[3] kajian teori pemilihan lokasi perumahan.docx

34
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peri-Urban Berisi terkait konsep dasar, delimitasi, dan pembagian peri- urban, serta daya tariknya sebagai lokasi pembangunan perumahan bagi pengembang. 2.1.1 Konsep Peri-Urban Menurut Yunus (2008, 11), wilayah peri-urban (WPU) berarti suatu wilayah yang berada di antara wilayah kekotaan dan kedesaan. Dalam memudahkan identifikasi, WPU dapat dikenali dari batas terluar lahan terbangun suatu kota yang kompak dengan lahan kekotaan utama dan ditandai oleh 100% kenampakan kekotaan/pemanfaatan lahan non-agraris sampai ke wilayah yang 100% ditandai oleh bentuk pemanfaatan lahan agraris (Yunus 2008, 12). Batas pemanfaatan lahan kekotaan yang menyatu dengan kota utama menjadi titik tolak untuk mengidentifikasi WPU dan beberapa bagian di luar kota yang terjadi konversi lahan kedesaan menjadi kekotaan namun tidak menyatu secara kompak dengan lahan kekotaan utama termasuk ke dalam WPU. Sedangkan Dickinson (1967 dalam Yunus 2008, 21) menjelaskan bahwa WPU adalah suatu daerah kedesaan yang didalamnya telah terjadi pembangunan perumahan, industri–industri, dan perkantoran – perkantoran yang bersifat kekotaan. Disisi lain Pryor (1968 dalam Yunus 2008, 21) menjelaskan bahwa WPU memunculkan kenampakan percampuran pemanfaatan lahan yang berorientasi baik kekotaan maupun kedesaan sekaligus. Dalam WPU akan terlihat penetrasi lahan kekotaan dan jasa pelayanan umum. 12

Upload: dedy-syarif

Post on 26-Sep-2015

38 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Beberapa dasar teori terkait pemilihan lokasi pembangunan perumahan bagi pengembang

