3569-6752-1-sm

Upload: rahmat-saputro

Post on 02-Mar-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/26/2019 3569-6752-1-SM

    1/8

    229Suparlan, Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan

    1 Tulisan ini merupakan penerbitan ulang artikel yang

    sama dari Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol.XXIII, no. 58, 1999, hlm. 1321. Tulisan inidisampaikan dalam sesi Kerusuhan Massal dan KonflikAntargolongan dalam seminar Memasuki Abad ke-21: Antropologi Indonesia Menghadapi Krisis BudayaBangsa, 6-8 Mei 1999, di Kampus Universitas Indo-nesia, Depok.

    Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominandan Kesukubangsaan1

    Parsudi Suparlan

    (Universitas Indonesia)

    Abstract

    On the basis of Bruners concept of a dominant culture, the author analyzes the cases ofBandung, Sambas and Ambon. By comparing the three cases, the author reveals the differ-ences of adaptation strategies among the Javanese in Bandung, the Madurese in Sambas, andthe BBM (Buton, Bugis, Makassar) in Ambon. The Javanese from the lower classes in Bandung

    follow the Sundanese cul ture as the dominant one, and try to adopt Sundanese ways of behav-ior. Harmonious relationship between the migrants and the Sundanese as the host populationis thus maintained. On the other hand, the Madurese in Sambas and the BBM in Ambon forcedtheir rules and principles so as to dominate those from the natives. As a result, conflictsbetween the natives and the migrants could not be avoided. The author argues that the domi-nant culture in a specific setting, with its rules and norms, should be followed by the migrantsand outsiders. However, the challenges to the dominant culture can be diverse in different

    societies and settings. The cases in Sambas and Ambon reveal that there is a problem in thechallenge toward the dominant culture in those societies.

    Key words:pluralism; dominant culture; ethnicity.

    Pendahuluan: hipotesis kebudayaandominan

    Dalam menganalisis perwujudan kesuku-

    ba ng sa an di an ta ra pa ra migra n di ko ta

    Bandung dan Medan, Bruner (1974) telah

    menunjukkan kegunaan hipotesis kebudayaan

    dominan yang dibuatnya sebagai model

    analisis. Hipotesis kebudayaan dominan

    adalah sebuah model substantif yang

    merefleksikan kenyataan hubungan antarsuku

    ba ng sa da la m se bu ah konteks struktur

    kekuatan setempat. Produk dari hubungan

    antarsuku bangsa tersebut ditentukan oleh

    corak hubungan di antara suku-suku bangsa

    setempat yang ada, dan oleh corak hubungan

    antara masing-masing suku bangsa tersebut

    dengan struktur kekuatan setempat yang ada.Dalam hipotesis kebudayaan dominan

    tercakup tiga unsur yang masing-masing berdiri

    sendiri, tetapi satu sama lainnya saling

    be rh ubu ng an , dan me ne nt uka n co rak

  • 7/26/2019 3569-6752-1-SM

    2/8

    230 ANTROPOLOGI INDONESIAVol. 30, No. 3, 2006

    kesukubangsaan atau produk dari hubunganantarsuku bangsa yang terjadi. Unsur-unsur

    tersebut adalah:

    demografi sosial yang mencakup rasio

    populasi dan corak heterogenitas serta

    tingkat percampuran hubungan di antara

    suku-suku bangsa yang ada dalam sebuah

    konteks latar tertentu;

    kemantapan atau dominasi kebudayaan

    suku bangsa setempat, bila ada, dan cara-

    cara yang biasanya dilakukan oleh anggota-

    anggota kelompok-kelompok suku bangsa

    pendatang dalam berhubungan dengansuku-suku bangsa setempat dan

    penggunaan kebudayaan masing-masing

    serta pengartikulasiannya;

    keberadaan dar i kekuatan sosial dan

    pend is tr ibus iannya di antara berbagai

    kelompok suku bangsa yang hidup dalam

    konteks latar tersebut.

    Dengan menggunakan model ini Bruner

    memperbandingkan Bandung dan Medan.

