2014-5-1 (1).docx

81
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Spondilitis Ankilosa (SA) adalah kelompok penyakit inflamasi kronik yang tingkat keparahannya sangat bervariasi dari ringan sampai berat dan disertai dengan berbagai disabilitas yang melibatkan sendi-sendi aksial dan perifer, entesitis serta manifestasi yang berupa ekstraartikular antara lain manifestasi kardiovaskular. Angka kematian kardiovaskular pada SA sekitar 20-40%. Adanya inflamasi sistemik kronik pada SA dipandang sebagai penentu komorbiditas vaskular. Hubungan antara inflamasi sistemik kronik dengan morbiditas kardiovaskular sampai saat ini masih diperdebatkan (Ongkowijaya, 2009;Mathieu S. et al., 2008). Penyakit inflamasi kronik meningkatkan risiko aterosklerosis, hal ini terkait pada proses inflamasi yang telah banyak laporan studi mengenai hubungan antara inflamasi dan terjadinya aterosklerosis, misalnya lupus eritematosus sistemik, arthritis rheumatoid dan SA. 1

Upload: mamad-trihatmowidjoyo

Post on 23-Nov-2015

56 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAHSpondilitis Ankilosa (SA) adalah kelompok penyakit inflamasi kronik yang tingkat keparahannya sangat bervariasi dari ringan sampai berat dan disertai dengan berbagai disabilitas yang melibatkan sendi-sendi aksial dan perifer, entesitis serta manifestasi yang berupa ekstraartikular antara lain manifestasi kardiovaskular. Angka kematian kardiovaskular pada SA sekitar 20-40%. Adanya inflamasi sistemik kronik pada SA dipandang sebagai penentu komorbiditas vaskular. Hubungan antara inflamasi sistemik kronik dengan morbiditas kardiovaskular sampai saat ini masih diperdebatkan (Ongkowijaya, 2009;Mathieu S. et al., 2008).Penyakit inflamasi kronik meningkatkan risiko aterosklerosis, hal ini terkait pada proses inflamasi yang telah banyak laporan studi mengenai hubungan antara inflamasi dan terjadinya aterosklerosis, misalnya lupus eritematosus sistemik, arthritis rheumatoid dan SA. Dilaporkan angka kematian penderita SA sekitar 9 kali lebih besar mengakibatkan penyakit koroner dibanding populasi lainnya. Sampai saat ini banyak perdebatan hubungan antara inflamasi dan aterosklerosis (Sari I et al, 2006). Pada penyakit inflamasi terdapat mediator-mediator yang berkaitan dengan risiko aterosklerosis, seperti berbagai sitokin, fibrinogen, Tumor Necrosis Factors- (TNF) dan C-Reactive Protein (CRP).Sel endotel mensekresikan berbagai jenis molekul aktif. Endotel yang sehat merupakan barrier penting terhadap sel dan molekul untuk dapat melintas bebas menuju dasar interstitial dan merupakan suatu organ endokrin dinamis yang tidak hanya memediasi vasodilatasi, tapi juga secara aktif menghambat adesi dan migrasi leukosit, adesi dan agregasi platelet, serta proliferasi dan migrasi sel otot polos pembuluh darah. Endotel juga menghambat koagulasi, memicu fibrinolisis, dan berpartisipasi secara aktif pada reaksi imunitas dan reaksi inflamasi (Kaperonis EA et al., 2005).Kerusakan endotel telah dikemukakan sebagai patofisiologi awal dan relevan secara klinis pada proses aterosklerosis. Pasien dengan disfungsi endotel memiliki resiko yang lebih tinggi dalam terjadinya penyakit kardiovaskular, antara lain stroke. Hilangnya aktivitas biologis dari endotel yang rendah NO (Nitric Oxide) berhubungan dengan peningkatan ekspresi faktor pro-trombosis, molekul adesi pro-inflamasi, sitokin, dan faktor kemotaktik. Sitokin dapat meningkatkan produksi ROS (Reactive Oxygen Species). ROS menurunkan aktivitas NO baik secara langsung yaitu bereaksi dengan sel endotel, maupun secara tidak langsung, dengan modifikasi oksidatif dari iNOS (inducible Nitric Oxide Synthase) atau guanylyl cyclase. Bioavailabilitas NO yang rendah mampu meningkatkan ekspresi vascular adhesion molecule 1 (VCAM-1). VCAM-1 mengikat monosit dan limfosit ke endotel yang merupakan tahap awal invasi dinding pembuluh darah, dengan menginduksi ekspresi NF- B. Efek lain dari NO adalah penghambatan adesi leukosit. Penurunan NO menginduksi ekspresi monocyte chemotactic protein 1 (MCP-1), yang akan menarik monosit. Ekspresi keduanya, baik intercellular adhesion molecule 1 (ICAM-1) yang diekspresikan makrofag dan endotel, maupun VCAM-1 yang diekspresikan sel endotel, diinduksi oleh sitokin-sitokin pro inflamasi. Sel endotel juga memproduksi MCP-1, yang mana lebih jauh lagi akan memperkuat jalur inflamasi. Produksi IL-6 merupakan stimulus utama produksi C-reactive protein (CRP). Fakta terbaru menunjukkan bahwa CRP berkontribusi pada proses proinflamasi plaque baik dengan memediasi rekrutmen monosit maupun dengan menstimulasi monosit untuk melepaskan IL-1, IL-6, dan TNF-. Endotel yang rusak memberikan jalan pada lipid untuk masuk ke daerah subendotel (Kaperonis EA et al., 2005; Spagnoli LG et al., 2007). Pada plak aterosklerosis, CRP sendiri memiliki kemampuan memicu disfungsi endotel dengan merangsang sitokin pro inflamasi dan memfasilitasi uptake Low-Density Lipoprotein (LDL) oleh makrofag yang poten dalam mensitesis tissue factor sebagai pemicu utama koagulasi. CRP juga diketahui dapat berperan sebagai ligand binding protein yang melekat pada membrane sel yang rusak (Ledue, 2003).Endotel sehat, secara normal tidak berikatan dengan sel darah putih. Segera setelah zat-zat yang bersifat aterogenik masuk, sel endotel mulai mengekspresikan molekul-molekul adesi permukaan (ICAM, VCAM) yang bekerja sebagai reseptor untuk glikokonjugat dan integrin pada monosit dan sel T. Sifat khusus dari VCAM-1, secara tepat berikatan dengan beberapa jenis leukosit yang terdapat pada manusia dengan tahap awal atheroma, yaitu monosit dan limfosit T (Kaperonis EA et al., 2005). Setelah perlekatannya pada dinding arteri, leukosit memulai migrasinya ke dalam lapisan