawasan TNGHS hanya sedikit mengalami penurunan, yaitu sebesar 0,06% atau

berkurang sebesar 136,44 ha. Namun terjadi kenaikan yang signifikan untuk luas

kebun teh sebesar 1,4%. Kenaikan ini diikuti dengan penurunan luas kebun

campuran sebesar 1,5% dan lahan kosong sebesar 1,32%. Selain itu, luas lahan

terbangun juga mengalami kenaikan sebesar 0,41%. Lebih jelasnya lihat gambar

berikut:

Page 4: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

120

Grafik 1. Kondisi Hutan Selama Tahun 1989-2008 (Sumber: BTNGHS, 2010)

Masyarakat Kasepuhan tidak dapat menerima begitu saja kebijakan negara

tentang perluasan taman nasional. Kebijakan negara tersebut telah menghilangkan

hak akses masyarakat terhadap hutan, termasuk hilangnya akses pada lahan

garapan yang menjadi sumber livelihood mereka. Kondisi-kondisi tersebut

menyebabkan tumbuhnya kesadaran akan kepentingan tujuan bersama di antara

Masyarakat Kasepuhan (kelompok kuasi dalam istilah Dahrendorf). Masyarakat

Kasepuhan yang tadinya merupakan kelompok kuasi bergeser menjadi "kelompok

konflik" yang sesungguhnya. Konflik antara Masyarakat Kasepuhan dan negara

(BTNGHS) pun menjadi tidak terhindarkan.

Salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan Masyarakat Kasepuhan

adalah tidak mengindahkannya perintah negara untuk penghentian aktivitas di

dalam kawasan TNGHS. Rahmawati et al. (2008) menyebutkan bahwa penolakan

masyarakat terhadap perluasan TNGHS pada awalnya melahirkan tindakan

anarkis berupa pengrusakan beberapa fasilitas di TNGHS oleh masyarakat yang

terjadi pada tahun 2003. Camat Cisolok kemudian memfasilitasi penyelesaian

konflik tersebut dengan memediasi pertemuan antara masyarakat dengan pihak

pengelola kawasan (BTNGHS). Hasil penting dari pertemuan tersebut adalah

penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan yang berjanji

akan merevisi peta kawasan. Meskipun sudah dicapai kesepakatan untuk meninjau

ulang peta kawasan namun kesepakatan itu tidak dilaksanakan oleh pihak

pengelola kawasan. Kegagalan negosiasi yang difasilitasi oleh camat tersebut

semakin memojokkan kondisi Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat berusaha

melawan dengan tidak mengindahkan larangan untuk melakukan aktivitas di

0.00

10,000.00

20,000.00

30,000.00

40,000.00

50,000.00

60,000.00

70,000.00

80,000.00

90,000.00

1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1997 1998 2001 2003 2004 2007 2008

TAHUN

LU

AS

TU

TU

PA

N (

HA

)

Hutan

Hutan tanaman

Kebun campuran

Kebun karet

Kebun teh

Semak

Rumput

Sawah

Ladang

Lahan kosong

Lahan terbangun

Badan air

Page 5: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

121

dalam kawasan. Kondisi ini kemudian melahirkan bentrokan antara masyarakat

dengan pihak BTNGHS pada tahun 2005. Konflik ini bermula dari penangkapan

terhadap warga yang mengambil kayu di dalam kawasan oleh pihak BTNGHS.

Alasan penangkapan adalah warga tersebut tidak memiliki surat izin tebang (SIT),

sedangkan menurut warga, mereka menebang pohon yang dulu mereka tanam

sendiri. Konflik ini akhirnya dapat diselesaikan oleh Kepala Desa Sirna Resmi,

namun warga yang menebang pohon di kawasan tersebut tetap dipenjara.

Dengan melihat kasus di atas menunjukkan bahwa konflik terjadi karena ada

pemaknaan yang berbeda atas sumberdaya hutan antara negara dan masyarakat

adat. Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 24, bahwa

pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali

pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.

Menurut UU tersebut bahwa pemanfaatan hutan tidak dapat dilakukan pada

kawasan taman nasional khsusnya zona inti dan zona rimba. Sementara dalam

konsep Masyarakat Kasepuhan, bahwa dalam pengelolaan hutan memberi ruang

bagi masyarakat adat untuk melakukan aktivitas pengelolaan lahan garapan

sebagai sumber livelihood mereka. Perbedaan pemaknaan terhadap hutan tersebut

membuat terjadinya perbedaan perlakuan terhadap hutan. Hal tersebut menjadi

masalah ketika ada tumpang tindih klaim atas kawasan tersebut.

Dari beberapa fakta konflik di kawasan TNGHS, diketahui bahwa kekalahan

masyarakat dalam beberapa kejadian tersebut menunjukkan bahwa posisi

Masyarakat Kasepuhan sebagai pihak yang tersubordinasi sementara negara pusat

(BTNGHS) sebagai pihak yang superordinat. Melalui kebijakan perluasan taman

nasional atas nama pelestarian lingkungan inilah negara menguasai

(menundukkan) Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat dipaksa untuk menerima

kebijakan negara atas alasan keselamatan lingkungan (biodiversity). Sekarang ini,

konflik di TNGHS memasuki babak “konflik laten” di ruang wacana, dimana

proses negosiasi sedang dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang dapat

memberikan keputusan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Hanya saja

konsensus tersebut belum dicapai.

Page 6: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

122

5.1.b. Kasus Konflik Hutan Sungai Utik: Kebijakan Negara tentang

Pemanfaatan Hutan

Konflik di Sungai Utik melibatkan banyak pihak. Ada konflik antara negara

(pemerintah pusat) dengan masyarakat adat, konflik ini terjadi karena adanya

kebijakan negara dalam pemanfaatan kawasan hutan. Negara dengan

kebijakannya telah memberikan izin IUPHHK kepada pengusaha untuk

memanfaatkan hutan. Konflik terjadi karena kebijakan negara tentang IUPHHK

tersebut telah mengabaikan status kepemilikan hutan adat yang diklaim oleh

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik.

Tahun 1984 pertama kalinya negara menerbitkan IUPHHK pada kawasan

Sungai Utik. Dalam konflik antara Masyarakat Dayak Iban dan negara, ada masa-

masa dimana konflik sangat memanas menjadi konflik terbuka, tetapi ada masa-

masa dimana konflik tidak kentara seakan-akan tidak pernah ada konflik. Konflik

pada Masyarakat Dayak Iban datang dan timbul, memanas kemudian mengalami

fase dingin (seperti virus dorman yang tidur menunggu waktu yang tepat untuk

bangun), suatu hari kembali bangun dan memanas. Sebagai bukti, tahun 1984

negara mengeluarkan IUPHHK untuk PT. BI, masyarakat melawan kebijakan

negara tersebut dengan cara memerangi perusahaan yang datang ke lokasi. Negara

dan perusahaan pergi dari lokasi, suasana kembali tenang, tidak ada aktivitas

perusahaan di lokasi tetapi izin tidak pernah dicabut.

Konflik kembali muncul ketika di tahun 1997 negara mengeluarkan kembali

IUPHHK untuk PT. BRU. Akibat dari aksi negara tersebut, PT. BRU sempat

beroperasi selama 1 (satu) tahun di kawasan Mungguk. Konflik terbuka antara

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan PT. BRU terjadi pada tahun 1997-1998,

dipicu ketika PT. BRU yang telah habis masa rencana kerja tahunan (RKT) masih

melakukan pencurian kayu (menurut versi Masyarakat Dayak Iban) di wilayah

Sungai Utik dan di luar areal RKT kawasan hutan Dusun Mungguk. Pihak

perusahaan menutup jalan-jalan menuju areal yang ditebang sehingga aktivitas

penebangan tersebut tidak diketahui oleh Departemen Kehutanan dan masyarakat

adat. Saat mengetahui hal itu, Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan

Masyarakat Mungguk memeriksa areal penebangan, lalu melapor ke Dinas

Kehutanan. Masyarakat dari Kampung Sungai Utik dan Mungguk melakukan

Page 7: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

123

tuntutan ganti kerugian. Perusahaan memenuhi tuntutan dengan 1 mesin listrik 0,5

KVA serta pemberian fee kepada tokoh-tokoh kampung sesuai dengan

jabatannya. Temenggung dan Kepala Desa memperoleh Rp. 25.000/bulan,

sedangkan Kepala Dusun memperoleh Rp. 15.000/bulan selama perusahaan

bekerja (berlaku surut). Setelah Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan

Masyarakat Mungguk serta Ketemenggungan Jalai Lintang berhasil mengusir PT.

BRU, menyita alat-alat berat dan menghukum denda PT. BRU, konflik ditingkat

grassrootpun mereda. Sementara, kerugian yang dialami masyarakat adalah

kehilangan kayu mencapai 20.000 batang terdiri dari; Meranti, Jelutung,

Merebang, Sempetir, Bantas dan Temau.

Konflik muncul kembali di tahun 2004 ketika negara menerbitkan IUPHHK

bagi PT. BRW berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 268/Menhut-II/2004

jangka waktu 45 tahun pola tebang pilih tanam Indonesia (TPTI) dengan luas

areal 110.500 ha. Menanggapi keputusan negara masyarakatpun tidak tinggal

diam, mengusir PT. BRW dari lokasi, menyita alat-alat berat milik PT. BRW dan

menjaga kawasan hutan sehingga PT. BRW tidak pernah aktif untuk menjalankan

izin usahanya.

Dalam perjuangannya mempertahankan hak penguasaan atas kawasan

Hutan Sungai Utik, Masyarakat Dayak Iban menggunakan kekuatan fisik untuk

mengusir pengusaha dan mempertahankan otoritasnya atas pengelolaan kawasan

Hutan Sungai Utik. Dalam konflik fisik tersebut masyarakat berhasil mengusir

pengusaha dari lokasi kawasan hutan. Sementara negara selaku pemegang

legalitas atas kawasan hutan tersebut juga tidak melakukan usaha represif untuk

menunjukkan kekuasaannya, namun negara juga tidak pernah mencabut

IUPHHKnya. Kekuasaan negara seakan-akan tidur, potensi konflik melemah,

masyarakat dibiarkan mendapatkan hak akses atas hutannya, namun tidak pernah

ada pengakuan dari negara atas hak kelola adat, izin IUPHHK juga tidak dicabut.

Konflik memasuki babak baru sebagai konflik laten di ruang wacana.

Jika melihat kasus Sungai Utik, maka sekalipun secara formal Masyarakat

Dayak Iban Sungai Utik tidak memiliki property right menurut konsep negara,

namun mereka memiliki akses terhadap kawasan tersebut termasuk mempunyai

semua hak: akses, withdrawal, management, exclusion dan hak alienasi. Sebelum

Page 8: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

124

maupun sesudah terbitnya kebijakan negara, baik kebijakan pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah terhadap kawasan tersebut, Masyarakat Dayak Iban

Sungai Utik tetap memiliki hak dan akses yang sama.

Sekalipun dalam prakteknya mereka memiliki akses terhadap sumberdaya

hutan, artinya mereka mempunyai kemampan untuk mengambil keuntungan dari

sumberdaya Hutan Sungai Utik, ketiadaan pengakuan negara atas hak masyarakat

tersebut tidak membuat masyarakat hidup tenang. Masyarakat masih diliputi

kecemasan, apalagi izin IUPHHK untuk PT. BRW belum dicabut sampai saat ini,

bahkan jikapun suatu hari dicabut, masyarakat tetap belum bisa hidup tenang,

karena ada ketakutan di kalangan masyarakat bahwa negara akan kembali

menerbitkan izin IUPHHK untuk perusahaan lain.

Berdasarkan apa yang disampaikan oleh tuai rumah tersebut, maka

sekalipun menurut Ribot dan Peluso (2003) akses membuat masyarakat dapat

memperoleh manfaat atas sesuatu dalam hal ini sumberdaya, namun tanpa ada hak

property, maka akses itu tidak memberikan ketenangan hidup. Apa yang

diperjuangakan oleh Masyarakat Dayak Iban adalah hak (right), bukan hanya

akses. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa right itu lebih penting daripada

akses, karena right dapat menjamin kelangsungan akses.

Sejarah membuktikan konflik selalu berulang menjadi konflik terbuka,

kemudian padam, menjadi konflik laten sampai suasana menjadi dingin dan

terlupakan, pada saat itulah kembali negara mengeluarkan kebijakannya, konflik

berulang dan seterusnya. Konflik mereda namun bersifat laten, seperti orang yang

sedang tidur, namun suatu ketika konflik akan muncul kembali. Jika mengacu

pada apa yang dikemukakan oleh Dahrendorf, bahwa konflik pada kawasan

Sungai Utik ini merupakan konflik otoritas, dimana polarisasi yang terus menerus

Seperti yang dikemukakan oleh Apai janggut (Tuai Rumah Sungai Utik): “Sekalipun suatu hari izin tersebut dicabut, namun dikawatirkan pemerintah pusat akan selalu mengeluarkan izin baru bagi perusahaan baru. Buktinya waktu tahun 1984 pemerintah mengeluarkan izin untuk PT BI, kemudian kami mengusirnya, PT BI keluar dari lokasi, kemudian setelah sekian lama izinnya dicabut tapi di tahun 1997 pemerintah mengeluarkan izin untuk PT BRU, dan di tahun 2004, pemerintah mengeluarkan izin lagi buat PT BRW. Selama hutan ini belum diakui sebagai hutan adat, maka selama itu pula percobaan untuk mengambil alih hutan oleh negara akan selalu dilakukan. Oleh karena itu tuntutan kami adalah mendapat pengakuan sebagai hutan adat”

Page 9: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

125

ke dalam dua kelompok kepentingan untuk perebutan otoritas atas penguasaan

sumberdaya Hutan Sungai Utik menjadi sebuah realitas sosial yang menandai

siklus konflik otoritas di Hutan Sungai Utik.

Dalam vis a vis dengan negara, negara memegang otoritas secara formal,

sementara masyarakat mempunyai otoritas kewenangan tradisional. Masyarakat

sebetulnya tidak punya otoritas dan berjuang untuk memperoleh otoritas. Dalam

perjuangan untuk mendapatkan otoritas pengelolaan sumberdaya hutan ini,

masyarakat bisa dikatakan menang sementara karena tetap memegang otoritas

mengelola secara adat, meskipun secara formal belum menang karena belum ada

pengakuan formal.

Konflik sumberdaya hutan di Kalimantan Barat tersebut masih akan terus

berlangsung, mengingat Hutan Kalimantan Barat masih menjadi incaran sebagai

pendapatan negara disektor kehutanan. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan

Republik Indonesia Nomor: SK.266/Menhut-II/2012 tentang Penetapan Daerah

Penghasil dan Dasar Penghitungan Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam Sektor

Kehutanan Untuk Tahun 2012 disebutkan bahwa daerah penghasil sumberdaya

alam sektor kehutanan ditetapkan kembali berdasarkan rencana produksi hasil

hutan di daerah yang bersangkutan dengan perhitungan penerimaan provisi

sumberdaya hutan (PSDH), dana reboisasi (DR), dan iuran izin usaha

pemanfaatan hutan (IIUPH) tahun 2012. Selanjutnya disebutkan penghitungan

penerimaan daerah penghasil sumberdaya alam sektor kehutanan adalah: a.

Perkiraan penerimaan PSDH, dihitung dari target produksi hasil hutan kayu dan

bukan kayu dikalikan tarif PSDH yang berlaku dikalikan harga patokan. b.

Perkiraan penerimaan DR, dihitung dari target produksi hasil hutan kayu dikalikan

tarif DR yang berlaku. c. Efektivitas penerimaan PSDH dan DR diasumsikan

sebesar 95 % (sembilan puluh lima) perseratus. Penyaluran dana bagi hasil bagi

daerah penghasil sumberdaya alam sektor kehutanan berdasarkan realisasi setoran

penerimaan PSDH dan DR dari masing-masing daerah penghasil ke pemerintah

u.p. Kementerian Kehutanan yang selanjutnya disetor ke kas negara. Dalam

lampiran Keputusan tersebut diperoleh angka target pendapatan untuk Kabupaten

Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, bahwa pendapatan dari PSDH sebesar

Rp. 9.113.156.058,13; pendapatan dari DR sebesar Rp. 19.976.713.178,52 dan

Page 10: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

126

pendapatan dari IIUPH sebesar Rp. 1.176.350.000,00. Keberadaan SK Menteri

Kehutanan tersebut memberi makna bahwa konflik sumberdaya hutan di

Kalimantan Barat masih akan terjadi dan terus berlangsung, menempatkan

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dalam kondisi cemas sebagai kelompok

konflik yang subordinat.

Ancaman lain atas keberadaan Hutan Sungai Utik ini, yaitu diterbitkannya

izin usaha perkebunan (IUP). IUP tersebut diterbitkan untuk PT. MKA, PT.

BSA, PT. RU, PT. BTJ dalam jangka waktu 20 tahun yang lokasinya tumpang

tindih dengan IUPHHK PT. BRW. Penerbitan izin usaha perkebunan (IUP) PT.

RU untuk perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010

tentang Izin Lokasi Untuk Perkebunan Karet Seluas 14.000 Ha di Kecamatan

Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, telah dirubah peruntukannya

menjadi sawit dengan Surat Bupati Nomor 525/032/DKH/Bpt-A tentang

Persetujuan IUP Perubahan Dari Karet Menjadi Kelapa Sawit, tertanggal 10

januari 2011.

PT. RU telah melakukan analisa dampak lingkungan (amdal) dan mencoba

sosialisasi pada Masyarakat Embaloh Hulu, namun masyarakat menolak sawit.

