bab 2 tinjauan pustaka 2.1 diabetes mellitus 2.1.1 definisirepository.ub.ac.id/8010/3/5. bab...
TRANSCRIPT
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi
Diabetes mellitus (DM) merupakan kelainan metabolik dengan berbagai
etiologi yang ditandai dengan hiperglikemia kronis, gangguan karbohidrat, lemak,
dan protein yang dihasilkan dari defek sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.
Efek diabetes mellitus meliputi kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan
kegagalan berbagai organ. Gejala yang timbul akibat diabetes mellitus antara lain
poliuria, pandangan kabur, penurunan berat badan, dan haus, serta ketoasidosis
pada kondisi yang parah (Fatimah 2015).
2.1.2 Epidemiologi
Jenis DM yang paling banyak diderita adalah diabetes mellitus tipe 2
(Departemen Kesehatan 2005). Dalam penelitian yang dilakukan oleh
International Diabetic Federation (IDF) tahun 2003, menyatakan bahwa prevalensi
DM tipe 2 akan meningkat 2 kali lipat dalam 20 tahun ke depan. Data dari studi
global menunjukkan pada tahun 2011 sebanyak 366 juta kepala di dunia hidup
dengan DM, dan akan terus mengalami peningkatan pada tahun 2030 sebesar
552 juta (Trisnawati & Setyorogo 2013). Menurut International Diabetic Federation
(IDF) tahun 2014, di Indonesia sebanyak 9.116,03 dari 1000 orang hidup dengan
DM, dengan biaya sebesar 174.71 USD/kepala. Dari data tersebut secara umum,
sebayak 90% prevalensi DM adalah diabetes mellitus DM tipe 2 (Aguiree et al.
2013).
6
2.1.3 Klasifikasi
Diabetes mellitus bisa diklasifikasikan kedalam beberapa kategori
menurut American Diabetes Association tahun 2016 yang juga diadopsi oleh
PERKENI. Klasifikasi Etiologis yang dianjurkan adalah :
a. Diabetes mellitus tipe 1 (DM tipe 1) yaitu destruksi sel-β yang umumnya
menjurus ke defisiensi insulin absolut.
i. Autoimun
ii. Idiopatik
b. Diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) yaiitu bervariasi mulai yang dominan
resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek
sekresi insulin disertai resistensi insulin.
c. Diabetes tipe lain
i. Defek genetik fungsi sel-β
a) Kromosom 12, HNF-1α (MODY 3) (Maturity-Diabetes of the Young)
b) Kromosom 7, glukokinase (MODY 2)
c) Kromosom 20, HNF-4α (MODY 1)
d) Dan lain-lain
ii. Defek genetik kerja insulin
a) Resistensi insulin tipe-A
b) Leprechaunisme
c) Sindrom Rabson-Mendenhall
d) Dan lain-lain
iii. Penyakit eksokrin pankreas
a) Pankreatitis
b) Trauma/pankreatomi
7
c) Neoplasia
d) Dan lain-lain
iv. Endokrinopati
a) Akromegali
b) Cushing sindrom
c) Hipertiroidisme
d) Dan lain-lain
v. Karena obat atau zat kimia
a) Vacon, pentamidin, asam nikotinat
b) Glukokortikoid, hormon tiroid, tiazid, daintin, interferon alfa
c) Dan lain-lain
vi. Infeksi
a) Rubela kongenital
b) Sitomegalovirus
c) Dan lain-lain
vii. Sebab imunologi yang jarang
a) Sindrom Stiff-Man
b) Reseptor antibodi insulin
c) Dan lain-lain
viii. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
a) Sindrom down
b) Sindrom klinefelter
c) Sindrom turner,
d) Dan lain-lain
8
d. Diabetes gestational (GDM) adalah diabetes yang terjadi pada saat hamil
sebagai akibat dari peningkatan glukosa darah selama kehamilan.
(Cameron 2006; Ndraha 2014).
2.1.3.1 DM Tipe 1
DM tipe 1 merupakan kelainan sistemik yang ditandai oleh hiperglikemia
kronik akibat terjadinya gangguan metabolisme glukosa. Keadaan ini diakibatkan
oleh kerusakan sel-β pankreas baik oleh proses autoimun maupun idioptaik
sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti (Tridjaja 2009).