    Orang Sunda di Bandung adalah mayoritas dan

    dominan, yaitu mereka menetapkan patokan-

    patokan bagi kelakuan yang layak yang harusditunjukkan di tempat-tempat umum; dan,

    hampir semua pranata perkotaan Bandung

    dikendalikan oleh orang Sunda dan beroperasi

    sesuai dengan pola-pola kebudayaan Sunda.

    Mereka menduduki posisi-posisi kunci dalam

    struktur kekuasaan kotadari jabatan

    gubernur, wali kota, rektor-rektor universitas

    setempat, sampai dengan jabatan-jabatan

    kepala-kepala kantor wilayah. Sebaliknya, di

    Medan tidak ada satu suku bangsa pun yang

    dominan secara demografi sosial, dan tidak ada

    kebudayaan dominan seperti yang terdapat di

    Bandung. Orang Jawa yang merupakan

    mayoritas di Medan bukanlah kelompok

    dominan, karena mereka ini golongan kelas

    sosial rendah yang tidak mempunyai kekuatan

    sosial, ekonomi, dan politik. Karena itu,

    kebudayaannya tidak merupakan modelkebudayaan dominan bagi kelompok-kelompok

    suku bangsa lainnya. Masing-masing suku

    bangsa mempertahankan kebudayaan dan

    kesukubangsaannya, hidup mengelompok di

    antara sesama suku bangsanya. Kesuku-

    bangsaan dan agama suku bangsa menjadi

    acuan utama dalam penggolongan di antara

    warga penduduk Medan.

    Bila para migran di Bandung mengambil

    posisi masing-masing dalam sistem perkotaan

    yang mengacu pada kebudayaan dominan,

    maka para migran di Medan mengelompokbersama dengan sesama warga suku bangsa-

    nya dan memperkuat posisi kelompok suku

    bangsanya dalam hubungan antarsuku bangsa

    dan dalam bersaing untuk posisi-posisi yang

    ada dalam struktur kekuasaan kota Medan. Bila

    kehidupan sosial Bandung ditandai dengan

    adanya keteraturan karena para migran yang

    buk an Su nda me nga da pt asi dir i de ng an

    kebudayaan Sunda dan cenderung menjadi

    seperti Sunda, sementara itu, di Medan, masing-

    masing kelompok suku bangsa menciptakan

    keteraturan sosial dalam lingkungan kehidupan

    masyarakat suku bangsanya. Di tempat-tempatumum mereka saling berkompetisi dengan

    mengaktifkan masing-masing kesukubangsa-

    annya. Tawar menawar kekuatan dalam bentuk

    konflik atau kerja sama di antara kelompok-

    kelompok suku bangsa dalam memenangkan

    pe rsaing an meny eb ab ka n co rak ke suku -

    bangsaan di Medan berbeda dengan yang

    terdapat di Bandung.

    Apa yang terjadi dengan orang Jawa di

    Bandung dalam kerangka berpikir yang

    menggunakan model kebudayaan dominan

    dapat diperbandingkan dengan yang terjadi diAmbon dan Sambas. Tiga lokasi tersebut

    mempunyai ciri-ciri yang sama, yaitu adanya

    kebudayaan dominan setempat, walaupun

    Sambas bukanlah daerah perkotaan.