intima dengan bantuan beberapa molekul chemoattractant. MCP-1 bertanggung jawab terhadap migrasi monosit ke dalam lapisan intima. Sekali berada di dalam intima, monosit diubah menjadi makrofag dan mulai mengekspresikan reseptor scavenger untuk ox-LDL, di bawah pengaruh Macrophage-Colony Stimulating Factor (M-CSF). M-CSF menyebabkan terjadinya ingesti lemak, dan multiplikasi serta diferensiasi monosit menjadi foam cell (Kaperonis EA et al., 2005).Lesi yang mengandung foam cell, makrofag dan sel T berada dibawah suatu lapisan sel endotel ini, merupakan lesi pertama dari aterosklerosis yang disebut fatty streak. Adanya fatty streak merupakan tahap awal dalam proses aterosklerosis (Kaperonis EA et al., 2005). Di dalam fatty streak, sel T teraktivasi dan bersama dengan dinding sel pembuluh darah mensekresikan sitokin (TNF-, IFN-), mediator fibrogenik, dan growth factor yang dapat memicu migrasi dan proliferasi sel otot polos serta penyusunan kepadatan matriks ekstraseluler di sekitar fatty streak tersebut, mencirikan suatu peningkatan lesi aterosklerosis. Sel otot polos medial mengekspresikan suatu enzim khusus yang dapat mendegradasi elastin dan kolagen sebagai respon terhadap stimulasi inflamasi. Degradasi matriks ekstraseluler arteri ini menyebabkan masuknya sel otot polos lewat lamina interna yang elastis dan bermigrasi ke daerah subintima. Di saat yang sama, sel otot polos mensekresikan faktor-faktor yang dapat memanggil monosit lebih banyak lagi (Kaperonis EA et al., 2005).Komponen makrofag-lemak dari plaque, limfosit T, dan komponen fibromuskular (sel otot polos dan matriks ekstraseluler), memasuki suatu siklus migrasi sel ke area subintima, proliferasi sel, dan peningkatan produksi jaringan ikat, menyebabkan penebalan lapisan intima, terjadinya lesi yang cukup parah dan restrukturisasi atheroma. Ketiga jenis sel yang teraktivasi merilis mediator-mediator proinflamasi. Sitokin pro inflamasi, termasuk IL-1 dan TNF menginduksi ekspresi dari CAM, yang memediasi perlekatan leukosit pada endotel. Secara bertahap, lesi atreosklerosis tingkat lanjut mulai terbentuk, dengan ciri inti lemak dan jaringan nekrosis yang tertutup dengan jaringan ikat. Inti nekrosis terbentuk dari makrofag yang mengalami apoptosis dan nekrosis di dalam plaque. Jaringan ikat tersebut kemungkinan terbentuk dari migrasi khusus sel otot polos vaskular bagian medial yang menumpuk, terlihat pada dasar plaque aterosklerosis dan dari produksi kolagen sel otot polos (Kaperonis EA et al., 2005). Tehnik untuk melihat aterosklerosis secara dini untuk mencegah penyakit ischemic heart disease, yaitu dengan mengukur ketebalan tunika intima media dari arteri karotis tidak digunakan untuk deteksi aterosklerosis awal, namun flow-mediated dilatation (FMD) pada arteri brachialis untuk mendeteksi disfungsi endotel yang sekarang banyak dikerjakan dan banyak diterima karena tehnik nya yang bersifat noninvasif (Sari I et al, 2006). Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa disfungsi endotel pada 54 pasien SA yang diukur dengan FMD dibandingkan dengan kontrol pada manusia sehat tidak didapatkan adanya korelasi dengan faktor risiko seperti usia, profil lipid, merokok, dan skor aktifitas penyakit SA. Namun, berdasar pada perubahan structural, terdapat penelitian yang menemukan bahwa ketebalan arteri karotis meningkat secara signifikan pada 60 pasien SA dibandingkan kontrol pada manusia sehat (Bisoendial RJ et al., 2009).Disfungsi endotel adalah proses awal dalam aterogenesis sebelum pembentukan aterosklerotik struktural. Faktor risiko klasik kardiovaskular seperti body mass index (BMI), merokok dan gangguan profil lipid ikut terlibat untuk perkembangan disfungsi endotel. Data saat ini menunjukkan bahwa inflamasi kronis menyebabkan gangguan endotel yang mempercepat terjadinya aterosklerosis (Sari I et al, 2006).Peningkatan insiden penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan aterosklerosis pada penderita SA sampai saat ini belum sepenuhnya dimengerti, beberapa sumber menyebutkan bahwa peningkatan insiden penyakit kardiovaskular pada penderita SA antara lain dikarenakan adanya faktor risiko klasik kardiovaskular, konsekuensi pemberian terapi NSAID (non steroid anti inflammation disease), ataupun karena inflamasi kronis (CRP) serta rendahnya aktivitas fisik. Penanda inflamasi dapat dianggap sebagai prediktor terjadinya penyakit kardiovaskular namun hal ini perlu dibuktikan dengan pencitraan radiologis (Mathieu S. et al., 2008;Zochling J & Braun J, 2008).Mengevaluasi aktifitas penyakit SA dengan menilai nyeri, kelelahan, kekakuan dan ketidaknyamanan tubuh menggunakan Bath ankylosing spondilitis disease activity index (BASDAI) dengan skala 1-10 dapat memberikan validitas yang cukup baik (Calin A, 1999). Lamanya penyakit SA juga menunjukkan korelasi positif dengan BASDAI yang dapat dikarenakan kronisitas penyakit dan banyaknya organ yang terlibat (Lin Z et al, 2011). Yang menarik bagi para dokter adalah instrumen BASDAI sebagai gold standard untuk mengukur aktifitas penyakit (Spoorenberg A et al, 2005). Akan tetapi dianjurkan pengukuran aktifitas penyakit SA menggunakan instrument yang berbeda juga perlu dipertimbangkan sebagai bahan perbandingan (Haywood KL et al, 2005). Dari uraian diatas, perlu dilakukan penelitian tentang deteksi dini penyakit aterosklerosis pada penderita SA dengan menggunakan korelasi antara penanda inflamasi kronis (CRP) dan CIMT yang dideteksi dengan USG Doppler. Penelitian semacam ini belum pernah dilakukan di Indonesia. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular pada penderita SA. 1.2. RUMUSAN MASALAHApakah terdapat hubungan antara kejadian aterosklerosis dengan aktivitas penyakit SA menggunakan indeks BASDAI.

1.3. TUJUAN PENELITIAN1.3.1. Tujuan UmumMengetahui hubungan antara kejadian aterosklerosis dengan aktivitas penyakit SA menggunakan indeks BASDAI.1.3.2. Tujuan KhususMembuktikan hubungan antara kejadian aterosklerosis dengan aktivitas penyakit SA menggunakan indeks BASDAI.1.4 MANFAAT PENELITIAN1.4.1. Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan1. Terhadap pengembangan ilmu, dapat membuktikan hubungan antara kejadian aterosklerosis dengan aktivitas penyakit SA menggunakan indeks BASDAI.2. Terhadap pelayanan kesehatan, pada penderita SA yang memiliki risiko tinggi terjadinya aterosklerosis maka dapat dijadikan suatu pertimbangan dalam pemilihan obat pada penderita ini.3. Terhadap penderita, pada penderita SA yang memiliki risiko tinggi terjadinya ateroslerosis maka klinisi dapat melakukan evaluasi yang lebih ketat sebagai tindakan preventif.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SPONDILITIS ANKILOSASpondilitis Ankilosa (SA) adalah prototipe dari spondiloartropati (SpA) seronegatif yang terdiri atas reactive arthritis (ReA), psoriatic arthritis (PsA), dan artritis enteropati. Penyakit ini merupakan penyakit inflamasi yang perjalanannya kronik, sangat bervariasi dari ringan sampai berat dengan berbagai disabilitas, melibatkan sendi-sendi aksial dan perifer, entesitis dan bisa mempunyai manifestasi ekstraartikular. Gejala klasik yang terjadi seperti nyeri punggung bawah, kekakuan pada pagi hari atau setelah istirahat lama dan nyeri menghilang setelah aktifitas fisik (Ongkowijaya, 2009). Manifestasi ekstraartikular yang dapat terjadi seperti fibrosis paru, inflammatory bowel disease, PJK (Penyakit Jantung Koroner) dan aterosklerosis. Ini semua mengindikasikan bahwa SA adalah penyakit inflamasi sistemik yang dapat meningkatkan mortalitas (Zochling J & Braun J, 2008).

2.1.1. Epidemiologi SA adalah seronegatif yang paling sering ditemukan dari spondiloarthropati. Secara umum, SA lebih sering terjadi pada kulit putih daripada di non-kulit putih. Ini terjadi pada 0,1-1% dari populasi umum, dengan angka insiden tertinggi di negara-negara Eropa utara dan terendah di sub-Sahara Afrika (Brent HL, 2012).Tingkat kejadian spondiloartropati mencapai 1-2% dari populasi umum dan risiko akan meningkat menjadi 20 kali lipat pada individu dengan HLA-B27 positif (Ongkowijaya, 2009). Jumlah ini akan semakin meningkat jika mereka memiliki anggota keluarga dengan SA positif HLA-B27 (Brent HL, 2012). SA lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada wanita dengan rasio 2:1. Di Amerika, ekspresi HLA-B27 lebih banyak ditemukan pada populasi kulit putih dibandingkan kulit hitam (Ongkowijaya, 2009;Brent HL, 2012). Literatur berbeda mengatakan di Amerika Utara populasi SA dengan ekspresi HLA-B27 positif pada ras Kaukasia sekitar 7% sedangkan jumlah pasien SA yang mengekspresikan HLA-B27 mencapai 90% (Taurog JD, 2008).

2.1.2. Patogenesis Kecenderungan terjadinya SA dipercayai sebagai penyakit yang diturunkan secara genetik, dan mayoritas (hampir 90%) penderita SA lahir dengan suatu gen yang disebut dengan HLA-B27. Padapemeriksaan darah dapat ditemukan adanya petanda HLA-B27gene yang dapat menjelaskan adanya hubungan HLA-B27 dengan SA. Adanya gen HLA-B27 ini hanya menunjukan adanya kecenderungan yang meningkat terhadap terjadinya SA meskipun ada faktor lain yang mempengaruhi seperti lingkungan karena kurang dari 10% penderita SA tidak didapatkan adanya HLA-B27. Cara lain untuk memeriksa penyebab peradangan pada pasien SA adalah dengan mengukur produksi sitokin, namun hasilnya cenderung bervariasi dan sulit untuk diterapkan pada kasus SpA. Kadar serum sitokin cenderung sulit untuk diukur karena waktu paruhnya yang pendek dan berbeda-beda antar sitokin. Beberapa penelitian melaporkan terjadinya kecenderungan peningkatan TNF- dan peningkatan interleukin pada pasien dengan SA tapi tidak dengan yang lainnya (Smith JA et al., 2006).Fungsi imunologis dari HLA-B27 dan molekul MHC kelas I lainnya adalah untuk mengikat peptida yang berasal dari degradasi protein di sitosol, dan mempresentasikannya pada permukaan sel dimana mereka bisa dikenali oleh sel T CD8C. Mereka juga berikatan dengan 2-microglobulin (2m) yang membantu mempertahankan heavy chain untuk tetap berada dalam formasi yang benar. Suatu penelitian genetik pada tikus dengan menggunakan pendekatan transgenic menunjukkan bahwa HLA-B27, human 2m (h2m) atau mungkin gen yang terkait erat dengan HLA-B27 terlibat langsung dalam patogenesis SA (Smith JA et al., 2006).

2.1.3. Manifestasi Ekstra Artikuler SA juga dapat bermanifestasi ekstra artikuler secara luas yang dipengaruhi dari keparahan penyakit. Manifestasi yang paling sering terlihat yaitu pada organ mata, gastro intestinal, kulit, tulang, paru, ginjal dan kardiovaskular. Pada mata, prevalensi uveitis dapat mencapai 20-30% pada penderita ini. Pada gastrointestinal, Chrons disease atau kolitis ulseratif telah dilaporkan terjadi pada 5-10% penderita SA, sedangkan inflamasi usus subklinis yang ditemukan saat pemeriksaan kolonoskopi kejadiannya ditemukan sebesar 25%. Psoriasis merupakan lesi kulit yang paling sering terjadi pada penderita SA, dengan prevalensi sebesar 10-25%. Diffuse osteoporosis menyebabkan berkurangnya kekuatan tulang yang mayoritas terjadi di tulang belakang dapat terjadi diawal aktivitas penyakit SA. Abnormalitas yang terjadi pada organ paru pada pasien SA yang tersering hanya fibrosis apical dan bronchiectasis yang sampai saat ini belum diketahui patofisiologinya. Kemudian untuk insiden keterlibatan ginjal pada SA berhubungan dengan akumulasi imunoglobulin A (IgA) berlebihan yang dapat menyebabkan glomerulonefritis mengakibatkan hematuria mikroskopik, mikroalbuminuria, dan penurunan fungsi ginjal. Sedangkan keterlibatan SA pada kardiovaskular adalah penyebab mortalitas tertinggi dibanding keterlibatan pada organ lain yang dapat mencapai dua kali lipat dibandingkan populasi umum (Maghraoui AE, 2011).

2.1.3.1 Manifestasi kardiovaskularProses inflamasi tampaknya memiliki peran penting dalam menimbulkan risiko kardiovaskular sejak tahap awal terjadinya aterosklerosis, pembentukan formasi ateroma menjadi unstable plak hingga berkembang menjadi thrombus yang dapat menyebabkan kardiovaskular event. Tanda klinis kardiomiopati pada SA sering diasosiasikan pada disfungsi sistolik dan atau diastolik ventrikel dengan konsekuensi peningkatan frekuensi kardiomiopati dan stroke. Studi terbaru menunjukkan bahwa prevalensi infark miokard terjadi 2-3 kali lebih besar pada pasien SA dibandingkan populasi umum. Hal ini membuktikan adanya gangguan fungsi endothelial untuk terjadinya aterogenesis pada pasien SA daripada populasi umum (Maghraoui AE, 2011).Pada penderita SA yang mengkonsumsi NSAID selama beberapa minggu ternyata risiko terjadinya infark miokard justru semakin tinggi, apalagi bila NSAID tersebut dihentikan mendadak, yang dapat menimbulkan vascular rebound effect (Maghraoui AE, 2011).

2.2. ATEROSKLEROSISAterosklerosis berasal dari bahasa Yunani ather yang artinya bubur dan sclerosis artinya pengerasan. Yang dimaksud disini yaitu terbentuknya bercak seperti bubur yang terdiri dari penumpukan lemak kolesterol pada lapisan intima lumen pembuluh darah. Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya penebalan pada dinding pembuluh darah dan hilangnya elastisitas arteri, disertai perubahan degenerasi lapisan media dan intima. Pada bagian tengah bercak terdapat gumpalan yang mengandung lemak. Bercak berlemak dengan inti besar yang disebut ateroma, menonjol kedalam lumen pembuluh darah, dapat menyumbat aliran darah, dan akhirnya menimbulkan komplikasi serius (AHA, 2012).

2.2.1. Aterosklerosis pada SAHampir setiap literatur yang ada menyatakan terjadinya peningkatan mortalitas yang signifikan pada pasien SA dibanding populasi normal. Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian tersering pada SA. Sekitar 3-10% pasien SA memiliki penyakit kardiovaskular. Penelitian terakhir menyebutkan risiko terjadinya aterosklerosis pada pasien SA 1,5 kali lebih besar dibanding orang normal (Zochling J & Braun J, 2008).Peters et al mengatakan bahwa banyak faktor risiko tradisional yang sering ditemukan pada pasien SA yang menjadi faktor risiko penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, gangguan profil lipid, peningkatan fibrinogen, peningkatan CRP dan rendahnya aktifitas fisik. Inflamasi kronis sendiri dapat mempengaruhi profil lipid dan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Sesuai dengan yang dikemukakan Eijk et al bahwa adanya kemungkinan respon inflamasi terhadap gangguan mikrovaskular endothelium-dependent vasodilatation dan pembentukan kapiler, yang pada gilirannya berkaitan dengan peningkatan morbiditas kardiovaskular (Zochling J & Braun J, 2008).Gonzales et al (2009) melakukan penelitian untuk mengetahui apakah penyakit makrovaskular aterosklerosis subklinis terjadi pada pasien AS yang tidak memiliki riwayat penyakit kardiovaskular. Mereka menggunakan 64 pasien yang memenuhi kriteria New York di rumah sakit Xeral Calde, Lugo, Spanyol. Pasien yang memiliki penyakit kardiovaskular dan gangguan renal tidak diikut sertakan. Gonzales et al juga meneliti 64 pasien kontrol. Penelitian dilakukan dengan ultrasound HR-B-Mode. Pasien dengan AS menunjukkan CIMT yang lebih besar daripada kontrol (mean +/- SD, 0.74 +/- 0.21 mm vs. 0.67 +/- 0.14 mm; p = 0.01; differences of means, 0.077; 95% CI, 0.016-0.139). Pada pasien AS terlihat plak karotid lebih banyak daripada pasien kontrol (19 [29.7%] vs. 6 [9.4%], secara berturut-turut; p = 0.03). LED adalah prediktor paling baik untuk plak karotid pada pasien AS ketika dilakukan diagnosa penyakit. Namun, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara CIMT baik dengan LED maupun CRP pada penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan AS tanpa kejadian klinis penyakit kardiovaskular memiliki prevalensi tinggi adanya penyakit makrovaskular subklinis yang terlihat dari meningkatnya CIMT dan plak karotid dibandingkan dengan kontrol.

2.2.2 Patogenesis Aterosklerosis Menurut Romdoni R (2012), sel endotel normal pada umumnya dapat menghindari interaksi dengan leukosit, namun masih mampu menempel pada endotel dan bergerak di antara sel-sel endotel untuk bergerak menuju lapisan intima dimana mulai berkumpul. Selain monosit, sel limfosit T juga terakumulasi pada lesi awal aterosklerosis. Ekspresi beberapa molekul adhesi leukosit mampu meregulasi melekatnya leukosit pada dinding endotel. Molekul tersebut meliputi vascular cell adhesion molecule 1 (VCAM-1). VCAM memegang peranan penting karena dapat berinteraksi dengan integrin yang diekspresikan oleh monosit dan sel limfosit T yang terakumulasi pada ateroma. Selain VCAM, selectin merupakan golongan molekul adhesi lainnya. E-selectin merupakan tipe tertentu dari golongan selectin yang mempunyai peranan kecil dalam aterogenesis walaupun tidak sebanyak VCAM. E-selectin berperan dalam merekrut leukosit polimorfonuklear yang jarang ditemukan pada awal pembentukan ateroma. Setelah melekat pada endotel, leukosit memerlukan sinyal sehingga dapat menembus endotel dan memasuki dinding arteri. Konsep terkini yang dapat menjelaskan hal ini adalah mengenai chemoattractant cytokines atau disebut kemokin. Salah satu molekul tersebut adalah monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1) yang diproduksi oleh sel endotel maupun smooth muscle cells (SMC) dalam merespon adanya lipoprotein teroksidasi. Molekul ini diproduksi ketika kedua sel tersebut dipicu oleh adanya mediator inflamasi.Setelah mencapai lapisan intima, monosit segera memfagosit lipid dan menjadi foam cell atau makrofag yang berisi banyak lipid. Beberapa molekul yang dikenal sebagai reseptor scavenger mampu memediasi pengambilan lipid yang berlebih sehingga membentuk foam cell. Ketika makrofag mencapai lapisan intima, mereka dapat bereplikasi. Faktor yang memicu diferensiasi makrofag pada lesi aterosklerosis adalah macrofag colony-stimulating factor (M-CSF) untuk melekat pada lipoprotein yang telah teroksidasi dibanding yang normal.Makrofag yang berisi foam cells tidak hanya berisi kaya lipid, namun juga berisi mediator proinflamasi seperti sitokin dan kemokin. Fagosit ini juga membawa anion superoksida. Hal ini berarti bahwa adanya lesi ateroma memicu terjadinya imunitas bawaan dimana tidak perlu adanya stimulasi antigen.Selain imunitas bawaan, imunitas adaptif berperan dalam pertumbuhan plak. Sel dendrit sebagai antigen presenting cell (APC) mempresentasikan lesi kepada sel limfosit T. Lipoprotein yang teroksidasi sebagai antigen akan memicu terjadinya pelepasan sitokin yang dapat mempengaruhi terjadinya aterogenesis.Menurut Brook RD et al (2010), pelepasan mediator sitokin proinflamasi memberikan efek pada sistem kardiovaskular melalui 1, pelepasan mediator proinflamasi atau molekul vaskuloaktif dari sel-sel primer nya 2, gangguan keseimbangan autonomic nervous system (ANS) sistemik oleh karena interaksi partikel dengan saraf.Adiponektin adalah salah satu dari beberapa adipokines yang memiliki efek bermanfaat pada sensitivitas insulin dan kardiovaskular. Hipoadiponektin pada resistensi insulin, seperti pada obesitas dan DM tipe 2 berhubungan dengan peningkatan kadar CRP dan peningkatan risiko PJK. Adiponektin menghambat TNF- menurunkan ekspresi molekul adesi endotel, menghambat perubahan makrofag menjadi foam cell dan menghambat proliferasi sell otot polos. Hipoadiponektin telah ditemukan berhubungan dengan lesi pada koroner (Smith & Yellon, 2011).

