37934678 komplikasi akut pada preeklampsia

Upload: hafizah-fz

Post on 16-Oct-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dfghjk

TRANSCRIPT

  • KOMPLIKASI AKUT PADA PREEKLAMPSIA

    Oleh

    Dr. Wim T. Pangemanan, SpOG (K)

    BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

    RSMH / FK UNSRI PALEMBANG Disampaikan pada acara Ilmiah lustrum VIII FK Unsri Jumat, 04 Oktober 2002

  • 2

    KOMPLIKASI AKUT PADA PREEKLAMPSIA

    Oleh: Dr. Wim T. Pangemanan, SpOG(K)

    Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik pada

    kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga didapati pada kelainan

    perkembangan plasenta, dimana digambarkan disuatu kehamilan hanya terdapat trofoblas

    namun tidak terdapat jaringan fetus (kehamilan mola komplit). Meskipun patofisiologi

    preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal

    kehamilan. Telah dinyatakan bahwa pathologic hallmark adalah suatu kegagalan total

    atau parsial dari fase kedua invasi trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan, hal

    ini pada kehamilan normal bertanggung jawab dalam invasi trofoblas ke lapisan otot

    arteri spiralis. Seiring dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan metabolik fetoplasenta

    makin meningkat. Bagaimanapun, karena invasi abnormal yang luas dari plasenta, arteri

    spiralis tidak dapat berdilatasi untuk mengakomodasi kebutuhan yang makin meningkat

    tersebut, hasil dari disfungsi plasenta inilah yang tampak secara klinis sebagai

    preeklampsia. Meskipun menarik, hipotesis ini tetap perlu ditinjau kembali.

    Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik preeklampsia

    meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai suatu tekanan darah

    yang menetap 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensif), onset baru proteinuria ( didefinisikan sebagai 300 mg/24 jam atau +2 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan onset baru edema yang bermakna. Pada beberapa

    konsensus terakhir dilaporkan bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria

    diagnosis.

    Pada makalah ini akan dibahas tentang komplikasi klinis dari preeklampsia.

    Beberapa komplikasi akut preeklampsia, yaitu eklampsia, sindroma HELLP (hemolisis,

    elevasi enzim hati, penurunan platelet), ruptur hepar, edema pulmonal, gagal ginjal,

    koagulopati intravaskular diseminasi, kedaruratan hipertensi dan hipertensi ensefalopati

    serta kebutaan kortikal. Pembahasan selanjutnya akan menampilkan detil diagnosis dan

  • 3

    penatalaksanaan dari beberapa komplikasi diatas, yaitu: eklampsia, gagal ginjal,

    kedaruratan hipertensi, serta hipertensi ensefalopati dan kebutaan kortikal.

    EKLAMPSIA

    Eklampsia ditandai dengan terjadinya kejang umum dan atau koma pada preeklampsia

    tanpa adanya kondisi neurologik lainnya. Dahulu, eklampsia dikatakan sebagai hasil

    akhir dari preeklampsia, sesuai dengan asal katanya. Penyebab pasti dari kejang pada

    wanita dengan eklampsia tidak diketahui. Penyebab yang dikemukakan meliputi

    vasospasme serebral dengan iskemia lokal, hipertensi ensefalopati dengan hiperperfusi,

    edema vasogenik dan kerusakan endotelial. Meskipun terdapat kemajuan pesat dalam

    deteksi dan penatalaksanaan, preeklampsia/eklampsia tetap menjadi penyebab umum

    kematian ibu yang kedua di Amerika Serikat ( sesudah penyakit tromboemboli), sekitar

    15 % dari seluruh kematian. Bahkan, diperkirakan 50.000 kematian maternal di seluruh

    dunia disebabkan oleh eklampsia.

    Epidemiologi dan insiden

    Eklampsia umumnya terjadi pada wanita kulit berwarna, nulipara, dan golongan sosial

    ekonomi rendah. Insiden tertinggi pada usia remaja atau awal 20-an, tetapi prevalensinya

    meningkat pada wanita diatas 35 tahun. Eklampsia jarang terjadi pada usia kehamilan

    dibawah 20 minggu, dapat meningkat pada kehamilan mola atau sindroma antifosfolipid.

    Insiden eklampsia secara keseluruhan relatif stabil, 4-5 kasus /10.000 kelahiran

    hidup di negara maju. Di negara berkembang, insiden bervariasi luas antara 6-100/

    10.000 kelahiran hidup.

    Manifestasi klinis dan diagnosis

    Diagnosis klinis eklampsia didasarkan pada timbulnya kejang umum dan atau koma pada

    wanita dengan preeklampsia tanpa adanya kondisi neurologis lainnya. Kejang eklampsia

    hampir selalu hilang sendiri dan jarang terjadi lebih dari 3-4 menit. Kejang eklamptik

    secara klinis dan elektroensefalografik tidak dapat dibedakan dari kejang tonik klonik

    umum lainnya. Secara umum, wanita dengan kejang eklamptik tipikal tanpa defisit

    neurologik fokal atau koma yang berlangsung lama, tidak dianjurkan untuk dilakukan

    pemeriksaan elektroensefalografik atau pencitraan serebral. Kondisi klinis selain

  • 4

    eklampsia yang dapat dipertimbangkan ketika melakukan evaluasi pada wanita hamil

    yang mengalami kejang dapat dilihat pada tabel 1.

    Tabel 1. Diagnosis banding dari eklampsia

    Traumatik cerebrovaskuler Perdarahan intraserebral Trombosis arteri dan vena serebral Penyakit hipertensi Hipertensi ensefalopati Pheochromocytoma Penekanan lesi pada susunan syaraf pusat Tumor otak Abses Kelainan metabolic Hipoglikemia Uremia Inappropriate antidiuretic hormone secretion resulting in water intoxiccation Infeksi Meningitis Encefalitis Trombotik trombositopenik purpura Epilepsi idiopatik Sekitar separuh dari seluruh kasus eklampsia terjadi sebelum aterm, lebih dari

    20% terjadi sebelum kehamilan 31 minggu. Tiga perempat dari kasus terjadi pada

    kehamilan aterm, berkembang saat intrapartum atau selama 48 jam postpartum. Kejang

    karena eklampsia dapat muncul kembali pada saat postpartum. Sering selama beberapa

    jam sampai beberapa hari post partum. Diuresis (> 4 L/ hari) diyakini sebagai indikator

    klinis yang paling akurat dari pulihnya preeklampsia atau eklampsia, tetapi hal ini tidak

    menjamin tidak berulangnya kejang. Dapat pula terjadi eklampsia postpartum lanjut

    (kejang eklamptik yang berkembang > 48 jam postpartum, namun < 4 minggu

    postpartum) pada 25% kasus postpartum dan > 16% dari seluruh kasus eklampsia.

    Penatalaksanaan

    Sejumlah strategi penatalaksanaan telah dikembangkan untuk mencegah komplikasi

    eklampsia terhadap ibu dan janin selama periode peripartum. Cara terbaru pada

    penatalaksanaan wanita dengan eklampsia meliputi beberapa aspek, yaitu

    mempertahankan fungsi vital ibu, mencegah kejang dan mengontrol tekanan darah,

  • 5

    mencegah kejang berulang dan evaluasi untuk persalinan. Bila terjadi kejang, langkah

    pertama yang harus dilakukan adalah menjaga jalan nafas tetap terbuka dan mencegah

    terjadinya aspirasi. Ibu berbaring miring ke kiri dan penahan lidah diletakkan di dalam

    mulutnya.

