gpi - tuntunan islam dalam menasihati penguasa

34
Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa (Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah) Posted on 5 Juli 2010 by nasihatonline م ي ح ر ل ا ن م ح ر ل ا له م الس بTuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa (Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah) Telah dimaklumi bersama bahwa merubah kemungkaran dan menasihati pelakunya adalah kewajiban setiap muslim sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-: مان ي الإ ف ع ض! لك" ا ه وذ ب ل( ق ب ف ع ط( تس ب م ل ن ا ه ف سان ل ب ف ع ط( تس ب م ل ن ا ده ف ب6 ب ره ي غ ب ل فً را ك ب م م ك ب م را!ى ن م“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no. 186) Akan tetapi, masih banyak kaum muslimin yang belum memahami bahwa untuk merubah kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah muslim tidak sama dengan merubah kemungkaran yang dilakukan oleh selainnya. Bahkan lebih parah lagi, kemungkaran yang dilakukan penguasa dijadikan sebagai komoditi untuk meraih keuntungan oleh sebagian media massa. Mahasiswa pun turun ke jalan untuk berdemonstrasi, tak ketinggalan pula para “aktivis Islam” atau “aktivis dakwah” melakukan “aksi damai” yang menurut mereka itulah demo Islami, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban.

Upload: rafiuddin96

Post on 21-Dec-2015

35 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa (Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah)

Posted on 5 Juli 2010 by nasihatonline

الرحيم الرحمن الله بسم

Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa

(Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah)

Telah dimaklumi bersama bahwa merubah kemungkaran dan menasihati pelakunya adalah kewajiban setiap muslim sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:

اإليمان أضعف وذلك فبقلبه يستطع لم فإن فبلسانه يستطع لم فإن بيده فليغيره # منكرا منكم رأى من

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no. 186)

Akan tetapi, masih banyak kaum muslimin yang belum memahami bahwa untuk merubah kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah muslim tidak sama dengan merubah kemungkaran yang dilakukan oleh selainnya. Bahkan lebih parah lagi, kemungkaran yang dilakukan penguasa dijadikan sebagai komoditi untuk meraih keuntungan oleh sebagian media massa. Mahasiswa pun turun ke jalan untuk berdemonstrasi, tak ketinggalan pula para “aktivis Islam” atau “aktivis dakwah” melakukan “aksi damai” yang menurut mereka itulah demo Islami, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban.

Namun yang sangat mengherankan, ada sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, pengikut sunnah Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- pun turut serta melakukan demonstrasi (yang mereka namakan dengan aksi damai) dan mengkritik pemerintah muslim secara terang-terangan di media massa. Maka seperti apakah bimbingan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini?

Page 2: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- yang ma’shum, yang tidak berkata kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya. Semua perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-, beliau bersabda:

قد كان وإال فذاك منه قبل فإن به فيخلوا بيده يأخذ ولكن عالنية يبده فال سلطان لذي ينصح أن أراد منعليه الذي أدى

“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-. Hadits ini di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- dalam Zhilalul Jannah, (no. 1096)]

Demikianlah bimbingan Nabi yang mulia teladan kita –shallallahu’alaihi wa sallam- dalam menasihati penguasa. Lalu seperti apakah pemahaman dan pengamalan terhadap hadits di atas oleh para pengikut sunnah yang sejati, yakni para sahabat dan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah?

Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim -rahimahumallah- dalam Shahih keduanya meriwayatkan:

. )- – : إنكم ) قال فكلمته عنه الله رضي عفان بن عثمان مسلم االمام عند فالنا أتيت لو ألسامة قيلفتحه من أول أكون ال بابا أفتح أن دون السر فى أكلمه إنى ، أسمعكم إال أكلمه ال أنى لترون

“Dikatakan kepada Usamah (bin Zaid) radhiyallahu’anhuma, “Kalau sekiranya engkau mendatangi si fulan (dalam riwayat Al-Imam Muslim, si fulan yang dimaksud adalah: Utsman bin Affan radhiyallahu‘anhu) lalu engkau menasihatinya?” Usamah menjawab, “Sesungguhnya kalian benar-benar mengira bahwa aku tidak menasihatinya, kecuali jika aku memperdengarkannya kepada kalian?! Sungguh aku telah menasihatinya secara diam-diam, tanpa aku membuka sebuah pintu yang semoga aku bukanlah orang pertama yang membuka pintu tersebut.” [HR. Al-Bukhari, (no. 3267, 7098) dan Muslim, (no. 7408) dari Abu Wa’il radhiyallahu’anhu]

Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- menjelaskan maksud perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah berbicara (menasihati) beliau tanpa aku membuka sebuah pintu“, maknanya adalah: “Aku telah menasihatinya dalam perkara yang kalian isyaratkan tersebut, tetapi dengan memperhatikan maslahat dan adab (dalam menasihati penguasa), yakni

Page 3: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

secara rahasia, sehingga tidak terjadi pada perkataan (nasihatku) ini sesuatu yang bisa mengobarkan fitnah.” [Lihat Fathul Bari, (13/51)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- juga menukil penjelasan sebagian ulama tentang kemungkaran yang diisyaratkan kepada Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma- ternyata bukanlah kemungkaran yang tersembunyi dari masyarakat, tetapi kemungkaran yang zhahir dan telah tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat, yaitu tentang salah seorang pejabat Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- yang bernama Al-Walid bin ‘Uqbah yang tercium dari mulutnya bau nabidz (sejenis khamar), kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata dalam menjelaskan perkataan Usamah,

“Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia (tidak terang-terangan), tanpa aku membuka sebuah pintu”, makna (pintu) yang dimaksud adalah: “Pintu pengingkaran atas kemungkaran para penguasa secara terang-terangan, karena khawatir akan memecah belah kalimat (yakni persatuan kaum muslimin di bawah seorang pemimpin)”, kemudian beliau (Usamah) memberitahu mereka bahwa ia tidak sedikitpun mencari muka pada seseorang meskipun pada seorang pemimpin, akan tetapi ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menasihati pemimpin secara rahasia (tidak terang-terangan)”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]

Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata, “Maksud Usamah, bahwa ia tidak ingin membuka pintu (memberi contoh) cara mengingkari penguasa dengan terang-terangan, karena ia khawatir dampak buruk dari cara tersebut. Akan tetapi yang beliau lakukan adalah dengan lemah lembut dan menasihati secara rahasia, karena cara tersebut lebih dapat diterima”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]

Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi –rahimahullah- juga menjelaskan perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia“, maknanya, “Aku menasehati penguasa secara diam-diam, sehingga aku tidak membuka sebuah pintu dari pintu-pintu fitnah. Kesimpulannya, aku (Usamah) menasihatinya demi meraih kemaslahatan bukan untuk memprovokasi munculnya fitnah (masalah), karena cara mengingkari para penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya. Sebab pada cara tersebut terdapat pencemaran nama baik para pemimpin yang mengantarkan kepada terpecahnya kalimat (persatuan kaum muslimin) dan tercerai-berainya jama’ah”. [Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, (23/33)]

Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam menerangkan perkataan Usamah pada riwayat Muslim, beliau berkata: “Aku membuka perkara yang aku tidak suka jika akulah yang pertama membukanya (yakni mencontohkan keburukan),” maknanya adalah, “Terang-terangan dalam menasihati penguasa di depan khalayak, sebagaimana pernah terjadi pada para pembunuh ‘Utsman -radhiyallahu’anhu-.

Page 4: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

Dalam hadits ini terdapat adab bersama penguasa, lemah lembut terhadap mereka, menasihati mereka secara rahasia dan menyampaikan perkataan manusia tentang mereka agar mereka berhenti dari kemungkaran tersebut. Ini semua dilakukan jika memungkinkan, namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.” [Lihat Syarah Muslim, (18/118)]

Peringatan: Perkataan Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- pada bagian akhir yang kami garisbawahi di atas maksudnya adalah jika keadaan memaksa untuk itu (bukan pada semua keadaan) karena hal tersebut bukanlah kebiasaan para sahabat, sebagaimana perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- yang dijadikan dalil oleh hizbiyun untuk membolehkan menasihati pemerintah secara terang-terangan, yang insya Allah akan kami jawab dalam penjelasan syubhat dan bantahannya.

