bab iii hasil penelitian dan analisis...endardiyono sebagai ahli waris pengganti menggantikan...

23
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian Dalam pembahasan dipaparkan tentang kasus posisi yang berkaitan dengan penetapan ahli waris pengganti dalam penetapan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb dan mengenai pelaksanaan pembagian warisan yang dilakukan oleh keluarga Hj.Ponijem. 1. Kasus Posisi Penetapan Ahli Waris Pengganti Dalam Penetapan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb Pernikahan antara H. Hadi Pranoto dengan Hj. Ponijem dicatat oleh PPN Kantor Urusan Agama Pandak Kabupaten Bantul dengan kutipan Akta Nikah Nomor 279/59 tanggal 03 Juli 1959. Dalam pernikahan tersebut mereka tidak dikarunia keturunan anak. Hj.Ponijem telah meninggal dunia pada hari Sabtu pahing tanggal 19 April 2008. Almarhumah ketika meninggal dunia meninggalkan dua orang ahli waris hubungan darah dan seorang ahli waris hubungan pernikahan. Dua orang ahli waris hubungan darah yaitu: (1) Daliyem (telah meninggal dunia) meninggalkan seorang anak laki-laki yang bernama Endardiyono, (2) Tikno Harjono yang merupakan saudara seibu. Seorang ahli waris hubungan pernikahan yaitu H. Hadi Pranoto. Almarhumah meninggalkan warisan berupa sawah, rumah dan kios pasar.

Upload: others

Post on 07-Feb-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB III

    HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

    A. Hasil Penelitian

    Dalam pembahasan dipaparkan tentang kasus posisi yang berkaitan dengan

    penetapan ahli waris pengganti dalam penetapan Pengadilan Agama Wonosobo

    Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb dan mengenai pelaksanaan pembagian warisan

    yang dilakukan oleh keluarga Hj.Ponijem.

    1. Kasus Posisi Penetapan Ahli Waris Pengganti Dalam Penetapan

    Pengadilan Agama Wonosobo Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb

    Pernikahan antara H. Hadi Pranoto dengan Hj. Ponijem dicatat oleh PPN

    Kantor Urusan Agama Pandak Kabupaten Bantul dengan kutipan Akta Nikah

    Nomor 279/59 tanggal 03 Juli 1959. Dalam pernikahan tersebut mereka tidak

    dikarunia keturunan anak.

    Hj.Ponijem telah meninggal dunia pada hari Sabtu pahing tanggal 19 April

    2008. Almarhumah ketika meninggal dunia meninggalkan dua orang ahli waris

    hubungan darah dan seorang ahli waris hubungan pernikahan. Dua orang ahli

    waris hubungan darah yaitu: (1) Daliyem (telah meninggal dunia) meninggalkan

    seorang anak laki-laki yang bernama Endardiyono, (2) Tikno Harjono yang

    merupakan saudara seibu. Seorang ahli waris hubungan pernikahan yaitu H. Hadi

    Pranoto. Almarhumah meninggalkan warisan berupa sawah, rumah dan kios

    pasar.

  • Dalam pembahasan ini hanya akan difokuskan pada ahli waris hubungan

    darah dengan Hj. Ponijem karena dalam penulisan ini fokus pada pembagiaan

    yang dilakukan oleh keluarga Hj. Ponijem. Pihak dari keluarga Hj. Ponijem yang

    mengajukan permohonan penetapan ahli waris ke Pengadilan Agama adalah

    Tikno Harjono. Tikno Harjono meminta kepada Pengadilan Agama Wonosobo

    untuk menetapkan Tikno Harjono dan Daliyem sebagai ahli waris dari Hj.

    Ponijem. Daliyem merupakan saudara perempuam seibu Hj. Ponijem telah

    meninggal terlebih dahulu dari pewaris dan meninggalkan seorang anak laki-laki

    bernama Endardiyono. Tujuan Tikno Harjono mengajukan permohonan penetapan

    ahli waris dari Hj. Ponijem ke Pengadilan Agama Wonosobo untuk mendapatkan

    penetapan ahli waris secara hukum yang nantinya digunakan untuk pembagian

    secara kekeluargaan.

    Pertimbangan hakim untuk menetapkan ahli waris dari Hj. Ponijem adalah:

    a. Terdapat hubungan kekerabatan dari jalur almarhumah Hj Ponijem.

    b. Pertimbangan berdasarkan pada Pasal 171 huruf (b) dan (c) KHI yang

    menyatakan bahwa Pasal 171 (b): “Pewaris adalah orang yang pada

    saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan

    Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta

    peninggalan”. Pasal 171 (c): “Ahli waris adalah orang yang pada saat

    meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan

    perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang

    karena hukum menjadi ahli waris”.

    c. Hakim mendasarkan pada bukti fotocopy akta nikah H. Hadi Pranoto

    dengan Hj. Ponijem serta silsilah keluarga yang menyatakan bahwa H.