    A. Mengontrol Kejang

    Walaupun kejang pada eklampsia membaik tanpa pengobatan dalam 3-4 menit, obat

    anti kejang dapat digunakan untuk mengurangi kejang. Obat-obat terpilih untuk

    mengatasi kejang pada eklampsia adalah magnesium sulfat (MgSO4). Pada wanita

    yang telah mendapat pengobatan MgSO4 profilaksis, kadar magnesium plasma harus

    dipertahankan dengan pemberian infus MgSO4 1-2 gram secara cepat. Pada penderita

    yang tidak mendapatkan pengobatan profilaksis tersebut, harus diberikan infus 2-6

    gram MgSO4 secara cepat, diulang setiap 15 menit. Dosis awal ini memungkinkan

    untuk diberikan pada ibu-ibu dengan insufisiensi renal. Sedangkan mekanisme kerja

    MgSO4 dalam mereduksi kejang belum diketahui secara pasti. Beberapa mekanisme

    kerja MgSO4 adalah memberikan efek vasodilatasi selektif pada pembuluh darah otak

    juga memberikan perlindungan terhadap endotel dari efek perusakkan radikal bebas,

    mencegah pemasukan ion kalsium ke dalam sel yang iskemik dan atau memiliki efek

    antagonis kompetitif terhadap reseptor glutamat N-metil-Daspartat (yang merupakan

    fokus epileptogenik).

    Benzodiazepin juga digunakan pada waktu lampau untuk pengobatan kejang

    eklampsia. Diazepam memasuki susunan saraf pusat secara cepat dimana efek anti

    konvulsan akan tercapai dalam waktu 1 menit dan efek diazepam ini akan mengontrol

    kejang >80% pasien dalam waktu 5 menit. Akan tetapi saat ini banyak peneliti

    menganjurkan untuk tidak menggunakan benzodiazepin karena sangat berpotensi

    untuk menyebabkan depresi pada janin. Secara klinis, efek ini menjadi bermakna

    ketika dosis total benzodiazepin pada ibu > 30 mg.

    B. Penatalaksanaan hipertensi

    Gangguan serebrovaskular terjadi pada 15-20% dari seluruh kematian pada

    eklampsia. Risiko terjadinya strok hemoragik memiliki hubungan secara langsung

  • 6

    dengan derajat peningkatan tekanan darah sistolik dan sedikit berhubungan dengan

    tekanan darah diastolik. Terapi emergensi pada keadaan terjadinya peningkatan

    tekanan darah tersebut masih belum jelas. Sebagian besar peneliti menganjurkan

    untuk menggunakan anti hipertensi yang poten untuk mengatasi tekanan darah

    diastolik pada kadar 105-110 mmHg dan tekanan darah sistolik > 160 mmHg,

    walaupun hal ini belum diuji secara prospektif. Pada wanita yang telah mengalami

    hipertensi kronik, pembuluh darah otaknya lebih toleran terhadap tekanan darah

    sistolik yang lebih tinggi tanpa terjadinya kerusakan pada pembuluh darahnya,

    sedangkan pada orang dewasa dengan tekanan darah yang normal atau rendah

    mungkin akan menguntungkan jika terapi dimulai pada kadar tekanan darah yang

    lebih rendah. Peningkatan tekanan darah yang berat dan persisten (>160/110 mmHg)

    harus diatasi untuk mencegah perdarahan serebrovaskular. Penatalaksanaannya

    termasuk pemberian hidralazin (5 mg IV, diikuti dengan pemberian 5-10 mg bolus

    sesuai kebutuhan dalam waktu 20 menit) atau labetalol (10-20 mg IV, diulang setiap

    10-20 menit dengan dosis ganda, namun tidak lebih dari 80 mg pada dosis tunggal,

    dengan dosis kumulatif total 300 mg). Pada keadaan yang tidak menunjukkan

    perbaikan dengan segera setelah mendapat terapi untuk kejang dan hipertensinya atau

    mereka yang memiliki kelainan neurologis harus dievaluasi lebih lanjut.

    C. Pencegahan kejang berulang

    Sekitar 10% wanita eklampsia akan mengalami kejang berulang walaupun telah

    ditanggulangi secara semestinya. Ada kesepakatan umum bahwa wanita dengan

    eklampsia membutuhkan terapi anti konvulsan untuk mencegah kejang dan

    komplikasi dari berulangnya aktivitas kejang tersebut, seperti: asidosis, pnemonitis

    aspirasi, edema pulmonal, neurologik dan kegagalan respirasi. Namun, pemilihan

    jenis obat untuk keadaan ini masih kontroversial. Ahli obstetrik telah lama

    menggunakan MgSO4 sebagai obat pilihan untuk mencegah berulangnya eklampsia,

    sementara ahli neurologi memilih anti konvulsan tradisional yang digunakan pada

    wanita yang tidak hamil seperti fenitoin atau diazepam. Permasalahan ini telah

    disepakati oleh sejumlah penelitian klinis terakhir dengan hasil seperti dibawah ini:

    The Eclampsia Trial Collaborative Group melakukan penelitian prospektif terhadap 905 wanita eklampsia yang secara random dipilih untuk mendapat

  • 7

    Magnesium atau Diazepam dan 775 wanita eklampsia yang dipilh secara

    random menerima Magnesium atau Fenitoin. Pengukuran keluaran primer

    adalah kejang rekuren dan kematian maternal. Wanita dengan terapi

    Magnesium mendapatkan separuh angka kejang rekuren dibandingkan dengan

    diazepam (13% dan 28%). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada

    kematian maternal atau perinatal atau angka komplikasi diantara kedua

    kelompok. Wanita yang diberi magnesium memiliki sepertiga angka kejang

    rekuren dibandingakan dengan fenitoin (6% dan 17%). Dalam rangkaian

    penelitian ini wanita yang menerima magnesium

  • 8

    Evaluasi pada persalinan

    Terapi definitif eklampsia adalah persalinan yang segera, tanpa memandang usia

    kehamilan untuk mencegah komplikasi pada ibu dan anak. Tetapi ini tidak perlu

    menghalangi dilakukannya induksi persalinan. Setelah dilakukan stabilisasi terhadap ibu,

    terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan sebelum menentukan cara yang

    paling sesuai untuk persalinan. Diantaranya usia kehamilan, nilai Bishop, keadaan dan

    posisi janin. Secara umum, kurang dari sepertiga wanita dengan preeklampsia berat /

    eklampsia berada pada kehamilan preterm (< 32 minggu kehamilan) dengan serviks yang

    belum matang untuk dapat melahirkan pervaginam. Pada keadaan ini, obat-obat untuk

    mematangkan serviks dapat digunakan guna meningkatkan nilai Bishop, namun induksi

    yang terlalu lama harus dihindari.

    Bradikardi pada janin yang berlangsung sedikitnya 3 sampai 5 menit merupakan

    keadaan yang sering dijumpai selama dan segera setelah kejang eklampsia, dan hal ini

    tidak memerlukan tindakan seksio sesar emergensi. Tindakan stabilisasi ibu dapat

    membantu janin dalam uterus pulih kembali dari efek hipoksia ibu, hiperkarbia dan

    hiperstimulasi uterus. Akibat kejang pada ibu sering berhubungan dengan takikardi janin

    kompensata bahkan dengan deselerasi denyut jantung janin sementara yang akan pulih

    kembali dalam waktu 20 sampai 30 menit.

    Prognosis

    Komplikasi pada ibu dengan eklampsia dapat terjadi hingga 70 % kasus, meliputi DIC,

    gagal ginjal akut, kerusakan hepatoselular, ruptura hati, perdarahan intraserebral, henti

    jantung paru, pneumonitis aspirasi, edema paru akut, dan perdarahan pasca persalinan.

    Kerusakan hepatoselular, disfungsi ginjal, koagulopati, hipertensi dan abnormalitas

    neurologi akan sembuh setelah melahirkan. Akan tetapi kerusakan serebrovaskular akibat

    perdarahan atau iskemia akan mengakibatkan kerusakan neurologi yang permanen.

    Tingkat kematian ibu dilaporkan berkisar antara 0-13,9%. Satu penelitian retrospektif

    terhadap 990 kasus eklampsia menemukan angka kematian ibu secara keseluruhan adalah

    13,9% (138/990). Risiko paling tinggi (12/54 [22%]) dijumpai pada subkelompok wanita

    dengan eklampsia pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Tingkat kematian ibu dan

    komplikasi yang berat paling rendah dijumpai pada wanita yang melakukan asuhan

  • 9

    prenatal yang teratur pada dokter yang berpengalaman pada fasilitas kesehatan tersier.