Perjuangan penolakan sawit ini masih terus dilakukan. Sungai Utik kemungkinan

dikeluarkan dari sasaran sebagai lokasi perkebunan sawit karena memiliki

sertifikat ekolabel dari lembaga ekolabel Indonesia dengan nomor certificate

08/SCBFM/005 yang diberikan untuk pengelolaan hutan oleh rumah panjae

Menua Sungai Utik (forest management unit of rumah panjae Menua Sungai

Utik), dalam lingkup “Sustainable Community Based Forest Management

(SCBFM) unit with an area of 9.453,40 hectares”; dan termasuk desa yang

mendapat penghargaan sebagai “Desa Perduli Hutan”, walaupun sebenarnya

secara kebijakan, Hutan Sungai Utik masuk dalam peta kawasan IUP tersebut.

Dari fakta di atas terlihat bahwa konflik di Sungai Utik melibatkan banyak

pihak, yaitu: negara pusat (pemerintah pusat/ Departemen Kehutanan),

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, negara lokal (pemerintah daerah), pengusaha

yang berafiliasi dengan pemerintah pusat dan pengusaha yang berafiliasi dengan

pemerintah daerah. Selain itu, diluar lingkaran konflik ada LSM yang membantu

Masyarakat Dayak Iban dalam menghadapi negara, memperjuangkan kepentingan

Page 11: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

127

dan hak masyarakat. Konflik sumberdaya hutan tersebut terjadi karena perbedaan

pemaknaan terhadap hutan dan tumpang tindih kebijakan dan klaim penguasaan

atas kawasan hutan.

5.2. Jenis Konflik: Pemaknaan, Tenurial, Authority dan Livelihood

5.2.a. Konflik Pemaknaan

Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik dapat

dipahami sebagai konflik pemaknaan. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan

pandangan terhadap fungsi hutan antara masyarakat adat dan negara. Perbedaan

pemaknaan tersebut dilatar-belakangi adanya perbedaan pengetahuan tentang tata

kelola hutan, relasi manusia dengan alam (hutan) dan bagaimana manusia

memperlakukan alam, baik dalam hal pengelolaan maupun pemanfatan hutan.

Pengetahuan masyarakat adat, baik Masyarakat Kasepuhan maupun Dayak Iban

Sungai Utik bersumber dari tradisi budaya berdasarkan aspek historis yang

diturunkan secara turun temurun berbenturan dengan konsep pengetahuan ilmiah

negara yang mendasari kebijakan negara dalam pengelolaan hutan.

Masyarakat Kasepuhan memaknai hutan sebagai tempat hidup berbagai

makhluk hidup, bukan hanya manusia, tetapi juga ada banyak binatang, tumbuhan

dan tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Hutan bagi Masyarakat

Kasepuhan memiliki fungsi dan makna yang sangat berarti bagi seluruh makhluk

hidup. Keberadaanya harus dapat menjamin keteraturan dan keseimbangan

kehidupan seluruh makhluk hidup. Pemaknaan tersebut ditopang dengan adanya

sejumlah aturan untuk tidak menggunakan zat-zat kimia yang dapat membunuh

keberadaan makhluk lain (binatang), sekalipun binatang tersebut merupakan hama

perusak bagi tanaman mereka. Oleh karena itu dalam konsep Masyarakat

Kasepuhan, manusia memiliki kewajiban untuk memelihara dan melestarikan

hutan. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kusnaka Adimiharja (1989),

bahwa di kalangan warga Kasepuhan, terdapat pandangan bahwa alam semesta itu

sebagai suatu sistem yang teratur dan seimbang. Alam semesta akan tetap ada

selama elemen-elemennya masih terlihat dan terkontrol oleh hukum keteraturan

dan keseimbangan yang dikendalikan oleh pusat kosmiknya.

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memandang hutan memiliki banyak

makna sesuai fungsi dari hutan tersebut. Makna dari hutan tersebut diwujudkan

Page 12: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

128

dalam bentuk pemaknaan tempat didalam hutan sesuai dengan fungsinya.

Masyarakat Dayak Iban memandang hutan sebagai sebuah kawasan yang tidak

hanya terdiri dari vegetasi tumbuhan kayu melainkan juga hutan memiliki fungsi

sebagai sumber air, sumber makanan dan tempat dimana mereka dapat bertapa

untuk mendekatkan diri pada “betara” sang penguasa hutan dan alam semesta.

Selanjutnya hutan bagi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik adalah kekayaan

masyarakat. Hutan Sungai Utik merupakan hutan primer yang masih banyak

kayu-kayu berdiameter besar, bukan hanya di hutan simpan, kayu-kayu dengan

diameter lebih dari satu meter juga terdapat di lahan garapan masyarakat. Hutan

ini nantinya akan diwariskan kepada anak-cucu Masyarakat Dayak Iban Sungai

Utik, sebagaimana dikemukakan oleh Ape Janggut bahwa: “Meskipun tidak

mempunyai harta/ materi yang banyak, tapi kami akan mewariskan hijaunya hutan

kepada anak cucu nantinya. Kami mempertahankan hutan karena kami tidak ingin

kelak anak-cucu kami tidak tahu apa-apa”.

Dalam sistem pengelolaan kawasan, baik Masyarakat Kasepuhan maupun

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki pengetahuan, nilai-nilai budaya dan

tradisi yang khas yang selama bertahun-tahun secara turun temurun telah

digunakan untuk mengatur dan mengelola kawasan hutan berdasarkan

pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tentang tata kelola hutan yang mereka

bagi dalam beberapa zona. Masyarakat Kasepuhan membaginya dalam 4

wewengkon, yaitu: leuweung titipan, leuweung tutupan, leuweung cawisan dan

leuweung garapan. Sedangkan Masyarakat Dayak Iban membaginya dalam tiga

kampong yaitu kampong taroh, kampong galao, dan kampong endor kerja. Sistem

pengelolaan tersebut berdasarkan atas fungsi dari masing-masing kawasan,

sebagai wilayah lindung (keramat); bertani (ladang); berkebun, dan berdasarkan

pada peruntukan yaitu berburu, meramu dan mengambil manfaat tanaman obat-

obatan. Tata kelola hutan dalam konsep masyarakat adat tersebut bukan hanya

sekedar konsep zonasi, namun merupakan sistem pengetahuan karena basis dari

pengetahuan masyarakat tersebut adalah sejarah.

Adapun pemaknaan hutan menurut negara dipengaruhi oleh sistem

pengetahuan negara yang bersumber dari pengetahuan ilmiah (scientific

knowledge). Peraturan perundang-undangan adalah wujud dari pengetahuan

Page 13: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

129

ilmiah. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya

Alam Hayati Dan Ekosistemnya, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan

pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi

yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Sementara itu, berdasarkan

UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 28 bahwa (1) pemanfaatan hutan produksi dapat

berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil

hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

(2) pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha

pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha

pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu,

izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang

Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi Pasal 1,

bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi

hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya

untuk pembangunan, industri dan eksport.

Selanjutnya dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.18/Menhut-II/2004 disebutkan bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan

yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Kawasan hutan

produksi adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh

pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap yang

mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Lebih lanjut, untuk

memperoleh izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dengan

kegiatan restorasi ekosistem perlu adanya kriteria kawasan hutan produksi yang

dapat diberikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dengan

kegiatan restorasi ekosistem.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, diketahui bahwa negara

memaknai hutan sebagai sumber ekonomi, sementara itu masyarakat memaknai

hutan sebagai ruang kehidupan. Pengetahuan memberi kekuasaan kepada para

pihak untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya hutan. Pemaknaan dari

negara atas hutan cenderung mendominasi pemaknaan masyarakat atas hutan,

Page 14: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

130

karena negara memainkan UU sebagai alat kekuasaan, sementara masyarakat

dipaksa untuk mematuhi aturan yang datang dari negara sebagai konsekuensi

warga negara Indonesia.

Baik tentang konservasi hutan maupun pemanfaatan hutan, pengetahuan

negara didukung oleh kekuatan kekuasaan politik dan kelembagaan yang secara

legitimasi memberikan kekuatan kepada negara untuk mempengaruhi bahkan

mendominasi sistem pengetahuan tradisional yang dianut oleh masyarakat adat.

Dominasi sistem pengetahuan negara atas masyarakat adat melahirkan perilaku

perlawanan dari masyarakat melalui perjuangan di ruang pengetahuan, antara lain

pada arena seminar, pertemuan ilmiah, negosiasi dan kesepakatan-kesepakatan

yang dibangun. Dalam konteks seperti ini, maka pendekatan Foucault digunakan

untuk melihat bagaimana konstelasi kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan

hutan dimainkan, dimana pengetahuan dipandang sebagai kekuasaan. Melalui

politik mikro kekuasaan, dapat dilihat bagaimana negara dengan pengetahuan

modern berusaha mengkooptasi pengetahuan masyarakat dan meyakinkan

masyarakat bahwa pengetahuan negara mampu menjawab berbagai permasalahan

di sekitar hutan, melalui kelembagaan negara dan berbagai ruang komunikasi

yang telah diintroduksir kepada masyarakat adat.

5.2.b. Konflik Tenurial

Pengetahuan dan pemaknaan atas tata kelola hutan di dua kawasan hutan

(TNGHS dan Hutan Sungai Utik) melahirkan klaim penguasaan atas hutan. Klaim

atas penguasaan lahan inilah yang melahirkan konflik tenurial, yaitu konflik atas

tanah, dimana tanah (termasuk konsesi, perkebunan, kawasan lindung, kawasan

masyarakat subsisten) selalu menemukan diri mereka dalam situasi konflik atas

penguasaan tanah dan sumberdaya hutan. Konflik tenurial dalam kawasan hutan

selama ini terjadi akibat adanya klaim penguasaan lahan oleh negara dan

masyarakat. Klaim penguasaan lahan oleh negara didasarkan atas peraturan

perundang-undangan, sedangkan masyarakat adat mengklaim penguasaan lahan/

hutan berdasarkan hukum adat/ ulayat.

Dalam konsep negara, adanya dualisme system pertanahan yaitu system

pertanahan yang diatur dalam UU Agraria dan dalam UU Kehutanan. Tanah

dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal

Page 15: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

131

33 Ayat (3) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Undang-undang tersebut memberi makna bahwa tanah dan

kekayaan di dalamnya adalah dalam penguasaan negara.

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria Pasal 4 Ayat (1) bahwa atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan

adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat

diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-

sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. (2) hak-hak atas tanah

yang dimaksud memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang

bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya,

sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan

penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan

peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam pasal 5

disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa

ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan

negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia

serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan

dengan peraturan-perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan

unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Sementara itu, dalalm UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 4

Ayat (1), bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam Pasal 4 Ayat (3), bahwa

penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,

sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa

hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: hutan negara, dan hutan hak. Hutan

negara dapat berupa hutan adat, dimana hutan adat ditetapkan sepanjang menurut

kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui

keberadaannya. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang

Page 16: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

132

bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada

pemerintah.

Dualisme system pertanahan menurut UUPA dan menurut UU Kehutanan

ini memberikan hak penguasaan atas tanah kawasan hutan pada sistem

penguasaan lahan menurut negara (pemerintah) dan masyarakat adat. Namun

demikian disebutkan bahwa hak penguasaan oleh masyarakat adat tersebut diakui

selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara dan selama

masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya

Faktanya, pada kawasan hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, berlaku

dua sistem penguasaan lahan, yaitu sistem penguasaan lahan menurut negara dan

masyarakat. Secara de jure kawasan hutan berada dalam penguasaan negara,

namun secara de facto dikuasai oleh masyarakat yang secara turun temurun

tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Klaim wilayah

menurut masyarakat adat ditentukan berdasarkan aspek historis, sebagai berikut:

Matrik 2. Klaim Wilayah Menurut Masyarakat Adat Kasepuhan dan Dayak Iban

Sungai Utik

TNGHS Sungai Utik Aktor lokal Masyarakat Kasepuhan Masyarakat Dayak Iban Sungai

Utik Lamanya tinggal di kawasan

Sejak 634 tahun yang lalu

Sejak 1972

Penanda klaim atas wilayah adat

Makam keramat nenek moyang

Tembawai (bekas rumah panjang)

Penanda klaim atas kepemilikan individual

Ladang dan bekas bukaan ladang

Ladang dan bekas bukaan ladang/ ladang yang ditinggalkan (damun)

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa Masyarakat Kasepuhan sudah ada

di lokasi sejak 634 tahun yang lalu sejak perpindahan pertama komunitas

Kasepuhan dari jasinga ke bogor. Adapun sejarah penguasaan wilayah Sungai

Utik oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik relatif masih baru sejak 1972.

Sebelumnya suku Dayak Iban tersebut berasal dari Lanjak tahun 1800-an, tercatat

ada 12 tembawai (bekas rumah panjang) sebelum sampai di Dusun Sungai Utik.

Sebelum tahun 1972, wilayah Sungai Utik dikuasai oleh Dayak Embaloh,

selanjutnya wilayah tersebut diberikan dari Suku Embaloh kepada Dayak Iban

dengan sebuah perjanjian adat (lihat bab 4).

Page 17: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

133

Dalam kepemilikan tanah menurut adat, ada yang disebut kepemilikan

kolektif, ada kepemilikan individu. Kepemilikan kolektif adalah kepemilikan adat,

yaitu apa yang disebut sebagai kepemilikan adat atau tanah ulayat. Adapun

kepemilikan individu ini baik di Masyarakat Kasepuhan maupun pada Masyarakat

Dayak Iban Sungai Utik ditandai dengan bekas ladang. Orang yang pertama kali

membuka ladang, maka dialah yang akan menjadi pemilik lahan tersebut. Bekas

ladang dalam istilah Dayak Iban disebut “damun”. Baik kepemilikan kolektif

maupun kepemilikan individu, tanah tersebut disebut tanah adat atau tanah dalam

penguasaan adat.

Masalahnya klaim tanah oleh masyarakat adat tersebut tidak memiliki bukti

hitam diatas putih (sertifikat), melainkan hanya aspek kesejarahan. Klaim tersebut

akan berbenturan dengan klaim oleh negara selaku penguasa seluruh tanah

berdasarkan peraturan perundang-undangan negara. Berdasarkan UUPA Pasal 19

Ayat (1), bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan

pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-

ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Hal tersebut bermakna bahwa

semua tanah harus terdaftar. Tanah tanpa judul diasumsikan milik negara

(MacAndrews, 1986). Artinya bahwa tanah tanpa sertifikat diakui sebagai tanah

negara.

Dengan demikian, konflik sumberdaya hutan pada TNGHS dan Hutan

Sungai Utik menunjukkan adanya konflik atas tanah dan sumberdaya hutan

dimana masing-masing pihak mengklaim bahwa tanah dan sumberdaya hutan

tersebut merupakan miliknya. Negara mengklaim bahwa kawasan hutan tersebut

sebagai hutan negara, TNGHS sebagai hutan konservasi sedangkan Hutan Sungai

Utik sebagai hutan produksi. Adapun masyarakat adat juga mengklaim bahwa

kawasan tersebut sebagai kawasan hutan adat. Oleh karena itu, konflik pada

Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dapat disebut

juga sebagai konflik tenurial.

Konflik tenurial ini terjadi berawal dari adanya politik teritorialisasi.

Melalui perspektif historis dapat dijelaskan teritorialisasi kawasan hutan yang

bermula dari sistem lokal yang dijalankan masyarakat hingga masuknya politik

teritorialisasi yang diperkenalkan pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia

Page 18: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

134

merdeka. Realitas konflik sumberdaya hutan sebagai politik teritorialisasi pernah

dikemukakan juga oleh Maring (2010) dalam melihat masyarakat sekitar Gunung

Noge. Sama halnya dengan apa yang terjadi di Masyarakat Lerokloang Flores

NTT (Maring, 2010), bahwa sistem teritorialisasi yang dijalankan Masyarakat

Kasepuhan di TNGHS dan Masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik bisa dilihat

dalam dua hal, yaitu sejarah teritorialisasi sistem penguasaan tanah dan

teritorialisasi penguasaan atau pemanfaatan sumberdaya alam.

Matrik 3. Teritorialisasi Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban

Sungai Utik TNGHS Sungai Utik Sistem penguasaan tanah

Sistem penguasaan tanah adat dan penguasaan individu.

Sistem penguasaan tanah adat dan penguasaan individu.

Pemanfaatan sumberdaya alam

Melalui konsep zonasi menurut adat

Melalui konsep zonasi menurut adat

Berdasarkan tabel di atas, bahwa sistem penguasaan tanah pada Masyarakat

Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik terdiri atas dua sistem

penguasaan tanah yaitu penguasaan tanah adat dan penguasaan tanah individu.

Adapun sistem pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan melalui konsep zonasi

menurut adat. Masyarakat Kasepuhan membagi hutan ke dalam 4 wewengkon

(zonasi) yaitu leuweung titipan, leuweung tutupan, leuweung cawisan dan

leuweung garapan, sedangkan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik membagi

hutan kedalam 3 kawasan yaitu kampong taroh, kampong galao dan kampong

endor kerja. Setiap zona tersebut mencerminkan adanya hak, kewajiban dan

larangan yang harus dipatuhi oleh masyarakat.

Adapun hak yang dimiliki masyarakat dapat didentifikasi sebagai berikut:

hak penggunaan kawasan baik untuk nilai ekonomi langsung maupun tidak

langsung; hak meminjamkan atau mengalihkan kepemilikan; mekanisme kontrol

atas penggunaan hak; kewajiban dan larangan bagi setiap individu yang terikat

atas hak tersebut; dan simbol-simbol adat yang menandai adanya kepemilikan atas

sumberdaya hutan. Dikedua masyarakat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban

Sungai Utik memperlihatkan bahwa hak kepemilikan tidak didasarkan atas

pemberian negara atau dokumentasi formal, namun lebih memperlihatkan suatu

perkembangan dinamis di tingkat lokal. Bagaimana masyarakat sepanjang sejarah

Page 19: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

135

penguasaan atas tanah dan sumberdaya hutan tersebut mengembangkan

pengetahuan dan norma-norma yang memberi hak, kewajiban dan larangan bagi

masyarakatnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.