  • Hadi Pranoto menikah dengan Hj. Ponijem pada 03 Juli 1959 dan

    selama menikah tidak dikaruniai keturunan.

    d. Hakim dalam pertimbangannya juga mendasarkan pada bukti Surat

    Kematian Hj. Ponijem yang menyatakan bahwa telah meninggal dunia

    pada 14 Juli 2008 karena sakit dan dalam keadaan beragama Islam.

    e. Pertimbangan hakim menetapkan berdasarkan silsilah keluarga dan surat

    keterangan dari Kepala Desa Gilangharjo yang membuktikan bahwa

    almarhumah Hj. Ponijem meninggal dunia meninggalkan ahli waris

    seorang saudara seibu yang bernama Tikno Harjono, dan semuanya

    beragama Islam. Selain itu Hj. Ponijem juga mempunyai saudara

    perempuan seibu yang bernama Daliyem yang telah meninggal terlebih

    dahulu dari Pewaris berdasarkan bukti surat kematian dan memiliki satu-

    satunya ahli waris seorang anak laki-laki bernama Endardiyono,

    beragama Islam, berdasarkan pertimbangan Pasal 185 KHI untuk

    menetapkan Endardiyono sebagai ahli waris pengganti.

    Dalam penetapan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor 43/Pdt.P/2011/

    PA.Wsb. menetapkan Tikno Harjono sebagai ahli waris Hj. Ponijem dan

    Endardiyono sebagai ahli waris pengganti menggantikan kedudukan ibunya

    Daliyem yang telah lebih dahulu meninggal dunia dari pewaris. Pertimbangan

    hakim dalam menetapkan Endardiyono sebagai ahli waris pengganti berdasar

    pada ketentuan Pasal 185 KHI, yang menyebutkan: “Ahli waris yang meninggal

    lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh

    anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173”. Dalam ayat (2) nya

  • disebutkan: “Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian

    ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”.

    2. Pembagian Warisan Yang Dilakukan Oleh Keluarga Hj. Ponijem

    Pembagian warisan untuk ahli waris Hj. Ponijem dilakukan secara

    kekeluargaan, sesuai dengan penetapan Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb. Dari harta

    warisan yang ada harta tersebut dibagi dua, ½ bagian untuk ahli waris hubungan

    darah dan ½ bagian untuk ahli waris hubungan pernikahan yaitu suami. Dalam

    penulisan ini hanya akan dijelaskan tentang pembagian yang dilakukan oleh ahli

    waris hubungan darah dari Hj. Ponijem, karena penulisan ini hanya mefokuskan

    pada pembahasan tersebut.

    Ahli waris Hj. Ponijem untuk hubungan darah terdiri dari dua, yaitu

    Endardiyono dan Tikno Harjono. Endardiyono merupakan ahli waris pengganti

    sebagaimana ditetapkan dalam penetapan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor

    43/Pdt.P/2011/PA.Wsb, menggantikan kedudukan ibunya yaitu Daliyem (Saudara

    perempuan Hj. Ponijem) yang telah meninggal terlebih dahulu. Tikno Harjono

    memiliki enam orang anak yaitu Triyanti, Trianingsih, Tri Indayani, Tanti

    Cristina, Liston Setiawan dan Lin Sundarwan. Untuk melaksankan pembagian

    secara kekeluargaan yang sesuai dengan penetapan telah dilakukan musyawarah

    pada tanggal 11 September 2011, pihak keluarga Hj. Ponijem yaitu Tikno Harjono

    dan Endardiyono melakukan musyawarah pembagian waris. Mengingat saat itu

    Tikno Harjono kurang sehat, dalam proses musyawarah Tikno Harjono

    diwakilkan keenam anaknya. Dalam proses musyawarah tersebut, putri Tikno

    Harjono yang bernama Trianingsih mengatakan bahwa tidak ada nama ahli waris

  • pengganti dan mengatakan bahwa Endardiyono mendapat bagian warisnya karena

    dianggap anak oleh Tikno1, sehingga bagian dari Endardiyono adalah sama

    dengan bagian dari anak-anak Tikno Harjono.

    Kemudian dalam proses musyawarah tersebut anak-anak dari Tikno

    Harjono membagi warisan tersebut menjadi tujuh bagian, yaitu enam anak Tikno

    Harjono dan Endardiyono dianggap setara dengan anak-anak Tikno Harjono.

    Endardiyono melihat dan merasakan proses musyawarah yang tidak sesuai dengan

    apa yang ditetapkan Pengadilan Agama menolak hasil musyawarah sehingga

    terjadi perdebatan, yang akhirnya Endardiyono mendapatkan bagian 1/6

    sedangkan sisanya untuk anak-anak dari Tikno Harjono. Tidak nampak alasan

    yang jelas mengapa bagian yang didapat Endardiyono mendapat 1/6 bagian, tidak

    ada penjelasan dari anak-anak Tikno Harjono tentang bagian yang didapat oleh

    Endardiyono2.

    Pembagian warisan yang sudah dilakukan adalah kios dijual senilai 375 juta

    pada tanggal 22 Desember 2011 dibagi untuk keluarga H. Hadi Pranoto dan

    keluarga Hj. Ponijem, sehingga masing-masing keluarga mendapatkan Rp

    187.500.000,-. Endardiyono sebagaimana hasil musyawarah mendapatkan 1/6 dari

    Rp. 187.500.000, sehingga diperoleh bagian Rp. 31.250.000. Untuk sawah dijual

    pada tanggal 12 Agustus 2012 seharga Rp. 163.000.000, namun bagian dari

    Endardiyono sampai saat ini belum diberikan oleh keluarga Tikno Harjono.

    1 Wawancara dengan Endardiyono, Wonosobo, 13 September 2011.

    2 Ibid..

  • Sedangkan rumah sampai saat ini belum laku dijual, sehingga belum ada

    pembagiannya3.

    2. Pendapat Tokoh Masyarakat Tentang Ahli Waris Pengganti

    Beberapa pendapat tokoh masyarakat sekitar tentang ahli waris pengganti,

    salah seorang tokoh bernama Widodo Ali Partono yang menyatakan bahwa ahli

    waris pengganti pada umumnya diberi makna, orang yang tampil sebagai ahli

    waris karena menggantikan kedudukan orang tuanya yang meninggal dunia lebih

    dahulu dari pewaris, tanpa membedakan apakah orang yang meninggal itu laki-

    laki atau perempuan. Setiap anak yang meninggal dunia lebih dahulu digantikan

    oleh anak-anaknya, demikian pula jika di antara pengganti-penggantinya itu

    ada yang meninggal lebih dahulu lagi, maka ia digantikan oleh anak-anaknya,

    begitu seterusnya, dengan ketentuan bahwa semua keturunan dari satu orang

    yang meninggal lebih dahulu tersebut harus dipandang sebagai suatu cabang

    dan bersama-sama memperoleh bagiannya orang yang mereka gantikan4.

    Pendapat tokoh masyarakat mengenai ahli waris dikemukakan oleh Ngadino

    yang menyatakan bahwa pembagian waris yang berlaku dalam masyarakat

    Kertek, Wonosobo, apalagi untuk keluarga yang sudah menunaikan ibadah haji,

    lebih banyak mendasarkan pembagian waris menurut Hukum Islam dan hukum

    yang ditetapkan pemerintah. Ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan

    Islam menurutnya bertujuan untuk mencari rasa keadilan bagi ahli waris.

    Ahli waris pengganti pada dasarnya adalah ahli waris karena penggantian yaitu

    orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak

    mendapat warisan meninggal lebih dahulu dari pewaris, sehingga dia tampil

    3 Wawancara dengan Endardiyono, Salatiga, 16 Oktober 2013.

    4 Wawancara dengan Widodo Ali Partono, Wonosobo, 13 Juli 2013.

  • menggantikannya (ngijoli). Jadi bagian ahli waris pengganti sebesar bagian ahli

    waris yang digantikannya5. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa ahli waris

    pengganti itu dikenal tetapi dengan istilah “ngijoli”.

    B. Analisis

    Dalam penulisan ini akan dipaparkan tentang analisis yang dilakukan

    penulis terhadap asas dan kaidah apa yang diterapkan dalam Penetapan

    Pengadilan Agama Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb serta asas dan kaidah yang

    digunakan dalam pembagian waris yang dilakukan oleh keluarga Hj. Ponijem.

    1. Asas Dan Kaidah Yang Diterapkan Dalam Penetapan Pengadilan

    Agama Wonosobo Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb Tentang Penetapan

    Ahli Waris

    Dalam hukum kewarisan Islam dikenal ada 5 asas, asas-asas tersebut antara

    lain: asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, asas

    semata akibat kematian. Asas tersebut yang biasa digunakan hakim Pengadilan

    Agama untuk mempertimbangkan permasalahan pewarisan yang diajukan di

    Pengadilan Agama. Sehingga dalam mengeluarkan Penetapan Nomor

    43/Pdt.P/2011/PA.Wsb hakim PA Wonosobo juga menggunakan asas tersebut

    untuk jadi pertimbangan hakim.

    Asas yang menjadi pertimbangan hakim dalam penetapan perkara tersebut

    meliputi beberapa asas, yaitu:

    a. Asas Individual

    Asas ini pada prinsipnya bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk

    5 Wawancara dengan Ngadino, Wonosobo, 13 Juli 2013.

  • dimiliki secara perorangan. Hal ini terlihat dengan ditetapkannya ahli waris

    secara perseorangan, nama ahli waris disebutkan satu persatu didalam

    penetapannya. Karena didalam penetapan sudah dianut asas tersebut brearti

    setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan

    terikat dengan ahli waris lainnya. Tak terkecuali ahli waris pengganti,

    dengan asas ini dapat dimengerti bahwa bagian yang seharusnya didapat

    oleh ahli waris yang digantikan menjadi milik ahli waris pengganti itu

    sendiri.

    Dalam penetapan Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb tidak dijelaskan

    secara eksplisit kaidah apa yang digunakan untuk mempertegas asas

    individual ini, hanya didalam penetapan tersebut telah disebutkan nama-

    nama ahli waris secara perseorangan seperti yang telah dikemukakan diatas.

    Akan tetapi jika melihat kaidah hukum yang ada, dalam hal ini KHI

    memang tidak disebutkan secara eksplisit, hanya saja dalam Pasal 176 KHI

    yang berbunyi:

    “anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian,

    bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua

    pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan

    anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding

    satu dengan anak perempuan”,

    dari bunyi Pasal tersebut yang menerangkan tentang besar bagian terdapat

    kata “seorang” dalam rumusan Pasal tersebut, sehingga dapat dimengerti

    bahwa ada bagian untuk perseorangan. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa

    makna asas individual tersampaikan lewat kata “seorang”.

    b. Asas bilateral

  • Asas yang digunakan dalam penetapan ahli waris pengganti ini adalah asas

    bilateral. Asas bilateral mengandung arti bahwa harta warisan beralih melalui 2

    arah, maksudnya adalah setiap orang menerima hak kewarisan dari ke dua belah

    pihak yaitu pihak garis keturunan laki-laki dan pihak garis keturunan perempuan.

