bab 2 tinjauan pustaka 2.1 diabetes mellitus 2.1.1 definisirepository.ub.ac.id/8010/3/5. bab...

18
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus 2.1.1 Definisi Diabetes mellitus (DM) merupakan kelainan metabolik dengan berbagai etiologi yang ditandai dengan hiperglikemia kronis, gangguan karbohidrat, lemak, dan protein yang dihasilkan dari defek sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Efek diabetes mellitus meliputi kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ. Gejala yang timbul akibat diabetes mellitus antara lain poliuria, pandangan kabur, penurunan berat badan, dan haus, serta ketoasidosis pada kondisi yang parah (Fatimah 2015). 2.1.2 Epidemiologi Jenis DM yang paling banyak diderita adalah diabetes mellitus tipe 2 (Departemen Kesehatan 2005). Dalam penelitian yang dilakukan oleh International Diabetic Federation (IDF) tahun 2003, menyatakan bahwa prevalensi DM tipe 2 akan meningkat 2 kali lipat dalam 20 tahun ke depan. Data dari studi global menunjukkan pada tahun 2011 sebanyak 366 juta kepala di dunia hidup dengan DM, dan akan terus mengalami peningkatan pada tahun 2030 sebesar 552 juta (Trisnawati & Setyorogo 2013). Menurut International Diabetic Federation (IDF) tahun 2014, di Indonesia sebanyak 9.116,03 dari 1000 orang hidup dengan DM, dengan biaya sebesar 174.71 USD/kepala. Dari data tersebut secara umum, sebayak 90% prevalensi DM adalah diabetes mellitus DM tipe 2 (Aguiree et al. 2013).

Upload: others

Post on 19-Oct-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus

2.1.1 Definisi

Diabetes mellitus (DM) merupakan kelainan metabolik dengan berbagai

etiologi yang ditandai dengan hiperglikemia kronis, gangguan karbohidrat, lemak,

dan protein yang dihasilkan dari defek sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.

Efek diabetes mellitus meliputi kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan

kegagalan berbagai organ. Gejala yang timbul akibat diabetes mellitus antara lain

poliuria, pandangan kabur, penurunan berat badan, dan haus, serta ketoasidosis

pada kondisi yang parah (Fatimah 2015).

2.1.2 Epidemiologi

Jenis DM yang paling banyak diderita adalah diabetes mellitus tipe 2

(Departemen Kesehatan 2005). Dalam penelitian yang dilakukan oleh

International Diabetic Federation (IDF) tahun 2003, menyatakan bahwa prevalensi

DM tipe 2 akan meningkat 2 kali lipat dalam 20 tahun ke depan. Data dari studi

global menunjukkan pada tahun 2011 sebanyak 366 juta kepala di dunia hidup

dengan DM, dan akan terus mengalami peningkatan pada tahun 2030 sebesar

552 juta (Trisnawati & Setyorogo 2013). Menurut International Diabetic Federation

(IDF) tahun 2014, di Indonesia sebanyak 9.116,03 dari 1000 orang hidup dengan

DM, dengan biaya sebesar 174.71 USD/kepala. Dari data tersebut secara umum,

sebayak 90% prevalensi DM adalah diabetes mellitus DM tipe 2 (Aguiree et al.

2013).

6

2.1.3 Klasifikasi

Diabetes mellitus bisa diklasifikasikan kedalam beberapa kategori

menurut American Diabetes Association tahun 2016 yang juga diadopsi oleh

PERKENI. Klasifikasi Etiologis yang dianjurkan adalah :

a. Diabetes mellitus tipe 1 (DM tipe 1) yaitu destruksi sel-β yang umumnya

menjurus ke defisiensi insulin absolut.

i. Autoimun

ii. Idiopatik

b. Diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) yaiitu bervariasi mulai yang dominan

resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek

sekresi insulin disertai resistensi insulin.