Al-Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- menerangkan perkataan Usamah dalam riwayat Muslim: “Sungguh aku telah menasihatinya secara empat mata”, maksudnya adalah, “Ia (Usamah) telah menasihati Utsman -radhiyallahu’anhu- secara langsung dengan perkataan yang lembut, karena yang demikian itu lebih hati-hati untuk menghindari cara terang-terangan dalam mengingkari penguasa dan menghindari sikap penentangan terhadap penguasa, sebab cara menasihati penguasa dengan terang-terangan sangat berpotensi melahirkan berbagai macam fitnah dan kerusakan.” [Lihat Al-Mufhim Syarah Shohih Muslim, (6/619)]

Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata, “Sepatutnya bagi orang yang mengetahui kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati penguasa tersebut, dan janganlah ia menampakan celaan kepada penguasa di depan publik. Akan tetapi sebagaimana terdapat dalam hadits (yakni hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-), hendaklah ia meraih tangan sang penguasa dan menyepi dengannya, lalu menasihatinya, dan janganlah ia menghinakan sultan (penguasa) Allah”.[Lihat As-Sail Al-Jarrar, (4/556)]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rahimahullah- berkata, “Bagi siapa yang melihat suatu kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, hendaklah ia memperingatkan mereka secara rahasia, tidak terang-terangan di khalayak, dengan cara yang lembut dan perkataan yang sesuai dengan keadaan.” [Lihat Ar-Riyadh An-Nadhirah, (hal. 50)]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –rahimahullah- berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf, membeberkan aib-aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan mengantarkan kepada ketidakstabilan (negara), sehingga masyarakat tidak mau dengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada

Page 5: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

pemberontakan yang merusak dan tidak bermanfaat. Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah menasehati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan”. [Lihat Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, (hal. 27)]

Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama: Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya. Kedua: Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset Asilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]

Dari penjelasan para ulama di atas, telah sangat jelas bahwa dalam menasihati penguasa tidak boleh dilakukan secara terang-terangan, baik melalui demonstrasi, berbicara di mimbar-mimbar terbuka, ataupun melalui kolom opini dan artikel yang disebarkan secara terbuka di media-media. Apabila hal tersebut dilakukan, maka akan melahirkan mafsadat-mafsadat yang besar diantaranya:

Memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa, terlebih jika nasihat tersebut tidak diindahkan oleh penguasa, maka akibatnya akan menceraiberaikan kesatuan kaum muslimin (lihat penjelasan Ibnu Hajar, Al-‘Aini dan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahumullah-)

Cara mengingkari kemungkaran penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini dan Al-Imam Al-Qurthubi –rahimahumallah-)

Pencemaran nama baik dan ghibah kepada penguasa yang dapat mengantarkan kepada perpecahan masyarakat dan pemerintah muslim (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini –rahimahullah-)

Membuat masyarakat tidak mau menaati penguasa dalam hal ma’ruf (lihat penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-)

Menyebabkan permusuhan antara pemimpin dan rakyatnya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 99)

Menjadi sebab ditolaknya nasihat oleh penguasa (lihat penjelasan Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah-)

Menyebabkan tertumpahnya darah seorang muslim, sebagaimana yang terjadi pada para pembunuh Utsman -radhiyallahu’anhu- (lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dan juga penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani -rahimahullah- dalam Mukhtashor Shahih Muslim, hal. 335)

Menghinakan sulthan Allah (lihat penjelasan Al-Imam Asy-Syaukani –rahimahullah-)

Munculnya riya’ dalam diri pelakunya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin -rahimahullah-)

Page 6: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

Menyelisihi dalil dan jalan As-Salafus Shalih

Mengikuti jalan ahlul bid’ah (Khawarij)

Renungan Bagi para Pencela Pemerintah

Menasihati penguasa secara terang-terangan termasuk dalam kategori pemberontakan yang merupakan karakter Khawarij, yakni satu sekte sesat yang dikenal dengan sikap pemberontakannya kepada pemerintah muslim yang mereka anggap zalim dan tidak berhukum dengan hukum Allah. Maka janganlah sampai engkau tergolong dalam kelompok Khawarij -wahai pencela pemerintah- yang telah diperingatkan oleh Nabi –shallallahu’alaihi wa sallam-:

قتلوه من قتلى خير السماء أديم تحت قتلى شر النار كالب

“Mereka adalah anjing-anjing neraka; seburuk-buruknya makhluk yang terbunuh di bawah kolong langit, sedang sebaik-baiknya makhluk yang terbunuh adalah yang dibunuh oleh mereka.” [HR. At-Tirmidzi, (no. 3000), dari Abu Umamah Al-Bahili -radhiyallahu’anhu-, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah, (no. 3554)]

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- berkata, “Nasihat kepada penguasa secara rahasia merupakan salah satu pokok dari pokok-pokok Manhaj Salaf yang diselisihi oleh ahlul ahwa’ wal bida’, seperti Khawarij.”

Beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-) juga menjelaskan bahwa menyebarkan aib-aib penguasa merupakan bentuk pertolongan kepada Khawarij dalam membunuh penguasa muslim, sehingga jelas bahwa pemberontakan itu tidak hanya dengan senjata, tapi juga dengan lisan.

Beliau berkata: “Hal tersebut dilarang karena bisa mengantarkan kepada perbuatan menumpahkan darah dan pembunuhan, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tabaqot, dari Abdullah bin Ukaim al-Juhani, bahwa beliau berkata:

“Aku tidak akan menolong pembunuhan seorang Khalifah selamanya setelah Utsman”, maka dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau telah membantu (Khawarij) dalam membunuh Utsman?” Maka beliau berkata, “Sungguh aku menganggap perbuatan membicarakan keburukan-keburukan beliau sebagai bentuk pertolongan kepada (Khawarij) dalam membunuhnya”.

Page 7: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

Maka camkanlah baik-baik atsar ini, tatkala beliau menganggap pembicaraan tentang kejelekan-kejelekan penguasa termasuk perkara yang membantu pembunuhannya.”

Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah) memberikan komentar pada catatan kaki, “Atsar ini berfaedah pelajaran bahwa pemberontakan itu dapat terjadi dengan senjata (pedang), maupun dengan ucapan. Berbeda dengan pendapat (yang salah) bahwa pemberontakan itu tidak terjadi kecuali dengan senjata. Maka camkanlah ini baik-baik dan ingatlah selalu.”

Beliau juga menukil penegasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-, “Bukan termasuk manhaj Salaf menelanjangi aib-aib penguasa dan membicarakannya di atas mimbar-mimbar, karena hal tersebut mengantarkan kepada kudeta dan ketidaktaatan masyarakat dalam hal yang ma’ruf kepada penguasa. Lebih dari itu, mengantarkan kepada pemberontakan yang hanya membahayakan dan tidak bermanfaat.” [Lihat artikel As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-, softcopy dari www.sahab.net]

Syubhat dan Bantahannya

Keterangan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta penjelasan para ulama di atas sekaligus sebagai bantahan terhadap tuduhan hizbiyun bahwa:

Ahlus Sunnah mendiamkan kemungkaran penguasa. Karena para ulama Ahlus Sunnah adalah budak penguasa yang kerjanya hanya mencari muka kepada penguasa

Mengapa Ahlus Sunnah mengharamkan demokrasi namun tetap menaati pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi!?

Semua syubhat ini telah terjawab dalam keterangan di atas, yang ringkasnya:

Pertama: Ahlus Sunnah tidak menasihati penguasa secara terang-terangan di depan khalayak bukan berarti diam dengan kemungkaran penguasa, bukan pula karena mencari muka kepada penguasa, tetapi karena mengikuti tuntunan Islam dalam menasihati penguasa.

Kedua: Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan secara serampangan terhadap pemerintah muslim yang terlibat dalam system kufur demokrasi atau yang tidak berhukum dengan syari’at Islam, karena ada syarat-syarat pengkafiran yang harus terpenuhi dan terangkatnya penghalang-penghalang. Olehnya,

Page 8: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

Ahlus Sunnah tetap menaati seorang pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi karena menganggapnya masih muslim.