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peri-UrbanBerisi terkait konsep dasar, delimitasi, dan pembagian peri-urban, serta daya tariknya sebagai lokasi pembangunan perumahan bagi pengembang.2.1.1 Konsep Peri-UrbanMenurut Yunus (2008, 11), wilayah peri-urban (WPU) berarti suatu wilayah yang berada di antara wilayah kekotaan dan kedesaan. Dalam memudahkan identifikasi, WPU dapat dikenali dari batas terluar lahan terbangun suatu kota yang kompak dengan lahan kekotaan utama dan ditandai oleh 100% kenampakan kekotaan/pemanfaatan lahan non-agraris sampai ke wilayah yang 100% ditandai oleh bentuk pemanfaatan lahan agraris (Yunus 2008, 12). Batas pemanfaatan lahan kekotaan yang menyatu dengan kota utama menjadi titik tolak untuk mengidentifikasi WPU dan beberapa bagian di luar kota yang terjadi konversi lahan kedesaan menjadi kekotaan namun tidak menyatu secara kompak dengan lahan kekotaan utama termasuk ke dalam WPU. Sedangkan Dickinson (1967 dalam Yunus 2008, 21) menjelaskan bahwa WPU adalah suatu daerah kedesaan yang didalamnya telah terjadi pembangunan perumahan, industriindustri, dan perkantoran perkantoran yang bersifat kekotaan. Disisi lain Pryor (1968 dalam Yunus 2008, 21) menjelaskan bahwa WPU memunculkan kenampakan percampuran pemanfaatan lahan yang berorientasi baik kekotaan maupun kedesaan sekaligus. Dalam WPU akan terlihat penetrasi lahan kekotaan dan jasa pelayanan umum.Identifikasi WPU dapat dilihat dari dimensi fisik dan non-fisik. Pengidentifikasian dari segi fisik dapat dilihat dari bentuk pemanfaaatan lahan non-agraris dan lahan agraris. Wilayah kekotaan didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan non-agraris sedangkan wilayah kedesaan didominasi pemanfaatan lahan agraris. Namun karena kenampakan fisik kekotaan tidak selalu kompak dengan tubuh kenampakan fisikal kekotaan utamanya, maka perlu kehati-hatian yang tinggi dalam memaknai batas WPU dengan lahan kekotaan terbangunnya. Dalam wilayah tersebutlah WPU berada dimana di dalamnya terdapat percampuran bentuk pemanfaatan lahan kekotaan di satu sisi dan bentuk pemanfaatan lahan kedesaan di sisi lain. Keberadaan lahan non-agraris mengisyaratkan adanya penjalaran lahan kekotaan ke arah luar dan makin dekat dengan jarak ke lahan kekotaan terbangun utama maka makin intensif perkembangan kenampakan fisikal kekotaannya, begitu juga sebaliknya. Pengidentifikasian WPU dari segi non-fisik atau segi sosial ekonomi berbeda dari segi fisik. Secara ilmiah sangat sulit mengidentifikasi dari segi ini. Dari segi sosial ekonomi, batas terluar WPU adalah tempat dimana orang masih bersedia menglaju untuk bekerja/melakukan kegiatan ke kota (McGee 1994 dalam Yunus 2008, 13). Sebagai contoh, dalam wilayah mega urban/megapolis penentuan WPU menjadi semakin sulit karena wilayah ini terdiri dari berbagai kota yang menyatu secara sosial ekonomi dan moda transportasi yang sudah maju memungkinkan jarak penglaju ke kota akan sangat jauh dan lintas kota, sehingga batas WPU akan menjadi tumpang tindih (McGee 1994 dalam Yunus 2008, 14).2.1.2 Delimitasi Peri-UrbanPenentuan WPU secara fisikal lebih mudah dilakukan daripada non-fisikal. Yunus (2008, 32 42) menjelaskan bahwa terdapat tiga metode pendekatan yang dapat dilakukan untuk delimitasi zona WPU secara fisikal. Metode pendekatan tersebut adalah sebagai berikut.a) Pendekatan AdministratifPendekatan ini adalah cara penentuan zona WPU yang berdasarkan pada eksistensi unit administrasi dan data penggunaan lahan. Batas administrasi yang digunakan dapat berupa RT/dusun/desa. Namun dalam pemerintahan Indonesia, data yang tersedia adalah tingkat desa. Kemudian dari peta administrasi dan data penggunaan lahan ditentukan kategori WPU-nya. b) Pendekatan FisikalPendekatan ini adalah cara penentuan zona WPU atas dasar batas unit fisik yang seperti kenampakan linear jalan atau saluran air sehingga tergambar blok blok unit analisis. Kemudian masing-masing blok dihitung proporsi bentuk pemanfaatan lahannya.c) Pendekatan Sel/Sistem GridPendekatan ini menggunakan garis-garis konseptual yang dibuat secara vertikal dan horizontal pada suatu peta. Pendekatan ini akan menghasilkan sel/kotak-kotak sebagai unit analisis yang dihasilkan dari garis vertikal dan horizontal tersebut. Semakin besar skala peta yang digunakan dan semakin kecil jarak antargaris tersebut akan menghasilkan unit analisis yang semakin akurat.Berdasarkan penjelasan diatas, pengertian dan pendekatan dalam penentuan WPU dijadikan dasar dalam penentuan peri-urban Kota Surakarta di Kabupaten Sukoharjo dalam penelitian ini. Pendekatan yang digunakan dalam menentukan wilayah penelitian adalah pendekatan secara administrasi desa. 2.1.3 Pembagian Peri-UrbanKarakteristik peralihan kenampakan wilayah kekotaan dengan kedesaan dalam WPU di negara berkembang (Indonesia) yang berbeda dengan negara maju, dimana pergeseran yang terjadi di Indonesia adalah gradual (berkesinambungan) bukan diskrit seperti negara negara maju di luar negeri, mendorong Yunus merumuskan teori WPU di negara berkembang. Yunus (2008, 140 - 152) menjelaskan bahwa WPU di negara berkembang seperti Indonesia dapat dibagi ke dalam empat sub-zona seperti penjelasan di bawah ini.a) Zona Bingkai Kota (Zobikot)Merupakan bagian WPU yang paling dekat dan berbatasan langsung dengan lahan kekotaan terbangun utama dan di beberapa tempat bahkan menyatu dengan intensitas bangunan yang lebih rendah. Wilayah ini mempunyai karakteristik proporsi lahan kekotaan 75% dan 25% lahan kedesaan.b) Zona Bingkai Kota-Desa (Zobikodes)Merupakan bagian WPU dengan wilayah kekotaan berkisar 50% sampai 75%, sedangkan kenampakan kedesaan berkisar antara 25% sampai 50%.c) Zona Bingkai Desa-Kota (Zobidekot)Wilayah ini merupakan kebalikan dari Zobikodes dimana kenampakan lahan agraris/kedesaan berkisar antara > 50% sampai < 75% sedangkan untuk kenampakan pemanfaatan lahan kekotaan > 25% sampai < 50%.d) Zona Bingkai-Desa (Zobides)Merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan kedesaan. Batas terluar zona ini ditandai dengan 100% kenampakan bentuk pemanfaatan lahan agraris. Zona ini sangat didominasi oleh lahan agraris dimana proporsinya 75% sampai 25%.Berdasarkan teori di atas, terdapat pembagian karakteristik WPU menjadi empat sub-zona, yaitu zobikot, zobikodes, zobidekot, dan zobides. Penjelasan teori mengenai pembagian sub-zona WPU di atas digunakan sebagai dasar dalam penentuan zona lahan peruntukan permukiman dalam penelitian ini. 2.1.4 Daya Tarik Peri-Urban Terhadap Pembangunan Perumahan bagi PengembangWPU merupakan suatu wilayah yang paling dinamis kondisinya dibandingkan dengan bagian lain baik di dalam kota maupun di daerah perdesaan. Hal ini sangat wajar karena WPU merupakan sasaran pendatang baik penduduk maupun fungsi-fungsi yang berasal dari bagian dalam kota, kota-kota lain, maupun dari wilayah perdesaan untuk bertempat tinggal (Yunus 2008, 161).Bagi migran yang berasal dari dalam kota, WPU merupakan daerah yang sangat menarik untuk bertempat tinggal karena menawarkan tingkat kenyamanan yang jauh lebih tinggi dari pada suasana yang ada di dalam kota. Beberapa faktor penariknya antara lain : (1) keinginan memperoleh privasi yang terjamin, (2) keinginan untuk menikmati suasana alami dan kebebasan membangun, (3) keinginan untuk menikmati keleluasaan melaksanakan kegiatan, (4) keinginan untuk memperoleh suasana kondusif dalam membesarkan anak, dan (5) keinginan untuk memperoleh harapan baru berkegiatan ekonomi (Colby 1959; Turner 1972; Bauer dan Roux 1976; Russwurm 1977; Russwurm dan Preston 1980 dalam Yunus 2008, 221). Sementara itu beberapa faktor penarik WPU bagi migran dari luar kota sangat terkait dengan atribut kekotaan, diantaranya (1) keinginan untuk memperoleh lokasi tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerja, (2) keinginan untuk memperoleh peluang kerja yang lebih besar, (3) keinginan untuk menikmati fasilitas kehidupan dan kegiatan yang lebih lengkap, (4) keinginan untuk memperoleh lokasi tempat tinggal yang mempunyai aksesibilitas tinggi, dan (5) keinginan untuk memperoleh lokasi yang lebih prestisius (Yunus 2008, 221).Pengembang (developer) adalah perusahaaan swasta yang berorientasi profit dengan membangun proyek di bidang properti, termasuk perumahan, yang kemudian dijual kepada konsumen. Dengan adanya kelebihan-kelebihan WPU seperti penjelasan di atas, maka WPU yang identik dengan masih luasnya lahan non-terbangun dan memiliki harga lahan yang tidak terlalu mahal, menjadi peluang yang sangat besar bagi pengembang untuk mencari keuntungan finansial sebesar-besarnya dengan cara menyediakan tempat tinggal bagi para migran. Efek dari hal ini adalah munculnya kompleks-kompleks perumahan formal yang dibangun oleh pengembang di banyak wilayah peri-urban di kota-kota Indonesia.