    Satu penelitian otopsi yang dilakukan segera setelah kematian pada wanita eklampsia

    menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari wanita yang meninggal dalam waktu 2 hari

    akibat kejang pada otaknya menunjukkan perdarahan dan perlunakan serebral.

    Perdarahan kortikal petekie merupakan yang paling sering dijumpai, khususnya meliputi

    lobus occipitalis. Edema serebral yang difus dan perdarahan masif lebih jarang dijumpai.

    Trombosis vena serebral sering dijumpai pada wanita dengan eklampsia paska persalinan.

    Angka kematian perinatal pada kehamilan eklamptik adalah 9-23% dan berhubungan

    erat dengan usia kehamilan. Angka kematian perinatal pada satu penelitian terhadap 54

    parturien dengan eklampsia sebelum usia kehamilan 28 minggu adalah 93%; angka ini

    hanya sebesar 9% pada penelitian lain dengan rata-rata usia kehamilan pada saat

    melahirkan 32 minggu. Kematian perinatal terutama diakibatkan oleh persalinan

    prematur, solusio plasenta dan asfiksia intrauterin.

    Kehamilan berikutnya

    Eklampsia dapat timbul kembali pada kehamilan berikutnya. Risiko tersebut dapat

    dikurangi dengan pemantauan ibu yang ketat dan intervensi segera jika terjadi

    preeklampsia. Tetapi belum ada cara yang efektif untuk mencegah terjadinya

    preeklampsia. Tingkat rekurensia eklampsia diperkirakan berkisar sekitar 2%.

    Kehamilan berikutnya pada wanita dengan riwayat preeklampsia berat / eklampsia

    juga meningkatkan risiko komplikasi obstetri lainnya dibandingkan dengan wanita tanpa

    riwayat tersebut, termasuk solusio plasenta (2,5-6,5% berbanding 0,8%), persalinan

    preterm (15-21% berbanding 7-8%), pertumbuhan janin terhambat (12-23% berbanding

    10%) dan peningkatan tingkat kematian perinatal (4,6-16,5% berbanding 1-3%). Wanita

    dengan riwayat preeklampsia/eklampsia pada kehamilan < 28 minggu, memiliki risiko

    tertinggi untuk terjadinya komplikasi tersebut. Risiko tersebut tampaknya sama, baik

    pada preeklampsia berat maupun eklampsia.

    Dapatkah eklampsia diprediksi ?

    Hubungan antara hipertensi, gejala dan tanda dari iritabilitas kortikal (sakit kepala,

    gangguan penglihatan, mual, muntah, demam, hiperrefleksia) dan kejang-kejang masih

  • 10

    belum jelas. Analisis retrospektif terhadap 383 kasus eklampsia di Inggris menemukan

    hanya 59% wanita eklampsia menunjukkan satu atau lebih gejala prodromal sakit

    kepala, gangguan penglihatan (skotomata, amaurosis, pandangan kabur, diplopia,

    hemianopsia homonimus), atau nyeri epigastrium sebelum terjadinya kejang eklampsia.

    Selanjutnya, besarnya peningkatan tekanan darah tampaknya tidak dapat memprediksi

    terjadinya eklampsia, walaupun keadaan tersebut berhubungan erat dengan insidensi

    terjadinya gangguan serebrovaskular. Analisis retrospektif menunjukkan bahwa

    eklampsia merupakan manifestasi pertama dari penyakit hipertensi yang berhubungan

    dengan kehamilan pada 20-38% kasus. Temuan yang sama juga dilaporkan pada

    penelitian di Swedia, Skotlandia dan Amerika Serikat. Pada salah satu dari penelitian

    tersebut, faktor-faktor tersebut paling tidak secara parsial bertanggung jawab terhadap

    gagalnya pencegahan terhadap eklampsia (179 kasus) merupakan kesalahan dokter

    (36%), kegagalan magnesium (13%), onset pada paska persalinan lanjut (12%), onset dini

    sebelum kehamilan 21 minggu (3%), onset mendadak (18%) dan asuhan antenatal yang

    kurang (19%). Oleh karena itu, banyak kasus-kasus eklampsia tampaknya tidak dapat

    dicegah, walaupun pada wanita-wanita dengan asuhan prenatal yang teratur.

    Pencegahan terhadap kejang eklampsia pertama

    Walaupun tidak semua kasus eklampsia dapat diprediksi, pemberian terapi anti kejang

    terhadap parturien risiko tinggi dapat mencegah terjadinya kejang pertama pada wanita

    dengan preeklampsia berat. Dua penelitian besar telah menunjukkan keunggulan

    magnesium sulfat dibandingkan dengan fenitoin dalam mencegah eklampsia, Kelompok

    rumah sakit Parkland secara acak memberikan magnesium atau fenitoin terhadap 2138

    wanita preeklampsia. Kejang eklamptik timbul pada 10 dari 1089 wanita yang menerima

    fenitoin dibandingkan dengan tidak ada satupun kejang eklamptik dari 1049 wanita yang

    menerima magnesium (P = 0,004). Keluaran ibu dan neonatus adalah sama pada kedua

    kelompok. Data tersebut didukung oleh penelitian yang baru dilakukan di Afrika Selatan

    dimana 685 wanita dengan preeklampsia berat secara acak diberikan profilaksis kejang

    dengan terapi magnesium sulfat atau placebo. Perkembangan menjadi eklampsia lebih

    rendah pada kelompok magnesium (0,3% berbanding 3,2% [P = 0,003]).

  • 11

    Terapi anti kejang secara umum dimulai selama kehamilan atau pada saat memberikan

    terapi kortikosteroid antenatal atau obat untuk mematangkan serviks sebelum

    perencanaan persalinan pada wanita dengan preeklampsia berat. Terapi harus dilanjutkan

    hingga 24 sampai 48 jam pascapersalinan dan risiko terjadinya kejang adalah rendah.

    Regimen magnesium sulfat yang paling sering digunakan adalah dosis awal 4 sampai 6 g

    diberikan intravena lebih dari 20 menit, diikuti dengan 2 sampai 3 g / jam sebagai infus

    kontinyu. Tidak jelas apakah semua wanita dengan preeklampsia memerlukan profilaksis

    untuk mencegah terjadinya kejang pada sejumlah kecil pasien (0,6 3,2%). Selanjutnya

    pada wanita hipertensi tanpa proteinuria , insidensi terjadinya kejang adalah sangat

    rendah (< 0,1%) yang akan aman bila tidak diberikan profilaksis kejang pada wanita

    tersebut.

    TABEL 2. Pencegahan kejang berulang pada wanita dengan eklampsia

    Obat Dosis awal Dosis rumatan Kadar terapi Direkomendasikan sebagai terapi utama

    Magnesium sulfat 4-6 g IV lebih dari 10-20 menit 2-3 g/jam IV infus 4-8 mEq/L* 10 g IM (5 g pada setiap bokong) 5 g IM setiap 4 jam Seperti diatas

    Terapi yang direkomendasikan pada wanita yang refrakter terhadap magnesium sulfat

    Fenitoin 1-1,5g IV lebih dari 1 jam 250-500 mg setiap 10-20 g/ml

    (tergantung berat badan) 10-12 jam oral atau IV Diazepam - 10 mg/jam IV infuse -

    Chlormethiazole 40-100 mL dari 0,8% 60 ml/jam IV infus

    lebih dari 20 menit * Tidak diuji secara prospektif

    Amobarbital / pentotal

    Tidak tersedia di Amerika Serikat

    GAGAL GINJAL

    Gagal ginjal akut ditandai dengan pelepasan reduksi pada filtrasi glomerular, yang

    mengarah kepada eksesif retensi urea dan air sama halnya dengan sejumlah elektrolit dan

    gangguan keseimbangan asam basa. Gagal ginjal akut adalah salah satu komplikasi yang

    jarang terjadi pada preeklampsia, tetapi keadaan yang sebenarnya tetap tidak bisa

    ditentukan. Berdasarkan pengalaman pada satu senter, 18% dari semua kasus gagal ginjal

  • 12

    akut berasal dari kasus obstetri. Diantara pasien tersebut, 20,9% dari semua kasus terjadi

    dengan didahului oleh preeklampsia. Kondisi lain yang harus dipertimbangkan meliputi

    sindroma hemolisis uremia, penyakit renovaskuler primer dan solusio plasenta.

    Etiologi dan Patogenesis

    Karakteristik histologis pada lesi renal pada preeklampsia adalah adanya endoteliasis

    glomerulus, dimana glomerulus besar dan membengkak dengan sel-sel endotel

    bervakuola. Gambaran histologis ini, berpasangan dengan vasokonstriksi umum yang

    menandai preeklampsia, menyebabkan penurunan sebesar 25-30% dari aliran plasma

    ginjal dan glomerular filtrasi dibandingkan dengan kehamilan normal. Bagaimanapun,

    kerusakan fungsional pada ginjal dibandingkan dengan preeklampsia secara umum

    bersifat ringan dan mengalami perbaikan sempurna setelah persalinan. Sebagai contoh,

    gagal ginjal akut pada wanita preeklampsia yang secara klinis bermakna jarang terjadi.

    Penyebab dari terjadinya gagal ginjal akut dapat dibagi dalam 3 kategori besar;

    prerenal (yang dihubungkan dengan hipoperfusi ginjal tanpa melibatkan parenkim),

    intraarenal (yang mengakibatkan kerusakan instrinsik pada parenkim ginjal), dan

    postrenal (yang berimplikasi pada obstruktif uropati). Keadaan patologis prerenal dan

    intrarenal (akut tubular nekrosis) sekitar 83-90% dari semua kasus gagal ginjal akut pada

    preeklampsia.

    Kerusakan ginjal sekunder dengan perubahan patologi seperti ini terlihat paling

    umum pada preeklampsia dan biasanya mengalami perbaikan sempurna setelah

    persalinan. Sebaliknya, nekrosis korteks renal bilateral, berkisar 10-29% dari kasus-kasus

    gagal ginjal akut pada kehamilan, adalah kondisi yang jauh lebih serius dan dihubungkan

    dengan angka kematian maternal dan angka kematian perinatal beserta

    komplikasinya.Hal ini paling umum terlihat pada wanita dengan latar belakang hipertensi

    kronik dan superimposed preeklampsia, dikenal sebagai penyakit parenkim ginjal, solusio

    plasenta atau DIC.

    Prognosis

    Pada tahun 1990, Sibai dan kawan-kawan melaporkan pengalaman mereka tentang hasil

    kehamilan preterm, keluaran kehamilan selanjutnya, dan mengontrol prognosis pada 31

    pasien dengan preeklamsia yang berkomplikasi dengan gagal ginjal akut yang

  • 13

    dikumpulkan lebih dari 11 tahun. Insisdensi nyata gagal ginjal akut tidak bisa ditentukan

    karena sebagian besar pasien dikirim dari institusi lain. Angka kematian maternal adalah

    10 % (3/31). Secara keseluruhan 14 dari 31 pasien (46,6%) memerlukan dialisis, dan

    tidak ada perbedaan dalam presentase antara wanita yang memerlukan dialisis untuk

    preeklampsia (50%) dan hipertensi kronik dengan superimpos preeklampsia (42%). Dari

    ke-18 pasien dengan gagal ginjal akut yang didahului oleh preeklampsia mengalami akut

    tubular nekrosis, dengan resolusi lengkap dari fungsi ginjal setelah melahirkan.

    Sebaliknya 3 dari 13 pasien dengan hipertensi kronik dan superimpos preeklampsia

    mengalami nekrosis korteks bilateral, 9 dari 11 (81,8%) pasien yang hidup memerlukan

    dialisis jangka panjang, dan 4 pasien mengalami kematian karena gagal ginjal terminal

    sebelum publikasi. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa identifikasi dini dan

    penanganan yang tepat dari gagal ginjal akut pada parturien yang sebelumnya sehat

    dengan preeklamsia tidak berakhir dengan kerusakan ginjal residual jangka panjang.

    Penelitian yang sama dari Memphis, Tennessee, sebelumnya melaporkan

    pengalaman mereka dengan sindroma HELLP dan gagal ginjal akut. Dari semua kasus

    gagal ginjal akut yang didahului oleh sindroma HELLP adalah 7,3 %. Pada penelitian

    kohort mereka, didapatkan angka kematian maternal sebesar 13 % dan angka kematian

    perinatal sebesar 34%. Sebagian besar dari 32 pasien dengan sindroma HELLP dan gagal

    ginjal akut terjadi saat pascapersalinan. Analisis lebih lanjut mengatakan bahwa keadaan

    dengan latar belakang hipertensi kronik berhubungan dengan keluaran hasil persalinan

    yang kurang begitu baik diharapkan dan prognosis jangka panjang yang lebih baik.

    Penatalaksanaan

    Penatalaksanaan dari gagal ginjal akut yang didahului oleh preeklamsia harus difokuskan

    pada penyingkiran diagnosis lain, khususnya kondisi-kondisi yang mungkin bersifat

    reversibel (misal dehidrasi atau obstruktif uropati). Terapi suportif meliputi kontrol

    tekanan darah, pengaturan posisi pasien untuk meningkatkan aliran darah ginjal, koreksi

    keseimbangan cairan dan elektrolit, dan mempertahankan nutrisi yang adekuat. Bila

  • 14

    dialisis diperlukan selama masa kehamilan, maka hemodialisis yang dianjurkan bukan

    dengan dialisis peritoneal.

    KEDARURATAN HIPERTENSI

    Kedaruratan hipertensi dapat menjadi komplikasi dari preeklampsia sebagaimana yang

    terjadi pada hipertensi kronik. Walaupun patofisiologinya mungkin berbeda pendekatan

    evaluasi akut dan penatalaksanaanya adalah sama, dengan tujuan utama untuk mencegah

    terjadinya hipertensi ensefalopati dan serangan serebrovaskular (CVA). Sampai sekarang

    yang belum jelas apakah tekanan darah yang terkontrol secara agresif dapat menurunkan

    terjadinya eklampsia. Walaupun jarang, CVA sebagai akibat dari hipertensi akut

    merupakan salah satu penyebab terjadinya kematian maternal dari preeklampsia.

    Diagnosis banding

    Hipertensi akut mungkin juga merupakan salah satu hasil dari berbagai macam kelainan

    ini. Walaupun etiologinya tampak jelas, pertimbangan harus diberikan untuk berbagai

    kemungkinan diagnosa selain dari eklampsia, jika manifestasi kliniknya atipikal.

    Diagnosia alternatif yang mungkin antara lain : kromositoma, trombosis vena renalis,

    gejala rebound pada pemberian klonidin, penyalahgunaan kokain dan metamfetamin,

    hiperemi akut pada kulit akibat penyakit kolagen vaskuler. Dalam berbagai kasus, yang

    melatarbelakangi terjadinya hipertensi akut adalah hipertensi esensial yang memburuk

    atau eksaserbasi akut dari preeklampsia.

    Patofisiologi

    Mengapa kedaruratan hipertensi terjadi pada beberapa pasien sedangkan yang lainnya

    tampak tidak jelas? Beberapa ahli telah berusaha untuk mendifinisikan ambang parameter

    dari krisis hipertensi dan mengeluarkan pernyataan bahwa tekanan darah diastolik harus

    lebih dari 115 mmHg dan/ atau sistolik lebih dari 200 mmHg untuk menetapkan

    diagnosis hipertensi krisis. Namun dari pengalaman klinik menunjukkan bahwa CVA

    dapat terjadi pada wanita dengan tekananan darah yang konsisten dibawah parameter

    diatas. Para ahli yang lain mengajukan pendapat bahwa angka rata-rata telah berubah

  • 15

    dibandingkan dengan pengukuran yang absolut yang bertanggungjawab terjadinya

    kerusakan otak.