c. Diabetes tipe lain

i. Defek genetik fungsi sel-β

a) Kromosom 12, HNF-1α (MODY 3) (Maturity-Diabetes of the Young)

b) Kromosom 7, glukokinase (MODY 2)

c) Kromosom 20, HNF-4α (MODY 1)

d) Dan lain-lain

ii. Defek genetik kerja insulin

a) Resistensi insulin tipe-A

b) Leprechaunisme

c) Sindrom Rabson-Mendenhall

d) Dan lain-lain

iii. Penyakit eksokrin pankreas

a) Pankreatitis

b) Trauma/pankreatomi

7

c) Neoplasia

d) Dan lain-lain

iv. Endokrinopati

a) Akromegali

b) Cushing sindrom

c) Hipertiroidisme

d) Dan lain-lain

v. Karena obat atau zat kimia

a) Vacon, pentamidin, asam nikotinat

b) Glukokortikoid, hormon tiroid, tiazid, daintin, interferon alfa

c) Dan lain-lain

vi. Infeksi

a) Rubela kongenital

b) Sitomegalovirus

c) Dan lain-lain

vii. Sebab imunologi yang jarang

a) Sindrom Stiff-Man

b) Reseptor antibodi insulin

c) Dan lain-lain

viii. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

a) Sindrom down

b) Sindrom klinefelter

c) Sindrom turner,

d) Dan lain-lain

8

d. Diabetes gestational (GDM) adalah diabetes yang terjadi pada saat hamil

sebagai akibat dari peningkatan glukosa darah selama kehamilan.

(Cameron 2006; Ndraha 2014).

2.1.3.1 DM Tipe 1

DM tipe 1 merupakan kelainan sistemik yang ditandai oleh hiperglikemia

kronik akibat terjadinya gangguan metabolisme glukosa. Keadaan ini diakibatkan

oleh kerusakan sel-β pankreas baik oleh proses autoimun maupun idioptaik

sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti (Tridjaja 2009).

2.1.3.2 DM Tipe 2

DM tipe 2 adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh

kenaikan glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel-β pankreas dan

atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin) (Fatimah 2015).

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel-β pankres telah

dikenal merupakan patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan

diketahui bahwa kegagalan sel-β terjadi lebih dini dan lebih berat dari pada yang

diperkirakan sebelumnya. Tidak hanya otot, liver, dan sel-β pankreas saja yang

berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain

yang berperan yang disebutnya sebagai The Ominous Octet (Defronzo 2009).

9

2.1.3.3 DM Gestasional

DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa

didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan

ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.

Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang

menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan (Ndraha 2014). DM

gestasional biasanya terlihat pada hasil pemeriksaan darah dalam usia kehamilan

23-32 minggu saat mengandung (Prawirohardjo 2008).

10

2.1.4 Patogenesis

2.1.4.1 Patogenesis DM Tipe 1

Gambar 2.1 Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe1 (Ozougwu et al. 2013)

11

2.1.4.2 Patogenesis DM Tipe 2

Gambar 2.2 Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe 2 (Ozougwu et al. 2013)

2.1.5 Gambaran Klinis dan Komplikasi Diabetes Mellitus

Trias klasik yaitu polidipsi, poliuri, dan polifagi adalah gejala-gejala

diabetes mellitus. Gejala lain yang dapat terjadi antara lain pengelihatan kabur

serta berat badan yang turun tanpa sebab yang jelas. Pada DM yang tidak

terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler

kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati (Fauci 2008). Di Amerika

Serikat, DM merupakan penyebab utama dari end-stage renal disease (ESRD),

dan nontraumatic lowering amputation, serta adult blindness (Pavkov et al. 2006).

12

2.1.5.1 Kerusakan Saraf (Neuropati)

Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur

syaraf akibat adanya peningkatan jalur poliol, penurunan pembentukan myo-

inositol, penurunan Na+/K+-ATPase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur

syaraf, demielinisasi segmental, atau atrofi akson (Tesfaye et al. 2010). Neuropati

diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering ditemukan pada

diabetes melitus. Risiko yang dihadapi pasien DM dengan neuropati diabetik

antara lain infeksi berulang, ulkus yang sulit sembuh, dan amputasi jari atau kaki

(Boedisantoso 2009).

Prevalensi neuropati pada pasien DM tipe-1 pada populasi klinik berkisar

3.0% sampai 65.8% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 12.8% sampai

54.0%. Sedangkan pada pasien DM tipe-2 prevalensi neuropati pada populasi

klinik berkisar 7.6% sampai 68.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar

13.1% sampai 45.0% (Fauci 2008).

2.1.5.2 Kerusakan Ginjal (Nefropati)

Nefropati diabetika adalah komplikasi diabetes mellitus pada ginjal yang

dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Kelainan yang terjadi pada ginjal penderita

DM dimulai dengan adanya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi

proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerulus

yang memerlukan pengelolaan dengan pengobatan substitusi (Boedisantoso

2009).

Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit DM tipe-1 berkisar 4.3%

sampai 37.6% pada populasi klinik dan 12.3% sampai 27.2% dalam penelitian

pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe-2 prevalensi mikroalbuminuria

13

pada populasi klinik berkisar 2.5% sampai 57.0% dan dalam penelitian pada

populasi berkisar 18.9% sampai 42.1%. Prevalensi overt nephropathy dengan

penyakit DM tipe-1 berkisar 0.7% sampai 27.0% pada populasi klinik dan 0.3%

sampai 24% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe-2

prevalensi overt nephropathy pada populasi klinik berkisar 5.4% sampai 20.0%

dan dalam penelitian pada populasi berkisar 9.2% sampai 32.9% (Fauci 2008).

2.1.5.3 Kerusakan Mata (Retinopati)

Retinopati diabetik merupakan komplikasi dari diabetes mellitus yang

menyebabkan gangguan penglihatan dan kebutaan. Hal ini terjadi ketika diabetes

mellitus merusak pembuluh darah kecil di retina, yang merupakan jaringan peka

cahaya di belakang mata. Menurut National Institutes of Health tahun 2015,

retinopati diabetes dapat menyebabkan Diabetic Macular Edema (DME), yang

merupakan pembengkakan di daerah retina yang disebut makula (Mohammed et

al. 2016).

Prevalensi retinopati dengan penyakit DM tipe-1 berkisar 10.8% sampai

60.0% pada polpulasi klinik dan 14.5% sampai 79.0% dalam penelitian pada

populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe-2 prevalensi retinopati pada populasi

klinik berkisar 10.6% sampai 47.3% dan dalam penelitian pada populasi berkisar

10.1% sampai 55.0% (Fauci 2008).

14

2.1.5.4 Penyakit Jantung Koroner (PJK)

Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyulit makrovaskular

pada penderita diabetes mellitus. Penyulit ini bermanifestasi sebagai

arterosklerosis dini yang dapat mengenai organ seperti jantung dan otak

(Boedisantoso 2009).

Prevalensi penyakit jantung koroner dengan penyakit DM (tipe-1 dan tipe-

2) berkisar 1.0% sampai 25.2% pada populasi klinik dan 1.8% sampai 43.4%

dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi penyakit

jantung koroner berkisar 0.5% sampai 8.7% dengan DM tipe-1 dan berkisar 9.8%

sampai 22.3% dengan DM tipe-2 (Fauci 2008).

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan jika memenuhi salah satu kriteria antara lain

pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl, pemeriksaan glukosa plasma

≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO), pemeriksaan

glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik, atau pemeriksaan

HbA1c ≥ 6.5% (48 mmol/mol) dengan menggunakan metode High-Performance

Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National

Glycohaemoglobin Standarization program (NGSP) (Cameron 2006).

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM

digolongkan ke dalam kelompok prediabetes. Kriteria prediabetes dapat dilihat dari

glukosa darah puasa terganggu (GDPT) yang menunjukan hasil pemeriksaan

glukosa puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-

jam <140 mg/dl, toleransi glukosa terganggu (TGT) yaitu hasil pemeriksaan

glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma

15

puasa <100 mg/dl, juga dapat ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HBA1c

yang menunjukkan angka 5,7% sampai 6,4% (Cameron 2006).

2.2 Metode Pengukuran Resistensi Insulin dengan HOMA-IR

Pengukuran resistensi insulin dapat diukur dengan metode

hiperinsulinemic–euglycemic clamp. Metode ini merupakan gold standard yang

sering digunakan, namun karena tehnik ini mahal, perlu banyak waktu, dan

perhatian intensif, menjadikan tehnik ini kurang praktis. Beberapa pemeriksaan

alternatif seperti frequently sampled IV glucose tolerance test (FSIVGTT), insulin

tolerance test (ITT), insulin sensitivity test (IST) dan continuous infusion of glucose

with model assessment (CIGMA). Sayangnya, semua metode tersebut

memerlukan akses intra vena dan vena punksi yang multipel. Selain itu metode

puasa untuk menilai sensitivitas insulin seperti pengukuran insulin puasa,

Glucose/Insulin Ratio (G/I ratio), Homeostatic Model Assessment (HOMA),

Quantitative Insulin Sensitivity Check Index (QUICKI) dan Insulin Sensitivity Index

(Hermanto & Sony 2003). HOMA-IR sering digunakan karena metode ini mudah,

murah, cara valid untuk mengukur nilai sensitivitas insulin dengan menggunakan

indeks insulin puasa dan glukosa plasma puasa.