2.2 Perumahan dan PermukimanBerisi terkait definisi perumahan dan permukiman, pembangunan perumahan, aktornya, pengembang perumahan, persepsi pengembang dalam memilih lokasi pembangunan perumahan, dan Kriteria Lokasi Pembangunan Perumahan bagi Pengembang.2.2.1 Definisi Perumahan dan PermukimanBerdasarkan UU No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, pengertian rumah, perumahan, dan permukiman adalah sebagai berikut: Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.2.2.2 Pembangunan PerumahanPembangunan di bidang yang berhubungan dengan tempat tinggal beserta sarana dan prasarananya memang perlu mendapatkan prioritas mengingat tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (Sastra dan Marlina 2006, 3). Bagi sebuah lingkungan perkotaan, kehadiran lingkungan perumahan sangatlah penting dan berarti karena bagian terbesar pembentuk struktur ruang perkotaan adalah lingkungan perumahan permukiman. Oleh karena itu, munculnya permasalahan pada suatu permukiman akan menimbulkan dampak langsung terhadap permasalahan perkotaan secara menyeluruh. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa baik atau buruknya sistem perkotaan dipengaruhi oleh baik-buruknya lingkungan permukiman (Sastra dan Marlina 2006, 29). 2.2.3 Aktor Pembangunan PerumahanTerdapat tiga pihak sebagai pelaku dalam proses pembangunan perumahan dan permukiman, yaitu (1) masyarakat sebagai pelaku utama yang diharapkan mampu menyediakan rumah layak dan sehat secara mandiri, (2) pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban dalam mengarahkan, membimbing, dan menciptakan suasana yang kondusif, dan (3) pihak swasta sebagai rekanan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunannya (Sastra dan Marlina 2006, 24 dan 48). Penyedia perumahan dapat berasal dari pemerintah maupun swasta. Pemerintah pada dasarnya untuk mencukupi kebutuhan perumahan dengan harga yang terjangkau, yang dalam jangka panjang bertujuan untuk menghilangkan kekurangan hunian terutama bagi masyarakat kurang mampu. Sedangkan dari sektor swasta mempunyai pertimbangan yang sedikit berbeda dalam memenuhi permintaan perumahan, karena mempertimbangkan keuntungan ekonomis (Sastra dan Marlina 2006, 81). 2.2.4 Pengembang Perumahana. Peran Pengembang dalam Perkembangan KotaPengembang (developer) adalah individu atau perusahaan atau badan hukum, seperti firma atau perseroan terbatas, yang bergerak di bidang usaha yang sangat spekulatif dalam hal pembangunan gedung untuk tujuan investasi (Catanese dan Snyder 1989, 293). Investasi dalam bentuk tanah dan/atau bangunan gedung yang ada di atasnya ini disebut dengan properti. Properti bisa berupa tanah dan/atau bangunan seperti perumahan, apartemen, bangunan industri, bangunan komersial, dan sebagainya.Peranan para pengembang adalah menciptakan lingkungan baru yang berencana dan dengan demikian menjadi pelaksana dari rencana kota. Para pengembang tidak hanya membangun unit unit rumah, tetapi juga aktif dalam rangka pembangunan kota yang sifatnya berkesinambungan (Yudohusodo et al. 1991, 159). Bahkan Snyder dan Catanese (1984, 152) mengatakan bahwa pengembang merupakan kunci proses pembangunan karena proyek-proyek yang dilakukannya. Jika dilihat pada wilayah peri-urban, prakarsa pengembang mempunyai peranan yang menarik untuk dikemukakan karena akan selalu menjadi aktor penarik yang kuat untuk mendatangi WPU. Yunus (2008, 78) menjelaskan, fakta empiris membuktikan bahwa suatu daerah yang sebelumnya merupakan daerah yang tidak berkembang dan kemudian dipilih oleh pengembang sebagai lokasi pembangunan proyek tertentu (perumahan, pariwisata, dan lain sejenisnya) dapat dipastikan bahwa lahan disekitarnya juga akan menikmati fasilitas kehidupan yang lebih baik. Fasilitas-fasilitas kehidupan yang mengikuti dibangunnya proyek-proyek tersebut merupakan penarik yang kuat bagi penduduk atau fungsi lain untuk menikmatinya. Hal ini berarti bahwa peran pengembang mampu menciptakan pusat pertumbuhan baru bagi wilayah yang dibidiknya.Namun dibalik peran positif pengembang yang begitu besar dalam mempengaruhi perkembangan kota, terdapat sisi lain yang harus diperhatikan dalam sepak terjang pengembang dalam melaksanakan proyeknya, terutama dalam hal pembangunan perumahan di WPU. Kelalaian atau tidak diarahkannya pembangunan perumahan oleh pengembang di WPU yang merupakan wilayah dengan tingkat kedinamisan tinggi akan berakibat pada terganggunya keseimbangan lingkungan sosial-budaya dan fisik di masa depan.Bertambahnya luas lahan permukiman merupakan suatu konsekuensi logis dari semakin banyaknya penduduk baik sebagai akibat dari pertambahan penduduk secara alami maupun karena migrasi di WPU. Semakin banyaknya pendatang baru, semakin tinggi pula tuntutan akan ruang tempat tinggal. Berkaitan dengan semakin bertambahnya luas lahan permukiman di WPU, dua hal yang merupakan penyebab utamanya, yaitu (1) karena bertambahnya bangunan rumah mukim yang dibangun oleh perorangan dan (2) bertambahnya lahan permukiman karena kelompok bangunan rumah yang dibangun oleh para pengembang (Yunus 2008, 222). Tipe pertama hanya membutuhkan tambahan areal yang sempit sedangkan tipe kedua membutuhkan areal yang jauh lebih luas dalam satuan yang kompak. Bertambahnya bangunan-bangunan yang dibangun oleh perorangan ini dapat dikategorisasikan sebagai proses formatif yang bersifat infiltratif, sedangkan bertambahnya areal permukiman yang disebabkan oleh pembangunan kompleks rumah mukim dalam jumlah yang banyak dan meliputi areal yang jauh lebih luas dan kompak dikategorisasikan sebagai proses formatif yang bersifat invasif (Yunus 2008, 222). Proses formatif infiltratif berlangsung dalam waktu terus-menerus sejalan dengan bertambahnya tuntutan ruang bagi penduduk yang membutuhkan dan akan memberikan sumbangan yang signifikan terhadap bertambahnya lahan permukiman dalam waktu yang lama, sedangkan proses formatif invasif berlangsung dalam waktu yang relatif singkat telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap bertambahnya lahan permukiman.Proses formatif invasif ini perlu diawasi dan dikendalikan agar tidak menimbulkan dampak negatif di kemudian hari seperti hasil temuan Bourne (1981) pada negara maju yang diteliti (Yunus 2008, 222). Disinilah letak peranan pengembang dalam menentukan perkembangan fisikal kekotaan dan hal ini harus disikapi secara arif oleh para penentu kebijakan agar dampak negatif yang muncul sesudahnya tidak mengakibatkan terganggunya keseimbangan lingkungan sosial-budaya dan fisik dikemudian hari (Yunus 2008, 227). Kebanyakan WPU, khususnya yang terletak dekat dengan lahan terbangun utama (kota) mempunyai tingkat pertambahan penduduk yang tinggi dan paling tinggi dibandingkan dengan kota sendiri. Disinilah letak kearifan pemerintah WPU yang berlokasi di sekitar kota tertentu sangat dituntut dalam memberikan rekomendasi untuk pembangunannya. Kesalahan memberikan rekomendasi tidak akan dapat diubah lagi karena sifat perubahan bentuk lahan yang terjadi adalah permanen. Pengembang sangat proaktif