    Krisis hipertensi dapat mempengaruhi berbagai sistim organ. Ablasio retina dan

    atau perdarahan pada retina, gagal jantung kongestif, infark miokard, gagal ginjal, gagal

    hati, solusio plasenta, dan ensefalopati hipertensi dimana semuanya ini dapat terjadi

    akibat hipertensi akut yang tidak terkontrol. Bukti-bukti klinis dari akibat kerusakan pada

    organ akhir tersebut harus segera mendapat perhatian dan penanganan yang segera yang

    mengacu pada pengontrolan tekanan darah.

    Sebagian besar pasien dirawat tanpa menggunakan pengawasan hemodinamik

    yang invasif, tapi pasien-pasien dengan kasus atipikal yang berat sebaiknya dirawat pada

    pusat rujukan tersier dengan dibawah pengawasan dokter-dokter yang memiliki keahlian

    dalam bidang kedaruratan medik (critical care medicine).

    Penatalaksanaan

    Kedaruratan hipertensi dalam kehamilan merupakan suatu tantangan klinis yang sangat

    bermakna. Langkah pertama yang terpenting dalam penatalaksanan hipertensi krisis

    adalah untuk menurunkan tekanan darah, namun menurunkan tekanan darah secara tiba-

    tiba harus dihindari. Idealnya penurunan tekanan darah yang pertama kali adalah 20 %,

    dengan target untuk sistolik 140-150 mmHg dan diastolic 90-100 mmHg, sehingga

    hasilnya akan sangat membantu dalam memperbaiki keadaan pasien. Hipertensi yang

    refrakter dalam terapi klinis merupakan indikasi penting untuk melakukan terminasi

    kehamilan, dan untuk kasus-kasus yang ekstrim, seksio sesarea perimortem perlu

    dilakukan.

    Pada hipertensi akut dengan komplikasi hipertensi ensefalopati penatalaksanaanya

    harus dilakukan dengan menggunakan fasilitas ICU. Pemberian sodium nitropruside

    merupakan obat pilihan utama antihipertensi pada keadaan ini. Pada dosis yang melebihi

    dari 8 g/kg/menit, hati-hati terjadinya akumulasi sianida dan tiosianat pada janin .

    Dianjurkan dilakukan pengawasan ketat dari kadar sianida pada pasien-pasien yang

    mendapat sodium nitropruside dosis tinggi. Obat-obat lainnya yang dapat digunakan pada

    keadaan ini untuk menurunkan tekanan darah secara akut telah dirangkum dalam tabel 3.

  • 16

    TABEL 3. Penatalaksanaan farmakologi krisis hipertensi akut

    Obat Dosis Keterangan Direkomendasikan sebagai terapi utama Hidralazin 5 mg iv bolus diberikan dalam 10 menit x 2

    dosis: kemudian dilanjutkan 10 mg iv bolus

    diberikan dalam 20 menit sampai tekanan darah

    stabil pada 140-150/90-100 mm Hg

    Hati-hati terhadap hipotensi dan

    kemungkinan akibat buruk pada

    perfusi uteroplasenta.

    Labetalol 10-20 mg iv bolus : ulangi dalam 10-20 menit

    dengan dosis ganda (tidak lebih dari 80 mg

    dalam beberapa dosis tunggal) saampai total

    maksimum 300 mg.

    Hati-hati terhadap hipotensi dan

    kemungkinan akibat buruk pada

    perfusi uteroplasenta.

    Nifedipin 10 mg oral dalam 30 menit x 2 dosis: kemudian

    10-20 mg peroral per 4-6 jam

    Nifedipin sublingual lebih baik

    dihindari

    Direkomendasikan pada wanita yang refrakter terhadap terapi utama

    Sodium

    nitroprusid 0,5-3,0 g/kg/min iv perinfus (tidak melebihi 800 g/min)

    Sebaiknya hanya dilakukan oleh

    seseorang yang berpengalaman

    Nitrogliserin 5 g/min iv perinfus ditingkatkan sesuai kebutuhan setiap 5 menit sampai dosis

    maksimum 100 g/min.

    Kontraindikasi relatif pada

    keadaan hipertensi ensefalopati

    karena dapat meningkatkan aliran

    darah otak dan tekanan

    intrakranial.

    Penatalaksanaan definitif dari hipertensi krisis yang disebabkan preeklampsia

    adalah terminasi kehamilan. Anestesi analgesik regional lebih sering dipakai pada

    keadaan ini jika tidak ada bukti-bukti terjadinya koagulopati dan tidak ada kontraindikasi

    untuk dilakukannya anestesi regional. Pada pasien-pasien ini penting untuk mencegah

    terjadinya hipotensi. Jika dibutuhkan anestesi umum maka diperlukan pengawasan

    tekanan darah dan diperlukan premedikasi untuk mencegah peningkatan tekanan darah

    yang seringkali dijumpai pada fase induksi dari anestesi umum.

  • 17

    HIPERTENSI ENSEFALOPATI DAN BUTA KORTIKAL

    Buta kortikal diketahui sebagai komplikasi dari preeklampsia berat. Manifestasi

    optalmologi dari preeklampsia antara lain : ablasio retina, vasospasme arteriola retina dan

    trombosis arteri-arteri sentralis retina. Insiden dari buta kortikal yang merupakan

    manifestasi dari ensefalopati hipertensi pada preeklampsia berat adalah 1-15 %.

    Patofisiologi

    Otak secara normal dilindungi dari tekanan darah yang ekstrim oleh suatu sistim

    autoregulasi yang mengatur perfusi konstan pada tekanan sistemik yang mempunyai

    rentang yang bervariasi. Untuk penatalaksanaan hipertensi sistemik, arteriol-arteriol

    serebral perlu dilebarkan untuk mempertahankan perfusi yang adekuat, dimana

    pembuluh-pembuluh mengalami penyempitan sebagai respon dari tingginya tekanan

    sistemik. Diatas dari batas tertinggi dari autoregulasi, dapat terjadi ensefalopati hipertensi

    . Hipertensi ensefalopati merupakan suatu sindroma neurologik subakut yang ditandai

    dengan sakit kepala, kejang, penurunan penglihatan dan gangguan-gangguan neurologik

    lainnya (perubahan status mental, gejala-gejala fokal neurologik) pada keadaan tekanan

    darah yang meningkat. Walaupun sindroma ini bersifat reversibel jika hipertensi yang

    terjadi diobati secara dini, namun tetap menjadi fatal jika gejala-gejala ini tidak dikenali

    atau jika pengobatan ini tertunda. Penemuan klinis bersifat tidak spesifik dan

    diagnosisnya mungkin sulit untuk ditegakkan terutama pada pasien-pasien yang

    menderita penyakit lainnya. Kondisi-kondisi neurologi yang bervariasi seperti CVA,

    trombosis vena, ensefalitis dapat menutupi gejala klinis dari hipertensi ensefalopati. MRI

    berguna dalam menegakkan diagnosa pada kasus-kasus klinik yang sesuai.

    Studi studi otopsi klasik dari Sheehan dan Lynch tahun 1960 menghasilkan suatu

    pendapat bahwa preeklampsia dan eklampsia lebih sering dihubungkan dengan

    meluasnya edema serebral. Lesi yang paling sering dijumpai adalah perdarahan petekie

    multipel pada daerah kortek, subkortek, substansia alba dan otak bagian tengah. Karena

    perdarahan petekie berkaitan dengan adanya trombus kapiler, maka para ahli

  • 18

    menyimpulkan bahwa lesi-lesi tersebut disebabkan oleh suatu gangguan vaskuler yang

    menyebabkan lokal iskemik. Kadang-kadang edema difus yang berat tampak pada

    eklampsia, namun semakin spesifik lesi, maka edem otak semakin terlokalisir pada

    jaringan penghubung substansia alba dan grisea pada lobus oksipital. Kerentanan dari

    sirkulasi posterior pada lesi hipertensi ensefalopati sudah dikenal, tapi fenomena

    terjadinya masih belum banyak dimengerti. Satu penjelasan yang mungkin adalah

    terdapatnya hubungan dengan heterogenitas regional dari penemuan simpatis vaskuler.

