2 tinjauan pustaka 2.1 deskripsi ikan tongkol (euthynnus · keracunan histamin disebabkan oleh...

12
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Tongkol (Euthynnus sp.) Ikan tongkol memiliki bentuk tubuh seperti cerutu dengan kulit licin dan tergolong tuna kecil. Sirip dada melengkung dan sirip dubur terdapat sirip tambahan kecil-kecil (Djuhanda 1981). Klasifikasi ikan tongkol menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygi Ordo : Perciformes Subordo : Scombridei Famili : Scombridae Genus : Euthynnus Spesies : Euthynnus sp. Gambar 1 Morfologi ikan tongkol (Euthynnus sp.) Ikan tongkol merupakan jenis ikan dengan kandungan gizi yang cukup tinggi. Kandungan proteinnya mencapai 26%, kadar lemak rendah yaitu 2%, dan kandungan mineral penting yang tinggi. Secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45-50% (Suzuki 1981).

Upload: phamanh

Post on 09-Mar-2019

273 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

3

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Tongkol (Euthynnus sp.)

Ikan tongkol memiliki bentuk tubuh seperti cerutu dengan kulit licin dan

tergolong tuna kecil. Sirip dada melengkung dan sirip dubur terdapat sirip

tambahan kecil-kecil (Djuhanda 1981). Klasifikasi ikan tongkol menurut

Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Teleostei

Subkelas : Actinopterygi

Ordo : Perciformes

Subordo : Scombridei

Famili : Scombridae

Genus : Euthynnus

Spesies : Euthynnus sp.

Gambar 1 Morfologi ikan tongkol (Euthynnus sp.)

Ikan tongkol merupakan jenis ikan dengan kandungan gizi yang cukup

tinggi. Kandungan proteinnya mencapai 26%, kadar lemak rendah yaitu 2%, dan

kandungan mineral penting yang tinggi. Secara umum bagian ikan yang dapat

dimakan (edible portion) berkisar antara 45-50% (Suzuki 1981).

4

2.2 Deskripsi Tenggiri (Scomberomorus commersonii)

Tenggiri (Scomberomorus commersonii) adalah jenis ikan yang memiliki

nilai ekonomis penting di Indonesia. Tenggiri memiliki tubuh yang panjang,

merupakan ikan perenang cepat serta tangkas dalam menerkam mangsanya

(Nontji 1987). Selain itu, tenggiri termasuk ke dalam golongan ikan pelagis besar

dan suka memakan ikan kecil yaitu sardin (Sardiniella sp.), tembang

(Sardiniella fimbriata), teri (Stolephorus sp.) dan cumi-cumi (Loligo sp.)

(Ditjen Perikanan 1979). Klasifikasi tenggiri menurut Saanin (1984) adalah

sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Subkelas : Teleostei

Ordo : Percomophi

Subordo : Scombridea

Famili : Scombridae

Genus : Scomberomorus

Spesies : Scomberomorus commersonii

Gambar 2 Morfologi ikan tenggiri (Scomberomorus commersonii)

Secara morfologi, tenggiri memiliki tubuh panjang dan berbentuk torpedo.

Mulut lebar dan berujung runcing, gigi pada rahang gepeng dan tajam. Sirip

5

punggung tenggiri ada yang berjari-jari keras dengan jumlah 14-17 buah dan ada

pula sirip punggung yang berjari-jari lemah dengan jumlah 14-19 buah yang

diikuti dengan 8-10 sirip tambahan. Tenggiri memiliki garis rusuk lurus kemudian

membengkok tajam di bawah awal jari-jari sirip tambahan dan melurus kembali

sampai batang ekor. Garis rusuk tenggiri tidak terputus dan hanya berjumlah satu,

gelembung renang tidak ada, warna punggung biru gelap keabuabuan atau biru

kehijauan. Sisi tubuh tenggiri berwarna putih perak dan pada bagian perut

dijumpai garis-garis (Guci 1999).

2.3 Histamine Fish Poisonning (HFP)

Keamanan pangan harus diperhatikan mulai dari produksi (from farm)

sampai dikonsumsi oleh konsumen (to table). Pangan yang tidak aman

dikonsumsi dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Keracunan pangan

(foodborne disease) merupakan penyakit yang bersifat toksik maupun infeksius

yang disebabkan karena mengonsumsi pangan yang terkontaminasi bahaya kimia

(pestisida, racun alami dan bahan tambahan pangan), bahaya biologis (bakteri,

kapang dan cacing), dan fisik (pecahan kaca, cincin dan duri) (WHO 2005).