dalam mencari lokasi-lokasi pembangunan permukiman yang prospektif dan mendatangkan keuntungan besar. Bahkan beberapa diantara mereka tidak ragu-ragu melakukan suatu yang berlawanan dengan hukum untuk mencapai tujuannya. Penyuapan pada pihak-pihak tertentu yang mempunyai kewenangan menggolkan rencana tidak jarang dilakukan walaupun dalam beberapa hal keberadaan kawasan yang akan dibangun merupakan kawasan konservasi (Yunus 2008, 453). b. Klasifikasi PengembangUkuran sebuah pengembang dapat merefleksikan kekuatan monopoli perusahaan dalam pasar (Monk 1991 dalam Winarso 2000, 61). Menurut klasifikasi REI (1996) dan Ministry of Home Affairs (MOHA) (dalam Winarso 2000, 72), pengembang diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan luas lahan perizinan pembangunan perumahan yang sudah dilakukan, yaitu pengembang kecil jika telah melakukan pembangunan pada lahan seluas kurang dari 15 hektar, pengembang menengah jika antara 15-200 hektar, dan pengembang besar jika lebih dari 200 hektar. Jika diasumsikan bahwa terdapat 50 unit perumahan yang dapat dibangun dalam satu hektar lahan, maka akan terdapat 750 unit rumah dalam 15 hektar dan 10.000 unit rumah dalam 200 hektar lahan.2.2.5 Persepsi Pengembang dalam Memilih Lokasi Pembangunan PerumahanMenurut Schiffman dan Kanuk (2010 dalam Anastasia 2013, 142) persepsi adalah proses dimana seorang individu memilih, mengatur, dan menafsirkan rangsangan menjadi sebuah gambar yang bermakna dan koheren terhadap keadaan dunia. Jika dua orang mendapatkan stimulan yang sama, maka nilai dan ekspektasi dari tiap orang tersebut tergantung bagaimana mereka mengenal, menyeleksi, mengorganisir, dan menginterpretasikan stimulan tersebut. Persepsi dalam penelitian ini digunakan untuk menilai bagaimana pandangan pengembang terhadap masing-masing faktor pemilihan lokasi perumahan dalam memilih lokasi yang akan dijadikan pembangunan perumahan. Bagaimana jawaban setiap faktor, hal itulah yang menjadi permintaan (demand) lokasi perumahan dari segi persepsi pengembang.2.2.6 Kriteria Lokasi Pembangunan Perumahan bagi PengembangLokasi merupakan faktor yang memiliki pengaruh terkuat terhadap nilai suatu properti (Hidayati dan Harjanto 2003, 22). Properti ini bisa berupa tanah dan/atau bangunan yang berada diatasnya seperti perumahan, bangunan industri, bangunan komersial, dan sebagainya. Ada suatu pendapat yang menyatakan bahwa faktor yang menentukan nilai sebuah properti adalah pertama : lokasi, kedua : lokasi, dan ketiga : lokasi. Pernyataan di atas menunjukkan betapa pentingnya faktor lokasi dalam menentukan nilai sebuah properti. Dua buah properti yang mempunyai bentuk fisik sama tetapi lokasinya berbeda, maka nilainya tentu berbeda. Semakin tinggi nilai suatu properti maka harganya semakin mahal. Semakin mahal harganya maka keuntungan yang diperoleh juga semakin besar. Nilai sebuah properti sangat penting bagi sebuah perusahaan pengembang properti, termasuk developer perumahan, karena tidak dapat dipungkiri bahwa berjalannya perusahaan tersebut bertujuan untuk mencari profit yang sebesar-besarnya.Nilai properti sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh karena itu, penilaian properti merupakan suatu proses pemecahan masalah dengan mempertimbangkan dan menganalisis semua faktor yang berpengaruh terhadap nilai properti tersebut. Adapun faktor yang mempengaruhi tersebut dapat berupa faktor internal (yang terkait dengan karakter fisik properti itu sendiri) maupun faktor eksternal, yaitu peraturan pemerintah (zoning regulation), bentuk lahan (topografi), transportasi, masalah lingkungan, kedekatan dengan fasilitas-fasilitas kota (sekolah, toko/mall, tempat rekreasi, taman kota, klinik), waktu tempuh ke pusat kota, utilitas (saluran sanitasi, ketersediaan air, listik, dan sebagainya), (Hidayati dan Harjanto 2003 : 25, 31, 43, 44, 84, dan 85).Dalam melakukan penilaian terhadap suatu jenis properti, seorang penilai perlu terlebih dahulu mendeskripsikan dan menganalisis tanah atau tapak dari properti subyek. Deskripsi tanah atau tapak adalah sebuah daftar data faktual yang meliputi deskripsi kepemilikan dan informasi yang berkaitan dengan karakter fisik. Analisis tanah atau tapak adalah sebuah studi yang seksama terhadap data-data faktual yang berkaitan dengan karakteristik-karakteristik persekitaran (neighborhood characteristic) yang menciptakan, mempertinggi, atau justru mengurangi kegunaan dan daya jual (marketability) dari tanah/tapak (Hidayati dan Harjanto 2003, 76).Penilaian lahan untuk perumahan merupakan fungsi utama dari sebuah kesesuaian lahan untuk pembangunan. Penilaian ini meliputi lereng, geologi, hidrologi, dan keterbatasan fisik lainnya untuk pembangunan perumahan. Pemahaman terhadap sebuah lahan harus dipahami karena akan memunculkan pemaksaan atas keterbatasan lahan atau menawarkan beberapa kemungkinan lahan bagi pengembang untuk pembangunan (Bookout et al. 1990, 46-47). Dalam menganalisis lahan untuk pembangunan perumahan, Ian McHarg (dalam Bookout et al. 1990, 47-48) berpendapat bahwa sejumlah analis telah mencoba merumuskan teknik yang dapat digunakan secara luas untuk menilai fisik lahan. Penilaian dilakukan dengan menganalisis seluruh unsur atau faktor yang mempengaruhi nilai lahan. Hal ini dilakukan karena masing-masing unsur saling mempengaruhi dan dapat berubah karena pengaruh aktivitas manusia. Kemudian pada akhirnya analisis ini dapat menjelaskan tingkat toleransi dari suatu lahan untuk pembangunan. Dalam analisis tingkat toleransi lahan untuk pembangunan ini dapat dilakukan dengan pengkodean data-data lingkungan melalui komputer, overlay data-data tersebut ke dalam matrik, dan evaluasi kesesuaian secara matematis berdasarkan input data lingkungan yang diperoleh. Berikut akan dijelaskan faktor-faktor atau hal-hal yang dipertimbangkan pengembang dalam memilih lokasi yang akan dijadikan lokasi pembangunan perumahan.Dalam menentukan lokasi pembangunan perumahan, banyak kriteria yang mempengaruhi pengembang. Menurut Catanese dan Snyder (1989, 296) kriteria yang mempengaruhi pemilihan tempat pembangunan oleh pengembang adalah:a. Faktor hukum / kebijakan. Akankah hukum yang berlaku mengizinkan untuk didirikan gedung dengan ukuran tertentu, persyaratan tempat parkir, tinggi maksimum gedung, dan berbagai kendala lain yang berkaitan.b. Faktor prasarana. Faktor ini antara lain ketersediaan prasarana air, gas, listrik, telepon, tanda bahaya (alarm), dan pipa selokan.c. Faktor teknis. Bagaimana keadaan tanah, topografi, dan drainase akan mempengaruhi desain dan biaya pembangunan. d. Faktor lokasi yang meliputi pemasaran, dapat dicapai dengan mudah, terdapat lalu lintas kendaraan.e. Faktor estetika. Pemandangan yang indah dan kondisi bentang alam.f. Faktor masyarakat, yaitu reaksi masyarakat terhadap pembangunan perumahan, dampak pembangunan terhadap masyarakat dari segi kemacetan lalu lintas dan kebisingan.g. Faktor pelayanan kota : aparat kepolisian, pemadam kebakaran, pembuangan sampah, dan sekolah.h. Faktor harga tanah yang murah.

Menurut Bookout et al. (1990, 32-33) lokasi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan perumahan. Terdapat beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam memilih lokasi, yaitu:a. Perkembangan masa lalu kotaDipelajari untuk menentukan arah dimana biaya pengembangan perumahan tinggi, sedang, dan rendah telah berubah. Harga perumahan tinggi biasanya mengikuti arah perkembangan kota.b. Aksesibilitas Perumahan harus mempunyai akses ke jalan lokal dan arteri. Jika pembangunan perumahan ditujukan juga untuk masyarakat kelas menengah ke bawah, maka jarak akses ke pusat pekerjaan baik dengan jalan kaki atau dengan transportasi umum harus diperhatikan demi terciptanya lokasi perumahan yang baik.

c. Kedekatan dengan tempat kerjaLokasi paling diinginkan untuk pembangunan perumahan baru adalah dekat dengan tempat kerja. Penelitian telah menunjukkan bahwa banyak dari pekerja lebih senang tinggal di lokasi dengan perjalanan ke tempat kerja antara 30 45 menit.d. Kedekatan dengan pusat perbelanjaan, rekreasi, dan budayaKedekatan dengan pusat-pusat tersebut akan memudahkan penghuni dalam mendapatkan layanan perbelanjaan, rekreasi, dan budaya.e. Dekat dengan sarana pendidikanLokasi dan kualitas sarana pendidikan merupakan pertimbangan penting bagi keluarga muda dalam mencari rumah baru. Faktanya, kualitas sarana pendidikan wilayah dimana lokasi perumahan berada dapat membuktikan keefektifan pemasaran. Pengembang seharusnya mempertimbangkan akses dan kualitas dari sarana pendidikan di wilayah tersebut jika pangsa pasar banyak terdiri dari keluarga dengan anak masa sekolah.f. Kebijakan pemerintahSetiap prospek lokasi perumahan harus sesuai dengan kebijakan pemerintah. Karena tidak semua pemerintah kota/daerah mengumumkan rencana pengembangan wilayah yang ada, maka pengembang harus memahami secara menyeluruh mengenai keputusannya dalam menindaklanjuti lokasi pembangunan perumahan dengan pemerintah terkait.g. Ketersediaan prasarana dan sarana wilayahKetersediaan prasarana dan sarana tersebut harus dievaluasi dengan teliti. Apakah lokasi yang akan dibangun perumahan mempunyai pelayanan sarana prasarana yang mencukupi atau tidak.

Sedangkan Sastra dan Marlina (2006, 132 - 135) menjelaskan, bahwa dalam merencanakan lingkungan perumahan dengan baik perlu memperhatikan beberapa kriteria berikut :a. LokasiLokasi perumahan sebaiknya dipilih di daerah yang memberikan akses yang mudah bagi para pemukim (selama lamanya 30 menit dengan menggunakan alat transportasi umum) untuk menuju tempat kerja dan pusat pusat kegiatan pelayanan yang lebih luas. Ketentuan ini mengandung beberapa pengertian berikut: Antara lokasi perumahan dan tempat kerja serta pusat pusat layanan kegiatan dihubungkan dengan prasarana dan sarana jalan umum. Antara lokasi perumahan dan tempat kerja serta pusat pusat layanan kegiatan dilalui alat transportasi umum yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat yang bermukim di tempat tersebut.b. Kondisi Geologi/TopografiDari aspek geologi, struktur dan kekuatan tanah yang direncanakan untuk pengembangan daerah permukiman harus dalam kondisi yang baik dan stabil. Kondisi geologi yang kurang menguntungkan sebaiknya diolah terlebih dahulu hingga mencapai kondisi yang baik sebelum dikembangkan menjadi daerah permukiman.Kondisi topografi adalah kondisi yang menggambarkan kondisi kemiringan lahan atau kontur lahan. Semakin besar kontur lahan, berarti lahan tersebut mempunyai kemiringan yang semakin besar. Lahan yang baik untuk dikembangkan sebagai area perumahan adalah lahan yang relatif landai atau memiliki kemiringan yang kecil.c. Kepastian HukumStatus hukum sangat berkaitan dengan legalitas lahan tersebut. Dengan kejelasan status hukum, pemilik lahan akan mempunyai kebebasan untuk mengembangkan lahan selama masih dalam aturan yang berlaku di wilayah tersebut. Suatu bangunan/rumah dan tanah dikatakan mempunyai status hukum yang jelas apabila tanah, dan bangunan tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur hukum.

Menurut Mutaali (2013, 109) kriteria lokasi yang sesuai untuk kawasan permukiman antara lain sebagai berikut:1. Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0% - 25%)2. Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh penyelenggara dengan jumlah yang cukup (untuk air PDAM suplai air antara 60 liter/orang/hari sampai 100 liter/orang/hari)3. Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi);4. Drainase baik sampai sedang;5. Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/ pantai/ waduk/ danau/ mata air/ saluran pengairan/ rel kereta api dan daerah aman penerbangan;6. Tidak berada pada kawasan lindung;7. Tidak terletak pada kawasan budidaya pertanian/penyangga;8. Menghindari sawah irigasi teknis.

2.3 Sintesis Teori2.3.1 Perumusan Faktor-Faktor dalam Pemilihan Lokasi Pembangunan Perumahan bagi PengembangBerdasarkan kajian teori yang telah dijelaskan sebelumnya, maka faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi pembangunan perumahan menurut para pakar adalah seperti tabel berikut.Tabel 2.1 Faktor-Faktor dalam Pemilihan Lokasi Pembangunan Perumahan bagi Pengembang Berdasarkan Pendapat PakarNoSumber PendapatSubstansiFaktor Pemilihan Lokasi Terpilih

1Catanese dan Snyder (1989, 296) Kebijakan KDB dan KLB Ketersediaan Prasarana (air, gas, listrik, telepon, tanda bahaya, drainase, dan pipa selokan) Faktor Teknis (keadaan tanah, topografi, dan drainase) Lokasi, terkait dengan pemasaran, aksesibilitas, dilewati kendaraan umum Faktor estetika (pemandangan dan bentang alam) Faktor masyarakat, reaksi masyarakat terhadap pembangunan Fasilitas Pelayanan kota Harga tanah yang murah Kebijakan KDB dan KLB Ketersediaan prasarana (air bersih, listrik, drainase, dan limbah) Faktor Teknis (topografi lahan) Aksesibilitas Estetika lingkungan (pemandangan dan bentang alam) Ketersediaan Sarana Harga tanah