    Pada studi eksperimental, persarafan-persarafan simpatis dari arteriol-arteriol

    intrakranial telah terbukti untuk melindungi otak dari peningkatan tekanan darah yang

    bermakna. Kemudian , studi-studi ultrastruktural telah menunjukkan bahwa sistim karotis

    interna mendapat suplai yang lebih baik dengan inervasi simpatis jika dibandingkan

    dengan sistim vertebrobasiler. Hipertensi akut menurut hipotesa ini dapat menstimulasi

    saraf-saraf simpatis perivaskuler, yang dapat melindungi bagian anterior tapi tidak

    inervasi bagian posterior yang sirkulasinya lebih sedikit. Hipotesa tersebut dapat

    menghasilkan suatu hipotesa baru dengan edema yang sebagian besar terdapat pada

    lobus oksipital yang bermanifestasi klinis pada mata.

    Dua teori yang telah diajukan untuk menghitung kelainan-kelainan klinis dan

    radiologis pada hipertensi ensefalopati dan buta kortikal. Postulat I menyatakan bahwa

    hipertensi ensefalopati disebabkan karena adanya spasme dari vaskular serebral sebagai

    respon dari hipertensi akut, yang juga dapat menyebabkan kerusakan iskemik, nekrosis

    arteriol, dan edema sitotoksik. Hipotesis alternatif yang terbaru adalah sindrom-sindrom

    yang berasal dari rusaknya autoregulasi dengan overdistensi pasif dari arteriol-arteriol

    serebral, yang mengacu pada peningkatan permeabilitas kapiler dengan kebocoran cairan

    dan protein sampai disekeliling jaringan, menghasilakan edema vasogenik ( hidrostatik).

    Pada kedua contoh diatas hasil akhir dari progresifitas penyakit adalah edema serebral

    fokal. Terdapatnya edema serebral pada hasil CTscan dan MRI kepala, tidak membantu

    dalam mendefinisikan mekanisme yang melatarbelakangi terjadinya hipertensi

    ensefalopati. Peningkatan neuroimaging mungkin dilakukan, termasuk SPECT (single

    photon emission computed tomography), yang dapat membedakan baik area

    hiper/hipoperfusi, yang telah memungkinkan dilakukannya penyelidikan secara lebih

    terperinci dari respon vaskuler serebral pada hipertensi.

  • 19

    Pada tahun 1992, Schwarts dkk melaporkan pada penggunaan CT MRI dan

    SPECT pada 14 pasien dengan ensefalopati hipertensi, termasuk 8 diantaranya menderita

    preeklampsia. Semua pasien mempunyai lesi-lesi hipodens pada lobus oksipital yang

    tampak pada CT, yang berkaitan dengan lesi-lesi dari peningkatan intensitas sinyal yang

    terdapat pada T2 weighted MRI . SPECT yang dilakukan pada 2 pasien dalam episode

    hipertensi pada area yang terbuka akan meningkatkan perfusi serebral, yang berkaitan

    dengan lesi-lesi yang ditemukan pada CT-scan dan MRI. Data-data ini menunjang konsep

    yang menyatakan bahwa ensefalopati hipertensi merupakan hasil primer dari peningkatan

    permeabilitas vaskuler yang memacu timbulnya edema vasogenik. Jika vasospasme dan

    resultan iskemia merupakan hal-hal yang penting, penurunan perfusi serebral pada

    SPECT mungkin akan lebih diawasi dengan infark yang mungkin terjadi. Namun infark

    ini jarang terjadi baik secara klinis maupun secara eksperimental.

    Penatalaksanaan

    Buta kortikal dan manifestasi lainnya dari ensefalopati hipertensi merupakan suatu

    kontraindikasi untuk dilakukannya perawatan dari preeklampsia dalam kehamilan.

    Kelahiran bayi dan plasenta merupakan satu-satunya terapi yang kuratif. Tanggung jawab

    lainnya dari penatalaksanan ini termasuk menyingkirkan penyebab lainnya dari kebutaan

    (mis : perdarahan oksipital, dan ablasio retina) dan pengontrolan tekanan darah . Buta

    kortikal akan sembuh secara sempurna sesudah kelahiran walaupun masa

    penyembuhannya mungkin memakan waktu beberapa minggu.

    KESIMPULAN

    Preeklampsia merupakan suatu penyebab yang bermakna dari penyebab kematian

    maternal dan perinatal serta komplikasinya. Sekali diagnosis dari preeklampsia dibuat,

    pilihan dari terapi adalah terbatas. Karena itu, perhatian lebih difokuskan pada

    pencegahan terjadinya preeklampsia. Walaupun penelitian secara ekstensif telah

    dilakukan, tidak ada strategi tunggal yang telah menunjukkan kelebihan dalam mencegah

    perkembangan preeklampsia baik pada populasi dengan risiko tinggi atau rendah.

    Preeklampsia merupakan suatu kelainan implantasi plasenta dan hal ini tidak sepenuhnya

    dapat diterima. Kelahiran dari janin dan plasenta menjadi satu-satunya terapi kuratif.

  • 20

    Suatu kondisi dimana kesehatan yang dipertahankan, ditambah dengan agresifitas dan

    intervensi dini dari komplikasi preeklampsia, mungkin dapat mengurangi kerugian yang

    terdapat pada janin dari ibu yang mengalami preeklampsia berat.

    DAFTAR PUSTAKA 1. Barrilleaux PS, Martin JN. Hypertension therapy during pregnancy. Clin Obstet Gynecol 2002 ; 45:

    22-34 2. Norwitz ER, Hsu CD, Repke JT. Acute complications of preeclampsia. Clin Obstet Gynecol 2002 ; 45:

    308-329 3. Yankowitz, Niebyl JR. Drug therapy in pregnancy. 3rd ed. Philadelphia.Baltimore.New

    York.London.Hongkong.Tokyo: Lippincot Williams & Wilkins, 2001:101 4. Briggs GG, Freeman RK. Drug in pregnancy and lactation. 6th ed. Philadelphia.Baltimore.New

    York.London.Hongkong.Tokyo: Lippincot Williams & Wilkins, 2002:995 5. American College of Obstetricians and Gynecologists. Hypertension in pregnancy. ACOG Technical

    Bulletin No. 219. Washington, DC: ACOG, 1996 6. Gilstrap LC, 3rd, Cunningham FG, Whalley PJ. Mangement of pregnancy-induced hypertension in the

    nulliparous patient remote from term. Semin Perinatol. 1978;2:73 7. Campbell DM, Templeton AA. Is eclampsia preventable? In: Bonnar J, MacGillivray I, Symonds ED,

    eds. Pregnancy Hypertension. Baltimore: University Park Press, 1980:483 8. Lucas MJ, Leveno KJ. Cunningham FG. A comparison of magnesium sulfate with phenytoin for the

    prevention of eclampsia. N Eng J Med. 1995;333:201 9. Hall DR, Odendaal HJ, Smith M. Is the prophylactic administration of magnesium sulphate in women

    with preeclampsia indicated prior the labour? Br J Obstet Gynaecol. 2000;107:903 10. Sibai BM, Villar MA, Mabie BC. Acute renal failure in hypertensive disorders of pregnancy:

    Pregnancy outcome and remote prognosis in thirty-one consecutive cases. Am J Obstet Gynecol. 1990;162:777-783

    11. Stratta P, Canavese C, Colla L, et al. Acute renal failure in preeclampsia-eclampsia. Gynecol Obstet Invest. 1987;24:225-231

