3.1.1. gpib selaku pewaris dari gpi tidak memiliki latar...
TRANSCRIPT
32
BAB III
HASIL PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang pemaparan hasil – hasil penelitian yang didapati oleh
penulis. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian deskriptif –
kualitatif, dengan tujuan untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari suatu gejala
masalah yang diteliti. Pengumpulan data dengan menggunakan tiga cara yakni: pengamatan;
memeriksa dan mendalami dokumen – dokumen gereja yang berkaitan dengan topik yang
akan diteliti; dan wawancara. Bab ini dimulai dengan menjabarkan mengenai GPIB (secara
historis dan kekinian), dilanjutkan dengan penjabaran mengenai GPIB Kasih Karunia Medan,
dan diakhiri dengan kesimpulan dari penulis.
3.1. Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) berdiri sebagai gereja sendiri
dalam lingkungan Gereja Protestan di Indonesia (GPI) pada tanggal 31 Oktober 1948. GPIB
memiliki semua jemaat GPI di luar dari tiga gereja saudaranya yakni Gereja Masehi Injili
Minahasa (GMIM), Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Gereja Masehi Injili Timor
(GMIT). Maka dari itu latar belakang historis GPIB berasal dari latar belakang historis GPI,
yang dikenal dengan nama De Protestantsche Kerk in Nederlandsch Indie.
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai sejarah GPIB yang lahir dari lingkungan
GPI yang hadir pada masa pemerintahan Hindia – Belanda melalui perusahaan dagang VOC
milik Belanda. Sejarah berdirinya GPIB dan pemisahan dari GPI dapat dilihat pada sub –
bagian proto sinode GPIB 1948. Selanjutnya bagian ini akan menjelaskan mengenai visi dan
misi GPIB serta sistem pemerintahannya, GPIB pada masa kini dan sumber pemasukan
keuangan GPIB.
33
3.1.1. Latar Belakang Historis GPI : Suatu Tinjauan Historis
GPIB selaku pewaris dari GPI tidak memiliki latar belakang historis yang berpangkal
atau bertitik tolak pada kegiatan zending secara langsung dalam suatu daerah dengan
masyarakat yang homogen secara etnologis atau yang didiami oleh suatu suku bangsa
tertentu. Untuk lebih mengerti GPIB kita harus kembali pada zaman VOC dan gereja
Hervormd Belanda pada abad 17.1
Kehadiran perusahaan dagang Belanda yakni VOC pada tahun 1602 memiliki tujuan
untuk mendapatkan rempah – rempah. Tujuan awal untuk berdagang ini secara tidak
langsung juga membawa masuk dan berkembangnya agama Kristen Protestan di bumi
Nusantara. Perjumpaan agama Kristen dengan bangsa ini terjadi melalui para pegawai –
pegawai VOC yang merupakan orang pribumi. Para pegawai VOC pribumi ini, kemudian
didik baik secara ilmu pengetahuan maupun secara Kristen. Seiring dengan semakin
berkembangnya VOC di berbagai pulau dan daerah di Nusantara, VOC membangun gereja
diberbagai kota – kota yang merupakan pusat – pusat perdagangan VOC. Kehadiran gereja
ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rohani para pegawai VOC. Gereja ini dikenal
dengan nama De Protestantsche Kerk In Nederlands Indie atau GPI. GPI memiliki pola dan
struktur yang sama dengan gereja Hervormd yang terdapat di Belanda.
GPI merupakan gereja negara, berada dibawah pemerintahan Hindia Belanda yang
menggantikan VOC. Selama kurun waktu 1602 – 1795 gereja berada dalam naungan VOC.
Selama masa itu pula gereja tidak bebas untuk mengembangkan teologi, eksistensi dan tugas
– tugas kesaksiannya. Selaku gereja negara2 tanggung jawab anggota – anggota jemaat di
1 S.W. Lontoh, et.al., Bahtera Guna Dharma GPIB, (Jakarta: MS XII GPIB, 1982), 167. 2 Sebagai gereja negara, GPI diberi tugas oleh pemerintah untuk menegakkan ketertiban. Itu berarti bahwa GPI dengan caranya sendiri ikut menegakkan kekuasaan Belanda di jajahannya. Negara membuat gereja menjadi salah satu alatnya, dan oleh karena itu mengikat gereja dengan ketat. Campur tangan pemerintah ini mempunyai akibat yang lainnya, GPI diberi struktur dengan hakekat gereja. Menurut hakekatnya, gereja dipimpin oleh mereka yang memegang jabatan, sebagai wakil – wakil kepala gereja, yakni Kristus dan dalam memberikan posisi pimpinan pedomannya adalah Firman Tuhan. Tetapi pada kenyataannya awal berdirinya GPI, pimpinan gereja berada di tangan tokoh – tokoh pemerintahan Hindia-Belanda dan memakai pedoman yakni kepentingan – kepentingan negara Belanda di Indonesia. GPI tidak mengenal tugas pekabaran injil dan pelayanan kepada
34
bidang keuangan bukan merupakan suatu hal yang penting. Gaji para pendeta dibayar oleh
kas negara3.
GPI yang merupakan gereja negara pada masa pemerintahan Hindia – Belanda,
mempunyai tiga ciri utama, yakni: pertama, GPI diikat dan diperalat oleh negara (pemerintah
Hindia – Belanda); kedua, tidak mempunyai tata gereja dan pengakuan iman sebagaimana
selayaknya dimiliki suatu gereja; ketiga, ia tidak memberi suara kepada orang – orang
Indonesia yang berada di dalamnya dan secara resmi tidak mengaku bertanggung-jawab atas
mereka yang masih berada di luar gereja. Ketiga ciri ini berlangsung sampai pada abad 20.
Pada tahun 1930 – 1948 terjadi suatu perubahan dalam diri GPI. Dalam rentang
waktu ini, GPI berusaha untuk menanamkan kesadaran bergereja pada diri bangsa Indonesia.