2Bookout et al. (1990, 32-33) Perkembangan masa lalu kota dipelajari untuk menentukan arah perkembangan kota yang mempengaruhi harga perumahan Aksesibilitas perumahan Lokasi perumahan dekat dengan tempat kerja Lokasi perumahan dekat dengan pusat perbelanjaan, rekreasi, budaya, dan pendidikan Kesesuaian dengan kebijakan pemerintah setempat Ketersediaan sarana prasarana wilayah Aksesibilitas (ketersediaan jalan dan trayek angkutan umum) Kedekatan dengan pusat perbelanjaan, rekreasi Kedekatan dengan sarana pendidikan Kebijakan pemerintah Ketersediaan prasarana wilayah Ketersediaan sarana wilayah

3Sastra dan Marlina (2006, 132-135) Kemudahan akses bagi pemukim ke tempat kerja dan pusat pelayanan. Kondisi geologi, kekuatan tanah yang baik dan stabil. Kondisi topografi yang baik untuk area perumahan adalah relatif landai atau kemiringan kecil. Kepastian hukum lahan, yaitu tanah dan bangunan diperoleh sesuai dengan prosedur hukum. Kebijakan tata ruang, diantaranya rencana penggunaan lahan, jenis bangunan yang diizinkan, KDB, KLB, dan garis sempadan bangunan. Aksesibilitas (jarak dengan pusat kota/pelayanan, ketersediaan prasarana jalan, ketersediaan transportasi umum) Kondisi lahan (topografi) Kejelasan status hukum lahan Kebijakan tata ruang ( rencana penggunaan lahan, KDB dan KLB)

4Mutaali (2013, 109) Topografi datar sampai bergelombang Tersedia sumber air bersih Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi); Drainase baik sampai sedang; Tidak berada pada wilayah sempadan Tidak berada pada kawasan lindung; Tidak terletak pada kawasan budi daya pertanian/penyangga; Menghindari sawah irigasi teknis Topografi Ketersediaan air bersih (air tanah atau ketersediaan jaringan pipa air bersih/PDAM) Keamanan (bebas dari ancaman bencana banjir, dan erosi) Drainase Kebijakan tata ruang

Sumber : Kajian Teoritis Penulis, 2014Berdasarkan tabel rangkuman teori di atas, maka dapat dirumuskan faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi pembangunan perumahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. Tabel 2.2 Rumusan Faktor-Faktor dalam Pemilihan Lokasi Pembangunan Perumahan bagi PengembangSumberRumusan Faktor dalam Pemilihan Lokasi Perumahan

Catanese dan Snyder(1989 : 296)Bookout et al.(1990, 32-33)Sastra dan Marlina (2006, 132-135)Mutaali(2013, 109)

Kebijakan KDB dan KLB Ketersediaan prasarana Topografi Aksesibilitas Estetika lingkungan Ketersediaan sarana Harga lahan Aksesibilitas Ketersediaan sarana Ketersediaan prasarana Aksesibilitas Topografi Status hukum lahan Topografi Ketersediaan sumber air Keamanan dari bencana (banjir dan erosi) Kebijakan KDB dan KLB Ketersediaan sarana Ketersediaan prasarana Topografi Status hukum lahan Harga lahan Estetika lingkungan Keamanan dari bencana (banjir dan erosi) Aksesibilitas

Sumber : Penulis, 20142.3.2 Penjelasan Faktor-Faktor dalam Pemilihan Lokasi Pembangunan Perumahan bagi Pengembanga. Kebijakan KDB dan KLBLokasi yang akan dijadikan sebagai tempat pembangunan perumahan terlebih dahulu harus memperhatikan peraturan atau kebijakan pembangunan lahan yang diizinkan. Dari segi penggunaan lahan bahwa lokasi yang dimaksud memperbolehkan untuk dibangun perumahan. Begitu juga dengan tingkat koefisien dasar bangunan (KDB) dan koefisien lantai bangunan (KLB) yang diizinkan. KDB menunjukkan perbandingan luasan lahan yang ditutupi perkerasan dengan luasan persil seluruhnya. Aturan ini ditujukan untuk mengendalikan luasan lahan yang harus bebas dari perkerasan untuk peresapan air ke dalam tanah. Sedangkan KLB menunjukkan perbandingan antara luasan seluruh lantai bangunan dengan luasan lantai dasar bangunan. Angka ini akan menggambarkan jumlah lantai bangunan yang diperbolehkan (Sastra dan Marlina 2006, 120 121).

b. Katersediaan Sarana1) Ketersediaan Sarana PendidikanKawasan permukiman harus disediakan fasilitas pendidikan sesuai dengan standar berikut ini:Tabel 2.3 Jangkauan Pelayanan Sarana Pendidikan pada Kawasan PermukimanNoJenis SaranaKriteria

Radius Pencapaian (m)Lokasi dan Penyelesaian

1SD1.000Terletak di tengah kelompok keluarga, tidak menyeberang jalan raya, bergabung dengan taman sehingga terjadi pengelompokan kegiatan.

2SMP1.000Dapat dijangkau dengan kendaraan umum dan disatukan dengan lapangan olahraga. Tidak selalu harus di pusat lingkungan

3SMA3.000

Sumber : SNI 03-1733-20042) Ketersediaan Sarana PerniagaanKawasan permukiman harus disediakan sarana perdaganan sesuai dengan standar berikut ini:Tabel 2.4 Jangkauan Pelayanan Sarana Perniagaan pada Kawasan PermukimanNoJenis SaranaKriteria

Radius Pencapaian (m)Lokasi dan Penyelesaian

1Pertokoan2.000Terletak di pusat kegiatan sub lingkungan.

2Pusat Pertokoan + Pasar LingkunganDapat dijangkau dengan kendaraan umum

3Pusat Perbelanjaan dan Niaga (toko + pasar + bank + kantor)Terletak di jalan utama. Termasuk sarana parkir sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sumber : SNI 03-1733-2004Sedangkan Kottler (1976 dalam Sukriswanto 2012, 40) menjelaskan bahwa pasar lingkungan (pelayanan tingkat kelurahan) mempunyai radius pelayanan 2.000 m. 3) Ketersediaan Sarana KesehatanMengenai hal ini, kawasan permukiman harus disediakan sarana kesehatan sesuai dengan standar berikut ini:Tabel 2.5 Jangkauan Pelayanan Sarana Kesehatan pada Kawasan PermukimanNoJenis SaranaKriteria

Radius Pencapaian (m)Lokasi dan Penyelesaian

1Puskesmas Pembantu dan Balai Pengobatan Lingkungan1.500Dapat dijangkau dengan kendaraan umum

2Puskesmas dan Balai Pengobatan3.000

Sumber : SNI 03-1733-2004

4) Ketersediaan Fasilitas RTH dan RekreasiFasilitas RTH dan rekreasi berfungsi sebagai pendukung estetika dan ruang publik. Kawasan permukiman harus disediakan fasilitas ruang terbuka hijau dan rekreasi sesuai dengan standar berikut ini:Tabel 2.6 Standar Jarak Tempat Olah Raga dan RekreasiNoSaranaJarak dari Tempat Tinggal (berjalan kaki)

1Tempat olah raga dan pusat rekreasi11/2 km atau 20 menit

2Taman untuk umum atau cagar (seperti kebun binatang, dan sebagainya)30 sampai 60 menit

Sumber : Chapin (1972 dalam Jayadinata, 1999)c. Ketersediaan Prasarana 1) Ketersediaan Air BersihAir bersih merupakan kebutuhan dasar dan menjadi salah satu komponen untuk menciptakan lingkungan perumahan permukiman yang sehat. Dalam pemenuhan kebutuhan air bersih pada suatu lingkungan permukiman, dapat dipenuhi dari air tanah maupun air yang dikelola oleh penyelenggara yang didistribusikan melalui pipa dengan jumlah yang cukup. Jumlah pemenuhan air bersih bila disediakan oleh pihak penyelenggara yang dalam hal ini adalah PDAM yaitu antara 60 liter/orang/hari sampai 100 liter/orang/hari (Mutaali 2013, 109).2) Ketersediaan Jaringan ListrikMenurut Mutaali (2013, 207) standar pelayanan penyediaan kebutuhan listrik bagi lingkungan permukiman adalah 450 VA/KK atau 90 VA/warga.3) Ketersediaan Jaringan DrainaseKawasan perumahan harus dilengkapi dengan sistem jaringan pembuangan air hujan yang mempunyai kapasitas tampung yang cukup sehingga lingkungan perumahan bebas dari genangan (Mutaali 2013, 131).4) Ketersediaan Jaringan JalanJalan merupakan jalur akses baik dari dan ke lokasi perumahan. Lingkungan perumahan harus disediakan jaringan jalan untuk pergerakan manusia. Ketersediaan jaringan jalan dalam lingkungan perumahan harus mengacu pada standar jaringan jalan sesuai dengan SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan berikut ini.

Tabel 2.7 Klasifikasi Jalan Lingkungan PerumahanHirarki Jalan PerumahanDimensi dari Elemen JalanDimensi pada Daerah JalanGSB min(m)Ket

Perkerasan(m)Bahu Jalan(m)Pedestrian(m)Trotoar(m)Damaja (m)Damija (m)Dawasja min (m)

Lokal Sekunder I3-7(mobil-motor)1,5-2(darurat parkir)1,5(pejalan kaki, vegetasi, penyandang cacat roda)0,510-1213410,5-

Lokal Sekunder II3-6(mobil-motor)1-1,5(darurat parkir)1,5(pejalan kaki, vegetasi, penyandang cacat roda)0,510-1212410-

Lokal Sekunder III3(mobil-motor)0,5(darurat parkir)1,2(pejalan kaki, vegetasi, penyandang cacat roda)0,58833Khusus pejalan kaki

Lingkungan I1,5-2(pejalan kaki, penjual dorong)0,5-0,53,5-4422Khusus pejalan kaki

Lingkungan II1,2(pejalan kaki, penjual dorong)0,5-0,53,2422Khusus pejalan kaki

Sumber : SNI 03-1733-20045) Ketersediaan Jaringan Limbah (Sanitasi)Kawasan perumahan harus dilengkapi dengan jaringan pembuangan limbah yang memenuhi SNI 03-1733-2004 (Mutaali 2013, 131). Jenis jaringan air limbah yang harus disediakan pada lingkungan perumahan diperkotaan adalah septic tank, bidang resapan, dan jaringan pemipaan limbah. Jika tidak terdapat septic tank individu, maka lingkungan perumahan harus menyediakan septic tank komunal yang melayani beberapa rumah. Begitu juga dengan bidang resapan, jika tidak secara individu, maka dapat disediakan resapan bersama. 6) Ketersediaan Jaringan PersampahanKawasan perumahan harus dilengkapi dengan prasarana persampahan yang mengikuti ketentuan SNI 03-1733-2004 seperti penjelasan tabel dibawah ini.Tabel 2.8 Kebutuhan Prasarana PersampahanLingkup PrasaranaPrasaranaKeterangan

Sarana PelengkapStatusDimensi

RW (2500 jiwa)Bak sampah kecilTPS6 m3Periodisasi pengumpulan 1 hari, 2 hari, atau 3 hari sekali tergantung komposisi produk sampah*

Kelurahan(30.000 jiwa)Bak sampah besarTPS12 m3

Sumber : SNI 03-1733-2004, *SNI 19-2454-2002d. Topografi Semakin besar derajat kemiringan lahan, maka semakin sulit lahan tersebut digunakan untuk area perumahan permukiman. Kondisi lahan yang tidak rata akan memerlukan rekayasa lahan sebelum dapat dibangun rumah. Rekayasa lahan tersebut membutuhkan biaya yang banyak sehingga berdampak pada tingginya biaya pembangunan rumah. Selain itu, derajat kemiringan juga berhubungan erat dengan kestabilan lahan. Semakin miring, potensi gerakan tanah / longsor akan semakin besar. Menurut Mutaali (2013, 109) kawasan peruntukan permukiman harus memiliki topografi datar sampai bergelombang yaitu dalam rentang kelerengan lahan 0% 25%. Sedangkan menurut SK Mentan No.837/Kpts/Um/11/1980, bahwa kelerengan lahan dibagi menjadi lima kelas, yaitu 0% 8% (datar), 8% 15% (landai), 15% - 25% (agak curam), 25% - 45% (curam), dan 45% atau lebih (sangat curam). Lahan yang baik untuk dikembangkan sebagai area perumahan adalah lahan yang relatif landai atau memiliki kemiringan yang kecil sehingga mempunyai potensi pengembangan yang besar (Sastra dan Marlina, 2006 : 135).e. Status Hukum LahanPeralihan hak atas tanah dan bangunan sangat berkaitan dengan hukum dan ditandai oleh adanya bukti. Untuk memberikan kepastian dan kekuatan hukum pemilikan tanah dan bangunan, setiap peralihan hak harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur setiap peralihan hak, yaitu dilakukan secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Kemudian perolehan hak tersebut harus didaftarkan pada instansi berwenang, yaitu kantor pertanahan untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah (Siahaan 2005, 6). Terdaftarnya tanah pada lembaga pertanahan merupakan suatu hal yang harus dilakukan berkaitan dengan jual beli tanah (Siahaan 2005, 122). Sehingga jika tanah sudah terdaftar dan mempunyai sertifikat tanah akan dapat diperjualbelikan kedepannya. f. Harga Lahan Harga lahan mempengaruhi besar keuntungan yang diperoleh oleh developer. Harga lahan menjadi salah satu hal yang sangat mempengaruhi besarnya biaya pembangunan dan harga jual perumahan. Tingginya harga perumahan memungkinkan masyarakat tidak mampu menjangkaunya (Catanese dan Snyder, 1989). Sehingga agar harga jual perumahan masih mampu dijangkau masyarakat, harga lahan untuk pembangunan perumahan harus tidak mahal.