Masih ada beberapa syubhat yang sering dilontarkan oleh hizbiyun dan ingin kami jelaskan bantahannya –insya Allah- demi untuk menghilangkan kekaburan dalam masalah ini:

Syubhat pertama: Menasihati penguasa secara terang-terangan bukan termasuk pemberontakan dan bukan pula karakter Khawarij

Dari penjelasan di atas, jelaslah kesalahan sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, namun menganggap bahwa menasihati penguasa dengan membicarakan aib-aib penguasa secara terang-terangan bukan termasuk pemberontakan dan karakter Khawarij, sebagaimana yang dikatakan penulis buku Siapa Teroris? Siapa Khawarij?:

“Lebih dari itu, sekedar melakukan demonstrasi saja sudah dianggap sebagai tindak pemberontakan dan dikatakan sebagai Khawarij dan teroris. Hal ini tercermin dalam perkataan beliau (Al-Ustadz Luqman Ba’abduh -pen), “Perlu ditekankan di sini, bahwa bentuk pemberontakan terhadap penguasa itu tidak hanya dalam bentuk gerakan fisik atau gerakan bersenjata saja”. Kemudian beliau (Al-Ustadz Luqman Ba’abduh -pen) mengutip pendapat Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al-Jazairi di buku Madarik An-Nazhar (tanpa penyebutan halaman) yang mengatakan, “Wal hasil, hanya sekedar memprovokasi massa untuk menentang penguasa muslim (walaupun penguasa tersebut seorang fasik) sudah layak dicap sebagai cara-cara khawarij.” [Lihat Siapa Teroris? Siapa Khawarij?, (hal. 224)]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullah- menjawab syubhat ini, dalam menjelaskan hadits tentang tuduhan kaum Khawarij kepada Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bahwa beliau belum berlaku adil dalam pembagian ghanimah. Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“Ini merupakan dalil terbesar bahwa pemberontakan terhadap pemerintah bisa dengan senjata, ucapan dan komentar. Yakni, orang ini (Dzul Khuwaisirah) tidak mengangkat pedang melawan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, tetapi hanya sekedar mengingkari beliau (dengan ucapan).

Kami sangat memahami bahwa biasanya tidak akan terjadi pemberontakan dengan senjata, kecuali telah didahului oleh pemberontakan dengan kata-kata. Manusia tidaklah mungkin menyandang senjata mereka untuk memerangi penguasa tanpa ada sesuatu yang dapat memprovokasi mereka. Pasti ada sesuatu yang bisa memprovokasi mereka, itulah ucapan (provokator). Maka

Page 9: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

pemberontakan kepada penguasa dengan kata-kata adalah pemberontakan secara hakiki, berdasarkan sunnah dan kenyataan.” [Lihat Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir, (hal. 96)]

Penjelasan di atas mengingatkan kita kepada salah satu sekte Khawarij yang bernama Al-Qo’adiyah. Mereka ini tidak ikut mengangkat senjata melawan penguasa dalam pemberontakan berdarah, tetapi kerjaan mereka hanyalah memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa dengan bait-bait syair maupun orasi-orasi di mimbar bebas.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Qa’adiyah memprovokasi pemberontakan kepada para penguasa, meskipun mereka tidak terlibat langsung.” [Lihat Hadyus Sari, oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah-, hal. 459, sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, hal. 20]

Bahkan sebenarnya merekalah yang paling berbahaya dan paling dahsyat fitnahnya, karena biasanya orang-orang yang bisa melakukan provokasi adalah yang memiliki sedikit ilmu yang dengannya dia menipu manusia. Seakan ia juga “termasuk dalam jajaran ulama terpandang”, sehingga disebutkan dalam satu atsar dari Abdullah bin Muhammad Adh-Dha’if –rahimahullah-, ia berkata: “Kelompok al-Qa’adiyah ini merupakan pecahan khawarij yang paling jelek!” [Riwayat Abu Dawud dalam Masaa’il Al-Imam Ahmad, (hal. 271), sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, (hal. 21)]

Syubhat kedua: Boleh menasihati penguasa secara terang-terangan jika kemungkaran tersebut dilakukan secara terang-terangan, dengan dalil perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri –radhiyallahu’anhu- dalam menasihati Marwan, walikota Madinah dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud –rahimahullah-

Adapun pembolehan menasihati penguasa secara terang-terangan, jika penyimpangan penguasa dilakukan terang-terangan sebagaimana dalam kisah sahabat yang mulia Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud –rahimahullah-, beliau berkata dalam salah satu fatwa beliau, “Karenanya, saya memandang jika perkara yang hendak disampaikan sebagai nasihat merupakan perkara zahir, jelas dan nampak dalam artian kemungkaran itu nampak dan jelas, maka tidak mengapa memberi nasehat kepada penguasa dengan cara berhadapan dengannya, atau melalui kolom opini di koran-koran (termasuk artikel), melalui mimbar-mimbar, atau dengan metode-metode lainnya jika kemungkaran tersebut jelas dan nampak di tengah-tengah manusia.”

Syubhat ini kami jawab dari beberapa sisi:

Page 10: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

Pertama: Kalau fatwa ini benar dari beliau, maka beliau sendiri (dalam fatwa yang sama) telah memberikan batasan-batasan dan siapa yang berhak melakukannya, diantaranya:

1). Dengan memperhatikan maslahat dan mafsadat. Jika kita lihat mafsadat-mafsadat besar yang sangat mungkin ditimbulkan dari cara menasihati pemerintah dengan terang-terangan, tentunya hal tersebut tidak boleh untuk dilakukan.

2). Bukan semua orang yang boleh melakukannya, tetapi para ulama yang benar-benar memiliki ilmu dalam masalah tersebut dan memiliki kedudukan dalam pandangan pemerintah dan masyarakat. Hal ini jelas dari perkataan beliau dan pendalilan beliau dengan kisah Abu Sa’id al-Khudri -radhiyallahu’anhu-. Siapa Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu-, seorang ulama besar di kalangan sahabat dibandingkan dengan Marwan seorang Tabi’in[1]? Kedudukannya adalah guru (Sahabat) dan murid (Tabi’in). Demikian pula, tidak semua Sahabat dan Tabi’in yang hadir pada saat itu melakukan pengingkaran secara terang-terangan.

Kedua: Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu-, maka itu adalah perkara yang sangat mendesak dan sangat terkait dengan waktu yang singkat (yakni pelaksanaan shalat ‘ied) dan terjadi di depan matanya dan di depan khalayak ramai, sehingga tidak mungkin untuk ditunda. Karena kaidah yang disepakati, “Menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh”. Inilah maksud perkataan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- yang kami garis bawahi di atas.

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- menjelaskan perkataan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- tersebut, “Perkataan beliau, “Ini semua dilakukan jika memungkinkan”, yakni jika memungkinkan seseorang menasihati penguasa secara rahasia, maka inilah yang wajib atasnya, tidak yang lainnya (yakni tidak boleh terang-terangan).”

“Adapun perkataan beliau (An-Nawawi), “Namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.” Maknanya adalah, “Janganlah seseorang mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan, kecuali dalam keadaan sangat genting (daruroh syadidah).”

Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-) berkata dalam catatan kakinya, “Atas dasar inilah (yakni dalam keadaan darurat) dibawa perbuatan Salaf (dalam mengingkari kemungkaran penguasa terang-terangan), seperti kisah Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- bersama Marwan, walikota Madinah ketika ia mendahulukan khutbah atas shalat

Page 11: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

‘ied.” [Lihat Shahih Al-Bukhari (2/449 no. 956 bersama Fathul Bari kitab Al-’Idain, bab Al-Khuruj ilal Musholla bi ghayri Minbar]

“Oleh karenanya, ketika ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- mengingkari perbuatan Hisyam -radhiyallahu’anhu- (yaitu, dengan menyampaikan hadits di atas) karena pengingkaran Hisyam terhadap kemungkaran penguasa secara terang-terangan, tanpa ada kebutuhan mendesak (darurat). Tidaklah yang dilakukan Hisyam -radhiyallahu’anhu-, kecuali tunduk (kepada hadits tersebut), wallahu A’lam.” (Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul, softcopy dari www.sahab.net)

Ketiga: Pengingkaran Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu benar-benar di depan penguasa tersebut, sehingga memungkinkan bagi sang penguasa untuk mengambil faedah “secara langsung” dari nasihat beliau, atau sebaliknya sang penguasa bisa memberikan bantahan jika ia memiliki dalil atau pertimbangan khusus sebagai seorang pemimpin.

Adapun jika dengan menyebarkan artikel-artikel di media massa dan berorasi di mimbar-mimbar bebas yang tidak dihadiri oleh penguasa, maka belum tentu bisa dibaca atau didengarkan oleh penguasa (sebagai orang yang dinasihati), malah yang terjadi adalah ghibah atau buhtan, pencemaran nama baik dan provokasi untuk memberontak kepada penguasa. Bagaimana bisa seseorang mengharamkan ghibah dan pencemaran nama baik dirinya dan para tokoh idolanya sementara untuk penguasa dia bolehkan…Ma lakum kayfa tahkumun?!

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahullah- menjelaskan, “Sesungguhnya mengingkari kemungkaran yang tersebar adalah hal yang dituntut dan tidak ada masalah dalam hal ini. Tapi yang menjadi masalah dalam pembahasan kita adalah pengingkaran terhadap seorang penguasa, seperti jika seseorang berpidato di masjid, kemudian ia berkata misalnya, “Negara (pemerintahnya) ini telah berbuat zhalim”, “Pemerintah telah melakukan (kesalahan)”, ia terus berbicara tentang kemungkaran penguasa dengan cara terang-terangan ini, padahal para penguasa tersebut tidak hadir dalam majelis itu. Jelas berbeda jika pemimpin atau penguasa yang ingin engkau nasihati itu ada di hadapan Anda dan ketika dia tidak ada. Karena semua pengingkaran secara terang-terangan yang dilakukan oleh generasi Salaf terjadi langsung di hadapan pemimpin atau penguasa. Bedanya, jika ia hadir, memungkinkan baginya untuk membela diri dan menjelaskan sisi pandangnya, dan bisa jadi ia yang benar dan kita yang salah. Akan tetapi jika ia tidak hadir, tentunya ia tidak bisa membela diri dan ini termasuk kezhaliman. Maka wajib bagi setiap kita untuk tidak berbicara tentang kejelekan seorang penguasa tatkala ia tidak hadir. Olehnya, jika engkau sangat menginginkan kebaikan (bagi seorang penguasa) pergilah kepadanya, temuilah ia, lalu nasihati secara empat mata.” [Lihat Liqo’ Al-Babil Maftuh, pertemuan ke-62, hal. 46)

Page 12: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

Keempat: Jika fatwa Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud –rahimahullah- diterima secara mutlak tanpa ada batasan-batasan sebagaimana yang beliau jelaskan sendiri dan batasan-batasan lain yang dijelaskan oleh para ulama lainnya, maka hal tersebut sangat jelas bertentangan dengan dalil dan fatwa-fatwa para ulama lainnya sebagaimana yang kami nukil di atas. Oleh karena itu kami mengingatkan kepada saudara-saudara kami yang menasihati penguasa secara terang-terangan karena mengikuti fatwa Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud –rahimahullah-. Ketahuilah –kami mencintai kebaikan untuk kalian sebagaimana kami cintai kebaikan itu untuk diri kami-:

Pertama: Kalaupun benar sebagaimana yang kalian katakan (bahwa ada khilaf dalam masalah ini), bukankah yang terbaik bagi kita untuk berhati-hati dengan memilih jalan yang lebih selamat?!

Kedua: Jika kita mencari setiap keringanan para ulama, niscaya kita akan binasa, sebagaimana diriwayatkan dari sebagian Salaf, “Barangsiapa yang mencari-cari keringanan para ulama, maka dia telah mengarah kepada kemunafikan”.

Ketiga: Tidakkah kalian memikirkan mafsadat yang besar –terutama bagi orang-orang awam- jika pintu ini dibuka?!

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- menerangkan, sedikitnya tiga kemungkaran besar yang menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah ketika seseorang menasihati penguasa secara terang-terangan, padahal masih memungkinkan untuk dinasihati secara rahasia,

Pertama: Menyelisihi hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- yang memerintahkan untuk diam-diam dalam menasihati penguasa.

Kedua: Menyelisihi atsar-atsar dan manhaj Salaf, seperti atsar Usamah bin Zaid dan Abdullah bin Abi Aufa dan selainnya radhiyallahu’anhum.

Ketiga: Menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.” (HR. Al-Bukhari)

(Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul, softcopy dari www.sahab.net)

Page 13: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

Syubhat ketiga: Tidak mungkin menasihati penguasa seperti hadits ‘Iyadh bin Ganm maupun atsar Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhum- di zaman ini, dikarenakan aturan protokoler pemerintahan modern terlalu berbelit-belit, sehingga tidak memungkinkan setiap orang bisa bertemu empat mata dengan seorang pejabat, maka terpaksa diambil jalan terakhir, yaitu dengan melakukan demonstrasi, tapi demo yang Islami atau aksi damai.

Menjawab syubhat ini kami katakan:

Pertama: Hadits ‘Iyadh bin Ganm dan atsar Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhum itu tidak bermakna harus persis seperti teksnya, yaitu setiap orang yang ingin menasihati harus memegang tangan penguasa, menyepi dengannya atau bertemu empat mata dengannya. Masih ada cara lain yang dibolehkan, asalkan tidak terang-terangan, seperti penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-, “Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah: menasihati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan.” (Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, hal. 27)

Kedua: Jika ternyata memang semua jalan yang disebutkan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah- tidak bisa sama sekali atau penguasa tidak mau menuruti nasihat dan merubah kebijakannya yang zalim, apakah kemudian boleh melakukan demonstrasi atau menyebar artikel nasihat dan teguran kepada pemerintah di media massa?

Jawabnya: Tetap tidak boleh, sebab hal tersebut bertentangan dengan dalil dan petunjuk Salaf dalam menghadapi keadaan semacam ini.

Al-Imam Ibnu Abdil Barr –rahimahullah- berkata, “Jika tidak memungkinkan untuk menasihati penguasa (dengan cara yang syar’i), maka solusi akhirnya adalah sabar dan doa, karena dahulu mereka –yakni Sahabat- melarang dari mencaci penguasa”. Kemudian beliau menyebutkan sanad satu atsar dari Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-, beliau (Anas) berkata, “Dahulu para pembesar Sahabat Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- melarang dari mencaci para penguasa.” [Lihat At-Tamhid, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, (21/287)]

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri –rahimahullah- berkata, “Demi Allah, andaikan manusia bersabar dengan musibah berupa kezhaliman penguasa, maka tidak akan lama Allah Ta’ala mengangkat kezhaliman tersebut dari mereka, namun apabila mereka mengangkat senjata melawan penguasa yang zhalim, maka mereka akan dibiarkan oleh Allah. Dan demi Allah, hal itu tidak akan mendatangkan kebaikan kapan pun. Kemudian beliau membaca firman Allah:

Page 14: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

JكK ب Jر LتJمMلJ ك NتOمJ وJت فMيَهJا Jا Nن ك JارJ ب Mي Oت ال JَهJا وJمJغJارMب MِضNرJ Nاأل JَقMار JَشJم JونLفJعNْضJ ت NسL ي Lوا Jان ك JينMذO ال JمNوJقN ال Jا Nن ْث JرNو

J وJأ Jون LشMرNعJ ي Lوا Jان ك وJمJا LهLمNوJقJو LنNوJع NرMف LعJ JصNن ي JانJ ك مJا Jا ن NرOمJدJو وا LرJ َصJب MمJا ب JيلM اِئ Jر NسM إ Mي Jن ب عJلJى Jى ن NسLحN ال

“Maka sempurnalah kalimat Allah (janji-Nya) kepada Bani Israel disebabkan kesabaran mereka dan Kami musnahkan apa yang diperbuat oleh Fir’aun dan kaumnya dan apa yang mereka bina.” (Al-A’rof: 137).” [Lihat Madarikun Nazhor, (hal. 6)]

Penjelasan para ulama di atas dipahami dari banyak hadits Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, diantaranya sabda beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-:

جاهلية ميتة مات إال فمات # شبرا الجماعة فارَق من فإنه ، عليه فليصبر يكرهه # شيئا أميره من رأى من

“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai (kemungkaran) yang ada pada pemimpin negaranya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (pemerintah) kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbas -radhiyallahu’anhuma-)

Juga sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:

: : الله وسلوا حقَهم إليَهم أدوا قال الله رسول يا تأمرنا ما قالوا تنكرونَها # وأمورا أْثرة بعدي سترون إنكمحقكم

“Sesungguhnya kelak kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian (berdoa).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu’anhu-)

Dan sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:

وأطيعوا : : . اسمعوا فقال ؟ حقَهم ويسألونا حقنا يمنعونا أمراء علينا كان إن أرأيت الله رسول يا قلناحملتم ما وعليكم حملوا ما عليَهم فإنما

Page 15: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

“Kami bertanya, wahai Rasulullah, “Apa pendapatmu jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin negara kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” (HR. Muslim dari Wail bin Hujr -radhiyallahu’anhu-)

Maka jelaslah, ketika sudah tidak ada lagi solusi lain untuk merubah kemungkaran penguasa, tidak dibenarkan sama sekali melakukan demonstrasi, meskipun berupa aksi damai dan tidak pula dengan menyebar artikel dan berbicara tentang kejelekan penguasa di khalayak ramai, karena semua itu bertentangan dengan tuntunan Allah Ta’ala yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Jadi, tidak ada dalam Islam istilah demonstrasi Islami. Adapun yang dituntunkan oleh teladan kita, Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para sahabat -radhiyallahu’anhum- adalah sabar dan doa.

_____________________________________________________________________

Cara Menasehati Penguasa

(1606 Views) November 14, 2011 2:12 am | Published by Redaksi | No comment

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)

Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah dalam menyikapi kesalahan-kesalahan penguasa kita harus selalu sabar, diam, dan menerima sepenuhnya apa yang dilakukan penguasa? Lantas bagaimana dengan anjuran untuk melakukan ingkarul mungkar dan memberikan nasihat kepada penguasa, yang notabene keduanya adalah bagian dari prinsip-prinsip Islam yang tidak mungkin ditinggalkan?

Untuk menjawabnya, kita harus memulai dengan memahami bersama bahwa memberikan nasihat kepada penguasa adalah sebuah perkara besar karena menyangkut kemaslahatan atau mafsadah total (menyeluruh) menyangkut masyarakat/rakyat. Di dalamnya terkait keamanan atau ketakutan rakyat serta terlindungi atau tertumpahkannya darah mereka.

Sehingga sangat mustahil bila Nabi n tidak menerangkan masalah yang demikian prinsip ini dan sangat dibutuhkan umatnya sepanjang mereka hidup, sementara di sisi lain beliau telah menerangkan perkara yang mungkin dianggap remeh oleh banyak orang seperti adab buang hajat.

Dalam sebuah hadits Rasulullah n bersabda:

Page 16: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

NدJق JانJ ك O Mال وJإ JاكJذJف LهN مMن JلM قJب NنM فJإ MهM ب NوL ل NخJ فJي MهMدJ Mي ب Nذ LخN Jأ Mي ل NنMكJ وJل Jة# Mي Mن عJال MهMدN Lب ي J فJال لNطJا̀ن Lس NيMذM ل JحJصN Jن ي Nن

J أ Jاد JرJ أ NنJم

MهN Jي عJل NيMذO ال دOىJ أ

“Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim dan yang lain, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah, no. 1096—1098, lihat pula takhrijnya dalam kitab Mu’amalatul Hukkam, hlm. 143—151)

Ketika membawakan hadits di atas, al-Imam Ahmad t menyebutkan sebuah kisah. Kata beliau, seorang sahabat Nabi n bernama ‘Iyadh bin Ghunm z yang menjadi penguasa di wilayah Syam (Siyar A’lamin Nubala, 2/354) mencambuk seorang pemilik rumah ketika rumah itu dibuka (karena masalah kharaj [semacam pajak], wallahu a’lam, red.). Maka seorang sahabat yang lain yaitu Hisyam bin Hakim z lewat dan menasihati dengan begitu keras kepadanya sehingga ‘Iyadh pun marah. Berlalulah beberapa malam. Lalu Hisyam datang dan beralasan seraya mengatakan kepada ‘Iyadh, “Tidakkah engkau mendengar Nabi n mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia yang termasuk paling keras azabnya adalah yang paling keras menyiksa manusia di dunia’.”

Maka ‘Iyadh pun menjawab, “Wahai Hisyam bin Hakim, kami telah mendengar apa yang engkau dengar dan telah melihat apa yang kamu lihat. Apakah kamu tidak mendengar Rasulullah n bersabda, … (lalu menyebut hadits di atas). Sesungguhnya engkau wahai Hisyam, benar-benar nekat jika engkau berani terhadap penguasa Allah l. Tidakkah engkau takut untuk dibunuh oleh penguasa Allah l sehingga engkau menjadi korban pembunuhan penguasa Allah l?!”

Dalam kisah yang berlangsung antara dua orang sahabat Nabi yang mulia itu terkandung bantahan yang sangat telak bagi orang yang berdalil dengan perbuatan Hisyam bin Hakim z yang mengingkari penguasa dengan terang-terangan atau berdalil dengan sahabat lain, di mana sahabat ‘Iyadh mengingkari perbuatan itu atas mereka lalu menyebutkan dalil yang menjadi pemutus dalam masalah ini, maka tiadalah bagi Hisyam kecuali menerima dalil itu yang sangat jelas maksudnya. Dan hujjah itu adalah hadits Nabi n, bukan ucapan siapa pun dari kalangan manusia. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 151—152)

Atas dasar hadits itu berarti penguasa mempunyai perlakuan khusus ketika diingkari kemungkarannya atau diberi nasihat. Sehingga salah bila dikatakan: “Adapun tuntutan syari’ah dalam menentang kemungkaran yang ada pada pemerintah itu adalah sebagaimana tuntunan dalam mencegah kemungkaran pada umumnya.” (Majalah Salafy edisi 02 tahun V)

Di atas manhaj ini pula para sahabat berjalan sebagaimana tampak dari ucapan dan perbuatan mereka. Di antaranya:

1. Bahwa Sa’id bin Jahman bertemu dengan Abdullah bin Abu Aufa z (seorang sahabat Nabi n). Abdullah bin Abu Aufa pun bertanya, “Siapa engkau?” Aku pun menjawab, “Aku adalah Sa’id bin Jahman.” Beliau bertanya, “Apa yang terjadi pada ayahmu?” Jawabnya, “Ia dibunuh oleh al-Azariqah (sempalan kelompok Khawarij pimpinan Nafi’ Ibnul Azraq).” Maka beliau berkata, “Semoga Allah l melaknati al-Azariqah. Semoga Allah l melaknati al-Azariqah, semoga Allah melaknati al-Azariqah. Rasulullah n mengatakan kepada kami bahwa mereka adalah anjing-anjing ahli neraka.” Sa’id

Page 17: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

mengatakan, “Al-Azariqah saja atau Khawarij seluruhnya?” Beliau menjawab, “Bahkan Khawarij seluruhnya.” Sa’id mengatakan, “Sesungguhnya penguasa melakukan kezaliman terhadap manusia dan melakukan (kejahatan, red.) terhadap manusia.” Maka dia mengambil tangan saya dan dicoleknya dengan kuat lalu mengatakan, “Kasihan kamu wahai putra Jahman. Ikuti as-Sawadul A’zham, ikuti as-Sawadul A’zham (kaum muslimin dan penguasanya yang muslim). Jika penguasa mau mendengar nasihatmu maka datangi rumahnya, kabarkan kepadanya apa yang kamu ketahui. Kalau dia menerimamu (maka itu yang diinginkan, red.). Jika tidak, maka tinggalkan dia. Sesungguhnya kamu tidak lebih tahu darinya.” (Riwayat Ahmad dalam al-Musnad, 4/382—383, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya hasan”, Zhilalul Jannah, 2/508)

2. Ibnu ‘Abbas c ditanya tentang amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap penguasa, maka beliau menjawab, “Jika kamu mesti melakukannya, hendaknya (dilakukan) antara kamu dan dia (secara sembunyi).” (Disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum di akhir syarah hadits ketujuh. Riwayat tersebut disebutkan oleh Ibnu Abu Syaibah dalam al-Mushannaf, lihat Mu’amatul Hukkam, hlm. 160)

3. Bahwa Usamah bin Zaid c ditanya, “Tidakkah engkau masuk dan mendatangi ‘Utsman agar kamu memberikan nasihat kepadanya?” Jawab Usamah bin Zaid c, “Apakah kalian berpendapat bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku harus mengabarkan kepada kalian?! Demi Allah, aku telah menasihatinya antara aku dan dia, tanpa aku membuka urusan yang aku tidak suka menjadi orang pertama yang membukanya.” (Sahih, HR. Muslim)

Asy-Syaikh al-Albani t mengatakan, “Maksudnya membuka (mengekspos) pengingkaran secara terang-terangan kepada para penguasa di hadapan umum. Karena dalam pengingkaran secara terang-terangan mengandung sesuatu yang dikhawatirkan dampaknya, sebagaimana terjadi pengingkaran tersebut terang-terangan terhadap ‘Utsman lalu mengakibatkan terbunuhnya …” (dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 159)

Masih banyak lagi riwayat yang lain bisa dibaca dalam kitab Mu’amatul Hukkam karya asy-Syaikh Abdussalam Barjas.