    12. Sibai BM, Ramadhan MK. Acute renal failure in pregnancies complicated by hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelets. Am J Obstet Gynecol. 1993;168:1682-1687

    13. Apollon KM, Robinson JN, Schwartz RB, et al. Cortical blindness in severe preeclampsia: Computed tomography, magnetic resonance imaging and single-photon emisson computed tomography findings. Obstet Gynecol. 2000;95:1017-1019

    14. Nag S, Robertson DM, Dinsdale HB. Cerebral cortical changes in acute hypertension: An ultrastructural study. Lab Invest. 1977;39:150-161

  • 21

    Lampiran 1. Hipertensi dalam kehamilan Hipertensi kronik

    Diobservasi sebelum kehamilan atau usia kehamilan 20 minggu, tekanan darah lebih 140/90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan jarak lebih dari 6 jam

    Hipertensi dalam kehamilan Transient hypertension dalam kehamilan: tanpa gejala preeklampsia dan tekanan darah kembali normal setelah 12 minggu setelah melahirkan

    Hipertensi kronik Didiagnosis jika kenaikan tekanan darah menetap Preeklampsia/eklampsia

    Biasanya terjadi setelah usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Hipertensi yang disertai oleh proteinuria (protein lebih dari 0,3 g dalam 24 jam pemeriksaan). Diduga apabila adanya gejala-gejala yang khas yakni peningkatan tekanan darah, sakit kepala, pandangan kabur, nyeri perut, jumlah platelet rendah, peningkatan enzim-enzim hati.

    Superimpus preeklampsia pada hipertensi kronik Ketika preeklampsia dijumpai pada wanita yang menderita hipertensi, prognosis pada ibu dan janin yang lebih jelek dari kondisi sebenarnya.

  • 22

    Lampiran 2. Obat-obatan antihipertensi selama kehamilan Obat Dosis nonakut Efek samping Keterangan Methyldopa 250-1500 mg BID sampai hipertensi posturnal, Biasanya digunakan maksimun 3000 mg/hari drowsicness, retensi cairan pada hipertensi dalam kehamilan, potensi ringan Hidralazine 10, 25, 50, 100 mg nyeri kepala, berdebar, Biasanya digunakan TID-QID sampai maksi- sindroma seperti lupus untuk kontrol jangka mum 400 mg/hari pendek Labetalol 100, 200, 300 mg sampai nyeri kepala, blok jantung, Hindari pada penderita maksimum 2400 mg/hari mulut kering, tremubusnes astma, PJK, hati-hati pada diabetes Nifedipine Kerja lama: 30-60 mg nyeri kepala, kelelahan, Efek yang sangat besar dimulai 30, 60, 90 mg pusing, edema perifer, untuk penurunan maksimum 120 mg/hari konstipasi tekanan darah Thiazide 12,5 mg sampai dengan sama dengan nifedipine Efek yang selektif pada 25 mg/hari otot polos pembuluh darah. Terganggunya elektrolit yang menyebabkan komplikasi diagnosis preeklampsia Furosemide 20-40 mg/hari sampai dg sama dengan Thiazide sama dengan Thiazide 160 mg BID Nitoprusside Jarang digunakan pada hipotensi, keracunan sianida Digunakan ketika gagal Hipertensi non-akut pada penggunaan yang lama metode lainnya: pertimbangkan ganguan arteri pada penggunaannya

  • 23

    Lampiran 3. Strategi pengontrolan hipertensi kronik pada kehamilan dan postpartum Rejimen Pengobatan Primer Pengobatan Sekunder Pengobatan Tersier Antepartum I Methyldopa Labetalol II Felodipine Diuretic III Felodipine Labetalol IV Hydralazine Labetalol Postpartum I Hydralazine Nifedipine XL/ Labetalol Felodipine II Nifedipine XL/ Labetalol Diuretic Felodipine III ACE inhibitor Calcium channel blocker Beta blocker

  • 24

    Lampiran 4. Protokol penatalaksanaan krisis hipertensi dalam kehamilan Manifestasi klinik Penatalaksanaan Dosis Kontra indikasi Keterangan TD konsisten > Labetalol (hidra Dosis I:5-10 Astma, ggl jan- Pemantauan ibu 160/105,plg tidak lazin digunakan mg iv,kmd tung, bradikar- dengan TD regu pada dua kali pe-- sbg agen alter- dosis diberi dia ler setiap 10 me meriksaan pd ka- natif pilihan per kan 2x lipat nit, tes labor, kasus darurat tama) per 15 mnt manifestasi kli- sampai men nis, pengawas- capai dosis an janin secara maks 300mg. berkelanjutan. TD tdk bisa dikon Hidralazin 10mg iv se- perawatan se- - trol dg regimen tiap 10-15 cara ekstrim diatas menit sam- bila ada riwa- pai mencapai yat penyakit dosis maks jantung 300 mg TD tdk bisa dikon Nifedipin dpt 10 mg peroral Bukti klinis Harus dirawat trol dg regimen dipakai seba- setiap 10-15 adanya hipo- di ICU dg pe- diatas, pertimbang gai agen alter menit sampai perfusi sere- ngawasan TD, kan tim pelaksana natif. Tercapai do- bral. Pengawasan ja yg terdiri atas spe- Pertimbangkan sis maks 90 mg. nin, monito- sialis fetomaternal partus dg peng- 0,25 ug/kg/mnt ring keracunan gunaan sodium (ditimgkatkan sianida. nitroprusside sebanyak 0,25 ug/kg/mnt seti- ap 5 mnt sam- pai mencapai dosis maks 10 ug/kg/mnt)

  • 25

    Lampiran 5. Protokol Penatalaksanaan non emergensi dari hipertensi berat dalam kehamilan Manifestasi klinis Penatalaksanaan Dosis Kontraindikasi Keterangan TD konsisten > alfa metil dopa Umumnya 250 Riwayat hepati- Pengawasan ibu dengan 160/105 plg tdk (para ahli lbh cen- mg peroral di- tis atau disfung- TD reguler, tes labor, pd 2 kali pemerik- derung menggu- biarkan selama si otonom, pasi- manifestasi klinis, pe- saan nakan B bloker 24 jam- 48 jam en yg mendapat meriksaan berkala janin, sbg agen pilihan untuk menca- terapi MAO in- dan pertumbuhan janin utama). pai efek opti- hibitor. serta pemeriksaan ar- mal. Tingkat- teri umbilikus dg meng- kan sampai gunakan Doppler. mencapai dosis maksimal 2 g/hr (Sebaiknya di- gunakan dosis terbagi shg efek yg lebih stabil dapat dicapai ) TD tdk adekuat Labetalol Umumnya 100 Astma, ggl jan- - walaupun dikon- mg peroral 2X tung, bradikar trol dg regimen sehari, diting- dia. diatas (setelah men kaatkan sam- capai dosis terten- pai mencapai tu dimana metil- dosis maksimal dopa telah menca- 2400 mg/hr. Gu- pai dosis terapeu- nakan dosis 4 x tik). sehari jika diper lukan, nadi dpt di gunakan sbg in- dikator adanya blokade B. TD tdk dpt dikon- pertimbang- Umumnya 10 mg Gagal jantung perhatikan penggunaan trol dg regimen kan partus & peroral 3 x sehari kongestif dua agen yg mempunyai diatas nifedipin spi maks 90mg/hr efek inotropik negatif TD tdk dpt dikon partus - - - trol dg regimen diatas

  • 26

    Lampiran 6. Pengobatan pada hipertensi akut yang berat pada kehamilan

    Obat Anjuran 1. Hidralazin Dimulai dg 5-10 mg im, jk respon terbatas, diulang dg interval 20 menit. Sekali

    TD dpt dikontrol scr baik, ulangi seperlunya (biasanya selama 3 jam). Pertimbangkan obat lainnya, jika tdk sukses dg dosis 20 mg iv atau 30 mg im.