  • 7/26/2019 3569-6752-1-SM

    3/8

    231Suparlan, Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan

    Model kebudayaan dominan dankasus-kasus Bandung, Ambon, danSambas

    Orang Jawa di Bandung

    Salah satu ciri utama dari ada atau tidak

    adanya kebudayaan dominan dalam sebuah

    masyarakat ialah adanya aturan-aturan main

    atau konvensi sosial dalam saling berhubungan

    yang keberadaannya diakui dan digunakan oleh

    para pelaku dari berbagai kelompok suku

    bangsa yang hidup bersama dalam sebuah

    masyarakat. Dalam masyarakat dengan

    kebudayaan dominan, para pelaku darikelompok-kelompok suku bangsa yang tidak

    dominan menyesuaikan diri dengandan

    tunduk padaaturan-aturan main yang

    ditetapkan oleh masyarakat setempat yang

    dominan. Dalam masyarakat yang tidak

    mengenal adanya kebudayaan dominan,

    aturan-aturan main terwujud melalui tawar

    menawar kekuatan sosial yang dihasilkan dari

    proses -p roses in te raks i sosi al yang ber-

    langsung dari waktu ke waktu dan dari generasi

    ke generasi. Aturan main yang telah mantap

    yang menjadi acuan bagi kelakuan yang layak

    dan harus ditunjukkan di tempat-tempat

    umumdikontrol dan diwasiti oleh masyarakat

    setempat sebagai benar atau salah dari waktu

    ke waktu.

    Dari penelitian saya mengenai orang Jawa

    di Bandung (1972) diketahui bahwa para migran

    Jawa di kota tersebut cenderung untuk menjadi

    seperti orang Bandung dalam upaya mereka

    untuk menaati aturan yang berlaku di tempat-

    tempat umum. Ini berlaku, terutama, dalam

    kehidupan orang Jawa yang tergolong

    menengah dan bawah. Mereka ikut aktif dalam

    kegiatan-kegiatan sosial di kampung tempatmereka tinggal, sehingga terdapat kesan bahwa

    mereka itu berusaha untuk dapat menjadi bagian

    yang tidak terpisahkan dari kehidupan

    masyarakat setempat yang berkebudayaan

    Sunda. Dalam kehidupan keluarga, mereka jugacenderung menggunakan kebudayaan dan

    ba has a Su nd a. An ak -a na k me re ka yan g

    dilepaskan oleh orang tua untuk dapat bergaul

    bebas dengan teman-teman di lingkungan

    sekolah dan tetangga di kampung kota

    Bandung cenderung lebih fasih berbahasa dan

    berkelakuan seperti orang Sunda daripada

    sebagai anak orang Jawa. Anak-anak tersebut

    cenderung mengidentifikasi diri mereka sebagai

    orang Bandung. Kalau ditanya apakah orang

    tua mereka itu orang Bandung, baru mereka

    menjawab bahwa mereka itu mempunyai orangtua asal Jawa.

    Hubungan antara orang-orang Sunda dan

    orang-orang Jawa memperlihatkan keteraturan

    sosial yang berlaku. Walaupun konflik juga

    terjadi di antara mereka yang berasal dari Jawa

    dengan penduduk setempat, tetapi konflik

    tersebut tidak menyebabkan diaktifkannya

    suku bangsa sebagai acuan bagi penggalangan

    solidaritas sosial untuk saling memusuhi dan

    mengalahkan. Hal itu disebabkan adanya

    aturan main yang ditetapkan dalam kehidupan

    sosial yang disetujui bersama dan diikuti

    sebagaimana seharusnya. Begitu juga halnyadengan pelaku orang Jawa yang terlibat dalam

    konflik yang lebih menonjolkan jati dirinya

    sebagai perorangan (bila yang bersangkutan

    adalah pendatang Jawa) atau sebagai orang

    Bandung dari kampung setempat (bila yang

    bersangkutan kelahiran Bandung).

    Sebaliknya, mereka yang tergolong dalam

    golongan sosial atas atau golongan elite Jawa

    dan keluarga perwira tinggi militer mempunyai

    kecenderungan untuk tetap mempertahankan

    jati diri mereka yang Jawa, di samping jati diri

    kosmopolitan atau modern yang mereka adopsi.Mereka dapat mempertahankan kesuku-

    bangsaan mereka yang Jawa, karena kehidupan

    sehari-hari mereka dapat terbebas dari

    keharusan untuk tunduk dan mengikuti aturan-

    aturan main yang berlaku menurut kebudayaan

  • 7/26/2019 3569-6752-1-SM

    4/8

    232 ANTROPOLOGI INDONESIAVol. 30, No. 3, 2006

    Sunda yang dominan di tempat-tempat umum.Mereka mempunyai kekuatan sosial, karena

    posisi sosial, ekonomi, dan politik yang berada

    di luar jangkauan ruang lingkup kebudayaan

    Sunda di Bandung.