Beberapa jenis keracunan pangan diantaranya salmonellosis, botulisme dan tipus,

disebabkan oleh bakteri. Sebagian besar kejadian keracunan pangan (90%)

disebabkan oleh mikroorganisme yang mengontaminasi pangan (BPOM 2006).

Kejadian keracunan pangan tergolong kejadian luar biasa (KLB) terjadi jika

terdapat dua atau lebih penderita keracunan pangan dengan gejala tertentu setelah

mengonsumsi pangan tercemar yang sama dan diduga sebagai penyebabnya

(BPOM RI 2007).

Keracunan yang disebabkan oleh histamin atau lebih dikenal dengan

Histamine Fish Poisonning (HFP) sering terjadi setelah mengonsumsi ikan laut.

Ikan laut banyak mengandung histidin bebas (free histidine) yang merupakan

prekursor histamin. Beberapa jenis ikan terutama kelompok famili Scombroidae

memiliki kandungan histidin bebas yang tinggi, sebagai contoh tuna mata besar

mencapai 491 mg/100 g, mahi-mahi 344 mg/100 g, cakalang 1192 mg/100 g,

tuna ekor kuning 740 mg/100 g, kembung 600 mg/100 g, dan albakor yang

tertinggi sampai 2 g/100 g. Hanya ikan yang mengandung histidin bebas diatas

100 mg/100 g yang mampu menghasilkan histamin (Mangunwardoyo et al. 2007).

6

Keracunan histamin disebabkan oleh akumulasi histamin yang dikonsumsi

secara berlebih. Gejala keracunan histamin akan terasa setelah 10 menit sampai

2 jam setelah mengonsumsi makanan yang mengandung histamin tinggi. Gejala

keracunan histamin ditandai dengan sakit kepala, pembengkakan lidah,

kerongkongan terbakar, mual, muntah-muntah, gatal-gatal, dan diare

(Mangunwardoyo et al. 2007). Keracunan dapat terjadi jika konsentrasi histamin

yang terkandung dalam bahan pangan mencapai lebih dari 50 mg/100 g

(BPOM RI 2007).

2.4 Histamin

Histamin merupakan senyawa amin biogenik yang dihasilkan dari proses

dekarboksilasi histidin bebas (α-amina-β-inidosal asam propionat). Proses

pembentukan histamin pada ikan sangat dipengaruhi oleh aktivitas enzim

L-Histidine Decarboxylase (Hdc) (Mangunwardoyo et al. 2007). Histamin

merupakan komponen kecil yang memiliki berat molekul rendah yang terdiri atas

cincin imidazol dan sisi rantai etilamin. Histamin juga merupakan komponen yang

tidak larut air dan salah satu biogenik amin yang memiliki pengaruh terhadap efek

fisiologis manusia (Shahidi dan Botta 1994).

Biogenik amin merupakan komponen organik yang dihasilkan dari reaksi

gugus asam karboksilat pada asam amino yang diubah secara enzimatik. Pada

umumnya biogenik amin terbentuk akibat aktivitas bakteri, biogenik amin

terdapat pada bahan pangan yang beragam seperti ikan, produk olahan ikan, keju,

daging, dan makanan fermentasi. Jika bahan pangan tidak ditangani dengan baik

selama penyimpanan dan pengolahan, protein pada bahan pangan akan berubah

menjadi asam amino bebas yang secara alami juga terdapat pada bahan pangan

segar (Eerola 1993 dalam Brinker et al. 2002).

Bahan pangan yang telah terkontaminasi oleh bakteri penghasil enzim

histidin dekarboksilase akan mengubah asam amino tersebut melalui reaksi

dekarboksilasi sehingga terbentuk biogenik amin. Biogenik amin yang terdapat

dalam jumlah yang besar dapat bersifat toksik. Asam amino histidin yang

mengalami dekarboksilasi akan menghasilkan histamin, lisin yang mengalami

dekarboksilasi akan menghasilkan cadaverin, dan putresin diproduksi dari tiga

7

asam amino bebas glutamin, arginin, dan agmatin (Halasz et al. 1994 dalam

Brinker et al. 2002).

Histidin bebas yang terdapat dalam daging ikan erat sekali kaitannya

dengan terbentuknya histamin dalam daging. Semua daging yang berwarna gelap

tinggi kandungan histidin bebasnya, sedangkan ikan berdaging putih kandungan

histidin bebasnya lebih rendah. Daging merah lebih aman untuk dikonsumsi

daripada daging putih bila dipandang dari segi histamin. Daging merah memiliki

kandungan histamin yang rendah karena daging merah memiliki kandungan

trimetil amin oksida (TMAO) yang tinggi, berfungsi menghambat terbentuknya

histamin (Winarno 1993). Perubahan struktur kimia histidin menjadi histamin

dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Perubahan struktur kimia histidin menjadi histamin (Keer et al. 2002)

2.4.1 Pembentukan histamin selama autolisis

Pembentukan histamin dalam tubuh ikan dapat terjadi akibat adanya enzim

yang terdapat secara alami dalam jaringan ikan. Pembentukan histamin

berlangsung selama proses autolisis. Jumlah histamin yang dihasilkan melalui

aktivitas enzim selama proses autolisis sangat rendah bila dibandingkan dengan

histamin yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri selama proses pembusukan

berlangsung. Pada kondisi optimum, jumlah maksimum histamin yang dapat

diproduksi melalui proses autolisis tidak dapat melebihi 10-15 mg/100 g daging

ikan. Pembentukan histamin berbeda untuk setiap spesies ikan, hal ini tergantung

pada kandungan histidin bebas, spesies, banyaknya bakteri yang menunjang

pertumbuhan dan reaksi mikroba serta dipengaruhi oleh temperatur dan pH

lingkungan (Klimata 1961).

Histidine Histamine

8

2.4.2 Aktivitas bakteri pembentuk histamin

Setelah ikan mati, sistem pertahanan tubuh tidak aktif sehingga tidak dapat

melindungi diri dari serangan bakteri. Bakteri pembentuk histamin mulai tumbuh

dan memproduksi enzim dekarboksilase yang akan menyerang histidin dan asam

amino bebas lainnya pada daging ikan. Histamin umumnya terbentuk pada

temperatur di atas 20 oC. Pendinginan dan pembekuan yang cepat setelah ikan

mati merupakan tindakan yang sangat penting dalam strategi pencegahan

pembentukan scombrotoxin (histamin). Histamin tidak akan terbentuk selama ikan

tetap disimpan dalam suhu di bawah 5 oC. Pembekuan yang tertalu lama

(24 minggu) diduga akan menginaktifkan bakteri pembentuk histamin. Penelitian

lebih lanjut menyebutkan bahwa kenaikan produksi histamin dapat terus berjalan

dalam keadaan penyimpanan beku (Taylor dan Alasalvar 2002).

Bakteri pembentuk histamin secara alami terdapat pada otot, insang, dan

isi perut ikan. Kemungkinan besar insang dan isi perut merupakan sumber bakteri

karena jaringan otot ikan segar biasanya bebas dari mikroorganisme

(Omura et al. 1978). Banyak penelitian menyebutkan bahwa bakteri pembentuk

histamin adalah bakteri mesofilik, tetapi bakteri pembentuk histamin pada ikan

sardin dapat tumbuh pada temperatur kurang dari 5 oC (Ababouch et al. 1991

dalam Shahidi dan Botta 1994).

Berbagai jenis bakteri yang mampu menghasilkan enzim histidin

dekarboksilase (Hdc) umumnya merupakan kelompok Gram negatif berbentuk

batang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae dan Bacillaceae (Staruszkiewicz

2002 dalam Allen 2004). Umumnya spesies Bacillus, Citrobacter, Clostridium,

Escherichia, Klebsiella, Lactobacillus, Pediococcus, Photobacterium, Proteus,

Pseudomonas, Salmonella, Shigella, dan Streptococcus menunjukkan aktivitas

dekarboksilase asam amino (Kanki et al. 2002 dalam Allen 2004). Jenis-jenis

bakteri pembentuk histamin yang terdapat pada ikan laut dan spesifikasinya dapat

dilihat pada Tabel 1.

9

Tabel 1 Jenis-jenis dan spesifikasi bakteri pembentuk histamin

Bakteri Spesifikasi

Hafnia sp. Gram negatif, fakultatif anaerob (Hafnia alvei)

Klebsiella sp. Gram negatif, fakultatif anaerob (Klebsiella pneumonia)

Escherichia coli Gram negatif, fakultatif anaerob

Clostridium sp. Gram positif, anaerob (C. perfringens)

Lactobacillus sp. Gram positif, fakultatif anaerob (Lactobacillus 30a)

Enterobacter spp Gram negatif, fakultatif anaerob (E. aerogenes)

Proteus sp. Gram negatif, fakultatif anaerob (Proteus morganii)

Sumber: Eitenmiller et al. (1982)

Hasil penelitian Taylor (1982) menunjukkan bahwa Proteus morganii,

Klebsiella pneumonia, dan Enterobacter aerogenes merupakan bakteri yang

mampu menghasilkan histamin dalam jumlah yang besar yaitu lebih dari

100 mg/100 ml setelah diinkubasi menggunakan TFIB (Tuna Fish Infusion Broth)

pada suhu lebih dari 15 oC selama kurang dari 24 jam. Hafnia alvei, Escherichia

coli dan Citrobacter freundii menghasilkan histamin dalam jumlah kecil yaitu

kurang dari 25 mg/100 ml setelah diinkubasi menggunakan TFIB pada suhu lebih

dari 30 oC selama ≥ 48 jam.

Bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh pada kisaran suhu yang luas.

Pertumbuhan bakteri pembentuk histamin berlangsung lebih cepat pada

temperatur yang tinggi (21,1 oC) daripada temperatur rendah (7,2 oC) (FDA 2001).

Laporan-laporan mengenai suhu optimum dan batas suhu terendah untuk

pembentukan histamin sangat bervariasi. Menurut Kim et al. (1999) dalam

Keer et al. (2002), suhu optimum pembentukan histamin adalah 25 oC. Menurut

Yoguchi et al. (1990) dalam Dwiyitno et al. (2004), penyimpanan pada suhu 25 oC

selama 24 jam dapat meningkatkan kandungan histamin hingga 120 mg/100 g,

sedangkan menurut Fletcher et al. (1996), pembentukan histamin pada suhu

0-5 oC sangat kecil bahkan dapat diabaikan. Food and Drugs Administration

(FDA) menetapkan batas kritis suhu untuk pertumbuhan histamin pada tubuh ikan

yaitu 4,4 oC (FDA 2001).

Bakteri pembentuk histamin sulit dideteksi secara langsung karena

jumlahnya lebih sedikit dibandingkan bakteri lain pada ikan segar yang ditangkap.

10

Untuk mendeteksi bakteri-bakteri tersebut digunakan media khusus yang disebut

agar diferensial Niven. Bakteri pembentuk histamin akan membentuk koloni

berwarna ungu dengan latar belakang media berwarna kuning. Histamin yang

terbentuk akan meningkatkan pH medium, sehingga terjadi perubahan warna

kuning menjadi ungu (Mangunwardoyo et al. 2007).

Penggunaan medium Niven memiliki kelemahan karena mempunyai pH

yang rendah, sehingga sulit mendeteksi bakteri pembentuk histamin yang tumbuh

pada pH netral atau basa. Perubahan warna hanya terjadi apabila cukup banyak

histamin yang dihasilkan, oleh karena itu medium Niven hanya akan mampu

mendeteksi bakteri yang membentuk histamin dalam jumlah yang banyak

(Mangunwardoyo et al. 2007).

2.5 Deoxyribonucleic Acid (DNA)

Deoxyribonucleic Acid (DNA) merupakan senyawa kimia yang paling

penting pada makhluk hidup. DNA membawa keterangan genetik dari sel

khususnya atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. DNA sangat erat

hubungannya dengan hampir semua aktivitas biologi, oleh karena itu banyak

sekali penyelidikan yang telah dilakukan berkaitan dengan DNA. DNA

menempati tempat utama dalam sitologi, genetika, biologi molekuler,

mikrobiologi, biologi perkembangan, biokimia, dan evolusi (Suryo 2008).

Semua makhluk hidup kecuali beberapa virus memiliki DNA. Bagian

terbesar dari DNA terdapat dalam nukleus, terutama dalam kromosom. Molekul

DNA juga ditemukan di dalam mitokondria, plastid, dan sentriol. Pada

Paramaecium, Tetrahymena, Amoeba proteus, amphibian, dan paku-pakuan,

molekul DNA terdapat dalam dasar sitoplasma.