    2. Labetalol Dimulai dg 20 mg iv bolus, jk efeknya suboptimal maka berikan 40 mg,10 menit

    kmd 2x dan 80 mg,10 mnt dlm 2 dosis, sesuai kebutuhan (20,40,40,40,80,80 sampai mencapai dosis total 300 mg). Dilanjutkan dengan infus dimulai sampai 2 mg/menit. Gunakan dosis maksimum 300 mg peroral/iv. Jika tekanan darah yg stabil tidak dicapai, ganti denggan obat lain. Hindari pemberian labetalol pada wanita dengan astma atau penyakit gagal jantung komgestif .

    3. Nifedipin Dimulai dengan dosis 10 mg peroral dan diulang setiap 30 menit jika

    diperlukan. FDA tidak merekomendasi penggunaan nifedipin dengan masa kerja singkat untuk penatalaksanaan hipertensi.

    4. Sodium Nitroprusside Dipakai pada kasus-kasus hipertensi yang tidak memberikan respon pada

    penggunaan obat-obat diatas, ditemukannya manifestasi klinis dari ensefalopati hipertensi, atau keduanya. Dimulai dengan dosis rata-rata 0,25 mg/kg/mnt sampai mencapai dosis maksimum 5 mg/kg/mnt. Keracunan sianida pada janin dapat terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam, perhatikan gangguan intra arterial.

  • 27

    Lampiran 7. Penatalaksanaan preeklampsia berat di bagian Obgin RSMH I. Perawatan aktif

    A. Indikasi: bila didapatkan satu atau lebih keadaan ini: 1. Ibu

    a. Kehamilan > 37 minggu b. Adanya tanda impending eklampsia c. Perawatan konservatif gagal:

    - 6 jam setelah pengobatan medisinalis terjadi kenaikan TD - 24 jam setelah pengobatan medisinalis gejala tak berubah

    2. Janin a. Adanya tanda-tanda gawat janin b. Adanya pertumbuhan janin terhambat dalam rahim

    3. Laboratorik: Adanya sindroma HELLP B. Pengobatan medisinalis

    1. Segera MRS 2. Tirah baring miring ke satu sisi (kiri) 3. Infus D5: RL = 2 : 1 (60-125 ml/jam) 4. Antasida 5. Diet: cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam 6. Obat-obatan anti kejang: sulfas magnesikus (MgSO4)

    a. Dosis awal 8 g MgSO4 (20 ml 40 %) im: 4 g bokong kanan 4 g bokong kiri b. Dosis ulangan: tiap 6 jam diulangi 4 g MgSO4 (10 ml 40 %) im c. Syarat-syarat pemberian sulfas magnesikus

    i. Tersedia kalsium glukonas 1 g = 10 ml 10 % iv pelan 3 menit ii. Reflek patella (+) kuat iii. Pernapasan > 16 x/m tanpa tanda-tanda distress pernapasan iv. Produksi urine > 100 ml dalam 4 jam sebelumnya (0,5 ml/KgBB/jam)

    d. Dihentikan bila: i. Adanya tanda-tanda intoksikasi ii. Setelah 24 jam pascapersalinan iii. 6 jam pascapersalinan normotensif, selanjutnya dg luminal 3 x 30 60

    C. Mencegah komplikasi 1. Diuretika diberikan atas indikasi:

    a. Edema paru b. Payah jantung kongestif c. Edema anasarka d. Kelainan fungsi ginjal (bila faktor prerenal sudah diatasi) yang dipakai adalah derivat

    furosemid (lasix 40 mg im) 2. Antihipertensi diberikan atas indikasi: Tekanan darah sistolik > 160 mmHg, diastolic > 110 mmHg

    Preparat: a. Clonidine (Catapres) 1 amp = 0,15 mg/ml + 10 ml NaCl fls/aquades, masukkan 5 ml iv pelan,

    tunggu 5 menit, kemudian TD diukur, bila tak turun berikan sisanya (5 ml iv pelan 5 menit). Pemberian obat dapat diulangi tiap 4 jam sampai TD normotensif.

    b. Nifedipin: 4 x 10 mg (p.o) sampai diastolic 90 100 mmHg c. Hidralazin (Apresolin) 1 amp = 20 mg, 1 amp diencerkan, diberikan iv pelan, melalui selang

    infus, dapat diulangi setelah 20 30 menit. 3. Kardiotonika a.i terdapat tanda-tanda menjurus payah jantung Diberikan cedilanid, digitalisasi cepat sebaiknya kerja sama dg penyakit jantung

  • 28

    4. Lain-lain: a. Antipiretika a.i suhu rectal > 38,5 oC, Xylomidon 2 ml dan atau kompres. b. Antibiotika kalau ada indikasi c. Analgetika a.i kesakitan/gelisah: 50-75 mg pethidin < 2 jam sblm janin lahir

    D. Pengobatan obstetrik Cara pengakhiran kehamilan/persalinan

    1. Belum inpartu: a. Induksi persalinan:

    i. amniotomi ii. drip oksitosin dg syarat skor Bhisop 5

    b. Seksio sesar bila: i. syarat drip oksitosin tak terpenuhi ii. 12 jam sejak drip oksitosin belum masuk fase aktif iii. pada primipara cendrung seksio sesar

    2. Inpartu: a. Kala I : - fase laten tunggu 6 jam, tetap fase laten seksio sesar - fase aktif: amniotomi + drip oksitosin

    6 jam pembukaan tidak lengkap seksio sesar b. Kala II: Tindakan dipercepat sesuai dg syarat yg dipenuhi II. Perawatan konservatif A. Indikasi perawatan konservatif Bila terdapat keadaan:

    1. Kehamilan < 37 minggu 2. Keadaan janin baik 3. Tidak ada impending eklampsia

    B. Pengobatan medisinalis 1. Awal diberikan 8 g MgSO4 40 % im bokong kanan-bokong kiri dilanjutkan dg 4 g im tiap 6

    jam 2. Bila ada perbaikan atau tetap teruskan 24 jam 3. Apabila setelah 24 jam ada tanda-tanda perbaikan maka pengobatan diteruskan sbb:

    a. Diberikan tablet luminal 3 x 30-60 mg b. Anti hipertensi oral bila TD masih > 160/110 mmHg

    C. Pengobatan obstetrik 1. Observasi dan evaluasi sama dg perawatan aktif, hanya tidak dilakukan pengakhiran

    kehamilan 2. MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan selambat-

    lambatnya 24 jam. D. Lebih dari 24 jam tak ada perbaikan maka perawatan konservatif dianggap gagal dan dilakukan

    terminasi kehamilan. E. Penderita boleh pulang bila:

    1. Penderita sudah mencapai perbaikan dg tanda-tanda preeklampsia ringan, perawatan dilanjutkan hingga 3 hari lagi.

    2. Bila selama 3 hari keadaan tetap baik (tanda-tanda preeklampsia ringan) maka penderita bisa dipulangkan.

    KOMPLIKASI AKUT PADA PREEKLAMPSIA EKLAMPSIA Epidemiologi dan insiden Manifestasi klinis dan diagnosis Penatalaksanaan A. Mengontrol Kejang B. Penatalaksanaan hipertensi C. Pencegahan kejang berulang Evaluasi pada persalinan GAGAL GINJAL Etiologi dan Patogenesis Penatalaksanaan

    KEDARURATAN HIPERTENSI Diagnosis banding Patofisiologi Penatalaksanaan Obat HIPERTENSI ENSEFALOPATI DAN BUTA KORTIKAL Patofisiologi Penatalaksanaan KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA

    Hipertensi kronik Hipertensi dalam kehamilan Hipertensi kronik Preeklampsia/eklampsia Superimpus preeklampsia pada hipertensi kronik Obat Dosis nonakut Efek samping Keterangan Rejimen Pengobatan Primer Pengobatan Sekunder Pengobatan Tersier Manifestasi klinik Penatalaksanaan Dosis Kontra indikasi Keterangan Manifestasi klinis Penatalaksanaan Dosis Kontraindikasi Keterangan