HOMA-IR (Homeostasis Model Assessment of Insulin Resistance Index)

adalah salah satu parameter diagnosis utama yang digunakan untuk mengukur

indeks resistensi insulin. HOMA-IR adalah nilai yang dihitung dengan rumus

berdasarkan hasil kadar C-peptide puasa dan kadar glukosa puasa (Xia 2010).

HOMA-IR = 1.5 + 𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 𝑝𝑢𝑎𝑠𝑎 𝑥 (𝐶−𝑝𝑒𝑝𝑡𝑖𝑑𝑒 𝑝𝑢𝑎𝑠𝑎

2800)

16

2.3 Mekanisme Nikotin dalam Menurunkan HOMA-IR

Dalam kondisi kelelahan, kemampuan sel-β pankreas dalam mensekresi

insulin akan menurun, sehingga kandungan insulin dalam darah sedikit (defisiensi

insulin). Insulin dibutuhkan untuk menciptakan kondisi homeostasis glukosa.

Homeostasis glukosa dapat dicapai dengan mereglukosasi glycogen synthesis

gen di target organ insulin yaitu hati. Pada percobaan yang dilakukan Moh tahun

2008, down-reglukosation STAT-3 (signal transducers and activators of

transcription 3) di hati meyebabkan peningkatan protein glycogen synthase kinase

(GSK)-3B yang dapat menghambat fungsi hati untuk menciptakan homeostasis

glukosa dengan cara menghambat fungsi sintesis glikogen. Oleh karena itu

penghambatan kerja STAT-3 dapat menyebabkan kondisi resistensi insulin (Vu et

al. 2014; Moh et al. 2008).

Resistensi insulin adalah suatu keadaan terjadinya gangguan respons

metabolik terhadap kerja insulin, akibatnya untuk mengurai kadar glukosa plasma

tertentu dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak dari pada normal untuk

mempertahankan keadaan normoglikemia. HOMA-IR adalah salah satu cara untuk

mengukur beratnya resistensi insulin. Cut-off untuk HOMA adalah 2,44. Resistensi

insulin akan meningkat bila HOMA lebih besar dari nilai cut-off tersebut (Koch et

al. 2008).

Dalam ekstrak etanol Tobacco nicotina mengandung nikotin dosis rendah.

Nikotin dosis rendah bekerja dengan cara menstimulus jalur α7-nAChR-STAT3

untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Menurut penelitian Liu et al., STAT-3

memiliki peran penting untuk mereglukosasi jalur sinyal insulin. Oleh sebab itu,

pemberian agonis α7-nAChR seperti nikotin, dapat meningkatkan posporilasi

STAT-3 di hati, sehingga dapat meningkatkan sensitivitas insulin. Dari kerangka

17

konsep tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak etanol

Tobacco nicotina yang mengandung nikotin dosis rendah dapat mengaktifkan jalur

α7-nAChR-STAT-3, dimana STAT-3 memiliki peran dalam meningkatkan

sensitivitas insulin dengan cara down-reglukosation GSK-3B atau disebut juga

negative reglukosation insulin (Xu et al. 2012; Wang et al. 2011).

Penelitian Xu et al tahun 2012 meneliti tentang efek nikotin murni dengan

dosis 3mg/kg/hari selama 6 minggu perlakuan pada tikus Sprague-Dawley yang

dapat menurunkan 43% berat badan dan 65% kadar insulin, tetapi tidak berefek

pada glukosa darah tikus. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan

acuan jurnal penelitian Xu et al yang sudah dimodifikasi atau terdapat beberapa

perbedaan antara lain dosis yang dipakai adalah dosis nikotin dari ekstrak etanol

dan waktu paparan nikotin pada penelitian ini adalah 4 minggu atau sub kronis (Xu

et al. 2012).

2.4 Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum)

2.4.1 Sistematika Tanaman Tembakau

Kingdom : Plantae, Eudicots, Asterids

Divisi : Magnoliophyta

Sub Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Solanales

Famili : Solananceae

Genus : Nicotiana

Spesies : Nicotiana tabacum

(Kishore 2014)

18

2.4.2 Deskripsi Morfologi Tanaman Tembakau

Menurut hanum tahun 2008, morfologi tembakau adalah sebagai berikut:

i. Akar : memiliki akar jenis akar tunggang yang menembus 50-75 cm

kedalam tanah, dan akar serabut yang menyebar ke samping.

Disepanjang akarnya terapat bulu-bulu akar untuk menyerap air.