Sikap yang ditunjukkan oleh para sahabat itu kemudian diwarisi oleh para ulama Ahlus Sunnah sebagaimana tertera dalam kitab-kitab mereka, baik mereka menyebut secara langsung maupun dengan menukilkan ucapan ulama yang lain, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim, ‘Iyadh, Ibnu Nahas, Ibnu Muflih, Ibnu Rajab, asy-Syaukani dalam kitabnya as-Sailul Jarrar, asy-Syaikh al-Albani, asy-Syaikh Ibnu Baz, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan lain-lain (lihat nukilan-nukilan ucapan mereka dalam kitab al-Wardul Maqthuf hlm. 69—75).

Sehingga, seorang penasihat, mubaligh, atau da’i hendaknya menelusuri jalan ini dan menujukan nasihatnya kepada dua arah. Arah pertama ditujukan kepada penguasa dengan cara yang telah disebutkan di atas, bisa dengan bicara secara langsung, melalui surat, atau memberi nasihat melalui orang-orang dekatnya untuk disampaikan kepada penguasa dengan memerhatikan rambu-rambu di atas. Arah kedua, ia menujukan nasihat kepada rakyat.

Hendaknya para da’i menerangkan kepada rakyat cara bersikap yang benar terhadap penguasa, memberikan pengertian tentang kemungkaran-kemungkaran yang bersifat umum seperti haramnya khamr, judi, pelacuran, loyal kepada orang kafir, permusuhan mereka terhadap Islam, dan semacamnya. (Lihat al-Wardul Maqthuf, hlm. 74 dan 70, dari nukilan Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz)

Page 18: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

Jika seseorang membolehkan mengritik penguasa di depan umum baik melalui lisan maupun tulisan dengan alasan sebagian sahabat Nabi n melakukannya, maka untuk menanggapi pendapat tersebut saya kemukakan beberapa hal.

1. Telah dijelaskan bahwa hadits dalam permasalahan ini memiliki derajat sahih, maka tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menyelisihinya. Orang yang menghargai hadits Nabi n tentu akan sangat menerima prinsip ini. Karena Allah l berfirman:

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)

“Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin atau mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.” (al-Ahzab: 36)

Al-Imam asy-Syafi’i t berkata, “Kaum muslimin berijma’ bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Nabi n maka tidak boleh ia menolaknya karena mengikuti ucapan seseorang, siapa pun dia.” (Shifat Shalat an-Nabi oleh al-Albani, hlm. 50)

Ibnu ‘Abbas c mengatakan, “Hampir-hampir bebatuan dari langit akan menghujani kalian, karena aku katakan kepada kalian bahwa Rasulullah n bersabda demikian, lalu kalian mengatakan bahwa Abu Bakr dan ‘Umar mengatakan demikian!!” (Riwayat Ahmad dalam al-Musnad, lihat Fathul Majid dengan tahqiq al-Furayyan, hlm. 451)

2. Kemungkinan sahabat yang melakukan kritikan terhadap penguasa di depan umum disebabkan belum tahu atau lupa, seperti kejadian dalam hadits di atas bahwa Hisyam bin Hakim z diingatkan atau diberi tahu tentang hadits tersebut, lalu menerimanya. Atau ada udzur-udzur lain sebagaimana disebut oleh Ibnu Taimiyah t dalam kitabnya Raf’ul Malam ‘anil Aimmatil A’lam. Semua itu dalam rangka berbaik sangka terhadap para sahabat.

3. Seandainya pun hadits itu (tentang tata cara menasihati penguasa dengan diam-diam) lemah—dan sesungguhnya tidak lemah—maka di hadapan kita ada dua sisi.

Sisi pertama, ucapan para sahabat yang jelas melarang perbuatan tersebut sebagaimana telah dinukilkan sebagiannya dari Abdullah bin Abu Aufa, Usamah bin Zaid, dan Ibnu ‘Abbas g, ditambah lagi dengan perbuatan dan praktik mereka. Sisi kedua, ucapan sebagian sahabat yang tidak jelas membolehkan hal itu, yang demikian tidak tegas dalam menentukan hukum karena membawa kemungkinan-kemungkinan sebagaimana dalam poin kedua di atas. Lain halnya dengan ucapan para sahabat yang tegas dan jelas melarang hal itu, yang memang sedang berbicara masalah hukum.

4. Sebagaimana masalah-masalah fiqih yang lain, tatkala kita menghadapi perbedaan pendapat dari kalangan sahabat, kita tidak boleh mengambil salah satunya tanpa alasan atau tanpa pendukung. Bahkan kita harus mengambil pendapat yang terdekat kepada kebenaran melalui pertimbangan-pertimbangan lain.

5. Atas dasar poin keempat maka yang tampak bagi saya, pendapat yang melarang itulah yang semestinya diambil, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut ini:

Page 19: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

– Kaidah saddu adz-dzara’i’, yakni menutup jalan-jalan yang menyampaikan kepada hal yang haram. Sebagaimana diketahui, dalam syariat ini ada hal-hal yang diharamkan karena hal tersebut menjadi wasilah atau sarana kepada sesuatu yang diharamkan (Muharram Bidzatihi, dengar kaset Silsilatul Huda Wannur no. 41/1, al-Albani, lihat juga Ighatsatul Lahfan tentang penjelasan saddu adz-dzara’i’). Dengan melihat kaidah ini dan kenyataan yang ada, bahwa seringkali seseorang yang berbicara terhadap penguasa terjatuh dalam hal-hal yang dilarang, karena yang masuk dalam kancah ini banyak dari kalangan orang-orang yang tidak mengerti hukum.

– Banyak ulama Ahlus Sunnah menjadikan hal ini sebagai pendapat mereka, bahkan dengan jelas mereka mengatakan bahwa inilah manhaj (jalan) Ahlus Sunnah, sebagaimana telah kita sebut sebagian nama-nama mereka di atas.

– Pengingkaran para ulama sejak para sahabat terhadap orang yang mengingkari penguasa dengan terang-terangan. (Lihat Mu’amalatul Hukkam, hlm. 154)

– Dengan melihat maslahat dan mafsadahnya, melarang masalah tersebut akan lebih banyak mendatangkan maslahat bagi penguasa dan rakyat. Sebaliknya, membolehkan hal itu akan banyak mendatangkan mafsadah. Di antaranya membuka pintu bagi orang-orang yang menyembunyikan niat/kepentingan jahat atau orang-orang yang bodoh terhadap hukum.

– Dengan dibolehkan menyebutkan kejelekan penguasa di depan umum akan terjadi kesamaran antara seorang Ahlus Sunnah dengan seorang yang berpemahaman Khawarij.

– Atas dasar itu, maka tidak ada alasan bagi kita untuk mengingkari seorang yang mengingkari penguasa secara terang-terangan, sama saja baik dia itu seorang Ahlus Sunnah maupun Khawarij, di mana yang membedakan mereka berdua adalah tujuannya. Yaitu Khawarij melakukannya dalam rangka ambisi merebut kekuasaan… Sedang Ahlus Sunnah dalam rangka semata-mata amar ma’ruf dan nahi mungkar. (Majalah Salafy edisi 02 tahun V)

Hal ini karena tujuan adalah niat di dalam hati yang tidak tampak secara nyata, sedangkan yang tampak bahwa kedua orang tersebut melakukan hal yang sama. Tentu konsekuensi semacam ini menunjukkan batilnya pendapat itu, karena Khawarij pun meyakininya sebagai amar ma’ruf nahi mungkar, di samping juga bertentangan dengan perbuatan sahabat yang mengingkari Khawarij.

Al-Imam at-Tirmidzi t meriwayatkan dengan sanadnya kepada Ziyad bin Kusaib al-‘Adawi katanya, “Saya bersama sahabat Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu ‘Amir yang sedang berkhutbah dengan memakai pakaian yang tipis. Maka (seseorang bernama) Abu Bilal mengatakan, ‘Lihatlah kepada pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasiq.’ Maka Abu Bakrah pun menimpali, ‘Diamlah kamu. Aku mendengar Rasulullah n mengatakan, ‘Barang siapa yang menghinakan penguasa Allah l di muka bumi maka Allah l akan menghinakannya’.” (Sunan at-Tirmidzi, “Kitabul Fitan”, 4/435 no. 2224 cet. Darul Kutub. At-Tirmidzi mengatakan, “Hasan Gharib”, Mu’amalatul Hukkam, hlm. 174—185, lihat pula al-Wardul Maqthuf, hlm. 58, tentang pengingkaran Ibnu ‘Abbas c terhadap Abu Jamrah)

Maka di hadapan kita ada dua kemungkinan, apakah sahabat tersebut salah dalam mengingkari orang tersebut atau benar? Bagi saya, dengan alasan apa kita menyalahkan sahabat tersebut? Sungguh sangat berat untuk menyalahkannya.

Page 20: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

6. Melihat kenyataan umum yang ada di masyarakat kita bahwa mereka yang melakukan pengingkaran terhadap para penguasa melakukan kesalahan-kesalahan sebagai berikut:

– Menghinakan penguasa, dan perbuatan ini dilarang oleh Nabi n sebagaimana sabda Nabi n di atas. Namun bukan berarti yang dimaksud menghargai mereka adalah dengan mengagung-agungkan penguasa itu. Penguasa dihargai karena besarnya tugas yang diemban dan dengan dihinakannya mereka maka tugas yang menjadi kewajibannya tidak akan terlaksana dengan baik sehingga terjadi banyak kerusakan. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 177)

– Melakukan celaan terhadap penguasa, dan ini juga dilarang oleh Nabi n. Anas bin Malik z mengatakan, “Para pembesar sahabat di antara kami melarang kami dengan perkataan mereka, ‘Jangan kalian cerca para pemimpin kalian, jangan berbuat curang terhadap mereka, dan jangan kalian membenci mereka. Bertakwalah kalian kepada Allah l dan bersabarlah!.” (Riwayat Ibnu Abu ‘Ashim, no.1015, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya jayyid.” [bagus, yakni sahih—wallahu a’lam])

– Melakukan ghibah terhadap penguasa, dan ghibah hukumnya haram apalagi kepada penguasa tentu lebih haram karena mafsadahnya akan lebih besar.

– Tidak menerangkan manhaj Ahlus Sunnah dalam menyikapi penguasa yang zalim yaitu sabar dalam menyikapi kezaliman penguasa dan menyerahkan masalah kepada Allah l. Mereka biasanya hanya menyebutkan sisi-sisi negatif penguasa.

– Tidak memperingatkan dari haramnya memberontak kepada penguasa muslim baik dengan senjata maupun lisan. Bahkan dengan lisan lebih berbahaya karena bisa menyulut tindakan anarkis.

– Tidak membantah kelompok Khawarij terutama ciri khas mereka yaitu suka memberontak terhadap penguasa.

– Memprovokasi massa untuk membenci para pemimpin mereka dan ini jelas terlarang sebagaimana ucapan Anas bin Malik z di atas. Juga bertolak belakang dengan manhaj Ahlus Sunnah yaitu melunakkan hati masyarakat dan membimbing mereka supaya taat kepada para penguasa.

Al-Imam an-Nawawi t mengatakan, “Adapun menasihati para pemimpin kaum muslimin artinya membantu mereka dalam kebenaran, menaati mereka dalam kebenaran, dan memerintahkan mereka untuk itu, serta mengingatkan mereka dengan lemah lembut dan memberitahukan kepada mereka tentang hak-hak kaum muslimin yang mereka lalaikan dan belum menyampaikannya kepada kaum muslimin. Termasuk nasihat kepada mereka adalah tidak melakukan pemberontakan kepada mereka serta melunakkan hati manusia agar taat kepada mereka.” (Syarah Shahih Muslim, dinukil dalam al-Wardul Maqthuf, hlm. 72 dan lihat hlm. 74)

– Tidak mendoakan kebaikan untuk penguasa. Yang dilakukan kebanyakan orang justru kebalikannya. Al-Imam al-Barbahari t mengatakan, “Jika kamu melihat seseorang mendoakan kejelekan terhadap penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah ahli bid’ah dan jika kamu melihat seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah pengikut As-Sunnah, insya Allah.” Al-Fudhail bin ‘Iyadh t mengatakan, “Seandainya saya punya doa yang terkabul maka tidak akan saya berikan kecuali untuk penguasa.” (Syarhus Sunnah, dinukil dari al-Wardul Maqthuf, hlm. 54)

Page 21: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

– Tidak melihat sisi maslahat dan mafsadah yang diakibatkan dari perbuatannya yang seolah-olah hanya luapan emosi, sehingga mengakibatkan banyak korban sampai-sampai yang tidak tahu apa-apa juga terkena imbasnya.

– Itu semua lepas dari apa yang tersembunyi dalam hati mereka dari niat dan keyakinan, namun Allah Mahatahu.

– Tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang menganggap riwayat dari ‘Ali, Abu Sa’id al-Khudri, Asma’, dan Ibnu ‘Umar g sebagai manhaj yang tetap dan menganjurkan umat untuk mengingkari penguasa/pemerintah secara terang-terangan. Justru sebaliknya, mereka menganjurkan umat untuk sabar dan tidak menjamah penguasanya ketika zalim, dengan dalil riwayat dari para sahabat di atas. Bila riwayat-riwayat di atas tetap dipaksakan sebagai dalil tentang bolehnya membicarakan kemungkaran penguasa di depan umum, maka orang yang seperti ini persis seperti yang Allah l sebutkan dalam ayat:

“Sementara orang orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya.” (Ali ‘Imran: 7)

– Tidak satu pun kitab-kitab ulama dalam pembahasan ushuluddin (pokok agama) yang melewatkan pembahasan ini, yaitu manhaj al-haq (adalah) bersabar dalam menyikapi kezaliman penguasa dan tidak membicarakan kejelekan mereka di depan umum.

7. Melihat makna nasihat yaitu iradatul khair lilmanshuh lahu, yakni menginginkan kebaikan untuk yang dinasihati (Jami’ul Ulum wal Hikam, 1/207, tahqiq Thariq ‘Iwadhullah). Menasihati penguasa artinya menginginkan kebaikan baginya. Sedangkan dengan keterangan di atas tampaknya perbuatan mereka bukan termasuk nasihat sama sekali walaupun mereka sebut demikian. Oleh karena itu, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t mengatakan, “Sesungguhnya menyelisihi penguasa pada perkara yang bukan darurat dari masalah agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di forum-forum, masjid-masjid, media massa, mimbar-mimbar, dan sebagainya, bukan termasuk nasihat sama sekali. Maka jangan tertipu dengan siapa saja yang melakukan demikian walaupun niatnya baik, karena hal itu menyelisihi perbuatan as-salafush shalih yang menjadi teladan.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 156)

Sebagai penutup, perhatikan baik-baik ucapan seorang tabi’in al-Hasan al-Bashri t dalam masalah pemerintah, “Mereka mengurusi lima urusan kita: (shalat) Jum’at, (shalat) jamaah, ‘Id (hari raya), perbatasan, dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka, walaupun mereka itu zalim dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah l perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak…” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 7—8)

Pembahasan ini bukanlah bertujuan untuk membela kezaliman penguasa atau karena ketidaktahuan atas kezaliman mereka, namun untuk membela syariat Allah l dalam masalah ini.

Wallahu a’lam.

Page 22: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

Dari siri tulisan sebelumnya, telah pun dibentangkan siapakah yang dimaksudkan sebagai pemimpin dan kewajiban mentaatinya. Sila lihat tulisan dengan tajuk “Memahami Negara dan Pemimpin Umat Islam” dan “Bagaimana Ahlus Sunnah wal-Jama’ah Mentaati Pemerintah”.

Maka pada tulisan berikut ini, ia akan difokuskan pula kepada persoalan menasihati dan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap pemerintah.

Memahami Konsep Agama Sebagai Nasihat

Dalam Islam, nasihat adalah di antara dasar agama yang amat penting dan penopang kebenaran yang paling fundamental sehingga dalam sebuah hadis, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

NمMَهM وJعJامOت JينMمM ل NسLمN ال MةOمM Jِئ MألJو MهM ول Lس JرM وJل MهM Jاب Mت Mك وJل MهO Mل ل JالJق NنJمM ل Jا Nن قLل LةJيحMصO الن LينKالد

“Agama adalah nasihat.” Mereka bertanya, “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”

Beliau menjawab, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan umat Islam secara umumnya.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 55)

Imam Muhammad B. Isma’il ash-Shan’ani rahimahullah (Wafat: 1182H) berkata:

اإلسالم عليَها يدور التي األربعة األحاديث أحد إنه العلماء قال جليل الحديث هذا

“Hadis ini sangat agung dan para ulama menyatakan bahawa hadis ini adalah salah satu dari empat hadis yang menjadi prinsip agama Islam.” (ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, 4/210)

Ibnu Baththal rahimahullah (Wafat: 449H) berkata:

القول على يقع كما العمل على يقع الدين وأن وإسالما دينا تسمى النصيحة أن على دليل الحديث في

Page 23: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

الطاقة قدر على الزمة والنصيحة الباقين عن وتسقط بَها قام من فيَها يجزىء كفاية فرِض والنصيحةفي فَهو أذى خَشي فإن المكروه نفسه على وأمن أمره ويطاع نصحه يقبل أنه الناَصح علم إذا البَشرية

أعلم والله سعة

“Hadis ini menunjukkan bahawa nasihat juga disebut sebagai diin (agama) dan Islam. Dan bahawasanya diin (agama) digunakan untuk amalan dan perkataan.

Nasihat itu hukumnya fardhu kifayah, sekiranya ada orang yang melaksanakannya, maka yang lain terlepas dari kewajiban tersebut. Dan nasihat adalah suatu perkara yang wajib berdasarkan kemampuan masing-masing. Jika seseorang mengetahui bahawa nasihatnya akan diterima, perintahnya akan diikuti, dan dirinya bebas dari perkara-perkara yang membahayakan dan dibenci, maka ia perlu memberikan nasihatnya. Tetapi, sekiranya ia bimbang akan disakiti maka ia boleh memilih sama ada menasihati ataupun tidak. Wallahu a’lam.” (an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/39. ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, 4/211)

al-Khaththabi rahimahullah (Wafat: 388H) berkata:

له للمنصوح الخير إرادة هي جملة عن بَها يعبر كلمة النصيحة

“Nasihat adalah perkataan yang menjelaskan sebahagian besar perkara yang merujuk kepada menghendaki kebaikan kepada yang diberi nasihat.” (Ibnu Rejab al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, m/s. 79)

Syaikh Muhammad B. Soleh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:

الَشيء إخالص بمعنى والنصيحة العمل، دين به المراد LةJحN OصMي الن LنN الدKي

“Dari ad-Diin an-nasiihah, maksud yang dikehendaki di sini, ad-diin adalah diinul ‘amal (agama), manakala an-nasiihah pula adalah membersihkan, memurnikan, mengikhlaskan sesuatu.” (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah, hadis no. 7, http://www.ibnothaimeen.com/all/books/article_17802.shtml)

Page 24: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

Nasihat terhadap para pemimpin adalah persoalan yang jarang mendapat perhatian khusus dan penjelasan secara terperinci bersesuaian dengan asas-asas hukum al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Tidak hairanlah pada hari ini sebahagian besar dari umat Islam (atau masyarakat) sering kali berlaku kurang profesional dan tidak terpuji dalam menyikapi kekurangan yang berlaku terhadap para pemimpin. Lebih mengecewakan, sehingga melanggar kaedah-kaedah dasar Islam dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar terhadap para pemimpin.

Di antara mereka ada yang menempuh kaedah demonstrasi, mengkritik secara terbuka di mimbar-mimbar ceramah dan khutbah, mencanang aib pemimpin di akhbar-akhbar, mendesak dan memprovokasi pemimpin supaya meletakkan jawatan, membuat pelbagai makar politik, bahkan ada juga sehingga melakukan kekacauan dan menempuh kaedah terorisme sebagaimana banyak berlaku di sebahagian negara tertentu.

Sedangkan dalam perkara menasihati pemerintah ini, Islam telah menggariskan beberapa garis panduan yang perlu diikuti. Menasihati pemerintah bukanlah perkara main-main dan remeh. Sesiapa yang menasihati para pemerintah dengan garis panduan yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka Allah pun redha terhadapnya, manakala sesiapa yang melaksanakan nasihat bukan dengan kaedah-kaedah yang syar’i tetapi menyimpang, maka Allah tidak akan redha kepadanya.

Ini sebagaimana Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

MلN ب JحM ب JصMمLوا JعNت ت NنJ وJأ #ا Nئ ي Jش MهM ب Lوا رMك NَشL ت J وJال LوهLدL JعNب ت Nن

J أ NمL Jك ل ضJى NرJ ي #ا Jْث Jال ْث NمL Jك ل LطJخNسJ وJي #ا Jْث Jال ْث NمL Jك ل ضJى NرJ ي JهO الل OنM إ NمL ك JرNمJ أ LهO الل LهJ وJال NنJم JاَصMحLوا Lن ت NنJ وJأ قLوا OرJفJ ت J وJال جJمMيع#ا MهO الل

“Sesungguhnya Allah meredhai untukmu tiga perkara dan membenci untukmu tiga perkara, iaitu Dia redha kamu mengabdikan diri kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, hendaklah kamu berpegang teguh kepada Tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai, dan hendaklah kamu memberi nasihat kepada orang-orang yang diberi Allah tanggungjawab mengurus urusanmu (para pemimpin).” (Hadis Riwayat Malik, 6/133, no. 133. Al-Bukhari, al-Adabul Mufrad, 1/158, no. 442. Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, 6/59, no. 7493. Majmu’ al-Fatawa, 35/7. Dinilai sahih oleh al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth)

Dan tidaklah dinamakan sebagai nasihat melainkan dengan cara yang baik dan lemah-lembut.

Page 25: GPI - Tuntunan Islam Dalam Menasihati Penguasa

Memahami Konsep Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Sebagaimana solat, ia adalah ibadah yang diikat dengan rukun dan syarat-syaratnya. Tidak akan diterima solat tersebut tanpa dipenuhi rukun serta syarat-syarat sahnya solat.

Demikian juga perkara-perkara yang lainnya. Kalau dalam persoalan buang air, istinja’, dan adab-adab makan atau minum pun Rasulullah mengajarkan kita kaedah-kaedahnya, tidak mungkin beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terlupa menjelaskan bagaimana kaedah yang benar dalam menasihati pemerintah dan amar ma’ruf nahi mungkar ini.

Maka ini adalah suatu yang perlu kita akui dengan ikhlas dan jujur. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah lupa untuk menjelaskannya. Amar ma’ruf nahi mungkar adalah suatu perkara yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat Islam yang memenuhi syarat-syarat dan kelayakan. Ia diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dilaksanakan dengan garis panduannya. Allah tidak memerintahkan sesuatu perkara kepada hambanya dengan begitu sahaja tanpa sebarang penjelasan mahupun perincian.

Jadi secara umumnya, amar ma’ruf nahi mungkar adalah perbuatan mengajak kepada kebaikan dan menolak kemungkaran berdasarkan syarat dan garis panduan serta petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah.