askep gangguan somatoform

Upload: widya-dwi-astuti

Post on 18-Jul-2015

716 views

Category:

Documents


40 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan hasil dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut DepKes RI pada tahun 2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun dan pada laki-laki 64,3 tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun 2015 sampai 2020 mencapai 70 tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia mencapai 24 juta jiwa bahkan lebih atau sekitar 9,77 % dari total penduduk. Diperkirakan pada akhir tahun 2030, populasi penduduk lanjut usia keseluruhan mencapai jumlah 70 juta dan pada tahun 2050 mencapai 82 juta. Proses penuaan bukanlah suatu penyakit melainkan suatu proses normal yang harus dimengerti dengan jelas. Namun, perubahan fungsi fisiopsikologis sesuai bertaambahnya umur, harus lebih diteliti agar dapat memastikan mengenai ada tidaknya gangguan psikologis pada lansia. Program Epidemiological Catchment Area (ECA) dari National Institude of Mental Health telah menemukan bahwa gangguan mental yang paling sering pada lanjut usia adalah gangguan depresif, gangguan kognitif, fobia dan gangguan pemakaian alkohol. Lanjut usia juga memiliki resiko tinggi untuk mengalami gangguan tidur dan somatoform. Gangguan somatoform, ditandai oleh gejala fisik yang menyerupai penyakit medis, adalah relevan dengan psikiatri geriatrik karena keluhan somatik sering ditemukan pada lanjut usia. Selain itu, fenomena yang berhubungan dengan tidur yang lebih sering pada orang usia lanjut adalah gangguan tidur, mengantuk di siang hari, tidur sejenak di siang hari dan pemakaian obat hipnotik. Semua gangguan yang tersebut di atas, sebenarnya dapat dicegah, dihilangkan atau bahkan dipulihkan. Maka dari itu, perlu adanya penatalaksanaan asuhan keperawatan gangguan tidur dan somatoform sehingga beban yang dirasakan akibat penyakit dapat berkurang.

1

B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan gangguan tidur dan somatoform? 2. Bagaimana penatalaksanaan / asuhan keperawatan bagi pasien yang mengalami gangguan respon psikofisiologis, gangguan tidur dan somatoform? 3. Bagaimana implikasi keperawatan yang sesuai dengan kasus gangguan tidur dan somatoform?

C. Tujuan 1. Untuk mengetahui mengenai respon psiokofisiologis. 2. Untuk mengetahui mengenai gangguan tidur dan somatoform. 3. Untuk mengetahui penatalaksanaan/ asuhan keperawatan bagi pasien yang mengalami gangguan respon psikofisiologis, gangguan tidur dan somatoform. 4. Untuk mengetahui implikasi keperawatan yang sesuai dengan kasus gangguan tidur dan somatoform.

D. Manfaat 1. Memberikan informasi mengenai masalah respon psikofisiologis dan halhal yang berkaitan. 2. Memberikan pengetahuan dan informasi mengenai gangguan tidur dan somatoform. 3. Memberikan pengetahuan mengenai asuhan keperawatan yang tepat pada pasien gangguan tidur dan somatoform

2

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Rentang Respon Psikofisiologis Tingkat hubungan antara jiwa dan tubuh selalu menarik bagi para ilmuwan dan pakar filsafat. Untuk waktu yang lama dalam sejarah kedokteran, tubuh dan jiwa dipandang berbeda. Akhir akhir ini, perhatian kembali ditujukan pada saling keterkaitan antara dua aspek yang berbeda pada fungsi manusia tersebut. Banyak penelitian yang telah dilakukan berfokus pada respon stres dan dampak stress, termasuk efek stress psikofisiologis terhadap fungsi fisiologis dan sebaliknya. Salah seorang peneliti utama tentang respon stress, Hans Selye, menguraikan sindrom adaptasi umum, yang terdiri atas tiga tahap proses berespon terhadap stres yang disebut dengan rentang respon psikofisiologis atau GAS ( General Adaptation Syndrom ).

Respon Adaptif

Respon Maladaptif

Alarm

Resisten

Kelelahan

Gambar 1. Rentang Respons Psikofisiologis Menurut Teori Selye

1. Reaksi Alarm Merupakan respon langsung terhadap stressor yang belum disingkirkan. Mekanisme respon adrenokortikal digerakkan sehingga menimbulkan perilaku yang berkaitan dengan respon menyerang atau menghindar ( fight or flight ).

3

2. Tahap Resistens Pada tahap ini terjadi beberpa resisten terhadap stressor. Tubuh beradaptasi pada tingkat fungsi yang rendah sehingga memerlukan pengeluaran energi yang lebih besar dari biasanya untuk dapat bertahan hidup. 3. Tahap Kelelahan Mekanisme adaptif menjadi melemah dan gagal pada tahap ini. Akibat negatif dari stressor menyebar ke seluruh organisme. Apabila stressor tidak dihilangkan atau dilawan, dapat terjadi kematian.

B. Dampak Respon Psikofisiologis 1. Perilaku Banyak perilaku berkaitan dengan gangguan psikofisiologis. Pengkajian yang teliti diperlukan untuk menentukan dan mengatasi masalah organik yang sebenarnya. Jenis penyakit ini seharusnya tidak pernah dianggap hanya psikosomatik atau hanya ada dalam pikiran seseorang. Gangguan psikofisiologis serius dapat berakibat fatal apabila tidak diatasi secara tepat. 2. Fisiologis Perilaku utama yang diamati pada respon psikofisiologis adalah gejala fisik. Gejala ini menyebabkan individu meminta bantuan perawatan kesehatan. Faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi fisik dapat mengenai setiap bagian tubuh. Berikut sistem organ yang paling sering terganggu karena faktor psikologis: a. Kardiovaskular 1) Migraine 2) Hipertensi esensial 3) Angina 4) Sakit kepala berat b. Musculoskeletal 1) Arthritis rheumatoid 2) Nyeri punggung bagian bawah (idiopatik)