Penanaman akan kesadaran bergereja yang dimaksudkan oleh GPI adalah dengan
memberikan kesempatan kepada para jemaat GPI untuk membentuk gereja – gereja lokal
yang berdiri sendiri, yang berasal dari lingkungan GPI. Sehingga lahir empat gereja yang
berdiri sendiri yang berasal dari lingkungan GPI dalam rentang waktu tersebut, yakni Gereja
Masehi Injili Minahasa (GMIM) pada tahun 1934, Gereja Protestan Maluku (GPM) tahun
1935, Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) tahun 1947 dan Gereja Protestan di Indonesia
bagian Barat (GPIB) tahun 1948. Walaupun pada waktu itu posisi strategis seperti ketua,
sektretaris dan bendahara majelis sinode gereja – gereja masih dipegang oleh orang – orang
Belanda, namun harus diakui bahwa partisipasi orang – orang Indonesia dalam struktur
kepemimpinan gereja menjadi lebih besar.
sesama manusia. GPI sebagai gereja negara, hanya menjadi suatu lembaga yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan religius penganut Kristen Protestan di Indonesia 3 Berbeda pada zaman pendudukan Jepang, yang mengakibatkan terputusnya bantuan keuangan dari Belanda, sehingga gereja terpaksa mencari jalan untuk menjamin para pendeta. Pengalaman sebagai gereja negara tidak memberikan dasar – dasar yang kuat bagi gereja untuk membiayai diri dan kegiatan gereja. 15 tahun setelah perpisahan administratif antara gereja dan negara, yakni pada tahun 1950, barulah berlangsung perpisahan dalam bidang keuangan. Akibatnya kurang menguntungkan, GPIB harus membiayai dirinya sendiri.
35
3.1.2. Proto Sinode GPIB Tahun 1948
Sejarah pembentukan GPIB tidak bertitik tolak pada kegiatan zending, melainkan
harus dilihat dalam hubungannya dengan GPI. Sebelum masuk dalam sejarah perkembangan
GPIB perlu diperhatikan perkembangan yang terjadi yang menuju proto sinode 1948.
Perkembangan – perkembangan tersebut menggambarkan bagaimana masa pra –
pembentukan GPIB dan dalam situasi dunia (khususnya Indonesia) dimana GPIB berada.
Sebelum tahun 1948, GPI telah memandirikan gereja – gereja lokal yang berasal dari
lingkungannya, lengkap dengan sinode dan tata gerejanya sendiri, yakni: GMIM tahun 1934,
GPM tahun 1935 dan GMIT tahun 1947.
Kehadiran dan lahirnya gereja – gereja lokal ini, dikarenakan terdapat suatu
perkembangan baru dalam tubuh GPI. Perkembangan yang menghendaki pemisahan antara
gereja dan negara, pemisahan yang menyangkut soal administrasi dan keuangan.
Perkembangan ini sesungguhnya telah mengalami pergumulan sejak tahun 1863 hingga 1918.
Sejak itu, telah ada usaha untuk mengadakan pemisahan antara gereja dan negara.
Maksudnya agar gereja dimungkinkan untuk mengurus dirinya sendiri. Terutama untuk
membuat gereja hidup kembali, dan melalui jemaat – jemaat yang bertanggung jawab untuk
mengurus dirinya sendiri. Tahun 1935, barulah mulai terwujud pemisahan tersebut. Pada
tahun 1950 pemisahaan ini diumumkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Situasi di Indonesia berubah sejak tercetusnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1945. Hal ini berhubungan dengan perkembangan baru dalam tubuh GPI, maka
pada tahun 1948 GPI terdesak untuk berpikir tentang status jemaat – jemaat yang ada dalam
tubuh GPI selain yang termasuk dalam wilayah pelayanan ketiga gereja yang telah berdiri
sendiri. Sidang sinode Am ke – III GPI pada tanggal 30 Mei – 10 Juni 1948, menyatakan
bahwa jemaat – jemaat yang terdapat di Sulawesi (Ujung Pandang, Sopeng); pulau Jawa
(Jakarta, Tanjung Priok, Tugu, Jatinegara, Bogor, Depok, Cimahi, Bandung, Cilacap,
36
Semarang, Surabaya, Malang, Jember); Kalimantan (Banjarmasin, Pontianak); Bangka;
Sumatera (Palembang, Medan), harus ditentukan statusnya. Hal ini dikarenakan, setelah habis
masa perang sebelum Proklamasi, jemaat – jemaat tersebut tidak melebur dalam salah satu
gereja daerah. Jemaat – jemaat tersebut tidak bersedia melebur diri, sebab anggotanya
sebagian besar berasal dari suku Minahasa, Ambon dan Timor, serta keturunan Belanda dan
orang Belanda sendiri.4
Pembicaraan dalam Sidang Sinode Am ke-III di Bogor 30 Mei – 10 Juni 1948 tentang
jemaat – jemaat GPI yang tidak termasuk dalam wilayah ketiga gereja yang telah berdiri
sendiri, berakhir dengan satu keputusan yakni: segera dalam tahun 1948 jemaat – jemaat
tersebut diorganisir dalam satu organisasi gereja yang baru. Untuk itu sinode Am ke – III GPI
menetapkan: pertama, memberi hak pada Badan Pekerja Am (Algemene Moderamen) GPI
untuk mengesahkan dan melembagakan gereja baru itu sebagai satu gereja yang berdiri
sendiri; kedua, membentuk komisi untuk menyiapkan tata gereja dan peraturan – peraturan
gereja; ketiga, tata gereja yang disusun oleh komisi, akan dibicarakan oleh Proto Sinode
secepat mungkin pada tahun 1948.5
Proto Sinode dilaksanakan pada 25 – 31 Oktober 1948 di Jakarta. Pada Proto Sinode
ini lahirlah satu gereja yang berdiri sendiri, lengkap dengan Sinode, Tata Gereja dan
peraturan – peraturannya. Proto Sinode dipimpin oleh Ds. J.A. de Klerk selaku ketua panitia
penyelanggara Proto Sinode. Konsep Tata Gereja dan Peraturan Gereja yang disusun oleh
komisi, dibahas dan diterima oleh sidang pada hari ke-6. Tata gereja terdiri dari 25 pasal,
Peraturan Gereja untuk Persidangan Gereja 4 pasal, dan Peraturan untuk Majelis Jemaat 12
pasal. Pada tanggal 30 Oktober 1948, Proto Sinode mengesahkan gereja baru yang berdiri
sendiri yang diberi nama Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat. Pada hari Minggu 31
Oktober 1948, GPIB diresmikan sebagai gereja yang telah berdiri sendiri dan memisahkan
4 Lontoh, Bahtera, 180. 5 Lontoh, Bahtera, 181.
37
diri dari GPI. Keseluruhan anggota jemaat GPIB pada waktu itu terdiri lebih dari 200.000
ribu jiwa. Adapun susunan Majelis Sinode GPIB, pada masa awal pembentukannya, sebagai
berikut :6
- Ketua : Ds. J.A. de Klerk
- Wakil Ketua : Ds. B.A. Supit
- Sekretaris I : Ds. L.A. Snyders
- Sekretaris II : J.A. Huliselan
- Bendahara : E.E. Marthens
- Penasehat : E.A.P. Klein
- Pendeta Bahasa Indonesia : Ds. D.F. Sahulata
- Pendeta Bahasa Belanda : Ds. J.H. Stageman
Pada tanggal 31 Oktober 1948, GPIB memiliki tujuh musyawarah pelayanan (Mupel).
Ketujuh Mupel tersebut adalah Mupel Jawa Barat, Mupel Jawa Tengah, Mupel Jawa Timur,
Mupel Sumatera, Mupel Bangka Riau, Mupel, Kalimantan dan Mupel Sulawesi Selatan. Pada
awal pembentukannya, GPIB memiliki 53 jemaat yang tersebar di ketujuh Mupel tersebut.
3.1.3. Visi Misi dan Sistem Pemerintahan GPIB
Motto GPIB adalah dan orang akan datang dari timur dan barat dan dari utara dan
selatan dan mereka akan duduk makan di dalam Kerajaan Allah (Lukas 13: 29). GPIB
merupakan gereja missioner yang melaksanakan amanat Tuhan Yesus Kristus melalui visi
dan misinya dalam rangka menghadirkan tanda – tanda Kerajaan Allah dibumi khususnya
Indonesia. Visi GPIB adalah menjadi gereja yang mewujudkan damai sejahtera bagi seluruh
ciptaan-Nya. Misi GPIB adalah
“menempatkan Tuhan Yesus Kristus , Juruselamat manusia sebagai kepala gereja; mewujudkan kehadiran GPIB yang membawa corak damai sejahtera Allah dan menjadi berkat di tengah – tengah masyarakat dan dunia; membangun suatu jemaat missioner yang bertumbuh, dewasa dalam iman, kehidupannya adalah teladan serta
6 Lontoh, Bahtera, 182.
38
memberi kontribusi nyata bagi kemajuan gereja, masyarakat dan bangsa Indonesia dalam suatu semangat oikumenis dan nasional. GPIB dalam rangka menata dan mengembangkan panggilan dan pengutusannya
didasarkan pada sistem presbiterial sinodal. Sistem ini sesungguhnya berasal dari tradisi
Calvinis yang sangat mewarnai kehidupan GPIB. Melalui sistem ini terdapat suatu hubungan
timbal balik yang hidup antara majelis sinode dengan majelis jemaat maupun diantara majelis
jemaat dengan warga jemaat, sehingga yang terdapat bukan garis komando atau linear, antara
atasan dan bawahan melainkan hubungan timbal balik dimana misi gereja berlangsung dan
berkembang.
Kata presbiterial berasal dari kata Yunani yakni: presbyteroi yang berarti anggota
dewan para penatua jemaat. Sejak zaman reformasi gereja, istilah presbiter digunakan lagi
dalam gereja Calvinis untuk para anggota presbiterium (dewan penatua), baik untuk anggota
yang dipimpin untuk pelayanan Firman dan Sakramen, maupun untuk penatua awam yang
menjaga tata tertib dan kemurnian gereja. Kata sinodal berasal dari kata sinode yang berarti
berjalan (hodos: Yunani) bersama (sun: Yunani). Dalam gereja – gereja reformasi, sinode
memainkan peranan penting untuk menentukan kebijakan. Anggotanya adalah para pendeta,
penatua, dan diaken, yang kemudian kesemuanya itu disebut dengan presbiter Sistem
organisasi gereja yang menganut presbiterial sinodal berarti kepemimpinan terletak pada para
presbiter, yakni: pendeta, penatua dan diaken.
3.1.4. GPIB Masa Kini
GPIB terpanggil untuk mewujudkan kebaikan Allah dalam masyarakat Indonesia
yang majemuk, dengan ikut membangun nilai – nilai kehidupan yang berkeadaban, inklusif,
adil, damai, dan demokratis dengan melaksanakan fungsi kenabian di tengah simpul – simpul
kekuasaan yang ada. Dalam rangka itu GPIB memperjuangkan masalah – masalah
kemanusiaan, keadilan dan lingkungan hidup serta masalah – masalah yang berhubungan
dengan dampak negatif dari globalisasi dan penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
39
Hal ini dilakukan baik secara individual, parokial, regional, sinodal maupun ekumenikal
dengan merangkul berbagai pihak yang mempunyai keinginan – keinginan yang sama untuk
berpartisipasi dalam perjuangan mewujudkan masyarakat, adil, makmur, damai dan sejahtera
di bumi Indonesia.
Dalam mewujudkan panggilan dan pengutusan Allah sebagai gereja missioner, GPIB
melalui upaya pembinaan dan pendidikan memberdayakan warga agar berperan dalam
persekutuan, pelayanan dan kesaksian. Untuk menumbuhkan dan mengembangkan
persekutuan, pelayanan dan kesaksian di tengah masyarakat, GPIB menata kehidupannya
dengan bersumber dari Firman Allah. Penataan itu dilakukan dengan memberdayakan warga
gereja berdasarkan Imamat Am dalam ketaatan kepada Yesus Kristus yang menghendaki
segala sesuatu tersusun rapi dan diikat menjadi satu, oleh pelayanan semua bagian dan
perangkat, baik warga, wilayah, kepemimpinan dan tata aturan dengan sistem Presbiterial
Sinodal.
Untuk menatata kehidupan bergereja dan guna melaksanakan pelayanan yang tertib,
teratur dan dinamis maka GPIB diatur dalam Tata Gereja GPIB7. Tata gereja merupakan
susunan seluruh aturan gereja yang berfungsi untuk mengatur dan memberikan arah bagi
seluruh kegiatan gereja sehingga terdapat keserasian, keseimbangan dan keselarahan dalam
kehidupan bergereja. Peraturan – peraturan gereja bertumpu pada tata dasar, karena didalam
tata dasar gereja terdapat seluruh gagasan dasar perlengkapan GPIB. Tata dasar mempunyai
dua bagian utama yakni, pembukaan sebagai landasan ideal dan batang tubuh yang
merupakan landasan operasional. Adapun hierakhi peraturan yang terdapat dalam tata gereja
GPIB, yakni: Firman Allah (Alkitab), tata dasar, peraturan pokok, peraturan – peraturan,
peraturan pelaksana, peraturan pelaksana majelis sinode (PPMS) dan peraturan pelaksana
majelis jemaat (PPMJ).
7 Tata gereja GPIB telah mengalami beberapa kali amandemen, dalam tulisan ini penulis menggunakan amandemen terakhir yakni Tata Gereja GPIB tahun 2010.
40
Saat ini diseluruh wilayah pelayanan GPIB telah terdapat 305 jemaat yang tersebar
dari Raha (timur) sampai Sabang (barat) dan dari Nunukan (utara) sampai Cilacap (selatan).
Jemaat – jemaat dalam satu wilayah tergabung dalam satu wadah kebersamaan yang
dinamakan musyawarah pelayanan (Mupel). Pada awal lahirnya, GPIB memiliki tujuh Mupel
dan pada masa kini ketujuh Mupel ini dimekarkan sehingga menjadi 25 Mupel.
3.1.5. Sumber Keuangan GPIB
Keuangan gereja diperoleh melalu tiga sumber, yakni: rutin, program dan proyek.
Sumber pemasukan rutin merupakan pemasukan keuangan yang diperoleh gereja melalui
persembahan syukur dan persembahan tetap bulanan atau perpuluhan (bagi jemaat yang telah
menerapkannya), kolekte, sumbangan, dan pengembalian piutang gereja. Sumber pemasukan
program merupakan pemasukan keuangan yang diperoleh melalui usaha dana yang dilakukan
oleh panitia/ komisi maupun oleh pelkat, usaha dana ini sifatnya tidak tetap artinya
dilaksanakan sesuai dengan tingkat kebutuhan. Sumber pemasukan proyek merupakan
pemasukan keuangan yang diperoleh melalui usaha pemberdayaan terhadap potensi atau
kemampuan yang dimiliki oleh gereja sehingga dapat menghasilkan pemasukan bagi gereja.
3.2. GPIB Kasih Karunia Medan
Bagian ini menjelaskan mengenai mengenai GPIB Kasih Karunia Medan. Sejarah
berdirinya; data jemaat; struktur organisasi; program kerja gereja; penatalayanan dan
kemandirian gereja; serta kemandirian dana dalam tata gereja dan PKUPPG (Pokok-Pokok
Kebijakan Umum Panggilan dan Pengutusan Gereja). Penulis kesulitan untuk mendapatkan
data lengkap sejarah dan pergumulan yang melatarbelakangi berdirinya GPIB Kasih Karunia
Medan, hal ini dikarenakan gereja tidak memiliki dokumen tersebut.
3.2.1. Sejarah berdirinya GPIB Kasih Karunia Medan
Berdasarkan keputusan Majelis Sinode GPIB No. 1779 / 86 / MS.XIII / Kpts. Tentang
pelembagaan Jemaat GPIB jemaat Kasih Karunia di Medan. Terhitung sejak tanggal 08 Mei
41
1986, Majelis Sinode GPIB melembagakan Bagian Jemaat ( BAJEM ) I dari GPIB Jemaat
Immanuel Medan, menjadi GPIB jemaat Kasih Karunia Medan, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Wilayah Pelayanan, dengan batas – batas :
- Utara, berbatasan dengan Jemaat GPIB Yoppe Belawan, pada
Jalan Tanjung Mulia di Kecamatan Medan Deli.
- Timur, berbatasan dengan wilayah/ Pelayanan Jemaat GPIB
Immanuel Medan.
- Selatan, berbatasan dengan Wilayah Pelayanan Jemaat GPIB
Immanuel Medan.
- Barat, daerah terbuka sampai ke Kotamadya Binjai.
b. Sektor pelayanan : pada awal dilembagakan GPIB kasih karunia terdiri
dari 6 ( enam ) sektor. Pada saat ini GPIB Kasih Karunia telah
memiliki 7 sektor pelayanan dan 2 Pospel (Srigunting dan Binjai)
c. Tanah dan bangunan : tanah dengan status hak milik nomor : 152
seluas 3000 m2 didesa Sei Sikambing C – 11 Kecamatan Medan –
Sunggal sesuai akte jual beli No. 11 / AJB / MS / 1985 tertanggal 20
September 1985. Pada awal pelembagaan, bangunan masih dalam
bentuk semi permanen.
Berikut adalah para Pendeta yang pernah melayani di GPIB Kasih Karunia :
1) Pdt. Diana Frost : Pendeta pertama GPIB Jemaat “Kasih Karunia” Medan
sejak pelembagaan dari GPIB Jemaat “Immanuel” Medan tahun 1986.
2) Pdt. Anna .A. Hamid : mulai tahun 1987 s/d 1992
3) Pdt. M.H. Rattu : mulai tanggal 01 Juni 1992 s/d 26 Agustus 1994.
4) Pdt. Jopie Hukom, S.Th : mulai tanggal 26 Agustus 1994 s/d 01 Juli 1997.
42
5) Pdt. Robby Wehantouw, Sm.PAK : mulai tanggal 01 September 1997 s/d 26
Mei 2002.
6) Pdt. Ritman Pelokang, S.Th : mulai tanggal 01 Mei 2002 s/d 01 September
2005.
7) Pdt. Parlindungan Lumban Gaol, S.Th : mulai tanggal 01 Agustus 2005 s/d 06
Juli 2008.
8) Pdt. Ny. Jeane .A. Barus - Frans, S.Th (Pendeta Jemaat) : mulai tanggal 01
Oktober 2006 sampai saat ini
9) Pdt. Arnold A.R. Ihalauw, M.Th : mulai tanggal 06 Juli 2008 sampai saat ini
3.2.2. Data Jemaat
Jemaat GPIB Kasih Karunia Medan terdiri dari tujuh sektor pelayanan dan dua pos
pelayanan: Srigunting dan Binjai. Jumlah seluruh kepala keluarga adalah 528 kk (kepala
keluarga). Berikut adalah jumlah kepala keluarga dalam setiap sektor : sektor I : 65, sektor
II: 46 kk, sektor III: 74 kk, sektor IV: 46 kk, sektor V: 66 kk, sektor VI: 86 kk, sektor VII: 71,
pospel binjai: 43 kk, pospel srigunting: 31 kk.
3.2.3. Struktur Organisasi
Pimpinan GPIB pada tingkat jemaat adalah Majelis Jemaat. Majelis Jemaat adalah
suatu wadah kebersamaan dalam kepemimpinan GPIB di Jemaat. Majelis Jemaat adalah
persekutuan kerja para presbiter yang merupakan pimpinan ditingkat jemaat, dan Sidang
Majelis Jemaat (SMJ) adalah keputusan tertinggi pada tingkat jemaat. Tugas – tugas Majelis
Jemaat adalah sebagai berikut:8
a. Menjabarkan keputusan dan ketetapan persidangan Sinode GPIB dan
tugas – tugas yang dipercayakan oleh Majelis Sinode dengan
berpedoman pada Visi dan Misi GPIB.
8 Majelis Sinode GPIB, Tata Gereja GPIB 2010, (Jakarta: Majelis Sinode, 2010), 78.
43
b. Membuat dan menetapkan program kerja dan anggaran.
c. Membuat laporan tahunan kepada Majelis Sinode GPIB.
d. Menetapkan penatalayanan jemaat dan mengawasi pelaksanaannya.
e. Memberdayakan unit – unit missioner.
f. Menjaga kemurnian ajaran GPIB.
Pelaksana harian majelis jemaat (PHMJ) adalah representasi harian dari Majelis
Jemaat. PHMJ dipilih dari fungsionaris Majelis Jemaat melalui SMJ, kecuali untuk posisi
Ketua Majelis Jemaat, karena ditentukan oleh Majelis Sinode GPIB. Tugas – tugas PHMJ
adalah sebagai berikut:9
a. Menjabarkan keputusan SMJ dan mengatur penatalayanan di jemaat
b. Mengelola administrasi dan perbendaharaan jemaat
c. Menyiapkan SMJ, sidang – sidang atau rapat – rapat yang dianggap
perlu, serta pertemuan warga sidi jemaat
d. Memutuskan dan menyelesaikan hal – hal yang mendesak, sepanjang
tidak bertentangan dengan Tata Gereja yang berlaku, dan
melaporkannya kepada SMJ
e. Mewakili Majelis Jemaat ke dalam dan ke luar jemaat
f. Membuat dan menyampaikan laporan berkala kepada SMJ tentang
penyelenggaraan persekutuan, pelayanan dan kesaksian
g. Membuat dan menyampaikan laporan kegiatan tahunan kepada Majelis
Sinode atas nama Majelis Jemaat
h. Menyampaikan tembusan Laporan kegiatan tahunan untuk Majelis
Sinode di teruskan ke Badan Pelaksana (BP) Mupel setempat untuk di
9 GPIB, Tata Gereja, 82.
44
kompilasi sebagai laporan BP Mupel dalam Persidangan Sinode
Tahunan.
Berikut adalah penjabaran tugas pelaksana harian majelis jemaat10:
1) Ketua Majelis Jemaat membidangi: Teologi (meliputi bidang iman, ajaran,
ibadah, musik gereja dan pengkajian teologi) dan persidangan gerejawi.
2) Ketua I: membidangi pelayanan dan kesaksian (meliputi bidang
pengembangan dan penatalayan pos pelkes, PMKI, diakonia, crisis centre,
satgas penanggulangan bencana).
3) Ketua II: membidangi gereja, masyarakat dan agama – agama (disingkat
GERMASA, yang mencakup keesaan gereja/ oikumene, kemasyarakatan: hak
asasi manusia, hukum, lingkungan hidup dan lintas agama – agama).
4) Ketua III: membidangi pembinaan dan pengembangan sumber daya insani/
PPSDI (meliputi bidang pembinaan dan pengembangan warga gereja) dan
pelayanan kategorial/ PELKAT (peningkatan peran keluarga, kelompok
profesi dan fungsional).
5) Ketua IV: membidangi pembangunan ekonomi gereja (meliputi bidang
keuangan, daya dan dana, pemanfaatan dan pengembangan harta milik gereja,
badan usaha/hukum GPIB); informasi, organisasi dan komunikasi/
INFORKOM (meliputi bidang sistem informasi manajemen, perencanaan
organisasi dan komunikasi); penelitian dan pengembangan/ LITBANG.
6) Sekretaris: bersama ketua membidangi teologi dan persidangan gerejawi;
bersama para ketua guna menetapkan kebijakan Majelis Jemaat dan
pengendalian administrasi, pengintegrasian, kegiatan dan personalia.
10 GPIB, Tata Gereja, 82-84.
45
7) Sekretaris I: bersama dengan ketua I dan II guna menangani bidang – bidang
yang menjadi tanggung jawab ketua I dan II.
8) Sekretaris II: bersama dengan ketua III dan IV guna menangani bidang –
bidang yang menjadi tanggung jawab ketua III dan IV.
9) Bendahara: mengatur dan bertanggung jawab atas perbendaharaan dan
pengelolahan keuangan.
10) Bendahara I: mengatur dan bertanggung jawab atas perbendaharaan dan
pembukuan.
Adapun susunan pengurus harian majelis jemaat (PHMJ) GPIB Kasih Karunia Medan
periode 2010 - 2012, yakni :
- Ketua Majelis Jemaat : Pdt. A.R. Ihalauw, M.Th
- Ketua I : Pnt. Jafet Daud Tumangken
- Ketua II : Pnt. Drs. Felix Firman Kaban
- Ketua III : Pnt. Julian Tobing, S.Kom
- Ketua IV : Dkn. Jonni Dabukke
- Sekretaris : Pnt. Johnny Richard Kesek
- Sekretaris I : Dkn. Marolop Hasudungan Sidabutar, SH
- Sekretaris II : Pnt. Denny Leonard Bimbuain, SH
- Bendahara : Dkn. Selvie Weltje Iroth-Kapahang
- Bendahara I : Pnt. Roy Carl Oppier
3.2.4. Program Kerja tahun 2011 – 2012 GPIB Kasih Karunia Medan
Rencana penerimaan anggaran tahun 2011/ 2012 senilai Rp 1.177.447.914,-. Dengan
rincian sebagai berikut :
- Persembahan senilai Rp 408.496.303, yang terdiri dari persembahan tetap bulanan
dan persembahan syukur.
46
- Kolekte senilai Rp 685.337.626, yang terdiri dari kolekte ibadah minggu,
perjamuan kudus, jumat agung, natal dan tahun baru, ibadah syukur, keluarga dan
ibadah pelkat.
- Penerimaan rutin senilai Rp 40.760.086, yang terdiri dari jasa giro/ bunga bank
dan pengembalian pinjaman pegawai.
- Usaha dana komisi dan panitia senilai 42.853.900, yang terdiri dari usaha dana
komisi – komisi, penjualan kalender dan keranjang kasih.
Melihat dari sumber penerimaan keuangannya, GPIB Kasih Karunia memperoleh
pemasukan keuangan melalui dua sumber yakni: sektor rutin dan program.
Rencana pengeluaran program dan anggaran tahun 2011/ 2012 senilai Rp
1.166.184.610,-. Dengan rincian sebagai berikut :
- Sektor missioner senilai Rp 385.177.000, yang terdiri dari bidang IMANI (iman,
ajaran dan ibadah), PELKES (pelayanan dan kesaksian), GERMAS (gereja dan
masyarakat), PPSDI (pembinaan pengembangan sumber daya insani), pendidikan
serta bidang pelkat
- Sektor instutitional senilai Rp 781.007.610, yang terdiri dari bidang pelatihan dan
pengembangan, serta ORKOM (Organisasi dan komunikasi).
- Sektor penunjang senilai Rp 236.800.000, yang terdiri dari bidang daya dan dana,
umum, iuran dan setoran.
3.2.5. Penatalayanan dan Kemandirian Gereja Menurut GPIB Kasih Karunia
Wawancara dilakukan dengan cara tatap muka dan direkam sebagai bukti percakapan.
Peneliti memberikan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan dua kata kunci yakni
penatalayanan dan kemandirian gereja. Pertanyaan ini diajukan untuk mengetahui
pemahaman gereja yang direpresentasikan oleh empat narasumber, mengenai penatalayanan
dan kemandirian gereja dalam bidang dana.
47
a. David Tuerah11
David mengartikan penatalayanan sama halnya dengan
manajemen. Baginya, penatalayanan adalah pengelolahan dan pengaturan
yang di dalamnya terdapat tanggung jawab. Dalam pemahamannya,
kemandirian gereja dalam bidang dana merupakan kemampuan gereja
untuk mendapatkan dana guna membiayai segala kebutuhannya. Gereja
yang mandiri dalam bidang dana adalah gereja yang tidak memperoleh
bantuan dana dari pusat (sinode), dan dapat mengusahakan pemasukan
dana sendiri. Sumber pemasukan dana di Kasih Karunia masih berasal
dari jemaat.
Gereja yang mandiri adalah gereja yang dapat mengusahakan
kebutuhan dananya sendiri. Jadi pemasukan dana gereja tidak lagi
bergantung terhadap pemberiaan jemaat. Gereja dapat memanfaatkan/
memberdayakan segala potensi dan sumber daya yang dimilikinya guna
mendatangkan sumber pemasukan yang baru. Tetapi tujuan dari usaha
yang dilakukan oleh gereja bukanlah untuk memperkaya gereja,
melainkan uang yang dihasilkan dipergunakan untuk melaksanakan misi
dan pelayanan gereja. Dalam hal ini, usaha yang dilakukan oleh gereja
bukanlah usaha yang bersifat sementara melainkan usaha yang
berkelanjutan.
b. Ryan Siregar 12
Menurut Ryan, penatalayanan berkaitan dengan penataan gereja
sebagai sebuah organisasi, yakni menghadirkan sebuah persekutuan yang
baik dan bersaksi kepada masyarakat. Kemandirian gereja dalam dana
11 Wawancara, 15 Maret 2012. Verbatim wawancara lihat lampiran 12 Wawancara, 16 Maret 2012. Verbatim wawancara lihat lampiran
48
adalah gereja dapat memenuhi pembiayaan operasional maupun
infrastruktur gereja yang pemasukannya berasal dari jemaat melalui
persembahan, perpuluhan maupun sumbangan.
Peranan penatalayanan penting dalam mencapai kemandirian
gereja dalam bidang dana, gereja dapat berusaha guna menghasilkan
sumber pemasukan selain dari pemberian jemaat, karena di Kasih Karunia
sumber pemasukan dana gereja berasal dari jemaat. Dengan adanya usaha
yang dilakukan oleh gereja maka gereja dapat memiliki sumber
pemasukan yang baru, tetapi usaha yang dilakukan oleh gereja tetap harus
berjalan dalam koridornya yakni guna menunjang misi dan pelayanan
gereja.
c. Evi Zebua13
Menurut Evi, penatalayanan gereja adalah pengaturan dan
tangggung jawab rumah tangga gereja. Penatalayanan dilaksanakan oleh
PHMJ (Pengurus Harian Majelis Jemaat), melalui tugas dan tanggung
jawabnya masing – masing. Bagi Evi, peranan dari ketua IV (bidang
ekonomi gereja, infokom dan litbang) dalam melaksanakan tugasnya akan
menentukan pencapaian kemandirian dalam bidang dana.
Sumber pemasukan dana gereja ditentukan melalui mimbar pada
ibadah Minggu. Melalui ini Evi ingin menyampaikan, bahwa keberadaan
pendeta maupun Pelayan Firman dalam ibadah Minggu, dapat
memberikan suatu dorongan bagi warga jemaat untuk memberikan
persembahan maupun sumbangan. Baginya, sumber pemasukan dana yang
utama di Kasih Karunia berasal dari warga jemaat. Gereja juga dituntut
13 Wawancara, 13 Maret 2012. Verbatim wawancara lihat lampiran
49
untuk berusaha, agar dapat menghasilkan sumber pemasukan dana yang
baru guna mendukung pelaksanaan misi dan pelayanan gereja. Tetapi hal
ini dapat terwujud bila didukung dengan peran aktif dari ketua IV PHMJ.
d. Pdt. Arie R. Ihalauw14
Menurut Pdt. Ihalauw, selama ini terdapat pandangan yang salah
mengenai penatalayanan. Sebagian besar orang banyak menganggap
penatalayanan hanya berkaitan dengan pengaturan keuangan. Jika hal ini
yang terjadi maka warga jemaat akan menjadi korban karena gereja hanya
mengatur dan tidak memberdayakan serta mengelola keuangan gereja
tersebut. Maksudnya, ketika gereja membutuhkan dana atau kekurangan
dana untuk melaksanakan suatu kegiatan maka gereja akan meminta
kepada warga jemaat, karena sumber pemasukan gereja hanya berasal dari
pemberian warga jemaat, jikalau hal seperti ini terus berlangsung secara
terus menerus maka warga jemaat akan menjadi korban.
Pelaksanaan penatalayanan di jemaat kasih karunia belum berjalan
dengan baik dan semestinya. Sebenarnya penatalayanan juga termasuk
pengelolahan, memberdayakan kemampuan, potensi dan sumber daya
yang dimiliki oleh gereja , dan hasilnya tersebut dapat dipergunakan untuk
pengembangan misi gereja. Menurut beliau, praktek penatalayanan harus
berdasarkan visi dari gereja. Kemandirian gereja haruslah dimulai dari
sumber daya manusia dan teologi, kedua ini terlebih dahulu dipenuhi
barulah gereja dapat maju pada kemandirian dana.
Pengeluaran di jemaat kasih karunia lebih banyak digunakan untuk
pengeluaran rutin dan proyek, seperti membangun gedung gereja yang
14 Wawancara, 17 Maret 2012. Verbatim wawancara lihat lampiran
50
besar, biaya operasional gereja, perjalanan dinas, transport pelayanan dan
sebagainya. Beliau memaparkan, bahwa selama ini yang terjadi
penatalayanan gereja dalam bidang dana hanyalah masalah pengaturan
keluar masuknya keuangan. Jika seperti ini yang terjadi maka kemandirian
dana tidak akan dapat tercapai. Gereja diperbolehkan untuk membuat unit
– unit maupun usaha yang tujuannya dapat menjadi sumber pemasukan
yang baru bagi gereja. karena selama ini pemasukan gereja hanya berasal
dari jemaat. Jemaat seperti diperah oleh gereja untuk terus memberi agar
dapat memenuhi seluruh kebutuhan gereja dalam dana.
Ihalauw memberikan kritik yang tajam terkait dengan praksis
penatalayanan terkait dengan dana dalam lingkungan GPIB, yakni: pada
umumnya GPIB belum mandiri dalam bidang dana. Jika keuangan habis,
aset dijual, perah atau meminta dari jemaat, iuran PTB (persembahan tetap
bulanan) dinaikkan atau melaksanaan perpuluhan. Gereja belum sampai
pada pemahaman untuk memberdayakan potensi yang dimilikinya untuk
menghasilkan sumber pemasukan yang baru selain dari pemberian jemaat.
Pemahaman yang berkembang selama ini adalah gereja tidak boleh
berdagang atau memiliki unit usaha. Jika pemahaman seperti ini terus
berlangsung maka gereja akan sulit untuk berkembang.
Keempat narasumber memiliki beberapa kesamaan dalam memahami penatalayanan
dan kemandirian gereja, yakni: pertama, narasumber berpendapat bahwa penatalayanan
memiliki peranan penting dalam gereja guna mengurus rumah tangganya; kedua, berkaitan
dengan dana melalui penatalayanan, maka gereja akan didorong untuk mengelolah dan
memberdayakan segala potensi, kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya agar dapat
menghasilkan sumber pemasukan yang baru melalui hasil usahanya sendiri; ketiga, sumber
51
pemasukan GPIB Kasih Karunia masih mengandalkan dari warga jemaat. Selain kesamaan
tersebut, keempat narasumber juga memiliki perbedaan seperti yang terdapat pada pendapat
Evi, bahwa kemandirian gereja dalam bidang dana ditentukan oleh peranan dan kinerja dari
Ketua IV PHMJ yang membidangi ekonomi gereja. Maksudnya ialah bahwa bidang ekonomi
sudah menjadi tanggung jawab dari ketua IV, jadi disini dituntut peran aktif dari ketua IV.
David berpendapat bahwa penatalayanan adalah pengaturan dan pengelolahan rumah
tangga gereja yang didalamnya terdapat tanggung jawab, hal yang sama juga diutarakan oleh
Evi. Sedangkan Ihalauw menambahkan, didalam penatalayanan juga terdapat pemberdayaan
atas segala potensi, kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh gereja. Ryan
menyampaikan bahwa penatalayanan dilaksanakan untuk mewujudkan gereja yang
menghadirkan sebuah persekutuan yang baik dan bersaksi kepada masyarakat.
Ihalauw selaku KMJ (ketua majelis jemaat) memberikan pendapat yang keras, bahwa
selama ini penatalayanan gereja terhadap dana hanyalah berkaitan dengan pengaturan keluar
masuknya keuangan dan jemaat hanya akan menjadi korban dari model penatalayanan seperti
ini. Karena sumber pemasukan gereja masih mengandalkan dari pemberiaan warga jemaat,
jikalau gereja membutuhkan dana maka gereja meminta kepada jemaat. Sehingga jemaat
seperti diperah oleh gereja untuk terus memberi, agar kebutuhan gereja akan dana dapat
terpenuhi, seperti dengan menjual aset, minta dari jemaat, menaikan iuran PTB ataupun
melaksanakan perpuluhan, yang kesemuanya bertujuan agar kebutuhan akan dana terpenuhi.
Seperti yang pendapat Evi, melalui mimbar pada ibadah minggu dapat dipergunakan oleh
Pelayan Firman untuk mendorong warga jemaat untuk memberi persembahan guna
mendukung misi dan pelayanan gereja. Melalui pendapatnya tersebut, Ihalauw mengatakan
bahwa penatalayanan gereja di GPIB Kasih Karunia Medan belum berjalan dengan baik dan
semestinya.
52
Berdasarkan pendapat keempat narasumber, bahwa melalui peranan penatalayanan
gereja didorong untuk dapat menghasilkan sumber pemasukan yang baru atas hasil usahanya
sendiri. Tujuannya adalah agar sumber pemasukan dana gereja tidak hanya mengandalkan
dari pemberian warga jemaat. Sehingga gereja juga memikul tanggung jawab terhadap
pemenuhan kebutuhan gereja akan dana. Ihalauw mengatakan, bahwa gereja diperbolehkan
untuk membuat/ memiliki unit – unit usaha. Usaha yang dilakukan oleh gereja seperti yang
David sampaikan, yakni suatu usaha yang berkelanjutan dan berlangsung terus menerus.
Uang yang dihasilkan melalui usaha tersebut, dipergunakan untuk melaksanakan misi dan
pelayanan gereja (David dan Ryan). Ryan juga menggaris – bawahi, bahwa usaha yang
dilakukan oleh gereja harus berjalan dalam koridornya, maksudnya agar usaha tersebut tetap
membawa semangat gerejawi.
3.2.6. Kemandirian dana dalam Tata Gereja dan PKUPPG
Tata gereja peraturan No 12 menjabarkan mengenai badan hukum/ badan usaha/ unit
kerja GPIB. Badan usaha miliki gereja (BUMG) adalah badan hukum GPIB yang merupakan
badan pelaksanaan kegiatan usahsa yang tidak bertentangan dengan semangat gerejawi dan
bermanfaat sebagai sarana pendukung yang menunjang dan menumbuh kembangkan
kemandirian GPIB. Usaha yang dimaksudkan adalah semua kegiatan yang tidak bertentangan
dengan tata gereja GPIB, serta ketentuan dan peraturan lainnya. Tugas dan wewenang
BUMG adalah merancang dan melaksanakan kegiatan usaha yang bermanfaat demi
menunjang dan menumbuh – kembangkan kemandirian ekonomi gereja.
PKUPPG kepanjangan dari pokok – pokok kebijakan umum panggilan dan
pengutusan gereja, merupakan acuan jangka panjang GPIB untuk melaksanakan pelayanan
dan kesaksian ditengah – tengah gereja, masyarakat dan dunia dalam suatu periode tertentu
yakni 20 tahun. PKUPPG merupakan keputusan gerejawi dan sifatnya mengikat semua
jemaat dalam lingkup GPIB. PKUPPG menjadi rumusan umum dari program GPIB secara
53
sinodal yang menyangkut program jangka panjang 20 tahun, jangka pendek 5 tahun dan
program tahunan. PKUPPG bertujuan untuk menjalankan visi dan misi GPIB yang disusun
berdasarkan fungsi gereja yang dikenal dengan tri tugas panggilan gereja, yakni persekutuan,
pelayanan dan kesaksian. Agar fungsi misioner tersebut dapat terwujud dengan baik maka
perlu ditunjang oleh sumber daya gereja. Jadi sumber daya gereja berfungsi sebagai
penunjang terhadap proses administrasi. Penunjang yang dimaksud adalah sumber daya
insani, dana, fasilitas dan sistem informasi.
PKUPPG jangka panjang II (2006 – 2026) menetapkan bahwa GPIB perlu melihat
jauh kedepan pada kurun waktu selama 20 tahun agar dapat memposisikan diri dalam
berpartisipasi di kancah pembangunan Indonesia dengan mempertimbangkan faktor – faktor
perubahan dalam negeri juga faktor modernisasi dan globalisasi. Sasaran PKUPPG II 2006 –
2026 dalam bidang dana yakni:
a. Adanya dana kemandirian yang mampu membiayai seluruh kebutuhan
operasional.
b. Tersedia sumber dana yang dapat membiayai seluruh kebutuhan pos – pos
Pelkes.
c. Seluruh warga jemaat sudah memberikan persembahan perpuluhan.
d. Badan Usaha Milik Gereja sudah berperan membantu Majelis Sinode
maupun Majelis Jemaat.
e. Tersedianya sumber daya dan dana yang optimal yang dapat digunakan
dikelola secara teratur dalam koridor hukum yang ditaati bersama oleh
semua unsur – unsur dalam sistem GPIB.
Adapun strategi yang dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut yakni:
a. Memberdayakan dana surplus di jemaat untuk dikelola oleh Badan Dana
Kemandirian.
54
b. Memanfaatkan asset yang tidak aktif untuk dijadikan modal Badan Usaha
Milik Gereja (BUMG).
c. Secara bertahap membina warga jemaat tentang persembahan perpuluhan.
Dalam bidang dana (sektor penunjang), sasaran yang ingin dicapai pada PKUPPG
jangka pendek kedua 2011 – 2016 yakni:
a. Tersedianya sumber dana yang memadai, dikelola secara profesional guna
menunjang tugas panggilan gereja, terutama di jemaat minus dan pos – pos
pelkes yang tertinggal.
b. Melanjutkan pelatihan kemandirian ekonomi jemaat tahun 2006 – 2011
oleh tenaga profesional.
c. Tersedianya dana abadi/ kemandirian bagi GPIB guna menjamin program
organisasi dan pelayanan di seluruh GPIB.
d. Membina pemahaman dan kesadaran memberi secara pribadi, kelompok
dan jemaat.
e. Terciptanya kesadaran bantuan antar jemaat dalam rangka pelayanan
kepada masyarakat.
f. Tersedianya tenaga keuangan profesional gereja guna mengelola
administrasi keuangan dan dana serta fasilitas di tingkat sinodal dan jemaat
lokal.
g. Melanjutkan sistem pengendalian internal pengelolaan dana untuk seluruh
jajaran GPIB.
h. Bekerjasama dengan pemerintah dan komponen masyarakat
memanfaatkan dana yang ada.
Berdasarkan penjelasan dan pemaparan dokumen GPIB yakni Tata Gereja dan
PKUPPG, GPIB baik ditingkat sinodal maupun jemaat diarahkan untuk mengembangkan
55
kemandirian gereja dalam bidang dana. Gereja dituntun untuk memberdayakan dan
mengelola potensi, kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya untuk dapat menciptakan
kemandirian dana. Kemandirian dana yang dimaksudkan oleh kedua dokumen ini adalah
sumber pemasukan dana yang dimiliki oleh gereja tidak hanya berasal dari pemberian jemaat,
melainkan gereja juga dapat berusaha sejalan dengan semangat gerejawi. Kedua dokumen ini
memberikan jalan bagi GPIB baik pada tingkat sinode maupun jemaat, untuk memiliki/
mempunyai BUMG (badan usaha milik gereja).
3.3. Kesimpulan
GPIB merupakan gereja keempat yang dilembagakan yang berasal dari lingkungan
GPI pada tanggal 31 Oktober 1948. GPI dikenal juga dengan gereja negara, negara Hindia –
Belanda yang bertanggung jawab mengenai keuangan gereja. konsekuensi sebagai gereja
negara mengakibatkan gereja menjadi suatu alat untuk mendukung bentuk imperialisme yang
terjadi, selain itu negara mengikat gereja dengan ketat. Lahirnya GPIB disebabkan adanya
perkembangan baru yang berlaku dalam tubuh GPI. Perkembangan yang menghendaki
adanya pemisahan antara gereja dan negara, pemisahan yang menyangkut soal administrasi
dan keuangan.
GPIB merupakan gereja missioner yang melaksanakan amanat Tuhan Yesus Kristus
melalui visi dan misinya. GPIB menerapkan sistem presbiterial sinodal untuk
mengembangkan panggilan dan pengutusannya, sistem ini berasal dari tradisi Calvinis yang
mewarnai GPIB. Hubungan antara majelis sinode dan majelis jemaat merupakan hubungan
timbal balik, dan kepemimpinan terletak pada presbiter.
GPIB menata kehidupannya dengan bersumber pada Firman Allah, penataan ini
sendiri dilakukan dengan memberdayakan warga gereja berdasarkan imamat Am dan
ketaatan kepada Yesus Kristus. Penataan kehidupan bergereja disusun dalam Tata gereja.
Tata gereja merupakan susunan seluruh aturan gereja yang berfungsi untuk mengatur dan
56
memberikan arah bagi seluruh kegiatan gereja sehingga terdapat keserasian, keseimbangan
dan keselarahan dalam kehidupan bergereja.
Pada rencana program GPIB Kasih Karunia Medan, penerimaan dana yang dimiliki
oleh gereja sebagian besar berasal dari pemberian jemaat. Jika melihat pada presentasenya
maka 92,90 % penerimaan pemasukan keuangan gereja berasal dari persembahan dan
kolekte. Persembahan yang dimaksudkan adalah persembahan tetap bulanan dan
persembahan syukur, sedangkan yang dimaksukan dengan kolekte adalah kolekte yang
terdapat dalam berbagai ibadah – ibadah yang dilaksanakan oleh gereja.
Berdasarkan dari hasil wawancara maupun melihat pada rencana program jemaat
Kasih Karunia, gereja tidak memiliki suatu usaha sendiri yang dapat menghasilkan sumber
pemasukan yang baru, sehingga dapat dilihat bahwa pelaksanaan penatalayanan baru sebatas
pada pengelolahan dan pengaturan terhadap dana yang dimiliki. Gereja belum
memberdayakan dana yang dimilikinya. Padahal dalam tata gereja dan PKUPPG yang telah
disusun dalam pertemuan sinodal. Dalam kaitannya dengan dana GPIB mengarahkan agar
gereja dapat menumbuh – kembangkan kemandirian dananya dan memiliki suatu usaha yang
bertujuan untuk menghasilkan sumber pemasukan yang baru.