238539948 referat gangguan nyeri somatoform
DESCRIPTION
psikiatriTRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala
fisik (sebagai contohnya nyeri, mual, dan pusing) dimana tidak dapat ditemukan
penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius
untuk menyebabkan penderitaan pasien untuk berfungsi didalam peranan sosial
atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian
klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset,
keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh
pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.1
Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala fisik,
dimana tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal
tersebut terdapat bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut
terkait dengan adanya faktor fisiologis atau konflik. Karena gejala tak spesifik
dari beberapa sistem organ dapat terjadi pada penderita anxietas maupun penderita
somatoform disorder, diagnosis anxietas sering disalah diagnosiskan menjadi
somatoform disorder, begitu pula sebaliknya. Adanya somatoform disorder, tidak
menyebabkan diagnosis anxietas menjadi hilang. Pada DSM-IV ada 5 kategori
penting dari somatoform disorder, yaitu hipokhondriasis, gangguan somatisasi,
gangguan konversi, gangguan dismorfik tubuh dan gangguan nyeri somatoform.
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian
(histrotonik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk
dokternya untuk menerima bahwa kelakuannya memang penyakit fisik dan bahwa
perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut.1
2
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk lebih mengerti dan
gangguan nyeri serta untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departmen Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas
Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
1.2.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penulisan makalah ini adalah:
Mengetahui dan memahami dasar gangguan nyeri
1.2.3. Manfaat
Menambah informasi ilmiah mengenai gangguan nyeri.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Gangguan Nyeri
Gambaran esensial gangguan ini adalah preokupasi terhadap nyeri persisten,
berat dan membuat distres tanpa temuan fisis yang memadai untuk menjelaskan
nyeri atau intensitasnya. Nyeri psikogenik murni, sebenarnya lebih jarang terjadi
dibandingkankan dengan kompleksitas psikologis cedera yang ada atau terjadi
sebelumnya.1
Nyeri selalu memiliki komponen psikologis dan telah dijelaskan sebagian
pengalaman emosional dan sensorik yang tidak menyenangkan akibat
kemungkinan atau adanya kerusakan jaringan. Konsultasi psikiatrik sering
dimintakan bagi penderita nyeri kronik dengan keluhan yang tidak lazim. Banyak
yang mempunyai riwayat mengalami cedera sebelumnya, tetapi tanda-tanda baru
kerusakan jaringan atau saraf sendiri jarang terlihat. Pada keadaan normal,
penyembuhan memerlukan waktu 3 bulan, atau terkadang sampai 6 bulan, dan
korelasi antara nyeri dan cedera buruk setelah periode tersebut.1
2.2. Epidemiologi Gangguan Nyeri
Gangguan dianggap sering terjadi dalam praktik umum, dan didiagnosis
hampir dua kali lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki. Onset dapat
terjadi pada usia berapa pun, tetapi paling sering pada usia 30 dan 40-an.1
Sekitar 7 juta orang di Amerika mengeluhkan hendaya akibat nyeri
pinggang bawah. Gejala nyeri sendiri merupakan gejala paling umum yang akan
dijumpai dalam praktek kedokteran. Waspadai keluhan nyeri akibat
ketergantungan opioid dan benzodiazepine iatrogenik. Nyeri kronik biasanya