4

3) Gastrointestinal 4) Anoreksia nervosa 5) Tukak lambung 6) Sindrom usus peka rangsang 7) Colitis 8) Obesitas c. Pernapasan 1) Hiperventilasi 2) Asma d. Kulit 1) Neurodermatitis 2) Eksim 3) Psoriasis 4) Pruritus e. Genitourinaria 1) Impotensi 2) Frigiditas 3) Sindrom pramenstruasi f. Endokrin 1) Hipertiroidisme 2) Diabetes 3. Psikologis Beberapa orang mengalami gangguan fisik tanpa kerusakan organik. 4. Nyeri Nyeri semakin dikenal lebih dari fenomena sensori. Nyeri merupakan sensori yang kompleks dan pengalaman emosional yang mendasari penyakit potensial. Nyeri dipengaruhi oleh proses perilaku, kognitif, motivasi dan budaya sehingga memerlukan pengkajian yang berpengalaman dan penanganan berbagai bidang untuk

mengendalikannya. Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi sedikitnya selama 6 bulan. Gangguan nyeri somatoform adalah preokupasi nyeri tanpa adanya penyakit fisik yang menyebabkan intensitas nyeri. Nyeri ini

5

tidak mengikuti penyebaran neuroanatomis. Mungkin ada hubungan yang erat antara stress dan konflik dengan munculnya nyeri atau eksaserbasi nyeri. 5. Gangguan tidur Gangguan tidur biasa terjadi pada penduduk secara umum dan penderita gangguan jiwa. Gangguan tidur akan dijelaskan lebih lanjut di sub bab berikutnya.

C. Faktor Pengaruh 1. Faktor Predisposisi Faktor biopsikososial yang diyakini mempengaruhi respon psikofisiologis individu terhadap stress yaitu : a. Faktor Biologis 1) Emosi dikaitkan dengan bangkitan sistem neuroendokrin melalui pelepasan kortikosteroid, aksi sistem neurotransmitter dan perubahan reseptor pascasinaptik dalam berespon terhadap stress. 2) Faktor genetik terbukti mempengaruhi prevalensi beberapa gangguan psikofisiologis. 3) Psikoimunologi mengkaji hubungan antara jiwa dan sistem imun serta menemukan faktor biologis yang mempengaruhi cara otak melindungi diri dari sel yang rusak akibat trauma, penyakit atau stres. b. Faktor Psikologis 1) Kepribadian tipe A mewakili hubungan tipe kepribadian dengan gangguan fisiologis, dalm hal ini penyakit jantung. 2) Peneliti lain telah mendokumentasikan hubungan antara

kepribadian dengan gangguan fisiologis seperti hipertensi dan sakit kepala migraine. 3) Penyakit fisik dapat terjadi tanpa disertai kerusakan organik. Dalam hal ini, konflik psikologis dan ansietas dicurigai menimbulkan respon somatik pada individu.

6

c. Faktor Sosiokultural 1) Keparahan gejala pada individu dipengaruhi oleh aspek

lingkungan sosial dan budaya. 2) Gejala membentuk dan menyusun dunia sosial individu ketika adanya penyakit menimbulkan serangkaian perubahan dalam lingkungan individu. Mata rantai kejadian interpersonal yang berhubungan dengan penyakit kemudian menjadi suatu bagian proses sosial penyakit individu. 2. Faktor Presipitasi Penyakit psikofisiologis terjadi akibat upaya untuk mengatasi ansietas. Stressor pencetus mungkin merupakan pengalaman seseorang yang berlebihan atau tampakk relative kecil. Kehilangan interpersonal sering dihubungkan dengan perkembangan gejala fisik. Penyakit psikofisiologis kadang kala diakibatkaan oleh akumulasi kejadian kejadian kecil yang menimbulkan stress.

D. Gangguan tidur 1. Tidur Tidur merupakan salah satu cara untuk melepaskan kelelahan jasmani dan kelelahan mental. Dengan tidur semua keluhan hilang atau berkurang dan akan kembali mendapatkan tenaga serta semangat untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Semua makhluk hidup

mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama sirkadian. Pusat kontrol irama sirkadian terletak pada bagian ventral anterior hypothalamus. Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia ventrikulo retikularis medula oblogata yang disebut sebagai pusat tidur. Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian

7

rostral medula oblogata disebut sebagai pusat penggugah atau aurosal state. Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Rapid Eye ovement (REM) dan tipe Non rapid Eye Movement (NREM). Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-7 kali siklus semalam. Bayi baru lahir total tidur 1620 jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada orang dewasa. 2. Gangguan Tidur Gangguan tidur menurut Wilkinson (2000) adalah gangguan jumlah dan kualitas tidur (penghentian kesadaran alami, periodic) yang dibatasi waktu dalam jumlah dan kualitas, dengan batasan karakteristik : a. Subyektif Bangun lebih awal atau lebih lambat dari yang diinginkan, ketidakpuasan tidur, keluhan verbal tentang kesulitan tidur dan tidak dapat beristirahat dengan baik b. Obyektif Penurunan kemampuan fungsi, penurunan proporsi tidur fase REM, penurunan proporsi tidur tahap 3 dan 4, insomnia dini hari, perpanjangan waktu tidur, awitan tidur lebih dari 30 menit, dan bangun 3 kali di malam hari. 3. Macam Gangguan Tidur Menurut Kaplan dan Sadock (1997) gangguan tidur diklasifikasikan ke dalam empat kelompok besar, yaitu : a. Insomnia Gangguan memulai atau mempertahankan tidur, sering terbanun dan terbangun dari tidur awal di pagi hari. Keadaan ini merupakan gangguan tidur yang paling sering terjadi. Penduduk yang mengalamii insomnia dan mencari bantuan untuk mengatasi masalah ini mencapai 30%. Ansietas dan depresi merupakan penyebab utama insomnia (Taylor, et al.,2008).

8

b. Hipersomnia Adalah jumlah tidur yang berlebihan dan engantuk (somnolent) yag berlebihan di siang hari, diikuti dengan tanda dan gejala antara lain bisa jatuh tertidur saat bekerja, makan makan, atau pada saat bercakap. Pada saat penderita ini terbangun akan mengalami disorientasi, mudah tersinggung, kehilangan kekuatan dan mengalami perlambatan dalam berbicara dan proses berfikir. Kategori ini termasuk narkolepsi, apnea tidur dan gangguan gerakan pada malam hari seperti kaki yang gelisah atau bergerak terus. c. Parasomnia Gangguan yang berhubungan dengan tahapan tidur. Kategori ini termasuk bermacam kondisi seperti jalan sambil tidur, terror tidur, mimpi buruk, dan enuresis. Masalah tidur ini sering dialami oleh anak- anak dan dapat sangat mempengaruhi fungsi dan kesejahteraan individu. d. Gangguan Jadwal Tidur Bangun Ditandai oleh tidur normal tetapi pada waktu yang tidak tepat. Gangguan ini merupakan gangguan sementara yang sering dikaitkan dengan jet lag dan perubahan shift kerja. Biasanya bersifat individual dan apat diatasi ketika tubu menyesuaikan dengan jadwal tidur bangun yang baru. Gejala yang sering adalah individu tidak dapt tidur pada saat mereka ingin tidur, walaupun mereka dapat tidur pada waktu yang lain. 4. Penyebab Gangguan Tidur Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya gangguan tidur pada seseorang, antara lain : a. Faktor Lingkungan Misalnya pencahayaan, kebisingan, suhu, kelembaban yang berubah ubah, kurangnya privasi. b. Psikologis Kecemasan, stress dan depresi merupakan beberapa penyebab paling banyak yang dialami oleh orang dengan gangguan tidur.

