2.4.14 rilis 7.puu-xii.2014 - uu ketenagakerjaan- 5

3
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAPAT DITERBITKAN SEGERA SIARAN PERS Saksi Pemohon Akan Kuatkan Gugatan UU Ketenagakerjaan Jakarta, 2 April 2014 – Mahkamah Konstitusi akan menggelar sidang kelima perkara Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945. pada Rabu (2/4) pukul 11.00 WIB dengan agenda Mendengarkan Keterangan Ahli/Saksi Pemohon dan Pemerintah. Perkara yang terdaftar dalam nomor 7/PUU-XII/2014 ini dimohonkan oleh perwakilan dari Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI), yaitu M. Komarudin, Rian Andriansyah, Nurman Shaleh, Mahfudin, Mulyadi, dan Siti Nurhasanah. Dalam Pokok Permohonannya, Pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003, yang masing-masing berbunyi: Pasal 59 ayat (7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Pasal 65 ayat (8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemboronganberalih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Pasal 66 ayat (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Pemohon memaparkan dalam permohonannya, UU a quo hanya mengatur sepanjang tata cara penyelesaian penyimpangan normayang mengandung unsur tindak pidana ketenagakerjaan, dan tidak mengatur mengenai tata cara bagaimana pelaksanaan (eksekusi) atas penetapan tertulis dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, yang tidak dimintakan pemeriksaan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dan juga tidak dijalankan secara suka rela oleh pengusaha/majikan. Sehingga menurut Pemohon pada Pasal yang dimohonkan terdapat kekosongan hukum yang dapat menimbulkan kerugian para Pemohon. Lebih mendalam, Pemohon berpendapat bahwa frasa “demi hukum” pada ketiga Pasal UU tersebut belum member kepastian hukum karena pengaturan akibat hukum atas tidak terpenuhinya syarat-syarat perjanjian kerja waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu, hanya sampai dengan diterbitkannya hasil pemeriksaan serta penetapan tertulis yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan. Sehingga selanjutnya, menurut Pemohon, penetapan tertulis tersebut dapat dimintakan ke Pengadilan Negeri yang dilaksanakan menurut aturan-aturan yang biasa untuk menjalankan suatu putusan perdata. Dengan alasan tersebut, para Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan frasa “demi hukum” ketiga Pasal UU a quo bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai “yang pelaksanaannya dapat dimintakan ke Pengadilan Negeri”. Dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan, Rabu (12/02/2014), Pihak Pemohon yang diwakili Komarudin menjelaskan bahwa selama ini perusahaan seringkali mengabaikan penetapan pekerjanya dari kontrak menjadi tetap. Menurut Pemohon, para buruh hanya bisa pasrah karena pengadilan negeri merasa tidak memiliki kewenangan menetapkan perusahaan untuk melaksanakan penetapan tertulis itu. Sementara pengadilan hubungan industri tidak mengurusi perpindahan status pekerja. Sehingga, menurut Pemohon saat ini banyak sekali pekerja kontrak di perusahaan-perusahaan.

Upload: penjoelz

Post on 18-Dec-2015

38 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

PUU

TRANSCRIPT

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

DAPAT DITERBITKAN SEGERA

SIARAN PERS

Saksi Pemohon Akan Kuatkan Gugatan UU Ketenagakerjaan

Jakarta, 2 April 2014 Mahkamah Konstitusi akan menggelar sidang kelima perkara Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945. pada Rabu (2/4) pukul 11.00 WIB dengan agenda Mendengarkan Keterangan Ahli/Saksi Pemohon dan Pemerintah. Perkara yang terdaftar dalam nomor 7/PUU-XII/2014 ini dimohonkan oleh perwakilan dari Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI), yaitu M. Komarudin, Rian Andriansyah, Nurman Shaleh, Mahfudin, Mulyadi, dan Siti Nurhasanah. Dalam Pokok Permohonannya, Pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003, yang masing-masing berbunyi:

Pasal 59 ayat (7)

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Pasal 65 ayat (8)

Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemboronganberalih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Pasal 66 ayat (4)

Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.Pemohon memaparkan dalam permohonannya, UU a quo hanya mengatur sepanjang tata cara penyelesaian penyimpangan normayang mengandung unsur tindak pidana ketenagakerjaan, dan tidak mengatur mengenai tata cara bagaimana pelaksanaan (eksekusi) atas penetapan tertulis dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, yang tidak dimintakan pemeriksaan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dan juga tidak dijalankan secara suka rela oleh pengusaha/majikan. Sehingga menurut Pemohon pada Pasal yang dimohonkan terdapat kekosongan hukum yang dapat menimbulkan kerugian para Pemohon.

Lebih mendalam, Pemohon berpendapat bahwa frasa demi hukum pada ketiga Pasal UU tersebut belum member kepastian hukum karena pengaturan akibat hukum atas tidak terpenuhinya syarat-syarat perjanjian kerja waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu, hanya sampai dengan diterbitkannya hasil pemeriksaan serta penetapan tertulis yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan. Sehingga selanjutnya, menurut Pemohon, penetapan tertulis tersebut dapat dimintakan ke Pengadilan Negeri yang dilaksanakan menurut aturan-aturan yang biasa untuk menjalankan suatu putusan perdata.Dengan alasan tersebut, para Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan frasa demi hukum ketiga Pasal UU a quo bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai yang pelaksanaannya dapat dimintakan ke Pengadilan Negeri. Dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan, Rabu (12/02/2014), Pihak Pemohon yang diwakili Komarudin menjelaskan bahwa selama ini perusahaan seringkali mengabaikan penetapan pekerjanya dari kontrak menjadi tetap. Menurut Pemohon, para buruh hanya bisa pasrah karena pengadilan negeri merasa tidak memiliki kewenangan menetapkan perusahaan untuk melaksanakan penetapan tertulis itu. Sementara pengadilan hubungan industri tidak mengurusi perpindahan status pekerja. Sehingga, menurut Pemohon saat ini banyak sekali pekerja kontrak di perusahaan-perusahaan.

Oleh karena itu, Komarudin sebagai Pemohon meminta MK menambahkan frasa demi hukum dengan frasa yang pelaksanaannya dapat dimintakan ke Pengadilan Negeri menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu pada pasala quo.

Pada sidang kedua (25/2) yang lalu, Pemohon memperbaiki petitum permohonannya sekaligus juga menguraikan lebih lanjut kerugian konstitusional yang dialami sesuai dengan saran dari majelis hakim pada sidang sebelumnya. Dalam petitum perkara nomor 7/PUU-XII/2014 yang baru diajukan, pemohon meminta MK memaknai frasa demi hukum menjadi meniadakan hak pekerja/buruh untuk meminta pelaksanaan nota pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instasi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan ke pengadilan negeri melalui pengadilan hubungan industrial setempat apabila perusahaan pemberi pekerjaan nyata-nyata tidak mengubah status pekerja waktu tertentu menjadi waktu tidak tertentu kepada yang diberi pekerjaan.

Lebih lanjut, Pemohon juga memastikan permohonannya tidakne bis in idemlantaran menurutnya pengujian Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UUa quoberbeda dengan pengujian UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya juga pernah diuji ke MK. Menurut mereka, permohonan perkara sebelumnya lebih kepada perbudakan modern, namun permohonan mereka lebih kepada adanya kekosongan hukum ketika pemerintah setempat atau pejabat terkait yang ditunjuk oleh menteri langsung sudah menetapkan (status pekerja kontrak ke tetap) tetapi tidak ada tahapan selanjutnya, sehingga para pekerja tidak bisa berbuat apa-apa.Pada sidang ketiga, Senin (10/3), Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sunarno menyatakan frasa demi hukum dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan justru dalam rangka memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pekerja/buruh maupun pengusaha.

Sunarto menegaskan apabila ada perusahaan yang melakukan pelanggaran sesuai ketentuan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, Pengawas Ketenagakerjaan melakukan pemeriksaan untuk menilai persyaratan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Untuk selanjutnya, Sunarto menjelaskan bahwa Pengawas Ketenagakerjaan akan mengeluarkan nota pemeriksaan sebagai peringatan agar pengusaha melaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Lebih lanjut, sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu, dalam Pasal 1 huruf d menyatakan Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu adalam suatu sistem pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang merupakan rangkaian kegiatan penyusunan rencana kerja, pemeriksaan di perusahaan atau tempat kerjam penindakan korektif baik secara preventif maupun represif, dan laporan hasil pemeriksaan. Nota pemeriksaan pengawas tersebut, dinilai Sunarto merupakan kegiatan penindakan korektif secara preventif.

Dengan kata lain, sambungnya, frasa demi hukum yang terdapat dalam pasal tersebut bersifat langsung dapat dilaksanakan atau berlaku dengan sendirinya. Berdasarkan hal tersebut, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan khususnya frasa demi hukum justru memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pekerja/buruh maupun pengusaha itu sendiri. Karena itu, menurut Pemerintah tidak diperlukan lagi pembuktian dan dan putusan pengadilan.Pada sidang Rabu (19/3), ahli pemohon Asri Wijayanti menjelaskan frasa demi hukum yang tertuang dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU ketenagakerjaan) dinilai merupakan norma yang kabur. Oleh karena itu, frasa demi hukum memerlukan pendefinisian atau interpretasi lebih lanjut. Menurutnya, pasal-pasal yang diajukan tidak memiliki jaminan perlindungan hukum. Asri menjelaskan bahwa dalam fakta yang ada, nota pegawai pengawas sudah menyatakan (pengusaha) melanggar, namun apabila pengusaha tidak mau melakukan nota tersebut, tidak ada upaya hukum lebih lanjut.

Menurutnya, selama ini ada diskriminasi terhadap pekerja. Pekerja sudah dibela melalui nota pegawai pengawas tapi dimentahkan dengan mediasi. Nota pegawai adalah nota penetapan tertulis dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Nota tersebut berupa rekomendasi apabila ada perusahaan yang melanggar aturan, termasuk melanggar ketentuan syarat hubungan kerja dari pekerja waktu tertentu (pekerja kontrak) menjadi pekerja waktu tidak tertentu (pekerja tetap). Nota kemudian dilaporkan kepada atasan dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, yakni Dinas Ketenagakerjaan tingkat Kabupaten/Kota sampai tingkat Kementerian.

Sayangnya, ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan memberi ruang multitafsir sehingga Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan kurang berani menegakkan ketentuan Pasal 59 ayat (7) UU tersebut. Akibatnya, timbul ketidakpastian hukum yang menjadi akar masalah dari setiap perselisihan perburuhan.

Asri yang merupakan Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya ini menyebut ketentuan Pasal 66 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan merupakan norma yang kabur. Lebih lanjut, kriteria kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, juga menimbulkan multitafsir yang membuat tidak adanya kepastian hukum. Pasalnya, yang berhak menentukan bagian dari proses produksi yang bersifat pokok atau penunjang adalah pengusaha.

Selain itu, agar nota pemeriksaan tersebut memiliki kepastian hukum diperlukan peran hakim di Pengadilan Negeri. Secara teori, frasa demi hukum memang sudah jelas dan tidak perlu dijabarkan kembali. Tapi pada praktiknya, menurut Asri, frasa tersebut mengandung makna kekosongan hukum dan apabila dilanggar tidak ada langkah konkret lebih lanjut. Menurut Asri hal ini yang harus ditegaskan kembali, karena selama ini pegawai pengawas hanya bisa menyatakan salah tapi tidak bisa menghukum. (Lulu Hanifah/Fitri Yuliana).Tentang Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang dibentuk berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ketiga. Pembentukannya dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi Humas Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Telepon: 021-2352 9000 ext. 18216, faks: 0213512456, Hp. 081-210-17-130, pin bb: 2afb9ff2. laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id EMBED Word.Picture.8

_1431871727.doc

_1078044596.doc