Oleh karena itu, tembakau mudah hidup di tahan yang subur.

ii. Batang : memiliki batang hampir bulat dan kuat. Daun dan tunas

ketiak daun tumbuh di ruas-ruas batang yang mengalami penebalan.

Tembakau memiliki diameter batang sekitar 5cm yang semakin

keatas semakin kecil diameternya.

iii. Daun : daun tembakau licin dan tepi bergelombang, yang diatasnya

dilapisi lapisan palisade parenkim dan bagian bawahya dilapisi

spongy parenchyma.

iv. Buah : dalam 1 tanaman terdapat kurang lebih 300 buah yang berada

diatas dasar bunga. Buah tembakau berukuran kecil dan berbentuk

bulat lonjong, di dalam satu buah berisi 12.000 biji yang bobotnya

sangat ringin.

(Silaban et al. 2013)

2.4.3 Kegunaan dan Kandungan Daun Tembakau

Tembakau merupakan tanaman yang dapat menimbulkan adiksi karena

mengandung nikotin dan juga zat-zat karsinogen lainnya (Kishore 2014).

Kegunaan nikotin dalam dunia medis khususnya dalam pengobatan diabetes

mellitus tipe 2 yaitu meningkatkan sensitivitas insulin. Nikotin dengan dosis rendah

memiliki potensi untuk meningkatkan sensitivitas insulin melalui jalur α7-nAChR-

STAT-3 pada target organ insulin. Menurut Christine, pemberian nikotin secara

cepat dalam waktu 30 menit menyebabkan meningkatnya glukosa darah puasa

19

dan menurunnya sensitivitas insulin sehingga menyebabkan resistensi insulin

pada hewan coba (Vu et al. 2014). Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang

dilakukan oleh Swislovki., bahwa pemberian nikotin secara subkutan tidak

mempengaruhi sensitivitas insulin (Swislocki 2003; (Wang et al. 2011). Disisi lain

ditemukan potensi nikotin menurut penelitian yang dilakukan oleh Liu, dalam

percobaannya terhadap hewan coba yang obesitas, pemberian nikotin jangka

panjang secara oral selama 6 minggu menunjukan penurunan resistensi insulin

(Liu et al. 2003). Menurut Lan dalam penelitian sebelumnya, bahwa pemberian

nikotin dalam waktu yang lama secara signifikan dapat menurunkan HOMA

(homeostatic model assessment) insulin resisten pada tikus normal (Lan 2008).

Dari percobaan – percobaan tersebut menjelaskan bahwa terdapat berbagai faktor

yang mempengaruhi kerja nikotin, khususnya dosis yang diberikan, lamanya

perlakuan dan rute pemberian nikotin.

2.4.4 Efek Samping Tanaman Tembakau

Nikotin memiliki efek samping yang tidak diharapkan jika dosis dan waktu

penggunaannya tidak tepat seperti penurunan nafsu makan, kelumpuhan sarah,

dan sifat racun yang nikotin miliki. Menurut penelitian Young et al. Tahun 2008,

nikotin yang di administrasikan melalui rokok ataupun rute lainnya adalah

komponen appetite-suppressing yang mayor pada tembakau (Manuscript & Intake

2008). Menurut Nikotin juga memiliki sifat alkali yang kuat dan terdapat dalam

bentuk bukan ion sehingga dapat melalui membrane sel saraf. Sifat racun keras

yang dimiliki nikotin dapat menyebabkan kelumpuhan saraf dan mudah diserap

melalui kulit (Nururrahmah 2014).

20

2.5 Tikus Wistar (Rattus norvegicus)

2.5.1 Sistematika Tikus Wistar

Menurut Adiyati pada tahun 2011, taksonomi hewan coba Rattus

norvegicus adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Divisi : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Famili : Muridae

Subfamili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus L.

(Adiyati 2011)

2.5.2 Karakteristik Tikus Wistar

Tikus putih dipilih dikarenakan tikus tersebut dilahirkan dari perkawinan

antara tikus betin dan jantan yang memiliki tingkat kemiripan genetis yang besar

sekitar 98%, walaupun sudah lebih dari 20 generasi. Walaupun terjadi perkawinan

tertutup antara tikus putih, kemiripan genetis merekapun sangat besar sekitar

9.5%. Oleh karena itu, tikus putih hampir menyerupai hewan hasil klon (Galef

1980; ILAR 1991). Tikus jenis ini lebih mudah didapatkan dan lebih murah

dibandingkan jenis lainnya. Dalam penelitian lain menyebutkan bahwa Tattus

norvegicus galur Wistar memiliki metabolisme kolesterol yang mirip dengan

manusia dilihat dari fungsi HDL dan LDL. Fungsi yang sama yaitu memproduksi

steroid dan apolipoprotein yang sama (Koolhaas 2010).