9

c. Diet dan Penggunaan obat Minum kopi, teh, dan soda, serta merokok sebelum tidur dapat mengganggu tidur. Alkohol dapat mempercepat onset tidur tetapi beberapa jam kemudian pasien kembali tidak bisa tidur. Obat-obat tidur atau obat-obat yang diresepkan untuk gangguan kondisi medik dapat kadang-kadang dapat mengganggu tidur. Pengaruhnya dapat terjadi secara berangsurangsur setelah beberapa lama menggunakan obat tersebut. Pasien dianjurkan untuk mengurangi atau mengubah jam-jam penggunaan obat atau diet yang dapat mempengaruhi tidur d. Umur Orang lanjut usia lebih sering mengalami gangguan tidur daripada orang dewasa. 5. Akibat Gangguan Tidur Beberapa kondisi yang diakibatkan karena gangguan tidur antara lain penurunan produktivitas, penurunan performa kognitif, peningkatan kemungkinan kecelakaan, resiko morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dan penurunan kualitas hidup.

E. Gangguan Somatoform 1. Definisi Gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu kelompok gangguan ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simptom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik (Nevid, dkk, 2005).Gangguan ini lebih dikenal sebagai gangguan psikosomatik. Ciri utama dari gangguan somatoform adalah adanya keluhan gejala fisik yang berulang, yang disertai dengan dengan permintaan pemeriksaan medis : meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan oleh dokter bahwa tidak ditemukan kelainan fisik yang menjadi dasar keluhannya. Pasien biasanya menolak adanya kemungkinan penyabab psikologis, walaupun ditemukan gejala anxietas dan depresi yang nyata.

10

2. Etiologi Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Pada beberapa kasus ditemukan faktor genetik dalam transmisi gangguan ini. Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya penurunan metabolism (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non dominan (Kapita Selekta, 2001). Secara garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai berikut (Nevid, dkk, 2005): a. Faktor-faktor Biologis Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan pengaruh genetis (biasanya pada gangguan somatisasi). b. Faktor Lingkungan Sosial Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti peran sakit yang dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform. c. Faktor Perilaku Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah: 1) Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari situasi yang tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan sekunder). 2) Adanya perhatian untuk menampilkan peran sakit. 3) Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau gangguan dismorfik tubuh dapat secara sebagian membebaskan kecemasan kekhawatiran dipersepsikan. d. Faktor Emosi dan Kognitif Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif, penyebab ganda yang terlibat adalah sebagai berikut: 1) Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau simtom fisik sebagai tanda dari adanya penyakit serius (hipokondriasis). yang akan diasosiasikan kesehatan dengan atau keterpakuan fisik pada yang

kerusakan

11

2) Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari impuls-impuls yang tidak dapat diterima dikonversikan ke dalam simtom fisik (gangguan konversi). 3) Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin merupakan suatu strategi self-handicaping (hipokondriasis). 3. Gejala Umum yang sering ditemukan a. Gangguan somatisasi Ciri utama adalah adanya gejala fisik yang bermacam-macam (multiple), berulang dan sering berubah-ubah. Biasanya sudah berlangsung bertahun-tahun (sekurang-kurangnya 2 tahun), disertai riwayat pengobatan yang panjang dan sangat kompleks, baik ke pelayanan kesehatan dasar maupun spesialistik, dengan hasil pemeriksaan atau bahkan operasi yang negatif hasilnya ('doctor shopping). Keluhannya dapat mengenai setiap sistem atau bagian tubuh yang manapun, tetapi yang paling lazim adalah keluhan gangguan gastrointestinal (perasaan sakit perut, kembung, berdahak, mual, muntah dan sebagainya), keluhan perasaan abnormal pada kulit (perasaan gatal, rasa terbakar, kesemutan, baal, pedih dan sebagainya) serta bercak-bercak pada kulit, keluhan mengenai seksual dan haid sering muncul. sering terdapat anxietas dan depresi yang nyata sehingga memerlukan terapi khusus fungsi dalam keluarga dan masyarakat terganggu, berkaitan dengan sifat keluhan dan dampak pada perilakunya. Lebih sering terjadi pada wanita dan biasanya muncul pada usia remaja akhir / dewasa muda, dapat pula ditemukan pada pra-pubertas. Ketergantungan atau penyalahgunaan obat-obatan (biasanya sedativa dan analgetika) terjadi akibat seringnya menjalani rangkaian pengobatan. Termasuk : gangguan psikosomatik multipel. b. Gangguan hipokondrik Ciri utama adalah preokupasi yang menetap akan

kemungkinan menderita satu atau lebih gangguan fisik yang serius dan progresif. Pasien menunjukkan keluhan somatik yang menetap

12

atau preokupasi terhadap adanya deformitas atau perubahan bentuk/penampilan. Perhatian biasanya hanya terfokus pada satu atau dua organ/sistem tubuh. Tidak mau menerima nasihat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi kelu hannya. Sering disertaidepresi dan anxietas yang berat gangguan Hipokondrik ditemukan pada lakilaki maupun wanita sama banyaknya. c. Disfungsi otonomik somatoform Keluhan fisik yang ditampilkan pasien seakan akan merupakan gejala dari sistem saraf otonom, misalnya sistem kardiovaskuler (cardiac neurosis), gastrointestinal (gastric neurosis dan nervous diarrhoea), atau pernafasan (hiperventilasi psikogenik dan cegukan). Gejala yang nampak dapatberupatanda objektif rangsangan otonom , seperti palpitasi berkeringat, muka panas / merah (flushing), dan tremor. Selain itu dapat pula berupa tanda subjektif dan tidak khas, seperti perasaan sakit, nyeri, rasa terbakar, rasa berat, rasa kencang, atau perasaan badan seperti mengembang. Juga ditemukan adanya bukti stes psikologis atau yang nampaknya berkaitan dengan gangguan ini. Tidak terbukkti adanya gangguan yang bermakna pada struktur atau fungsi dari sistem atau organ yang dimaksud. d. Gangguan nyeri somatoform menetap Keluhan yang menonjol adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologis maupun adanya gangguan fisik, nyeri timbul berkaitan dengan adanya konflik yang berdampak emosional atau problem psikososial yang cukup jelas, yang berdampak meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal maupun medis untuk bersangkutan.