g. Estetika LingkunganEstetika lingkungan merupakan keindahan lingkungan yang mampu menimbulkan rasa senang. Penelitian Kaplan dan Wendt (1972 dalam Porteous 1996, 132-133) menunjukkan bahwa semakin ke desa yang bercirikan alami, persepsi masyarakat tentang estetika lingkungan semakin tinggi. Lingkungan perkotaan yang dicirikan dengan lalulintas dan gedung-gedung tinggi mempunyai nilai estetis yang rendah dari pada lingkungan desa yang bercirikan alam seperti lahan pertanian dan pepohonan. Disisi lain dalam studi yang sejenis, penelitian Evans dan Wood (1980 dalam Porteous 1996, 133-134) yang menggunakan kategori penilaian simpatik dan tidak simpatik dengan permisalan pertanian dan pagar perdesaan dibandingkan perumahan dan pagar logam, menemukan bahwa peningkatan pembangunan menjadikan lansekap tidak berharga, tidak berguna, berantakan, dan jelek. Pemandangan padang rumput atau lahan pertanian yang merepresentasikan alam lebih disukai dari pada lingkungan perkotaan.Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa estetika lingkungan dapat dinilai berdasarkan pemandangan alam yang direpresentasikan dengan hamparan lahan pertanian. Sehingga dari hal tersebut, penilaian estetika lingkungan dalam penelitian ini dilihat dari keberadaan lahan peruntukan pertanian di wilayah penelitian.h. Keamanan dari Bencana Banjir dan Erosi1) Ancaman Bencana BanjirKawasan permukiman juga harus terbebas dari bencana banjir (Mutaali, 2013). Bencana banjir mengindikasikan bahwa lingkungan permukiman tidak aman dari bencana dan menimbulkan kekhawatiran terus menerus bagi penduduk yang tinggal di kawasan tersebut.2) Ancaman Bencana ErosiStruktur tanah yang kuat dan stabil menjadikannya terhindar dari bahaya gerakan atau erosi tanah. Apabila tanah mempunyai kestabilan yang mantap, secara teknis di lahan tersebut akan dapat dikembangkan berbagai bangunan secara leluasa dan tanpa ancaman bencana. Lahan dengan kondisi datar biasanya mempunyai potensi erosi sangat kecil dan bahkan tidak ada karena kondisi tanah yang stabil. Berikut ini adalah kriteria kemampuan lahan berdasarkan kondisi kelerengan (Mutaali 2013, 139).Tabel 2.9 Kriteria Kemampuan Lahan Berdasarkan Kondisi KelerenganNoKemiringan LerengKestabilan LerengErosivitasBencana Alam

10-15% (Datar landai)StabilRendahAman

215-40% (Bergelombang)Agak stabilSedangWaspada

3> 40% (Berbukit bergunung) Tidak stabilTinggiRawan

Sumber : Mutaali, 2013i. AksesibilitasMenurut Sastra dan Marlina (2006, 132) aksesibilitas dinilai dari ketersediaan jaringan jalan dan ketersediaan transportasi umum yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan Drabkin dalam Hermawan (2010, 47) menyebutkan bahwa kemudahan transportasi dan jarak ke pusat kota merupakan penilaian aksesibilitas lokasi perumahan. Sehingga berdasarkan pendapat pakar diatas aksesibilitas dapat dilihat dari ketersediaan trayek transportasi umum dan jarak ke pusat kota / pelayanan.1) Ketersediaan Trayek Transportasi UmumTingkat kemudahan transportasi dapat diukur dari banyaknya pilihan bagi konsumen yaitu: pilihan moda transportasi, trayek kendaraan umum, biaya, dan waktu pelayanan (Sadyohutomo 2008 dalam Subana 2013, 16). Daerah pelayanan angkutan umum mempunyai cakupan geografis, yaitu populasi yang dapat dijangkau oleh pelayananan rute-rute bus dengan berjalan kaki, maksimum sepanjang 500 meter (Standar Pelayanan Minimum Angkutan Umum, 2010).2) Jarak ke Pusat Kota / PelayananDalam menciptakan lingkungan kota yang baik, maka perlu disusun standar lokasi dalam pencapaian fasilitas atau pusat pelayanan kota. Standar ini berfungsi sebagai pedoman dalam menciptakan kemudahan akses ke fasilitas kota. Chapin (1972 dalam Jayadinata 1999, 161) menjelaskan bahwa standar jarak pusat pelayanan dalam kota adalah sebagai berikut:Tabel 2.10 Standar Jarak dalam KotaNoSaranaJarak dari Tempat Tinggal(berjalan kaki)

1Pusat tempat kerja20 sampai 30 menit

2Pusat kota (dengan pasar dan sebagainya)30 sampai 45 menit

3Pasar lokal km atau 10 menit

4Sekolah dasar km atau 10 menit

5Sekolah Menengah Pertama11/2 km atau 20 menit

6Sekolah Lanjutan Atas20 atau 30 menit

7Tempat bermain anak atau taman lokal km atau 10 menit

8Tempat olah raga dan pusat rekreasi11/2 km atau 20 menit

9Taman untuk umum atau cagar (seperti kebun binatang, dan sebagainya)30 sampai 60 menit

Sumber : Chapin (1972 dalam Jayadinata, 1999)2.4 Kerangka Pikir PenelitianBerdasarkan penjelasan teori di atas, dapat dirangkum kerangka Pikir penelitian seperti gambar di bawah ini.

Pemilihan lokasi perumahanWilayah peri-urbanPendekatanfisikalPendekatanadministratifPendekatansel/gridPersepsi pengembangdalam memilih lokasi perumahanKesesuaian wilayah peri-urban sebagai lokasi pembangunan perumahanPengembang perumahan(developer)Pelaksana rencana kotaKunci pembangunanPembangunan fisikal kota secara invasif yang perlu diwaspadaiKriteria lokasi perumahanFaktor kebijakan KDB dan KLBFaktor ketersediaan saranaFaktor ketersediaan prasaranaFaktor topografiFaktor status hukum lahanFaktor harga lahanFaktor estetika lingkunganFaktor keamanan dari bencanaFaktor aksesibilitas

Sumber : Analisis Penulis, 2014Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian32