penetapan ahli waris muslim terhadap pewaris …
TRANSCRIPT
PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS
NON MUSLIM
(Studi Analisis Yuridis Penegakan Keadilan Terhadap Non Muslim
Dalam Perkara Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Disusun oleh:
ENDAY HIDAYAT
NIM: 11150440000014
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/1441 H
iv
ABSTRAK
Enday Hidayat (11150440000014) “Penetapan Ahli Waris Muslim
Terhadap Pewaris Non Muslim (Studi Analisis Yuridis Penegakan Keadilan
Terhadap Non Muslim Dalam Perkara Penetapan Nomor
4/Pdt.P/2013/Pa.Bdg.)”. Program Study Hukum Keluarga (Al-Akhwal As-
Syakhsiyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Tahun 2020 M/1441 H. 74 halaman + lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan secara rinci mengenai penegakan
keadilan bagi non-muslim dalam kewarisan islam di Indonesia serta tinjauan
kewenangan absolut Pengadilan Agama Badung dalam menangani perkara
Penetapan Nomor: 4/Pdt.P/2013/ PA.Bdg. Penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatif (normative yuridis), bersifat preskriptif dengan menggunakan
pendekatan kasus (case approach). Penelitian ini berjenis penelitian kualitatif
dengan menggunakan metode deskriptif-analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan diberikannya hak waris
kepada anak yang beragama islam memberikan ketidakadilan bagi anak yang
sama agamanya dengan pewaris, yaitu beragama Hindu. Dalam perspektif
kewenangan berdasarkan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah
Agung Republik Indonesia Tanggal 03 s/d 05 Mei 2012 yang dicantumkan dalam
SEMA Nomor 07 Tahun 2012, Pengadilan Agama Badung tidak memiliki
kewenangan untuk menangani perkara permohonan penetapan ahli waris muslim
dari pewaris non-muslim. Adapun dari perspektif hukum Islam, penetapan Majelis
Hakim Pengadilan Badung bertentangan dengan pendapat (jumhur ulama’) yang
bersandar pada hadits Nabi Muhammad SAW, yang artinya “Seorang muslim
tidaklah mewariskan ke orang kafir, dan orang kafir tidaklah mewariskan ke
seorang muslim” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kata Kunci: Perkara waris, ahli waris, pewaris, beda agama, peraturan perundang-
undangan, hukum Islam.
Pembimbing: Dr. Syahrul A’dam, M.Ag.
Daftar Pustaka: 1983 s/d 2017
v
KATA PENGANTAR
ن ٱلل بسم ٱلرحيم ٱلرحم
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat
dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat
serta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad
SAW.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana pada program Study Hukum Keluarga Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang
penulis ajukan adalah “Penegakan Keadilan Terhadap Non-Muslim Dalam
Kewarisan Islam di Indonesia”.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan
ini penulis dengan senang hati menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin
Umar Lubis, M.A.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Mesraini, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Bapak
Ahmad Chairul Hadi, M.A.selaku sekretaris Program Studi.
4. Bapak Dr. Syahrul A’dam, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing skripsi.
5. Segenap bapak dan ibu dosen, pada lingkungan program Studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah memberikan banyak ilmu ndan pengetahuan selama duduk di bangku
kuliah.
vi
6. Ayahanda Alm. Rafiudin dan ibunda Zubaidah tercinta selaku orang tua
penulis. Terimakasih atas setiap cinta dan kasih saying serta terpancarnya doa
dan restu yang selalu mengiringi tiap langkah penulis sehingga bisa sampai
pada titik ini.
7. Kakak tercinta penulis Rahmawati, Melyadi Nata, Roiyah, Adi Prayitno,
Roheni, Alan Gusmiadi serta seorang yang selalu menemani penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini Dinia Jehan Safira.
8. Fatma Hidayah Fathuri, Imam Mukhtar Miftah, Faiqah Nur Azizah, Ahmad
Zulfi Aufar, Ahmad Syafaat, Luthfi Zakariya, Ilham Ramdani, serta semua
teman-teman Program Studi Hukum Keluarga 2015, atas segala ukiran hari
bertemakan persahabatan yang tulus murni sepanjang masa Pendidikan ini di
Program Studi Hukum Keluarga sejak awal hingga terselesainya Pendidikan.
9. Keluarga besar Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam
(LKBHMI) Cabang Ciputat, kanda Fahmi Muhammad Ahmadi, kanda Ihdi
Karim Makinara, Kanda Muhammad Isnur, kanda Teuku Mahdar Adrian,
kanda Ali Fernandes, kanda Haris Barkah, kanda Ridho Akmal Nasution,
kanda Aji Andika Mufti, kanda Fauzul, kanda Irpan Pasaribu, Kanda
Awaludin, kanda Ahmad Masyhud, kanda Zainuri, kanda M. Irpan, kanda
Humaidi, kanda Rahmat Ramdani, kanda Roni Johan, kanda Afif Kurniawan,
kanda Abdul Qadir Batubara, kanda Agustiar Hariri Lubis, kanda Triono,
kanda Ahmad Imam Santoso, Kanda Wahid Sabekti. Teman-teman
seperjuangan di LKBHMI, Direktur Onggi Sigma Utara, Dhika Amal Fatul
Hakiem, Rasyid Rahmat, Ayu Sitti serta adik-adik tercinta adinda Syukriyan,
Herman Sunaro Lubis, Jijay Zainal Arifi, Adnan Ajmain serta segenap
pengurus LKBHMI terimakasih atas kritik, saran, canda tawa, dan tangisan
haru serta bahagia yang telah dibagi dan turut dirasa. Terimakasih atas rasa
kekeluargaan yang begitu besar meski tanpa ikatan darah. Jalinan
persahabatan ini semoga Allah jaga hingga selamanya.
10. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Lampung Kiyay Uchal Darwis, Kiyay
Ibnoe Nugraha, Kiyay Riyan Hidayat, Kiyay Abdurrahman BL, kiyay
Glamora Lionda, dan segenap senior lainnya serta teman-teman seperjuangan
vii
di HML Tangsel M. kahfi, Ali Maksum, Miftahurrahman, Burhanuddin, Rifqi
Abqori Najih, Fadli, Dimas Wisa Fadholi dan lainnya.
11. Keluarga besar HMI Komfaksy, terkhusus senior Komfaksy yang banyak
memberi masukan kepada penulis yaitu Kanda Maman Rahman Hakiem dan
keluarga besar HMI Cabang Ciputat serta Pengurus DEMA FSH masa bakti
2018.
Semoga senantiasa Allah membalas kebaikannya dengan pahala yang
berlipat ganda, amiin. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis dan bagi pembaca pada umumnya.
Ciputat, 15 Januari 2020
Enday Hidayat
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iii
ABSTRAK ........................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 8
D. Review Studi Terdahulu ........................................................ 9
E. Metode Penelitian ................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 13
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG KEWARISAN
DI INDONESIA
A. Hukum Kewarisan ................................................................ 15
1. Pengertian Hukum Kewarisan ....................................... 15
2. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Islam ................ 16
3. Faktor Penyebab Waris Mewarisi ................................. 20
4. Faktor Penyebab Hilangnya Hak Waris ........................ 21
5. Asas Hukum Kewarisan Islam ..................................... 23
B. Pengertian Wasiat Wajibah .................................................. 24
1. Wasiat Wajibah Dalam Perspektif KHI ........................ 25
ix
2. Wasiat Wajibah Pasca Putusan MA Tahun 1995 .......... 26
BAB III PROBLEMATIKA KEWARISAN BEDA AGAMA DAN
PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
A. Problematika Kewarisan Beda Agama ................................. 29
1. Hak Waris Non-Muslim Atas Harta Waris Dari
Pewaris Muslim ............................................................. 29
2. Hak Waris Muslim Atas Harta Waris Dari Pewaris
Non-Muslim .................................................................. 29
B. Peradilan Agama di Indonesia .............................................. 34
1. Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia ............ 34
2. Sumber Hukum Acara Yang Berlaku di Lingkungan
Peradilan Agama ........................................................... 37
C. Penetapan Ahli Waris di Pengadilan Agama ....................... 42
BAB IV PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM DARI PEWARIS
NON MUSLIM
A. Deskripsi Perkara Waris Beda Agama Dalam Penetapan
Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. ............................................. 44
1. Duduk Perkara ............................................................... 44
2. Pertimbangan Majelis Hakim ........................................ 46
3. Penetapan Majelis Hakim .............................................. 48
B. Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Pengadilan
Agama Badung Dalam Penetapan Ahli Waris Muslim Dari
Pewaris Non-Muslim ............................................................ 49
C. Analisis Penegakan Keadilan Bagi Non-Muslim Dalam
Perkara Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg ................................. 56
D. Analisis Hukum Islam Terhadap Penetapan Ahli waris
Muslim Dari Pewaris Non-Muslim……………………….. 62
a) Analisis Tentang Kedudukan Ahli Waris Muslim Dari
Pewaris Non-Muslim ..................................................... 62
x
b) Analisis Tentang Konsep Pemisahan Harta
(Khiazatul Mal) ............................................................. 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 70
B. Saran .................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 72
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa hukum waris
merupakan salah satu bagian hukum yang terabaikan dalam kampanye
pemerintah untuk menasionalisasikan hukum diawal kemerdekaan
Indonesia. Pengabaian tersebut selaras dengan sikap pemerintah terhadap
tatanan normatif non-negara pada waktu itu, yang tidak saja merupakan
hasil dari ideologi hukum nasional yang berhulu pada UUD 1945 yang
mendahulukan persatuan dan kesatuan, tetapi juga karena negara seakan
sudah kehabisan akal tentang bagaimana menangani keragaman tradisi
kewarisan yang ada di tengah masyarakat.
Persoalannya bukan semata hukum yang bagaimana dan seperti apa
yang akan digunakan sebagai pijakan utama dalam hukum waris nasional
(apakah tradisi hukum Adat, hukum Islam atau hukum Sipil Barat) tetapi
lebih pada bagaimana menyatukan praktik-praktik yang selama ini diikuti.
Bahkan Hazairin pun mengakui kesulitan yang ditimbulkan oleh
pluralisme berbagai tradisi kewarisan yang ada. 1
Rencana hukum waris nasional yang Hazairin usulkan, ditulis
sekitar tahun 1963, dengan jujur Ia mengakui adanya perbedaan antara
sistem waris dalam masyarakat muslim dengan non-Muslim. Bahkan
ketika ditempatkan di bawah konsep bilateral-individual sekalipun, kedua
tradisi ini masih sulit untuk mencapai landasan bersama. Satu-satunya
jalan yang mungkin bagi pemerintah adalah menerima pluralisme sembari
perlahan-lahan menyesuaikan tradisi-tradisi kewarisan tersebut kedalam
ketentuan hukum waris nasional yang ditetapkan negara.
1 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, (Jakarta: Alvabet, 2008), h.437
2
Dalam konteks kekinian, pengakuan terhadap hukum waris adat
sampai taraf tertentu masih diserahkan pada keputusan hakim di
pengadilan, sementara model kewarisan Belanda, seperti yang dijelaskan
dalam Burgerlijk Wetboek, diadopsi kedalam KUHPer, sementara hukum
waris Islam dikodifikasikan dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam
tatanan tekhnis negara memberikan ruang pembeda, dengan berlakunya
UU Peradilan Agama, penyelesaian kasus-kasus waris yang melibatkan
hukum Islam harus di rujuk pada Pengadilan Agama, sementara Kasus-
kasus yang dialami orang-orang Non-Muslim akan ditangani oleh
Pengadilan Umum.2
Dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006, perubahan atas UU No. 7
Tahun 1989 dikatakan bahwa “Peradilan Agama adalah salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu”. Kewenangan tertentu yang
di maksud dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama adalah
bicara pada Kewenangan Absolut Peradilan Agama. Kewenangan absolut
tersebut di jelakan dalam pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 “bahwa
pengadilan memiliki tugas dan wewenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah”.3
Eksistensi Peradilan Agama sebagai suatu badan Peradilan yang
secara spesifik hanya bagi orang-orang yang beragama Islam dalam
masyarakat Indonesia yang sosio-masyarakatnya majemuk tidak dapat
dihindarkan dari persoalan-persoalan penegakan hukum yang adil bagi
semua warga negara, terlepas dari latar belakang agama seseorang. Hal ini
karena kemajemukan, beragam suku, agama, budaya, mengakibatkan
hubungan hukum antara pihak satu dan lainnya yang berbeda agama
2 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, h.442 3 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
3
(antar-iman) tidak dapat di hindari, khususnya dalam bidang hukum
keluarga.
Dalam praktek penegakan hukum di pengadilan, perkara waris
merupakan satu kasus yang sangat berpotensi menimbulkan sengketa
kewenangan, antara pengadilan agama dan pengadilan negeri dalam hal
terjadi perbedaan antara agama pewaris, penggugat, dan tergugat tidak di
jelaskan dalam surat gugatan, sehingga dianggap menundukan diri pada
hukum adat, atau karena sengketa waris di anggap sebagai perbuatan
melawan hukum meskipun para pihak beragama islam.4
Pasca diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989, dirubah menjadi UU
No. 3 tahun 2006, terjadi perubahan kewenangan absolut di pengadilan
negeri dalam hal kewarisan, dimana perkara waris yang dapat di tangani
terbatas hanya pada perkara waris non-muslim, dengan menggunakan
KUHPer bagi para pihak yang menundukkan diri pada KUHPer, karena
adanya tuntutan quality diantara ahli waris untuk mendapatkan bagian
yang sama dari harta warisan, tanpa membedakan latar belakang agama
dan jenis kelamin, seperti yang masih bisa kita jumpai dalam hukum adat
dan hukum islam.
Dalam praktik penegakan hukum di Pengadilan Agama, agama
perawis menjadi asas atau dasar penentu kewenangan pengadilan agama
dalam memeriksa dan mengadili perkara kewarisan. Hal ini dikarenaka
KHI hanya menganut asas kesamaan agama antara pewaris dan ahli waris
sebagaimana tertuang dalam pasal 171 huruf b dan c.5
Namun dalam praktiknya ditemukan bahwa pengadilan agama
menangani sebuah perkara kewarisan antar-iman. Dimana perkara
kewarisan tersebut melibatkan pihak muslim dan non muslim dalam dua
kasus. Pertama, pewaris non-Muslim sementara ahli waris terdiri dari
4 Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2010, h. 62-63. 5 Muhammad Isna Wahyudi, Penegakan Kewarisan Beda Agama, (Jurnal Komisi
Yudisial, 2015)
4
muslim dan/atau non-muslim, dan; Kedua, pewaris muslim sementara ahli
waris terdiri dari muslim dan non-muslim.
Pada kasus ini penulis temukan pada Penetapan Pengadilan Agama
Badung pada perkara No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Secara singkat duduk
perkara Penetapan No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. adalah bahwa Ibu Pemohon I
dan II semasa hidupnya memeluk agama Islam, kemudian pindah agama
ke agama Hindu dan meninggal pada tahun 2004 dalam keadaan beragama
Hindu. Ibu Pemohon I dan II ketika meninggal memiliki 4 orang anak, 2
anak memeluk agama islam dan 2 anak yang lain memeluk agama Hindu.
Kemudian 2 orang anak yang memeluk agama islam mengajukan
penetapan waris terhadap harta warisan yang di tinggalkan Ibunya yang
meninggal dalam keadaan beragama Hindu ke Pengadilan Agama Badung.
Dalam penetapan tersebut Majlis Hakim Memberikan
pertimbangan secara eksplisit sebagai berikut:
Menimbang bahwa Ibu Pemohon I dan II meninggal dalam
keadaan beragama Hindu, hal mana menurut pasal 171 huruf b KHI,
seorang pewaris pada saat meninggal dunia harus beragama islam.
Bilamana di hubungkan dengan Pasal 171 huruf c KHI, secara eksplisit
KHI mengatur sistem persamaan agama, yakni agama islam untuk saling
mewarisi. KHI tidak mengatur bagaimana jika pewaris itu murtad apakah
hartanya dapat di warisi oleh muslim ataukah tidak. Sepanjang dalam hal
ini Majlis Hakim memberikan pendapat sebagai berikut;
Menimbang bahwa menurut pendapat Majelis Hakim, sistem
kewarisan islam menganut sistem kekerabatan, baik secara Nasabiyah
maupun secara Hukmiyah. Sistem kekerabatan ini lebih utama jika di
bandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi.
Karena hukum islam selain mengandung unsur ibadah, juga lebih banyak
mengandung unsur muamalah. Kekerabatan seseorang takan pernah
terputus sekalipun agama mereka berbeda. Seorang anak tetap mengakui
5
ibu kandungnya meskipun ibu kandungnya tidak seagama dengannya.
Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan memutus hubungan
horizontal dengan non-muslim, lebih – lebih mereka itu ada pertalian
darah.
Bahwa dalam perkara a quo, pewaris yang bernama Ibu Pemohon I
dan II sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari islam dan meninggal
dunia dalam keadaan beragama Hindu sementara kerabat terdekatnya
masih memeluk agama Islam, maka kerabat muslim tersebut berhak
menuntut ahli waris, dalam hal ini majlis hakim menggunakan pendapat
para ulama dan secara spesifik majlis hakim menggunakan pendapat Imam
Abu Hanifah yang menyatakan bahwa semua peninggalan wanita yang
keluar dari islam diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam.6
Argumentasi yang tertuang dalam pertimbangan hakim adalah,
bahwa Hakim menganggap sistem kewarisan islam jika di lihat dan di
cermati dengan spesifif lebih utama menganut sistem kekerabatan
dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi.
Menurut penulis Argumentasi hukum yang di bangun oleh Hakim
dalam mengambil keputusan pertama telah menyimpang dari ketentuan
yang tertuang dalam pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam,
sehingga memberikan ruang kepada ahli waris muslim untuk dapat
menjadi ahli waris dari pewaris non-muslim, dan yang kedua dalam
pertimbangannya Majlis Hakim tampak tidak konsisten logika hukum
yang dibangunnya, ketika membedakan kedudukan ahli waris muslim
dengan ahli waris non muslim dalam hal pewaris berbeda agama dengan
ahli waris. Dalam pewaris muslim dan ahli waris non-muslim maka ahli
waris non muslim bukan ahli waris dan tidak dapat menuntut kewarisan
dari pewarisnya. Sementara jika pewaris non-muslim dan ahli waris
muslim maka ahli waris muslim berhak menuntut menjadi ahli warisnya
6 Penetapan No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.
6
berdasarkan hukum islam. Meskipun terdapat mekanisme wasiat wajibah
anak yang non muslim, namun hal ini tidaklah tepat diberikan kepada anak
non-muslim di mana pewarisnyapun beragama non muslim. Hal ini
memberikan persepsi diskriminatif terhadap Non-Muslim.
Berdasarkan penetapan hakim tersebut diatas, menunjukkan
sempitnya ruang penegakan keadilan, sebab terbatas hanya pada pihak
yang beragam islam, dan mengabaikan keadilan bagi pihak yang beragama
Non-Muslim. Jika dilihat secara spesifik penetapan hakim tersebut di atas
tidaklah sejalan dengan sabda Nabi Muhammad yang berbunyi:
سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم “Orang muslim tidak mewarisi
dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” (H.R.
Bukhari dan Muslim No. 6764).7 Sekalipun hadis nabi tersebut memiliki
banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam memahaminya.
Inkonsistensi logika hukum ini telah menunjukkan kebiasan
keagamaan dalam menyelesaikan perkara waris yang melibatkan Muslim
dan Non-Muslim. Bias keagamaan ini mengantarkan pada ketidakadilan
bagi ahli waris non-Muslim yang kehilangan hak untuk mendapatkan
bagian warisan dari pewaris non-Muslim, meski memiliki hubungan darah
atau perkawinan dengan pewaris serta seagama dengan pewaris.
Lagipula dalam sisi yang lain, dalam hal kewenangan menangani
perkara semacam ini akan menimbulkan konflik kewenangan
kelembagaan. Jika kemudian anak Non-Muslim merasa tidak terima atas
penetapan pengadilan Agama, lantara ia tidak berhak menuntut kewarisan
dari orang tua sedarahnya dan seagama dengannya dan membawanya ke
pengadilan negeri, karena dirasa dengan dibawanya ke pengadilan negeri
anak Non-muslim ini lebih merasa mendapatkan keadilan. Sebab dalam
7 Muhammad Ali Ash Shabuni, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’
alKitab wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2007), h. 33.
7
pengadilan negeri ketika menangani kasus kewarisan menggunakan asas
quality diantara ahli waris untuk mendapatkan bagian yang sama dari harta
warisan, tanpa membedakan latar belakang agama dan jenis kelamin.
Penyelesaian perkara waris yang mencakup pihak muslim dan non-
Muslim (kewarisanantar-iman) dalam kenyataannya menghadapi
hambatan dalam hal akses terhadap keadilan. Ketiadaan aturan tentang
kewenangan pengadilan dalam menangani perkara waris beda agama telah
menimbulkan persinggungan kewenangan pengadilan antara pengadilan
agama dan penagdilan negeri, yang justru memberikan ketidakpastian dan
ketidakadilan bagi para pencari keadilan.
Sejalan dengan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian skripsi dengan judul “PENETAPAN AHLI
WARIS MUSLIM TERHADAP PEWARIS NON MUSLIM (Studi
Analisis Yuridis Penegakan Keadilan Terhadap Non Muslim Dalam
Perkara Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.)”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari uraian tersebut di atas menimbulkan banyak persoalan
mengenai kewarisan Antar-Iman, di antaranya:
a. Sebab-sebab terjadinya kewarisan
b. Adanya permasalahan kewenangan absolut pengadilan agama
dalam menangani perkara kewarisan Antar-Iman.
c. Pertimbangan Hakim dalam Penetapan PA Badung No.
4/Ptd.P/2013/PA.Bdg.
d. Konsep keadilan dalam Kewarisan Antar-iman (Muslim dan Non-
Muslim) di Pengadilan Agama.
e. Argumentasi hakim yang membuka peluang terjadinya kebolehan
kewarisan Antar-Iman yang bertentangan dengan Jumhur Ulama.
8
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan pembahasan yang sudah dijelaskan pada latar
belakang masalah serta untuk mempertajam penelitian, maka penulis
akan membatasi masalah ini dengan judul “Penetapan Ahli Waris
Muslim Terhadap Pewaris Non Muslim (Studi Analisis Yuridis
Penegakan Keadilan Terhadap Non Muslim Dalam Perkara
Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/Pa.Bdg.)”.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas,
maka penulis merumuskan pokok masalah yang akan di kaji dalam
penelitian ini yaitu: Apakah Pengadilan Agama Badung memiliki
kewenangan untuk menangani permohonan penetapan pada Perkara
Nomor: 4/pdt.P/2013/PA.Bdg.?
Dari rumusan masalah ini melahirkan dua pertanyaan
penelitian diantaranya:
1. Bagaimana penegakan keadilan dalam masalah kewarisan yang
meliputi muslim dan non-muslim dalam penetapan di Pengadilan
Agama?
2. Bagaimana pandangan Zumhur Ulama terhadap Penetapan ahli
waris muslim dari pewaris Non-muslim oleh Majelis Hakim
Pengadilan Badung melalui Perkara Nomor:
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dasar dan pertimbangan Hakim PA Badung
No. 4/Ptd.P/2013/PA.Bdg.
b. Untuk mengetahui bagaimana penegakan keadilan dalam perkara
waris yang melibatkan pihak muslim dan non-muslim di
Pengadilan Agama.
9
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1) Untuk menambah khazanah keilmuan dalam bidang hukum
terkhusus pada kasus kewarisan Antar-Iman dalam Putusan PA
Badung bagi penulis secara khusus dan bagi pembaca pada
umumnya.
2) Menambah dan memperkaya referensi dan literatur
kepustakaan Hukum Keluarga Islam yang berkaitan dengan
analisis putusan Kewarisan Antar-Iman (Muslim dan non-
Muslim)
b. Manfaat Praktis
1) Menjadi kesempatan bagi penulis untuk membentuk dan
mengembangkan penalaran pola pikir ilmiah serta dapat
menguji dan mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh.
2) Memberi sumbangan pemikiran bagi institusi atau lembaga
yang terkait langsung dengan penelitian ini.
D. Review Study Terdahulu
Skripsi yang di tulis oleh Miftahul Hakim Bagus Hermanto
Tahun 2014 dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Tentang Ahli Waris
Beda Agama : Analisis terhadap Putusan MA RI Nomor 16K/AG/2010”.
Penelitian ini di dasarkan pada suatu pemikiran bahwa meskipun
ada ketentuan yang menyatakan bahwa seorang ahli waris harus beragama
Islam dan dikuatkan dengan hadis yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan waris mewarisi antara seorang muslim dan non muslim, tetapi
pada peraktiknya masih ada putusan penagdilan yang memberikan
kewarisan kepada ahli waris non-Muslim.
Hasil pembahasan yang Ia lakukan ini menunjukkan bahwa
mayoritas ulama menjelaskan bahwa waris beda agama tidak di
perbolehkan. Tetapi seiring berjalannya waktu dengan banyaknya putusan-
10
putusan pengadilan menunjukkan adanya perubahan dan pergeseran
hukum salah satunya adalah berlakunya Wasiat Wajibah bagi anak Non-
Muslim.
Skripsi yang ditulis oleh Istiarini Cahyaningsih Tahun 2010
dengan judul “Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok tentang Ahli
Waris Beda Agama dan Perkara Yang Diputus Secara Ultra Petita:
Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk”. Dalam skripsi ini mencoba
menjawab alasan alasan mengapa PA Depok dalam memutus perkara
dengan cara Ultra Petita, dan dalam skripsi ini hanya membahas
kedudukan ahli waris beda agama dalam penetapan kewarisan. Sementara
kedudukan pewaris yang murtad tidak dibahas, karna putusan yang di
analisis hanya terbatas pada penetapan ahli waris beda agama.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah berjenis penelitian kualitatif yang
menggunakan penelitian deskriptif. Yaitu suatu metode penelitian
yang memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan
atau gejala-gejalanya. Adapun tujuan penelitian deskriptif bertujuan
untuk memberikan gambaran suatu objek secara sistematis.8
Bahan pustaka yang digunakan putusan pengadilan,
Peraturan Perundang-undangan, buku-buku, kitab-kitab fikih, serta
yurisprudensi yang berkaitan dengan penelitian ini. Sedangkan jenis
data yang di gunakan dalam penelitian ini ialah data kualitatif.
2. Pendekatan Penelitian
Adapun jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum
normatif.9 Bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi
8 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press, 1986) h. 43 9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada 2004), h. 13
11
tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan.10
Pada penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law
in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. 11
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kasus (Case Approach), yang perlu dipahami
dalam pendekatan ini ialah teori ratio decidendi, yaitu alasan-alasan
hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada
putusannya.12
Teori ini juga didasarkan pada landasan filsafat yang
mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan
dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari
peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara
sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan
hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan
hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.13
3. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh penulis dari lapangan
berupa berkas putusan dan penetapan kewarisan beda agama.
Berkas Penetapan Pengadilan Badung No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang memberikan penjelasan
mengenai data hukum primer dan implementasinya yang
10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia, 2016), h.181 11 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 118 12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.158 13 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h.110
12
diperoleh dari bahan kepustakaan.14 Data ini terdiri dari peratutan
perundang-undangan, buku-buku yang berkaitan dengan skripsi
ini, baik yang ditulis langsung oleh penulis maupun berupa
analisis dari penulis lain.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Pustaka
Penulis mengunakan teknik pengumpulan data dengan studi
kepustakaan untuk mendapatkan teori-teori dan konsep yang
berkenan dengan metode putusan hakim melalui berbagai buku
dan literature yang dipandang mewakili dan berkaitan dengan
objek penelitian ini.
b. Studi Dokumen
Penulis memfokuskan untuk menelaah bahan-bahan atau
data-data yang diambil dari dokumentasi dan berkas yang
mengatur tentang pemeriksaan putusan dan penetapan yang
terkait masalah kewarisan beda agama dalam putusan dan
penetapan perkara Pengadilan Agama Badung
No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg..
5. Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini
adalah analisis kualitatif, yaitu penelitian yang mengasilkan data
deskriptif analisis. Dengan menggunakan pendekatan kasus (case
approach), tujuannya untuk menggambarkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan kasus yang diteliti, kemudian dianalisis
menggunakan analisis fikih, hukum positif dan analisis teori
keadilan.
.
14 Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2005), h.6
13
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengikuti buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017. Untuk memudahkan
penelitian dan pembahasan yang optimal maka pembahasannya harus di
lakukan secara terstruktur dan sistematis. Penyusun membagi pokok
pembahasan ini kedalam lima bab. Adapun sistematikan pembahasan ini
adalah sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan, terdiri dari kerangka dasar yang
menjadi acuan dalam penelitian ini. Bab ini berisi, latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, studi pustaka terdahulu, kerangka teori, metode
penelitian dan sistematika penulisan. Dalam bab ini ditekankan pada latar
belakang masalah sebagai pengantar pada pokok persoalan.
Bab II berisi pemaparan umum terkait landasan teoritis mengenai
kewarisan, di antaranya yaitu: pengertian waris, syarat dan rukun
terjadinya kewarisan, hal-hal yang membatalkan / menjadi penghalang
kewarisan. Disamping itu penulis juga menjelaskan landasan teoritis
tentang wasiat wajibah, syarat dan ketentuan berlakunya wasiat wajibah
baik menurut hukum islam maupun peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
Bab III berisi gambaran tentang permasalahan kewarisan beda
agama baik menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jumhur Ulama, dan
kewarisan beda agama dalam perspektif KUHPerdata. Disamping itu
penulis juga membahas problematika kewenangan pengadilan agama
dalam menyelesaikan permasalahan kewarisan Antar-Iman.
Bab IV berisi tentang hasil penelitian dan Analisa yang merupakan
gabungan dari hasil pengumpulan data untuk dianalisis melalui memalui
berbagai pendekatan teori diantaranya: analisis yuridis kompetensi absolut
14
Pengadilan Agama, analisis penegakan keadilan bagi Non-Muslim dalam
perkara kewarisan yang melibatkan muslim dan non-muslim, analisis
hukum Zumhur Ulama tentang kewarisan yang melibatkan muslim dan
non-muslim, serta analisis pemisahan harta (Khiazatul Mal).
Bab V adalah bab penutup yang memuat kesimpulan dari
penelitian serta analisis yang penulis lakukan. Bagian ini akan melengkapi
dan menjadi titik terang hasil penelitian serta analisis penulis. Kemudia
diakhiri dengan saran serta masukan dari penulis setelah melakukan
penelitian.
15
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hukum Kewarisan
1. Pengertian Hukum Kewarisan
Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada
orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut Al-miirats.
Sedangkan makna Al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama
ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada
ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta
(uang), tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal menurut syari’i.1
Jadi mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang
meninggal dalam hubungan hukum harta kekayaannya. Hubungan-
hubungan hukum yang lain, misalnya hubungan hukum dalam hukum
keluarga. Menurut Wirdjono Prodjodikoro hukum waris adalah hukum-
hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur, tentang apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain
yang masih hidup.2
Sementara itu A. Pitlo mengatakan, hukum waris adalam suatu
rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana berhubungan dengan
meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya didalam kebendaan, diatur
yaitu akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang
meninggal kepada ahli waris, baik didalam hubungannya antara mereka
sendiri, maupun dengan pihak ketiga.3
1 Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, (Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 2000), h. 36. 2 Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1983), h. 13. 3 A. Pitlo, Hukum Waris, Jilid 1 (Jakarta: Intermasa, 1986), h. 1.
16
Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa Hukum kewarisan Islam
mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada
yang masih hidup. Dalam literatur Hukum Islam ditemukan beberapa
istilah untuk menamakan hukum kewarisan islam seperti: Faraid, Fikih
Mawaris dan Hukum al-Waris.4 Sedangkan Hukum kewarisan menurut
KHI sebagaimana disebutkan dalam pasal 171 (a) adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.5
Istilah hukum waris dalam perdata barat disebut dengan Erfrecht.
Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan bahwa hukum waris adalah hukum
yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia
meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.6
2. Dasar Dan Sumber Hukum Kewarisan Islam
Waris merupakan berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang
sudah meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup yang telah
ditentukan dalam tuntunan al-Qur’an dan Al-Hadits, baik itu berupa harta
(uang), tanah atau apa saja yang menjadi hak milik pewaris yang sah
menurut syar’i. Diantara sumber-sumber hukum kewarisan dalam Islam
diantaranya adalah, sebagai berikut:
a. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an.
Beberapa ayat al-Qur’an yang menjadi dasar hukum waris
dalam Islam adalah sebagai berikut:
1) Surat an-Nisa’ ayat 9:
4 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 1 (Jakarta: Kencana, 2004), h. 5 5 Pasal 171 (a) Kompilasi Hukum Islam 6 Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2008), h. 247.
17
علييهمي يذة ضعفا خافوا مني خليفهمي ذر ين لوي تركوا ش ٱلذ خي ولي
ل سديدا قولوا قوي ولي فلييتذقوا ٱللذDan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (Q.S.
An-Nisa: 9).
2) Surat an-Nisa’ ayat 11:
للذ لدكمي وي ف أ فإن كنذ نساء يوصيكم ٱللذ نثييي
ٱلي كر مثيل حظ
ف فلهنذ ثلثا ما ترك وإن كنتي وحدة فلها ٱل صي ق ٱثينتيي فوي
ذمي فإن ل ا ترك إن كن لۥ ولد دس ممذ نيهما ٱلس وحد م بوييه لك
ول
ه يكن م د فل وة ۥ إخي ه ٱلثلث فإن كن ل م
بواه فل
ۥ أ ۥ ولد وورثه لذ
ناؤكمي ل بي ءاباؤكمي وأ وي ديين
د وصيذة يوص بها أ دس من بعي ٱلس
ن فريضة م عا كمي نفيقيرب ل
همي أ ي
رون أ كن عليما تدي إنذ ٱللذ ٱللذ
حكيما Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.
Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka
18
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
(Q.S. An-Nisa: 11).
3) Surat an-Nisa’ ayat 12:
فإن كن ذهنذ ولد ذمي يكن ل وجكمي إن ل زيف ما ترك أ ۞ولكمي نصي
وي ديين د وصيذة يوصي بها أ ن من بعي ا تركي بع ممذ لهنذ ولد فلكم ٱلر
ذمي يكن لذكمي ولد تمي إن ل ا تركي بع ممذ فإن كن لكمي ولد ولهنذ ٱلر
وي ديين وإن كن د وصيذة توصون بها أ ن بعي تم م ا تركي فلهنذ ٱلثمن ممذ
نيهما وحد م تد فلك خي
وي أخ أ
ۥ أ د ول ة
رأ و ٱمي
رجلد يورث كللة أ
كي دس فإن كنوا أ د ٱلس كء ف ٱلثلث من بعي لك فهمي ش ث من ذ
عليم وٱللذ ن ٱللذ وصيذة م مضار وي ديين غيي أ وصيذة يوص بها
حليمد Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar
hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika
19
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan
tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-
benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun (Q.S. An-Nisa: 12).
4) Surat An-Nisa’ ayat 33:
ا ترك ولك ل ممذ ان ٱجعلينا مو ل قيربون ٱو ليو ين ٱو لي عقدتي لذ
ييمنكمي ف إنذ أ ٱاتوهمي نصيبهمي ء شهيدا للذ شي
ك ٣٣كن علBagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan
pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu
telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada
mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuatu (Q.S. AnNisa’: 33)
b. Dalil-dalil yang bersumber dari Sunnah
Hadits Nabi Muhammad SAW yang menjadi dasar hukum
kewarisan dalam Islam adalah sebagai berikut:
سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم
“Seorang muslim tidak mewariskan kepada non muslim
(kafir), dan non muslim (kafir) tidak mewariskan kepada seorang
muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim).7
7 Muhammad Ali Ash Shabuni, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’ alKitab
wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2007), h. 33.
20
“Penganut dua agama yang berbeda tidaklah saling mewarisi.”
(HR. At Tirmidzi).8
3. Faktor Penyebab Waris Mewaris.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya proses waris
mewaris adalah sebagai berikut:9
a. Hubungan Kekerabatan (Nasab)
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang
mewariskan dengan yang mewarisi dapat digolongkan menjadi tiga
sebagai berikut:
1. Furu’ (cabang), yaitu anak turun dari si mati, seperti anak, cucu.
2. Ushul (pokok/asal), yaitu leluhur yang menyebabkan adanya si
mati. Seperti orang tua, kakek nenek.
3. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si mati melalui
garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi, dan anak
keturunan mereka,
b. Hubungan Perkawinan
Hak waris juga berlaku atas dasar hubungan perkawinan
(persemendaan) dengan artian suami menjadi ahli waris bagi istri
yang meninggal, dan istri juga menjadi ahli waris suami yang
meninggal.
c. Hubungan al-Wala’
Pengertian wala’ adalah hubungan waris mewarisi karena
kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan
budak sekalipun diantara mereka tidak ada hubungan darah. Jadi
hubungan orang yang memerdekakan budaknya memiliki hak wala’
sehingga berhak untuk turut mewarisi harta mantan budaknya jika
meninggal.
8 Muhammad Ali Ash Shabuni, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’ alKitab
wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, h. 33. 9 Aunur Rahim Faqih, Mawaris (Hukum Waris Islam), (Yogyakarta: UII Press 2017), h.
41-44.
21
d. Hubungan sesama Islam
Hubungan sesama Islam dalam hukum waris ini maksudnya
adalah apabila seorang muslim meninggal dunia tetapi ia tidak
memiliki ahli waris maka warisannya diserahkan ke perbendaharaan
umum (baitul maal) untuk kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan
umat Islam.
4. Faktor Penyebab Hilangnya Hak Waris
Terdapat tiga faktor penyebab seseorang kehilangan hak untuk
mewarisi yaitu sebagai berikut:10
a. Perbudakan
Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris, karena
dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan
kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang
budak itu statusnya sebagai harta milik tuanya. Dia tidak dapat
mewariskan harta peninggalannya, sebab ia sendiri dan segala harta
yang ada padanya adalah milik tuanya.11
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak
untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang
dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Semua jenis
budak, baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar
(budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau
mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan
dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah
pihak) merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk
diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.12
b. Pembunuhan
10 Abdul Wahid Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h.75. 11 Abdul Wahid Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif,
h.75. 12 Muhammad Ali Ash Shabuni, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’ alKitab
wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, h. 41.
22
Para ahli Hukum Islam sepakat bahwa tindakan pembunuhan
yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya pada prinsipnya
menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris
yang dibunuhnya. Berdasarkan hadist nabi: “Barang siapa membunuh
seorang korban maka ia tidak dapat mewarisnya, walaupun si korban
tidak mempunyai ahli waris selain dirinya dan jika si korban itu
bapaknya atau anaknya maka tidak ada hak mewarisi bagi
pembunuhnya”. (HR. Imam Ahmad).13
c. Berlainan Agama
Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang
menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang
mewariskan. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah Saw. dalam
sabdanya: "Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir,
dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan
Muslim).14
Seseorang yang tergolong sebagai salah satu sebab dari tiga
hal yang dapat menggugurkan hak waris tersebut di kalangan fuqaha
dikenal dengan istilah mahrum. Terdapat perbedaan halus antara al-
mahrum dan al-mahjub. Al-mahjub adalah hilangnya hak waris
seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat
kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya, sebagai contoh
kakek bersamaan dengan ayah, kakek tidak mendapat bagian waris
disebabkan adanya ayah sebagai ahli waris yang lebih dekat dengan
anak.15
13 Abdul Wahid Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif,
h.75. 14 Muhammad Ali Ash Shabuni, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’ alKitab
wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, h. 42-43. 15 Muhammad Ali Ash Shabuni, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’ alKitab
wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, h. 44.
23
5. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari keseluruhan
ayat hukum dalam al-Qur’an dan penjelasan tambahan yang diberikan
oleh Nabi Muhammad Saw., dalam hal ini akan dikemukakan lima asas-
asas hukum kewarisan Islam, diantaranya:
a. Asas Ijbari
Yaitu peralihan harta orang yang telah meninggal dunia
kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa
tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas ijbari
dalam hukum kewarisan islam tidak dalam arti yang memberatkan
ahli waris. Seandainya pewaris mempunyai hutang yang lebih besar
dari warisan yang ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani untuk
membayar hutang tersebut, hutang yang dibayar sebesar warisan yang
ditinggalkan oleh pewaris.
b. Asas Bilateral
Bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah
pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dari
pihak kerabat garis keturunan perempuan.
c. Asas Individual
Bahwa harta dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara
perorangan. Ini berarti setiap ahli waris berhak atas bagian yang
didapatnya tanpa tergaantung dan terikat dengan ahli waris lainnya.
Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang
mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada
setiap ahli waris yang berhak menurut kadar masing-masing. Bisa saja
harta warisan tidak dibagibagikan asal ini dikehendaki oleh ahli waris
yang bersangkutan, tidak dibagi-baginya harta warisan itu tidak
menghapus hak mewaris para ahli waris yang bersangkutan.
d. Asas Keadilan Berimbang
24
Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan hak dan
kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
Secara dasar dapat dikatakan bahwa factor perbedaan jenis kelamin
tidak menentukan dalam hak kewarisan sebanding dengan yang di
dapat oleh laki-laki.
e. Asas Kewarisan Semata Kematian
Bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain berlaku
setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia dan harta itu
tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang
mempunyai harta masih hidup.16
B. Wasiat Wajibah
Wasiat adalah pesan seseorang kepada orang lain untuk mengurusi
hartanya sesuai dengan pesannya itu sepeninggalnya. Jadi, wasiat
merupakan tasaruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan
setelah meninggalnya orang yang berwasiat, dan berlaku setelah perang
yang berwasiat meninggal dunia.17
Adapun wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh
penguasa atau hakim sebagai apparat negara yang mempunyai tugas untuk
memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah
meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.
Dikatakan wasiat wajibah, disebabkan karena dua hal, yaitu:
1. Hilangnya unsur ikhtiar pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban
melalui peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan, tanpa
tergantung kepada kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan
penerima wasiat
16 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 16. 17 Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, Cet 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 237.
25
2. Adanya kemiripan dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal
penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.18
Adapun diantara pembagian wasiat wajibah meliputi:
1. Wasiat Wajibah dalam Perspektif KHI
Buku II KHI Bab I Pasal 171 huruf f disebutkan bahwa wasiat
adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau
Lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.19 Adapun
rukun dan syarat-syarat wasiat, yaitu diantaranya:
1) Orang yang berwasiat (mushi) dengan syarat:
a) Berakal sehat
b) Baligh
c) Atas kehendak sendiri
d) Harta yang sah/miliknya
2) Orang yang menerima wasiat (mushalahu) dengan syarat:
a) Jelas identitasnya
b) Harus ada ketika pembuatan pernyataan wasiat
c) Cakap menjalankan tugas yang diberikan oleh pemberi wasiat.
3) Sesuatu yang diwasiatkan (mushabihi) dengan syarat:
a) Milik pemberi wasiat
b) Sudah berwujud
c) Dapat dimiliki
d) Tidak melebihi 1/3
4) Sighat wasiat dengan syarat:
Kalimat yang dapat memberi pengertian wasiat, dan
disaksikan oleh saksi yang adil atau pejabat (notaris).
18 Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur, Hukum Islam di Indonesia, Cet 2, (Yogyakarta:
Elhamra Press, 2003), h. 207. 19 Pasal 171 (f) Kompilasi Hukum Islam
26
Lebih lanjut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf f
disebutkan bahwa anak angkat dengan orang tua angkat terbina
hubungan saling berwasiat yang tertuang dalam pasal 209, yaitu:20
1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176
sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap
orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak
angkatnya.
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
2. Wasiat Wajibah Pasca Putusan MA Tahun 1995
Sebenarnya ketentuan wasiat wajibah juga telah diatur di
dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam sebagaimana yang telah di sebutkan di atas, Namun
pengaturan mengenai wasiat wajibah yang diberlakukan kepada
seseorang ahli waris berbeda agama atau non muslim belum mendapat
pengakuan serta tempat tersendiri dalam sumber- sumber hukum
islam serta kompilasi hukum islam.
KHI hanya mengakomodir wasiat wajibah hanya teruntuk
orang tua angkat ialah 1/3 dari harta warisan anak angkat dan anak
angkat iaah 1/3 dari harta warisan orang tua angkat. Tidak adanya
satupun sumber yang bermuara untuk memberikan wasiat wajibah
bagi seseorang ahli waris yang berbeda agama atau non muslim
sampai pada tahun 1994.
Semua hal tersebut dikarenakan pemberian wasiat wajibah
bagi seseorang ahli waris yang berbeda agama atau non muslim dinilai
bertentangan atau tidak sesuai dengan sumber hukum islam yang ada
20 Pasal 209 Ayat 1-2, Kompilasi Hukum Islam
27
dengan dasar ahli waris yang beragama di luar islam tidak masuk
dalam klasifikasi yang dianggap sebagai ahli waris.
Maka dengan hal tersebutlah untuk mengikuti perkembangan
zaman yang terus berkembang secara simultan dan terus menurus,
langkah untuk menciptakan suatu keadilan yang berlandaskan moral
dan kemaslahatan masyarakat yang ada, Hakim selaku pelaku
kekuasaan kehakiman telah menjalankan tugasnya dengan penuh
amanah dan tanggung jawab dengan mengeluarkan putusan yang telah
di tetapkan sebagai yurisprudensi yaitu putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 368/K/Ag/1995 sebagai pintu awal
perkembangan pengakuan terhadap ahli waris non muslim dalam
sistem kewarisan islam untuk mendapatkan pembagian harta waris
melalui wasiat wajibah.
Yurisprudensi itupun diikuti oleh yurisprudensi lainnya yaitu
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51 K/Ag/1999 yang
juga terkait pemberlakuan wasiat wajibah terhadap ahli waris non
muslim. Hal inipun secara konsisten dipertahankan oleh lembaga
peradilan dan juga hakim-hakim di Indonesia dalam menggali nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penegasan terhadap ahli waris berbeda agama atau non muslim dalam
sistem kewarisan islam ini tertuang dalam putusan Mahkamah Agung
Nomor 331 K/Ag/2018 yang dijadikan lendmark decisions
Mahkamah Agung di tahun 2018.
Walaupun, titik tolok yang seharusnya menjadi perhatian
adalah perlunya penegasan kembali dan putusan yang konsistan
terhadap dari manakah sumber yang diambil untuk wasiat wajibah
bagi ahli waris non muslim, mengambil dari harta warisan atau harta
peninggalan pewaris agar tidak terjadi kebingungan dan kejelasan
dalam penerapannya serta menjadikan kesinambungan antaran
yurisprudensi yang ada sebelumnya dengan putusan mahkamah agung
28
yang terbaru yang telah di jadikan lendmark decisions Mahkamah
Agung sebagai sumber-sumber utama bagi ahli waris berbeda agama
atau non muslim untuk menuntut keadlian dalam suatu sistem
kewarisan islam. Dengan adanya pengaturan inilah diharapkan akan
dijadikan salah satu pertimbangan oleh hakim untuk memutus
perkaranya.21
21 Jurnal Suara Hukum, Analisis Pemberian Wasiat Wajibah terhadap Ahli Waris Beda
Agama Pasca Putusan Mahkamah Agung, (file:///C:/Users/Lenovo/Downloads/4865-17021-1-
PB.pdf), diakses pada tanggal 5 Desember 2019.
29
BAB III
PROBLEMATIKA KEWARISAN BEDA AGAMA
DAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
A. Problematika Kewarisan Beda Agama
1. Hak Waris Non-Muslim atas Harta Waris dari Pewaris Muslim
Ijma’ (kesepakatan) ulama menyatakan bahwa orang kafir tidak
berhak mendapatkan waris (diwarisi) begitu pula orang murtad.
Kesepakatan ulama tersebut sebagaimana pernyataan Imam Ahmad ibnu
Hambal Rahimahullah: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara
manusia (umat Islam) bahwa seorang muslim tidak mewariskan
hartanya kepada orang kafir.”1
Ijma’ ulama’ tersebut bersumber pada hadits Nabi Muhammad
SAW: سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم “Seorang muslim tidak
mewariskan kepada non-muslim (kafir), dan non-muslim (kafir) tidak
mewariskan kepada seorang muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadits tersebut para ulama bersepakat tentang tidak
adanya hak waris bagi kerabat non-muslim atas harta waris dari pewaris
muslim. Meskipun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang hak
waris muslim atas harta waris dari pewaris non-muslim
2. Hak Waris Muslim Atas Harta Waris dari Pewaris Non-Muslim
Berkaitan dengan hak waris muslim atas harta waris dari pewaris
non muslim terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama ahli hukum
Islam. Mayoritas ulama (jumhur ulama’) berpendapat bahwa seorang
muslim tidak boleh mewarisi harta waris dari pewaris non muslim, tetapi
1 Ibnu Qudamah, Al Mughni, dikutip dari Farid Nu’man Hasan, “Hukum Fiqih Seputar
Ahli Kitab,” terdapat dalam http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputar-
ahlikitab.html, diakses tanggal 10 Desember 2019.
30
ada pendapat dari sebagian ulama yang membolehkan seorang muslim
mewarisi harta waris dari pewaris non muslim.
Pendapat yang melarang muslim mewarisi dari pewaris non
muslim merupakan pandangan empat Khulafa’ ar-Rasyidin, imam dari
empat madzhab, dan mayoritas fuqaha yang diamalkan oleh umat Islam
secara umum. Adapun dasar hukum dari pendapat tersebut bersumber
dari hadits-hadits berikut:
سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم (HR. Bukhari dan
Muslim).
“Penganut dua agama yang berbeda tidaklah saling mewarisi.”
(HR. At Tirmidzi).
Syekh Muhyidin Syaraf An-Nawawi atau lebih dikenal dengan
Imam An-Nawawi menyatakan bahwa para ulama telah sepakat (ijma’)
bahwa orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang muslim. Begitu juga
menurut mayoritas ulama (jumhur ulama’) dari kalangan sahabat, tabi’in,
dan generasi setelahnya berpendapat bahwa orang muslim tidak bisa
mewarisi harta orang kafir. Sebagai pengecualian ada minoritas ulama
yang memperbolehkan muslim mewarisi dari non-muslim, tetapi
pandangan kelompok ini menurut Imam An-Nawawi bukanlah
pandangan yang benar (shahih).2
Adapun pendapat yang membolehkan seorang muslim
memperoleh harta waris dari orang kafir yaitu pendapat Muadz bin Jabal,
Muawiyah, Said bin Al Musayyib, Masruq dan lainya,3 seperti juga
Muhammad bin Al Hanafiyah, Ali bin Al Husein, Abdullah bin Ma’qil,
2 Mahbub Ma’afi Ramdlan, Hukum Waris Beda Agama,
http://www.nu.or.id/post/read/66597/hukum-kewarisan-beda-agama-, diakses tanggal 11 Desember
2019. 3 Imam An-Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim dikutip dari Farid Nu’man Hasan,
“Hukum Fiqih Seputar Ahli Kitab,” http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputarahli-
kitab.html, diakses tanggal 11 Desember 2019.
31
Asy Sya’bi, An-Nakha’i, Yahya bin Ya’mar, dan Ishaq.4 Pendapat Imam
Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim juga membolehkan muslim
mewarisi dari non muslim.5 Demikian juga juga pendapat Yusuf Al
Qaradhawi.6
Para ulama yang membolehkan muslim mewarisi dari non
muslim beralasan bahwa makna kafir dalam hadits
سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم adalah kafir harbi. Alasan
lainnya adalah hadits dari Muadz bin Jabal r.a, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Islam itu bertambah, dan tidak
berkurang” (HR. Abu Daud).
Namun hadits ini tidak bisa dijadikan dalil, karena kelemahannya,
Imam Al Munawi mengatakan dalam sanad hadits ini terdapat rawi
(periwayat hadits) yang majhul (tidak dikenal) dan dhaif (lemah).7
Syaikh al Albani juga men-dhaif-kan hadits ini.8 Andaikan hadits tersebut
shahih juga tidak bisa dijadikan dalil mewarisi dari non muslim. Imam
Al Qurthubi mengatakan: “Hadits ini bukanlah nash yang bermaksud
seperti itu, tetapi maksudnya adalah tentang keutamaan Islam dibanding
agama lainnya, dan tidak ada kaitan dengan warisan.”9
4 Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, dikutip dari Farid Nu’man Hasan, “Hukum Fiqih
Seputar Ahli Kitab,” http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputar-ahli-kitab.html,
diakses tanggal 11 Desember 2019. 5 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, Ahkam Ahludz Dzimmah, dikutip dari Farid Nu’man Hasan,
“Hukum Fiqih Seputar Ahli Kitab,” http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqihseputar-ahli-
kitab.html, diakses tanggal 11 Desember 2019. 6 Yusuf Al Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, dikutip dari Farid Nu’man Hasan, “Hukum
Fiqih Seputar Ahli Kitab,” http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputar-ahlikitab.html,
diakses tanggal 11 Desember 2019. 7 Al-Munawi, Faidhul Qadir, dikutip dari Farid Nu’man Hasan, “Hukum Fiqih Seputar Ahli
Kitab,” http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputar-ahli-kitab.html, diakses tanggal
11 Desember 2019. 8 Al-Albani, Dha’if Jami’us Shaghir, dikutip dari Farid Nu’man Hasan, “Hukum Fiqih
Seputar Ahli Kitab,” http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputar-ahli-kitab.html,
diakses tanggal 11 Desember 2019. 9 Farid Nu’man Hasan, “Hukum Fiqih Seputar Ahli Kitab,”
http://www.portalislam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputar-ahli-kitab.html, diakses tanggal 11
Desember 2019.
32
Adapun dalil lain yang digunakan kelompok yang membolehkan
mewarisi dari non muslim yaitu:
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya” (H.R.
Ad Daruquthni dan al-Baihaqi).
Menurut Imam Nawawi, hadits tersebut tidak bisa dijadikan
sebagai hujjah (tentang kebolehan muslim mewarisi harta nonmuslim),
sebab yang dimaksudkan hadits tersebut adalah membincang keutamaan
Islam dibanding yang lain dan tidak menyinggung soal kewarisan. Lantas
bagaimana bisa hadits سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم diabaikan
dalam masalah ini? Bisa jadi hadits ini tidak sampai kepada mereka yang
membolehkan.10
Dalam masalah seorang pewaris yang telah keluar dari Islam atau
murtad terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama tentang boleh
tidaknya seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad.
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa
seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah
murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar
dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi
kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya,
bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi
harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi
sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad
diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan
10 Mahbub Ma’afi Ramdlan, Hukum Waris Beda Agama,
http://www.nu.or.id/post/read/66597/hukum-kewarisan-beda-agama-, diakses tanggal 11 Desember
2019.
33
dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan
lainnya.11
Secara lebih lanjut pendapat ulama fiqh tentang warisan orang
murtad antara lain sebagai berikut:
1. Menurut pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, riwayat
Ibnu Abbas RA, Rabiah, Abu Tsaur, dan Ibnu Mundzir, harta orang
yang murtad otomatis menjadi fa’i bagi baitul mal dan menjadi milik
kaum muslimin.
2. Menurut pendapat Abu Yusuf dan Muhammad (dua orang murid Abu
Hanifah), riwayat kedua Ahmad, riwayat dari Abu Bakar, Ali, Ibnu
Mas’ud RA, dan pendapat sekelompok orang salaf antara lain Al-
Hasan, Umar Bin Abdul Aziz, Al-Auza’i, dan Ats-Tsauri semua harta
orang yang murtad diberikan kepada para ahli warisnya yang muslim,
baik harta yang dihasilkan sebelum murtad (semasa masih muslim)
atau setelah murtad.
3. Harta orang murtad yang diperoleh sebelum kemurtadannya diberikan
kepada ahli warisnya yang masih muslim. Ini adalah pendapat Imam
Abu Hanifah dan Ishaq. Mereka melanjutkan: Sedangkan harta yang
diperolehnya selama kemurtadannya menjadi harta fai’ untuk Baitul
Mal.
4. Hartanya menjadi warisan bagi ahli warisnya yang mengikuti agama
baru yang dianut orang yang murtad tersebut. Jika tidak ada, maka
harta tersebut menjadi fai’. Ini adalah riwayat ketiga dari pendapat
Ahmad, Daud Azh-Zhahiri, riwayat dari Alqamah dan Sa’id bin Abi
Arubah. Mereka berpegang teguh pada alasan sebagai berikut. “Orang
yang murtad berstatus sama seperti kafir, sehingga pemeluk
11 Muhammad Ali Ash Shabuni, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’ alKitab
wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, h. 43.
34
agamanyalah yang berhak menerima warisan, sebagaimana halnya
kasus orang kafir harbi dan seluruh orang kafir”.12
B. Peradilan Agama Di Indonesia
1. Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia
Menurut Wahyudi, peradilan agama di Indonesia itu sudah ada
sejak masa Kolonial Belanda dan sampai sekarang masih menjadi salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia.13 Tetapi bila dilacak
lebih jauh lagi, peradilan agama telah ada sejak masa kerajaan-kerajaan
Islam sebelum era penjajahan. Kelembagaan Peradilan Agama sebagai
wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam
menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan.
Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama
mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga
peradilan agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan
pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus
keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Peradilan agama di
masa itu diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi
kemasjidan setempat. Sidang-sidang pengadilan agama berlangsung di
serambi masjid, sehingga sering disebut dengan istilah "Pengadilan
Serambi".
Pada masa penjajahan Belanda, kewenangan peradilan agama
dikurangi sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Kolonial
Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan
"landraad" (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa
untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam
12 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Lengkap, Jilid 4,
terjemahan oleh Khairul Amru Harahap, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 288-290. 13 Abdullah Tri Wahyudi, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pada
Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia, Vol. 7, No. 2, (Desember 2016),
h. 287.
35
bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan). Kemudian
Koninklijk Besluit (Sabda Raja Belanda) tanggal 19 Januari 1882 Nomor
24, Staatsblad 1882 - 152 mengubah susunan dan status peradilan agama.
Keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya dan hukum
Islam sebagai pegangannya mendapat pengakuan dan pengukuhan, tetapi
wewenang pengadilan agama yang disebut dengan “preisterraacf”
dibatasi dalam bidang perkawinan dan kewarisan.
Kemudian ketika Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan
Staatsblad 1937 Nomor 116 juga semakin mengurangi kewenangan
pengadilan agama di Jawa dan Madura dalam perkara perselisihan harta
benda. Masalah wakaf dan waris harus diserahkan kepada pengadilan
negeri. Pemerintah Kolonial Belanda berdalih bahwa dalam kenyataan
kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya
pada aturanaturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di
tempat-tempat lain di seluruh Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 3 Januari 1946 dengan
Keputusan Pemerintah Nomor l JSD dibentuk Kementrian Agama,
kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor
5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari
Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini
memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga
Islam dalam sebuah wadah badan yang bersifat nasional.14
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman mempertegas eksistensi peradilan agama. Pasal
10 undang-undang tersebut menyatakan ada empat lingkungan peradilan
di Indonesia, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer,
dan peradilan tata usaha negara. Klausula pada undang-undang tesebut
14Endah P., “Sejarah Peradilan Agama”, lihat
https://badilag.mahkamahagung.go.id/sejarah/profil-ditjen-badilag-1/sejarah-ditjen-badilag.
Diakses tanggal 15 Desember 2019.
36
secara tegas memposisikan peradilan agama yang sebelumnya hanya
dibawah Kementrian Agama sejajar dengan peradilan lain di Indonesia.
Kemudian pada tahun 1977 Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan
yang memberi hak bagi Pengadilan Agama untuk mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung. Hal ini semakin memperkuat kedudukan Pengadilan
Agama dalam sistem peradilan di wilayah yurisdiksi Indonesia.15
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama definisi Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-
orang yang beragama Islam. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 ayat (1) menegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.16
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tersebut maka Peradilan Agama merupakan salah satu
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama
badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata
Usaha Negara, dan Peradilan Militer.17 Kemudian dalam Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 18
menyatakan:
15 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo,
1992), h. 11-12.
16UUD 1945 Pasal 24 ayat 1 dan 24 ayat 2 17 Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
37
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Keempat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung ini merupakan penyelenggara kekuasaan negara di bidang
yudikatif. Oleh karena itu, secara konstitusional bertindak
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to
enforce the truth and justice) dalam kedudukannya sebagai pengadilan
negara (state court system).18 Berkaitan dengan kewenangan peradilan
agama, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 25 Ayat (3) menentukan bahwa peradilan agama
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara
antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Kekuasaan kehakiman di lingkungan
Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung.
2. Sumber Hukum Acara Yang Berlaku di Lingkungan Peradilan
Agama
a. Hukum Formil Peradilan Agama
1. HIR (Herziene Indlandsch Reglement) untuk Jawa dan Madura.
2. RBg. (Rechtsreglement Voor De Suitengewesten) untuk luar Jawa
dan Madura.
3. B.Rv. (Reglement Op De Bugerlijke Rechtsvorderiing)
diperuntukan unutk golongan Eropa yang berperkara di muka
Raad van Justicedan Residentie Gerecht. Dengan dihapuskannya
Raad van Justice dan Hoogerechtshof, B.Rv. banyak yang masih
relevan dengan perkembangan hukum acara dewasa ini,
18 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) h. 180-181.
38
misalnya, tentang formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat,
intervensi dan beberapa ketentuan hukum acara perdata lainnya.
4. BW (BurgerlijkeWetbook voor Indonesia), yang dalam bahasa
Indonesia disebut dengan KUHPerdata, terapat juga sumber
hukum acara perdata, khususnya buku IV tentag pembuktian,
yang termuat dalam Pasal 1865 s.d. 1993.
5. WvK (Wetboek van Koophandel), yang dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan KUH Dagang. Dalam kaitan dengan hukum
dagang ini, terdapat juga hukum acara perdata yang diatur dalam
failissements verordering (aturan keapailitan) yang diatur dalam
Stb. 1906 Nomor 348.
6. UU No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding
bagi pengadilan Tinggi di Jawa dan Madura, sedangkan untuk
daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg.
7. UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan UU No. 35
Tahun 1999, dan dinyatakan tidak berlaku dengan
dikeluarkannya UU No. 4 Tahun 2004 sebagai pengganti,
kemudian UU ini dinyatakan dicabut dan diganti dengan UU No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
8. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-undang Perkawinan tersebut.
9. UU Nomor 14 Tahun 1985 telah diubah dan disempurnakan
dengan UU Nomor 5 Tahun 2004, kemudian UU ini diubah
dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang
memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan
dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung.
10. UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam undang-undang
ini, khususnya Pasal 54 menyebutkan bahwa hukum acara yang
39
berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan
hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum,
kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam undang-
undang tersebut.
11. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Intruksi Permasyarakatan
Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri tiga buku, yaitu Hukum
Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan.
12. Surat Edaran Mahkamah Agung RI dan Peraturan Mahkamah
Agung RI. Sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan
hukum perdata materiil, dapat dijadikan hukum acara dalam
praktik peradilan terhadap suatu persoalan hukum yang dihadapi
oleh hakim. Surat Edaran dan Intruksi Mahkamah Agung tidak
mengikat hakim sebagaimana undang-undang. Untuk itu, para
pakar hukum berpendapat bahwa perma dan sema adalah bentuk
campur tangan Mahkamah Agung terhadap hakim dalam
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 195 HIR. Tampaknya, pendapat tersebut
ada benarnya, akan tetapi, bila dilihat Pasal 11 (4) UU Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Mahkamah
Agung berhak melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan
pengadilan lain menurut ketentuanyang ditentukan oleh undang-
undang.
13. Yurisprudensi Mahkamah Agung. Yurisprudensi yang dimaksud
alah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah
Agung dan keputusan pengadilan tinggi yang diikuti oleh hakim
lain dalam memberikan keputusan terhadap masalah yang sama.
Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut,
sebab negara Indonesia tidak menganut asas “the blinding force
of precedent.” Jadi bebas memilih antara meninggalkan
yurisprudensi dan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan
telah mendapat putusan sebelumnya. Menurut Yahya Harahap di
40
dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata mengatakan
bahwa Yurisprudensi merupakan putusan hakim mengenai kasus
tertetu (judge decision in a particular case) dan putusan yang
diambil mengandung pertimbangan yang yang mendasar yang
disebut ratio decidendi atau basic reason, berupa prinsip hukum
yang dijadikan dasar putusan yang diambil (the principle of law
which decision is based).19 Sedangkan menurut Sudikno
Yurisprudensi merupakan produk yudikatif, yang berisi kaedah
atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang
berkesangkutan atau terhukum.20 Setelah kita cermati dari
beberapa pengertian diatas bahwasanya Hakim harus berani
meninggalkan yurisprudensi kalau sekiranya Yurisprudensi itu
sudah using dan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman
dan keadaan masyarakat. Tetapi tidak ada salahnya untuk tetap
dipakai kalau yurisprudensi itu masih sesuai dengan keadaan
zaman dan sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
14. Kitab fikih Islam dan sumber hukum tidak tertulis lainnya.
Doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara
juga, hakim dapat menggali hukum acara perdata. Doktrin itu
bukan umum, melainkan sumber hukum. Sebelum berlaku UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, doktrin atau ilmu
pengetahuan hukum banyak dipergunakan oleh Hakim Peradilan
Agama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, terutama
ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fikih.
Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen
Agama Nomor B/1/1735, tanggal 18 Februari 1985 sebagai
pelaksana peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Luar Jawa dan Madura dikemukakan
19 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 830. 20 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2003), h. 112.
41
bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa
dan memutus perkara maka para hakim Pengadilan Agama
dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman hukum acara
yang bersumber dalam fikih sebagai berikut: Al-Bajuri, Fathul
Mu’in, Syarqawi atTahrir, Qalyubi/Mahalli, Fathul Wahab dan
Syarhnya, Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qawaninusy Syar’iyah lis
Sayyid bin Yahya, Qawaninusy Syar’iyah lis Sayyid Sadaqah
Dahlan, Syamsyuri fil Faraidh, Bugyatul Mustarsyidin, Al-fiqh
ala Madzahibil Arba’ah, Mugnif Muntaj. Dengan menunjuk ke-
13 kitab fikih diatas, hakim peradilan agama diharapkan dapat
mengambil mekanisme beracara dalam peradilan Islam untuk
dijadikan pedoman dalam mengadili dan menyelesaikan perkara
yang diajukan kepadanya di lingkungan Peradilan Agama.21
b. Hukum Materiil Peradilan Agama
1. Al-Qur’an dan Hadis.
2. UU Nomor 22 Tahun 1946 jo. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang
NTCR.
3. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974.
4. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbanakan sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998.
5. UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
6. UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
7. UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
8. UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang surat Berharga Syariah
Nasional.
9. UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.
21 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), h. 49.
42
11. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
12. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
13. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 02 Tahun 2008
Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).
14. Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan Ekonomi
Syariah.
15. Yurisprudensi Mahkamah Agung.
16. Qanun Aceh.
17. Fatwa Dewan Syariah Nasional.
18. Akad-akad Ekonomi Syariah.
19. PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.22
C. Penetapan Ahli Waris di Pengadilan Agama
Penetapan Ahli Waris di pengadilan agama dapat diperiksa secara
volunteer dalam hal tidak terdapat sengketa tentang keahli warisannya dan
sengketa harta warisannya, dan hanya dalam hal kepentingan tertentu
seperti untuk mengajukan klaim asuransi, taspen atau lainnya yang harus
secara tegas dicantumkan dalam amar penetapan.
Menurut Sarwohadi, cara penyelesaian perkara permohonan
Penetapan Ahli Waris yang bersifat volunteer haruslah berhati- hati, karena
perkara berbentuk permohonan sepihak tanpa ada lawannya, dan jangan
sampai meluas atau merugikan pihak lain yang semestinya juga sebagai ahli
waris tetapi oleh Pemohon sengaja tidak diikut sertakan sebagai Pemohon.
Untuk mengantisipasi hal ini, maka Hakim harus cermat dan teliti.
Adapun yang harus dibuktikan oleh Pemohon Penetapan Ahli Waris
adalah sebagai berikut:
22 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, h. 51. Baca juga
Buku II Pelaksanaan Tugas dan Adminisrasi Peradilan Agama.
43
1. Pewaris benar- benar telah meninggal dunia;
2. Ada kesepakatan seluruh ahli waris (tidak ada sengketa);
3. Ahli Waris tidak terhalang secara syar’i untuk ditetapkan sebagai
ahli waris;
4. Ada kepentingan hukum yang memerlukan segera;
5. Surat keterangan kematian Pewaris;
6. Buku Nikah/ Surat keterangan Nikah Pewaris;
7. Kartu Keluarga Pewaris;
8. Surat Keterangan Silsilah waris;
9. Keterangan saksi- saksi;
Majelis Hakim dalam membuat Penetapan Ahli Waris amarnya
harus bersifat deklaratoir contohnya: Menyatakan Pemohon adalah sebagai
ahli waris dari Pewaris, tidak boleh bersifat condemnatoir (menghukum),
dan tidak boleh konstitutif (menyatakan hukum baru) contoh: Menyatakan
Pemohon sebagai pemilik yang sah.23
23 H. Sarwohadi, “Kilas Balik Kompetensi Absolut Perkara Waris Melalui Perjuangan
Panjang”, terdapat dalam http://arsip.pta-mataram.go.id/2015/07/29/kilas-balik-
kompetensiabsolut-perkara-waris-melalui-perjuangan-panjang/. Diakses tanggal 20 Desember
2019.
44
BAB IV
PENETAPAN AHLI WARIS MUSLIM DARI PEWARIS NON-MUSLIM
A. Deskripsi Perkara Waris Beda Agama dalam Penetapan Nomor:
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.
1. Duduk Perkara
Permohonan penetapan ahli waris diajukan oleh Pemohon I dan
Pemohon II melalui kuasa hukumnya kepada Pengadilan Agama
Badung. Bapak para Pemohon lahir di Cilacap tanggal X April 1937
telah menikah dengan ibu para Pemohon, lahir di Singaraja tanggal X
Februari 1947. Keduanya menikah secara Islam di KUA Denpasar. Dari
perkawinan tersebut lahir empat orang anak secara berurutan sebagai
berikut:
a. Anak pertama seorang perempuan, lahir tanggal XX Maret 1963,
agama Hindu, beralamat di Banyuning, Singaraja. Ketika masih
hidup telah menikah dengan suaminya serta memiliki tiga orang
anak yang semuanya juga beragama Hindu.
b. Anak kedua (Pemohon I) laki-laki, lahir XX Agustus 1968, agama
Islam, bertempat tinggal di Kuta, Badung;
c. Anak ketiga, laki-laki, lahir tanggal XX April 1970, agama Hindu,
tempat tinggal di Kuta, Badung;
d. Anak keempat (Pemohon II) laki-laki, lahir tanggal XX Juni 1972,
agama Islam, alamat di Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah,
ketika permohonan ini diajukan bertempat tinggal di Kalimantan;
Kedua orang tua para Pemohon telah meninggal dunia. Ibu
kandung para Pemohon meninggal lebih dahulu pada tanggal XX Mei
2004 karena sakit, Surat Keterangan Kematian Nomor:
221/LT/SKK/IX/12 tanggal 17 September 2012, sedangkan bapak
kandung para Pemohon meninggal dunia pada tanggal XX Februari
2010, Surat Keterangan Kematian Nomor: 221/LT/SKK/IX/12 tanggal
45
17 September 2012 dari Kelurahan Kuta, Kuta Utara. Ibu para Pemohon
sebelumnya beragama Islam tetapi kemudian berpidah ke agama Hindu
dan meninggal dunia dalam keadaan Hindu, sedangkan Bapak Para
Pemohon meninggal dalam keadaan Islam. Hingga Ibu para Pemohon
meninggal dunia, Bapak dan Ibu para Pemohon tetap dalam ikatan
pernikahan.
Bapak dan ibu para Pemohon semasa hidupnya tidak pernah
membuat surat wasiat. Orang tua para Pemohon I dan II meninggalkan
harta warisan berupa 2 bidang tanah sebagai berikut:
1. Ibu Pemohon I dan II meninggalkan warisan berupa tanah seluas 250
m² (dua ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta, Badung,
Sertifikat Hak Milik No. XXX, Gambar Situasi No. XXXX/XXXX
tanggal XX September 1978, atas nama Ibu Pemohon I dan II.
2. Bapak Pemohon I dan II meninggalkan warisan berupa tanah seluas
350 m² (tiga ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta,
Badung, Sertifikat Hak Milik No. XXX, Gambar Situasi
XXXX/XXXX tanggal XX Februari 1979, atas nama Bapak
Pemohon I dan II.
Para Pemohon ingin membagi kedua bidang tanah warisan
tersebut, sehingga untuk proses dan pengurusan atas pembagian kedua
bidang tanah tersebut harus dipenuhi syarat-syaratnya yang salah
satunya adalah ada penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama.
Dalam pertimbangan alasan permohonan penetapan waris
tersebut juga ditegaskan bahwa Saudara Pertama Pemohon I dan II telah
berpindah agama ke agama Hindu karena mengikuti agama suaminya.
sehingga sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Demikian juga dengan
Saudara Ketiga Pemohon I dan II, di depan persidangan perkara Nomor
XX/Pdt.P/2012/PA.Bdg., menyatakan dengan tegas telah pindah agama
dan kini beragama Hindu. Dengan demikian menurut para Pemohon,
46
secara hukum Islam Saudara Pertama dan Ketiga Pemohon I dan II
sudah tidak berhak lagi atas harta warisan dari kedua orang tuanya yaitu
Bapak Pemohon I dan II dan Ibu Pemohon I dan II.
Permohonan penetapan waris tersebut bertujuan agar Majelis
Hakim Pengadilan Agama Badung memberi penetapan kepada
Pemohon I dan Pemohon II sebagai ahli waris yang sah dari almarhum
Bapak Pemohon I dan II dan Ibu Pemohon I dan II.
2. Pertimbangan Majelis Hakim
Adapun yang menjadi pertimbangan majelis Hakim dalam
perkara penetapan ahli waris tersebut adalah sebagai berikut:
Menimbang bahwa para Pemohon yang diwakili oleh Kuasanya
mengajukan permohonan Penetapan Ahli waris dari Ibu Pemohon I dan
II dalam halmana di saat meninggal dunia beragama Hindu. Adapun
harta peninggalannya adalah tanah dengan Sertipikat Hak Milik Nomor
XXX tanggal XX September 1979 atas nama Ibu Pemohon I dan II dan
Sertipikat Hak Milik Nomor XXX tanggal XX Februari 1979 atas nama
Bapak Pemohon I dan II;
Menimbang, bahwa karena para Pemohon beragama Islam, meskipun
pewaris beragama Hindu, Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara ini
merupakan kewenangan absolute Pengadilan Agama sebagaimana
diatur dalam Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat
dengan keterangan 2 orang saksi serta bukti P1, P2, P3, P4 dan P5,
diperoleh fakta hukum bahwa 2 Saudara Pemohon I dan II beragama
Hindu, Pemohon I dan II beragama Islam.
Menimbang, bahwa Ibu Pemohon meninggal dunia dalam keadaan
beragama Hindu. Menurut Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia tahun 1991, seorang Pewaris pada saat meninggal dunia
harus beragama Islam. Sepanjang mengenai hal ini Majelis Hakim
memberikan pendapat hukum sebagai berikut:
Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim, sistem
kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah
maupun secara hukmiyah. Sistem kekerabatan ini lebih utama bila
dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi,
karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih
banyak juga mengandung unsur muamalah.
47
Menimbang, dalam hal ini Majelis Hakim menganggap perkara
tersebut bersifat insidental. Majelis Hakim mengambil alih pendapat
Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah,
Muhammad bin Ali dan Al Masruq yang bersandar pada hadits Nabi
Muhammad Saw: “Islam itu Tinggi, dan tidak ada yang Lebih Tinggi
darinya”. (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8
hal.263), dan lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih pendapat
Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang
keluar dari Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam
(Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.265);
Menimbang, bahwa meskipun demikian, karena hukum kewarisan
Islam Indonesia mengandung asas egaliter, maka kerabat yang
beragama selain Islam yang mempunyai hubungan darah dengan
pewaris, dalam perkara a quo adalah Saudara Pertama Pemohon I dan
II dan Saudara Ketiga Pemohon I dan II, tetap berhak mendapat bagian
waris dengan jalan WASIAT WAJIBAH dengan tidak melebihi
bagian ahli waris yang sederajat dengannya (Yurisprudensi MARI dan
Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama, Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI Tahun 2011);
Dari petimbangan majelis hakim diatas dapat diketahui bahwa
meskipun pewaris yang bernama Ibu Pemohon I dan II beragama
Hindu, menurut majelis hakim perkara waris tersebut merupakan
kewenangan absolute Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam
Pasal 49 ayat 1 huruf (b) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 yang telah diubah dengan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama karena para Pemohon
beragama Islam demikian juga dengan pewaris yang bernama Bapak
Pemohon I dan II beragama Islam.
Pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam perkara waris dimana
Bapak Pemohon I dan II sebagai Pewaris beragama Islam dan Pemohon
I dan II sebagai anaknya juga beragama Islam Majelis Hakim
memandang sebagai perkara waris ideal sehingga Majelis Hakim
berpedoman pada aturan tersebut diatas tentang kewenangan absolut
pengadilan agama.
48
Adapun untuk perkara waris dengan Pewaris non muslim yaitu
Ibu Pemohon I dan II yang telah murtad (keluar dari Islam) sedangkan
dua anaknya yaitu Pemohon I dan II beragama Islam menurut Majelis
Hakim adalah perkara yang bersifat insidental, sehingga Majelis Hakim
tidak berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf b dan
c.
Dalam hal Pewaris Ibu Pemohon I dan II yang telah murtad
(keluar dari Islam) Majelis Hakim sejalan dan mengambil alih pendapat
Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad
bin Ali dan Al Masruq yang bersandar pada hadits Nabi Muhammad
Saw, yang artinya: “Islam itu Tinggi, dan tidak ada yang Lebih Tinggi
darinya”.
Secara lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih pendapat
Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang
keluar dari Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam.
Dengan demikian yang berhak mewarisi harta waris dari Ibu Pemohon
I dan II adalah Pemohon I dan II karena Saudara Pertama dan Ketiga
para Pemohon beragama selain Islam (Hindu).
Adapun untuk Saudara Pertama dan Saudara Ketiga para
Pemohon menurut pertimbangan Majelis Hakim tetap berhak mendapat
bagian waris dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian
ahli waris yang sederajat dengannya, sesuai dengan Yurisprudensi
MARI dan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama, Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI Tahun 2011.
3. Penetapan Majelis Hakim Terhadap Permohonan Penetapan Ahli
Waris Pemohon I dan Pemohon II
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas Majelis Hakim
Pengadilan Agama Badung mengeluarkan penetapan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
49
2. Menetapkan ahli waris dari Ibu Pemohon I dan II dan Bapak
Pemohon I dan II adalah Pemohon I dan Pemohon II.
3. Membebankan biaya perkara ini kepada para Pemohon sebesar Rp
186.000,00 (seratus delapan puluh enam ribu rupiah).
Berdasarkan Penetapan tersebut maka Pemohon I dan Pemohon
II memperoleh legalitas status sebagai ahli waris atas harta peninggalan
Ibu Pemohon I dan II yang beragama Hindu berupa tanah seluas 250 m²
(dua ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta, Badung, Sertifikat
Hak Milik No. XXX, Gambar Situasi No. XXXX/XXXX tanggal XX
September 1978, atas Ibu Pemohon I dan II. , dan ahli waris atas harta
peninggalan Bapak Pemohon I dan II yang beragama Islam berupa
Tanah seluas 350 m² (tiga ratus lima puluh meter persegi) terletak di
Kuta, Badung, Sertifikat Hak Milik No. XXX, Gambar Situasi
XXXX/XXXX tanggal XX Februari 1979, atas nama Bapak Pemohon
I dan II.
B. Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Pengadilan Agama Badung
dalam Penetapan Ahli Waris Muslim dari Pewaris Non-Muslim
Perkara permohonan penetapan ahli waris dalam dalam Penetapan
Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg yang ditetapkan oleh PA Badung bukan
hanya melibatkan pewaris muslim (Bapak Pemohon I dan II) dengan ahli
waris muslim (Pemohon I dan II), tetapi juga melibatkan pewaris non-
muslim (Ibu Pemohon I dan II) dengan ahli waris muslim (Pemohon I dan
II).
Meskipun demikian PA Badung tetap mengabulkan permohonan
tersebut. Majelis hakim berpendapat bahwa perkara tersebut merupakan
kewenangan absolut pengadilan agama. Kewenangan absolut atau
kewenangan mutlak adalah kewenangan suatu badan pengadilan dalam
50
memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa
oleh badan Pengadilan lain.1
Kewenangan Pengadilan Agama Badung dalam perkara
permohonan Pemohon I dan II untuk penetapan ahli waris dari Bapak
Pemohon I dan II sebagai pihak pewaris telah sesuai dengan kewenangan
pengadilan agama, karena agama Para Pemohon dan Pewaris sama-sama
Islam. Adapun tentang kewenangan Pengadilan Agama Badung dalam
perkara permohonan penetapan ahli waris beda agama antara Pemohon I
dan II yang beragama Islam dari Ibu Pemohon I dan II sebagai pihak pewaris
yang beragama Hindu perlu untuk dianalisis sesuai dengan peraturan
perundangan yang mengatur tentang kewenangan pengadilan agama.
Pertimbangan yang menjadi landasan kewenangan dalam perkara
penetapan ahli waris beda agama antara ahli waris muslim dan pewaris non-
muslim tersebut menurut Majelis Hakim PA Badung merupakan
kewenangan absolute Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam Pasal
49 ayat 1 huruf (b) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
telah diubah dengan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama.
Majelis Hakim PA Badung menggunakan Pasal 49 ayat 1 huruf (b)
dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah
dengan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai
dasar kewenagannya. Adapun secara lengkap bunyi Pasal 49 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah diubah Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 adalah sebagai berikut:
1Dirjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia Buku II Pelaksanaan Tugas dan
Adminisrasi Peradilan Agama 2010, Edisi Revisi 2013, Jakarta, 2013, h. 58.
51
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf,
Zakat, Infaq, Shadaqah dan Ekonomi Syariah”.
Lebih lanjut ketentuan dalam pasal tersebut juga diadopsi dalam
Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama yang
menyatakan: “Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi
syariah.”2
Penetapan ahli waris untuk yang beragama Islam dibuat oleh
Pengadilan Agama. Dasar hukum penetapan ahli waris yang beragama
Islam adalah Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, “Pengadilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: …
b. waris.” Berkaitan dengan penetapan waris, dalam Penjelasan Pasal 49
huruf b dituliskan: “Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian
harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan
seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
bagian masing-masing ahli waris”.
Berdasarkan Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama beserta
penjelasannya diatas maka menunjukkan bahwa penetapan ahli waris yang
2 Dirjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia Buku II Pelaksanaan Tugas dan
Adminisrasi Peradilan Agama 2010, h. 46
52
menjadi kewenangan pengadilan agama adalah penetapan ahli waris bagi
orang-orang yang beragama Islam.
Frasa “orang-orang yang beragama Islam” dalam Pasal 49 UU No.
3 Tahun 2006 tersebut apabila dihubungkan dengan perkara penetapan ahli
waris maka menimbulkan penafsiran bahwa penetapan ahli waris tersebut
bagi orang-orang yang beragama Islam baik dari pihak pewaris maupun ahli
waris. Dengan kata lain, asas personalitas ke-Islam-an melekat pada pribadi
pewaris maupun ahli waris.
Permohonan penetapan ahli waris seperti pada Penetapan Nomor
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg yang ditetapkan oleh PA Badung memang bukan
perkara sengketa waris. Permohonan penetapan ahli waris tidak dapat
dikategorikan sebagai sengketa karena hanya melibatkan kepentingan
sepihak. Berbeda dengan sengketa waris yang melibatkan kepentingan dua
pihak atau lebih. Penetapan ahli waris diajukan ke pengadilan melalui surat
permohonan (volunter) sedangkan sengketa waris melalui surat gugatan.
Hakim mengeluarkan suatu “Penetapan” terhadap perkara yang diajukan
melaui permohonan, sedangkan terhadap sengketa yang diajukan melalui
gugatan hakim mengeluarkan “Putusan”.
Sejauh penelusuran penulis, tidak ditemukan aturan atau ketentuan
dalam peraturan perundangan yang secara tegas memberi kewenangan
absolut kepada pengadilan agama untuk menangani perkara permohonan
penetapan waris bagi ahli waris muslim dari pewaris non muslim, tetapi
dalam perkara sengketa waris terdapat beberapa dasar hukum yang bisa
menjadi pijakan kewenangan pengadilan agama dalam menangani sengketa
waris beda agama, yaitu:
1. Pasal 50 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang
berbunyi:
1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek
53
sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.
2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam,
obyek tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara
sebagaimana dimaksud dalam pasal (49).
Berdasarkan pasal tersebut maka kewenangan pengadilan agama
dalam penanganan perkara sengketa waris terbatas pada orang-orang
yang beragama Islam.
2. Dalam Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan
Agama yang diberlakukan berdasarkan Peraturan Ketua Mahkamah
Agung Nomor : KM/032/SK/IV/2006 Tentang Pemberlakuan Buku II
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama tanggal 4
April 2006, menyatakan bahwa, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
menganut asas personalitas keislaman, sehingga segala sengketa antara
orang-orang yang beragama Islam mengenai hal-hal yang diatur dalam
Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah
diubah dengan Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan
kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 menjadi
kewenangan Pengadilan Agama. Asas ini tidak berlaku dalam dalam
kasus-kasus sebagai berikut:
a. Sengketa di bidang perkawinan yang perkawinannya tercatat di Kantor
Urusan Agama, meskipun salah satu (suami atau isteri) atau kedua belah
pihak (suami isteri) keluar dari agama Islam.
b. Sengketa di bidang kewarisan yang pewarisnya beragama Islam,
meskipun sebagian atau seluruh ahli waris non muslim.
c. Sengketa di bidang ekonomi syariah meskipun nasabahnya non muslim.
54
d. Sengketa di bidang wakaf meskipun para pihak atau salah satu pihak
tidak beragama islam.
e. Sengketa di bidang hibah dan wasiat yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam.
Semua sengketa tersebut di atas meskipun sebagian subjek
hukumnya bukan beragama Islam, tetap diselesaikan oleh Pengadilan
Agama / Mahkamah Syar'iyah.3
Poin b diatas menunjukkan jika pihak pewaris beragama Islam
maka perkara sengketa waris menjadi kewenangan dari Pengadilan Agama
meskipun sebagian atau seluruh ahli waris beragama selain Islam. Dengan
demikian, asas personalitas ke-Islam-an hanya dikenakan pada pewaris,
asalkan Pewaris beragama Islam maka Pengadilan Agama yang memiliki
kewenangan untuk menangani sengketa waris.
3. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 07 Tahun 2012 Tentang
Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman
Tugas Bagi Pengadilan.
Berdasarkan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah
Agung Republik Indonesia Tanggal 03 s/d 05 Mei 2012 yang dicantumkan
dalam SEMA Nomor 07 Tahun 2012 menyatakan bahwa: “Agama pewaris
menentukan pengadilan yang berwenang. Pewaris yang beragama Islam
sengketa kewarisannya menjadi kewenangan peradilan agama,” Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia
tersebut menegaskan kewenangan pengadilan agama dalam menangani
sengketa waris dimana pihak Pewaris beragama Islam.
Sejauh penulis mengkaji beberapa peraturan perundangan tidak
ditemukan dasar hukum yang secara khusus menunjukkan kewenangan
Pengadilan Agama untuk menangani permohonan penetapan ahli waris
3 Dirjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia Buku II Pelaksanaan Tugas dan
Adminisrasi Peradilan Agama 2010, h. 49
55
muslim dari pewaris non muslim. Apabila kewenangan penanganan perkara
penetapan ahli waris disamakan atau dianalogikan dengan kewenangan
pengadilan agama dalam menangani perkara sengketa waris, maka
pengadilan agama tentu tidak memiliki kewenangan menanganani perkara
penetapan ahli waris jika pihak pewaris beragama selain Islam. Sebab
sengketa waris yang menjadi kewenangan pengadilan agama terbatas hanya
jika pihak pewaris beragama Islam.
Secara spesifik dengan merujuk pada kalimat, “Agama pewaris
menentukan pengadilan yang berwenang”, sebagaimana tercantum dalam
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung Republik
Indonesia Tanggal 03 s/d 05 Mei 2012, Pengadilan Agama tidak berwenang
untuk menangani perkara permohonan penetapan ahli waris bagi pewaris
beragama selain Islam. Abdul Ghafur al-Anshari juga berpendapat bahwa
hukum waris yang berlaku adalah berdasarkan agama pewaris. Jadi bukan
berdasarkan agamanya para ahli waris. Apabila pewaris beragama Islam,
hukum waris yang berlaku adalah hukum waris Islam. Begitu juga apabila
pewaris beragama selain agama Islam, hukum waris yang berlaku menurut
agama pewaris tersebut.4 Dengan demikian dalam perkara penetapan ahli
waris, agama pewaris menjadi pertimbangan yang menentukan pengadilan
mana yang berwenang untuk memberi penetapan. Jika pewaris beragama
Islam, digunakan hukum Islam. Sehingga penetapan ahli waris menjadi
kewenangan Pengadilan Agama. Sebaliknya, jika pewaris beragama selain
Islam maka digunakan hukum perdata (KUHPerdata), sehingga menjadi
kewenangan Pengadilan Negeri.
Berdasarkan analisis di atas, dapat diketahui bahwa secara yuridis
Pengadilan Agama Badung tidak memiliki kewenangan untuk menangani
perkara permohonan penetapan ahli waris dari Ibu Pemohon I dan II yang
beragama selain Islam (Hindu). Pewaris yang beragama selain Islam (non
4 Abdul Ghafur al-Anshari, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 tahun 2006,
(Yogyakarta: UII Press, 2007), h. 55.
56
muslim), perkara kewarisannya menjadi kewenangan peradilan umum,
sehingga penetapan ahli waris dari Ibu Pemohon I dan II yang beragama
selain Islam (Hindu) seharusnya dilimpahkan kepada pengadilan negeri.
C. Analisis Penegakan Keadilan Bagi Non-Muslim Dalam Perkara
Penetapan di Pengadilan Agama Badung Nomor:
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.
Keadilan merupakan salah satu ajaran pokok dalam Islam yang
bersifat universal. Melalui sejumlah ayat dalam Al Quran, yaitu:
a. QS. An-Nisa Ayat 58, 135
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa: 58).
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia
kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(QS. An-
Nisa: 135)
b. QS. Al-Maidah Ayat 8, 42
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai
penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, Karena (adil) itu
lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-Maidah: 8)
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita
bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi)
datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah
(perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika
57
kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi
mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan
perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka
dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
(QS. Al-Maidah :42)
c. QS. An-Nahl Ayat 90
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran. (QS. An-Nahl :90)
d. QS. Asy-Syura Ayat 15
Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan
tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah
mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: "Aku beriman
kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan
supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan
Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal
kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah
mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya-lah kembali (kita)".
(QS. Asy-Syura: 15)
e. QS. Al-Hujurat Ayat 9
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau
yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah
yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali
pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara
keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil;
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS.
Al-Hujurat: 9)
f. QS. Al-Hadid Ayat 25
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang
padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya
Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-
rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah
Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Hadid:25).
58
g. QS. Al-Mumtahanah Ayat 8
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Ayat-ayat Al-Quran tersebut memberikan gambaran secara filosofis
bahwa Islam memerintahkan penegakan keadilan bagi semua orang.
Bahkan, Islam memerintahkan untuk menegakkan keadilan meskipun
terhadap nonmuslim selama mereka tidak menyerang dan mengusir umat
muslim. Ayat-ayat tersebut haruslah mampu di implementasikan dalam
kerangka kehidupan bersama demi terpenuhinya keadilan pada setiap
manusia secara keseluruhan terkhusus oleh manusia yang memegang
amanah sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Jangan sampai karna berlaian
agama membuat kita berlaku tidak adil.
Dari gambaran ayat Al-Quran di atas, jika penulis kaitkan dengan
putusan Pengadilan Agama Badung, Penulis mencermati bahwa Pengadilan
Agama Badung dalam pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari
penetapannya sangat keliru dalam mengambil kesimpulan hukum, dan tidak
mencerminkan terimplementasikannya Ayat-Ayat Al-Quran di atas.
Bagaimana tidak, Hak saling mewarisi yang seharusnya menjadi domain
anak yang sama agamanya dengan pewaris, justru tidak di berikan haknya.
Lebih-lebih dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan jika Anak
yang Agamanya sama dengan Pewaris ingin mendapatkan warisan, hanya
dapat di tempuh melalui mekanisme wasiat wajibah.
Argumentasi tersebut di bangun oleh hakim secara dominan
bersandar pada dua hal:
Pertama hadis yang menyatakan bahwa “Islam itu tinggi dan tidak
ada yang lebih tinggi darinya”. Argumentasi hukum ini menurut padangan
Penulis sangatlah tidak tepat di gunakan dalam permasalahan ini. Hakim
tidak menempatkan sesuatu dengan secara proporsonal. Jika segala sesuatu
59
tidak di letakkan secara proporsional maka secara otomatis keadilan tidak
akan tercapai. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa Adil
adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sebab, jika semua
permasalahan hukum, terkhusus dalam permasalahan Islam berhadapan
dengan Agama selain Islam selalu menggunakan hadits ini, sejatinya itu
bukanlah membuat Islam menjadi tinggi, melainkan menjadikan Islam
menjadi agama yang tidak humanis dan jauh dari nilai-nilai keadilan.
Bukankah Islam mengajarkan bahwa dalam menegakkan sesuatu jangan
sampai mendzolimi orang lain.
Kedua, dalam pertimbangannya, Hakim mengatakan bahwa Alasan
utama dalam Kewarisan Islam adalah alasan kekerabatan, bukan alasan
persamaan agama. Jika penulis analisis argumentasi hukum yang di bangun
oleh hakim tersebut, tidaklah berjalan selaras dengan penetapan yang di buat
oleh hakim. Seharusnya jika dalam pertimbangan hukumnya, Hakim
mengatakan alasan utama dalam kewarisan Islam adalah alasan
kekerabatan, maka seharusnya anak yang beragama Hindu harus menjadi
Ahli Waris, bukan Wasiat Wajibah.
. Jika pada kasus pewaris beragama Islam dan ada ahli waris yang
keluar dari agama Islam, hakim dengan lantang mengatakan anak yang
keluar dari Islam (yang tidak sama dengan agama pewaris) tidak
mendapatkan waris, sebab kewarisan dalam Islam mengandung asas
persamaan agama dan tidak bisa saling mewarisi antara muslim dan non
muslim. Namun, dalam kasus pewaris beragama Hindu dan ahli waris ada
yang beragama Islam dan ada yang beragama Hindu, hakim justru malah
menetapkan anak yang ber agama Islam lah yang berhak menjadi ahli waris,
sementara anak yang jelas-jelas memiliki agama yang sama dengan pewaris
(yaitu agama Hindu) justru tidak di tetapkan sebagai ahli waris dan malah
di tetapkan hanya berhak mendapatkan Wasiat Wajibah. Cara pandang
beragama seperti ini adalah cara pandang beragama yang mendua dan tidak
mencerminkan penegakan keadilan.
60
Dalam pandangan lain, penulis mengamati argumentasi kedua yang
dibangun oleh hakim di atas akan melahirkan akibat hukum baru. Sebab jika
hakim mengatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa alasan utama
kewarisan dalam Islam adalah alasan kekerabatan dan bukan persamaan
agama, maka sejatinya telah menimbulkan pandangan hukum baru, yaitu
kebolehan saling mewarisi antara agama Islam dan selain Islam. Ini
mengakibatkan pertentangan dengan Hadits Nabi yang mengatakan bahwa:
“Seorang muslim tidaklah mewariskan ke orang kafir, dan orang
kafir tidaklah mewariskan ke seorang muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Penganut dua agama yang berbeda tidaklah saling mewarisi.”
(HR. At Tirmidzi).
Radbruch, dalam tulisannya yang berjudul Five minutes of legal
philosophy, yang di terbitkan dalam Oxford Journal of Legal Studies tahun
2006 memberikan gambaran bahwa keadilan berarti menjatuhkan putusan
tanpa memandang kedudukan seseorang serta memperlakukan setiap orang
dengan standar yang sama. Keadilan, merupakan salah satu nilai hukum,
selain kemanfaatan, dan kepastian hukum. Kepastian hukum yang menjadi
karakter hukum positif harus mengalah kepada keadilan.5
Immanuel Kant mengatakan bahwa keadilan itu bertitik tolak dari
martabat manusia. Dengan demikian pembentukan hukum harus
mencerminkan rasa keadilan dan bertujuan untuk melindungi martabat
manusia. Keadilan merupakan prisip normatif fundamental bagi negara.6
Teori lain yang berbicara tentang keadilan adalah teori yang
dikemukakan oleh John Rawls. Dalam teorinya dikemukakan bahwa ada
tiga hal yang merupakan solusi bagi problema keadilan. Pertama prinsip
kebebasan yang sama bagi setiap orang (principle of greatest equal liberty).
Kedua prinsip perbedaan (the difference principle). Ketiga prinsip
5 G. Radbruch, Five minutes of legal philosophy, (Oxford Journal of Legal Studies, 2006),
h. 13.
6 Franz Magniz Suseno, Etika Politik, (cetakan ke-tiga) (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 334.
61
persamaan yang adil untuk memperoleh kesempatan bagi setiap orang (the
principle of fair equality of opportunity).7
Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota
masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial dan
hukum yang ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik, di
mana keadilan sebagai fariness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip
pengaturan institusi-institusi yang ada di dalamnya termasuk Pengadilan.
Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota
masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang
ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik di mana keadilan
sebagai fariness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip pengaturan institusi-
institusi yang ada di dalamnya. Titik-tolak Rawls dalam merancang teori
keadilannya adalah konsepsinya tentang person moral yang pada dasarnya
memiliki dua kemampuan moral, yakni: 1) kemampuan untuk mengerti dan
bertindak berdasarkan rasa keadilan dan dengan itu juga didorong untuk
mengusahakan suatu kerja sama sosial; dan 2) kemampuan untuk
membentuk, merevisi, dan secara rasional mengusahakan terwujudnya
konsep yang baik. Rawls menyebut kedua kemampuan ini sebagai a sense
of justice dan a sense of the good.
Rawls juga memandang bahwa kesepakatan yang fair hanya bisa
dicapai dengan adanya prosedur yang tidak memihak. Hanya dengan suatu
prosedur yang tidak memihak, prinsip-prinsip keadilan bisa dianggap fair.
Karenanya, bagi Rawls, keadilan sebagai fairness adalah “keadilan
prosedural murni”. Dalam hal ini, apa yang dibutuhkan oleh mereka yang
terlibat dalam proses perumusan konsep keadilan hanyalah suatu prosedur
yang fair (tidak memihak) untuk menjamin hasil akhir yang adil pula.
7 John Rawls, Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (judul asli A Theory of Justice), Terjemahan Uzair Fauzan dan
Heru Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 502.
62
Thomas Aquinus, Aristoteles dan Agustinus juga memiliki
pandangan yang sama bahwa hukum dan keadilan memiliki hubungan
timbal balik, yaitu bahwa hukum diciptakan berdasarkan nilai-nilai atau
kaidah-kaidah moral yang adil, Agustinus mengajarkan bahwa hukum abadi
yang terletak dalam budi Tuhan ditemukan juga dalam jiwa manusia.
Partisipasi hukum abadi itu tampak dalam rasa keadilan, yaitu suatu sikap
jiwa untuk memberi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Dari pemikiran para tokoh di atas, penulis menyimpulkan bahwa
filosofi utama dari hakekat hukum adalah keadilan. Ide keadilan
dicerminkan oleh keputusan yang menentang dilakukannya hukuman yang
tidak equal. Hukum yang tidak mencerminkan keadilan sejatinya bukanlah
sebuah hukum “lex injusta non est lex”.
Realitasnya, hukum dalam masyarakat khususnya pada putusan atau
penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan kadang berbeda dengan yang
dicita-citakan yang menyebabkan semakin menjauhkan hukum dari
hakekatnya. Keadilan seolah hanya menjadi jargon belaka. Oleh karenanya
dibutuhkan institusi-institusi penegakan hukum yang menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan.
D. Analisis Hukum Islam Terhadap Penetapan Ahli Waris Muslim Dari
Pewaris Non-Muslim.
a) Analisis Tentang Kedudukan Ahli Waris Muslim Dari Pewaris Non-
Muslim.
Pada awalnya Ibu Pemohon I dan II beragama Islam tetapi kemudian
ia memeluk agama Hindu hingga meninggal dunia. Perpindahan agama dari
Islam ke Hindu, dalam perspektif agama Islam menunjukkan bahwa Ibu
Pemohon I dan II adalah seorang murtadah (wanita yang keluar dari agama
Islam).
Harta peninggalan (tirkah) Ibu Pemohon I dan II berupa sebidang
tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor XXX tanggal XX September
63
1979 atas nama Ibu Pemohon I dan II. Ketika wafat Ibu Pemohon I dan II
meninggalkan suami (Bapak Pemohon I dan II) yang beragama Islam dan
empat orang anak, dua beragama Islam (Pemohon I dan II) dan dua
beragama Hindu (Saudara Pertama dan Ketiga Pemohon I dan II).
Berdasarkan Penetapan Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Majelis Hakim
menetapkan Pemohon I dan II yang beragama Islam sebagai ahli waris dari
Ibu Pemohon I dan II yang beragama Hindu. Penetapan hakim tersebut
menunjukkan bahwa ahli waris muslim berhak untuk mewarisi harta waris
dari pewaris non muslim.
Hukum materiil Peradilan Agama di bidang waris adalah hukum
kewarisan KHI dan yurisprudensi yang bersumber dari al-Qur’an, Hadis dan
Ijtihad.8 Majelis Hakim dalam perkara penetapan ahli waris muslim dari
pewaris non muslim (murtadah) tersebut memandangnya sebagai perkara
insidental sehingga tidak berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Apabila dianalisis lebih lanjut, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
menjadi hukum materiil pengadilan agama memang tidak menjelaskan
perbedaan agama pewaris dan ahli waris dalam perkara kewarisan. KHI
hanya menjelaskan bahwa status agama ahli waris dan pewaris adalah Islam.
Sebagaimana terdapat Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf b dan c:
a. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama
Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
b. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.
Sebagaimana tercantum dalam Penetapan Nomor:
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, Majelis Hakim dalam perkara penetapan ahli waris
muslim dari pewaris non muslim tersebut berpedoman pada pendapat
Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad bin
8 Dirjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia Buku II Pelaksanaan Tugas dan
Adminisrasi Peradilan Agama 2010, h. 141.
64
Ali dan Al Masruq yang dikutip dari kitab Fiqhul Islamy wa Adillatuhu, Juz
8 hal.263, karya Wahbah Al Zuhaili, yang bersandar pada hadits Nabi
Muhammad Saw: “Islam itu tinggi dan tidak ada Islam itu tinggi dan tidak
ada yang lebih tinggi darinya.” (H.R. ad-Daruqutni dan al-Baihaqi)
Secara lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih pendapat Imam
Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari
Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam (Wahbah Al
Zuhaili, Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu, Juz 8 hal.265).
Apabila di analisis lebih lanjut memang terdapat perbedaan pendapat
di kalangan ulama ahli fiqih tentang hak bagi muslim untuk menjadi ahli
waris dari pewaris non muslim. Syekh Muhyiddin Syaraf An-Nawawi atau
lebih dikenal dengan Imam An-Nawawi menyatakan bahwa para ulama
telah sepakat (ijma’) bahwa orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang
muslim. Begitu juga menurut mayoritas ulama (jumhur ulama’) dari
kalangan sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya berpendapat bahwa orang
muslim tidak bisa mewarisi harta orang kafir. Sebagai pengecualian ada
minoritas ulama yang memperbolehkan muslim mewarisi dari non muslim,
tetapi pandangan kelompok ini menurut Imam An-Nawawi bukanlah
pandangan yang benar (shahih).9 Pernyataan Imam an-Nawawi tersebut
menunjukkan bahwa mayoritas ulama (jumhur ulama’) berpendapat bahwa
seorang muslim tidak boleh mewarisi harta waris dari pewaris non muslim,
tetapi ada pendapat dari sebagian ulama yang membolehkan seorang
muslim mewarisi harta waris dari pewaris non muslim.
Adapun dasar hukum dari pendapat jumhur ulama’ yang melarang
muslim mewarisi dari non muslim bersumber dari hadits Nabi Muhammad
SAW berikut: “Seorang muslim tidaklah mewariskan ke orang kafir, dan
orang kafir tidaklah mewariskan ke seorang muslim.” (HR. Bukhari dan
9 Mahbub Ma’afi Ramdlan, “Hukum Waris Beda Agama,” terdapat dalam
http://www.nu.or.id/post/read/66597/hukum-kewarisan-beda-agama-, Diakses tanggal 20
Desember 2019.
65
Muslim). “Penganut dua agama yang berbeda tidaklah saling mewarisi.”
(HR. At Tirmidzi).
Kedua hadits di atas secara jelas dan tegas menunjukkan larangan
bagi muslim mewarisi dari non muslim demikian juga bagi non muslim
mewarisi dari muslim.
Adapun dalil yang digunakan kelompok ulama yang membolehkan
muslim mewarisi dari non muslim yaitu: “Islam itu tinggi dan tidak ada
yang lebih tinggi (darinya)” (HR. Ad Daruquthni dan Al Baihaqi).
Hadits “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi (darinya)”
tersebut juga menjadi landasan pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al
Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad bin Ali dan Al Masruq untuk
membolehkan muslim mewarisi dari non muslim yang kemudian dijadikan
pedoman oleh majelis hakim PA Badung dalam menetapkan ahli waris
muslim dari pewaris non muslim. Berdasar hadits tersebut Imam Abu
Hanifah mengeluarkan pendapat tentang ahli waris dari orang yang murtad
sebagaimana dikutip oleh Wahbah azZuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami
wa Adillatuh sebagai berikut: “Abu Hanifah mengatakan ahli waris muslim
mewarisi dari laki-laki murtad, apa yang diperoleh pada saat dia masih
Islam, adapun apa yang diperoleh pada saat murtad menjadi fa’i Baitul
Mal. Perempuan murtad, semua harta peninggalannya untuk ahli waris
yang muslim”.10
Dari pendapat Abu Hanifah tersebut dapat diketahui bahwa Majelis
Hakim PA Badung menggunakan pendapat beliau yang menyatakan
Perempuan murtad, semua harta peninggalannya untuk ahli waris yang
muslim sebagai dasar hukum untuk menetapkan Pemohon I dan II sebagai
Ahli Waris dari ibu mereka yang telah murtad dari agama Islam menjadi
Hindu.
10 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 10, terjemahan oleh Abdul Hayyie
al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2016), h. 360.
66
Pendapat Abu Hanifah tentang harta wanita murtad diwarisi oleh
oleh ahli warisnya yang muslim berbeda dengan pendapat menurut
mayoritas ulama (jumhur ulama) dari madzhab Maliki, Syafi'i, dan
Hambali. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh
juga menuliskan tentang pendapat jumbur ulama tersebut: Mayoritas ulama
(Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) mengatakan bahwa orang murtad
tidak mewarisi juga tidak diwarisi sebagaimana kafir asli. Hartanya menjadi
fai (rampasan) untuk Baitul Mal, baik dia memperolehnya pada saat Islam
atau pada saat murtad.11
Ali ash-Shabuni juga menjelaskan pendapat jumhur ulama
Malikiyyah, Syafiiyyah, dan Hanabilah bahwa seorang muslim tidak berhak
mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka,
orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam. Sehingga secara
otomatis orang tersebut telah menjadi kafir, sebagimana ditegaskan
Rasulullah Saw bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling
mewarisi.
Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa pendapat yang
membolehkan orang muslim mewarisi dari non muslim dan secara khusus
harta wanita murtadah diwarisi oleh ahli waris yang muslim bersandar pada
hadits Nabi: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi (darinya)”,
sedangkan pendapat jumhur ulama’ yang melarang hal tersebut bersandar
pada hadits Nabi: “ سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم ”. Menurut
pendapat Imam an-Nawawi hadits tersebut (“al-Islamu ya’lu wala yu’la
‘alaih”) tidak bisa dijadikan sebagai hujjah (tentang kebolehan muslim
mewarisi harta non-muslim), sebab yang dimaksudkan hadits tersebut
11 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 10, terjemahan oleh Abdul Hayyie
al-Kattani, dkk., h. 360.
67
adalah membincang keutamaan Islam dibanding yang lain dan tidak
menyinggung soal kewarisan.12
Sejalan dengan pendapat jumhur ulama tentang kewarisan beda
agama diatas, Fatwa Majelis Ulama Islam (MUI) Nomor: 5/MUNAS
VII/MUI/9/2005 Tentang Kewarisan Beda Agama menetapkan kewarisan
beda agama sebagai berikut:
1. Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar
orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan
nonmuslim);
2. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat
dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
Dalam masalah kewarisan beda agama, menurut penulis lebih tepat
jika mengikuti pendapat jumhur ulama’ dan Fatwa MUI yang berpedoman
pada hadits Nabi: “ سلم يرث لا سلم الكافر يرث ولا الكافر، الم الم ”, karena
hadits ini secara jelas dan tegas telah menunjukkan adanya larangan bagi
muslim mewarisi dari non muslim dan non muslim mewarisi dari muslim.
b) Analisis Tentang Konsep Pemisahan Harta (Khiazatul Mal)
Dalam kajian Fiqih Islam klasik, hukum islam lebih memandang
adanya keterpisahan antara harta suami dan istri. Apa yang dihasilkan oleh
suami adalah harta miliknya, begitupula sebaliknya, apa yang dihasilkan
istri, merupakan harta miliknya. Sebagai kewajibannya, suami memberikan
sebagian hartanya itu kepada istri atas nama nafkah, yang untuk selanjutnya
digunakan istri bagi keperluan rumah tangganya. Tidak ada penggabungan
harta, kecuali dalam bentuk Syirkah yang untuk itu dilakukan suatu akad
khusus untuk Syirkah. Tanpa akad tersebut harta tetap terpisah.13
12 Mahbub Ma’afi Ramdlan, “Hukum Waris Beda Agama,” terdapat dalam
http://www.nu.or.id/post/read/66597/hukum-kewarisan-beda-agama-. Diakses tanggal 20
Desember 2019.
13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h.
175-176
68
Khoiruddin Nasution menyatakan, bahwa hukum Islam mengatur
sistem terpisahnya harta suami istri sepanjang yang bersangkutan tidak
menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hukum
Islam memberikan kelonggaran kepada pasangan suami istri untuk
membuat perjanjian perkawinan yang pada akhirnya akan mengikat secara
hukum.14
Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa hukum Islam memberikan
pada masing-masing pasangan baik suami atau istri untuk memiliki harta
benda secara perorangan yang tidak bisa diganggu masing-masing pihak.
Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya berhak
menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu tanpa adanya campur
tangan istri. Hal tersebut berlaku pula sebaliknya. Dengan demikian harta
bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak
milik masing-masing pasangan suami istri.15
Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya masalah harta bersama tidak
disinggung secara jelas dan tegas alam hukum Islam, sehingga terbuka bagi
ahli hukum Islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan qiyas. Harta
bersama dapat di-qiyas-kan sebagai syirkah karena dapat dipahami bahwa
istri juga dapat dihitung pasangan (kongsi) yang bekerja, meskipun tidak
ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Yang dimaksudkan
adalah pekerjaan istri seperti mengurus rumah tangga, memasak, mencuci,
mengasuh anak dan keperluan domestik lainnya.
Dari dua pandangan pakar di atas dapat dilihat, bahwa memang
ketentuan Islam yang memisahkan harta kekayaan suami istri itu sebenarnya
akan memudahkan pasangan suami istri apabila terjadi proses perceraian
karena prosesnya menjadi tidak rumit dan berbelit-belit.
14 Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta: Academia dan TAZZAFA,
2005), h. 192.
15 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 120
69
Dari pemaparan tersebut, jika penulis kaitkan dengan permasalahan
kewarisan yang melibatkan Antar-Iman, secara khusus terhadap penelitian
yang penulis lakukan, maka lebih bisa meminimalisir konflik dalam proses
kewarisan yang melibatkan muslim dan non-muslim.
Khusus dalam perkara Nomor: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. jika konsep
hukum islam tentang pemisahan harta suami dan istri tersebut di terapkan
dalam kasus ini maka akan melahirkan keputusan hukum yang lebih
mencerminkan keadilan dan proporsional. Dimana dua anak yang beragama
islam, yang mengajukan permohonan menjadi ahli waris, Hakim Agama
badung tetapkan dua anak tersebut menjadi ahli waris dari harta ayahnya
yang juga telah meninggal dunia dalam keadaan Muslim tahun 2010, serta
dua anak yang beragama Hindu juga di tetapkan sebagai ahli waris dari
Ibunya yang meninggal dalam keadaan Agama Hindu tahun 2004 di
pengadilan Negeri. Proses seperti ini dimungkinkan lebih bisa memberikan
rasa keadilan kepada kedua belah pihak, baik muslim maupun Non-Muslim,
serta tidak memunculkan sengketa kewenangan Pengadilan dalam
penyelesaian perkara kewarisan tersebut.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara yuridis Pengadilan Agama Badung tidak memiliki kewenangan
untuk menangani perkara permohonan penetapan ahli waris muslim dari
pewaris Non-muslim. Sebagai mana tertuang dalam Rumusan Hasil
Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Tanggal 03 s/d 05 Mei 2012 yang dicantumkan dalam SEMA Nomor 07
Tahun 2012. Agama pewaris menentukan pengadilan yang berwenang.
Perkara waris, menjadi kewenangan pengadilan agama, jika pewaris
beragama Islam. Sedangkan, untuk pewaris yang beragama selain Islam,
menjadi kewenangan badan peradilan umum.
2. Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Badung Nomor:
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg tidak mencerminkan rasa keadilan bagi Non-
Muslim. Seharusnya anak yang beragama sama dengan pewaris yaitu
beragama Hindu yang berhak menjadi ahli waris, bukan justru di beri
melalui mekanisme Wasiat Wajibah. Sebab prinsip kewarisan dalam
Islam melihat dalam keadaan agama apa pewaris meninggal dunia.
3. Penetapan ahli waris muslim dari pewaris Non-muslim oleh Majelis
Hakim Pengadilan Badung melalui Penetapan Nomor:
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg ditinjau dari perspektif hukum Islam berlawanan
dengan pendapat mayoritas ulama (jumhur ulama’) yang bersandar pada
hadits Nabi Muhammad SAW: سلم يرث لا سلم الكافر يرث لاو الكافر، الم الم
yang secara jelas menunjukkan larangan saling mewarisi antara muslim
dan Non-muslim. Majelis Hakim Pengadilan Badung justru mengambil
pendapat minoritas ulama yang bersandar pada hadits Nabi Muhammad
SAW: “Islam itu Tinggi, dan tidak ada yang lebih Tinggi darinya” yang
secara spesifik tidak membahas tentang kewarisan.
71
B. Saran
Dari penelitian yang telah penulis lakukan, maka penulis memberikan saran
terhadap beberapa pihak, antara lain sebagai berikut:
1. Terhadap lembaga pengadilan, dalam hal ini penulis memberikan saran
bahwa hakim pengadilan agama yang menangani perkara waris
hendaklah mempertimbangkan agama yang dianut oleh pewaris.
Mengingat secara yuridis agama pewaris menentukan pengadilan yang
berwenang. Dalam memutuskan atau mengeluarkan produk hukum
terkait dengan perkara kewarisan yang tidak diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam sebaiknya hakim pengadilan agama menggunakan rujukan
hukum Islam dari al-Qur’an/al-Hadits, kesepakatan ulama (ijma’
ulama’), atau pendapat dari mayoritas ulama (jumhur ulama’).
2. Terhadap akademisi, bahwa pendalaman untuk mencari formula hukum
yang berkeadilan sangatlah penting. Oleh karenanya saran dari penulis
adalah pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak
memberikan rasa keadilan harus terus di lakukan. Sehingga dapat
menjadi kritik dan saran dalam memajukan hukum yang berkeadilan di
negara Indonesia.
3. Bagi masyarakat, bahwa pemahaman terhadap hukum haruslah di
tingkatkan sehingga jika dalam proses hukum ada yang tidak berjalan
dengan keadilan maka masyarakat mampu mengoreksinya. Penulis
mengajak agar masyarakat secara bersama-sama memahami hukum,
sebab pemahaman terhadap hukum mampu neningkatkan pemahaman
kita pada hak dan kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Presindo, 1992.
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Lengkap, Jilid 4,
terjemahan oleh Khairul Amru Harahap, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Ali Ash Shabuni, Muhammad. Al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhau’
alKitab wa al-Sunnah, terjemahan oleh A. M. Basalamah, Pembagian Waris
Menurut Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2007.
Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004.
Asyhari dan Syukur Abd. Djunaidi. Hukum Islam di Indonesia, Cet 2,
Yogyakarta: Elhamra Press, 2003.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 10, terjemahan oleh Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk., Jakarta: Gema Insani, 2016.
Basyir, Ahmad Azhari. Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Dirjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia Buku II Pelaksanaan Tugas
dan Adminisrasi Peradilan Agama 2010, Edisi Revisi 2013, Jakarta, 2013.
Ghafur al-Anshari, Abdul. Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 tahun
2006, Yogyakarta: UII Press, 2007.
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Wahyudi, Muhamad Isna Penegakan Kewarisan Beda Agama, Jurnal Komisi
Yudisial, 2015.
Lukito, Ratno Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Jakarta: Alvabet, 2008.
Magniz Suseno, Franz. Etika Politik, cetakan ke-tiga, Jakarta: Gramedia, 2003.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia, 2016.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2003.
73
Moleong, Lexi Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya,
2005.
Muhibbin, Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum
Positif, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Mujahidin, Ahmad. Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2012.
Nasution, Khoiruddin. Hukum Perkawinan I, Yogyakarta: Academia dan
TAZZAFA, 2005.
Nuansa Aulia, Dkk., Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan,
Kewarisan, dan Perwakafan, Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2015.
Pitlo, A. Hukum Waris, Jilid 1, Jakarta: Intermasa, 1986.
Projodikoro, Wiryono. Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1983.
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2010.
Rahim Faqih, Aunur. Mawaris (Hukum Waris Islam), Yogyakarta: UII Press
2017.
Rawls, John. Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (judul asli A Theory of Justice),
Terjemahan Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006.
Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum Oleh Hakim. Jakarta: Sinar Grafika. 2014.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja
Grafindo Persada 2004.
Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum. Jakarta:UI Press. 1986.
Sulaiman, Rasjid. Fiqih Islam, Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 2000.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam, Cet. 1, Jakarta: Kencana, 2004.
74
Triwulan, Titik. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:
Kencana, 2008.
Umam, Dian Khairul. Fiqh Mawaris, Cet 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
JURNAL
Jurnal Suara Hukum, Analisis Pemberian Wasiat Wajibah terhadap Ahli Waris
Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Agung, diakses pada tanggal
5 Desember 2019.
Radbruch, G. Five minutes of legal philosophy, Oxford Journal of Legal Studies,
2006.
Tri Wahyudi, Abdullah. “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia
Pada Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia,
Vol. 7, No. 2, Desember 2016.
WEBSITE
http://arsip.pta-mataram.go.id/2015/07/29/kilas-balik-kompetensiabsolut-perkara-
waris-melalui-perjuangan-panjang/.
http://www.nu.or.id/post/read/66597/hukum-kewarisan-beda-agama-,
http://www.portal-islam.id/2011/04/hukum-fiqih-seputar-ahli-kitab.html,
https://badilag.mahkamahagung.go.id/sejarah/profil-ditjen-badilag-1/sejarah-
ditjen-badilag.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945.
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P E N E T A P A NNomor:4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Badung yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada
tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan dalam perkara Permohonan Penetapan Ahli
Waris yang diajukan oleh :
1. PEMOHON I, umur 44 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kuta, Kabupaten
Badung, selanjutnya disebut PEMOHON I;
2. PEMOHON II, umur 40 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Sukoharjo, Kabupaten
Sragen, Jawa Tengah, sekarang tinggal di Kalimantan, selanjutnya disebut sebagai
PEMOHON II;
Pemohon I dan Pemohon II (selanjutnya disebut Para Pemohon) telah memberikan Kuasa
Khusus kepada KUASA HUKUM I PEMOHON I DAN II., KUASA HUKUM II
PEMOHON I DAN II dan KUASA HUKUM III PEMOHON I DAN II Para Advokat
dan Advokat yang berkantor di Kota Denpasar berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal
X Februari 2013 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Badung tanggal
XX Februari 2013;
Pengadilan Agama tersebut;
Setelah membaca berkas perkara;
Setelah mendengarkan keterangan pihak-pihak dan saksi-saksi;
Setelah memeriksa bukti-bukti di persidangan;
TENTANG DUDUKNYA PERKARA
Menimbang, bahwa Para Pemohon melalui Kuasa Para Pemohon mengajukan
permohonan Penetapan Ahli Waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON
I DAN II, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Bahwa ayah para Pemohon yakni BAPAK PEMOHON I DAN II lahir di Cilacap
tanggal X April 1937 telah menikah dengan ibu para Pemohon yang bernama IBU
PEMOHON I DAN II, lahir di Singaraja tanggal X Februari 1947;
2. Bahwa dari perkawinan tersebut di atas telah dilahirkan 4 (empat) orang anak sebagai
berikut;
a. SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II (sudah meninggal), anak pertama,
perempuan, lahir tanggal XX Maret 1963, agama Hindu, beralamat di Banyuning,
Singaraja;
Page 1 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
b. PEMOHON I , anak kedua, laki-laki, lahir XX Agustus 1968, agama Islam, bertempat
tinggal di Kuta, Badung;
c. SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, anak ketiga, laki-laki, lahir tanggal XX
April 1970, agama Hindu, tempat tinggal di Kuta, Badung;
d. PEMOHON II, anak keempat, laki-laki, lahir tanggal XX Juni 1972, agama Islam,
alamat di Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, kini tinggal di Kalimantan;
3. Bahwa mendiang SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II semasa hidup telah
menikah dengan SUAMI SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dan
memiliki 3 orang anak yaitu;
3.1 ANAK KE I SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, perempuan, lahir tanggal X Mei
1986, agama Hindu;
3.1 ANAK KE II SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, laki-laki, lahir XX Mei 1996,
agama Hindu;
3.2 ANAK KE III SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, perempuan, lahir XX Mei 2004,
agama Hindu;
4. Bahwa PEMOHON I menikah dengan ISTRI PEMOHON I, memiliki 5 orang anak
yaitu;
4.1 ANAK KE I PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama
Islam;
4.2 ANAK KE II PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, laki-laki, agama Islam;
4.3 ANAK KE III PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama
Islam;
4.4 ANAK KE IV PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama
Islam;
5.5 ANAK KE I PEMOHON V dengan ISTRI PEMOHON I, laki-laki, agama Islam;
5. Bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II menikah dengan ISTRI
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, memiliki 3 orang anak:
5.1. ANAK KE I SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, perempuan,umur 17 tahun;
5.2. ANAK KE II SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, laki-laki, umur 15 tahun;
5.3. ANAK KE III SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, laki-laki, umur 8 tahun;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
6. Bahwa PEMOHON II menikah dengan ISTRI PEMOHON II, memiliki 2 orang anak
yaitu;
6.1 ANAK KE I PEMOHON II dengan ISTRI PEMOHON II, laki-laki, agama Islam;
6.2 ANAK KE II PEMOHON II dengan ISTRI PEMOHON II, laki-laki, agama
Islam;
7. Bahwa kedua orang tua para Pemohon telah meninggal dunia, ibu kandung para
Pemohon meninggal lebih dahulu pada tanggal XX Mei 2004 karena sakit, Surat
Keterangan Kematian Nomor: XXX/XX/XXX/XX/XX tanggal XX September 2012,
bapak kandung para Pemohon meninggal dunia pada tanggal XX Februari 2010, Surat
Keterangan Kematian Nomor: XXX/XX/XXX/XX/XX tanggal XX September 2012
dari Kelurahan Kuta, Kuta Utara;
8. Bahwa ayah para Pemohon dan ibu para Pemohon semasa hidupnya tidak pernah
membuat surat wasiat;
9. Bahwa semasa hidupnya, orang tua para Pemohon memiliki 2 bidang tanah yang kini
disebut sebagai tanah/harta warisan, berupa:
9.1 tanah seluas 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta,
Badung, Sertifikat Hak Milik No.XXX, Gambar Situasi No. XXXX/XXXX
tanggal XX September 1978, atas nama IBU PEMOHON I DAN II;
9.2 tanah seluas 350 m2 (tiga ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta,
Badung, Sertifikat Hak Milik No.XXX, Gambar Situasi No. XXX/XXXX tanggal
XX Februari 1979, atas nama BAPAK PEMOHON I DAN II;
10. Bahwa SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II telah berpindah agama ke
agama Hindu karena mengikuti agama suaminya, sehingga sesuai dengan ketentuan
hukum Islam, maka SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II tidak lagi menjadi
ahli waris dari orang tuanya yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU
PEMOHON I DAN II;
11. Bahwa demikian juga dengan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, di depan
persidangan perkara Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Bdg. menyatakan dengan tegas telah
pindah agama dan kini beragama Hindu, dengan demikian pernyataan tersebut
membuktikan bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II tidak berhak lagi
atas harta warisan dari orang tuanya yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II dan
IBU PEMOHON I DAN II;
12. Bahwa di antara para Pemohon tidak ada permasalahan mengenai pembagian harta
peninggalan dan para Pemohon telah sepakat untuk membagi harta warisan secara adil
dan merata;
Page 3 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
13. Bahwa para Pemohon ingin membagi kedua bidang tanah warisan tersebut, sehingga
untuk proses dan pengurusan atas pembagian kedua bidang tanah tersebut haruslah
dipenuhi syarat-syaratnya yang salah satunya adalah ada penetapan ahli waris dari
Pengadilan Agama;
Bahwa dari uraian-uraian di atas, para Pemohon bermohon agar kiranya Bapak Ketua
Pengadilan Agama Badung berkenan membuka suatu persidangan untuk keperluan itu,
memeriksa permohonan ini serta menetapkan/memutuskan sebagai berikut:
PRIMAIR
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menetapkan:
a. PEMOHON I, umur 44 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kuta, Kabupaten
Badung;
b. PEMOHON II, umur 40 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Sukoharjo, Kabupaten
Sragen, Jawa Tengah;
Adalah ahli waris yang sah dari almarhum BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU
PEMOHON I DAN II;
3. Membebankan biaya perkara yang timbul dari permohonan ini kepada para
Pemohon;
SUBSIDAIR
Apabila Bapak Ketua Pengadilan Agama Badung berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya;
Menimbang, bahwa para hari persidangan yang telah ditetapkan Pemohon I hadir di
persidangan secara inperson didampingi Kuasanya;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah menjelaskan mengenai akibat penetapan ini
ahli waris bukan saja mewarisi harta warisan tapi juga mewarisi hutang pewaris, namun
Pemohon I menyatakan tetap melanjutkan permohonannya;
Menimbang, bahwa selanjutnya dibacakan surat permohonan Pemohon, atas
pertanyaan Majelis Hakim, Pemohon I memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai
berikut:
• Bahwa Pemohon I beragama Islam;
• Bahwa ayah para Pemohon yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II beragama
Islam;
• Bahwa ibu para Pemohon yang bernama IBU PEMOHON I DAN II beragama Hindu;
• Bahwa orang tua BAPAK PEMOHON I DAN II bernama XXXXXXX dan
XXXXXX sudah meninggal dunia lebih dahulu;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa Pemohon I lupa nama orang tua Ni Made Rai Ningsih, namun keduanya sudah
meninggal dunia lebih dahulu;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain, dan tidak
mempunyai anak angkat;
• Bahwa para Pemohon memerlukan penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama untuk
mengurus penjualan harta peninggalan dari BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU
PEMOHON I DAN II, karena pihak Notaris tidak mau mengeluarkan akta jual beli
sebelum ada penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama;
Menimbang, bahwa kemudian Pemohon I melalui Kuasanya mengajukan alat bukti
sebagai berikut :
1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk nomor XX.XXXX.XXXXXX.XXXX atas nama
PEMOHON II dan Nomor:XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama PEMOHON I,
bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan
ternyata cocok dengan aslinya (bukti P.1);
2. Fotokopi Kutipan Akta Nikah nomor: XXX/XX/XXX/2008 atas nama PEMOHON II
dan ISTRI PEMOHON II, dikeluarkan oleh KUA Sidoharjo Kabupaten Sragen
tanggal XX Desember 2008, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di
pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(bukti P.2);
3. Fotokopi Kutipan Akta Nikah nomor XXX/XX/XXXX/2008 atas nama PEMOHON I
dan ISTRI PEMOHON I, dikeluarkan oleh KUA Kuta Kabupaten Badung tanggal XX
Agustus 2008, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah
diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(bukti P.3);
4. Fotokopi Kartu Keluarga nomor XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama kepala
keluarga PEMOHON II, dikeluarkan oleh Kadispenduk Capil Kabupaten Sragen
tanggal XX Juli 2011, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan,
telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.4)
5. Fotokopi Kartu Keluarga nomor XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama kepala
keluarga PEMOHON I, dikeluarkan oleh Kadispenduk Capil Kabupaten Badung
tanggal X Agustus 2011, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di
pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.5);
6. Fotokopi Surat Keterangan Kematian Nomor XXX/XX/XXX/XX/XX atas nama IBU
PEMOHON I DAN II, dikeluarkan oleh Kepala Lingkungan XXXXX, Kuta,
Kabupaten Badung, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan,
telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.6);
7. Fotokopi Surat Keterangan Kematian Nomor XXX/XX/XXX/XX/XX atas nama
BAPAK PEMOHON I DAN II, dikeluarkan oleh Kepala Lingkungan XXXXX, Kuta,
Page 5 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Kabupaten Badung, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan,
telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.7);
8. Fotokopi Surat Pernyataan Waris tanggal X Oktober 2012 yang ditandatangani oleh
Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai
pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata
cocok dengan aslinya(P.8);
9. Fotokopi Surat Pernyataan Silsilah tanggal X Oktober 2012 yang ditandatangani oleh
Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai
pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata
cocok dengan aslinya(P.9);
10. Fotokopi Surat Pernyataan Pembagian Waris tanpa tanggal yang ditandatangani oleh
Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai
pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata
cocok dengan aslinya(P.10);
11. Fotokopi Sertipikat Hak Milik Nomor XXX, Kuta, Kabupaten Badung, tanggal XX
September 1978, atas nama IBU PEMOHON I DAN II, bermeterai pos dan telah
didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan
aslinya(P.11);
12. Fotokopi Sertipikat Hak Milik Nomor XXX, Kuta, Kabupaten Badung, tanggal XX
Februari 1979, atas nama BAPAK PEMOHON I DAN II, bermeterai pos dan telah
didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan
aslinya(P.12);
13. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang atas nama wajib pajak BAPAK
PEMOHON I DAN II, Kuta, Kabupaten Badung, dikeluarkan oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Badung tanggal X Januari 2012, bermeterai pos dan telah
didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan
aslinya(P.13);
Menimbang, bahwa Kuasa Pemohon juga mengajukan saksi-saksi sebagai berikut;
1. SAKSI PERTAMA, umur 70 tahun, agama Hindu, pekerjaan ibu rumah tangga,
tempat tinggal di Buleleng, Kabupaten Buleleng, di bawah sumpahnya menerangkan
sebagai berikut;
• Bahwa saksi kenal dengan BAPAK PEMOHON I DAN II, yang merupakan suami
dari saudara misan saksi yang bernama IBU PEMOHON I DAN II;
• Bahwa saksi menyaksikan pernikahan BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU
PEMOHON I DAN II di Denpasar, menikahnya secara agama Islam;
• Bahwa saksi pernah ikut tinggal bersama BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU
PEMOHON I DAN II di Kuta, Badung;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa dari pernikahan BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU PEMOHON I
DAN II mendapat 4 orang anak, yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II,
PEMOHON I, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II;
• Bahwa SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, ikut
suaminya;
• Bahwa PEMOHON I beragama Islam;
• Bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu;
• Bahwa PEMOHON II beragama Islam;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2004 karena sakit;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dikuburkan di pekuburan Hindu, namun
sebelumnya beragama Islam;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II juga telah meninggal dunia tahun 2010 karena
sakit, dalam keadaan beragama Islam;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II tidak pernah
bercerai;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain, dan tidak
mempunyai anak angkat;
• bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II mempunyai 2
buah rumah di Kuta yang ditempati anak-anaknya;
• bahwa saksi mendengar rumah tersebut akan dijual;
2. SAKSI KEDUA, umur 68 tahun, agama Hindu, pekerjaan purnawirawan polisi,
tempat tinggal di Buleleng, Kabupaten Buleleng, di bawah sumpahnya menerangkan
sebagai berikut;
• Bahwa saksi adalah kakak kandung IBU PEMOHON I DAN II;
• Bahwa saksi menyaksikan pernikahan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK
PEMOHON I DAN II di KUA Denpasar;
• Bahwa dari perkawinan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I
DAN II mendapat 4 orang anak, yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II,
PEMOHON I, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2004 dalam keadaan
beragama Hindu dan dikuburkan di pekuburan Hindu;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2010 dalam
keadaan beragama Islam;
• Bahwa anak-anak BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II ada
yang beragama Islam yaitu PEMOHON I dan PEMOHON II, dan ada yang beragama
Page 7 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hindu yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dan SAUDARA KETIGA
PEMOHON I DAN II;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II tidak pernah
bercerai;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain juga tidak
mempunyai anak angkat;
• Bahwa setahu saksi BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II
meninggalkan dua buah rumah di Kuta;
• Bahwa setahu saksi BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II
tidak meninggalkan hutang;
• Bahwa orang tua BAPAK PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia lebih dahulu;
• Bahwa orang tua IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia lebih dahulu;
• Bahwa setahu saksi pengajuan penetapan ahli waris ini untuk keperluan penjualan
harta peninggalan tersebut oleh ahli warisnya;
Menimbang, bahwa selanjutnya Pemohon I memberikan kesimpulan secara lisan
tetap pada dalil permohonannya dan mohon segera dijatuhkan penetapan;
Menimbang, bahwa seluruh jalannya persidangan, tercatat dalam Berita Acara
Persidangan ini dan merupakan satu kesatuan dari dan telah turut dipertimbangkan dalam
penetapan ini;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah
sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang, bahwa para Pemohon yang diwakili oleh Kuasanya mengajukan
permohonan Penetapan Ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dalam halmana di saat
meninggal dunia beragama Hindu. Demikian juga para Pemohon mengajukan permohonan
Penetapan Ahli waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II yang juga telah meninggal dunia
dalam keadaan beragama Islam. Dalam keterangannya di persidangan para Pemohon juga
bermohon agar penetapan ini dapat digunakan sebagai alas hak bagi ahli waris IBU
PEMOHON I DAN II dan ahli waris BAPAK PEMOHON I DAN II terhadap tanah dengan
Sertipikat Hak Milik Nomor XXX tanggal XX September 1979 atas nama IBU PEMOHON I
DAN II dan Sertipikat Hak Milik Nomor XXX tanggal XX Februari 1979 atas nama BAPAK
PEMOHON I DAN II;
Menimbang, bahwa karena para Pemohon beragama Islam demikian juga dengan
pewaris yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II beragama Islam, meskipun pewaris
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
yang bernama IBU PEMOHON I DAN II disebutkan beragama Hindu, Majelis Hakim
berpendapat bahwa perkara ini merupakan kewenangan absolute Pengadilan Agama
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 1 huruf (b) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 yang telah diubah dengan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama;
Menimbang, bahwa Pemohon I sebagai pihak yang mengajukan perkara secara
voluntair berdomisili di wilayah Kabupaten Badung, maka perkara ini secara relative menjadi
kewenangan Pengadilan Agama Badung;
Menimbang, bahwa perkara ini adalah permohonan penetapan ahli waris, maka
yang perlu dibuktikan adalah apakah pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan apakah
meninggalkan ahli waris yang akan mewarisinya dan tidak terhalang secara syar’i untuk
ditetapkan sebagai ahli waris.
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil permohonannya para Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti tertulis (P1 sampai dengan P13) berupa fotokopi bermeterai cukup
serta telah dicocokkan dan ternyata sesuai dengan aslinya, maka majelis Hakim menilai alat
bukti tersebut sah sebagai alat bukti berdasarkan pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1985 tentang Bea Meterai dan pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
2000 tentang Perubahan tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan harga Nominal
Yang Dikenakan Bea Meterai jo Pasal 1888 KUH Perdata jo Pasal 301 RBG;
Menimbang, bahwa meskipun saksi-saksi yang dihadirkan Para pemohon berasal
dari kerabat semenda dengan para Pemohon, namun menurut Majelis Hakim tetap memenuhi
syarat formil karena keterangan yang diberikan saksi adalah mengenai kedudukan/status
keperdataan para Pemohon dengan pewaris, serta keterangan saksi tersebut diberikan di bawah
sumpah dan di persidangan (vide Pasal 171, 172 ayat 2 dan 175 RBG jo Pasal 1905, 1910 ayat
2 dan Pasal 1911 KUH Perdata). Demikian pula secara materil keterangan para saksi tersebut
dapat diterima karena para saksi memberikan keterangannya berdasarkan pengetahuan dan
penglihatannya sendiri (vide Pasal 308 RBG jo Pasal 1907 ayat 1 KUH Perdata). Oleh karena
itu apa yang diterangkan saksi-saksi menurut pendapat Majelis Hakim dapat meneguhkan dalil
permohonan Para Pemohon;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon yang dikuatkan dengan
keterangan para saksi di bawah sumpahnya yang menerangkan melihat dan tahu perkawinan
IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II dilakukan secara Islam di
KUA Denpasar, dan antara IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II
tidak pernah bercerai, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa sampai meninggalnya IBU
Page 9 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
PEMOHON I DAN II, antara IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN
II masih terikat dalam pernikahan;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan
keterangan dua orang saksi serta bukti P4, P5, dan P9, diperoleh fakta hukum bahwa dari
perkawinan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II diperoleh 4
(empat) orang anak yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, PEMOHON I,
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan
keterangan 2 orang saksi serta bukti P1, P2, P3, P4 dan P5, diperoleh fakta hukum bahwa
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, PEMOHON I beragama
Islam, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, dan PEMOHON II
beragama Islam;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan Pemohon, bukti P6 dan keterangan para
saksi, IBU PEMOHON I DAN II telah meninggal dunia dalam keadaan beragama Hindu
meski sebelumnya beragama Islam, halmana menurut Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia tahun 1991, seorang Pewaris pada saat meninggal dunia harus beragama
Islam. Bilamana dihubungkan dengan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, secara
eksplisit Kompilasi Hukum Islam menganut sistem persamaan agama, yakni agama Islam
untuk dapat saling mewarisi. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur bagaimana sekiranya
pewaris itu murtad (keluar dari Islam), apakah hartanya dapat diwarisi oleh muslim ataukah
tidak. Sepanjang mengenai hal ini Majelis Hakim memberikan pendapat hukum sebagai
berikut;
Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim, sistem kewarisan Islam
menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem
kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang
mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga
mengandung unsur muamalah. Kekerabatan antara seorang dengan seseorang tidak akan
pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui ibu
kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu agama dengannya. Islam tidak
mengajarkan permusuhan dengan memutuskan hubungan horizontal dengan non muslim,
terlebih-lebih mereka itu ada pertalian darah;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim memandang penghalang kewarisan karena
berbeda agama, haruslah dipahami secara cermat. Perbedaan agama itu ditujukan semata-mata
kepada ahli waris. Bilamana seseorang ingin menjadi ahli waris untuk mendapatkan harta
warisan dari pewaris, jangan sekali-kali berbeda agama dengan pewarisnya yang muslim.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Sekiranya hal itu terjadi, maka non muslim tersebut tidak dapat menuntut agar dirinya menjadi
ahli waris dan mendapatkan harta warisan dari pewaris menurut hukum Islam;
Menimbang, bahwa dalam perkara a quo, pewaris yang bernama IBU PEMOHON I
DAN II sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari Islam dan kemudian meninggal dunia
dalam keadaan non muslim sementara kerabat terdekatnya tetap memeluk agama Islam, maka
kerabat muslim tersebut tetap menjadi ahli waris, dalam hal ini Majelis Hakim sejalan dan
mengambil alih pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah,
Muhammad bin Ali dan Al Masruq yang bersandar pada hadits Nabi Muhammad Saw ى عليه (رواه الدارقطنى والبيهقى) ولا يعل و م يعل لا Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul)الإس
Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.263), dan lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih
pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari
Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul
Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.265);
Menimbang, bahwa pertimbangan hukum di atas, tidak berarti Majelis Hakim
menyalahi aturan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf b dab c, Majelis Hakim
memandang Pasal 171 huruf b dab c tersebut di atas harus dipahami sebagai aturan umum
dalam kasus-kasus ideal, sementara perkara a quo adalah perkara yang bersifat insidental;
Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam menyelesaikan perkara waris dalam
kasus yang ideal di mana pewaris dan ahli warisnya beragama Islam, Majelis Hakim akan
merujuk kepada pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, sementara itu, dalam halmana pewarisnya
murtad (telah keluar dari Islam), Majelis Hakim akan merujuk kepada pendapat Hukum yang
Majelis Hakim uraikan di atas;
Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi dan bukti P6 diperoleh fakta hukum,
ternyata IBU PEMOHON I DAN II yang kemudian menjadi non muslim telah meninggal
dunia dalam keadaan non muslim pada tanggal XX September 2004 dengan meninggalkan
seorang suami bernama BAPAK PEMOHON I DAN II yang beragama Islam, dan 4
(empat) orang anak yakni SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu,
PEMOHON I beragama Islam, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama
Hindu, dan PEMOHON II beragama Islam, oleh karena itu dengan menunjuk uraian
pertimbangan hukum yang dikemukakan di atas, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli
waris dari IBU PEMOHON I DAN II adalah BAPAK PEMOHON I DAN II, PEMOHN I
dan PEMOHON II;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon, diperkuat dengan
keterangan para saksi dan bukti P7, diperoleh fakta hukum bahwa BAPAK PEMOHON I
DAN II telah meninggal dunia karena sakit pada tanggal XX Februari 2010 dalam keadaan
beragama Islam;
Page 11 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan bukti P9
dan keterangan 2 orang saksi yang menerangkan bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak
mempunyai isteri lain dan tidak mempunyai anak angkat, dan kedua orang tuanya telah
meninggal dunia lebih dahulu, maka diperoleh fakta hukum bahwa BAPAK PEMOHON I
DAN II ketika meninggal dunia hanya meninggalkan 4 (empat) orang anak yakni SAUDARA
PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, PEMOHON I beragama Islam,
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, dan PEMOHON II beragama
Islam;
Menimbang, bahwa dalam kasus BAPAK PEMOHON I DAN II ini, Majelis Hakim
menilai sebagai kasus yang ideal sehingga kembali merujuk kepada aturan umum yang
terdapat dalam Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka
Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II adalah
PEMOHON I dan PEMOHON II;
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, maka
diperoleh fakta hukum bahwa ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK
PEMOHON I DAN II adalah PEMOHON I dan PEMOHON II;
Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan di atas, Majelis Hakim
berpendapat, permohonan Pemohon dalam perkara ini harus dinyatakan terbukti dan patut
dikabulkan;
Menimbang, bahwa meskipun demikian, karena hukum kewarisan Islam di
Indonesia mengandung asas egaliter, maka kerabat yang beragama selain Islam yang
mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dalam perkara a quo adalah SAUDARA
PERTAMA PEMOHON I DAN II dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, tetap
berhak mendapat bagian waris dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian ahli
waris yang sederajat dengannya (Yurisprudensi MARI dan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi Peradilan Agama, Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI Tahun 2011);
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon, diperkuat dengan bukti
P11 dan P12, maka diperoleh fakta hukum bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK
PEMOHON I DAN II meninggalkan harta warisan sebagaimana dalam bukti P11 dan P12
tersebut;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon dan keterangan Pemohon
I di persidangan diperkuat keterangan para saksi bahwa para Pemohon memerlukan Penetapan
Ahli Waris dari Pengadilan Agama untuk mengurus penjualan harta peninggalan dari IBU
PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon, maka
penetapan ahli waris ini dapat digunakan untuk mengurus harta peninggalan dari IBU
PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II;
Menimbang, bahwa karena yang mengajukan permohonan ini adalah para Pemohon
secara voluntair, maka seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada pihak
yang mengajukan perkara yaitu para Pemohon yang besarnya sebagaimana tersebut dalam
amar penetapan ini;
Mengingat segala peraturan perundang-undangan serta hukum syara’ yang
berkenaan dengan perkara ini;
MENETAPKAN
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menetapkan ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON
I DAN II adalah PEMOHON I dan PEMOHON II;
3. Membebankan biaya perkara ini kepada para Pemohon sebesar Rp 186.000,- (seratus
delapan puluh enam ribu rupiah);
Demikian penetapan ini dijatuhkan dalam permusyawaratan Majelis Hakim pada
hari ini Kamis tanggal X Maret 2013 M bertepatan dengan tanggal XX Rabiul Akhir 1434
H oleh kami, HAKIM KETUA. sebagai Ketua Majelis, HAKIM ANGGOTA I dan
HAKIM ANGGOTA II., masing-masing sebagai Hakim Anggota, penetapan tersebut
diucapkan pada hari itu juga oleh Ketua Majelis Hakim dalam persidangan terbuka untuk
umum dengan dibantu oleh PANITERA PENGGANTI. sebagai Panitera Pengganti serta
dihadiri oleh Kuasa Para Pemohon;
Hakim Anggota Ketua Majelis
ttd ttd
ttd
Panitera Pengganti
ttd
Page 13 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Rincian biaya perkara :1. Biaya administrasi Rp. 30.000,-2. Biaya Proses Rp. 50.000,-3. Biaya panggilan Rp. 95.000,-4. Biaya redaksi Rp. 5.000,- 5. M e t e r a i Rp. 6.000,-J u m l a h Rp. 186.000,- (seratus delapan puluh enam ribu rupiah)
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14