2.1.3.2 DM Tipe 2
DM tipe 2 adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh
kenaikan glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel-β pankreas dan
atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin) (Fatimah 2015).
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel-β pankres telah
dikenal merupakan patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel-β terjadi lebih dini dan lebih berat dari pada yang
diperkirakan sebelumnya. Tidak hanya otot, liver, dan sel-β pankreas saja yang
berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain
yang berperan yang disebutnya sebagai The Ominous Octet (Defronzo 2009).
9
2.1.3.3 DM Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa
didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan
ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.
Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang
menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan (Ndraha 2014). DM
gestasional biasanya terlihat pada hasil pemeriksaan darah dalam usia kehamilan
23-32 minggu saat mengandung (Prawirohardjo 2008).
10
2.1.4 Patogenesis
2.1.4.1 Patogenesis DM Tipe 1
Gambar 2.1 Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe1 (Ozougwu et al. 2013)
11
2.1.4.2 Patogenesis DM Tipe 2
Gambar 2.2 Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe 2 (Ozougwu et al. 2013)
2.1.5 Gambaran Klinis dan Komplikasi Diabetes Mellitus
Trias klasik yaitu polidipsi, poliuri, dan polifagi adalah gejala-gejala
diabetes mellitus. Gejala lain yang dapat terjadi antara lain pengelihatan kabur
serta berat badan yang turun tanpa sebab yang jelas. Pada DM yang tidak
terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler
kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati (Fauci 2008). Di Amerika
Serikat, DM merupakan penyebab utama dari end-stage renal disease (ESRD),
dan nontraumatic lowering amputation, serta adult blindness (Pavkov et al. 2006).
12
2.1.5.1 Kerusakan Saraf (Neuropati)
Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur
syaraf akibat adanya peningkatan jalur poliol, penurunan pembentukan myo-
inositol, penurunan Na+/K+-ATPase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur
syaraf, demielinisasi segmental, atau atrofi akson (Tesfaye et al. 2010). Neuropati
diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering ditemukan pada
diabetes melitus. Risiko yang dihadapi pasien DM dengan neuropati diabetik
antara lain infeksi berulang, ulkus yang sulit sembuh, dan amputasi jari atau kaki
(Boedisantoso 2009).
Prevalensi neuropati pada pasien DM tipe-1 pada populasi klinik berkisar
3.0% sampai 65.8% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 12.8% sampai
54.0%. Sedangkan pada pasien DM tipe-2 prevalensi neuropati pada populasi
klinik berkisar 7.6% sampai 68.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar
13.1% sampai 45.0% (Fauci 2008).
2.1.5.2 Kerusakan Ginjal (Nefropati)
Nefropati diabetika adalah komplikasi diabetes mellitus pada ginjal yang
dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Kelainan yang terjadi pada ginjal penderita
DM dimulai dengan adanya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi
proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerulus
yang memerlukan pengelolaan dengan pengobatan substitusi (Boedisantoso
2009).
Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit DM tipe-1 berkisar 4.3%
sampai 37.6% pada populasi klinik dan 12.3% sampai 27.2% dalam penelitian
pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe-2 prevalensi mikroalbuminuria
13
pada populasi klinik berkisar 2.5% sampai 57.0% dan dalam penelitian pada
populasi berkisar 18.9% sampai 42.1%. Prevalensi overt nephropathy dengan
penyakit DM tipe-1 berkisar 0.7% sampai 27.0% pada populasi klinik dan 0.3%
sampai 24% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe-2
prevalensi overt nephropathy pada populasi klinik berkisar 5.4% sampai 20.0%
dan dalam penelitian pada populasi berkisar 9.2% sampai 32.9% (Fauci 2008).
2.1.5.3 Kerusakan Mata (Retinopati)
Retinopati diabetik merupakan komplikasi dari diabetes mellitus yang
menyebabkan gangguan penglihatan dan kebutaan. Hal ini terjadi ketika diabetes
mellitus merusak pembuluh darah kecil di retina, yang merupakan jaringan peka
cahaya di belakang mata. Menurut National Institutes of Health tahun 2015,
retinopati diabetes dapat menyebabkan Diabetic Macular Edema (DME), yang
merupakan pembengkakan di daerah retina yang disebut makula (Mohammed et
al. 2016).
Prevalensi retinopati dengan penyakit DM tipe-1 berkisar 10.8% sampai
60.0% pada polpulasi klinik dan 14.5% sampai 79.0% dalam penelitian pada
populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe-2 prevalensi retinopati pada populasi
klinik berkisar 10.6% sampai 47.3% dan dalam penelitian pada populasi berkisar
10.1% sampai 55.0% (Fauci 2008).
14
2.1.5.4 Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyulit makrovaskular
pada penderita diabetes mellitus. Penyulit ini bermanifestasi sebagai
arterosklerosis dini yang dapat mengenai organ seperti jantung dan otak
(Boedisantoso 2009).
Prevalensi penyakit jantung koroner dengan penyakit DM (tipe-1 dan tipe-
2) berkisar 1.0% sampai 25.2% pada populasi klinik dan 1.8% sampai 43.4%
dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi penyakit
jantung koroner berkisar 0.5% sampai 8.7% dengan DM tipe-1 dan berkisar 9.8%
sampai 22.3% dengan DM tipe-2 (Fauci 2008).
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan jika memenuhi salah satu kriteria antara lain
pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl, pemeriksaan glukosa plasma
≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO), pemeriksaan
glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik, atau pemeriksaan
HbA1c ≥ 6.5% (48 mmol/mol) dengan menggunakan metode High-Performance
Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization program (NGSP) (Cameron 2006).
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes. Kriteria prediabetes dapat dilihat dari
glukosa darah puasa terganggu (GDPT) yang menunjukan hasil pemeriksaan
glukosa puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-
jam <140 mg/dl, toleransi glukosa terganggu (TGT) yaitu hasil pemeriksaan
glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma
15
puasa <100 mg/dl, juga dapat ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HBA1c
yang menunjukkan angka 5,7% sampai 6,4% (Cameron 2006).
2.2 Metode Pengukuran Resistensi Insulin dengan HOMA-IR
Pengukuran resistensi insulin dapat diukur dengan metode
hiperinsulinemic–euglycemic clamp. Metode ini merupakan gold standard yang
sering digunakan, namun karena tehnik ini mahal, perlu banyak waktu, dan
perhatian intensif, menjadikan tehnik ini kurang praktis. Beberapa pemeriksaan
alternatif seperti frequently sampled IV glucose tolerance test (FSIVGTT), insulin
tolerance test (ITT), insulin sensitivity test (IST) dan continuous infusion of glucose
with model assessment (CIGMA). Sayangnya, semua metode tersebut
memerlukan akses intra vena dan vena punksi yang multipel. Selain itu metode
puasa untuk menilai sensitivitas insulin seperti pengukuran insulin puasa,
Glucose/Insulin Ratio (G/I ratio), Homeostatic Model Assessment (HOMA),
Quantitative Insulin Sensitivity Check Index (QUICKI) dan Insulin Sensitivity Index
(Hermanto & Sony 2003). HOMA-IR sering digunakan karena metode ini mudah,
murah, cara valid untuk mengukur nilai sensitivitas insulin dengan menggunakan
indeks insulin puasa dan glukosa plasma puasa.
HOMA-IR (Homeostasis Model Assessment of Insulin Resistance Index)
adalah salah satu parameter diagnosis utama yang digunakan untuk mengukur
indeks resistensi insulin. HOMA-IR adalah nilai yang dihitung dengan rumus
berdasarkan hasil kadar C-peptide puasa dan kadar glukosa puasa (Xia 2010).
HOMA-IR = 1.5 + 𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 𝑝𝑢𝑎𝑠𝑎 𝑥 (𝐶−𝑝𝑒𝑝𝑡𝑖𝑑𝑒 𝑝𝑢𝑎𝑠𝑎
2800)
16
2.3 Mekanisme Nikotin dalam Menurunkan HOMA-IR
Dalam kondisi kelelahan, kemampuan sel-β pankreas dalam mensekresi
insulin akan menurun, sehingga kandungan insulin dalam darah sedikit (defisiensi
insulin). Insulin dibutuhkan untuk menciptakan kondisi homeostasis glukosa.
Homeostasis glukosa dapat dicapai dengan mereglukosasi glycogen synthesis
gen di target organ insulin yaitu hati. Pada percobaan yang dilakukan Moh tahun
2008, down-reglukosation STAT-3 (signal transducers and activators of
transcription 3) di hati meyebabkan peningkatan protein glycogen synthase kinase
(GSK)-3B yang dapat menghambat fungsi hati untuk menciptakan homeostasis
glukosa dengan cara menghambat fungsi sintesis glikogen. Oleh karena itu
penghambatan kerja STAT-3 dapat menyebabkan kondisi resistensi insulin (Vu et
al. 2014; Moh et al. 2008).
Resistensi insulin adalah suatu keadaan terjadinya gangguan respons
metabolik terhadap kerja insulin, akibatnya untuk mengurai kadar glukosa plasma
tertentu dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak dari pada normal untuk
mempertahankan keadaan normoglikemia. HOMA-IR adalah salah satu cara untuk
mengukur beratnya resistensi insulin. Cut-off untuk HOMA adalah 2,44. Resistensi
insulin akan meningkat bila HOMA lebih besar dari nilai cut-off tersebut (Koch et
al. 2008).
Dalam ekstrak etanol Tobacco nicotina mengandung nikotin dosis rendah.
Nikotin dosis rendah bekerja dengan cara menstimulus jalur α7-nAChR-STAT3
untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Menurut penelitian Liu et al., STAT-3
memiliki peran penting untuk mereglukosasi jalur sinyal insulin. Oleh sebab itu,
pemberian agonis α7-nAChR seperti nikotin, dapat meningkatkan posporilasi
STAT-3 di hati, sehingga dapat meningkatkan sensitivitas insulin. Dari kerangka
17
konsep tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak etanol
Tobacco nicotina yang mengandung nikotin dosis rendah dapat mengaktifkan jalur
α7-nAChR-STAT-3, dimana STAT-3 memiliki peran dalam meningkatkan
sensitivitas insulin dengan cara down-reglukosation GSK-3B atau disebut juga
negative reglukosation insulin (Xu et al. 2012; Wang et al. 2011).
Penelitian Xu et al tahun 2012 meneliti tentang efek nikotin murni dengan
dosis 3mg/kg/hari selama 6 minggu perlakuan pada tikus Sprague-Dawley yang
dapat menurunkan 43% berat badan dan 65% kadar insulin, tetapi tidak berefek
pada glukosa darah tikus. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan
acuan jurnal penelitian Xu et al yang sudah dimodifikasi atau terdapat beberapa
perbedaan antara lain dosis yang dipakai adalah dosis nikotin dari ekstrak etanol
dan waktu paparan nikotin pada penelitian ini adalah 4 minggu atau sub kronis (Xu
et al. 2012).
2.4 Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum)
2.4.1 Sistematika Tanaman Tembakau
Kingdom : Plantae, Eudicots, Asterids
Divisi : Magnoliophyta
Sub Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Solanales
Famili : Solananceae
Genus : Nicotiana
Spesies : Nicotiana tabacum
(Kishore 2014)
18
2.4.2 Deskripsi Morfologi Tanaman Tembakau
Menurut hanum tahun 2008, morfologi tembakau adalah sebagai berikut:
i. Akar : memiliki akar jenis akar tunggang yang menembus 50-75 cm
kedalam tanah, dan akar serabut yang menyebar ke samping.
Disepanjang akarnya terapat bulu-bulu akar untuk menyerap air.
Oleh karena itu, tembakau mudah hidup di tahan yang subur.
ii. Batang : memiliki batang hampir bulat dan kuat. Daun dan tunas
ketiak daun tumbuh di ruas-ruas batang yang mengalami penebalan.
Tembakau memiliki diameter batang sekitar 5cm yang semakin
keatas semakin kecil diameternya.
iii. Daun : daun tembakau licin dan tepi bergelombang, yang diatasnya
dilapisi lapisan palisade parenkim dan bagian bawahya dilapisi
spongy parenchyma.
iv. Buah : dalam 1 tanaman terdapat kurang lebih 300 buah yang berada
diatas dasar bunga. Buah tembakau berukuran kecil dan berbentuk
bulat lonjong, di dalam satu buah berisi 12.000 biji yang bobotnya
sangat ringin.
(Silaban et al. 2013)
2.4.3 Kegunaan dan Kandungan Daun Tembakau
Tembakau merupakan tanaman yang dapat menimbulkan adiksi karena
mengandung nikotin dan juga zat-zat karsinogen lainnya (Kishore 2014).
Kegunaan nikotin dalam dunia medis khususnya dalam pengobatan diabetes
mellitus tipe 2 yaitu meningkatkan sensitivitas insulin. Nikotin dengan dosis rendah
memiliki potensi untuk meningkatkan sensitivitas insulin melalui jalur α7-nAChR-
STAT-3 pada target organ insulin. Menurut Christine, pemberian nikotin secara
cepat dalam waktu 30 menit menyebabkan meningkatnya glukosa darah puasa
19
dan menurunnya sensitivitas insulin sehingga menyebabkan resistensi insulin
pada hewan coba (Vu et al. 2014). Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang
dilakukan oleh Swislovki., bahwa pemberian nikotin secara subkutan tidak
mempengaruhi sensitivitas insulin (Swislocki 2003; (Wang et al. 2011). Disisi lain
ditemukan potensi nikotin menurut penelitian yang dilakukan oleh Liu, dalam
percobaannya terhadap hewan coba yang obesitas, pemberian nikotin jangka
panjang secara oral selama 6 minggu menunjukan penurunan resistensi insulin
(Liu et al. 2003). Menurut Lan dalam penelitian sebelumnya, bahwa pemberian
nikotin dalam waktu yang lama secara signifikan dapat menurunkan HOMA
(homeostatic model assessment) insulin resisten pada tikus normal (Lan 2008).
Dari percobaan – percobaan tersebut menjelaskan bahwa terdapat berbagai faktor
yang mempengaruhi kerja nikotin, khususnya dosis yang diberikan, lamanya
perlakuan dan rute pemberian nikotin.
2.4.4 Efek Samping Tanaman Tembakau
Nikotin memiliki efek samping yang tidak diharapkan jika dosis dan waktu
penggunaannya tidak tepat seperti penurunan nafsu makan, kelumpuhan sarah,
dan sifat racun yang nikotin miliki. Menurut penelitian Young et al. Tahun 2008,
nikotin yang di administrasikan melalui rokok ataupun rute lainnya adalah
komponen appetite-suppressing yang mayor pada tembakau (Manuscript & Intake
2008). Menurut Nikotin juga memiliki sifat alkali yang kuat dan terdapat dalam
bentuk bukan ion sehingga dapat melalui membrane sel saraf. Sifat racun keras
yang dimiliki nikotin dapat menyebabkan kelumpuhan saraf dan mudah diserap
melalui kulit (Nururrahmah 2014).
20
2.5 Tikus Wistar (Rattus norvegicus)
2.5.1 Sistematika Tikus Wistar
Menurut Adiyati pada tahun 2011, taksonomi hewan coba Rattus
norvegicus adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Divisi : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus L.
(Adiyati 2011)
2.5.2 Karakteristik Tikus Wistar
Tikus putih dipilih dikarenakan tikus tersebut dilahirkan dari perkawinan
antara tikus betin dan jantan yang memiliki tingkat kemiripan genetis yang besar
sekitar 98%, walaupun sudah lebih dari 20 generasi. Walaupun terjadi perkawinan
tertutup antara tikus putih, kemiripan genetis merekapun sangat besar sekitar
9.5%. Oleh karena itu, tikus putih hampir menyerupai hewan hasil klon (Galef
1980; ILAR 1991). Tikus jenis ini lebih mudah didapatkan dan lebih murah
dibandingkan jenis lainnya. Dalam penelitian lain menyebutkan bahwa Tattus
norvegicus galur Wistar memiliki metabolisme kolesterol yang mirip dengan
manusia dilihat dari fungsi HDL dan LDL. Fungsi yang sama yaitu memproduksi
steroid dan apolipoprotein yang sama (Koolhaas 2010).
21
2.5.3 Hewan Coba Model Diabetes Mellitus Tipe 2
2.5.3.1 Peran Pemberian Hight Fat Diet (HFD) sebagai Penginduksi
Resistensi Insulin
Pemberian High Fat Diet (HFD) pada tikus menurut beberapa penelitian
dapat menginduksi terjadinya resistensi insulin yang berperan penting terhadap
terjadinya DM tipe 2. Pemberian HFD akan menyebabkan peningkatan ukuran dari
sel lemak (hipertopi) dan peningkatan dari jumlah sel (hiperplasia). Hal ini
disebabkan karena adanya proses lipogenesis yang membuat sel preadiposit akan
berproliferasi menjadi sel adiposit matang, yang diatur oleh SREBP-1 (Sterol
Reglukosatory Element Binding Protein) (Mawarti et al. 2012). SREBP-1
mempunyai peranan penting terhadap pengaturan gen adiposit antara lain sintesis
dari asam lemak, lipoprotein protein lipase, dan metabolisme asam lemak
(Shimano 2009). Pemberian HFD akan meningkatkan kerja dari SREBP-1 yang
akan berpengaruh pada pembentukan adiposit baru dan peningkatan dari Free
Fatty Acid (FFA) yang kemudian memicu terjadinya hiperinsulinemia. Peningkatan
FFA akan mempengaruhi kerja insulin, menurunkan pengambilan glukosa,
glikolisis, dan sintesis glikogen (Unger 2002)
Pemberian HFD selama 8 minggu akan menyebabkan resistensi insulin
akibat penumpukan lemak viseral yang akan meningkatkan FFA menuju ke hati,
meningkatkan sirkulasi TG (trigliserid), dan kecepatan produksi glukosa hepatik
(Yoo et al. 2017). Resistensi insulin pada tikus model diabetes mellitus
menunjukkan terdapat kegagalan stimulasi insulin akibat penekanan pada
glukoneogenesis di hati, tetapi stimulasi insulin meningkat pada lipogenesis hati
(Mawarti et al. 2012).
22
2.5.3.2 Penggunaan Streptozotocin (STZ) dalam Induksi Diabetes Mellitus
Streptozotocin (STZ) merupakan agen diabetogenik yang menghambat
sekresi insulin dan menyebabkan terjadinya DM dengan cara insulin dependent
maupun non-insulin dependent, melalui kemampuannya untuk menginduksi
selektif nekrosis pada sel beta pankreas melalui alkilasi DNA (Lenzen 2008; Zhang
et al. 2008). STZ digunakan pada bidang kesehatan untuk mengobati kanker pada
pulau langerhans pankreas, tumor atau kanker yang ganas, dan menginduksi
hewan model DM (Zhang et al. 2008).
Pemberian STZ dosis tinggi dapat merusak hepar sehingga mempengaruhi
sekresi insulin, kondisi ini menyerupai diabetes mellitus tipe 1. Sedangkan pada
pemberian STZ dosis rendah pada hewan coba dapat menginduksi gangguan
ringan sekresi insulin yang menyerupai terjadinya tahap lanjut DM tipe (Zhang et
al. 2008).
Pada penelitian ini, pembuatan tikus model DM tipe 2 menggunakan
pemberian HFD dan injeksi STZ dosis rendah (30mg/kgBB). STZ dosis rendah
mampu menginduksi gangguan ringan sekresi insulin yang dapat menimbulkan
kelemahan sel beta pankreas sehingga terjadi DM tipe 2. Kombinasi dari
pemberian HFD dan STZ dosis rendah menyebabkan resistensi insulin sehingga
terjadi disfungsi sel beta pankreas yang terjadi pada keadaan DM tipe 2. Dalam
penelitian Zhang tahun 2008, pemberian HFD dan injeksi STZ 30 mg/kgBB selama
dua kali menginduksi terjadinya diabetes mellitus tipe 2 dengan resistensi insulin
dan hiperglikemia. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian HFD dan STZ dosis
rendah dapat menginduksi hewan coba menjadi DM tipe 2 (Zhang et al. 2008).