    Dapat dilihat dalam Firman Allah SWT surah an-Nisaa ayat 7 yang berbunyi:

    “bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan

    kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan

    ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah

    ditetapkan” dan dalam surah an-Nisaa ayat 12 yang berbunyi:

    “…. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang

    tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai

    seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan

    (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu

    seperenam harta. Akan tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari

    seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, ….”

    Dari ayat tersebut terlihat jelas bahwa kewarisan itu beralih kebawah

    (anak-anak), ke atas (ayah dan ibu), dan ke samping (saudara-saudara) dari

    kedua belah pihak garis keluarga yaitu laki-laki dan perempuan dan

    menerima warisan dari dua garis keluarga yaitu garis laki-laki dan garis

    perempuan. Sepeninggal Hj. Ponijem dan H. Hadi Pranoto maka ahli waris

    sebagaimana yang terdapat dalam penetapan adalah dari garis keturunan

    laki-laki dan perempuan.

    Penetapan Pengadilan Agama Wonosobo dalam penetapan Nomor

    43/Pdt.P/2011/PA.Wsb mengenai kedudukan ahli waris pengganti ini adalah

    dengan memberlakukan penggantian ahli waris secara imperatif yakni setiap

    ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris harus digantikan

  • oleh anak-anaknya. Sebagaimana diketahui bahwa sistem kewarisan KHI

    berbentuk bilateral, maka sebagai konsekuensinya tidak ada pembedaan

    kedudukan antara laki-laki dan perempuan sampai garis keturunan

    manapun. Oleh karena i t u jangkauan penggantian ahli waris ini harus

    meliputi seluruh garis keturunan.

    Mengenai jangkauan keberlakuan penggantian ahli waris ini,

    sebenarnya telah terakomodir dalam bunyi Pasal 185 ayat (1) yang

    menyatakan: “ Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si

    pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”. Apabila

    dicermati bunyi Pasal tersebut, polemik tentang hal ini tidak perlu terjadi

    karena secara harfiah sudah memberikan makna bahwa jangkauan

    penggantian ahli waris itu meliputi seluruh garis hukum baik ke bawah

    maupun menyamping6. Pemahaman demikian, dapat diperoleh dengan

    menyimak dua kata kunci yang ada pada pasal tersebut yaitu kata “ahli

    waris” dan kata “anaknya”. Dari segi bahasa kata ahli waris merupakan

    lafal “nakirah“ yang mencakup seluruh ahli waris tidak terbatas kepada

    ahli waris tertentu. Dengan demikian, maka kata anaknya memberi

    pengertian anak dari semua ahli waris baik dari garis ke bawah maupun

    menyamping.

    Apabila dalam suatu ketentuan hukum tidak ditemukan adanya

    pembatasan atas keumumannya, maka keumuman itu yang diberlakukan.

    Dengan berpedoman kepada keumuman lafal tersebut, maka cucu, maupun

    sepupu meskipun sampai jauh mereka dapat menjadi ahli waris pengganti.

    6 Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama,

    2007, h. 214.

  • Kesimpulan ini didukung oleh tidak dikenalnya zawil arham dalam KHI.

    Dengan tidak dikenalnya zawil arham memberi petunjuk bahwa semua

    kerabat pewaris dapat tampil sebagai ahli waris melalui penggantian ahli

    waris sepanjang tidak terhijab oleh ahli waris yang lebih utama. Oleh

    karena itu anak-anak saudara laki-laki maupun anak-anak saudara

    perempuan baik laki-laki atau perempuan serta anak-anak paman baik laki-

    laki maupun perempuan dapat menjadi ahli waris pengganti7.

    Dalam penetapan tersebut hakim tidak memberikan kaidah hukum yang

    menyatakan bahwa penetapan yang dikeluarkan menganut asas bilateral. Akan

    tetapi dalam KHI sudah di jelaskan dalam Pasal 174 KHI dengan di kenalnya

    golongan laki laki dan golongan perempuan sehingga dalam penetapan tersebut

    dapat jelas di sebutkan siapa saja ahli waris tanpa membedakan jenis

    kelaminnya. Kebijakan hakim dalam penggunaan asas ini terlihat dalam

    pertimbangannya dan akhirnya memutuskan adanya ahli waris pengganti

    terutama dalam menetapkan Endardiyono sebagai ahli waris pengganti

    menggantikan kedudukan ibunya yang merupakan saudara perempuan pewaris.

    Penggantian kedudukan tersebut ditetapkan tanpa membedakan jenis kelamin

    antara laki-laki maupun perempuan.

    c. Asas Personalitas Ke-Islaman

    Dalam asas personalitas ke-Islaman memberikan pemahaman yang

    tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan Peradilan Agama,

    hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas ini nampak

    karena kewenangan Pengadilan Agama, berdasar Pasal 2, Pasal 49 ayat (1),

    7 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-

    undang Hukum Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, h. 125.

  • dan Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga UU Nomor 7 Tahun 1989

    menyatakan Pengadilan Agama mempunyai kewenangan untuk memeriksa,

    memutus, dan menyelesaikan perkara perdata bidang perkawinan, kewarisan,

    wasiat, hibah, wakaf, shadaqah bagi orang yang beragama Islam.

    Dari kaidah diatas dapat dipahami bahwa setiap pihak yang mengajukan

    permohonan ke Pengadilan Agama selalu menganut asas personalitas ke-

    Islaman tanpa haru disebutkan secara eksplisit. Sama dengan penetapan

    Pengadilan Agama Wonosbo Nomor 43/Pdt.P/2012/PA.Wsb. tentang

    penetapan ahli waris menganut asas personalitas ke-Islaman karena

    kewenangan Pengadilan Agama hanya untuk pihak yang berpekara perdata

    tertentu yang beragama Islam.

    Apabila mendasarkan kepada kaidah umum bahwa setiap penggantian

    mempunyai konsekuensi menggantikan segala sesuatu yang ada pada orang

    yang digantikan baik kedudukan, hak maupun kewajibannya. D iadakannya

    aturan ahli waris pengganti adalah untuk memenuhi rasa keadilan dan

    perikemanusiaan di mana seorang tidak wajar dihukum untuk tidak

    mendapatkan warisan dari kakeknya hanya karena orang tuanya telah

    meninggal lebih dahulu8.

    Dilihat dari kasus posisi diatas dalam hakim mengeluarkan penetapan

    Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb tentang ahli waris dirasa sudah sesuai dengan

    asas dan kaidah hukum yang berlaku. Dalam penetapannya pembagian warisan

    dilakukan secara kekeluargaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 183 KHI.

    8 Abdul Manan, op.it., h. 208.

  • Pasal tersebut merupakan penjelmaan dari kaidah fikih dalam hukum Islam itu

    sendiri. Kaidah fikih tersebut menjelaskan bahwa apabila sesuatau perbuatan

    hukum menghasilkan kemaslahatan, disanalah hukum Allah. Hakekat maslahat

    adalah segala sesuatu yang mendatangkan keuntungan dan menjauhkan dari

    bencana. Dalam pandangan ahli ushul maslahat adalah memberikan hukum

    syara’ kepada sesuatu yang tidak terdapat dalam nash dan ijma’ atas dasar

    memelihara kemaslahatan Kemaslahatan yang dihasilkan dari pembagian harta

    warisan secara damai adalah:

    a. Persengketaan antara ahli waris bisa berakhir. Berakhirnya

    persengketaan ahli waris, berarti merajut dan terjalin hubungan

    silaturrahim antara ahli waris.

    b. Menghindari konflik keluarga yang berkelanjutan. Apabila sengketa

    warisan berlanjut, sepanjang itu pula konflik akan mewarnai

    kehidupan para ahli waris yang sedang bersengketa, bahkan konplik

    keluarga dapat berlanjut kepada keturunan masing-masing, karena

    bibit permusuhan akan menurun kepada keturunan masing-masing.

    Harta warisan segera terbagi dan dapat dinikmati oleh semua ahli waris

    dengan segera, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga dan memberi

    kebahagian bagi kehidupan keluarga karena untuk mewujukkan rumah tangga

    yang bahagia, salah satu harus ditopang oleh harta yang cara perolehannya dengan

    jalan yang halal, dan hal itu pula menjadi tujuan pewaris yang berjuang dalam

    kehidupannya memperoleh harta untuk dinikmati anak keturunannya, bukan untuk

    dipertentangkan dan melahirkan silang sengketa.

  • Hal tersebut merupakan bentuk dari pelaksanaan kebijakan pertimbangan

    hakim juga sudah sesuai. Dalam menangani perkara waris ini, peran hakim di

    Pengadilan Agama Wonosobo adalah pasif berdasarkan asas hakim bersikap

    menunggu (iudex ne procedat ex officio) dan asas hakim bersikap pasif.

    Praktik pembagian harta warisan secara kekeluargaan pada Pengadilan

    Agama yang menjadi obyek penelitian penulis ditemukan perbedaan-perbedaan

    dengan teori takharruj, sehingga ada beberapa hal yang perlu disebutkan pada

    Pasal-pasal perdamaian pembagian harta warisan yang tentunya atas petunjuk dan

    arahan mediatar maupun majelis hakim yang menanganai perkara yang

    bersangkutan.

    Sejak berlakunya KHI dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

    Peradilan Agama yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50

    Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, bagi orang-orang yang beragama Islam,

    dalam hal kewarisan, wasiat dan hibah, apabila ada sengketa dapat

    diselesaikan di Pengadilan Agama. Pengadilan Agama merupakan peradilan

    khusus di Indonesia dimana Pengadilan Agama memerikasa dan mengadili

    perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, yakni perkara-

    perkara perdata tertentu dan hanya untuk orang-orang Islam. Bagi masyarakat

    Indonesia yang beragama Islam, dalam hal masalah kewarisan masih terdapat

    kebingungan dalam hal penyelesaiannya yakni melalui Pengadilan Agama dan

    Pengadilan Negeri. Dampaknya adalah bahwa banyak kasus kewarisan yang

    masuk di Pengadilan Negeri dan sekaligus masuk pula di Pengadilan Agama

    dimana putusannya sering pula berbeda oleh karena dasar hukum yang

    digunakan juga berbeda.

  • Dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat,

    Pengadilan Agama mendasarkan keputusannya pada ketentuan yang ada dalam

    KHI. Meskipun baru berupa Instruksi Presiden, namun ketentuan-ketentuan yang

    ada dalam KHI sudah digunakan layaknya undang-undang. Sebagaimana

    lembaga peradilan umum, tuntutan hak yang dapat diajukan di Pengadilan

    Agama dapat berupa permohonan dan dapat pula berupa gugatan. Pada kasus ini,

    tuntutan hak yang diajukan adalah hak mewaris dari ahli waris yang berupa

    permohonan penetapan ahli waris.

    Pertimbangan putusan terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu pertimbangan

    tentang fakta hukum dan pertimbangan hukumnya itu sendiri. Pertimbangan

    tentang fakta diperoleh dengan cara memeriksa alat bukti secara empiris dalam

    persidangan. Fakta-fakta yang terungkap di persidangan selanjutnya diuji

    menggunakan teori kebenaran koresponden untuk memperoleh fakta hukum dan

    petunjuk. Sedangkan pertimbangan hukum merupakan bagian pertimbangan

    yang memuat uji verifikasi antara fakta hukum dengan berbagai teori dan

    peraturan perundang-undangan. Terbukti tidaknya suatu perkara di pengadilan

    sangat tergantung pada pertimbangan hukumnya.

    Sejauh ini dapat diamati bahwa di antara sekian banyak perangkat

    peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, perangkat hukum

    Islam yang masih belum populer di masyarakat, khususnya mengenai hukum

    waris Islam. Hal ini dipengaruhi oleh budaya Indonesia itu sendiri yang

    memiliki pemahaman bahwa hukum Islam bersandar pada ketentuan dalam Al

    Qur’an dan Al Hadis. Selain Al Qur’an dan Al Hadis, harusnya dipertegas lagi

  • dengan peraturan perundang-undangan sebagai turunan dari Al Qur’an dan Al

    Hadis.

    Salah satu kendala yang dihadapi oleh para praktisi hukum, dalam hal

    ini hakim, dalam upaya penerapan ketentuan hukum waris Islam adalah

    peraturan hukumnya belum sempurna. Pedoman hakim dalam menjatuhkan

    putusan dalam perkara-perkara hukum waris Islam hanya berdasar pada KHI dan

    Yurisprudensi di luar Al Qur’an dan Al Hadis. Sejauh ini, belum ada produk

    hukum baru yang mengatur secara eksplisit tentang hukum waris Islam.

    Di dalam dunia pengadilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang

    dicari para justiabalance (pencari keadilan) yaitu Putusan Hakim. Untuk

    lahirnya sebuah putusan diperlukan beberapa prosedur tententu, dan ada

    berbagai jenis putusan yang akan dilahirkan dari dunia peradilan. Adapun

    yang dimaksud dengan penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara

    permohonan (volunter), misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah,

    izin nikah, wali adhal, poligami, perwalian, itsbat nikah, dan sebagainya.

    Penetapan merupakan jurisdiction valuntaria (bukan peradilan yang

    sesungguhnya). Karena pada penetapan hanya ada permohon tidak ada lawan

    hukum. Dalam penetapan hakim tidak menggunakan kata “mengadili”, namun

    cukup dengan menggunakan kata ”menetapkan”.

    Penyebutan kedudukan dan besarnya porsi bagian masing-masing ahli waris

    dalam akta perdamaian merupakan salah satu bentuk sosialisasi tentang hukum

    kewarisan Islam, sekaligus realisasi pelaksanaan perintah untuk memepelajari dan

    mengajarkan hukum kewarisan Islam. Putusan hakim khususnya perkara warisan

  • paling tidak dibaca oleh pihak yang bersengketa, sehingga yang membacanya

    dapat memahami kedudukan dan bagianya dalam hukum kewarisan Islam.

    2. Asas dan kaidah yang diterapkan dalam Pembagian Waris

    Secara substansi, pembagian harta warisan sebagaimana yang ditetapkan PA

    Wonosobo dalam Penetapan Nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb dilaksanakan secara

    kekeluargaan hal ini dikarenakan agar pembagian harta warisan bisa secara adil

    dan berakhir damai berdasarkan prinsip musyawarah. Para ahli waris

    bermusyawarah dan bersepakat tentang bagian masing-masing ahli waris.

    Pembagian harta warisan dalam bentuk ini berdasarkan keinginan para ahli waris

    yang telah disepakati secara bersama-sama.

    Meskipun ahli waris merasa tidak berkeberatan atas model pembagian

    warisan secara kekeluargaan, bukan berarti hal itu menggugurkan kewajiban

    untuk menerapkan hukum waris Islam. Maka dari itu untuk menegakkan hukum

    waris Islam, akan lebih baik pembagiannya dilakukan sesuai syariat Islam dan

    hukum waris Islam. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 183 KHI. Hal ini juga untuk

    menanggulangi jika suatu saat menimbulkan akibat rasa kurang puas diantara

    keluarga lainnya9.

    Pembagian waris dengan prinsip kekeluargaan sesungguhnya didasarkan

    pada keyakinan para ulama fiqh bahwa masalah waris adalah hak individu di

    mana yang mempunyai hak boleh menggunakan atau tidak menggunakan

    9 Departemen Agama RI, Analisa Hukum Islam Bidang Waris, Jakarta, Direktorat Pembinaan

    Badan Peradilan Agama, 1999, h. 4.

  • haknya, atau menggunakan haknya dengan cara tertentu selama tidak merugikan

    pihak lain sesuai aturan standar yang berlaku dalam situasi biasa10

    .

    Asas dan kaidah yang digunakan dalam pembagian waris, antara lain:

    a. Asas Personalitas Ke-Islaman

    Asas personalitas ke-Islaman tidak secara eksplisit diterangkan akan

    tetapi dalam hal pembagian yang dilaksanakan asas ini ada karena semua

    yang ditetapkan sebagai ahli waris beragama Islam.