Banyaknya DNA biasanya diukur dengan pikogram, yaitu suatu mikrounit

dari berat. Satu pikogram (1 pg) sama dengan 10-12 gram. Banyaknya DNA dari

sebuah sel juga berhubungan erat dengan sifat ploidi atau jumlah kromosom dari

sel itu. Sebagai contoh, pada sel-sel hati yang bersifat tetraploid (4n) mengandung

DNA dua kali lipat daripada banyaknya DNA dalam sel diploid. Diantara

makhluk hidup lainnya, Avertebrata, Spons, dan Coelenterata mengandung DNA

paling sedikit. Pada umumnya jumlah DNA bervariasi dari satu spesies dengan

spesies lainnya (Suryo 2008).

11

DNA merupakan susunan kimia molekuler yang kompleks, terdiri dari

3 jenis molekul, yaitu:

a. Gula pentosa, yang dikenal sebagai deoksiribosa.

b. Asam pospat.

c. Basa nitrogen, yang dapat dibedakan atas dua tipe dasar yaitu pirimidin (sitosin

dan timin) dan purin (adenin dan guanin).

Pada tahun 1953, James Watson dan Francis Crick berhasil

mengungkapkan model tiga dimensi struktur DNA. Struktur ini terdiri dari

dua rantai DNA heliks yang berputar mengelilingi sumbu yang sama untuk

membentuk heliks ganda yang berararah ke kanan. Pada heliks ini kedua rantai

atau untaian ini bersifat antiparalel, yaitu jembatan fosfodiester antar

nukleotidanya terletak pada arah yang berlawanan (Lehninger 1982). Struktur

kimia basa nitrogen purin dan pirimidin penyusun DNA dapat dilihat pada

Gambar 4.

Gambar 4 Struktur kimia basa nitrogen purin dan pirimidin penyusun DNA

(Keer et al. 2002)

2.6 Ekstraksi dan Purifikasi DNA

Ekstraksi DNA dari organisme eukariot (manusia, hewan dan tumbuhan)

dilakukan melalui proses penghancuran dinding sel (lysis of cell walls),

penghilangan protein dan RNA (cell digestion), pengendapan DNA (precipitation

of DNA) dan pemanenan. Berbagai teknik ekstraksi DNA telah dikembangkan dari

prinsip dasar tersebut, sehingga saat ini muncul berbagai teknik ekstraksi dan

12

purifikasi DNA dalam bentuk kit yang prosesnya cukup mudah, cepat dan

sederhana. Prinsip dasar ekstraksi DNA adalah serangkaian proses untuk

memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Hasil ekstraksi tersebut

merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya, oleh karena itu dalam

pelaksanaannya harus dilakukan dengan baik dan bebas kontaminasi (Sulandari

dan Zein 2003).

Penghancuran sel secara kimiawi dilakukan dengan memanfaatkan

senyawa kimia seperti EDTA (ethyliene diamine tetraacetic) dan SDS (sodium

dodeciyl sulfate). EDTA berfungsi sebagai perusak sel dengan cara mengikat ion

magnesium (ion ini berfungsi untuk mempertahankan integritas sel maupun

mempertahankan aktivitas enzim nuklease yang merusak asam nukleat). SDS

merupakan sejenis deterjen yang berfungsi merusak membran sel. Enzim

proteinase K dapat digunakan untuk menghilangkan protein. Kotoran akibat lisis

sel dipisahkan dengan cara sentrifugasi. Molekul nukleotida (DNA dan RNA)

yang telah dipisahkan dan dibersihkan dari protein yang masih ada dengan

menggunakan fenol. Dalam proses ini, sebagian kecil RNA juga dapat

dibersihkan. Kloroform digunakan untuk membersihkan sisa-sisa protein dan

polisakarida dari larutan. Enzim RNAase digunakan untuk menghilangkan RNA

sehingga DNA dapat diisolasi secara utuh (Sulandari dan Zein 2003).

Pemurnian atau purifikasi DNA dapat dilakukan dengan mencampur

larutan DNA tersebut dengan NaCl yang berfungsi untuk memekatkan,

memisahkan DNA dari larutan, dan mengendapkan DNA sewaktu dicampur

dengan etanol. Proses sentrifugasi dengan kecepatan tinggi akan mengendapkan

tepung berwarna putih (DNA) dan menempel di dasar tabung ependorf

(Sulandari dan Zein 2003).