SMCs migration and proliferation in the intimaExtra cellular matrix production Monocytes attract and ingest modified lipids and become foam cells. Activated T-celss secret inflammatory mediators and growth factors Monocytes and T-cells adhere to the endhothelium and penetrate itEndothelial dysfunction :Expression of adhesion molecules on EC surface and decreased nitric oxide activity Fatty StreakIntermediate lesionIntimal thickening

Gambar.1 Siklus yang berulang-ulang dari penebalan intima menyebabkan terjadinya lesi pertama aterosklerosis (fatty streak) menjadi lesi yang lebih besar (Kaperonis EA et al., 2005).2.2.2.1 Peran Endotel Endotel mempunyai fungsi yang sangat penting untuk mengatur tonus dan struktur pembuluh darah. Endotel menghasilkan mediator vaso aktif yang penting yang disebut NO, dimana mediator ini akan mengatur mekanisme vasodilatasi pembuluh darah, menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah dan menghambat agregasi dan adesi trombosit serta monosit (Pangkahila E et al, 2008). Gangguan pada endotel atau jalur pembentukan NO akan mengganggu tonus dan struktur pembuluh darah di seluruh tubuh dan juga menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang berhubungan erat dengan penyakit kardiovaskular. Disfungsi endotel ditandai dengan penurunan bioavalabilitas dari produksi NO endotel yang dihasilkan NO synthase (NOS). Disfungsi endotel dapat menyebabkan peningkatan vasokonstriktor dan atau penurunan vasodilator (Pangkahila E et al, 2008).

2.2.2.2 Peran Inflamasi pada AterosklerosisDi dalam fatty streak, sel T teraktivasi dan bersama dengan dinding sel pembuluh darah mensekresikan sitokin (TNF-) mediator fibrogenik, dan growth factor yang dapat memicu migrasi dan proliferasi sel otot polos serta penyusunan kepadatan matriks ekstraseluler di sekitar fatty streak tersebut, mencirikan suatu peningkatan lesi aterosklerosis. Sel otot polos medial mengekspresikan suatu enzim khusus yang dapat mendegradasi elastin dan kolagen sebagai respon terhadap stimulasi inflamasi. Degradasi matriks ekstraseluler arteri ini menyebabkan masuknya sel otot polos lewat lamina interna yang elastis dan bermigrasi ke daerah subintima. Di saat yang sama, sel otot polos mensekresikan faktor-faktor yang dapat memanggil monosit lebih banyak lagi (Kaperonis EA et al., 2005).Sitokin inflamasi, termasuk interleukin dan TNF menginduksi ekspresi dari CAM, yang memediasi perlekatan leukosit pada endotel. Secara bertahap, lesi aterosklerosis tingkat lanjut mulai terbentuk, dengan ciri inti lemak dan jaringan nekrosis yang tertutup dengan jaringan ikat. Inti nekrosis terbentuk dari makrofag yang mengalami apoptosis dan nekrosis di dalam plaque. Jaringan ikat tersebut kemungkinan terbentuk dari migrasi khusus sel otot polos vaskular bagian medial yang menumpuk, terlihat pada dasar plaque aterosklerosis dan dari produksi kolagen sel otot polos (Kaperonis EA et al., 2005).

2.3 Petanda Inflamasi pada AterosklerosisDalam beberapa tahun terakhir, beberapa penelitian telah menghubungkan berbagai petanda serologis dengan penyakit kardiovaskular, hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan pesat dalam jumlah petanda yang tersedia untuk penyakit ini. Petanda- petanda ini sangat berguna karena mereka dapat mengidentifikasi kelompok mana yang berada dalam resiko kejadian iskemik akut dan mendeteksi adanya plaque yang rentan. Idealnya, petanda harus memiliki karakteristik tertentu untuk mampu memprediksi kejadian penyakit vaskular. Suatu pengukuran harus bersifat reproducible pada berbagai sampel bebas, metode penetapannya harus terstandar, variabilitasnya terkontrol, dan sensitifitas serta spesifisitasnya harus tinggi. Selain itu, petanda harus dapat memberikan informasi tambahan terhadap informasi yang sudah ada, menegakkan resiko dan harus menggambarkan proses biologis (Spagnoli LG et al., 2007).Penyakit vaskular aterosklerotik merupakan inflamasi multipel yang melibatkan sel, molekul dan bermacam substansi. Tes umum yang telah digunakan bertahun tahun untuk mendeteksi adanya inflamasi adalah CRP dan LED.1.3.1 CRPCRP diproduksi di hati dan kadarnya meningkat tajam ketika tubuh mengalami infeksi atau inflamasi. Meskipun bukan petunjuk yang akurat bagi kebanyakan kondisi, namun CRP diperiksakan untuk mengetahui kondisi rematik atau respon pasien terhadap terapi yang sedang dilakukan. Sebagai penanda inflamasi, CRP juga telah ditetapkan sebagi prediktor penting dari kemungkinan terjadi risiko kardiovaskular. Kadar CRP 3-10 ug/mL diduga bahwa adanya proses peradangan oleh pembentukan plak dalam arteri. Kadar CRP lebih dari 10 ug/mL menandakan jenis inflamasi lain yang bisa terjadi bersama kondisi lain seperti arthritis atau infeksi. Begitupun yang dikemukakan oleh De Beer et al (1982) yang mengatakan bahwa adanya korelasi signifikan antara CRP dengan peningkatan kadar enzim CKMB pada pasien infark miokard akut. Kondisi lain yang dapat meningkatkan CRP adalah pada pasien kanker, angina tak stabil, infark miokard, hipertensi, perokok serta tinggal di lingkungan dengan kadar poluta tinggi (Morrow, 2006).Beberapa penelitian melaporkan bahwa CRP dapat memprediksi terjadinya penyakit kardiovaskular dan berperan penting dalam menilai risiko kardiovaskular secara menyuluruh. Dilaporkan pada penderita unstable angina peningkatan kadar CRP lebih dari 3 mg/L dapat meningkatkan kejadian penyakit koroner sebanyak 2 kali lipat dan hubungan ini akan semakin kuat jika kadar CRP lebih dari 10 mg/L (Libby P et al,2002;Pasceri V et al,2000). Sebuah studi epidemiologi melaporkan dengan peningkatan kadar CRP dapat menigkatkan risiko aterosklerosis dan penyakit jantung iskemik pada populasi normal, demikian juga pada penderita stable angina peningkatan kadar CRP lebih dari 3,6 mg/L dapat menigkatkan kejadian penyakit koroner sebanyak 2 kali lipat. Meskipun CRP merupakan faktor risiko independen untuk penyakit jantung iskemik tetapi mekanisme dasarnya belum diketahui dengan pasti, diduga melalui respon inflamasi ataupun secara langsung mempengaruhi patogenesis aterosklerosis. Pada kadar lebih dari 5 mg/L CRP mempunyai efek proinflamatori pada sel endotel arteri koroner, serta dapat menginduksi ekspresi dari ICAM-1, VCAM-2 dan E-selectin. Menigkatnya ekspresi ini merupakan faktor penting pada aterogenesis dan dapat memperbesar respon inflamasi didalam plak aterosklerosis dengan menariknya monosit serta limfosit. Sehingga CRP tidak hanya sebagai marker inflamasi tetapi merupakan fungsi modulatori yang kompleks dan berperan terhadap perkembangan serta evolusi proses inflamatori/ aterosklerosis (Paquette DW et al,2000;Sabatine MS, 2007; Slade GD,2003; Montebugnoli L,2004; Auito FD, 2004; Chitsaz MT, 2008).

1.3.2 LEDLED adalah suatu indikator terjadinya peningkatan fibrinogen yang selanjutnya dapat meningkatkan viskositas darah yang pada akhirnya menimbulkan kelainan hemoreologi dan gangguan hemodinamik, sedangkan pada pembuluh darah yang berdiameter dibawah eritrosit atau kapiler dan viskositasnya secara langsung ditentukan oleh kemampuan eritrosit untuk mengubah bentuk jika terjadi penurunan kemampuan ini akan mengakibatkan penurunan aliran darah otak sehingga menimbulkan iskemik sampai infark. Fibrinogen merupakan komponen yang dapat meningkatkan agregasi sel darah merah, dimana dalam keadaan normal permukaan eritrosit dilapisi oleh membran glikoprotein yang mempunyai sifat saling tolak-menolak antara eritrosit yang satu dengan yang lain, namun ada beberapa jenis protein tertentu yang mampu menurunkan fungsi glikoprotein tersebut, salah satunya yaitu fibrinogen. Peningkatan kadar fibrinogen sering dihubungkan dengan penyakit kardiovaskular, terutama dengan PJK.Erikssen G et al (2000) mengatakan bahwa LED merupakan prediktor kuat terhadap mortalitas penyakit jantung koroner untuk populasi sehat dengan kelainan EKG. Hal ini terlihat dengan adanya peningkatan LED yang lebih tinggi pada penderita pria dengan PJK tanpa adanya riwayat penyakit kardiovaskular sebelumnya daripada penderita PJK yang memiliki riwayat kardiovaskuler event sebelumnya. 2.4 METODE SKRINING ATEROSKLEROSISUsaha yang terus menerus dilakukan untuk mengembangkan strategi preventif terhadap penyakit kardiovaskular. Dengan mengetahui secara langsung kondisi arteri maka dapat digunakan untuk memprediksi risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu skrining aterosklerosis sangat berguna dalam memperbaiki strategi terapi dan evaluasi modifikasi faktor risiko yang ada.Setidaknya terdapat 3 metode yang dapat memvisualisasikan pembuluh darah arteri seperti angiografi, intravascular ultrasound (IVUS) dan USG Doppler.

2.4.1 Metode InvasifAngiografi merupakan gold standard untuk mengetahui adanya aterosklerosis pada pembuluh darah arteri. Pada penelitian meta-analysis of angiographic study menunjukkan bahwa stenosis arteri koroner 1,5 mm yang diukur dari permukaan media-adventisia sampai lumen-intima.Definisi dari karakteristik ini selanjutnya dijadikan sebagai acuan klasifikasi lesi karotid secara pemeriksaan ultrasonografi (Stein JH et al., 2008). USG Doppler ini sendiri memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas sebesar 84% dan 99% (Mohan et al., 2000).

BAB 3KERANGKA KONSEPTUAL

SA3.1. Kerangka Konseptual

Inflamasi kronis

ANS Imbalance Inflamasi sistemik (IL-1,IL-6,TNF-)

Efek Tak Langsung SNS / PSNS

FatHeparROS Anti oksidan

Adiponektin - LED- CRP ROS Efek Langsung

KV

- Agregasi PlateletBlood- HRV- Heart rate- Arrythmia potentialHeartVasculature- Insulin resistance- Dislipidemia- Impaired HDL Function-Koagulasi-Thrombosis-Fibrinolisis (PAI-1)Metabolism Blood

ROS

Dinding vaskuler : gangguan fungsi endotel

Proliferasi sel otot polosOver produksi jaringan ikatMigrasi sel ke area sub Intima

Penebalan tunika intimaUSG Doppler

Keterangan :: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti IVUSAterosklerosis

Anggiografi

3.2 Penjelasan kerangka konseptual

\

3.3 Hipotesis Penelitian1. Didapatkannya korelasi antara CRP dengan kejadian aterosklerosis yang diukur sebagai CIMT dengan alat USG Doppler.2. Didapatkannya korelasi antara LED dengan kejadian aterosklerosis yang diukur sebagai CIMT dengan alat USG Doppler.

BAB 4METODE PENELITIAN

4.1 Jenis PenelitianPenelitian ini merupakan peneltian deskriptif analitik cross-sectional.4.2Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian dilaksanakan di Poli Rematologi IRJ RSUD Dr.Soetomo SurabayaWaktu penelitian direncanakan selama 8 minggu.4.3Populasi dan Sampel Penelitian4.3.1Populasi PenelitianPopulasi diambil dari penderita yang datang di Poli Rematologi IRJ RSUD Dr.Soetomo Surabaya 4.3.2Sampel PenelitianSampel diambil dari penderita yang telah terdiagnosa sebagai SA yang datang di Poli Rematologi IRJ RSUD Dr.Soetomo Surabaya 4.3.3Kriteria InklusiPeserta yang ikut serta dalam penelitian adalah yang memenuhi semua criteria dibawah ini:1. Penderita SA2. Bersedia ikut dalam penelitian4.3.4Kriteria EklusiPeserta yang tidak diikutsertakan dalam penelitian, jika salah satu atau lebih dari kriteria dibawah ini terpenuhi: 1. Terdapat penyulit, seperti infeksi berat2. Memiliki riwayat penyakit sindroma koroner, infark miokard, stroke akut, gagal jantung atau penyakit kardiovaskular berat3. Merokok4. Menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi pembuluh darah.4.3.5Besar SampelBesar sampel untuk uji hipotesis dengan data kontinyu, maka besar sampel dihitung berdasarkan rumus: Z21-/2p q n = d2Keterangan:n : jumlah sampel minimal yang diperlukan : derajat kepercayaanp : proporsi q : 1-p d : limit dari error atau presisi absolutDitetapkan tingkat kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95% sehingga nilai : 0,05 ; Z2 : 1,962 (table distribusi Z). p: proporsi (diperoleh dari kepustakaan) = 0.297 (Gonzalez JC et al, 2009). Nilai q: 1- p. Dengan limit dari error (d) ditetapkan 0,05. Dari perhitungan didapatkan besar sampel minimal adalah ..............................4.3.6Variabel PenelitianVariabel bebas: CRP, LEDVariabel terikat: CIMTVariabel perancu:4.4Definisi OperasionalSAPenderita dengan penyakit inflamasi kronik artikular maupun ekstraartikular menurut kriteria modifikasi New York 1984.CRPLEDLED ditentukan berdasarkan data hasil pemeriksaan laboratorium yang diukur dengan manual, kemudian dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok penderita dengan interval 0-4, 5-9, 10-14, 15-29 dan 30 mm/jam (Erikssen, 2000).USG DopplerMetode pemeriksaan noninvasif untuk mendeteksi dini suatu aterosklerosis, dapat digunakan untuk diagnosis dan follow up penakit aterosklerosis, dengan menggunakan.................................................................................................... Adapun interpretasi nilai CIMT dengan faktor risiko sebagai berikut, risiko rendah bila CIMT 75 persentil.

4.5 Analisa Data4.5.1 Analisa DeskriptifUntuk menggambarkan karakteristik umum penderita dan distribusi frekuensi berbagai variabel. Data disajikan dalam rerata dan simpangan baku.4.5.2Uji StatistikData sebelum dianalisa dilakukan uji normalitas.Uji t berpasangan digunakan untuk membuktikan efek senam diabetes terhadap ketebalan karotis intima media (yang diukur dengan USG Doppler) pada SA.Uji korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara beberapa faktor yang mempengaruhi variabel yang terikat.Uji statistik dinyatakan bermakna bila p 503031-4041-50>50

25th50th75th0.390.430.480.420.460.500.460.500.570.460.520.620.390.400.430.420.450.490.440.480.530.500.540.59

Left common carotid arteryMaleFemale

Age,y/percentile3031-4041-50>503031-4041-50>50

25th50th75th0.420.440.490.440.470.570.500.550.610.530.610.700.300.440.470.440.470.510.460.510.570.520.590.64

B. Mean far wall common carotid artery carotid intima-media thickness values from Carotid Atherosclerosis Progression Study (Mathias W. Lorenz, MD, personal communication, December6)20

38MaleFemale

Age,y/percentile2535455565758525354555657585

25th50th75th0.5150.5670.6330.5850.6330.6820.6340.6860.7560.680.7460.8370.7450.830.9210.8140.9141.0280.830.9371.2080.5240.5670.6120.5750.6150.660.6190.6650.7130.6650.7190.7760.7180.7780.8520.7710.8370.9210.8070.8800.935

C. Maximum far wall common carotid intima-meda thickness values from the Endiburgh Artery Study (F. Gerald R, Fowkes, MBChB, PhD, personal communication, November 2006)81MaleFemale

Age,y/percentile60-6465-6970-7475-79>8060-6465-6970-7475-79>80

25th50th75th0.600.800.900.700.801.000.700.801.000.700.901.200.801.001.200.600.700.800.600.800.900.700.800.900.700.901.000.720.901.40

Y, years. All values are in mm.

39* Maximum of right or left common carotid arteryD. Mea far wall common carotid artery carotid intima-media thickness values from the Malmo Diet and cancer Study (Maria Rosvall, MD, PhD, Bo Hedblad, MD, PhD, and Goran Berglund, MD, PhD, personal communication December 2006)23MenWomen

Age,y/percentile55655565

25th50th75th0.660.750.860.730.810.940.640.710.780.730.810.88

Y, years. All values are in mm.

Lampiran 5RANCANGAN TABEL HASIL PENELITIAN No Subyek PenelitianDarah Lengkap (Hb, Leukosit, Trombosit)Kadar Profil lipidCRP/ LEDUSG DOpller

1.

1.

1.

1.

1.

1.

1.

1.

1.

1.

1.

1.

1.

1.

1.

1.

1.

1.

Lampiran 6. Keterangan Kelaikan Etik