    Hal ini terlihat dalam hasil penelitian dimana hakim PA Wonosobo

    menetapkan ahli waris Hj. Ponijem adalah:

    1) H. Hadi Pranoto (suami) beragama Islam.

    2) Tikno Harjono (Saudara laki-laki seibu) beragama Islam.

    3) Endardiyono (menggantikan kedudukan Daliyem, Saudara

    perempuan seibu) beragama Islam.

    Dalam penetapan sudah disebutkan sebagai ahli waris, berarti semua

    yang disebutkan beragama Islam, jika tidak beragam Islam tidak bisa

    menjadi ahli waris karena terhalang menjadi ahli waris, hal ini sesuai dengan

    syarat menjadi ahli waris dalam KHI. Pasal 171 huruf c KHI menerangkan

    bahwa syarat menjadi ahli waris adalah beragama Islam.

    Kaidah yang mendasari adalah kebiasaan yang ada di lingkungan

    sekitar, karena dilingkungan sekitar menurut Hj. Kusmartini salah satu tokoh

    masyarakat menyatakan bahwa pembagian di Kertek, Wonosobo jika

    berbeda agama tidak dapat mewaris11

    .

    b. Asas Musyawarah

    10

    H Zainuddin Ali, op.it., h. 4. 11

    Wawancara dengan Hj. Kusmartini, Wonosobo, 10 November 2012

  • Pembagian yang dilakukan oleh keluarga secara musyawarah, hal ini

    dikarenakan dalam penetapan disebutkan bahwa pembagian dilaksanakan

    secara kekeluargaan. Sehingga keluarga berfikir cara yang paling tepat

    melalui musyawarah, musyawarah dilaksanakan pada tanggal 11 September

    2011 antara Endardiyono dengan Triyanti, Trianingsih, Tri Indayani, Tanti

    Cristina, Liston Setiawan dan Lin Sundarwan yang merupakan anak-anak

    Tikno Harjono. Selama musyawarah hanya dibahas mengenai bagian yang

    diperoleh, dari anak-anak Tikno Harjono telah mengatakan bagian yang

    didapat Endardiyono 1/7 (dianggap anak oleh Tikno Harjono sehingga

    kedudukan Endardiyo disetarakan anak-anak Tikno Harjono), akan tetapi

    Endardiyono menolak dan akhirnya dari pihak anak-anak Tikno Harjono

    bagian Endardiyono dinaikan menjadi 1/6, pembagian tersebut tidak sesuai

    dan dari cara pembagiaan seperti diatas merugikan Endardiyono dan yang

    paling penting musyawarah itu tidak sesuai dengan tujuan musyawarah yang

    bijak selain tidak sesuai dengan tujuan musyawarah. Musyawarah yang

    dilakukan antara anak-anak Tikno Harjono dengan Endardiyono menurut

    penulis tidak tercapai hal ini nampak pada jumlah pihak yang

    bermusyawarah seharusnya pihak yang bermusyawarah seimbang, menurut

    pendapat Ibu Dyah Hapsari Prananingrum dalam ujian skripsi tanggal 15

    Januari 2014 menyatakan bahwa dalam musyawarah yang dilakukan

    pihaknya tidak seimbang sehingga musyawarah tersebut menghasilkan

    putusan musyawarah yang semu.

    Musyawarah sendiri memiliki tujuan agar tidak menimbulkan

    perselisihan diantara anggota keluarga akan tetapi apabila musyawarah

  • hanya menimbulkan perselisihan diantara keluarga maka makna musyawarah

    menjadi hilang, sehingga lebih baik jika pembagian dilakukan menurut

    hukum waris Islam selain mengurangi perselisihan hal ini juga untuk

    menegakkan hukum waris Islam.

    Kaidah dari asas musyawarah ini adalah kebiasaan yang ada

    dimasyarakat sekitar, dimana ada hal yang perlu diselesaikan atau

    dibicarakan hal tersebut dilakukan dengan musyawarah.

    c. Asas Individual

    Pembagian yang diterapkan ketika musyawarah dihitung dengan

    banyaknya berapa individu yang akan memperoleh. Bagian yang diperoleh

    dari musyawarah berdasar dari jumlah anak-anak Tikno Harjono dengan

    Endardiyono karena anak-anak Tikno Harjono berjumlah 6 orang ditambah

    dengan Endardiyono 1 orang sehingga harta warisan tersebut dibagi 7 orang,

    agar masing-masing bisa mendapat bagiannya secara individual. Akan tetapi

    hal ini sangatlah keliru karena anak-anak Tikno Harjono hanya

    menggantikan Tikno Harjono ketika bermusyawarah dengan Endardiyono,

    bukan menggantikan kedudukan Tikno Harjono sebagai ahli waris.

    Hasil pembagian yang dilakukan oleh anak-anak Tikno Harjono

    bersama Endardiyono dengan hasil bagian yang didapat Endardiyono 1/6

    bagian dan 5/6 bagian untuk anak-anak Tikno Harjono itu sangat keliru

    menurut penulis. Hal ini berdasar pada kenyataan bahwa anak-anak Tikno

    Harjono bukan ahli waris dari Hj. Ponijem. Anak-anak Tikno Harjono hanya

    mewakili Tikno Harjono pada saat musyawarah pembagian dengan

  • Endardiyono, yang menjadi ahli waris dari Hj. Ponijem adalah Tikno

    Harjono dan Endardiyono.

    Untuk menerapkan asas individual yang benar, seharusnya pembagian

    yang dilakukan adalah pembagian untuk Tikno Harjono dengan

    Endardiyono. Pembagian yang sesuai menurut asas keadilan berimbang dan

    asas bilateral, hitungannya adalah 2:1 dengan ketentuan 2/3 bagian untuk

    Tikno Harjono karena Tikno Harjono merupakan saudara laki-laki pewaris

    dan 1/3 bagian untuk Endardiyono karena Endardiyono menggantikan

    kedudukan ibunya yang merupakan saudara perempuan pewaris. Dasar

    hukum untuk pembagian seperti diatas adalah asas bilateral dan asas keadilan

    berimbang yang menyatakan bahwa keseimbangan terjadi antara laki-laki

    dan perempuan disesuaikan dengan hak dan kewajibannya, karena laki-laki

    mempunyai kewajiban lebih besar daripada perempuan maka bagian yang

    didapat adalah 2:1. Dalam Pasal 182 KHI yang berbunyi: “.... maka bagian

    saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan”

    sehingga bagian diatas sesuai dengan KHI.

    Pelaksanaan pembagian harta warisan yang dilakukan oleh anak-anak

    Tikno Harjono bersama Endardiyono diatas menciderai beberapa asas dan

    beberapa kaidah, diantaranya kaidah Pasal 185 KHI. Terdapat beberapa poin,

    pertama Endardiyono yang ditetapkan sebagai ahli waris pengganti

    menggantikan kedudukan ibunya tidak diterapkan dalam pelaksanaan

    pembagian waris. Endardiyono didalam pembagian kedudukannya disamakan

    dengan anak-anak Tikno Harjono. Kedua pada saat musyawarah dilakukan,

    penghitungan pembagiannya bukan antara Tikno Harjono dengan

  • Endardiyono melainkan antara anak-anak Tikno Harjono dengan Endardiyono.

    Hal ini seolah-olah memberikan kesan kedudukan Tikno Harjono digantikan

    oleh anak-anak Tikno Harjono. Padahal sampai saat ini Tikno Harjono masih

    hidup. Dua poin diatas adalah penjelasan tentang kaidah hukum Pasal 185

    KHI yang diciderai dalam palaksanaannya.

    Dalam pelaksanaan pembagian waris kedudukan Endardiyono sebagai

    ahli waris pengganti tidak diakui oleh anak-anak Tikno Harjono sehingga

    selain menciderai Pasal 185 KHI hal tersebut menciderai aturan lingkungan

    sekitar. Seperti yang telah diketahui pendapat dari tokoh masyarakat12

    sekitar

    mengatakan terdapat ahli waris pengganti walaupun tidak dikenal dengan

    nama tersebut akan tetapi dari hasil wawancara yang telah dilakukan terdapat

    sebuah aturan waris yang memiliki maksud sama yaitu “ngijoli” sehingga

    pelaksanaan pembagian waris diatas tidak sesuai dengan konsep aturan yang

    ada dilingkungan sekitar tempat pembagian itu dilaksanakan.

    Dalam kasus sebagaimana yang dialami Endardiyono maka

    seyogyanya ketentuan pasal 185 KHI diberlakukan secara total, karena

    memang dasar tersebut yang digunakan dalam menentukan ahli waris

    pengganti.

    Sebagaimana dikutip Prof. Satria, Abu Zahrah, seorang ulama usul

    fiqh kenamaan menegaskan kemungkinan pembagian warisan secara

    kekeluargaan ini. Namun demikian, persyaratan paling utama yang harus

    dipenuhi adalah adanya kesepakatan dan kerelaan dari para ahli waris13

    .

    12

    Tokoh masyarakat disini adalah Widodo Ali Partono dan Ngadino yang telah dipaparkan di

    hasil penelitian . 13

    Satria Effendi Sein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta, Kencana, 2004, h. 217.

  • Lebih jauh, ahli waris tersebut juga dapat menggugurkan haknya untuk

    tidak mendapatkan hak waris dan memberikannya kepada ahli waris yang

    lain. Sebaliknya, bila para ahli waris, atau di antara ahli waris tidak

    setuju atau tidak rela harta warisan tersebut dibagi secara kekeluargaan,

    maka sistem pembagiannya dilakukan sesuai aturan faraid yang telah

    dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, atau dalam konteks Indonesia,

    sesuai peraturan perundang-undangan yang telah menjelaskan hal itu. Hal

    tersebut menunjukkan bahwa prinsip kekeluargaan yang pada intinya adalah

    untuk kemaslahatan hubungan kekeluargaan tidak dapat tercipta, sehingga

    pembagian warisan dapat menggunakan aturan sesuai dengan Hukum Islam

    maupun Hukum Barat.

    Dalam hal ahli waris pengganti tidak dapat menerima putusan

    pembagian waris yang dilakukan keluarga, maka dapat dilakukan melalui

    dua upaya hukum, yaitu melalui Pengadilan Agama untuk menetapkan

    besaran bagian warisan.

    Penggunaan asas dan kaidah yang digunakan hakim dalam penetapan

    nomor 43/Pdt.P/2011/PA.Wsb tentang ahli waris dengan penggunaan asas

    dan kaidah yang digunakan dalam pembagian secara keseluruhan hampir

    sama hanya terdapat perbedaan di dalam penggunaan asas dan kaidah di

    pembagian. Didalam penetapan tidak ada asas musyawarah karena didalam

    penetapan tidak disebutkan tentang pembagian hanya penetapan tentang ahli

    waris saja.