Bila dilihat dari aspek kesejarahan, dapat dikemukakan bahwa dalam sejarah

TNGHS, terjadi beberapa kali tumpang tindih klaim pengusaan tanah oleh

pemerintah dari mulai Zaman Hindia Belanda sampai masa Indonesia merdeka,

dengan klaim oleh Masyarakat Adat Kasepuhan. Pengalaman pada Masyarakat

Kasepuhan menunjukkan bahwa sejak masa penjajahan telah terjadi perampasan

tanah-tanah masyarakat untuk kepentingan negara. Selanjutnya negara membatasi

ruang gerak masyarakat dengan menyediakan tanah-tanah yang diperuntukkan

untuk huma, namun dalam statusnya tanah tersebut merupakan tanah negara.

(lihat Zwart, 1924: 33, Thieme, 1920 dalam Galudra et al., 2005).

Beberapa kali Masyarakat Kasepuhan kehilangan hak atas tanah. Sampai

pada akhirnya di tahun 1957, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No.

64 Tahun 1957 tentang Penyerahan Sebagian dari Urusan Pemerintah Pusat

Dilapangan Perikanan Laut, Kehutanan dan Karet Rakyat Kepada Daerah-Daerah

Swatantra Tingkat I, yang menyebutkan bahwa kegiatan pengelolaan hutan serta

eksploitasinya, terutama di Jawa dan Madura, diserahkan kepada Pemerintah

Daerah Swatantra. Selanjutnya dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 64

Tahun 1957 disebutkan bahwa pemerintah daerah mengatur pemberian izin

kepada penduduk yang tinggal di sekitar hutan yang bersangkutan untuk

mengambil kayu dan hasil hutan lainnya untuk dipergunakan sendiri oleh

penduduk termaksud. Berdasarkan PP tersebut, maka pada masa ini negara

(pemerintah daerah) mengizinkan masyarakat lokal melakukan aktivitas di

kawasan Gunung Halimun Salak, dengan mewajibkan masyarakat tersebut

memberikan sebagian hasil panennya (kabubusuk) kepada pemerintah daerah.

Keputusan pemerintah daerah tersebut menandai adanya kesepakatan antara

pemerintah (negara) dengan masyarakat, dimana masyarakat mengakui adanya

“right” negara di kawasan tersebut, namun mereka pun memiliki “akses” terhadap

hutan, baik untuk kegiatan ekonomi livelihood, maupun untuk tradisi budaya adat

Kasepuhan yang mengelola hutan melalui konsep pengetahuan lokal tentang

“wewengkon”.

Page 20: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

136

Ketika di tahun 1992, negara melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan

No. 282/Kpts-II/1992, merubah status hutan cagar alam (Gunung Halimun)

Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun seluas 40.000 hektar. Di luar kawasan

Taman Nasional Gunung Halimun, pengelolaannya dilakukan oleh Perhutani dan

berstatus sebagai hutan produksi. Pada masa ini, masyarakat masih diizinkan

untuk melalukan aktivitas didalam kawasan hutan, mengelola hutan bersama-sama

dengan Perum Perhutani, dengan memberikan sebagian hasil panen 15-25%

kepada Perum Perhutani. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat mengakui

“right” negara, selama mereka memiliki “akses” terhadap hutan, baik untuk

kegiatan ekonomi livelihood maupun untuk tradisi budaya dalam pengelolaan

kawasan hutan berdasarkan pengetahuan lokal.

Pada tahun 2003 negara menerbitkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-

II/2003 tentang Penunjukkan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Dan

Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan

Produksi Terbatas Pada Kelompok Hutan Gunung Halimun Dan Kelompok Hutan

Gunung Salak Seluas 113.357 Hektar Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-

Salak. Berdasarkan SK tersebut, semua kawasan Gunung Halimun Salak menjadi

taman nasional. Dasar pertimbangan diterbitkannya SK ini adalah kerusakan

hutan pada kawasan pengelolaan oleh Perum Perhutani dan masyarakat adat.

Sejak saat itu Masyarakat Kasepuhan bukan hanya kehilangan “right”, melainkan

juga kehilangan akses. Kondisi ini tentu saja akan menempatkan negara dan

masyarakat pada situasi konflik.

Masyarakat Kasepuhan selalu terlibat dalam konflik dengan negara sejak

dulu, sejak zaman penjajahan, namun konflik selalu mereda ketika masyarakat

mempunyai akses terhadap tanah untuk kepentingan livelihood dan akses terhadap

pengaturan hutan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakatnya. Sekalipun

mereka kehilangan hak (property right) atas tanah tersebut, selama memiliki akses

terhadap kawasan, masyarakat dapat menerima keberadaan kepemilikan yang

diklaim oleh negara. Ribot dan peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai

kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu, dalam hal ini sesuatu

tersebut adalah sumberdaya hutan. Namun ketika aksespun tidak ada maka konflik

menjadi tidak terelakkan.

Page 21: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

137

Sejarah penguasaan kawasan Hutan Sungai Utik berbeda dengan TNGHS.

Penguasaan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik di kawasan Hutan Sungai Utik

baru dimulai sejak tahun 1972. Masyarakat Dayak Iban mewarisi kawasan

tersebut dari Suku Dayak Embaloh. Tahun 1984, tahun 1997, tahun 2004 menjadi

momentum penting dalam sejarah penguasaan kawasan hutan oleh negara. Pada

tahun-tahun tersebut terjadi konflik fisik secara terbuka antara Masyarakat Dayak

Iban Sungai Utik dengan pengusaha (yang mengantongi izin IUPHHK dari

negara) sebagai reaksi masyarakat atas kebijakan negara. Sekalipun masyarakat

berhasil mengusir pengusaha dari lokasi, namun konflik tenurial tidak pernah

reda. Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan “right” tidak pernah berhenti.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa sekalipun jangka waktu penguasaan atas

tanah dan Hutan Sungai Utik belum lama (sejak tahun 1972), namun sejarah

membuktikan bahwa keberadaan mereka di kawasan tersebut sangat dominan.

Mereka memiliki semua hak akses terhadap hutan. Bahkan keberadaan kebijakan

pemerintah (baik pusat maupun daerah) tidak mampu mengeluarkan masyarakat

dari kawasan tersebut. Sekalipun secara formal mereka tidak memiliki property

right, namun mereka mempunyai akses. Mereka mempunyai ability untuk

mengelola dan mengambil manfaat dari kawasan hutan.

Menurut ribot dan peluso (2003), dengan memfokuskan pada kemampuan

(ability) dari pada right sebagaimana dalam theory property, formulasi ini

membawa perhatian pada berbagai hubungan sosial yang dapat memaksa atau

memungkinkan masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya tanpa

memfokuskan pada hubungan property saja. Artinya sekalipun Masyarakat Dayak

Iban tidak memiliki property right (dalam konsep negara) tetapi mereka

mempunyai akses terhadap hutan. Akses adalah lebih mirip dengan bundle power

(ikatan kekuasaan) ketimbang property yang merupakan suatu ikatan right

(bundle of right). Sehingga bagaimanapun juga hak kepemilikan merupakan hal

yang penting bagi kedua masyarakat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban dalam

rangka menjamin kelangsungan akses. Sebagaimana diakui oleh Bromley (1998;

200), McCay dan Acheson (1987), Lynch & Harwell (2006) bahwa hak

kepemilikan merupakan faktor penting dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Page 22: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

138

5.2.c. Konflik Authority (Konflik Otoritas)

Klaim atas penguasaan kawasan memberi otoritas kepada masing-masing

aktor untuk mengelola dan memanfaatkan hutan. Keberadaan tumpang-tindih

klaim atas kawasan hutan oleh masing-masing aktor menunjukkan adanya otoritas

aktor yang saling berhadapan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya konflik

otoritas. Konflik otoritas ini melibatkan kelembagaan sebagai alat otoritas.

Otoritas inilah yang menjadi legitimasi masing-masing pihak yang saling

berhadapan. Semua pihak mengklaim bahwa sumberdaya hutan tersebut adalah

wilayah otoritasnya. Wujud kekuasaan muncul dalam bentuk institusi dan aktor.

Melalui institusi inilah kekuasaan aktor bekerja. Dalam kasus konflik sumberdaya

hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, setidaknya terdapat dua otoritas yang

saling berhadapan yaitu otoritas negara dan otoritas masyarakat.

Masyarakat mengklaim memiliki otoritas atas kawasan hutan, dimana

dengan pengetahuan lokalnya selama turun temurun masyarakat telah hidup

bersama hutan. Hutan menjadi ciri penanda dari teritori masyarakat adat. Dengan

kata lain hutan adalah bagian dari ciri kekuasaan masyarakat adat atas kawasan

tersebut, atau dapat juga dikatakan bahwa hutan menjadi penanda otoritas

masyarakat adat atas kawasan tersebut. Ketika negara menetapkan kawasan

tersebut sebagai kawasan hutan negara melalui kebijakan konservasi ataupun

kebijakan IUPHHK, sebenarnya negara sedang menandai kawasan tersebut

sebagai wilayah teritorinya. Dengan kata lain menandai adanya otoritas negara

yang bekerja pada kawasan tersebut. Otoritas negara atas pengelolaan dan

pemanfaatan sumberdaya hutan ditandai dengan adanya kelembagaan baru yang

diterbitkan oleh negara, berupa kebijakan negara dalam pengelolaan dan

pemanfaatan hutan. Ketika ada dua otoritas yang bekerja pada satu kawasan, maka

konflik pun menjadi tidak terhindarkan. Konflik terjadi karena adanya perebutan

otoritas antara pihak negara selaku pemilik formal otoritas atas sumberdaya hutan

dengan masyarakat adat. Otoritas negara diperoleh berdasarkan peraturan

perundang-undangan, sedangkan otoritas masyarakat diperoleh berdasarkan tradisi

budaya dan historis yang diwariskan secara turun temurun.

Pada kasus Hutan Sungai Utik, aktor negara dengan otoritas yang formal

yang dimilikinya telah memberikan otoritas pemanfaatan hutan pada pengusaha,

Page 23: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

139

sehingga pada kasus Sungai Utik konflik otoritas tersebut berada pada dua level,

yaitu level grassroot menghadapkan masyarakat dan pengusaha, sedangkan pada

level kebijakan menghadirkan pertentangan otoritas antara masyarakat dan negara.

Negara dalam arti pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) yang mengeluarkan

IUPHHK, dan pemerintah daerah (Kabupaten Kapuas Hulu) yang mengeluarkan

IUP. Semakin tajam konflik sumberdaya alam (hutan) maka semakin terlihat

adanya pihak yang tersubordinasi dan pihak lain yang menjadi superordinat.

Dalam kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik ditemukan bahwa negara

dengan otoritas formalnya menduduki posisi otoritas superordinat yang

mengendalikan subordinat. Menurut Dahrendorf bahwa dalam suatu sistem

sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang

menyangkut pihak superordinat dan subordinat. Dengan demikian maka

tampaklah bahwa ada pembagian wewenang dan otoritas yang jelas antara pihak

yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai.

Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan otoritas di antara kelompok yang

memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Dengan demikian konflik terjadi karena

adanya pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan. Dalam

kasus TNGHS, jelas terlihat hubungan kekuasaan antara kelompok-kelompok

konflik yaitu Masyarakat Kasepuhan sebagai pihak yang tersubordinasi dan

BTNGHS sebagai pihak yang superordinat. Sebagai pihak yang subordinat,

Masyarakat Kasepuhan melakukan perjuangan untuk memperoleh otoritas atas

penguasaan sumberdaya hutan. Distribusi otoritas yang tidak merata antar

kelompok konflik inilah yang menyebabkan konflik terus terjadi. Dalam kasus

Sungai Utik, kesadaran akan adanya masalah dan musuh bersama membuat

Masyarakat Dayak Iban sangat solid untuk berjuang mempertahankan otoritasnya,

perjuangan yang terus menerus ini melahirkan formasi baru dimana Masyarakat

Dayak Iban Sungai Utik selaku pihak yang tersubordinasi mampu

mempertahankan otoritasnya dengan menguasai kontrol atas sumberdaya Hutan

Sungai Utik.

Page 24: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

140

Matrik 4. Analisis Perbandingan Otoritas Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan (SDH) di TNGHS dan Hutan Sungai Utik

No Indikator Kasepuhan Dayak Iban Sungai Utik 1 Otoritas

tertinggi Abah Tuai Rumah dan musyawarah

adat 2 Kewenangan

dalam SDH/ SDA

Abah mengatur tata cara bagaimana memperlakukan hutan dan sumberdaya alam lainnya; memimpin upacara untuk meminta izin kepada roh nenek moyang ketika ada warga yang akan memasuki hutan atau mengambil manfaat atas hutan; memiliki kewenangan dalam menentukan sanksi bagi warga yang melanggar peraturan

Tuai Rumah mengatur tata cara bagaimana memperlakukan hutan dan sumberdaya alam lainnya; memimpin upacara untuk meminta izin kepada roh nenek moyang ketika ada warga yang akan memasuki hutan atau mengambil manfaat atas hutan; memiliki kewenangan dalam menentukan sanksi bagi warga yang melanggar peraturan

3 Basis legitimasi kekuasaan

Adat melalui wangsit yang dikukuhkan oleh musyawarah adat yang diwakili oleh setiap kolot lembur (perwakilan kampung).

Adat melalui sejarah pertama kali yang menancapkan tiang di rumah panjae atau kepemilikan tanah yang paling banyak selanjutnya otomatis diwariskan kepada keturunannya.

4 Potensi konflik otoritas yang terjadi

Konflik memungkinkan terjadi didalam Kasepuhan itu sendiri, karena adanya strata dalam kelembagaan Kasepuhan. Konflik antara Kasepuhan yang satu dengan Kasepuhan yang lain dalam angka perebutan pengaruh di kalangan warganya. Konflik dengan negara dimana kelembagaan negara telah menegasikan hak akses Masyarakat Kasepuhan atas kelola hutan adat mereka yang berubah menjadi taman nasional

Konflik memungkinkan terjadi di dalam rumah panjae, manakala ada persaingan antara tuai rumah dan kepala desa dalam rangka perebutan pengaruh atas warganya. Konflik dengan sesama Masyarakat Dayak Iban di dusun lain juga terjadi akibat perbedaan pandangan dalam memperlakukan sumberdaya hutan/ alam lainnya. Konflik dengan negara terjadi karena pengakuan negara atas hutan adat mereka sebagai hutan negara yang dilegitimsi dengan keluarnya izin IUPHHK dari pemerintah pusat dan IUP dari pemerintah daerah

Berdasarkan matrik di atas, diketahui bahwa otoritas tertinggi pada

Masyarakat Kasepuhan berada pada tangan “abah” (kepala suku Masyarakat

Kasepuhan). Kedudukan abah lebih tinggi dari kedudukan masyarakat biasa. Hal

inilah yang membuat abah memiliki otoritas dominan dibandingkan anggota

masyarakat lainnya. Basis legitimasi otoritas adat Masyarakat Kasepuhan adalah

wangsit melalui abah yang dikukuhkan dengan musyawarah adat. Adapun pada

Page 25: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

141

Masyarakat Dayak Iban, otoritas tertinggi ada pada “tuai rumah” dan musyawarah

adat. Artinya kedudukan tuai rumah setingkat dengan masyarakat lainnya.

Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh tuai rumah didasarkan atas musyawarah

adat. Basis legitimasi Masyarakat Dayak Iban adalah sejarah pertama kali

penancapan tiang atau kepemilikan tanah. Otoritas masyarakat adat dalam

penguasaan sumberdaya hutan tersebut menjadi potensi konflik, baik konflik

antara masyarakat adat dengan negara, maupun konflik didalam kelembagaan adat

tersebut. Selanjutnya bukti adanya otoritas Masyarakat Kasepuhan dan Dayak

Iban Sungai Utik dapat dibedakan berdasarkan nilai-nilai budaya, boundary, rules,

dan territory.

Matrik 5. Perbedaan Otoritas Antara Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban

TNGHS Sungai Utik Nilai-nilai budaya

Ada penetapan nilai nilai dan hukum adat yang ketat yang diberlakukan bagi warga hukum adatnya maupun pada masyarakat lain.

Ada penetapan nilai nilai dan hukum adat yang ketat yang diberlakukan bagi warga hukum adatnya maupun pada masyarakat lain.

Boundary Tidak ada batas yang jelas mengenai wilayah kekuasaan

Ada batas yang jelas yang membedakan kawasan kekuasaan hukum dan nilai-nilai adat

Rules Sanksi hukum lebih banyak berupa sanksi hukum yang abstrak berupa kualat dan kabendon (sanksi gaib dari roh nenek moyang); Ketika berhadapan dengan hukum negara, maka yang digunakan adalah sanksi hukum negara.

Sanksi hukum memiliki dua tipe. Pertama sanksi hukum adat yang nyata yang dibukukan dalam sebuah buku peraturan hukum adat dan sanksi abstrak “tulah” (sanksi gaib dari roh nenek moyang); Ketika berhadapan dengan hukum negara pun, masyarakat lebih mendahulukan hukum adat.

Territori (klaim atas wilayah)

Klaim atas wilayah pada Masyarakat Kasepuhan tidak terlalu kuat, belum ada kesepakan yang jelas antara masing-masing Kasepuhan maupun dengan taman nasional.

Klaim atas wilayah (batas wilayah) sangat jelas disepakati berdasarkan masing-masing subsuku yang saling berbatasan, sudah memiliki peta partisipatif walaupun belum diregistrasi oleh negara.

Dengan membanding dua lokasi TNGHS dan Hutan Sungai Utik, diketahui

bahwa otoritas masyarakat adat Kasepuhan tidak terlalu kuat dibandingkan

dengan otoritas Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Kuatnya otoritas Masyarakat

Dayak Iban Sungai Utik tersebut ditunjang oleh adanya territori yang jelas dan

disepakati oleh masing-masing suku yang saling berbatasan.

Page 26: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

142

5.2.d. Konflik Livelihood

Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik disebut juga

sebagai konflik livelihood. Konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan

tindakan sosial akan sumberdaya hutan yang didasarkan atas kepentingan yang

berbeda, dimana masyarakat adat memiliki kepentingan terhadap hutan sebagai

sumber livelihood mereka, sedangkan negara memandang hutan dalam kerangka

pembangunan nasional. Baik dalam konsep konservasi maupun hutan produksi,

negara tidak memberi ruang masyarakat adat untuk membuka lahan garapan pada

kawasan hutan bagi kepentingan livelihood masyarakat tersebut.

Dalam kasus TNGHS, konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan

kepentingan antara negara dan Masyarakat Kasepuhan. Bagi Masyarakat

Kasepuhan, hutan memiliki nilai manfaat yang tinggi bagi sumber penghidupan

livelihood mereka, baik memanfaatkan hutan untuk diambil kayunya maupun

manfaat dari non kayu termasuk pemanfaatan lahan hutan sebagai lahan garapan

pertanian, sumber mata air, maupun sumber obat-obatan. Sekalipun demikian,

pemanfaatan hutan oleh Masyarakat Kasepuhan tidaklah semena-mena melainkan

didasarkan atas pengetahuan lokal dan aturan-aturan adat Kasepuhan. Misalnya

dalam hal pemanfaatan kayu, dalam kelembagaan Kasepuhan pengambilan kayu

dibolehkan hanya pada kawasan leuweung garapan dan leuweung cawisan,

sementara itu terlarang mengambil kayu pada leuweung titipan dan leuweung

tutupan. Selain itu, jika ingin mengambil kayu pada leuweung cawisan (kawasan

hutan yang kayunya boleh diambil), ada persyaratan yang harus dipenuhi terlebih

dahulu. Jika masyarakat akan menebang satu pohon kayu, maka dia terlebih

dahulu harus menanam 10 sampai 20 batang pohon kayu tersebut, sesuai syarat

yang diberikan oleh abah berdasarkan jenis kayu yang akan diambil.

Dalam kasus TNGHS, negara (BTNGHS) memiliki kepentingan terhadap

hutan sebagai hutan konservasi (taman nasional). Kepentingan negara terhadap

hutan konservasi tercermin dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun

1990 Pasal 33 bahwa (1) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat

mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional; (2)

perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional meliputi mengurangi,

Page 27: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

143

menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis

tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli; (3) setiap orang dilarang melakukan

kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari

taman nasional. Selanjutnya dalam pasal 34 UU Nomor 5 Tahun 1990,

menyebutkan bahwa (1) pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh

pemerintah; (2) di dalam zona pemanfaatan taman nasional, dapat dibangun

sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan; (3) untuk kegiatan

kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas

zona pemanfaatan taman nasional dengan mengikut sertakan rakyat. Berdasarkan

UU Nomor 5 Tahun 1990 tersebut diketahui bahwa hutan dalam konsep taman

nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola oleh pemerintah dengan

sistem zonasi, dengan memberi ruang pemanfaatan kawasan untuk tujuan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan

rekreasi. Dalam upaya pemanfaatan inilah diperkenankan untuk melibatkan

masyarakat, sementara aktivitas untuk pertanian terlarang di kawasan taman

nasional. Pelarangan aktivitas pada kawasan taman nasional tersebut memberi

konsekuensi kepada sistem livelihood ditingkat lokal, membuat Masyarakat

Kasepuhan kehilangan sumber livelihood mereka.

Konsep hutan menurut taman nasional (negara) jelas berbeda dengan konsep

hutan menurut Masyarakat Kasepuhan. Dalam Masyarakat Kasepuhan dikenal

konsep wewengkon leuweung. Konsep tersebut juga sama membagi lokasi

kedalam beberapa zonasi. Hanya saja salah satu zona yang merupakan zona

pemanfaaan (leuweung garapan) memperkenankan adanya kegiatan ekonomi

livelihood masyarakatnya. Konsep hutan menurut Masyarakat Kasepuhan bukan

hanya harus dijaga kelestariannya, tetapi hutan juga harus mampu memberikan

kesejahteraan bagi masyarakatnya. “leuweung hejo masyarakat ngejo” adalah

simbol tujuan Masyarakat Kasepuhan untuk melestarikan hutan dan kesejahteraan

masyarakatnya.

Pada kasus Hutan Sungai Utik, konflik livelihood terjadi karena adanya

perbedaan kepentingan antara negara (Departemen Kehutanan dan Pemerintah

Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, pengusaha (PT BRW yang mengantongi

IUPHHK dan PT. RU yang mengantongi IUP) dan Masyarakat Dayak Iban

Page 28: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

144

Sungai Utik. Pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, hutan memiliki manfaat

sebagai sumber livelihood masyarakatnya, sebagai tempat berburu, tempat

mengambil kayu, tempat obat-obatan, penyedia bahan konsumsi, sumber mata air

dan hutan cadangan. Sekalipun hutan dianggap sebagai sumber livelihood, namun

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak semena-mena memanfaatkan hutannya.

Masyarakat mengelola hutan berdasarkan pengetahuan lokal dan aturan-aturan

adat. Misalnya dalam hal mengambil kayu, tidak semua tempat boleh diambil

kayunya, hanya pada kawasan kampong galao dan kampong endor kerja kayunya

boleh diambil. Selain pembatasan tempat, juga ada pembatasan jumlah

pengambilan kayu yaitu tidak boleh lebih dari 30 pokok kayu dalam satu

pengambilan untuk kepentingan rumah dan tidak untuk diperjual belikan. Selain

pemanfaatan kayu, hutan juga dimanfaatkan sebagai lahan garapan pertanian atau

tempat berladang. Walaupun demikian, masyarakat mengatur mana kawasan yang

boleh diladangi, mana yang tidak boleh diladangi. Hanya kawasan kampong endor

kerja yang dapat digarap oleh masyarakat sebagai tempat berladang. Konflik

terjadi manakala kepentingan negara untuk melestarikan hutan telah menegasikan

Masyarakat Kasepuhan dengan kepentingan (livelihood)-nya terhadap hutan.

Dalam kasus Sungai Utik, sikap negara dalam memperlakukan hutan

didasarkan atas konsep hutan produksi. Dalam konteks ini, negara (Departemen

Kehutanan) memiliki tujuan untuk mengambil manfaat dari hutan bagi pendapatan

negara sebesar-besarnya untuk kepentingan pembangunan. Negara berafiliasi

dengan pengusaha untuk memanfaatan hutan seoptimal mungkin bagi pendapatan

negara untuk kepentingan pembangunan yang didasarkan atas tuntutan pasar

kapitalis. Selanjutnya peran negara dalam kehutanan di Indonesia diatur dalam

berbagai peraturan perundang-undangan, salah Satunya Peraturan Pemerintah

(PP) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Sesuai pasal 18 PP No. 6 Tahun

2007 tersebut, hutan dapat dimanfaatkan dan bahwa pemanfaatan hutan dapat

dilakukan pada seluruh kawasan hutan kecuali pada kawasan cagar alam, zona inti

dan zona rimba pada taman nasional. Selanjutnya berdasarkan pasal 31 ayat (2)

bahwa pemanfaatan hutan pada hutan produksi dapat berupa pemanfaatan hasil

hutan kayu. Dengan PP Nomor 6 Tahun 2007 tersebut memberi ruang bagi negara

Page 29: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

145

untuk memanfaatkan hutan sebesar-besarnya bagi peningkatan ekonomi, sebagai

wujud sumbangsih subsektor kehutanan terhadap pembangunan bangsa, yang

dinilai berdasarkan berapa besar sumbangan subsektor ini dalam pembangunan

nasional, khususnya bagi peningkatan ekonomi.

Bila dilihat dari sudut pandang ekonomi makro, peran subsektor kehutanan

secara konvensional ditunjukkan oleh besaran persentase nilai tambah bruto

(NTB) yang disumbangkan subsektor ini terhadap total produk domestik bruto

(PDB). Dalam penyajian angka PDB Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pusat

Statistik (BPS), subsektor kehutanan hanya mencakup komoditi primer dari

kehutanan seperti kayu log, rotan, jasa kehutanan, dan lain-lain. Sementara itu

sesuai Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3

Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan

serta Pemanfaatan Hutan, cakupan binaan oleh Departemen Kehutanan meliputi

hasil produk primer kehutanan sampai industri kehutanan seperti industri

penggergajian kayu, industri kayu lapis, panel kayu, dan veneer.

Berdasarkan data BPS (2012), bahwa jika dilihat dari data PDB tahun 2000-

2011, PDB subsektor kehutanan menyumbang rata-rata 0,97% (persen) setiap

tahunnya terhadap total PDB Indonesia, dengan penurunan setiap tahun. Data di

tahun 2011 menunjukkan bahwa sebenarnya nilai PDB subsektor kehutanan lebih

besar dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar 51.638,1 milyar rupiah, namun

jika dihitung berdasarkan total PDB Indonesia di tahun 2011 yaitu 7.427.086,1

milyar rupiah, maka sumbangan PDB subsektor kehutanan terhadap total PDB

hanya 0,70%, jauh lebih kecil dari prosentase sumbangan ditahun-tahun

sebelumnya. Lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut:

Page 30: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

146

Tabel 10. Kontribusi Subsektor Kehutanan Terhadap Produk Domestik Bruto Atas

Dasar Harga Berlaku Tahun 2000-2011

No

Tahun/

Year

Produk Domestik Bruto (PDB)/

Gross Domestic Product (Miliar

Rupiah/ Billion Rupiahs)

Kontribusi Subsektor

Kehutanan Terhadap PDB

Kehutanan/

Forestry

Total PDB/ GDP

Total

Contribution of Forestry

Sub Sector To GDP (%)

1 2 3 4 5

1 2000 16.343,0 1.389.769,9 1,18

2 2001 16.962,1 1.646.322,0 1,03

3 2002 17.602,4 1.821.833,0 0,97

4 2003 18.414,6 2.013.674,6 0,91

5 2004 20.290,0 2.295.826,2 0,88

6 2005 22.561,8 2.774.281,1 0,81

7 2006 30.065,7 3.339.216,8 0,90

8 2007 36.154,1 3.950.893,2 0,92

9 2008 40.375,1 4.951.356,7 0,82

10 2009 44.952,1 5.613.441,7 0,80

11 2010 48.050,5 6.422.918,2 0,75

12 2011 51.638,1 7.427.086,1 0,70

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012.

Salah satu sumber pendapatan di sektor kehutanan adalah dari pemanfaatan

hasil hutan kayu melalui IUPHHK. Kawasan hutan yang telah dimanfaatkan untuk

kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu berupa izin usaha pemanfaatan hasil hutan

kayu (IUPHHK) secara keseluruhan sampai dengan oktober 2009 adalah: jumlah

IUPHHK-HA (Hutan Alam) sebanyak 299 unit dengan luasan 25.384.650 ha;

jumlah IUPHHK-HTI (Hutan Tanaman Industri) sebanyak 211 unit dengan luasan

8.441.976 ha; dan jumlah IUPHHK-HTR (Hutan Tanaman Rakyat) sebanyak 9

unit dengan luas 21.157,35 ha. Sedangkan kawasan hutan yang telah

dimanfaatkan untuk izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKM)

sebanyak 55 izin dengan luas 7.708,09 ha. (Departemen Kehutanan, 2009). Salah

satu kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan IUPHHK adalah

Hutan Sungai Utik. Hutan Sungai Utik ini adalah hutan yang masih primer, masih

banyak potensi kayu yang ada dikawasan ini. Oleh karena itu, hutan ini menjadi

incaran, bukan hanya oleh Departemen Kehutanan (pemerintaah pusat) untuk

dijadikan kawasan IUPHHK, tetapi juga incaran pemerintah daerah untuk

dijadikan kawasan IUP.

Page 31: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

147

Perlakuan masyarakat terhadap hutan berbeda dengan perlakuan negara

terhadap hutan. Sikap negara dalam memperlakukan hutan bersifat mendua,

tergantung dari kebijakan negara tentang jenis hutan. Dalam kasus TNGHS, sikap

negara dalam memperlakukan hutan didasarkan atas konsep pelestarian hutan

taman nasional, yang mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan dalam kasus Hutan

Sungai Utik, sikap negara didasarkan pada hutan produksi yang mengacu pada

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Konflik

terjadi manakala kepentingan negara untuk menjadikan hutan sebagai kawasan

hutan produksi yang akan dimanfaatkan kayunya melalui perusahaan pemegang

IUPHHK bertentangan dengan kepentingan livelihood Masyarakat Dayak Iban

Sungai Utik yang membatasi pengambilan kayu pada hutannya hanya untuk

kepentingan membangun rumah sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan.

Menurut Dahrendorf, konflik terjadi karena masing-masing pihak mengejar

kepentingannya. Baik pihak negara selaku pihak yang memiliki kekuasaan akan

mengejar kepentingannya, sementara masyarakat adat sebagai pihak yang tidak

memiliki kekuasaan juga mengenjar kepentingannya. Padahal, kepentingan kedua

pihak ini bertentangan. Itulah yang menjadi sumber konflik. Dalam kasus

TNGHS, baik negara maupun Masyarakat Kasepuhan sebenarnya memiliki

kepentingan yang sama terhadap hutan yaitu untuk pelestarian hutan. Namun

konsep pelestarian negara dan Masyarakat Kasepuhan berbeda. Dalam konsep

pelestarian hutan menurut Masyarakat Kasepuhan menyertakan kepentingan

livelihood masyarakatnya. Hutan sebagai sumber livelihood masyarakat dan

cadangan bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, tujuan masyarakat

melestarikan hutan karena mengemban tugas dari nenek moyang mereka untuk

kelangsungan hutan bagi anak cucu mereka kelak di masa datang. Kepentingan

kedua kelompok tersebut menjadi bertentangan, karena konsep taman nasional

tidak memberi ruang bagi masyarakat untuk menggarap lahan garapannya yang

berada dalam kawasan TNGHS. Sementara itu, dalam kasus Hutan Sungai Utik,

konflik menjadi tidak terelakkan ketika ada perbedaan kepentingan terhadap

hutan. Negara memiliki kepentingan untuk memanfaatkan hasil kayu dari hutan

Page 32: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

148

melalui IUPHHK yang diberikan kepada pengusaha, sementara Masyarakat

Dayak Iban Sungai Utik memiliki kepentingan untuk melestarikan hutan dan

sumber livelihood masyarakatnya. Berdasarkan fakta di atas, dapat dipetakan

kepentingan dari masing-masing pihak yang berkonflik di dua lokasi TNGHS dan

Sungai Utik sebagai berikut:

Matrik 6. Kepentingan Antar Aktor Dalam Penguasaan Sumberdaya Hutan di

TNGHS dan Sungai Utik

TNGHS Hutan Sungai Utik

Aktor BTNGHS Masyarakat Kasepuhan

Menteri Kehutanan

Masyarakat Dayak Iban

Pengusaha

Kepentingan Kelestarian hutan (konservasi)

Kelestarian hutan dan basis livelihood

Potensi ekonomi nasional yang bernilai ekspor (ekonomi kapitalis)

Kelestarian hutan dan basis livelihood

Keuntungan ekonomi (ekonomi kapitalis)

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa ada perbedaan kepentingan

negara dalam konflik di kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik. Di kawasan

TNGHS, kepentingan negara untuk konservasi, sedangkan di Sungai Utik untuk

kepentingan ekonomi kapitalis. Adapun masyarakat adat memiliki kepentingan

yang sama untuk pelestarian hutan dan basis livelihood masyarakatnya. Baik

dalam kasus TNGHS maupun Hutan Sungai Utik, kebijakan negara baik itu untuk

kepentingan konservasi maupun ekonomi kapitalis telah meng“exclude”

masyarakat adat dari tanah/ kawasan/ hutan yang selama ini diklaimnya. Bila

melihat kedua gejala di dua lokasi dapat dikatakan bahwa apapun alasannya baik

untuk konservasi maupun untuk alasan ekonomi kapitalis, kebijakan negara selalu

menegasikan kelembagaan masyarakat adat.

5.3. Kedalaman Konflik (Kebrutalan Konflik)

Konflik antara negara dan masyarakat di TNGHS dan Hutan Sungai Utik

mempunyai banyak bentuk, mulai dari konflik laten sampai konflik terbuka.

Konflik mencapai puncaknya (kedalaman konflik) pada saat terjadinya konflik

terbuka. Kedalaman konflik di TNGHS dengan di Hutan Sungai Utik berbeda.

Page 33: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

149

Matrik 7. Kedalaman Konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik TNGHS Sungai Utik

Derajat kedalaman

Lempar isu

Bersitegang

Memenjarakan Pencabutan kualat

Lempar isu; pengrusakan alat-alat milik perusahaan

Pengusiran perusahaan dari lokasi kawasan hutan Pemberlakuan hukum adat, mendenda Menteri Kehutanan

Puncak konflik

Tahun 2003 terjadi pengrusakan fasilitas TNGHS

Tahun 2005 negara memenjarakan masyarakat yang menebang kayu di lahan garapannya sendiri

Tahun 1984 konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BI, terjadi pengusiran dan penyitaan alat berat milik PT. BI oleh masyarakat Tahun 1997, konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRU. Pengusiran dan penyitaan alat berat dari lokasi termsuk menghukum denda PT. BRU oleh masyarakat adat. Tahun 2004, konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRW. Pengusiran PT. BRW

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik menghukum adat Menteri Kehutanan, mensandera asisten Menteri Kehutanan dan menghukum denda. Hukum adat dibatalkan ketika Menteri Kehutanan memenuhi janjinya untuk datang ke rumah panjae Sungai Utik.

Pada kasus TNGHS, kedalaman konflik terjadi di tahun 2003, pertama

kalinya masyarakat bereaksi atas pelarangan aktivitas karena diberlakukannya

“konsep taman nasional”. Protes masyarakat terhadap BTNGHS ini sampai pada

pengrusakan fasilitas taman nasional. Selanjutnya konflik mencapai puncaknya

ketika ada 5 (lima) orang Masyarakat Kasepuhan yang dipenjara. Hal tersebut

terjadi ketika masyarakat tersebut mengambil kayu di lahan garapannya sendiri

yang kebetulan kawasan tersebut masuk kedalam kawasan taman nasional.

Masyarakat menganggap bahwa kayu-kayu tersebut merupakan kayu hasil

tanaman yang ditanamnya sendiri di lahan kebun garapan miliknya. Namun

karena lahan garapan tersebut berada pada kawasan taman nasional, maka ketika

masyarakat mengambil hasil hutan kayu, maka dianggap sebagai pelanggaran

ketentuan/ pencurian kayu, dan harus berurusan dengan ranah hukum. Dalam

keadaan seperti ini, konflik mencapai ketegangannya dimana masyarakat adat

tidak dapat menerima kalau warganya dihukum.

Dalam kasus Sungai Utik, kedalaman konflik ditunjukkan oleh beberapa

kejadian, antara lain:

1. Tahun 1984, ketika negara (Menteri Kehutanan) mengeluarkan IUPHHK

untuk PT BI, masyarakat melawan dan mengusir PT. BI dari lokasi.

Page 34: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

150

2. Tahun 1997, ketika PT. BRU yang telah habis masa rencana kerja tahunan

(RKT) masih melakukan pencurian kayu di wilayah Sungai Utik dan di luar

areal RKT. Masyarakat dari Kampung Sungai Utik dan Mungguk melakukan

tuntutan ganti kerugian. Konflik mereda setelah perusahaan memenuhi

tuntutan ganti rugi masyarakat dan pergi dari lokasi.

3. Tahun 2004, konflik terjadi lagi ketika pemerintah pusat menerbitkan

IUPHHK untuk PT. BRW. Masyarakat mengusir PT. BRW dari lokasi. Sejak

kebijakan tersebut dikeluarkan, PT. BRW belum pernah beroperasi.

4. Konflik antara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRW terjadi

kembali pada saat ada korban kecelakaan di lokasi IUPHHK Dusun Ungak

yang menimpa warga Sungai Utik. Di Dusun Ungak, PT. BRW pernah

beroperasi selama dua tahun, sampai ada suatu kejadian, ibunya Mbak Lidia

(orang Sungai Utik) berjualan sayuran di lokasi tempat PT BRW beroperasi,

tiba-tiba kereta pengangkut kayu gelondongan tersebut terlepas, sehingga

kayu kayu tersebut menimpa ibunya Mbak Lidia dan menyebabkan kematian.

Masyarakat Sungai Utik menjadi marah terhadap PT. BRW dan bersama-

sama Masyarakat Dusun Ungak mengusir PT. BRW dari lokasi proyek Dusun

Ungak. Sejak saat itu, proyek tersebut kemudian diambil alih oleh

Masyarakat Dusun Ungak.

5. Konflik dengan pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Kehutanan kembali

mencuat ketika Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik meminta Menteri

Kehutanan datang ke lokasi rumah panjae Sungai Utik. Seperti yang

dikisahkan oleh Pak RM Kepala Desa Batu Lintang bahwa:

Cerita tersebut juga dilengkapi oleh Kakek Cb bahwa di awal tahun 2010

tersebut, dia dan dua orang warga Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik lainnya

dengan diantar oleh AMAN datang ke Jakarta menemui Menteri Kehutanan. Pada

“Masyarakat Sungai Utik pernah menahan dan menjatuhkan denda sebesar Rp. 1, 2 juta kepada Ajudan Menteri Kehutanan yang mengabarkan bahwa menteri tidak bisa datang. Setelah denda dibayar, Ajudan tersebut pun dilepaskan diperbolehkan pulang tetapi dengan membawa pesan bahwa Menteri Kehutanan Bapak MS Kaban dikenakan sanksi Adat bahwa jika Beliau tidak datang ke rumah panjae Sungai Utik, maka Menteri Kehutanan harus membayar denda Rp. 1 Milyar kepada Masyarakat Sungai Utik. Namun denda tersebut tidak pernah dilakukan karena Bapak MS Kaban akhirnya di tahun 2010 datang ke Sungai Utik.”

Page 35: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

151

saat itu Kakek Cb mengatakan kepada Pak Kaban, seperti yang diceritakannya,

sebagai berikut:

Fakta di atas menunjukkan konflik di Hutan Sungai Utik lebih banyak

momen yang menunjukkan kebrutalan konflik, dimana perlawanan masyarakat

adat sampai pada destruction and bloodshed. Hal tersebut berbeda dengan kasus

TNGHS, konflik mencapai puncaknya ketika negara memenjarakan Masyarakat

Kasepuhan yang mengambil kayu di kawasan hutan. Sebenarnya ada kasus lain

yang terjadi di Kasepuhan, yaitu ada beberapa orang warga mengambil kayu di

hutan, namun dalam kasus ini Kasepuhan tidak terlalu ikut campur karena hasil

evaluasi adat, kayu-kayu tersebut diambil dikawasan yang dilarang adat dan

ukuran kayu melebihi ketentuan adat. Kayu tersebut diidentifikasi sebagai kayu

yang akan dijual. Oleh karena itu Kasepuhan tidak turut campur dalam kasus yang

satu ini, dan membiarkan warganya dipenjara. Perbedaan sikap dari masing-

masing masyarakat tersebut tidak lepas dari pengaruh kosmologi masyarakatnya,

serta sejarah penguasaan lahan pada kawasan tersebut.

5.4. Dampak Konflik

Konflik sumberdaya hutan memberi dampak kepada masyarakat adat

terjadinya perubahan kelembagaan adat dan peningkatan ability masyarakat adat

dalam beradaptasi dengan konflik. Konflik yang menyebabkan terjadinya

perubahan sejalan dengan konflik otoritas Dahrendorf, adapun konflik yang

“Bapak, kami menunggu Bapak, kami rakyat Sungai Utik akan tetap menjaga hutan kami dan kami menginginkan penjelasan langsung dari Bapak, bagaimana hutan tersebut harus dijaga. Jika Bapak tidak datang ke rumah panjae Sungai Utik sesuai janji Bapak, maka kami terpaksa akan menjatuhkan sanksi hukum Adat dengan mendenda Bapak Rp. 1 milyar. Begitu yang saya katakan pada Menteri Kehutanan saat itu, dan pada waktu itu Pak Kaban bilang bahwa dia memang sudah berjanji untuk datang ke Sungai Utik. Pada tahun 2009 sebetulnya Beliau sudah berangkat ke Sungai Utik namun pesawat yang mengantar Beliau tidak bisa menemukan lokasi Sungai Utik. Setelah setengah jam berputar putar di udara akhirnya pesawat tersebut kembali lagi ke Pontianak, disamping karena cuaca saat itu tidak memungkinkan mendarat di Putussibau. Tapi saya berjanji jika sudah tidak sibuk dengan berbagai pekerjaan, akan mengunjungi rumah panjae Sungai Utik. Janji itu sudah Beliau tepati. Beliau sudah datang ke Sungai Utik walaupun kedatangannya tidak juga memberikan titik terang kejelasan mengenai pencabutan izin IUPHHK yang dimiliki oleh PT. BRW”.

Page 36: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

152

menyebabkan terjadinya peningkatan adaptasi measyarakat sejalan dengan teori

konflik Lewis Coser.

Menurut proposisi Dahrendorf (dalam Turner, 1998), bahwa semakin intens

konflik, semakin besar tingkat perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi.

Semakin brutal konflik, semakin tinggi kecepatan perubahan struktural dan

reorganisasi yang terjadi. Berdasarkan proposisi Dahrendorf tersebut, dapat

dikatakan bahwa konflik mendorong pada terjadinya perubahan kelembagaan.

Hanya saja jika merujuk pada proposisi Dahrendorf mestinya perubahan besar

terjadi pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Namun faktanya justru

Masyarakat Kasepuhanlah yang menunjukkan fenomena perubahan struktural dan

kelembagaan. Salah satu bentuk perubahan yang dialami oleh Masyarakat

Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik adalah perubahan struktural dan

perubahan kelembagaan (lebih jelasnya akan dijelaskan pada bab 6).

Salah satu bentuk perubahan yang dimiliki oleh masyarakat adat adalah

meningkatnya kemampuan beradaptasi dengan situasi yang baru akibat terjadinya

konflik. Hal ini sejalan dengan pemikiran Lewis Coser (dalam Kinseng, 2013)

bahwa semakin suatu itu konflik mendorong peningkatan inovasi dan kreativitas

unit-unit suatu sistem sosial, pelepasan permusuhan sebelum ia mempolarisasi

unit-unit suatu sistem sosial, mendorong tumbuhnya aturan normatif hubungan

konflik, peningkatan kesadaran akan isu-isu realistik, dan peningkatan jumlah

koalisi asosiatif antara unit-unit sosial, maka semakin besar tingkat integrasi sosial

internal sistem secara keseluruhan dan semakin besar kapasitasnya untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan ekternal. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa kalau konflik kecil kecil dibiarkan akan meningkatkan kemampuan

adaptasi. Dengan kata lain bahwa konflik membuat kemampan resiliensi

masyarakat meningkat dan variasi karena mereka menjadi terbiasa. Dampak

konflik terhadap peningkatan resiliensi masyarakat tersebut terjadi pada

Masyarakat Kasepuhan dalam konflik di TNGHS dan pada Masyarakat Dayak

Iban dalam konflik di Hutan Sungai Utik.

Berdasarkan fenomena yang ditunjukkan oleh Masyarakat Kasepuhan dan

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, maka dapat dikatakan bahwa salah satu

dampak konflik ditingkat kelompok adalah resiliensi (kelentingan). Konflik

Page 37: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

153

menyebabkan masyarakat adat memiliki kelentingan. Apabila kelentingan

(resiliensi) didefinisikan sebagai the ability of people to recover quickly from

shock, injury etc. Her natural resilience helped her to overcome the crisis (kamus

oxford), maka dapat dikatakan bahwa baik Masyarakat Kasepuhan maupun

Masyarakat Dayak Iban memiliki kelentingan (resiliensi).

Dalam kasus TNGHS, ketika kelembagaan negara mendominasi

kelembagaan lokal melalui kebijakan negara tentang perluasan taman nasional dan

melumpuhkan kelembagaan adat, kondisi tersebut telah memaksa kelembagaan

adat berubah. Disatu sisi kelembagaan adat menjadi tidak memiliki ability untuk

mengambil manfaat atas hutan karena tidak adanya akses, namun terjadi

peningkatan kemampuan masyarakat dalam beradaptasi dengan keadaan baru

akibat terjadinya konflik dengan BTNGHS. Kemampuan tersebut lebih tepatnya

dikatakan sebagai kelentingan. Kelentingan pada Masyarakat Kasepuhan

ditunjukkan dengan kemampuan masyarakat menghindari serangan dengan cara

menghindari konflik terbuka, secara sembunyi-sembunyi mereka tetap menggarap

kawasan leuweung garapan sambil tetap memperjuangkan untuk memperoleh hak

akses terhadap hutan; kemampuan konsolidasi dengan cara menggalang aliansi

dengan kelompok Masyarakat Kasepuhan lain dan membentuk “Kesatuan

Masyarakat Adat Banten Kidul” (SABAKI), kemampuan mengulur waktu dengan

cara bernegosiasi, mendialogkan kembali tentang tata batas, akses bahkan zonasi,

dan kemampuan memeluk pihak lain dengan cara mengembangkan web of

powernya dengan merangkul bukan hanya dengan LSM tetapi dengan pemerintah

daerah.

Ketika akses terhadap sumberdaya hutan menjadi terbatas, dan tuntutan

perubahan dari masyarakatnya meningkat, Masyarakat Kasepuhan mulai

mengembangkan ability lain yang dapat memberi akses pada Kasepuhan di ruang

politik lokal, melalui afiliasi yang dibangunnya dengan pemerintah daerah atau

elit-elit politik nasional. Pada Masyarakat Kasepuhan, konflik menyebabkan

terjadinya perubahan dan perubahan tersebut merupakan bukti bahwa

kelembagaan Kasepuhan mempunyai kelentingan (resiliensi) dengan cara

mengembangkan web of power yang sasarannya adalah otoritas politik di tingkat

lokal.

Page 38: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

154

Pada Masyarakat Dayak Iban berbeda dengan Masyarakat Kasepuhan.

Mereka tidak menghindari serangan melainkan melawan, dengan cara mengusir

pengusaha dari kawasan, menyita alat-alat beratnya dan tetap bertahan

mempertahankan kawasan tersebut. Masyarakat Dayak Iban dalam perjuangannya

melawan negara juga mengembangkan abilitynya untuk melakukan konsolidasi ke

dalam diantara warga Masyarakat Dayak Iban dan konsolidasi dengan Masyarakat

Dayak Iban lain dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Mereka mengembangkan

web of power mereka dengan menjalin kolaborasi dengan lembaga swadaya

masyarakat (LSM).

5.5. Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Konflik Sumberdaya Alam

Konflik sumberdaya hutan menjadi semakin kompleks manakala pemerintah

daerah dengan otonomi daerahnya turut masuk kedalam arena konflik. Pada kasus

TNGHS, pemerintah daerah membantu Masyarakat Kasepuhan untuk

menyelesaikan konflik dengan BTNGHS, dengan mendukung keberadaan

masyarakat adat di kawasan TNGHS. Pada kasus Hutan Sungai Utik, pemerintah

daerah mengeluarkan IUP untuk PT. RU di kawasan yang sama dengan IUPHHK

untuk PT. BRW.

Pada kasus TNGHS, dukungan langsung Pemerintah Daerah Kabupaten

Sukabumi kepada Masyarakat Kasepuhan dilakukan dengan jalan menjembatani

penyelesaian konflik antara Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS. Pemerintah

daerah membantu memfasilitasi pembuatan draf akademik untuk rancangan

kesepakatan antara Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS, walaupun usaha

pemerintah daerah tersebut belum mencapai konsesus namun proses penyelesaian

konflik dengan jalan negosiasi sudah dilakukan. Selain dukungan langsung,

pemerintah daerah juga pemberikan dukungan tidak langsung berupa alokasi dana

pembangunan bagi masyarakat adat untuk pembuatan jalan tembus dari Desa

Sirna Resmi ke lokasi pemukiman Kasepuhan Cipta Gelar yang nyata-nyata

berada di tengah kawasan TNGHS. Keberadaan jalan tembus tersebut membuka

akses masuk dari luar ke dalam kawasan. Masyarakat menjadi lebih mudah untuk

datang dan pergi dari dan ke dalam kawasan TNGHS. Hal tersebut bermakna

bahwa pembangunan jalan tersebut merupakan bentuk dukungan pemerintah

daerah terhadap masyarakat adat dalam menentang kebijakan taman nasional.

Page 39: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

155

Dalam kasus Hutan Sungai Utik, Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas

Hulu dengan kebijakan otonomi daerahnya turut memperunyam masalah dan

menambah rumitnya konflik sumberdaya hutan. Melalui kewenangan yang

diperoleh berdasarkan legitimasi UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 22, pemerintah

daerah menggunakan kewenangannya untuk mengelola lingkungan, termasuk

sumberdaya hutan didalamnya. Dengan dasar tersebut, Pemerintah Daerah Kapuas

Hulu mengeluarkan izin usaha perkebunan (IUP) kepada PT. RU untuk usaha

perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 tentang Izin

Lokasi untuk Perkebunan Karet Seluar 14.000 Ha di Kecamatan Embaloh Hulu,

Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, yang kemudian dirubah peruntukannya menjadi

sawit dengan Surat Bupati Nomor 525/032/DKH/BPT-A tentang Persetujuan IUP

Perubahan dari Karet Menjadi Kelapa Sawit tanggal 10 Januari 2011. Pemerintah

daerah dengan kebijakan IUPnya tersebut telah membuat konflik sumberdaya

hutan menjadi semakin kompleks, menghadapkan masyarakat adat vis avis

dengan pemerintah pusat, dengan pengusaha pemegang IUPHHK, dengan

pemerintah daerah dan dengan pengusaha pemegang IUP. Keberadaan kebijakan

pemerintah daerah tersebut telah memberi tekanan tersendiri bagi Masyarakat

Dayak Iban.

Sebenarnya, kebijakan otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

pemberdayaan, peran serta masyarakat, dan peningkatan daya saing pemerintah

daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Percepatan kesejahteraan masyarakat tersebut dilakukan

melalui pembagian kewenangan pusat dan daerah yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan diperbaiki dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Bab III tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan (selanjutnya disebut UU otonomi daerah) Pasal

10 menyebutkan bahwa (1) pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang

Page 40: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

156

oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Selanjutnya dalam

Ayat (2) disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang

menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud, pemerintahan daerah

menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Adapun

urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud

disebutkan dalam Aayat (3) yaitu meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c.

keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. (4) dalam

menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud, pemerintah

menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan

kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat

menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan desa.

Berdasarkan Pasal 10 UU otonomi daerah tersebut bahwa yang menjadi

kewenangan pemerintah pusat hanya 6 bidang yaitu politik luar negeri,

pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Adapun

perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang serta pengendalian

lingkungan hidup menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah

provinsi (Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004) dan pemerintah daerah kabupaten/

kota (Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004). Berdasarkan UU otonomi daerah

tersebut, daerah memiliki otoritas dalam perencanaan tata ruang wilayahnya

termasuk bagaimana mengendalikan lingkungan hidup. Dengan kata lain daerah

memiliki tanggung jawab dan kewenangan dalam peruntukan ruang dan

pengendalian lingkungan hidup termasuk hutan didalamnya.

Tanggung jawab daerah dalam pengendalian linkungan tersebut terkait

dengan semangat awal otonomi daerah yang salah satunya adalah untuk

pengelolaan sumberdaya alam secara efektif, sebagaimana termuat dalam

ketetapan (TAP) MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN, Bab IV Arah

Kebijakan Huruf H Sumberdaya Alam Lingkungan Hidup Angka 3 menyebutkan

bahwa: “mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara

selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap

terjaga...dan seterusnya”. Selanjutnya dalam Huruf G tentang Pembangunan

Page 41: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

157

Daerah Angka 1 Umum disebutkan bahwa “ ........mengembangkan otonomi

daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab...”, termasuk di dalamnya

pemanfaatan sumberdaya alam. Lebih lanjut TAP MPR tersebut menyebutkan

dalam Huruf H angka 4 yaitu: “mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan

keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan

ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang yang

pengusahaannya diatur dengan undang-undang”. Berdasarkan TAP MPR tersebut,

semestinya keberadaan UU Otonomi Daerah dapat memberikan kewenangan

kepada daerah untuk mengelola sumberdaya alamnya secara efektif dan

dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan kelestarian

lingkungan. TAP MPR tersebut memberi amanat untuk daerah dalam

melaksanakan pembangunannya dengan mendayagunakan sumberdaya alam yang

ada untuk kesejahteraan masyarakat namun tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Berdasarkan fakta pada kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik,

dapat dikatakan bahwa kewenangan hutan utamanya masih ada pada negara

(pemerintah pusat). Hal tersebut menunjukkan ada ketidak-jelasan dan ketidak-

pastian hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam (hutan).

Kewenangan daerah dalam mengatur dan mengelola sumberdaya alam

didaerahnya belum sepenuhnya bisa dijalankan karena masih tumpang tindih

dengan kewenangan pemerintah pusat.

Hubungan kewenangan untuk pengendalian lingkungan dan pemanfaatan

sumberdaya alam antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini diatur dalam

UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 17, yaitu bahwa: “hubungan dalam bidang

pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah dan

pemerintahan daerah meliputi: kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan,

pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; bagi hasil atas

pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya; dan penyerasian

lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan. Pasal 17 tersebut mengatur

tentang pemanfaatan dan bagi hasil pemanfaatan sumberdaya alam dan

sumberdaya lainnya yang pelaksanaannya diatur kemudian dalam peraturan

perundang-undangan lebih lanjut. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa otonomi

Page 42: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

158

daerah atau desentralisasi penguasaan dan pendayagunaan sumberdaya alam

termasuk kehutanan belumlah bersifat final tetapi masih membutuhkan

perjuangan dan masih akan menyeret daerah ke dalam konflik sumberdaya alam

yang melibatkan negara dan masyarakat adat

Sebenarnya sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur

hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan secara tersendiri,

antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998

tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada

Daerah, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

disamping UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan

dan undang-undang tersebut mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah pengelolaan sumberdaya hutan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 62

Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang

Kehutanan Kepada Daerah, Bagian Kedua Tentang Kepada Daerah Tingkat II,

Pasal 5 bahwa: “kepada daerah tingkat II diserahkan sebagian urusan

pemerintahan di bidang kehutanan, yang meliputi: a. penghijauan dan konservasi

tanah dan air; b. persuteraan alam; c. perlebahan; d. pengelolaan hutan milik/hutan

rakyat; e. pengelolaan hutan lindung; f. penyuluhan kehutanan; g. pengelolaan

hasil hutan non kayu; h. perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi

pada areal buru; i. perlindungan hutan; dan j. pelatihan keterampilan masyarakat

di bidang kehutanan. berdasarkan peraturan pemerintah tersebut diketahui bahwa

ada beberapa urusan kehutanan yang pengurusannya diserahkan kepada daerah,

termasuk pengelolaan hasil hutan non kayu, mencakup kegiatan pengusahaan,

pemungutan, dan pemasaran hasil hutan non kayu. Dari sejumlah urusan yang

diserahkan kepada daerah maka yang dapat diambil manfaatnya oleh daerah dari

keberadaan hutan di daerahnya adalah pemanfaatan hasil hutan non kayu. Adapun

pemanfaatan hasil hutan kayu masih menjadi kewenangan pemerintah pusat,

apalagi mengalihkan fungsi kawasan hutan menjadi daerah perkebunan tidak

diatur dalam PP tersebut.

Selanjutnya, UU Nomor 41 Tahun 1999 Bab VIII tentang Penyerahan

Kewenangan, Pasal 66 menyebutkan bahwa: (1) dalam rangka penyelenggaraan

Page 43: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

159

kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah

daerah. (2) pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam

rangka pengembangan otonomi daerah. (3) ketentuan lebih lanjut sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Berdasarkan UU di atas diketahui bahwa dalam rangka penyelenggaraan

kehutanan, pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada

pemerintah daerah yang dalam pelaksanaan teknisnya diatur dalam peraturan

pemerintah. Peraturan pemerintah yang terbit setelah tahun 1999 tentang

penyerahan kewenangan kepada daerah tidak ditemukan. Peraturan yang ada

masih menggunakan peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 62 tahun

1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan

kepada daerah.

Dengan demikian, seharusnya bahwa keberadaan kebijakan otonomi daerah

tersebut membawa pengaruh positif pada pengelolaan sumberdaya alam

khususnya kehutanan, sebagaimana yang dikatakan oleh Raharjo dalam Subadi

(2010) bahwa “dengan otonomi daerah dalam pemanfaatan sumberdaya alam

(SDA) untuk kesejahteraan rakyat, telah membawa perubahan positif pada

hubungan antara rakyat dengan pembuat kebijakan (policy maker) menjadi lebih

dekat sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai

dengan hajat hidup rakyat, terbukanya akses rakyat dalam pembuatan kebijakan”.

Namun jika melihat kasus konflik di dua lokasi penelitian TNGHS maupun Hutan

Sungai Utik, apa yang dikemukakan oleh Raharjo dalam Subadi (2010) tidak

sepenuhnya benar. Ketidak jelasan hukum telah membuat otonomi daerah justru

telah membuat konflik sumberdaya alam menjadi semakin rumit. Selama masih

ada ketidak-pastian hukum dan otonomi daerah dijalankan setengah hati, dimana

pemerintah pusat masih mengontrol pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya

alam, maka peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan

sumberdaya alam, termasuk hutan hanya akan membuat konflik sumberdaya alam

semakin rumit dan masyarakat adat semakin jauh dari perjuangannya untuk

memperoleh hak kelola hutan sebagai hutan adat mereka.

Page 44: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

160

5.6. Peran LSM Dalam Konflik Sumberdaya Hutan

Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik bukan hanya

melibatkan masyarakat adat dan negara yang saling berhadapan, tetapi juga

melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berusaha membantu kedua

belah pihak untuk dapat menyelesaikan konflik. Pada kasus TNGHS, LSM-LSM

tersebut ada yang mendukung program BTNGHS, ada juga yang mendukung

perjuangan Masyarakat Kasepuhan untuk memperoleh hak akses kelola hutan.

Salah satu LSM yang mendukung program negara (BTNGHS) adalah JICA. JICA

berusaha menjembatani kepentingan lingkungan dan kepentingan masyarakat.

Dengan konsep “model kampung konservasi (MKK)”, JICA mencoba membantu

TNGHS dalam mereboisasi kembali hutan yang gundul melalui konsep partisipasi

masyarakat, dan melakukan pengembangan usaha ekonomi produktif untuk

masyarakat di dalam kawasan.

Adapun LSM-LSM yang pernah datang dan mendukung perjuangan

Masyarakat Kasepuhan adalah SABAKI, SKEPI, PERAN, PUSAKA, LATIN,

RMI, AMAN, RESPEK. Namun yang secara kontinyu dan terus menerus

melakukan pendampingan terhadap masayarakat adalah LSM SABAKI dan

AMAN. LSM SABAKI merupakan organisasi paguyuban masyarakat adat Banten

Kidul dimana seluruh Kasepuhan menjadi anggotanya. Melalui SABAKI inilah

Masyarakat Kasepuhan bekerjasama dengan pemerintah daerah, bukan hanya

Pemerintah Kabupaten Sukabumi, termasuk juga Pemerintah Kabupaten Lebak

untuk melakukan negosiasi dengan Departemen Kehutanan Republik Indonesia

terkait usulan revisi SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003 tentang Perluasan Taman

Nasional Gunung Halimun-Salak.

Adapun AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) adalah organisasi

yang memayungi masyarakat adat di seluruh nusantara. Masyarakat Kasepuhan

selalu dilibatkan dalam kongres AMAN. Abah Asep turut hadir di beberapa

kongres AMAN, antara lain tahun 2007 mengikuti rapat kerja (raker) AMAN di

Sasana Langgeng Budaya TMII, tahun 2009 bulan Agustus abah juga hadir dalam

kongres AMAN di Halmahera. Networking Masyarakat Kasepuhan dengan

AMAN terbentuk karena kesamaan ideologi (pembelaan terhadap masyarakat

adat) dan kesamaan nasib sesama “masyarakat adat” yang umumnya memiliki

Page 45: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

161

masalah yang sama terkait dengan konflik tenurial dengan negara. Keberadaan

LSM AMAN bukan hanya membantu perjuangan masyarakat pada level

kebijakan di tingkat pusat tapi juga berusaha menyelesaikan masalah di tingkat

grassroot. LSM juga pernah membantu Masyarakat Kasepuhan dalam

membuatkan naskah akademik mengenai “pengelolaan hutan oleh masyarakat

adat”. Bantuan tersebut berasal dari LSM PUSAKA dan PERAN. Konsep naskah

akademik tersebut sudah disampaikan kepada Bupati Kabupaten Sukabumi dan

anggota DPR, namun belum ada tindak lanjutnya sampai sekarang.

Dalam kasus Hutan Sungai Utik, keberadaan LSM mendukung perjuangan

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik untuk mendapatkan pengakuan hak atas

hutan adat mereka. Perjuangan Masyarakat Sungai Utik lebih banyak disuarakan

oleh para LSM yang mengaku mewakili dan atas nama masyarakat. LSM-LSM

yang berkiprah di Sungai Utik antara lain AMAN dan LSM-LSM yang berada

dibawah Yayasan Pancur Kasih.

Beberapa perjuangan yang dilakukan melalui LSM AMAN antara lain

konsolidasi dan penguatan masyarakat adat, pemetaan partisipatif di wilayah

kelola masyarakat adat, memperkuat organisasi masyarakat adat, termasuk

kelembagaan adat, mendorong perubahan paradigma kebijakan-kebijakan yang

belum berpihak kepada masyarakat adat, mendorong lahirnya UUPPHMA

(undang undang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat). Beberapa

pendekatan multi pihak yang dijalankan oleh AMAN dengan melakukan MoU

dengan negara, antara lain MoU AMAN-Kementerian Lingkungan Hidup,

AMAN-Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), AMAN-Badan

Pertanahan Nasional (BPN).

MoU AMAN dan BPN meliputi beberapa hal: pertukaran informasi dan

pengetahuan di kalangan badan pertanahan nasional dan aliansi masyarakat adat

nusantara dalam rangka meningkatkan pemahaman visi, misi, peran dan tugas

masing-masing; memformulasikan kebijakan untuk mengakomodasi hak-hak

masyarakat adatnya dalam konteks pembaruan hukum dan peraturan perundang-

undangan nkri; identifikasi dan inventarisasi keberadaan masyarakat adat dan

wilayah adatnya sebagai landasan proses legalisasi menuju perlindungan hukum

hubungannya antara wilayah adat dan masyarakat adatnya; merumuskan

Page 46: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

162

mekanisme penanganan dan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara

pertanahan di wilayah masyarakat adat; pengembangan model-model reforma

agraria di wilayah adat (sumber: AMAN, 2012).

Adapun LSM-LSM yang berkiprah di dusun Sungai Utik yang berada dalam

satu wadah “Yayasan Pancur Kasih” membina Masyarakat Dayak Iban Sungai

Utik dari berbagai aspek termasuk ekonomi dengan didirikannya cu pancur kasih

yang kemudian berubah menjadi CU Keling Kumang setelah mengalami merger

dengan yayasan lain. Salah satu peran penting lainnya yang dilakukan oleh LSM

PPSDAK dalam mendampingi masyarakat tersebut adalah dengan melakukan

pemetaan tata batas wilayah Sungai Utik, yaitu pemetaan partisipatif tahun 1998.

Peta ini menjadi modal bagi masyarakat adat dalam klaim atas wilayah adatnya.

Namun peta yang dibuat oleh masyarakat dan LSM tersebut belum diregistrasi,

sehingga tidak ada pengakuan resmi dari pemerintah maupun pemerintah daerah

mengenai klaim wilayah yang dilakukan oleh masyarakat. Selain itu, melalui

LSM-LSM dibawah yayasan tersebut (LBBT), masyarakat juga mendapat

pendidikan dan penyadaran hukum.

Sekarang ini, beberapa LSM mulai melakukan pembinaan bagaimana

mereka dapat mengelola hutan, memanfaatkan hutan menjadi bernilai ekonomi

dengan cara pemberian pengetahuan tentang permebelan, yaitu mengolah kayu

yang selama ini dibakar di hutan garapan masyarakat untuk dimanfaatkan menjadi

barang-barang mebeler. Namun pembinaan tersebut belum berjalan lancar.

Pembinaan yang sedang berjalan adalah yang dilakukan oleh cu keling kumang

yaitu menampung kerajinan masyarakat dari rotan baik berupa tikar maupun

tembikar dan alat-alat pertanian lainnya yang menggunakan rotan. Rencananya

kerajinan tersebut akan dijual ke luar negeri oleh cu keling kumang.

Selain bantuan LSM dalam bentuk peningkatan kapasitas Masyarakat

Dayak Iban Sungai Utik, bantuan LSM juga berada pada ranah konflik wacana

untuk memperjuangkan hak kelola adat. Perjuangan ini dilakukan melalui arena

seminar-seminar. Contoh kasus pada seminar dan lokakarya yang difasilitasi oleh

LSM Lanting Borneo, dengan tema “Mendorong pendekatan multi pihak dalam

pengelolaan sumberdaya hutan yang menjamin wilayah kelola masyarakat adat,

serta mengedepankan prinsip pembangunan rendah emisi” yang diselenggarakan

Page 47: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

163

di Deo Soli Kota Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu, pada tanggal 25-26 Mei

2012. Hasil yang diharapkan dari seminar tersebut adalah: adanya kesepahaman

dan komitmen bersama guna membangun pendekatan multi pihak dalam

pengelolaan hutan yang mengakui wilayah kelola masyarakat adat, serta

mengedepankan prinsip pembangunan rendah emisi di Kabupaten Kapuas Hulu;

dan terbentuknya forum multipihak yang menjadi wahana bagi para pemangku

kepentingan untuk membangun kerangka kerjasama dalam pengelolaan

sumberdaya hutan secara lestari dan berkelanjutan dengan mengedepankan prinsip

pembangunan rendah emisi di Kabupaten Kapuas Hulu. Dalam seminar tersebut,

pembicaranya adalah dari pihak cendekiawan dan negara, adapun masyarakat adat

hanya sebagai peserta. Kalaupun ada masyarakat adat yang berbicara (contoh Pak

Kanyan) hanya satu orang dari 11 pembicara, namun walaupun satu orang tetapi

web of powernya adalah LSM (AMAN dan LSM yang berada dalam pembinaan

Pancur Kasih serta LSM internasional).

Dukungan LSM nasional dan internasional ini memberikan pengaruh pada

pergeseran pengetahuan lokal Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. LSM-LSM

tersebut mencoba memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai

pengetahuan tentang hutan. Masyarakat digiring oleh LSM pada pemahaman

tentang perdagangan karbon, redd maupun demontrative activity (DA). Ada

pengalihan wacana dari pertarungan untuk mendapatkan “property right” bergeser

ke arah manfaat global bagi semua pihak, masyarakat, negara maupun dunia.

Selanjutnya, pencapaian penting dari bantuan LSM terhadap Masyarakat

Dayak Iban Sungai Utik adalah memfasilitasi masyarakat adat untuk memperoleh

sertifikat ekolabeling, yaitu penghargaan dari lembaga ekolabel Indonesia dengan

Nomor Certificate 08/SCBFM/005 yang diberikan untuk pengelolaan hutan oleh

rumah panjae menua Sungai Utik (forest management unit of rumah panjae

menua Sungai Utik), dalam lingkup “sustainable community based forest

management (SCBFM) unit with an area of 9.453,40 hectares”.

Melalui sertifikat ini memungkinkan LEI untuk melakukan uji lapangan dan

memperbaharui standar pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat. Sertifikasi

tersebut meliputi 9.453,40 ha. Sertifikasi dapat membantu masyarakat untuk

mempertahankan kawasan hutan tersebut sebagai kawasan hutan lestari. Dengan

Page 48: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

164

adanya sertifikat tersebut, setidaknya untuk sementara Masyarakat Dayak Iban

Sungai Utik merasa lega, namun kecemasan tetap ada. Sekalipun adanya Instruksi

Presiden No.10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan

Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut, atau yang

lebih dikenal dengan nama “Inpres Moratorium”, yang mengintruksikan

penundaan izin baru, namun ada pengecualiaan bagi izin yang sedang berjalan.

Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011

tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan

Alam Primer Dan Lahan Gambut, disebutkan bahwa dalam rangka

menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan

lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan melalui

penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dengan ini

menginstruksikan: kepada : 1. Menteri Kehutanan; 2. Menteri Dalam Negeri; 3.

Menteri Lingkungan Hidup; 4. Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan

Dan Pengendalian Pembangunan; 5. Kepala Badan Pertanahan Nasional; 6. Ketua

Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional; 7. Ketua Badan Koordinasi Survey

Dan Pemetaan Nasional; 8. Ketua Satuan Tugas Persiapan Pembentukan

Kelembagaan Redd+ Atau Ketua Lembaga Yang Dibentuk Untuk Melaksanakan

Tugas Khusus Dibidang Redd+; 9. Para Gubernur; 10. Para Bupati/Walikota

untuk:

1. Pertama: mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi,

dan kewenangan masing-masing untuk mendukung penundaan pemberian

izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan

konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan

produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area

penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam peta indikatif penundaan izin

baru yang menjadi lampiran instruksi presiden.

2. Kedua: penundaan pemberian izin baru sebagaimana dimaksud dalam diktum

pertama berlaku bagi penggunaan kawasan hutan alam primer dan lahan

gambut, dengan pengecualian diberikan kepada:

a. Permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri

Kehutanan;

Page 49: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

165

b. Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: geothermal,

minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu;

c. Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan

yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; dan

d. Restorasi ekosistem.

3. Ketiga : khusus kepada: 1. Menteri Kehutanan, untuk:

a. Melakukan penundaan terhadap penerbitan izin baru hutan alam primer

dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan

produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan

produksi yang dapat dikonversi) berdasarkan peta indikatif penundaan izin

baru.

b. Menyempurnakan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan izin

usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.

Inpres tersebut memberikan pengecualian bagi perpanjangan izin

pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang

izin di bidang usahanya masih berlaku. Hal ini memberi makna bahwa IUPHHK

PT. BRW masih tetap berlaku sampai jangka waktu izin tersebut habis.

5.7. Proses Penyelesaian Konflik Sumberdaya Hutan

Dengan mengambil teladan kasus dari Masyarakat Kasepuhan dan

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dapat dijelaskan bahwa konflik sumberdaya

hutan yang melibatkan masyarakat adat dan negara termasuk perusahaan

didalamnya, merupakan konflik pemaknaan, tenurial, otoritas dan konflik

livelihood. Adapun isu sentralnya adalah adanya perbedaan pemaknaan dan

tumpang tindih klaim atas hak penguasaan sumberdaya hutan. Adapun

karakteristik konflik dikedua lokasi dapat digambarkan, sebagai berikut:

Page 50: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

166

Matrik 8. Karakteristik Konflik di Sungai Utik dan Taman Nasional Gunung

Halimun Salak Taman Nasional Gunung Halimun

Salak Hutan Sungai Utik

Masyarakat Negara Masyarakat Negara Penyebab Sistem nilai,

Status wilayah masyarakat, Ketidak jelasan tata batas Pembatasan akses

Status tanah Sistem nilai, Status wilayah masyarakat Ketidak pastian

Status tanah

Proses rekonsiliasi

Aliansi Regulasi lokal Pemetaan wilayah adat

MoU Lokakarya Program kampung konservasi Ecotourism Transmigrasi

Aliansi Regulasi lokal Pendokumentasian hukum adat Pemetaan wilayah adat

Menghentikan kegiatan Membiarkan konflik mengambang

Bentuk konflik

Laten- manifest; aliansi; konfrontasi

Sebetulnya dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah diatur

adanya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Pada

Bab X tentang Peran Serta Masyarakat, Pasal 68 menyebutkan bahwa: “(1)

Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.

(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), masyarakat dapat: a.

memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku; b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan

hasil hutan, dan informasi kehutanan; c. memberi informasi, saran, serta

pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan d. melakukan pengawasan

terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak

langsung. (3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh

kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan

kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan,

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Setiap orang

berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai

akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pasal tersebut diketahui bahwa

masyarakat berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan, bahkan jika ada

kelembagaan baru yang diterbitkan oleh negara atas hutan tersebut dimana

Page 51: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

167

masyarakat ada di dalam dan di sekitar hutan tersebut, maka masyarakat berhak

memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai

lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan

hutan, maupun berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah

miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Persoalannya kemudian berkenaan dengan hak milik atas tanah. Semua

masyarakat adat di Indonesia hidup atas keberadaan lingkungan alam

disekitaranya termasuk hutan dan mereka tidak memiliki surat apapun yang

menerangkan kepemilikan mereka atas tanah dan hutan yang selama ini dijaganya.

Selama undang-undang dan peraturan pemerintah mensyaratkan keberadaan

kepemilikan atas tanah untuk membenarkan masyarakat adat memperoleh hak

akses untuk pemanfaatan hutan, maka selama itu pula konflik sumberdaya hutan

tidak akan pernah diselesaikan.

Idealnya adalah baik negara maupun masyarakat dapat menjalankan fungsi

dan peran sertanya masing-masing sesuai apa yang diamanatkan oleh Pasal 70

Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

bahwa; “masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang

kehutanan, sementara pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat

melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil

guna”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyelesaian konflik sumberdaya

alam tidaklah mudah, karena harus dapat menyelesaikan berbagai penyebab

konflik dan mempertemukan kepentingan, penyelesaian tenurial maupun

redistribusi otoritas.

Page 52: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

168

Matrik 9. Resolusi Konflik Pada Kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik TNGHS Sungai Utik

Kondisi terkini

Wilayah TNGHS diakui sebagai wilayah taman nasional, masyarakat masih diperbolehkan menggarap lahan garapannya selama tidak menambah lokasi baru, menanam pohon kayu dan tidak boleh memotong pohon kayu sekalipun berada di lahan garapannya.

Wilayah ini masih berstatus hutan produksi (diatas kertas) namun tidak aktif. Secara nyata masih menjadi wilayah kelola adat Dayak Iban Sungai Utik dan dijalankan berdasarkan aturan adat. Masyarakat masih menggarap lahan pada miliknya dan boleh berpindah tempat (pertanian bergulir) dalam wilayah kuasa adat selama ada izin dari tuai rumah selaku ketua adat

Upaya konsensus

Ada upaya konsensus yang dilakukan melalui pertemuan-

pertemuan, kesepakatan-

kesepakatan, pembuatan peta tata batas bersama masyarakat, pelaksanaan program bersama “program kampung konservasi”

Ada upaya perjuangan untuk pencabutan izin IUPHHK dan IUP dan diterbitkannya keputusan bahwa hutan tersebut sebagai hutan kelola adat melalui mediasi yang dilakukan oleh LSM, namun Masyarakat Dayak Iban sendiri belum pernah bernegosiasi dengan pemerintah secara langsung.

Unsur kekuatan/ kelemahan

Tidak memiliki peta wilayah adat Hukum adat bersifat lisan dan bertumpu pada peran abah

Dalam proses kesepakatan (MoU belum tuntas) Memiliki dukungan dari pemerintah daerah

Mendapat dukungan dari LSM

Memiliki peta wilayah adat (belum diregistrasi); hukum adat yang dibukukan dan ditanda tangani oleh seluruh Masyarakat Dayak Iban dan Dayak Embaloh; memiliki sertifikat ekolabel dari LEI; memiliki sertifikat sebagai masyarakat teladan perduli hutan

Mendapat dukungan dari LSM

Bertentangan dengan pemerintah daerah

Pada kasus TNGHS, dalam mencoba menyelesaikan konflik penguasaan

sumberdaya hutan, Masyarakat Kasepuhan menempuh jalur negosiasi sejak awal.

Sebenarnya upaya penyelesaian konflik antara BTNGHS dengan Masyarakat

Kasepuhan sudah dilakukan sejak tahun 2006. Di tahun 2006 sudah dilakukan dua

kali pertemuan untuk membahas masalah kawasan. Kedua pertemuan tersebut

diadakan di Pelabuhanratu dan dihadiri oleh perwakilan desa, perwakilan

Kasepuhan, perwakilan AMAN (aliansi masyarakat adat nusantara), pihak

pemerintah daerah. Namun kedua pertemuan tersebut gagal membangun

kesepakatan dan tidak membuahkan hasil. Selanjutnya, tahun 2008 pihak

BTNGHS menginisiasi pertemuan sosialisasi rencana strategis pengelolaan

kawasan lima tahun ke depan yang akan diterapkan mulai pada tahun 2009 yang

diselenggarakan di Bogor. Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan pemerintah

daerah, perwakilan desa, perwakilan Kasepuhan, perwakilan AMAN, dan pihak

BTNGHS. Salah satu yang menjadi fokus pembahasan dalam pertemuan tersebut

adalah rancangan pembagian zonasi yang kemudian ditolak oleh pemerintah

Page 53: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

169

daerah dan Masyarakat Kasepuhan karena dianggap tidak memberikan solusi

terhadap sengketa kawasan antara masyarakat dengan pihak pengelola kawasan.

Menurut keterangan yang diperoleh, warga sudah menyatakan perang jika Renstra

5 tahun TNGHS diterapkan. Hal senada juga sudah dikemukakan oleh perangkat

Desa Sirna Resmi dan pimpinan Kasepuhan Sinar Resmi (lihat Rahmawati et al.,

2008).

Kekalahan Masyarakat Kasepuhan dalam mendialogkan penyelesaian

konflik di kawasan taman nasional telah membuat Masyarakat Kasepuhan

mengembangkan networking yang lebih luas baik dengan pihak LSM, pemerintah

daerah maupun elit-elit politik. Dasar dari networking tersebut ada yang bersifat

aliansi politik ada juga yang disebabkan karena kesamaan ideologi. Melalui

bantuan LSM dan pemerintah daerah tersebut, Masyarakat Kasepuhan berdialog

kembali dengan BTNGHS untuk menegosiasikan beberapa hal yang masih belum

dapat disetujui oleh Masyarakat Kasepuhan:

a. menegosiasikan ulang tentang hak akses masyarakat terhadap hutan dan lahan

garapannya,

b. melakukan pemetaan ulang berdasarkan tata batas hutan adat menurut

masyarakat kasepuhan,

c. menegosiasikan zonasi dalam kawasan taman nasional dengan memasukkan

kawasan Masyarakat Kasepuhan sebagai zona khusus dan lahan garapan

masuk kedalam zona pemanfaatan dengan pendefinisian baru yaitu

memanfaatkan lahan untuk kepentingan livelihood masyarakatnya.

Menurut keterangan pegawai BTNGHS, telah dijalin berbagai pertemuan

untuk memperoleh kata sepakat dengan Masyarakat Kasepuhan maupun

masyarakat lokal lainnya. Bunyi kesepakatan tersebut tertuang dalam rencana

pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang disusun

melalui proses kolaborasi yang dikombinasikan dengan regulasi lokal, hasil

rancangan rencana tata ruang kawasan (RTRK/ zonasi) TNGHS.

Isi kesepakatan tersebut antara lain mengenai penetapan zona inti dan rimba.

Dasar dalam penetapan zona inti ini adalah peraturan perundang-undangan dan

tradisi budaya/ kelembagaan masyarakat adat. Peraturan perundang-undangan

negara digunakan untuk melihat hutan berdasarkan kajian ekosistem, dan habitat

Page 54: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

170

spesies penting serta hutan yang masih tersisa, sementara kelembagaan lokal

Masyarakat Kasepuhan digunakan untuk mengkatagorikan hutan inti berdasarkan

daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya

terhadap pengelolaan ekosistem yang bukan hanya melestarikan hutan tapi

mensejahterakan masyarakatnya. Kesepakatan tersebut berusaha mencapai jalan

tengah bertemunya dua kepentingan. Berdasarkan rencana pengelolaan Taman

Nasional Gunung Halimun Salak (RPTNGHS) yang disusun melalui proses

kolaborasi yang dikombinasikan dengan regulasi lokal, hasil rancangan rencana

tata ruang kawasan TNGHS sebagai berikut:

A. Penetapan zona inti dan rimba

• Dasar penetapan melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem

dan habitat spesies penting.

• Daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya

terhadap pengelolaan ekosistem TNGHS secara menyeluruh.

• Difokuskan pada hutan-hutan alam yang masih tersisa.

B. Penetapan zona pemanfaatan

• Kawasan TNGHS yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-

fungsi pemanfaatan, antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan

sarana prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif, seperti areal

stasiun penelitian cikaniki, cangkuang, gunung bunder dan lokasi lainnya.

• Khusus pada zona pemanfaatan yang masih dikelola perum perhutani dan

pemerintah daerah (Pemda) akan dikelola dengan landasan MoU sambil

menunggu proses IPPA.

• Khusus zona pemanfaatan yang berupa jalur-jalur pendakian dan wilayah-

wilayah rawan terhadap keselamatan pengunjung tetap dikelola TNGHS.

C. Penetapan zona rehabilitasi

• Kawasan yang merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies

penting yang telah terdegradasi, seperti areal bekas penambangan emas

tanpa izin (PETI), Koridor Halimun - Salak.

• Zona rehabilitasi dapat dirubah penetapannya menjadi zona inti, rimba,

pemanfaatan setelah kondisinya dinilai pulih kembali.

D. Penetapan zona khusus

Page 55: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

171

• Wilayah yang telah dikembangkan sebagai fungsi utama ekonomi wilayah

seperti sarana sutet, pembangkit listrik panas bumi (PT. Chevron),

aktivitas pertambangan emas (PT. Aneka Tambang)

• Pemukiman dan garapan yang telah ada sebelum penunjukan TNGHS.

• Untuk mengatur akses pengelolaan masyarakat lokal dibutuhkan regulasi

zona khusus berupa kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan

masyarakat adat, non-adat dan pendatang perihal pengaturan akses,

pemanfaatan, dan kontrol atas sumber-sumber agraria (tata ruang lokal

dalam zona khusus) di dalam kawasan TNGHS.

E. Penyusunan regulasi zonasi, mencakup aktivitas-aktivitas :

• Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan komunitas adat

dalam akses pemanfaatan dan kontrol atas sumber-sumber agraria.

• Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan komunitas

masyarakat desa di dalam dan sekitar TNGHS dalam hal akses

pemanfaatan dan kontrol atas sumber-sumber agraria.

• Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan masyarakat

yang bermukim di dalam kawasan TNGHS perihal kepadatan penduduk

yang sesuai dengan daya dukung wilayah konservasi.

• Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan pihak

pengguna (wisata, tambang, dan lain-lain) perihal penggunaan lahan yang

harus mementingkan aspek konservasi.

• Memantau penegakan kontrak sosial (MoU dan kesepakatan serta

memberi sanksi atas pelanggaran kesepakatan.

Kesepakatan Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS mengenai penetapan

zona pemanfaatan. Dalam menetapkan zona pemanfaatan ini terkait dengan

definisi pemanfaatan itu sendiri, dimana BTNGHS melihat fungsi-fungsi

pemanfaatan, antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan sarana

prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif, seperti areal stasiun

penelitian Cikaniki, Cangkuang, Gunung Bunder dan lokasi lainnya.

Dalam konsep tersebut sama sekali tidak ada ruang pemanfaatan untuk

livelihood masyarakat lokal yang basisnya adalah petani, sehingga tidak ada ruang

lahan pertanian dalam konsep kehutanan, khususnnya taman nasional. Namun

Page 56: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

172

demikian, BTNGHS masih menyisakan kesepakatan pada zona pemanfaatan yang

masih dikelola Perum Perhutani dan pemerintah daerah akan dikelola dengan

landasan MoU sambil menunggu proses IPPA (izin pengusahaan pariwisata

alam). Model kesepakatan seperti ini menunjukkan bahwa pengetahuan

masyarakat ternegasikan. Sama sekali tidak ada ruang zona pemanfaatan hutan

TNGHS untuk lahan garapan dan pemukiman masyarakat, sekalipun dalam

kenyataannya hal tersebut ada. Hal ini bisa jadi bermakna bahwa masyarakat

harus keluar dari pemukiman dan lahan garapan yang selama ini digarap bersama

Perum Perhutani maupun pemerintah daerah. Pada tataran negosiasi ini,

kepentingan masyarakat betul-betul tersubordinasi bahkan tidak diberi ruang

untuk ada, seakan-akan masyarakat dengan sistem pertaniannya menjadi penyebab

dari semua kerusakan hutan yang ada di TNGHS.

Berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam rencana pengelolaan taman

nasional (RPTN) Gunung Halimun Salak 2007-2020 maka stop deforestasi

menurut RPTN tersebut harus terjadi pada tahun 2010. Melihat data penurunan

tutupan hutan 1989-2008, stop deforestasi akan terwujud apabila semua pihak

berperan aktif sesuai tugas dan fungsinya dalam menjalankan pengelolaan di

TNGHS. Peran aktif dari berbagai pihak merupakan salah satu kunci utama dalam

menjaga dan mempertahankan kondisi hutan yang tersisa.

Sikap TNGHS yang sangat pro terhadap konservasi untuk penyelamatan

habitat ini sangat kentara manakala merencanakan penetapan zona rehabilitasi,

dimana tanah-tanah lahan kritis bekas garapan masyarakat akan direhabilitasi dan

zona rehabilitasi dapat dirubah penetapannya menjadi zona inti, rimba, atau

pemanfaatan setelah kondisinya dinilai pulih kembali. Isu yang diusung oleh

BTNGHS untuk penyelamatan lingkungan di kawasan ini adalah biodiversity.

Selanjutnya isu biodiversity ini telah melibatkan LSM internasional dalam

konflik antara BTNGHS dan Masyarakat Kasepuhan, yaitu JICA. JICA berusaha

menjembatani kepentingan lingkungan dan kepentingan masyarakat. Dengan

konsep “model kampung konservasi (MKK)”, JICA mencoba membantu TNGHS

dalam mereboisasi kembali hutan yang gundul melalui konsep partisipasi

masyarakat, dan melakukan pengembangan usaha ekonomi produktif untuk

masyarakat di dalam kawasan. Melalui MKK, pengelola kawasan TNGHS

Page 57: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

173

mencoba membina kelompok-kelompok masyarakat yang dihimpun melalui

wadah MKK (model kampung konservasi) yang didukung oleh pendanaan dari

JICA. Pilot project MKK tahun 2003-2007 ini dilakukan oleh JICA di empat

kampung yaitu: Kampung Sukagalih, Kampung Cimapag, Kampung Cisalimar

dan Kampung Sirnaresmi. Namun konsep ini belum sepenuhnya diterima oleh

masyarakat mengingat pelarangan akses terhadap sumberdaya hutan (menggarap

lahan di ex Perhutani) tetap diberlakukan sehingga kecurigaan terhadap konsep

JICA dalam upaya membodohi masyarakat disadari oleh beberapa masyarakat,

sehingga dari 9 kelompok bentukan JICA di tahun 2004, yang masih terbentuk di

tahun 2008 tinggal 3 kelompok.

Menyadari kesulitan untuk mengamankan hutan TNGHS, BTNGHS mulai

mengembangkan konsep MKK di seluruh kawasan, baik di wilayah Kabupaten

Lebak, Kabupaten Bogor maupun Kabupaten Sukabumi, dengan melibatkan

berbagai instansi pemerintah terkait maupun pihak perusahaan swasta yang berada

di kawasan dan sekitar kawasan taman nasional, antara lain melibatkan Dinas

Kehutanan Provinsi Banten, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, PLN,

ANTAM, CIFOR, TNGHS.

Di Kabupaten Lebak, kegiatan MKK dipusatkan di Resort Gunung Bedil,

Resort Cisoka dan Resort Cibedug, dengan melibatkan pembinaan dan pendanaan

dari JEES dan DIPA-TNGHS. Di kabupaten bogor, kegiatan MKK dipusatkan di

Resort Gunung Talaga, terdiri atas: Resort Gunung Kencana, Resort Gunung

Butak, Resort Gunung Botol, Resort Gunung Salak 1, dan Resort Gunung Salak 2.

Kegiatan MKK di Kabupaten Bogor menggandeng pendanaan dan pembinaan dari

CIFOR dan ANTAM. Di Kabupaten Sukabumi kegiatan MKK dipusatkan di

Resort Gunung Kendeng, Resort Cimanjaya, Resort Gunung Bodas, dan Resort

Kawaah Ratu. Kegiatan MKK di Kabupaten Sukabumi dilakukan oleh TNGHS-

JICA dan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Total MKK di seluruh kawasan

TNGHS sampai tahun 2012 adalah 39 buah.

Fakta berkembangnya program MKK dengan melibatkan kolaborasi antara

instansi pemerintah dengan perusahaan swasta menunjukkan bahwa adanya afilisi

antara negara dan perusahaan swasta. Dukungan pendanaan dari perusahaan

swasta tersebut tidak semata-mata untuk kepentingan masyarakat lokal, melainkan

Page 58: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

174

ada keuntungan ekonomi yang diperoleh perusahaan atas kebijakan pemerintah

yang mengizinkan aktivitas perusahaan di kawasan TNGHS melalui penjanjian

pinjam pakai. Afiliasi antara negara dan perusahaan swasta tersebut telah

memantapkan otoritas negara selaku pemilik dan pengontrol sumberdaya hutan.

Otoritas negara selaku pihak yang berkuasa telah memarginalkan otoritas

masyarakat dan kepentingannya terhadap hutan. Berkembangnya konsep MKK

tersebut menunjukkan kemenangan otoritas negara melawan otoritas Masyarakat

Kasepuhan, dan menunjukkan adanya dominasi otoritas negara atas otoritas

masyarakat lokal dimana masyarakat dipaksa untuk menerima konsep pengelolaan

kawasan ala taman nasional untuk pelestarian lingkungan.

Sebetulnya ada peluang kesepakatan negara dan masyarakat adat yang dapat

menjamin keberlangsungan hidup masyarakat adat bersama dengan hutannya,

melalui penetapan zona khusus, yaitu zona pemukiman dan garapan yang telah

ada sebelum penunjukan TNGHS. Untuk mengatur akses pengelolaan masyarakat

lokal dibutuhkan regulasi zona khusus berupa kontrak sosial (MoU antara

BTNGHS dengan masyarakat adat, non-adat dan pendatang perihal pengaturan

akses, pemanfaatan, dan kontrol atas sumber-sumber agraria (tata ruang lokal

dalam zona khusus) di dalam kawasan TNGHS.

Dalam penyusunan regulasi zonasi, ada beberapa aktivitas yang harus

dilakukan antara masyarakat adat dan negara yaitu membangun kontrak sosial

(MoU) antara BTNGHS dengan komunitas adat dalam hal akses pemanfaatan dan

kontrol atas sumberdaya hutan dan kepadatan penduduk yang sesuai dengan daya

dukung wilayah konservasi, membangun kontrak sosial (MoU) antara BTNGHS

dengan pihak pengguna (wisata, tambang, dan lain-lain) perihal penggunaan lahan

yang harus mementingkan aspek konservasi, memantau penegakan kontrak sosial

dan kesepakatan serta memberi sanksi atas pelanggaran kesepakatan.

Proses kesepakatan (MoU) dengan Masyarakat Kasepuhan tersebut belum

sepenuhnya terealisasi. Sampai saat ini, BTNGHS masih melakukan proses

pemetaan untuk hutan adat menurut versi masyarakat yang akan disesuaikan

dengan zonasi menurut taman nasional. Masih adanya tarik ulur kepentingan

antara negara dan masyarakat, dimana kesepakatan tersebut masih dinilai kurang

adil oleh masyarakat karena membatasi masyarakat pada zona khusus yang

Page 59: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

175

merupakan wilayah pemukiman dan lahan garapan yang aktif pada saat ini,

sementara dalam konsepsi masyarakat, lahan garapan juga termasuk lahan yang

tidak dalam kondisi aktif, yaitu seperti ladang-ladang yang ditinggalkan sementara

yang menurut TNGHS dikatagorikan sebagai lahan kritis.

Dalam persepsi mayarakat Kasepuhan, ada beberapa kesepakatan penting

yang harus dibangun antara TNGHS dengan Masyarakat Kasepuhan sebagaimana

dikemukakan oleh Abah Asep, sebagai berikut:

1. “pertama, perlu dilakukannya pemetaan tata batas hutan dalam konsep

zonasi masyarakat dan dalam konsep zonasi taman nasional. Adapun data

yang ada dari taman nasional tumpang tindih dan tidak jelas serta tidak

nyata. Ada perbedaan antara peta menurut badan koordinasi survei dan

pemetaan nasional (BAKOSURTANAL) dan peta taman nasional.

2. Kedua, pendefinisian zona pemanfaatan harus selaras dengan zona garapan

adat, pemukiman dan garapan masyarakat, karena masyarakat adat juga

mengetahui bahwa hutan inti (leuweung hideung) tidak akan diganggu.

3. Ketiga, mengenai aturan enclave. Taman nasional hanya mengakui adanya

enclave perkebunan PT. Nirmala Agung, mengapa tidak mengakui adanya

enclave masyarakat adat, padahal keberadaan masyarakat adat di kawasan

ini sudah sejak abad ke 14 sebelum adanya Belanda, masyarakat sudah

tinggal disini, dekat Perkebunan Nirmala Agung yaitu Kampung Urug

Kecamatan Jasinga. Dari sejak saat itu sampai sekarang sudah ada 10

keturunan. Bukti adanya keturunan pertama bisa dipertanggungjawabkan

di Cipatat Urug, buktinya adalah adanya kuburan nenek moyang. Jika

perkebunan bisa diberlakukan enclave, mestinya juga dapat diberikan

enclave untuk lahan garapan masyarakat, yang sebenarnya lahan garapan

masyarakat di kawasan taman nasional ini sudah dibuka sejak tahun

1941.”

Ucapan Abah Asep tersebut merupakan harapan kesepakatan yang ingin

dibangun oleh masyarakat dengan BTNGHS. Masyarakat Kasepuhan tidak ingin

menguasai kawasan hutan secara keseluruhan, karena dalam konsep pengelolaan

hutan Kasepuhan juga mengajarkan adanya beberapa kawasan yang harus tetap

dijaga kelestariannya. Namun Kasepuhan menginginkan adanya hak akses pada

Page 60: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

176

“hutan garapan” mereka sebagai sumber livelihood masyarakatnya. Oleh karena

itu memang perlu adanya pendefinisian ulang mengenai zona pemanfaatan

TNGHS, sehingga memungkinkan zona pemanfaatan tersebut berada pada peta

“leuweung garapan” masyarakat.

Upaya penyelesaian konflik Sungai Utik relatif lebih sulit karena perjuangan

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik relatif stagnan, karena sejak konflik pertama

berlangsung di tahun 1984 sampai sekarang, tidak ada upaya yang nyata dari

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik untuk mengajukan kawasan Hutan Sungai

Utik sebagai wilayah kawasan hutan kelola adat secara formal melalui surat

formal, kajian naskah akademik maupun dengan dialog secara langsung. Bahkan

peta sebagai bukti teritori wilayah kuasa Sungai Utik yang dimiliki oleh Sungai

Utik sejak lama (tahun 1987) melalui bantuan dari PPSDAK (pembinaan

pengelolaan sumberdaya alam kemasyarakatan) sampai sekarang belum pernah

diajukan untuk dilegalisasi.

Usaha yang sudah dilakukan oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik

dalam rangka memperjuangkan Hutan Sungai Utik sebagai hutan adat, dapat

dikemukakan, sebagai berikut:

(1) Pemetaan wilayah adat (difasilitasi oleh PPSDAK) yang bertujuan untuk

mengetahui batas-batas wilayah berdasarkan sejarah asal-usul dan mencari

alat untuk mempertahankan wilayah dalam bentuk peta;

(2) Penguatan institusi lokal, hukum adat dan budaya lokal yang bertujuan untuk

mengembalikan kedaulatan orang iban dengan struktur yang mereka miliki

dari dulu yaitu temenggung (istilah temenggung merupakan kooptasi dari

pemerintah Belanda), pateh dan tuai rumah yang nyaris hilang sebagai akibat

kooptasi pemerintah melalui UU No. 5/1979 (difasilitasi oleh LBBT);

(3) Inventarisasi hutan (difasilitasi oleh PPSDAK) untuk mengetahui potensi/

kekayaan hutan;

(4) Identifikasi hak ulayat yang bertujuan untuk mengetahui dan menyelesaikan

kontroversi keberadaan hak ulayat serta memberikan kepastian hukum akan

eksistensi tanah ulayat tersebut. (sumber data: Kanyan-LBBT)

Penyelesaian konflik Sungai Utik dilihat dari konsep negara diatur dalam

aturan negara sebagai penjelasan tambahan dari UU No. 41 Tahun 1999 Tentang

Page 61: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

177

Kehutanan, yaitu Surat Edaran dari Menteri Kehutanan Nomor. S.75/Menhut-

II/2004 Tanggal 12 Maret 2004, perihal Surat Edaran Masalah Hukum Adat dan

Tuntutan Kompensasi/ Ganti Rugi Oleh Masyarakat Hukum Adat.

Dalam surat edaran tersebut menegaskan bahwa hutan dapat terdiri dari

hutan negara dan hutan hak. Hutan negara bisa berupa hutan adat. Artinya bahwa

ketika masyarakat adat mengklaim sebagai hutan adat maka sesungguhnya hutan

tersebut adalah hutan negara. Namun masyarakat adat diberi hak untuk

memanfaatkan hutan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat

tersebut masih ada dan diakui keberadaannya, maka berhak: a. melakukan

pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari

masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan

berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-

undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan

kesejahteraannya.

Pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan

peraturan daerah. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 67 Ayat (1) disebutkan

bahwa “Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut

kenyataannya memenuhi unsur antara lain: a. masyarakatnya masih dalam bentuk

paguyuban (rechtsgemeenschap); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat

penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata dan

perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e. masih

mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Jadi jika masyarakat hukum adat ingin diakui keberadaanya dan

memperoleh hak-haknya terhadap hutan, maka harus ada pengakuan yang

ditetapkan melalui peraturan daerah. Peraturan daerah disusun dengan

mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat

setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta

instansi atau pihak lain yang terkait.

Dalam Surat Edaran Menteri Kehutanan yang ditujukan kepada gubernur/

bupati/ walikota di seluruh Indonesia tersebut disebutkan bahwa “.....dalam rangka

mengakomodasi tuntutan oleh masyarakat hukum adat, maka kami minta kepada

Page 62: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

178

saudara untuk dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut: a. Apabila di

wilayah saudara terdapat tuntutan oleh masyarakat hukum adat di dalam kawasan

hutan yang selama ini telah dibebani dengan hak pengusahaan hutan/izin usaha

pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK), maka terhadap permohonan atau

tuntutan tersebut perlu sebelumnya dilakukan penelitian oleh pakar hukum adat,

tokoh masyarakat yang ada di daerah yang bersangkutan, instansi atau pihak lain

yang terkait serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat untuk menentukan

apakah permohonan yang bersangkutan masih merupakan masyarakat hukum adat

atau bukan.

Penelitian tersebut harus mengacu kepada kriteria keberadaan masyarakat

hukum adat sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 67 Ayat (1) UU

Nomor 41 Tahun 1999. Untuk menetapkan hutan negara sebagai hutan adat yang

pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap)

setempat, bupati/walikota melakukan pengusulan hutan negara tersebut untuk

ditetapkan sebagai hutan adat dengan memuat letak, luas hutan serta peta hutan

adat yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan dengan rekomendasi gubernur,

dengan ketentuan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang

bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila berdasarkan hasil

penelitian permohonan tersebut memenuhi syarat, maka agar masyarakat hukum

adat tersebut dapat ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi. Peraturan daerah

tentang keberadaan masyarakat hukum adat selanjutnya disampaikan kepada

Menteri Kehutanan untuk diajukan permohonan penetapannya sebagai hutan adat.

Atas permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima atau menolak

penetapan hutan adat. Apabila berdasarkan permohonan tersebut Menteri

Kehutanan dapat menerima maka akan ditetapkan hutan adat untuk masyarakat

yang bersangkutan. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan tentang penetapan

hutan adat tersebut, yang akan dikirimkan kepada saudara, maka kami minta

bantuan saudara untuk dapat memfasilitasi pertemuan antara masyarakat hukum

adat (yang telah ditetapkan) dengan pemegang HPH/IUPHHK.. Berkaitan dengan

tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat terhadap para

pemegang HPH/IUPHHK yang melakukan kegiatan/operasi di wilayah

masyarakat hukum adat tersebut, maka ganti rugi atau kompensasi tidak harus

Page 63: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

179

berbentuk uang, tetapi dapat berupa bentuk mata pencaharian baru atau

keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan disekitarnya atau pembangunan

fasilitas umum/sosial yang bermanfaat bagi masyarakat hukum adat setempat dan

dalam batas kewajaran/tidak berlebihan, serta tidak bertendensi pemerasan dan

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hukum adat setempat.

Dengan adanya tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat

terhadap para pemegang HPH/IUPHHK, gubernur atau bupati/walikota dapat

memfasilitasi pertemuan antara pihak yang bersangkutan untuk penyelesaian

dengan cara musyawarah dan mufakat. Namun apabila mengalami jalan buntu,

maka penyelesaiannya disarankan dilakukan melalui proses pengadilan dengan

mengajukan gugatan secara perdata melalui peradilan umum.

Mengacu pada surat edaran tersebut maka solusinya adalah penetapan Hutan

Sungai Utik sebagai hutan adat, namun hutan adat adalah hutan negara, sekalipun

pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat adat, namun tetap mengakomodir

keberadaan IUPHHK, sementara masyarakat memperoleh ganti rugi dari

keberadaan IUPHHK tersebut. Apa yang ditawarkan oleh surat edaran tersebut

tentu saja bertentangan dengan keinginan masyarakat, karena saat ini sekalipun

hutan Masyarakat Dayak Iban tidak berstatus sebagai hutan adat, namun

masyarakat mempunyai akses mutlak untuk mengelola hutan. Masyarakat mampu

menjaga hutan dari masuknya perusahaan IUPHHK.

Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/91, tentang Peranan

Pemegang Hak Pengusahaan Hutan Dalam Pembinaan Masyarakat di Dalam dan

di Sekitar Hutan, disebutkan bahwa “masyarakat di dalam dan di sekitar hutan

adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun

di pedesaan sekitar hutan”. Berdasarkan keputusan menteri tersebut, dalam konsep

negara, hutan yang dijadikan lahan IUPHHK tersebut juga harus memberi manfaat

bagi masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar hutan. Namun sekalipun

masyarakat diberi ruang untuk memanfaatkan kayu maupun non kayu pada areal

hutan yang telah diberi status hutan HPH, namun keinginan Masyarakat Dayak

Iban Sungai Utik hanyalah ingin hutan mereka tetap lestari dalam penguasaan

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik.

Page 64: 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/65017/7/BAB V... · penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan

180

Perbedaan sikap kedua masyarakat tersebut dilandasi karena adanya

perbedaan nilai-nilai budaya (state of believe). Nilai-nilai budaya mempengaruhi

sikap dan tindakan masyarakat dalam menyelesaikan konflik. Masyarakat

Kasepuhan menempuh jalan dialog dengan bantuan dari LSM dan pemerintah

daerah selaku mediator dalam penyelesaian konflik dengan BTNGHS. Adapun

pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, penyelesaian konflik dilakukan dengan

jalan meningkatkan kemampuan kelembaaan Dayak Iban Sungai Utik melalui

bantuan dari LSM sehingga mampu menunjukkan bahwa Masyarakat Dayak Iban

Sungai Utik layak untuk melakukan pengelolan hutan berbasis masyarakat, yang

dibuktikan dengan diperolehnya sertifikat ekolabeling. Sertifikat ini menjadi

modal dari Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dalam memperjuangkan Hutan

Sungai Utik sebagai hutan adat.

Keinginan Masyarakat Sungai Utik adalah bahwa hutan itu tetap lestari. Sebagaimana dikemukakan oleh Ape Janggut, sebagai berikut: “Kami bukannya tidak mau mendukung program pemerintah yang menjadikan hutan ini sebagai kawasan HPH dan diberikan pada pengusaha, namun hutan ini adalah hutan kami, hutan titipan dari anak cucu kami generasi masa datang. Apa yang akan kami katakan pada mereka jika hutan tersebut rusak. Kami menjaganya untuk mereka kelak, bukan hanya untuk mewariskan kayu pada mereka, tapi yang ingin kami wariskan adalah hutan yang masih lestari, agar mereka masih tetap memiliki sumber mata air yang bersih, mereka masih bisa lihat keaneka ragaman jenis kayu dan jenis-jenis tanaman lain, serta memberi tempat pada makhluk-makhluk lain seperti hewan untuk hidup. Untuk kepentingan kami sendiri saat ini sudah cukup dengan memanfaatkan wilayah garapan kami baik untuk menanam padi, kebun karet maupun menanam jenis-jenis pohon kayu yang lain.”