21

2.5.3 Hewan Coba Model Diabetes Mellitus Tipe 2

2.5.3.1 Peran Pemberian Hight Fat Diet (HFD) sebagai Penginduksi

Resistensi Insulin

Pemberian High Fat Diet (HFD) pada tikus menurut beberapa penelitian

dapat menginduksi terjadinya resistensi insulin yang berperan penting terhadap

terjadinya DM tipe 2. Pemberian HFD akan menyebabkan peningkatan ukuran dari

sel lemak (hipertopi) dan peningkatan dari jumlah sel (hiperplasia). Hal ini

disebabkan karena adanya proses lipogenesis yang membuat sel preadiposit akan

berproliferasi menjadi sel adiposit matang, yang diatur oleh SREBP-1 (Sterol

Reglukosatory Element Binding Protein) (Mawarti et al. 2012). SREBP-1

mempunyai peranan penting terhadap pengaturan gen adiposit antara lain sintesis

dari asam lemak, lipoprotein protein lipase, dan metabolisme asam lemak

(Shimano 2009). Pemberian HFD akan meningkatkan kerja dari SREBP-1 yang

akan berpengaruh pada pembentukan adiposit baru dan peningkatan dari Free

Fatty Acid (FFA) yang kemudian memicu terjadinya hiperinsulinemia. Peningkatan

FFA akan mempengaruhi kerja insulin, menurunkan pengambilan glukosa,

glikolisis, dan sintesis glikogen (Unger 2002)

Pemberian HFD selama 8 minggu akan menyebabkan resistensi insulin

akibat penumpukan lemak viseral yang akan meningkatkan FFA menuju ke hati,

meningkatkan sirkulasi TG (trigliserid), dan kecepatan produksi glukosa hepatik

(Yoo et al. 2017). Resistensi insulin pada tikus model diabetes mellitus

menunjukkan terdapat kegagalan stimulasi insulin akibat penekanan pada

glukoneogenesis di hati, tetapi stimulasi insulin meningkat pada lipogenesis hati

(Mawarti et al. 2012).

22

2.5.3.2 Penggunaan Streptozotocin (STZ) dalam Induksi Diabetes Mellitus

Streptozotocin (STZ) merupakan agen diabetogenik yang menghambat

sekresi insulin dan menyebabkan terjadinya DM dengan cara insulin dependent

maupun non-insulin dependent, melalui kemampuannya untuk menginduksi

selektif nekrosis pada sel beta pankreas melalui alkilasi DNA (Lenzen 2008; Zhang

et al. 2008). STZ digunakan pada bidang kesehatan untuk mengobati kanker pada

pulau langerhans pankreas, tumor atau kanker yang ganas, dan menginduksi

hewan model DM (Zhang et al. 2008).

Pemberian STZ dosis tinggi dapat merusak hepar sehingga mempengaruhi

sekresi insulin, kondisi ini menyerupai diabetes mellitus tipe 1. Sedangkan pada

pemberian STZ dosis rendah pada hewan coba dapat menginduksi gangguan

ringan sekresi insulin yang menyerupai terjadinya tahap lanjut DM tipe (Zhang et

al. 2008).

Pada penelitian ini, pembuatan tikus model DM tipe 2 menggunakan

pemberian HFD dan injeksi STZ dosis rendah (30mg/kgBB). STZ dosis rendah

mampu menginduksi gangguan ringan sekresi insulin yang dapat menimbulkan

kelemahan sel beta pankreas sehingga terjadi DM tipe 2. Kombinasi dari

pemberian HFD dan STZ dosis rendah menyebabkan resistensi insulin sehingga

terjadi disfungsi sel beta pankreas yang terjadi pada keadaan DM tipe 2. Dalam

penelitian Zhang tahun 2008, pemberian HFD dan injeksi STZ 30 mg/kgBB selama

dua kali menginduksi terjadinya diabetes mellitus tipe 2 dengan resistensi insulin

dan hiperglikemia. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian HFD dan STZ dosis

rendah dapat menginduksi hewan coba menjadi DM tipe 2 (Zhang et al. 2008).