13

F. Penanganan Gangguan Respon Psikofisiologis 1. Gangguan Dismorfik Tubuh Terapi perilaku kognitif membantu pasien mengidentifikasi an menantang gangguan persepi tubuh dan gangguan berfikir kritis, terutama ketika menghadapi pemajanan yang terarah dan pencegahan respon. 2. Hipokondriasis Terpai perilaku kognitif terbukti bermanfaat dalam mengoreksi informasi yang salah dan keyakinan yang berlebihan, juga menunjukan proses kognitif yang mempertahankan rasa takut akan penyakit pada hipokondriasis. 3. Gangguan Nyeri Terapi perilaku kognitif individu dan kelompok mengurangi distress yang berhubungan dengan nyeri dan disabilitas. Antidepresan mengurangi intensitas nyeri. 4. Gangguan Tidur a. Benzodiazepin dan zolpidem biasanya mengurangi awitan tidur 15 sampai 30 menit, mengurangi jumlah waktu bangun pada tingkat absolute 1 sampai 3 kali per malam, dan meningkatkan total waktu tidur sekitar 15 sampai 45 menit. Agen farmakologi ini bekerja lebih terpercaya daripada intervensi perilaku jangka pendek. b. Higene tidur Memberikan lingkungan dan kondisi yang kondusif untuk tidur merupakan syarat mutlak untuk gangguan tidur. Jadwal tidurbangun dan latihan fisik sehari-hari yang teratur tidur dijauhkan dari suasana perlu tidak

dipertahankan. Kamar

nyaman. Penderita diminta

menghindari latihan fisik berat

sebelum tidur. Tempat tidur jangan dijadikan tempat untuk menumpahkan kemarahan. Perubahan kebiasaan, sikap, dan

lingkungan ini efektif untuk memperbaiki tidur. Edukasi tentang higene tidur merupakan intervensi efektif yang tidak memerlukan biaya.

14

c. Terapi pengontrolan stimulus Terapi ini bertujuan untuk memutus siklus masalah yang sering dikaitkan dengan kesulitan memulai atau jatuh tidur. Terapi ini membantu mengurangi faktor primer dan reaktif yang sering

ditemukan pada insomnia. Hasil terapi ini jarang terlihat pada beberapa bulan pertama. Bila kebiasaan ini terus dipraktikkan, gangguan tidur akan berkurang baik frekuensinya maupun beratnya d. Sleep Restriction Therapy Membatasi waktu di tempat tidur dapat membantu

mengkonsolidasikan tidur . Terapi ini bermanfaat untuk pasien yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur. Misalnya, bila pasien mengatakan bahwa ia hanya tertidur lima jam dari delapan jam waktu yang dihabiskannya di tempat tidur, waktu di tempat tidurnya harus dikurangi. Tidur di siang hari harus dihindari. Lansia dibolehkan tidur sejenak di siang hari yaitu sekitar 30 menit. Bila efisiensi tidur pasien mencapai 85% (rata-rata setelah lima hari), waktu di tempat tidurnya boleh ditambah 15 menit. Terapi pembatasan tidur, secara berangsurangsur, dapat

mengurangi frekuensi dan durasi terbangun di malam hari. e. Terapi relaksasi dan biofeedback Terapi ini harus dilakukan dan dipelajari dengan baik.

Menghipnosis diri sendiri, relaksasi progresif, dan latihan nafas dalam sehingga terjadi keadaan relaks cukup efektif untuk

memperbaiki tidur. Pasien membutuhkan latihan yang cukup dan serius. Biofeedback yaitu memberikan umpan-balik perubahan fisiologik yang terjadi setelah relaksasi. Umpan balik ini dapat meningkatkan kesadaran diri pasien tentang perbaikan yang

didapat. Teknik ini dapat dikombinasi dengan higene tidur dan terapi pengontrolon tidur. 5. Gangguan Somatoform Intervensi untuk Gangguan Somatoform adalah sebagai berikut: a. Penyuluhan kesehatan terhadap klien dan keluarga

15

1) Tetapkan rutinitas sehari-hari yang sehat seperti olahraga, istirahat, dan nutrisi yang adekuat 2) Ajarkan tentang hubungan antara stress dan gejala fisik dan hubungan tubuh/pikiran 3) Berikan penyuluhan tentang nutrisi, istirahat, dan olahraga yang tepat. 4) Ajarkan klien tentang teknik relaksasi: relaksasi progresif, nafas dalam, imajinasi terbimbing, dan distraksi seperti music atau aktivitas lain. 5) Ajarkan klien bermain peran tentang situasi dan interaksi social 6) Dorong keluarga untuk memberikan perhatian dan dorongan saat klien mengalami sedikit keluhan 7) Dorong keluarga untuk mengurangi perhatian khusus saat klien berada dalam peran sakit. b. Ekspresi perasaan emosional 1) Kenalkan hubungan antara stress/koping dan gejala fisik: adalah cara yang berguna untuk membantu klien mulai melihat hubungan pikiran-tubuh. 2) Buat catatan harian Klien dapat membuat catatan harian yang terperinci tentang gejala fisiknya. Perawat dapat meminta klien untuk menggambarkan situasi pada saat itu, seperti apakah klien sendirian atau bersama orang lain, apakah terjadi perbedaan pendapat, dan sebagainya. Hal ini mungkin dapat membantu klien melihat kapan gejala fisik tampak memburuk atau membaik, dan factor lain yang dapat mempengaruhi persepsi tersebut. 3) Batasi waktu untuk keluhan fisik Mungkin perlu untuk membatasi waktu yang dapat klien fokuskan hanya pada keluhan fisiknya. Mendorong klien untuk berfokus pada emosional adalah penting meski sulit bagi klien. Perawat harus memberikan perhatian dan umpan balik positif untuk usaha klien dalam mengidentifikasi dan mendiskusikan perasaan.

16

4) Batasi primary gain dan secondary gain Jika keluarga dapat memberikan perhatian kepada klien ketika klien merasa lebih baik atau memenuhi tanggung jawab, klien lebih mungkin untuk terus melakukan hal itu. Jika anggota keluarga mencurahkan perhatian kepada klien ketika klien mengalami banyak keluhan fisik, mereka dapat didorong untuk berhenti menguatkan peran sakit klien. c. Strategi koping Dua kategori strategi koping yang penting untuk dipelajari dan dipraktekkan klien: 1) strategi koping yang berfokus pada emosi: membantu klien rileks dan mengurangi perasaan stress. Mencakup relaksasi progresif, nafas dalam, guided imagery, dan distraksi seperti music atau aktivitas lain. 2) strategi koping yang berfokus pada masalah: membantu menangani atau mengubah perilaku atau situasi klien atau mengatasi stressor hidup. Strategi ini mencakup mempelajari metode penyelesaian masalah, mengaplikasikan proses pada masalah yang diidentifikasi, dan bermain peran tentang interaksi dengan orang lain.

G. Body Dysmorphic Disorder 1. Definisi Body Dysmorphic Disorder (BDD) awalnya dikategorikan sebagai dysmorphophobia. Istilah tersebut untuk pertama kalinya dimunculkan oleh seorang doktor Italia yang bernama Morselli pada tahun 1886. Dysmorphophobia berasal dari bahasa Yunani, dysmorph yang berarti misshapen dalam bahasa Inggris. Kemudian namanya diresmikan oleh American Psychiatric Classification menjadi Body Dysmorphic Disorder (BDD). Body Dysmorphic Disorder (BDD) dimasukkan ke dalam DSM IV di bawah somatization disorders. Keduanya merupakan gangguan tubuh (somatoform) yang disebabkan oleh pengaruh psikologis dan

17

kesulitan emosional yang ditunjukkan dengan bentuk-bentuk perilaku tubuh tertentu. Kata soma berasal dari bahasa Yunani yang memiliki persamaan istilah dengan body. Somatoform disorders merupakan lima gangguan besar yang saling berhubungan (Bruno, 1989). Penjelasannya sebagai berikut: a. Body Dysmorphic Disorder (BDD): merupakan bentuk gangguan mental yang mempersepsi tubuh dengan ide-ide bahwa dirinya memiliki kekurangan yang berarti pada wajah dan badannya sehingga kekurangan itu membuatnya tidak menarik. b. Conversion disorder: adalah suatu kapasitas kerusakan fisik yang disebabkan oleh konflik emosional. c. Hypocondriasis: diartikan sebagai karakteristik gangguan mental yang kronis dan kecemasan yang irrasional mengenai kesehatan. d. Somatization disorders adalah kerusakan fisik yang ditandai oleh adanya kondisi saraf yang lemah dan kecapaian yang terusmenerus karena konflik psikis. e. Somatoform pain disorders merupakan gangguan perasaan sakit tanpa alasan yang jelas. 2. Gejala body dysmorphic disorder (BDD) Bentuk-bentuk perilaku yang mengindikasikan Body Dysmorphic Disorder (BDD) adalah sebagai berikut: a. Secara berkala mengamati bentuk penampilan lebih dari satu jam per hari atau menghindari sesuatu yang dapat memperlihatkan penampilan, seperti melalui cermin atau kamera. b. Mengukur atau menyentuh kekurangan yang dirasakannya secara berulang-ulang. c. Meminta pendapat yang dapat mengukuhkan penampilan setiap saat. d. Mengkamuflasekan kekurangan fisik yang dirasakannya. e. Menghindari situasi dan hubungan sosial. f. Mempunyai sikap obsesi terhadap selebritis atau model yang mempengaruhi idealitas penampilan fisiknya.

18

g. Berpikir untuk melakukan operasi plastik. h. Selalu tidak puas dengan diagnosis dermatologist atau ahli bedah plastik. i. Mengubah-ubah gaya dan model rambut untuk menutupi kekurangan yang dirasakannya j. Mengubah warna kulit yang diharapkan memberi kepuasan pada penampilan. k. Berdiet secara ketat dengan kepuasan tanpa akhir. 3. Faktor Penyebab Body Dysmorphic Disorder (BDD) Sampai saat ini, belum ada penelitian yang memastikan penyebab Body Dysmorphic Disorder (BDD) dengan jelas. Riwayat dilecehkan tubuhnya pada masa kanak-kanak, tidak dicintai orang tua, dan mempunyai penyakit yang mempengaruhi penampilan, jerawat misalnya, bisa dikategorikan menjadi penyebab gejala Body

Dysmorphic Disorder (BDD). Jika diklasifikasikan, ada dua aspek yang masih menjadi dugaan penyebab Body Dysmorphic Disorder (BDD). Pertama, adanya ketidakseimbangan cairan kimia (hormon serotonin) di dalam otak, yang berpengaruh terhadap kapasitas obsesi. Kedua, kemungkinan faktor-faktor sifat, psikologis, maupun budaya.

19

BAB III ANALISIS KASUS

KASUS Nenek Turi (nama samaran), umur 62 tahun, suaminya sudah meninggal 2 tahun yang lalu, mempunyai 2 putra, yang semuannya sudah berkeluarga. Beliau juga sudah mempunyai 4 orang cucu, Nenek Turi tinggal serumah dengan pembantunya segan menggaji sendiri. Kedua anaknya sudah hidup sendiri-sendiri tinggal dengan keluarga masing-masing, jauh dari tempat tinggal sang nenek. Kedua anak dan cucunya jarang sekali menengok, karena sang nenek sering mengeluh tentang kesehatan fisiknya dan meyakini bahwa dia sakit, tetapi menurut kedua anaknya sang nenek tersebut hanya mencari perhatian. Keluhan nenek tersebut antara lain merasa seluruh tubuhnya sering gatal-gatal yang berpindah-pindah, kadang merasa nyeri di sebagian tubuhnya, bangun tidur sering merasa kehilangan salah satu telinganya. Malam hari nenek Turi sering mengeluh tidak bisa tidur terutama memulai tidur, kalau sudah tidur kadang sering mimpi buruk, sehingga sampai terbangun. Nenek juga sering mengeluh nyeri perut, sakit kepala, migraine, tidak nafsu makan, dan sesak nafas terutama saat menghembuskan nafasnya. Keluarga, terutama kedua anaknya sudah mengupayakan nenek tersebut berobat pada dokter terdekat, tetapi hasil diagnosa medis tidak ditemukan penyakit tertentu, disarankan oleh dokter agar banyak beristirahat dan tidak banyak pikiran.

Pengkajian : 1. Identitas Nama Umur Status 2. Data Objektif : a. Nenek Turi tinggal sendirian dengan pembantunya. : Nenek Turi. : 62 tahun. : Janda

20

b. Merasa kesepian karena suaminya meninggal 2 tahun yang lalu dan kedua anaknya beserta cucu-cucunya jarang menjenguknya karena tinggal jauh darinya. c. Hasil pemeriksaan dinyatakan tidak ditemukannya penyakit tertentu. 3. Data Subjektif : a. Sering mengeluh tentang kesehatan fisiknya dan meyakini bahwa dia sakit. b. Merasa seluruh tubuhnya sering gatal-gatal yang berpindah-pindah. c. Merasa nyeri di sebagian tubuhnya. d. Ketika bangun tidur sering merasa kehilangan salah satu telinganya. e. Sering mengeluh tidak bisa tidur terutama memulai tidur, kalau sudah tidur kadang sering mimpi buruk, sehingga sampai terbangun. f. Sering mengeluh nyeri perut, sakit kepala, migraine, tidak nafsu makan, dan sesak nafas terutama saat menghembuskan nafasnya.

A. Analisis Kasus (Respon Psikofisiologis, Gangguan Tidur, Somatoform) Salah satu gangguan yang diderita oleh Nenek Turi adalah somatoform, karena dari seluruh keluhan maupun gejala penyakit yang dikeluhkan oleh Nenek Turi, ketika diperiksakan ke dokter, tidak ditemukan adannya penyakit tertentu. Somatoform merupakan suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat (Pardamean, 2007). Gejala fisik yang dialami oleh Nenek Turi antara lain merasa seluruh tubuhnya sering gatal-gatal yang berpindah-pindah, kadang merasa nyeri di sebagian tubuhnya, bangun tidur sering merasa kehilangan salah satu telinganya. Selain itu, Nenek Turi juga sering mengeluh nyeri perut, sakit kepala, migraine, tidak nafsu makan, dan sesak nafas terutama saat menghembuskan nafasnya. Berdasarkan kriteria diagnostik gangguan

somatoform, Nenek Turi mengalami gangguan hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan nyeri yang dijabarkan sebagai berikut :

21

1. Gangguan Hipokondriasis merupakan preokupasi (terpake dalam satu hal dalam pikirannya) dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita suatu penyakit serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala tubuh. Pada gangguan ini, preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan penentraman (Pardamean, 2007). Pada nenek Turi disebutkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan ke dokter dan dinyatakan tidak ditemukan penyakit, akan tetapi dia tetap yakin bahwa dia menderita gatal, sakit kepala, migraine, sesak nafas dll. 2. Gangguan Dismorfik tubuh merupakan preokupasi dalam bayangan cacat dalam penampilan. Gejala yang ditunjukkan Nenek Turi adalah dia merasa bahwa kehilangan salah satu telingganya. 3. Gangguan nyeri ditunjukkan dengan nyeri perut dan kadang merasa nyeri di sebagian tubuhnya. Nenek Turi juga mengalami gangguan tidur berupa insomnia, yaitu gangguan memulai atau mempertahankan tidur, sering terbanun dan terbangun dari tidur awal di pagi hari. Hal ini ditunjukkan dengan seringnya mengeluh tidak bisa tidur terutama memulai tidur. Kalau sudah tidur kadang Nenek Turi sering mimpi buruk, sehingga sampai terbangun. Hal ini dimungkinkan karena nenek Turi merasa cemas akan penyakit-penyakit yang dideritanya dan ketakutan karena setelah bangun tidur dia merasakan kehilangan satu telinganya. Selain itu, orang lanjut usia lebih sering mengalami gangguan tidur daripada orang dewasa. Respon psikofisiologis nenek Turi berada di rentang maladaptif ditahap kelelahan dimana mekanisme adaptif menjadi melemah dan gagal pada tahap ini. Dampak dari respon psikofisiologis nenek Turi adalah gangguan somatoform, gagguan fisiologis yang ditandai dengan susahnya bernafas terutama saat menghembuskan nafas, nyeri, dan gangguan tidur.

22

B. Identifikasi Masalah 1. Klien merasakan ganguan kesehatan dalam tubuhnya, yang ketika diperiksakan ke dokter ternyata klien tidak ditemukan diagnosa medis tertentu, hal tersebut mengindikasikan gangguan somatoform. 2. Klien mengalami gangguan tidur berupa insomnia. 3. Klien hidup sendiri jauh dari keluarga (anak dan cucu) karena suaminya sudah meninggal.

C. Diagnosa Keperawatan 1. Diagnosa: Ineffective Coping a. Definisi Ketidakmampuan untuk membentuk penilaian yang benar dari stresor, ketidakadekuatan pemilihan dari respon-respon praktik (latihan), dan/atau ketidakmampuan untuk menggunakan sumbersumber yang tersedia. b. Faktor yang berhubungan 1) Krisis situasional (suami sudah meninggal, jauh dari anak dan cucu sehingga merasa kesepian). 2) Dukungan sosial yang tidak adekuat akibat karakteristik dari suatu hubungan (tinggal sendiri anak anaknya kurang perhatian). 3) Level kepercayaan diri yang tidak adekuat dalam kemampuan koping. c. Batasan karakteristik 1) Perubahan pada pola komunikasi (sudah mulai jauh dari orang orang yang dikasihinya). 2) Penurunan dalam penggunaan sosial support (tidak adanya hubungan yang harmonis dengan keluarga). 3) Problem solving yang tidak adekuat. 4) Kekurangan kemampuan resolusi masalah. 5) Gangguan tidur. 6) Mengunakan koping yang tidak adaptif.

23

2. Diagnosa: Sleep deprivation a. Definisi Prolonged period of time without sleep (sustain natural, periodic suspension of relative consiousness). b. Faktor yang berhubungan 1) Mimpi buruk. 2) Ketidak nyamanan yang berkepanjangan (psychological, physical). 3) Sleep terror. c. Batatasan karakteristik 1) Ganggguan preseptual (gangguan sensasi tubuh, delusi, perasaan melayang). 2) Transien paranoial.

D. Outcome (NOC) dan Intervensi (NIC) 1. Ineffective Coping a. NOC : 1) Coping 2) Stress level 3) Sleep 4) Sosial support Kriteria hasil: 1) Coping: aksi seseorang untuk mengatasi stressor yang membebani individu. Indikator dengan skala 1 5 dimana 1 ( tidak pernah melakukan ), 2 ( jarang dilakukan ), 3 ( kadang kadang dilakukan ), 4 (sering dilakukan ), 5 (rutin dilakukan ). Indikator : a) Identifikasi pola koping yang efektif b) Identifikasi pola koping yang tidak efektif c) Melaporkan pengurangan stress d) Mengatakan secara verbal menerima situasi

24

e) Memodifikasi kebiasaan untuk mengurangi stress f) Beradaptasi dengan perubahan kehidupan g) Menggunakan support sistem yang personal h) Menggunakan kebiasaan untuk mengurangi stress i) Mengidentifikasi multipel strategi koping j) Menggunakan strategi koping yang efektif k) Melaporkan pengurangan dari gejala stress psikis l) Melaporkan pengurangan dari feeling yang negatif m) Melaporkan kenaikan dari kenyamanan psikologik 2) Stress : severity of manifested physical or mental tension resulting from factor taht after an existing equilibrium. Skala 1 5 dimana 1 (parah), 2 (substansial), 3 (sedang), 4 (ringan), 5 (tidak). Indikator : a) Perubahan pada intake makanan. b) Gangguan tidur. c) Depresi d) Kecemasan e) Kecurigaan f) Penguranagn produktivitas 3) Sleep : natural periodic suspension of consiousnes during with the body is restore. Skala 1 5 , dimana 1 (severely compromise), 2 (substantially compromise), 3 (moderatly compromise), 4 ( mildly compromise), 5 (none compromise). Indikator : a) Waktu tidur b) Pola tidur c) Kwalitas tidur d) Keefisienan tidur e) Rutinitas tidur f) Tidur malam secara teratur

25

g) Merasa segar setelah tidur h) Mudah terbangun pada waktu tertentu i) Penemuan EEG j) Elektromiogram finding k) Elektrooculogram finding 4) Sosial support Skala 1 5 , dimana 1 (severely), 2 (substantially), 3 (moderatly), 4 ( mildly ), 5 (none). Indikator : a) Kesulitan tidur b) Terganggu waktu tidur c) Mimpi buruk 5) Sosial support : realliable to assistance to other. 1 5 , dimana 1 (not adekuat), 2 (slightly adekuat), 3 (mederatly adekuat), 4 (substantially adekuat), 5 (totally adekuat). Indikator : a) Ketersediaan uang untuk orang lain jika dibutuhkan b) Memberikan dampingan bagi orang lain c) Menyediakan waktu untuk orang lain d) Menyediakan informasi untuk orang lain e) Sedia bekerja untuk orang lain f) Pendampingan emosional g) Hubungan saling percaya h) Bisa membantu saat dibutuhkan i) Kontak sosial suportif b. NIC : 1) Konseling : menggunakan proses interaktif dalam membantu proses memfokuskan pada kebutuhan masalah atau perasaan dari pasien dan orang lain untuk membantu meningkatkan coping problem solving dan hubungan interpersonal. Aktivitas: a) Membina hubungan saling percaya dan saling menghormati.

26

b) Menunjukkan empati, kehangatan, dan kejujuran. c) Mengatur lamanya hubungan konseling. d) Membangun privasi dan kepercayaan. e) Memberikan informasi yang factual. f) Mendorong untuk mengekspresikan perasaan. g) Mendampingi klien untuk menidentifikasi masalah yang membuat stress. h) Menggunakan teknik refleksi dan klerifikasi untuk

memfasilitasi pasien menunjukan ekspresi. i) Menanyakan pasien tentang apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak bisa dilakukan pada saat masalah terjadi. j) Mendampingi pasien untuk menulis dan memprioritaskan alternative yang bisa dilakukan untuk memecahkan masalah. k) Menentukan seberapa besar keluarga memberikan efek kepada pasien. l) Mengatakan perbedaan antara perasaan dan kebiasaan klien. m) Menggunakan alat-alat pengkajian (kertas dan pensil, tape audio, videotape, kegiatan interaktive dengan orang lain) untuk membantu meningkatkan kewaspadaan diri pasien dan pengetahuan konselor tentang situasiu klien, jika diperlukan. n) Mendampingi pasien untuk mengukur kekuatan dan

memberikan tanggapan. o) Mendorong untuk mengembangkan skill baru, jika perlu. p) Mendorong untuk menggganti perilaku yang uruk dengan perilaku yang lebih baik. q) Menanggapi skill baru pasien. r) Dorong pasien untuk melakukan pengambilan keputusan saat pasien mengalami stres berat. 2) Intervensi krisis : menggunakan konseling jangka pendek unuk membantu koping pasien terhadap krisis dan melanjutkan tingkatan dari status fungsi sebanding atau lebih baik dari masa sebelum krisis.

27

Aktivitas: a) Membangun lingkungan yang mendukung. b) Menghindari memberikan penghiburan yang salah. c) Membangung lingkungan yang nyaman. d) Mendampingi pasien dalam mengidentifikasi krisis presipitan dan dinamis. e) Mendampingi mengidentifikasi kekuatan diri dan kemampuan diri yang dapat digunakan untuk mengatasi krisis. f) Mendampingi dalam mengidentifikasi kemampuan koping masalalu dan keefektifannya. g) Mendampingi dalam mengembangkan koping yang baru dan kemampuan menyelesaikan masalah sesuai yang dibutuhkan. h) Mendampingi dalam mengidentifikasi yang memungkinkan. i) Menghubungkan pasienn dan keluarga dengan sumber

komunitas sesuai kebutuhan. j) Menyediakan pendampingan mengenai bagaimana untuk mengembangkan dan menjaga support system. k) Mengenalkan pasien kepada seseorang yang telah berhasil melewati pengalaman yang sama dengan sukses. l) Mendampingi dalam mengidentifikasi alternatif lain sebagai aksi untuk menyelesaikan krisis. m) Mendampingi dalam mengevaluasi konsekuensi yang mungkin dari berbagai macam aksi lain. n) Mendampingi pasien untuk mengambil keputusan pada berbagai perbuatan yang lain. o) Mengevaluasi dengan pasien meskipun krisis yang dialami pasein telah terselesaikan dengan memilih beberapa keputusan. p) Merencanakan dengan pasien bagaimana kemampuan koping yang adaptif dapat digunakan untuk menyelesaikan krisis di masa datang.

28

2. Sleep Deprivation a. NOC : 1) Sleep : natural periodic suspension of consiousnes during with the body is restore. Skala 1 5 , dimana 1 (severely compromise), 2 (substantially compromise), 3 (moderatly compromise), 4 ( mildly compromise), 5 (none compromise). Indikator : a) Waktu tidur b) Pola tidur c) Kwalitas tidur d) Keefisienan tidur e) Rutinitas tidur f) Tidur malam secara teratur g) Merasa segar setelah tidur h) Mudah terbangun pada waktu tertentu i) Penemuan EEG j) Elektromiogram finding k) Elektrooculogram finding Skala 1 5 , dimana 1 (severely), 2 (substantially), 3 (moderatly), 4 ( mildly ), 5 (none). Indikator : 1. Kesulitan tidur 2. Terganggu waktu tidur 3. Mimpi buruk b. NIC: 1) Sleep enhancement : fasilitace of regural sleep /wake cycle. Aktivitas a) Menentukan pola aktivitas tidur pasien. b) Mencantumkan keperawatan. kebiasaan tidur pasien dalam rencana

29

c) Menjelaskan tidur psikososial.

yang adekuat

dalam keadaan stres

d) Memonitor pola tidur pasien dan berapa lama tidur pasien. e) Meninstruksikan pasien untuk memonitor pola tidurnya. f) Mendorong pasien untuk melaksanakan waktu tidur yang rutin untuk. memfasilitasi pergantian dari keadaan terjaga hingga tidur. g) Mendampingi pasien untuk menghilangkan stres situai sebelum tidur. h) Memberikan pijaytan dan posisi yang nyaman juga sentuhan yang positif. i) Mendorong untuk meninkatkan lamanya tidur jika dibutuhkan. j) Menidentifikasi obat apa yang biasa dipakai. k) Meregulai stimulasi lingkungan untuk menjaga siklus tidur bangun. l) Mendiskusikan dengan pasien dan family mengenai bagaiman cara meningkatkan tidur.

E. Implikasi Keperawatan Seorang perawat jiwa harus bisa menjadi agent of change, maksudnya membawa perubahan kondisi pasien kearah yang lebih baik. Beberapa implikasi keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat terkait gangguan somatoform adalah sebagai berikut: 1. Perawat sebagai edukator Memberikan pengetahuan menganai pengertian somatoform dan gangguan tidur, penyebab, tanda dan gejala, faktor resiko, serta bagaimana proses keperawatan terkini yang bisa digunakan dalam mencegah dan menangani somatoform dan gangguan tidur. Dan memberikan edukasi kepada keluarga dalam hal support sistem. 2. Perawat sebagai konselor Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, perawat hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan

30

fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obatobatan, mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak (Monson&Smith dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Perawat menfasilitasi pasien dan keluarga pasien mengenai kasus gangguan somatoform agar tercipta proses perawatan yang optimal. 3. Perawat sebagai peneliti Meneliti lebih mendalam menganai somatoform dan gangguan tidur guna menemukan ilmu dan pengetahuan baru mengenai pencegahan dan penanganan somatoform dan gangguan tidur yang paling baik dan up to date. 4. Perawat sebagai klinisi Pengetahuan klinis lebih menyajikan pendekatan yang lembut dan suportif dengan memberikan reward bagi kemajuan dalam proses pengobatan meeka (Simon dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Perawat melakukan asuahan keperawatan yang tepat terhadap pasien yang mengalami gangguan somatoform. 5. Perawat sebagai advokasi: Melindungi hak hak klien dan keluarga dalam lingkup keperawatan serta melindungi klien dari kesalahan atau ketidaktepatan penanganan penyakitnya.

31

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 1. Gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu kelompok gangguan ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simptom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik (Nevid, dkk, 2005). Gangguan ini lebih dikenal sebagai gangguan psikosomatik. 2. Perawat memiliki peranan dalam memberikan informasi, saran dan penegakan diagnosa keperawatan kepada klien dan keluarga mengenai somatoform diantaranya manifestasi klinis gangguan tidur sehingga pencegahan dan penangannya bisa dilaksananakan sesuai outcome yang tepat. Perawat dapat membantu klien dengan memberikan asuhan keperawatan yang tepat yaitu dengan diagnose keperawatan Innefective Coping dan Sleep deprivation. Pada Kasus, diagnose utamanya yaitu Innefective Coping. 3. Implikasi keperawatan yang sesuai dengan kasus ialah perawat sebagai klinisi memberikan asuhan keperawatan yang tepat untuk mendukung kesembuhan pasien. Perawat sebagai konselor dapat mendengarkan keluhan keluarga dan pasien untuk memberikan pilihan solusi. Perawat sebagai edukator dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakir pasien, treatment yang dilakukan, efek samping obat, dan segala yang perlu diketahui keluarga dan pasien.

B. Saran 1. Bagi mahasiswa keperawatan Menambah pengetahuan tentang gangguan somatoform khususnya gangguan somatisasi baik dari buku maupun jurnal penelitian terbaru .

32

2. Bagi profesi keperawatan Menambah pengetahuan tentang gangguan somatisasi baik dari berbagai sumber agar dapat merencanakan asuhan keperawatan yang tepat bagi pasien dengan gangguan somatisasi. 3. Bagi masyarakat Mencari tahu baik melalui berbagai sumber mengenai gangguan somatisasi agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

33

DAFTAR PUSTAKA

Kaplan, H.I. and Sasock, B.J. 1997. Sinopsis Psikiatri, Edisi ke-7 jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara. Sheila L, Videbeck. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. Stuart, Gail W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: EGC. Sujiati. 2008. Hubungan Stresor Bising dengan Gangguan Tidur pada Pasien di Instalasi Rawat Jantung RSUP DR. Sardjito Yogyakarta [Skripsi]. Ilmu Keperawatan UGM. Yogyakarta. Taylor, L.A., Davie, J.K., Urden, L.D., Lough, M.E. 1994. Critical Care Nursing the Art and Science of Nursing Care, Sixth Edition. Wilkinson, J.M. 2000. Buku Saku Diagnosis keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Amir, Nurmiati. 2007. Gangguan Cermin Tidur Dunia pada Lansia:Diagnosis No. dan 157.

Penatalaksanaan.

Kedokteran

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/157_09GangguanTidurpdLansia.pdf/ 157_09GangguanTidurpdLansia.pdf 2012 pukul 13:16. Iskandar, Japardi. Gangguan Tidur. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara. diakses pada tanggal 25 februari

http://gudangarsipadibahmadi.files.wordpress.com/2007/07/gangguantidur.pdf diakses pada tanggal 25 Februari 2012 pukul 12:01. Pardamean, Engelberta. Gangguan Somatoform.

(http://www.idijakbar.com/prosiding/gangguan_somatoform.htm) diakses pada tanggal 24 Febuari 2012.

34