dikaitkan dengan gejala depresi berat (25-50%), atau dystimia (60-100%).1
Gangguan nyeri paling lazim ditemukan pada orang dengan pekerjaan
industri, mungkin karena kecenderungan mendapatkan cedera terkait pekerjaan
4
meningkat. Kerabat derajat pertama pasien dengan gangguan nyeri memiliki
kecenderungan meningkat untuk memiliki gangguan yang sama; oleh sebab itu,
penerunan genetik atau mekanisme perilaku mungkin terlibat di dalam
transmisinya. Gangguan depresif, gangguan anxietas, dan penyalahgunaan zat
juga lebih lazim ditemukan dalam keluarga pasien dengan gangguan nyeri
dibandingkan populasi umum.1
2.3 Etiologi Gangguan Nyeri
a. Faktor Predisposisi
Penderita gangguan ini cenderung mulai bekerja pada usia terlalu muda,
memegang pekerjaan yang secara fisik berat atau terlalu rutin, atau cenderung
gila kerja dan jarang mengambil waktu istirahat. Namun, pada banyak kasus,
nyeri dibentuk oleh faktor-faktor organik, psikologis, kepribadian, dan
budaya.2
Profil kepribadian rentan-nyeri telah diajukan. Kepribadian seperti ini
menimbulkan bencana dan kegagalan pembedahan. Namun, profil seperti ini,
misalnya profil V terbalik pada Minnesota Multiphasic Personality Inventory
(MMPI) (skor tinggi untuk hipokondriasis dan histeria serta skor rendah
untuk depresi), seing disebabkan oleh dampak nyeri kronik.2
Teori selanjutnya menunjukkan bahwa individu-individu seperti ini datang
dari latar belakang keluarga dengan orang tua yang kejam, yang menyiksa
anak-anaknya, kemudian menyesal dan menghiburnya, sehingga anak tumbuh
bersama cinta orang tua terhadap nyeri dan penderitaan. Namun, latar
belakang seperti ini jarang terlihat dalam praktik klinis, meskipun
peningkatan riwayat penyiksaan seksual dan fisik masa kanak-kanak telah
teridentifikasi. Beberapa kelompok etnis dan budaya, seperti orang Asia,
dikatakan lebih sering membawa masalah menjadi somatisasi.2
b. Faktor Perpetuasi dan presipitasi
Faktor ini meliputi trauma fisik, yang terjadi pada sekitar separuh kasus, dan
juga ketidakpuasan terhadap pekerjaan sebelum cedera.2
5
Latar belakang sedang diadili dengan harapan mendapat pengecualian
membuat penyembuhan nyeri sangat tidak mungkin saat proses tersebut
berlangsung. Bahkan setelah adanya keputusan hukum yang memuaskan,
sejumlah pasien terus mengeluhkan nyeri kronik.2
Sumber lain menyebutkan gangguan nyeri somatoform juga dapat dipengaruhi
oleh:
a. Faktor psikodinamik
Pasien yang mengalami sakit dan nyeri ditubuh tanda adanya penyebab fisik
yang dapat diidentifikasi dan adekuat mungkin secara simbolis
mengekspresikan suatu konflik intrapsikik melalui tubuhnya. Untuk pasien
yang menderita aleksitimia, disini pasien tidak mampu menjelaskan keadaan
internal mereka dengan kata-kata, tubuh merekalah yang mengekspresikan
perasaan tersebut. Pasien lain dapat secara tidak sadar menganggap nyeri
emosional sebagai sesuatu yang lemah dan kurang legitimasi. Dengan
memindahkan masalah ke tubuh, mereka dapat merasakan bahwa mereka
memiliki tuntutan sah terhadap pemenuhan kebutuhan mereka untuk
bergantung. Arti simbolik gangguan tubuh juga dapat menghubungkan untuk
pertobatan dosa yang disadari, untuk memperbaiki rasa bersalah, atau untuk
menekan agresi. Banyak pasien mengalami nyeri yang tidak responsif dan
sulit dikendalikan karena mereka yakin mereka pantas menderita.1
Nyeri dapat berfungsi sebagai suatu metode untuk memperboleh cinta,
hukuman untuk kesalahan, dan cara untuk memperbaiki rasa bersalah dan
rasa keburukan alami. Di antara mekanisme defens yang digunakan pasien
dengan gangguan nyeri adalah displacement, substitusi, dan represi.
Identifikasi memerankan bagian jika pasien mengambil peran objek cinta
yang ambivalen yang juga memiliki kebutuhan nyeri, seperti orang tua.1
b. Faktor perilaku
Perilaku nyeri didorong saat dihargai dan dihambat saat diabaikan atau
dihukum. Contohnya, gejala nyeri sedang dapat menjadi intens jika diikuti
perilaku cemas dan perhatian oleh orang lain, dengan keuntungan keuangan,
6
atau dengan berhasilnya penghindaran aktivitas yang tidak disukai.1
c. Faktor interpersonal
Nyeri yang sulit dikendalikan telah dikonseptualisasikan sebagai cara untuk
memanipulasi dan mendapatkan keuntungan dalam hubungan interpersonal,
contohnya untuk meyakinkan kasih sayang seorang anggota keluarga atau
menstabilkan perkawinan yang mudah retak. Keuntungan sekunder seperti itu
paling penting pada pasien dengan gangguan nyeri.1
d. Faktor biologis
Korteks serebri dapat menghambat cetusan serat nyeri aferen. Serotonin
mungkin merupakan neurotransmiter utama dalam jaras inhibisi desenden,
dan endorfin juga memainkan peran penting dalam modulasi nyeri sistem
saraf pusat. Defisiensi endorfin tampaknya berhubungan dengan augmentasi
stimulus sensorik yang datang. Beberapa pasien dapat memiliki gangguan
nyeri, bukannya gangguan jiwa lain karena kelainan kimia atau struktural
limbik dan sensorik menjadi predisposisi mereka untuk mengalami nyeri.1
2.4 Gambaran Klinis Gangguan Nyeri
Pasien dengan gangguan nyeri tidak menyusun suatu kelompok yang sama,
tetapi kumpulan orang yang heterogen dengan nyeri punggung bawah, sakit
kepala, nyeri fasial atipikal, nyeri pelvis kronis, dan jenis nyeri lain. Rasa nyeri
pasien dapat berupa neuropatik, neurologis, iatrogenik, atau muskuloskeletal,
pascatrauma; meskipun demikian, untuk memenuhi diagnosis gangguan nyeri,
gangguan tersebut harus memiliki faktor psikologis yang dinilai secara signifikan
terlibat dalam gejala nyeri dan percabangannya.2
Pasien dengan gangguan nyeri sering memiliki riwayat perawatan medis dan
pembedahan yang panjang. Mereka mengunjungi banyak dokter, meminta banyak
obat, dan terutama dapat terus-menerus menginginkan pembedahan. Bahkan,
mereka dapat benar-benar memiliki preokupasi terhadap nyeri mereka dan
menyebutkan sebagai sumber semua kesengsaraan mereka. Pasien tersebut sering
menyangkal sumber lain disforia emosi dan bersikeras bahwa hidup mereka
7
diberkati oleh nyeri yang mereka alami. Gambaran klinis mereka dapat dipersulit
oleh gangguan terkait zat karena pasien ini berupaya mengurangi nyeri melalui
penggunaan alkohol dan zat lain.2
Sedikitnya satu studi telah menghubungkan jumlah gejala nyeri dengan
kecenderungan dan keparahan gangguan somatisasi, gangguan deprsif, dan
gangguan ansietas. Gangguan depresif berat terdapat pada kira-kira 25 hingga 50
persen pasien dengan gangguan nyeri, dan gangguan distimik atau gejala
gangguan depresif dilaporkan pada 60 hinggan 100 persen pasien. Sejumlah
peneliti yakin bahwa nyeri kronis hampir selalu merupakan varian gangguan
depresif, bentuk samaran atau somatisasi depresi. Gejala depresif yang paling
menonjol pada pasien dengan gangguan nyeri adalah anergia, anhedonia, libido
berkurang, insomnia, dan iritabilitas; varian diurnal, turunnya berat badan, dan
retardasi psikomotor tampak lebih jarang.2
Perjalanan normal berupa timbulnya nyeri mendadak dan meningkatnya
keparahan dalam beberapa minggu sampai bulan. Nyeri tersebut tidak sesuai
dengan distribusi anatomis sistem saraf. Secara khas, nyeri terjadi terus-menerus
hampir seharian, dapat menyebabkan kesulitan untuk mulai tidur tetapi tidak
membuat pasien terbangun, dan memiliki makna simbolik, misalnya nyeri dada
pada seseorang yang mempunya saudara yang meninggal akibat serangan
jantung.4
Insight terbatas terhadap faktor-faktor psikologis terkait dan pasien biasanya
kurang berespons terhadap analgetik dibandingkan obat psikotropik. Gangguan
nyeri menetap dapat disertai perubahan sensorik lokal dan motorik, seperti
parastesia dan spasme otot. Doctor shopping dan penggunaan analgetik berlebihan
tanpa kesembuhan sering terjadi. Riwayat gejala-gejala konversi dahulu biasanya
ada, seperti pada gangguan depresif terkait.4
Nyeri menjadi pemecahan masalah psikologis bagi pasien dan dapat
diperbaiki dengan perubahan lingkungan dan psikologis. Nyeri juga berhubungan
dengan gagasan yang dipegang pasien mengenai kondisinya. Tingkat disabilitas
yang terjadi menggambarkan keyakinan ini, bukan keparahan cedera sebelumnya
atau penyakit organik. Semakin tidak yakin pasien akan penyebab nyeri ini, atau
8
semakin yakin dirinya bahwa nyeri akan bertahan, semakin buruk kecacatan dan
keputus asaan. Keluhan sering meningkat setelah pemeriksaan luas dengan hasil
negatif, yang hanya membuat pasien frustasi.4
Anamnesis dapat memperlihatkan kepribadian hipokondrial yang rentan
dengan ambang nyeri yang rendah. Riwayat dari seorang narasumber perlu
didapatkan dan catatan rumah sakit sebelumnya perlu diperiksa. Riwayat
psikiatrik sebelumnya dapat memperlihatkan episode, penyebab, dan presipitan
yang sama.4
Pemeriksaan fisis diperlukan, tidak hanya untuk menyingkirkan penyakit
organik, tetapi juga untuk mendapatkan kredibilitas di mata pasien dan untuk
sendirilebih menghargai keluhan secara keseluruhan. Pada pemeriksaan, gangguan
nyeri persisten ditandai terjadinya reaksi berlebihan terhadap pemeriksaan itu
sendiri, nyeri tekan superfisial difus dan kelemahan semua otot di regio tersebut.4
Pemeriksaan tambahan mungkin juga dilakukan dengan meminta pasien
melengkapi catatan harian tentang nyeri dan perilaku serta tindakan yang
diakibatkannya. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan, misalnya bahwa nyeri
memburuk jika ada pasangan dan bila pasangan menjadi simpatik pada pasien.
Setelah penilaian, melanjutkan catatan harian tentang nyeri mungkin bisa
membahayakan, karena hanya meningkatkan perhatian pasien terhadap nyeri.4
2.5 Kriteria Diagnosis Gangguan Nyeri
Kriteria diagnostik berdasarkan DSM-IV-TR gangguan nyeri yaitu:5
a. Nyeri pada satu tempat atau lebih yang menjadi fokus utama dan cukup berat
untuk menjadi perhatian klinis.
b. Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya dalam bidang
sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
c. Faktor psikologis berperan penting dalam awitan, keparahan, eksaserbasi,
atau bertahannya nyeri.
d. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau malingering).
e. Nyeri sebaiknya tidak disebabkan gangguan mood, ansietas, atau gangguan
9
psikotik, dan tidak memenuhi kriteria diagnostik dispareunia.
Beri kode sebagai berikut:5
Gangguan nyeri terkait faktor psikologis: faktor psikologis dinilai mempunyai
peranan dalam awitan, keparahan, eksaserbasi, atau menetapnya nyeri. (Jika
terdapat keadaan medis umum keadaan ini tidak memiliki peran utama dalam
medis umum, keadaan ini tidak memiliki peran utama dalam awitan,
keparahan, eksaserbasi, atau menetapnya nyeri). Jenis gangguan nyeri ini
tidak didiagnosis jika kriteria gangguan somatisasi juga terpenuhi.
Gangguan nyeri terkait faktor psikologis dan keadaan medis umum: faktor
psikologis dan keadaan medis umum dinilai memiliki peran penting dalam
awitan, keparahan, eksaserbasi, atau menetapnya nyeri. Keadaan medis
umum terkait atau tempat anatomis nyeri diberi kode Aksis III.
Selanjutnya juga perlu digolongkan apakah berdasarkan perjalanannya
gangguan nyeri ini bersifat akut atau kronik, dengan kriteria akut < 6 bulan
dan kronik 6 bulan atau lebih.
Catatan: berikut ini tidak dianggap sebagai gangguan jiwa dan dicantumkan di
sini untuk mempermudah diagnosis banding.
Gangguan nyeri terkait keadaan medis umum: keadaan medis umum memiliki
peran utama dalam awitan, keparahan, eksaserbasi, atau menetapnya nyeri.
(Jika ada faktor psikologis tidak dinilai memiliki peran utama dalam awitan,
keparahan, eksaserbasi, atau menetapnya nyeri). Kode diagnostik nyeri dipilih
berdasarkan keadaan medis terkait jika telah ditegakkan atau berdasarkan
lokasi anatomis nyeri jika keadaan medis umum yang mendasari belum jelas
ditegakkan, contohnya punggung bawah, iskiadika pelvis, sakit kepala, wajah,
dada, sendi, tulang, abdomen, payudara, ginjal, telinga, mata, tenggorok, gigi,
dan saluran kemih.
Kriteria diagnostik berdasarkan PPDGJ III gangguan nyeri somatoform
menetap yaitu:3
Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya gangguan
10
fisik.
Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau problem
psikososial yang cuckup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam
mempengaruhi terjadinya gangguan tersebut.
Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal
maupun medis, untuk yang bersangkutan.
2.6 Diagnosis Banding Gangguan Nyeri
1. Gangguan nyeri berasosiasi dengan kondisi medik umum
2. Gangguan somatisasi yang menonjol gejala nyerinya
3. Hipokondriasis
4. Malingering
Nyeri fisik murni dapat sulit dibedakan dengan nyeri psikogenik murni
terutama karena keduanya tidak ekslusif. Intensita nyeri fisik berfluktuasi dan
sangat sensitif terhadap pengaruh emosi, kognitif, perhatian, dan situasi. Nyeri
yang tidak bervariasi dan tidak sensitif terhadap faktor-faktor ini cenderung
bersifat psikogenik. Ketika nyeri tidak membaik dan memburuk serta bahkan
tidak membaik secara sementara dengan pengalihan atau alagesik, klinisi dapat
mencurigai adanya komponen psikogenik yang penting.1
Gangguan nyeri harus dibedakan dengan gangguan somatoform lain
walaupun beberapa gangguan somatoform dapat timbul bersamaan. Pasien dengan
preokupasi hipokondriasis dapat mengeluh nyeri dan aspek gambaran klinis
hipokondriasis, seperti preokopasi dan tuduhan penyakit, juga dapat ada pada
pasien dengan gangguan nyeri. Pasien dengan hipokondriasis cenderung memiliki
lebih banyak gejala daripada pasien dengan gangguan nyeri. Gangguan konversi
umumnya tidak bertahan lama sedangkan gangguan nyeri bersifat kronis.
Disamping itu, nyeri sesuai definisi, bukanlah gejala gangguan konversi. Pasien
malingering secara sadar memberikan laporan palsu dan kebutuhan mereka
biasanya berhubungan dengan tujuan yang dapat dikenali dengan jelas.1
11
Diagnosis banding dapat sulit dilakukan karena pasien dengan gangguan
nyeri sering menerima kompensasi ketidakmampuan atau keuntungan proses
hukum. Sakit kepala kontraksi otot (tension), contohnya memiliki mekanisme
patofisiologis yang bertanggung jawab untuk nyeri tersebut dan tidak didiagnosis
sebagai gangguan nyeri. Meskipun demikian, pasien dengan gangguan nyeri tidak
berpura-pura sakit. Seperti pada semua gangguan somatoform, gejalanya bukanlah
khayalan.1
Penyakit psikiatrik lain harus disingkirkan, pada gangguan depresif tertentu
dan gangguan somatisasi, tetapi nyeri jarang mendominasi gambaran klinis
keadaan ini, meskipun pasien sering mengeluh nyeri dan ngilu. Beberapa individu
psikotik, seperti penderita skizofrenia, dapat mengalami sindrom nyeri berwaham.
Individu-individu yang bergantung pada narkotik mungkin mengeluhkan nyeri
untuk mendapatkan opioid.4
2.7 Penatalaksanaan Gangguan Nyeri
Penyakit organik harus disingkirkan dan, jika tidak dapat, evaluasi lengkap
tingkat dan luas patologi fisik serta kontribusinya pada gejala nyeri harus dibuat.
Jelas, terapi medis yang adekuat pada setiap dasar organik nyeri penting
dilakukan. Klinik nyeri multidisiplin, yang terdiri dari seorang ahli anestesi,
psikiater dan dokter, dapat mempermudah penanganan. Stres psikososial yang
baru terjadi perlu dihilangkan. Antidepresan seperti amitriptyline, yang
mempengaruhi baik ambilan kembali serotonin maupun noradrenalin, lebih efektif
daripada antidepresan yang terutama bekerja pada ambilan noradrenalin.
Antidepresan trisiklik juga memiliki aksi analgetik dengan onset lebih cepat
daripada dan tidak bergantung pada efek antidepresannya. Metode terapi perilaku-
kognitif juga telah diketahui bermanfaat. 4
Sejumlah data keluaran menunjukkan bahwa psikoterapi psikodinamik
membantu pasien dengan gangguan nyeri. Langkah utama psikoterapi adalah
membangun hubungan terapeutik yang solid melalui empati terhadap penderitaan
12
pasien. Klinisi tidak boleh mengkonfirmasi pasien somatisasi dengan komentar
seperti “ini semua hanya ada didalam pikiran Anda”. Bagi pasien, nyeri yang
dialami adalah nyata, dan klinisi harus memahami realitas nyeri tersebut,
meskipun mereka mencurigai asalnya sebagian besar adalah intrapsikik. Titik
masuk yang berguna didalam aspek emosi nyeri adalah memriksa percabangan
interpersonal dalam kehidupan pasein. Dengan menggali masalah perkawinan,
contohnya psikoterapis dapat segera sampai pada sumber nyeri psikologis pasien
dan fungsi keluhan fisik dalam hubungan yang signifikan. Terapi kognitif telah
digunakan untuk mengubah pikiran negatif dan untuk memupuk sikap positif.1
Terapi lain seperti biofeedback dapat membantu di dalam terapi gangguan
nyeri, terutama dengan nyeri migrain, nyeri miosfasial, dan ketegangan otot,
seperti sakit kepala tension. Hipnosis, stimulasi saraf transkutan, dan stimulasi
kolumna dorsalis juga telah digunakan. Penyekatan saraf dan prosedur ablatif
dengan pembedahan tidak selektif bagi sebagian besar pasien dengan gangguan
nyeri, rasa nyeri akan kembali setelah 6 hinggan 18 bulan.1
Dapat juga dilakukan program pengendalian nyeri. Kadang-kadang penting
untuk menyingkirkan pasien dari lingkungan sehari-hari mereka dan
menempatkannya dalam program pengendalian nyeri rawat inap yang
komprenhensif. Unit nyeri multidisiplin menggunakan banyak modalitas seperti
terapi kognitif, perilaku, dan terapi kelompok. Unit-unit ini memberikan
pembelajaran fisik dan latihan serta menawarkan evaluasi dan rehabilitasi
kejuruan. Gangguan jiwa yang ada secara bersamaan didiagnosis dan diterapi, dan
pada pasien yang bergantung pada analgetik maupun hipnosis dilakukan
detoksifikasi. Program terapi multimodal rawat inap umumnya melaporkan hasil
yang memuaskan.1
Berdasarkan sumber lain tatalaksana gangguan nyeri somatoform dijelaskan
sebagai berikut:
a. Kenali dan tangani semua gangguan medis umum yang mungkin
berkontribusi terhadap gejala nyeri
b. Seperti pada gangguan somatisasi dan hipokondriasis, target tatalaksana
13
bukanlah kesembuhan melainkan perawatan, sebab tidak mungkin
menghilangkan nyeri.
c. Terapis perlu mendiskusikan sejak awal bahwa sumber nyeri pasien adalah
psikogenik, menjelaskan berbagai sirkuit dalam otak yan terlihat dengan
emosi seperti sistem limbik akan mempengaruhi sensorik. Namun terapis
harus memahami bahwa nyeri yang dialami pasien sebagai sesuatu yang
nyata.
d. Klinik nyeri (pain clinic) dengan pendekatan multidispliner sering
bermanfaat, sekaligus menunjukkan pada pasien bahwa penderitaan mereka
ditangani secara serius.
e. Terapi perilaku yang membimbing pasien untuk menerima rasa nyeri dan
mengoptimalisasi fungsi mereka walaupun tetap ada rasa nyeri.
f. Farmakologi yang dapat menolong adalah golongan antidepresan trisiklik dan
SSRI. Golongan analgetik, sedatif, dan anticemas tidak bermanfaat bahkan
dapat menimbulkan ketergantungan dan memperparah gejala.
2.8 Prognosis Gangguan Nyeri
Pada sebagian besar kasus, gejala-gejala telah menetap selama beberapa
tahun sebelum individu datang ke psikiater. Penderita yang memperlihatkan
distres emosional dengan gejala-gejala fisik cenderung berprognosis buruk,
sedangkan penderita yang mampu menerima nyeri dan menyadari betapa
pentingnya usaha mereka sendiri untuk memperbaiki kualitas hidup cenderung
lebih baik.4
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan nyeri somatoform adalah preokupasi terhadap nyeri persisten,
berat dan membuat distres tanpa temuan fisis yang memadai untuk menjelaskan
14
nyeri atau intensitasnya. Nyeri psikogenik murni, sebenarnya lebih jarang terjadi
dibandingkankan dengan kompleksitas psikologis cedera yang ada atau terjadi
sebelumnya.
Gangguan dianggap sering terjadi dalam praktik umum, dan didiagnosis
hampir dua kali lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki. Onset dapat
terjadi pada usia berapa pun, tetapi paling sering pada usia 30 dan 40-an.
Nyeri menjadi pemecahan masalah psikologis bagi pasien dan dapat
diperbaiki dengan perubahan lingkungan dan psikologis. Nyeri juga berhubungan
dengan gagasan yang dipegang pasien mengenai kondisinya. Tingkat disabilitas
yang terjadi menggambarkan keyakinan ini, bukan keparahan cedera sebelumnya
atau penyakit organik. Semakin tidak yakin pasien akan penyebab nyeri ini, atau
semakin yakin dirinya bahwa nyeri akan bertahan, semakin buruk kecacatan dan
keputus asaan.
Penatalaksanaannya dapat diberikan farmakoterapi, psikoterapi,
biofeedback sebagai terapi lain dan dapat dilakukan program pengendalian nyeri.
Prognosis pada penderita yang memperlihatkan distres emosional dengan gejala-
gejala fisik cenderung berprognosis buruk, sedangkan penderita yang mampu
menerima nyeri dan menyadari betapa pentingnya usaha mereka sendiri untuk
memperbaiki kualitas hidup cenderung lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Saddock BJ, Saddock VA. Gangguan nyeri. Dalam: kaplan and saddock
buku ajar psikiatri klinis. Ed ke-2. Jakarta: EGC, 2004. h.278-81
15
2. Clark. Pain disorder. In: Levenston JL. textbook of psychosomatic
medicine psychiatric 2nd ed. Newyork : The american psychiatric
publising inc; 2011. p. 901-77
3. Mayou RA, Kirmayer LJ. Somatoform disorders. Time for a new approach
in DSM V. American journal of psychiatric. 2005; 162: 847-55.
4. Rusli M. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di
Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI-Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik; 1993. hal. 182.
5. Hadjam MN. peranan kepribadian dan stress kehidupan terhadapp
gangguan somatisasi. Jurnal Psikiatri Universitas Gadjah Mada. 2003; 1 :
36-56