    Bahkan pada waktu tokoh-tokoh masya-

    rakat Sunda di Bandung merasakan adanya

    dominasi kebudayaan Jawa pada 1969-1970,

    mereka tidak memusuhi orang-orang Jawa yang

    dalam kenyataannya telah menjadi seperti

    orang Bandung, atau menjadi orang Bandung.

    Mereka memusuhi kebudayaan Jawa, yaitu

    sebuah kategori lawan yang abstrak yangmereka tentang secara abstrak pula. Mereka

    lakukan adalah mendirikan perkumpulan-

    perkumpulan kesenian dan penggalian nilai-nilai

    budaya Sunda. Mereka berusaha membangkit-

    kan dan menghidupkan kembali ide tentang ke-

    Sundaan melalui perkumpulan-perkumpulan

    yang jumlahnya lebih dari seratus buah untuk

    menentang masuk dan digunakannya aturan-

    aturan yang ada dalam kebudayaan Jawa dalam

    tata kehidupan di Bandung.

    Orang Buton, Bugis, Makasar di Ambon

    Dari penelitian yang dilakukan oleh timUniversitas Indonesia (Suparlan 1999a),

    diketahui bahwa sebelum zaman Orde Baru,

    kondisi masyarakat kota Ambon dan sekitamya

    mirip dengan kondisi masyarakat Bandung.

    Ambon dan daerah sekitamya (Kota Madya

    Ambon) dihuni oleh penduduk setempat yang

    mayoritas dalam jumlah dan dominan dalam

    kebudayaan, yaitu orang Ambon dengan

    kebudayaan Ambon yang Kristen. Orang Am-

    bon yang beragama Islam adalah minoritas.

    Mereka tinggal di kampung Batu Merah, sebuah

    pemukiman di kota Ambon. Migran dari luarAmbon yang telah datang sejak permulaan

    abad ke-20 adalah orang-orang Buton yang

    beragama Islam. Mereka tinggal di desa-desa

    yang terletak di sekeliling kota Ambon. Secara

    tradisional, mereka memperoleh izin tinggal dan

    hidup di desa-desa dari kepala-kepala desaadatyang dinamakan raja ataulatuputidari

    desa masing-masing tempat mereka menetap.

    Mereka hidup mengelompok di antara sesama-

    nya sebagai petani, dan sebagian merangkap

    sebagai pedagang kecil. Hubungan antara

    orang Buton dan orang Ambon dalam

    masyarakat desa setempat rukun. Mereka

    berada dalam suatu hubungan simbiotis yang

    secara ekonomi dan sosial saling menguntung-

    kan. Orang Buton membangun atau memper-

    baiki mesjid orang Ambon. Penduduk setempat

    membantu, demikian pula sebaliknya.Pada zaman Orde Baru, terutama dalam

    paruh kedua pemerintahan Orde Baru dan

    setelah kejatuhannyadi mana semangat

    kebangkitan Islam di Indonesia menggebu-

    gebustruktur kekuatan masyarakat kota

    Ambon dan sekitarnya menjadi berubah.

    Struktur kekuatan masyarakat kota Ambon yang

    Ambon dan Kristen berubah menjadi Islam

    yang Ambon atau Islam yang Buton, Bugis,

    Makasar (BBM). Jabatan-jabatan politik dan

    administrasi kunciseperti Gubernur, Ketua

    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Wali Kota,

    Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil), KepalaDinas (Kadis), atau Kepala Direktorat (Kadit)

    didominasi oleh orang Islam Ambon atau BBM.

    Penggeseran keberadaan kebudayaan dominan

    dari Ambon Kristen menjadi Islam dibarengi

    dengan kedatangan migran dalam jumlah yang

    relatif besar asal BBM dibandingkan dengan

    daya tampung kota Ambon. Pendatang BBM

    ini mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang

    diabaikan oleh orang Ambon karena dianggap

    sebagai pekerjaan kasar dan tidak bergengsi.

    Misalnya, tukang becak, kuli pelabuhan,

    pedagang kaki lima, tukang pembersih danpengangkut sampah. Dalam waktu sekian tahun

    para pendatang BBM mengambil alih berbagai

    pekerjaan dan jabatan melalui hubungan-

    hubungan kerabat dan kesukubangsaan dan

    keagamaan. Tempat umum yang semula adalah

  • 7/26/2019 3569-6752-1-SM

    5/8

    233Suparlan, Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan

    tempat-tempat beroperasinya kebudayaanAmbon yang Kristen, sekarang juga menjadi

    tempat-tempat beroperasinya kebudayaan Is-

    lam yang BBM. Berbagai patokan aturan main

    di tempat-tempat umum kota Ambon telah

    berubah. Orang-orang BBM menguasai tata

    kehidupan pasar eceran, transportasi, perkulian

    dan kerja kasar serta hiburan, dan, bahkan

    menguasai pula suasana keagamaan kota Am-

    bon yang semula adalah Kristen yang Ambon.

    Mereka juga menguasai kehidupan dunia

    bawah tanah melalui kegiatan-kegiatan para

    preman dan tukang palaknya.Pendatang-pendatang baru BBM ini

    memiliki cara-cara hidup dan strategi adaptasi

    yang berbeda dibandingkan dengan cara-cara

    hidup dan strategi yang dilakukan oleh para

    pendatang Buton yang terdahulu. Bila para

    pendatang yang terdahulu itu dianggap oleh

    orang Ambon sebagai orang yang tahu adat,

    maka para pendatang baru BBM tersebut

    dianggap sebagai orang yang tidak tahu adat

    dan, bahkan, menjadi sewenang-wenang dan

    mau menang sendiri. Bila para pendatang Buton

    yang terdahulu serta keturunannya dianggap

    sebagai saudara atau kerabat yang lebih mudaatau lebih rendah derajatnya oleh warga desa

    setempat yang Ambon, maka para pendatang

    BBM yang baru tersebut dianggap sebagai

    musuh yang hanya merugikan dan

    merendahkan derajat orang Ambon. Bila agama

    Islam yang dipeluk oleh pendatang Buton

    terdahulu dilihat sebagai agama Islam yang

    cinta damai dan tidak mengganggu orang

    Kristen, maka agama Islam pendatang BBM

    yang baru dianggap sebagai agama yang mau

    mendominasi kehidupan Kristen mereka.

    Aturan-aturan main yang adamenurutkebudayaan dominan Ambon yang Kristen

    telah diobrak-abrik dan diganti serta didominasi

    oleh aturan main BBM yang Islam.

    Jarak sosial antara orang Ambon yang

    Kristen dan BBM yang Islam menjadi

    dipertegas, karena para pendatang BBMcenderung hidup mengelompok di antara

    sesama mereka yang terpisah dari orang Am-

    bon yang Kristen. Batas-batas sosial antara

    kami dan mereka menjadi jelas, dan batas-

    batas sosial tersebut dipertegas oleh simbol-

    simbol kebudayaan masing-masing suku

    bangsa. Batas-batas iniyang menjadi acuan

    bagi pembenaran konflik-konflik kecil sebelum

    terjadinya kerusuhan Ambonmengungkap-

    kan sistem kognisi yang ada dalam hubungan

    antarsuku bangsa (Ambon versus BBM)

    sebagai hubungan kategorial yang berisikanciri-ciri stereotip. Masing-masing pihak tidak

    melihat satu sama lainnya sebagai manusia,

    tetapi sebagai golongan atau ciri-ciri stereotip.

    Berdasarkan cara berpikir seperti itu, maka juga

    tindakan-tindakan kekerasan dan kekejaman

    yang saling mereka lakukan satu sama lainnya

    masuk akal menurut kebudayaan mereka, karena

    yang dikerasi atau dikejami itu bukan lagi

    manusia. Kamilah yang manusia, mereka bukan

    manusia. Kamilah yang suci, mereka itu kafir.