Prinsip dasar di atas diaplikasikasikan dengan berbagai macam tahapan

ekstraksi dan purifikasi DNA dengan berbagai modifikasi disesuaikan dengan

keperluan atau jenis sampel yang diekstraksi. Prosedur tersebut dapat digunakan

untuk ekstraksi dari berbagai jaringan tubuh, darah, rambut, feses, tulang, sperma,

urine (hewan), daun, kayu (tumbuhan), dan biak murni mikroorganisme (yeast)

dan sebagainya (Sulandari dan Zein 2003).

13

2.7 Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction (PCR) dikembangkan oleh Karry B. Mullis

pada tahun 1987. PCR merupakan suatu teknik amplifikasi enzimatik fragmen

DNA berkali-kali dengan cepat secara in vitro (Campbell et al. 2002). Metode

PCR telah banyak digunakan untuk berbagai jenis manipulasi dan analisis genetik.

Pada awal perkembangannya metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan

molekul DNA, tetapi kemudian dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat

digunakan untuk melipatgandakan dan melakukan kuantitasi molekul RNA.

Teknik PCR mampu menggandakan sekuen DNA secara eksponensial. Bahan

yang dibutuhkan dalam PCR antara lain DNA template (cetakan awal), DNA

polimerase, primer oligonukleotida, dan deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP)

sebagai penyusun DNA yang baru (Campbell et al. 2002).

DNA template merupakan DNA tempat pertama kali primer akan

menempel. Pada awalnya DNA template ini merupakan DNA utas ganda yang

kemudian melalui proses pemanasan pada suhu tertentu akan berlepasan menjadi

DNA utas tunggal. Bahan yang dibutuhkan lainnya yaitu deoksiribonukleotida

trifosfat (dNTP) yang digunakan untuk membentuk DNA yang baru. Selain itu

DNA polimerase diperlukan sebagai katalis reaksi untuk pembentukan untai

ganda hasil perpanjangan dari primer. Primer adalah pita yang tersusun dari asam

nukleat atau molekul-molekul sejenis yang menjadi titik awal untuk replikasi

DNA dalam PCR (Birt dan Baker 2000). Primer ini merupakan komplemen dari

ujung-ujung DNA template sehingga sangat menentukan segmen yang akan

dibentuk.

Pemanasan dalam PCR pada umumnya terdiri dari 20-35 siklus. Secara

umum, satu siklus PCR terdiri dari tiga tahapan. Tahapan pertama adalah

denaturasi, yaitu pemanasan pada suhu 94-96 oC. Pemanasan tersebut berfungsi

untuk menjamin DNA template dan primer mampu terdenaturasi dengan baik

(Campbell et al. 2002). DNA template akan menjadi untai tunggal dan larut

setelah ikatan hidrogen diantara pita DNA terlepas akibat pemanasan tersebut.

Tahap kedua yaitu annealing, ketika suhu diturunkan memungkinkan

primer mampu berikatan dengan DNA template. Primer ini akan bergerak dan

membentuk ikatan hidrogen dengan segmen DNA template. Ikatan yang stabil dan

14

kuat hanya akan terbentuk bila potongan DNA primer memiliki kecocokan

dengan segmen DNA template. Pada bagian pendek ini akan terbentuk DNA untai

tunggal dan mulai terjadi sintesis DNA. Pada tahapan ini suhu berkisar 50-64 oC

yang merupakan suhu dimana primer mampu bekerja secara optimum

(Birt dan Baker 2000).

Tahap elongation atau perpanjangan merupakan tahap akhir. Pada tahap

ini DNA polimerase mengkatalis sintesis sejumlah nukleotida dengan DNA

template sebagai cetakan dimulai ujung 3-OH’ primer sehingga terbentuk DNA

utas ganda hasil perpanjangan primer. Pada umumnya suhu optimum enzim

polimerase pada tahap ini berkisar 70-74 oC (Birt dan Baker 2000). Pada tahap ini,

primer yang tidak memiliki kecocokan dengan DNA template tidak akan

diperpanjang. Tahap perpanjangan ini diikuti penurunan suhu sampai 4 oC sebagai

suhu penyimpanan. Metode PCR sangat memungkinkan penggunaan sumber

DNA dalam jumlah yang sedikit atau tidak murni namun mampu mendapatkan

hasil yang lebih banyak juga lebih spesifik (Campbell et al. 2002). Proses

amplifikasi DNA selama PCR dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Proses amplifikasi DNA selama PCR (Vierstraete 1999)