    Penusukan sopir angkutan kota (angkot) Am-

    bon oleh preman BBM yang menjadi pemicu

    kerusuhan dapat dilihat dalam struktur berpikirseperti tersebut di atas dan, karena itu, dapat

    memicu solidaritas suku bangsa dan agama.

    Orang Madura di Kabupaten Sambas

    Walaupun model kebudayaan dominan

    sebagaimana yang semula diajukan oleh Bruner

    hanya untuk daerah perkotaan, tetapi model

    ini juga relevan dengan permasalahan hu-

    bungan antarsuku bangsa yang ada di daerah

    pedesaan dan wi layah admini st ra si yang

    mencakup daerah perkotaan dan pedesaan

    sebagai sebuah satuan konteks masyarakat.Dalam penelitian yang dilakukan di Kabupaten

    Sambas (Suparlan 1999b) diketahui bahwa

    sesungguhnya masyarakat Kabupaten Sambas

    pa da da sa rn ya me nc ak up dua wi la yah

    kebudayaan, yaitu wilayah kebudayaan orang

  • 7/26/2019 3569-6752-1-SM

    6/8

    234 ANTROPOLOGI INDONESIAVol. 30, No. 3, 2006

    Melayu di daerah pantai dan wilayahkebudayaan orang Dayak di daerah pedalaman.

    Secara tradisional, masing-masing suku bangsa

    ini mengakui keberadaan dan dominasi setiap

    kebudayaan di wilayah masing-masing.

    Walaupun dalam tradisi politik di Sambas, or-

    ang Melayu lebih dominan daripada orang

    Dayakmelalui kekuasaan kerajaan-kerajaan

    Melayutetapi dominasi wilayah-wilayah

    kebudayaan masing-masing tetap diakui, dan

    masing-masing saling menghormatinya.

    Mereka hidup berdampingan dalam suatu

    hubungan simbiotis yang saling menguntung-kan. Banyak terjadi kawin-mawin di antara

    mereka. Seorang Dayak yang masuk Islam tidak

    dikatakan sebagai masuk Islam, tetapi masuk

    Melayu. Dengan masuk Islam, si orang Dayak

    bukan hanya memeluk agama, melainkan juga

    memeluk dan menjadikan kebudayaan Melayu

    sebagai pedoman bagi kehidupannya.

    Kebudayaan Melayu adalah acuan bagi jati diri

    suku bangsanya. Tidak hanya orang Melayu

    dan Dayak yang hidup di Kabupaten Sambas,

    tetapi juga orang-orang asal Bugis Cina dan

    berbagai suku bangsa lainnya dalam jumlah

    yang kecil. Orang-orang Bugis yang memahamiadanya kebudayaan dominan Melayu di daerah

    pantai Sambas cenderung menjadi seperti

    Melayu dan setelah sekian generasi menjadi

    orang Melayu. Sebaliknya, orang-orang Cina,

    yang karena mempunyai keyakinan agama yang

    berbeda, cenderung mempertahankan jati diri

    ke-Cinaannya. Hubungan antara penduduk

    setempat dan orang Cina berjalan dengan baik,

    karena orang-orang Cina menghormati

    patokan-patokan aturan main yang berlaku di

    tempat-tempat umum sesuai dengan

    kebudayaan dominan Melayu.Para migran asal Madura yang datang ke

    Kabupaten Sambas sejak 1920-an adalah buruh

    atau kuli pembuat jalan, buruh tani, petani,

    tukang becak, serta sopir kendaraan umum.

    Mereka yang menetap di daerah pedesaan

    hidup sebagai petani atau sebagai pekerjaserabutan. Mereka hidup mengelompok dengan

    sesama mereka yang satu kerabat atau yang

    be ra sa l dar i sa tu de sa . Peng el ompok an

    permukiman mereka biasanya ada di sekitar

    rumah seorang kyai atau guru mengaji yang

    menjadi tokoh mereka, yang dibangun di dekat

    surau atau mesjid dan madrasah. Orang-orang

    Madura di Sambas tidak memperhatikan atau,

    bahkan, boleh dikatakan tidak memandang

    sebelah mata berbagai adat istiadat orang

    Melayu atau orang Dayak. Mereka hidup dalam

    lingkungan komunitas mereka sendiri yangterpisah dari komunitas pedesaan orang

    Melayu. Dalam kehidupan sehari-harinya

    mereka berbahasa Madura dan berpedoman

    pada kebudayaan Madura dari Bangkalan.

    Mereka juga mempunyai keyakinan keagamaan

    Islam yang berbeda dari yang dipeluk oleh or-

    ang Melayu, yang menurut keterangan, adalah

    pengikut Tarekat Naqsabandiyah-Khalidiyah.

    Mereka juga tidak mempunyai rasa hormat

    kepada orang Melayu yang mereka anggap

    sebagai penakut dan orang Dayak sebagai

    orang kafir. Mereka menganggap remeh

    berbagai ketentuan adat setempat dan hukumyang berlaku, termasuk membawa senjata tajam

    di tempat-tempat umum. Oleh orang Melayu

    dan orang Dayak di Sambas, orang Madura

    dikenal sebagai orang yang dengan cepat

    mencabut senjata dan melukai atau membunuh

    orang yang telah menyinggung perasaan

    mereka. Sebagian dari orang Madura me-

    manfaatkan situasi yang ada dalam kehidupan

    orang Melayu tersebut untuk melakukan

    tindakan-tindakan kriminal dengan cara

    kekerasan. Orang Melayu tidak berani atau

    tidak mau melawannya. Berbeda dengan orangDayak yang selalu memberikan perlawanan bila

    darah telah tumpah karena perbuatan orang

    Madura. Konflik Madura-Dayak telah ber-

    langsung sebanyak sepuluh kali dan memakan

    korban yang tidak sedikit di kedua belah pihak.

  • 7/26/2019 3569-6752-1-SM

    7/8

    235Suparlan, Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan

    Kebudayaan orang Melayu di Sambasdapat dikatakan mempunyai kemiripan dengan

    kebudayaan Jawa atau Sunda. Mereka ini

    menekankan pentingnya sopan santun, rukun

    dan saling memaafkan bila terjadi kesalahan,

    menjunjung tinggi budi pekerti, lebih suka

    menghindari konflik, dan taat hukum. Banyak

    dari mereka yang menceritakan kepada saya

    tentang penderitaan mereka sebagai korban

    pemerasan dan penipuan yang dilakukan oleh

    orang-orang Madura yang kriminal. Bahkan,

    ada keluarga-keluarga Melayu yang terpaksa

    harus melarikan diri dari Pemangkat dan Tebaske Pontianak, karena tidak berani melawan

    ancaman-ancaman oknum-oknum preman

    Madura setempat. Namun, dalam keadaan

    terpaksa mereka ini bisa mengamuk.

    Apa yang mereka alami dalam hubungan

    mereka dengan orang-orang Madura di

    Kabupaten Sambas adalah pengalaman pahit

    atas kekalahan yang mereka derita secara tidak

    adil dan sewenang-wenang dengan tipuan,

    paksaan, dan kekerasan yang beresiko korban

    nyawa mereka. Orang-orang Madura telah tidak

    mengikuti aturan main yang berlaku dalam

    wilayah kebudayaan dominan mereka. Bahkanorang-orang Madura, yang dilihat sebagai

    pendatang oleh orang-orang Melayu, telah

    mengambil alih aturan-aturan main yang

    berlaku di tempat-tempat umum dan meng-

    gantikannya dengan aturan main cara Madura

    yang penuh dengan kekerasan.

    Karena orang-orang Madura itu hidup

    menyendiri dalam dunia mereka sendiri, maka

    orang-orang Melayu ataupun orang-orang

    Dayak tidak mengenal orang-orang Madura

    sebagai orang per orang. Mereka mengenal

    orang-orang Madura sebagai golongan denganciri-ciri stereotipnya, ciri-ciri stereotip yang

    tidak ada satu pun yang bagus dalam

    pandangan orang Melayu dan Dayak. Karena

    itu, pada waktu terjadi kerusuhan antara orang

    Melayu dan Madura, orang-orang Melayu

    hanya melihat orang-orang Madura sebagaiciri-ciri stereotip, sehingga perbuatan-

    perbuatan kekerasan dan kekejaman yang

    mereka pelajari dari perlakuan orang Madura

    terhadap mereka, mereka gunakan terhadap

    orang Madura. Dampak dari hubungan

    antarsuku bangsa yang didasari oleh ciri-ciri

    stereotip adalah bahwa hubungan di antara

    pa ra pel ak u ti dak ada unsu r hubu ngan

    kemanusiaannya.

    Penutup: kebudayaan dominan danaturan main

    Dari uraian di atas tampak jelas bahwa tidak

    semua wilayah di Indonesia ini adalah wilayah

    tidak bertuan. Medan mungkin merupakan

    sebuah perkecualian. Para migran dari berbagai

    suku bangsa di Medan dapat hidup untuk

    bersaing menentukan aturan-aturan main yang

    menguntungkan masing-masing, dan untuk

    menguasai kebudayaan yang berlaku setempat.

    Kasus orang Jawa di Bandungbila diper-

    bandingkan dengan kasus Am bon dan

    Sambasakan menampakkan dengan jelas

    perbedaan dalam strategi adaptasi dari para

    pendatang Jawa di Bandung dengan strategiadapasi para pendatang BBM di Ambon dan

    Madura di Kabupaten Sambas. Baik para

    pendatang BBM maupun Madura menerapkan

    prinsip menguasai kebudayaan yang berlaku

    setempat dan memantapkan patokan-patokan

    aturan main sesuai dengan kebudayaan mereka

    untuk diikuti oleh suku-suku bangsa lainnya,

    termasuk suku bangsa setempat yang semula

    dominan.

    Dalam tulisan ini peranan sistem nasional

    Indonesia tidak disinggung secara mendalam.

    Walaupun demikian, tidak berarti bahwa sayamengabaikannya. Apa yang ingin saya

    tunjukkan adalah adanya kebudayaan

    dominan di suatu masyarakat, dan bahwa

    kebudayaan dominan tersebut menetapkan

    patokan-patokan aturan main yang harus diikuti

  • 7/26/2019 3569-6752-1-SM

    8/8

    236 ANTROPOLOGI INDONESIAVol. 30, No. 3, 2006

    oleh semua warga masyarakat yang tercakupdi dalamnya. Dalam kasus-kasus Ambon dan

    Sambas terkesan bahwa sistem nasional tidak

    be rday a da lam be rh adap an deng an pa ra

    pendatang yang menggunakan cara-cara paksa

    dan kekerasan atau cara-cara preman.

    Bahkandari informasi yang saya peroleh di

    Ambon dan berbagai kota kecamatan diKabupaten Sambasterdapat kesan bahwa

    para pendatang ini memperoleh beking dari

    sejumlah oknum, sehingga petugas kepolisian

    setempat tidak berani serta tidak mampu

    menegakkan hukum yang seharusnya menjadi

    acuan bagi aturan main yang adil dan beradab.

    Referensi

    Bruner, E.M.

    1974 The Expression of Ethnicity in Indonesia, dalam Abner Cohen (peny.) Urban

    Ethnicity. London: Tavistock. Hlm. 251288.Suparlan, P.

    1972 The Javanese in Bandung: Ethnicity in a Medium Sized Indonesian City. Tesis M.A.

    University of Illinois.

    1999a Laporan Kerusuhan Ambon. Laporan Terbatas disampaikan kepada Kapolri. 1999b

    Laporan Kerusuhan Sambas. Laporan Terbatas disampaikan kepada Kapolri.