1kunyit

12
1 PELUANG PENINGKATAN KADAR KURKUMIN PADA TANAMAN KUNYIT DAN TEMULAWAK Natalini Nova Kristina, Rita Noveriza, Siti Fatimah Syahid dan Molide Rizal Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik ABSTRAK Produksi kurkumin menggunakan teknik budidaya secara konvensional dianggap memer- lukan waktu yang sangat panjang mulai dari tanam, panen sampai proses menghasilkan simplisia/bahan aktif. Pemanfaatan bioteknologi tepatnya kultur kalus diharapkan dapat mem- bantu mengatasi hal ini, karena dengan di- dapatkannya metode perbanyakan kalus, akan terbuka jalan untuk memproduksi kurkumin secara massal. Untuk meningkatkan produksi kalus dapat digunakan zat pengatur tumbuh, dan untuk meningkatkan bahan aktif (kurkumin) pada kalus dapat digunakan agen seleksi filtrat atau elisitor. Dengan teknik kultur kalus ataupun kultur suspensi dan penerapan agen seleksi filtrat atau elisitor diharapkan akan terbentuk kalus dengan kadar kurkumin tinggi sehingga dapat diproduksi dalam skala industri. Kurku- min yang terdapat pada tanaman temu-temuan, terutama kunyit dan temulawak, dapat diman- faatkan sebagai pengganti Tamiflu (antibiotik untuk penyakit flu burung). Tamiflu dinyatakan kurang efektif dalam mengatasi penyakit ini dan saat ini penyakit flu burung semakin merebak, korban terus berjatuhan. Kondisi ini merupakan tantangan bagi dunia penelitian khususnya pertanian untuk segera menghasilkan bahan tanaman yang dapat diformulasikan menjadi produk untuk meningkatkan sistim imunitas tubuh manusia. Produksi massal kurkumin dengan teknologi induksi kalus secara kultur jaringan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Kata kunci : kunyit, temu lawak, kurkumin, Tamiflu PENDAHULUAN Kurkumin merupakan salah satu produk senyawa metabolit sekunder dari tanaman Zingiberaceae, khususnya kunyit dan temulawak. Yang telah di- manfaatkan dalam industri farmasi, makanan, parfum, dan lain-lain. Ada banyak data dan literatur yang menun- jukkan bahwa kunyit dan temulawak berpotensi besar dalam aktifitas farma- kologi yaitu anti imflamatori, anti imunodefisiensi, anti virus (virus flu burung), anti bakteri, anti jamur, anti oksidan, anti karsinogenik dan anti infeksi (Joe et al., 2004; Chattopadhyay et al., 2004; Araujo dan Leon, 2001). Senyawa kurkumin ini, seperti juga senyawa kimia lain seperti anti- biotik, alkaloid, steroid, minyak atsiri, resin, fenol dan lain-lain merupakan hasil metabolit sekunder suatu tanaman (Indrayanto, 1987). Tanaman obat dan aromatik dapat menghasilkan senyawa metabolit sekunder bernilai ekonomi tinggi, seperti vinblastina/vinkristina pada tanaman tapak dara (Vinca rosea), ajmalisina, digitalis (Dioscorea sp), kinina pada tanaman kina (Cinchoa sp.), kodeina, yasmin pada tanaman melati ( Jasminum sambac), piretrin pada tanaman Piretrum ( Pyrethrum pe- largonium) dan spearmint pada tanam- an mentha ( Mentha sp.) (Harris, 1989). Dalam kenyataannya, produksi kurkumin untuk pabrik-pabrik industri sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan pertumbuhan tanaman di lapang yang ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan seperti tanah, nutrisi, iklim

Upload: desi-damayanti

Post on 25-Nov-2015

27 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

  • 1

    PELUANG PENINGKATAN KADAR KURKUMIN PADA

    TANAMAN KUNYIT DAN TEMULAWAK

    Natalini Nova Kristina, Rita Noveriza, Siti Fatimah Syahid dan Molide Rizal

    Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

    ABSTRAK

    Produksi kurkumin menggunakan teknik

    budidaya secara konvensional dianggap memer-

    lukan waktu yang sangat panjang mulai dari

    tanam, panen sampai proses menghasilkan

    simplisia/bahan aktif. Pemanfaatan bioteknologi

    tepatnya kultur kalus diharapkan dapat mem-

    bantu mengatasi hal ini, karena dengan di-

    dapatkannya metode perbanyakan kalus, akan

    terbuka jalan untuk memproduksi kurkumin

    secara massal. Untuk meningkatkan produksi

    kalus dapat digunakan zat pengatur tumbuh, dan

    untuk meningkatkan bahan aktif (kurkumin)

    pada kalus dapat digunakan agen seleksi filtrat

    atau elisitor. Dengan teknik kultur kalus ataupun

    kultur suspensi dan penerapan agen seleksi

    filtrat atau elisitor diharapkan akan terbentuk

    kalus dengan kadar kurkumin tinggi sehingga

    dapat diproduksi dalam skala industri. Kurku-

    min yang terdapat pada tanaman temu-temuan,

    terutama kunyit dan temulawak, dapat diman-

    faatkan sebagai pengganti Tamiflu (antibiotik

    untuk penyakit flu burung). Tamiflu dinyatakan

    kurang efektif dalam mengatasi penyakit ini dan

    saat ini penyakit flu burung semakin merebak,

    korban terus berjatuhan. Kondisi ini merupakan

    tantangan bagi dunia penelitian khususnya

    pertanian untuk segera menghasilkan bahan

    tanaman yang dapat diformulasikan menjadi

    produk untuk meningkatkan sistim imunitas

    tubuh manusia. Produksi massal kurkumin

    dengan teknologi induksi kalus secara kultur

    jaringan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

    Kata kunci : kunyit, temu lawak, kurkumin, Tamiflu

    PENDAHULUAN

    Kurkumin merupakan salah satu

    produk senyawa metabolit sekunder

    dari tanaman Zingiberaceae, khususnya

    kunyit dan temulawak. Yang telah di-

    manfaatkan dalam industri farmasi,

    makanan, parfum, dan lain-lain. Ada

    banyak data dan literatur yang menun-

    jukkan bahwa kunyit dan temulawak

    berpotensi besar dalam aktifitas farma-

    kologi yaitu anti imflamatori, anti

    imunodefisiensi, anti virus (virus flu

    burung), anti bakteri, anti jamur, anti

    oksidan, anti karsinogenik dan anti

    infeksi (Joe et al., 2004; Chattopadhyay

    et al., 2004; Araujo dan Leon, 2001).

    Senyawa kurkumin ini, seperti

    juga senyawa kimia lain seperti anti-

    biotik, alkaloid, steroid, minyak atsiri,

    resin, fenol dan lain-lain merupakan

    hasil metabolit sekunder suatu tanaman

    (Indrayanto, 1987). Tanaman obat dan

    aromatik dapat menghasilkan senyawa

    metabolit sekunder bernilai ekonomi

    tinggi, seperti vinblastina/vinkristina

    pada tanaman tapak dara (Vinca rosea),

    ajmalisina, digitalis (Dioscorea sp),

    kinina pada tanaman kina (Cinchoa

    sp.), kodeina, yasmin pada tanaman

    melati (Jasminum sambac), piretrin

    pada tanaman Piretrum (Pyrethrum pe-

    largonium) dan spearmint pada tanam-

    an mentha (Mentha sp.) (Harris, 1989).

    Dalam kenyataannya, produksi

    kurkumin untuk pabrik-pabrik industri

    sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan pertumbuhan tanaman di lapang

    yang ditentukan oleh berbagai faktor

    lingkungan seperti tanah, nutrisi, iklim

  • 2

    serta hama dan penyakit. Salah satu

    upaya untuk menghasilkan kurkumin

    dengan jumlah yang banyak adalah

    dengan teknologi kultur jaringan seperti

    kultur kalus. Ada peluang untuk

    meningkatkan kadar kurkumin dalam

    kultur kalus tanaman kunyit dan temu-

    lawak dengan in duksi elisitor.

    Dilain pihak, masyarakat dunia

    membutuhkan kurkumin untuk obat flu

    burung sebagai pengganti Tamiflu.

    Tetapi Tamiflu terbukti tidak efektif

    pada suatu kasus di Vietnam dan men-

    jadi tidak berguna selain karena mahal

    juga terjadi resistensi akibat sebuah

    mutasi yang sederhana.

    Tulisan ini menguraikan peluang

    penerapan bioteknologi tepatnya kultur

    kalus dengan menggunakan zat tum-

    buh dan elisitor sebagai bahan untuk

    meningkatkan produksi kurkumin pada

    tanaman temulawak dan kunyit yang

    nanti akan digunakan sebagai bahan

    baku obat flu burung sebagai pengganti

    Tamiflu.

    KANDUNGAN KURKUMIN

    DAN MANFAATNYA SEBAGAI

    PENGGANTI TAMIFLU

    Kurkuminoid adalah kelompok

    senyawa fenolik yang terkandung da-

    lam rimpang tanaman famili Zingibera-

    ceae antara lain : Curcuma longa syn.

    Curcuma domestica (kunyit) dan Cur-

    cuma xanthorhiza (temulawak). Kurku-

    minoid bermanfaat untuk mencegah

    timbulnya infeksi berbagai penyakit.

    Kandungan utama dari kurkuminoid

    adalah kurkumin yang berwarna ku-

    ning. Kandungan kurkumin di dalam

    kunyit berkisar 3 4% (Joe et al.,

    2004; Eigner dan Schulz, 1999). Tiga

    varietas unggul kunyit yang telah di-

    lepas Balittro memiliki kadar kurkumin

    cukup tinggi yaitu 8,7%.

    Kurkumin (C2H20O6) atau diferu-

    loyl methane (Gambar 1) pertama kali

    diisolasi pada tahun 1815. Kemudian

    tahun 1910, kurkumin didapatkan ber-

    bentuk kristal dan bisa dilarutkan tahun

    1913. Kurkumin tidak dapat larut

    dalam air, tetapi larut dalam etanol dan

    aceton (Joe et al., 2004; Chattopadhyay

    et al., 2004; Araujo dan Leon, 2001).

    Gambar 1. Struktur kimia kurkumin

    Banyak hasil penelitian menun-

    jukkan bahwa kurkumin aman dan ti-

    dak toksik bila dikonsumsi oleh manu-

    sia. Jumlah kurkumin yang aman di-

    konsumsi oleh manusia adalah 100 mg/

    hari sedangkan untuk tikus 5 g/hari

    (Commandeur dan Vermeulen, 1996).

    Adapun data standar kadar kurkumin

    total pada rimpang kunyit tertera pada

    Tabel 1.

    Tamiflu adalah salah satu jenis

    antibiotik yang digunakan untuk meng-

    atasi penyakit flu burung merupakan

    neuraminidase inhibitor sebuah enzim

    pada membran virus yang memotong

    partikel virus yang menyebabkan sel

    membran terinfeksi, sehingga virus

    tidak dapat berkembang biak di dalam

    sel atau tubuh manusia yang sudah

    terinfeksi virus tersebut.

  • 3

    Dari beberapa eksperimen dinya-

    takan bahwa bahan obat alami seperti

    kurkumin, EGCG dan beberapa sup-

    lemen bisa digunakan sebagai peng-

    ganti Tamiflu untuk mengatasi infeksi

    virus Avian Influenza (AI). Menurut

    drh. CA Nidom MS, staf pengajar

    Fakultas Kedokteran Hewan yang juga

    Ketua Tropical Disease Diagnostic

    Center, Universitas Airlangga, kurku-

    min yang terdapat pada kunyit dan

    temulawak dapat berfungsi sebagai

    antisitokin. Seperti diketahui, bila sese-

    orang terinfeksi virus Avian Influenza

    (AI) atau flu burung maka kadar sitokin

    dalam tubuhnya akan naik. Kenaikan

    ini menjadi berbahaya karena sitokin

    dapat menyebabkan perubahan Oksi-

    gen (O2) menjadi peroksida (H2O2)

    yang meracuni sel-sel paru. Peneliti

    lain melaporkan bahwa dalam tubuh

    orang yang terinfeksi virus H5N1,

    terjadi reaksi badai sitokin (cytokin

    storm) yang berarti terjadi banjir

    sitokin yang mengakibatkan keru-

    sakan sel yang parah pada sel paru-

    paru sehingga sangat membahayakan

    nyawa si pasien. Untuk itu, dengan

    adanya antisitokin, maka jumlah

    sitokin dalam tubuh akan ditekan se-

    hingga produksi peroksida juga

    berkurang. Dengan demikian, keru-

    Tabel 1. Hasil standarisasi kadar kurkuminoid total dari berbagai bentuk sampel

    umur dan asal rimpang kunyit

    No Bentuk sampel/umur/asal Kisaran

    (% B/B)

    Kadar kurkuminoid

    Rata-rata

    II Kunyit segar

    * Muda (8 bulan) eks

    Limbangan

    * Tua (11 bulan) eks

    Limbangan

    4,323 5,463

    5,627 6,648

    5,012 0,374

    6,108 0,358

    III Kunyit Kering

    * Muda (8 bulan) eks

    Limbangan

    * Tua (11 bulan) eks

    Limbangan

    5,423 5,811

    7,799 8,452

    5,609 0,110

    8,107 0,186

    IIII Ekstrak pekat

    * Eks. Produksi RG 530 A3

    (SC = 21.32% b/b)

    * Eks Risbang RG 610 A

    (SC = 23.00% b/b)

    7,584 8,484

    7,133 9,707

    7,932 0,248

    7,936 0,940

    IV Sediaan jadi

    Alternatif formula-1

    Sediaan 1

    Sediaan - 2

    0,158 0,203 0,081 0,106 0,100 0,115

    0,180 0,017

    0,93 0,009

    0,108 0,005

    Sumber : Komarawinata, 2006 (Diolah)

  • 4

    sakan se-sel paru dapat dicegah

    (Kompas, 2005a).

    Dalam upaya mandiri mengatasi

    flu burung, masyarakat telah meman-

    faatkan kurkumin dan temu-temuan

    yang dikombinasikan dengan tanaman

    obat lainnya sebagai jamu untuk ternak

    unggas mereka. Di sekitar Gunung

    Kidul, masyarakat memberikan ramuan

    ramuan jamu yang terdiri dari temu

    lawak, kunyit putih, temu ireng, laos,

    jahe, daun sereh, secang, daun salam,

    cengkeh, arang bathok kelapa dan gin-

    seng pada unggas dan ayam yang dise-

    kitarnya telah terserang flu burung

    (Silalahi, 2005). Demikian juga dengan

    Sumardi dari Univ. Katolik Semarang,

    memberikan ramuan tradisional yang

    terdiri dari tepung cabe jawa, ekstrak

    temulawak dan ekstrak temu ireng serta

    tepung jahe liar yang dicampur dengan

    madu, gula dan air pada unggas yang

    terserang flu burung. Wabah flu burung

    akan bersifat pandemik (Verkerk et al.,

    2006). Walaupun sampai saat sekarang,

    hal ini belum terjadi.

    SUMBER KURKUMIN ALAMI

    Kunyit

    Kunyit (Curcuma domestica Val)

    merupakan salah satu tanaman obat

    potensial penghasil kurkumin. Selain

    sebagai bahan baku obat dapat juga

    dipakai sebagai bumbu dapur dan zat

    pewarna alami. Rimpangnya sangat

    bermanfaat sebagai antikoagulan, me-

    nurunkan tekanan darah, obat cacing,

    obat asma, penambah darah, mengobati

    sakit perut, penyakit hati, karminatif,

    stimulan, gatal-gatal, gigitan serangga,

    diare, dan rematik. Kandungan utama

    didalam rimpangnya terdiri dari mi-

    nyak atsiri, kurkumin, resin, oleoresin,

    desmetoksikurkumin, dan bidesmetok-

    sikirkumin, damar, gom, lemak, pro-

    tein, kalsium, fosfor dan besi. Zat

    warna kurkumin dimanfaatkan sebagai

    pewarna untuk makanan manusia dan

    ternak. Kandungan kimia minyak atsiri

    kunyit terdiri dari artumeron, dan -tumeron, tumerol, -atlanton, -kario-filen, linalol, 1,8 sineol (Rahardjo dan

    Rostiana, 2004).

    Kunyit mengandung kurkumin

    dengan kadar 3 - 4%, terdiri dari kur-

    kumin I 94%, kurkumin II 6% dan

    kurkumin III 0,3%. Kurkumin pertama

    kali diisolasi tahun 1815 (Chattopad-

    hyay et al., 2004). Hasil eksplorasi dari

    berbagai sentra produksi telah diper-

    oleh sebanyak 68 aksesi kunyit.

    Nomor-nomor tersebut telah diseleksi

    produksi dan mutunya sehingga terpilih

    10 nomor harapan. Kesepuluh nomor

    tersebut telah diuji multilokasi di tiga

    lokasi selama 2 kali musim tanam. Dari

    hasil seleksi dan uji adaptasi di ber-

    bagai lingkungan tumbuh maka diper-

    oleh 10 nomor harapan kunyit. Sampai

    tahun 2006, Balittro telah melepas tiga

    varietas unggul kunyit, yaitu Turina 1

    dengan produksi 23,78 ton/ha, kadar

    kurkumin 8,36%; Turina 2 dengan

    produksi 23,16 ton/ha, kadar kurkumin

    9,95% dan Turina 3, produksi 25,05

    ton/ha dengan kadar kurkumin 8,55%

    (Syukur et al., 2006). Umur panen agar

    mendapatkan produktivitas tinggi ada-

    lah saat tanaman berumur 10 - 12 bulan

    setelah tanam, pada kondisi tertentu

    tanaman dapat dibiarkan di lapang dan

  • 5

    dipanen pada umur 20 24 bulan setelah tanam.

    Temulawak

    Temulawak digunakan sebagai

    bahan baku obat, karena dapat merang-

    sang sekresi empedu dan pankreas.

    Sebagai fitofarmaka, temulawak ber-

    manfaat untuk mengobati penyakit

    saluran pencernaan, kelainan hati, kan-

    dung empedu, pankreas, usus halus,

    tekanan darah tinggi, kontraksi usus,

    TBC, sariawan dan dapat digunakan

    sebagai tonikum. Secara tradisional

    temulawak banyak digunakan untuk

    mengobati diare, disentri, wasir, beng-

    kak karena infeksi, eksim, cacar, jera-

    wat, sakit kuning, sembelit, kurang

    nafsu makan, kejang-kejang, radang

    lambung, kencing darah, ayan dan

    kurang darah.

    Banyaknya ragam manfaat temu-

    lawak baik untuk obat tradisional mau-

    pun fitofarmaka karena rimpangnya

    mengandung protein, pati, zat warna

    kuning kurkuminoid dan minyak atsiri.

    Kandungan kimia minyak atsiri antara

    lain : feladren, kamfer, tumerol, tolil-

    metilkarbinol, arkurkumen, zingiberen,

    kuzerenon, germakron, -tumeron serta xanthorrizol yang mempunyai limpah-

    an tertinggi sampai 40% (Rahardjo dan

    Rostiana, 2004). Senyawa xanthorizol

    telah dipatenkan di Korea Selatan seba-

    gai fitofarmaka untuk mengobati kan-

    ker. Balittro memiliki 10 nomor ha-

    rapan temulawak yang berpotensi pro-

    duksi 20 - 40 ton/ha, kadar minyak at-

    siri 6,2 10,6% dengan kadar kur-kumin 2,0 3,3%. Panen dapat dilaku-kan pada umur 9 12 bulan setelah tanaman atau daun telah menguning

    dan gugur. Sebagai bahan tanaman

    untuk bibit digunakan tanaman yang

    sehat berumur 12 bulan. Perbanyakan

    tunas secara in vitro telah berhasil

    dilakukan pada tanaman ini dengan

    menggunakan media Murashige dan

    Skoog (MS) yang diperkaya dengan

    Benzil Adenin 1,5 mg/l + Naptheline

    Acetic Acid 0,5 mg/l dengan rata-rata

    jumlah tunas 3,65 selama 8 minggu

    (Syahid dan Hadipoetyanti, 2002).

    Perbanyakan ini tidak perlu melalui

    fase perakaran karena pada media

    tersebut telah terbentuk eksplan sem-

    purna. Dari hasil uji analisa kimia

    didapatkan bahwa temulawak hasil

    kultur in vitro ini menghasilkan kan-

    dungan kurkumin yang lebih tinggi

    (Syahid dan Hadipoentyanti, 2007) di-

    bandingkan dengan kandungan kurku-

    min temulawak asal koleksi plasma

    nutfah di kebun percobaan Sukamulia

    yang berkisar antara 2,11 3,24% (Setiyono dan Ajijah, 2002).

    KENDALA PRODUKSI

    KURKUMIN SECARA

    KONVENSIONAL

    Kendala yang dialami dalam pro-

    duksi kurkumin secara konvensional

    adalah rendahnya keragaman genetik

    yang dimiliki. Bila dibandingkan de-

    ngan negara lain seperti India misalnya,

    negara kita masih jauh tertinggal dalam

    hal plasma nutfah kunyit Balittro baru

    memiliki 70 aksesi (Syukur et al.,

    2006). Sementara itu India telah memi-

    liki 500 600 aksesi kunyit (Prosea, 1999), sehingga seleksi untuk menda-

    patkan aksesi kunyit yang memiliki ka-

    dar kurkumin tinggi, guna mendukung

  • 6

    untuk produksi kurkumin dalam jumlah

    besar juga kurang optimal.

    Masalah yang dihadapi dalam

    pengembangan tanaman penghasil obat

    dan atsiri pada umumnya adalah meru-

    pakan tanaman musiman atau tahunan

    sehingga membutuhkan waktu yang

    cukup lama untuk mendapatkan hasil-

    nya. Berbagai kendala dijumpai dalam

    perbanyakan temu-temuan antara lain :

    budidaya, pasca panen, mutu dan fluk-

    tuasi harga. Di sisi lain, desakan pen-

    duduk dan perkembangan industri yang

    semakin menyempitkan ketersediaan

    lahan-lahan pertanian. Selain itu, pro-

    duksi kurkumin secara alami dari ta-

    naman kunyit dan temulawak memer-

    lukan tenggang waktu yang panjang

    sekitar 9 bulan, mulai dari pembibitan,

    penanaman, panen sampai dengan pro-

    sesing. Hal ini setiap tahun terus ber-

    gulir secara kontinue. Pemecahan ma-

    salah dapat ditanggulangi dengan tek-

    nik kultur jaringan tepatnya kultur ka-

    lus secara in vitro. Dari hasil penelitian

    yang telah dilakukan oleh Syahid dan

    Hadipoentyanti (2002), kandungan kur-

    kumin tanaman temulawak hasil kultur

    in vitro, ternyata lebih tinggi diban-

    dingkan koleksi plasma nutfah yang

    diperbanyak secara konvensional.

    Penggunaan teknik kultur jaring-

    an jadi lebih menarik dari pada me-

    numbuhkan di lapangan yang mem-

    punyai banyak hambatan (Mantel dan

    Smith, 1983; Sudiarto et al., 1990).

    Perbanyakan dan pengembangan temu-

    temuan dengan teknik kultur jaringan

    mulai dilirik untuk mempercepat proses

    dalam mengatasi berbagai kendala

    tersebut di atas.

    Tetapi ternyata pada penerapan

    teknik perbanyakan secara in vitro, juga

    belum dapat menjawab tantangan un-

    tuk menyediakan bahan tanaman dalam

    jumlah besar. Sebab walaupun dapat

    diperbanyak dalam jumlah besar secara

    in vitro, tanaman tetap harus dikeluar-

    kan dan dibudidayakan kembali di

    lapang dan hal ini bahkan memper-

    panjang periode panen karena membu-

    tuhkan waktu yang panjang agar ter-

    bentuk rimpang yang selanjutnya di-

    jadikan simplisia guna menghasilkan

    kurkumin. Penerapan bioteknologi,

    khususnya bioreaktor atau fermentor

    yang dapat memperbanyak sel tanaman

    yang mengandung bahan aktif dalam

    jumlah besar diharapkan dapat diman-

    faatkan untuk produksi masal kurku-

    min di masa mendatang.

    PELUANG PENINGKATAN

    KURKUMIN SKALA

    KOMERSIAL DENGAN

    BIOTEKNOLOGI

    Penerapan bioteknologi untuk mem-

    produksi kurkumin

    Pemanfaatan kultur sel untuk

    produksi agro industri, telah lazim

    digunakan saat ini, dan telah dilakukan

    secara komersial sejak tahun 1950,

    seperti perbanyakan sel tembakau dan

    sayur-sayuran yang telah dilakukan se-

    jak akhir tahun 1950an dan awal tahun

    1960an di US, Canada dan Eropa.

    Senyawa-senyawa seperti shikonin dan

    saponin ginseng sudah diproduksi da-

    lam skala industri di Jepang, sedangkan

    beberapa senyawa lain juga diproduksi

    di Eropa (Tabel 2), (Misawa, 1994).

  • 7

    Metabolit sekunder seperti kur-

    kumin dapat dibentuk dengan cara

    menginduksi jaringan tanaman pada

    media yang mengandung zat pengatur

    tumbuh untuk membentuk kalus. Kalus

    selanjutnya diperbanyak dengan cara

    kultur kalus ataupun suspensi dan dapat

    juga menggunakan elisitor dalam

    fermentor atau bioreaktor, contohnya

    ginseng.

    Keberhasilan sintesa metabolit

    sekunder dipengaruhi oleh faktor ling-

    kungan dan kendala biologis. Faktor

    lingkungan dapat meliputi cahaya,

    penggunaan zat pengatur tumbuh, pre-

    kusor, unsur hara yang tersedia, kom-

    posisi medium, perbedaan morfologi,

    jaringan tanaman yang digunakan dan

    aktivitas biosintesa (Tabata dalam

    Dalimunthe, 1987). Bahan kimia

    atau yang lebih dikenal sekarang de-

    ngan sebutan bahan aktif dari suatu

    tanaman ini, dapat diperoleh dari ta-

    naman lengkap. Tanaman berinterak-

    si dengan lingkungannya mempro-

    duksi metabolit sekunder yang ber-

    macam-macam (Harborne, 1996).

    Beberapa dari senyawa tersebut ber-

    peran dalam aktivitas pharmakolo-

    gikal, industri dan pertanian yang

    mana akan meningkatkan nilai ta-

    naman secara komersial (Paganga et

    al., 1999; Bingham et al., 1998).

    Sejak penelitian kultur jaringan

    berkembang dengan pesat, ditemukan

    bahwa sel-sel dalam kultur menghasil-

    kan juga persenyawaan-persenyawaan

    Tabel 2. Produksi metabolit sekunder dari sel kultur tanaman

    No Senyawa Jenis tanaman Berat kering (%)

    Kultur Tanaman

    1 Shikonin Lithospermum

    erythrorhizon

    20 1,5

    2 Ginsenoside Panax ginseng 27 4,5

    3 Anthaquinones Morinda citrifolia 18 0,3

    4 Armalicine Canharanthus roseus 1,0 0,3

    5 Rosmarinic acid Coleus blumeii 15 3

    6 Ubiquinone-10 Nicotiana tabacum 0,036 0,003

    7 Diosgenin Dioscorea detoides 2 2

    8 Benzylisoquinoline

    alkaloid

    Coptis japonica 11 5-10

    9 Berberine Thalictrum minor 10 0,01

    10 Berberine Coptis japonica 10 2-4

    11 Anthraquinones Galium verum 5,4 1,2

    12 Anthraquinones Galium aparine 3,8 0,2

    13 Nicotine Nicotiana tabacum 3,4 2,0

    14 Bisoclaurine Stephania cepharantha 2,3 0,8

    15 Tripdiolide Tripteryqium wilfordii 0,05 0,001 Sumber : Misawa, (1994)

  • 8

    yang dibutuhkan manusia dengan ting-

    kat produksi per unit berat kering yang

    setara atau bahkan lebih tinggi dari ta-

    naman asalnya. Kultur kalus telah ber-

    hasil dilakukan pada beberapa tanaman

    obat seperti pada tanaman solanum

    (Solanum khasianum dan Solanum

    laciniatum) yang menghasilkan solaso-

    din untuk bahan KB, ataupun pada

    tanaman Mentha (Mentha piperita)

    untuk menghasilkan pipperint sebagai

    bahan mint dalam industri (Kristina,

    1992) (Tabel 2).

    Senyawa metabolit sekunder ini

    dapat dihasilkan dari kultur kalus atau-

    pun kultur suspensi sel (Furaya, 1982).

    Kalus berasal dari potongan organ yang

    telah steril dalam media yang mengan-

    dung auksin dan kadangkala sitokinin.

    Kalus ini adalah sel-sel parenkim yang

    mempunyai ikatan yang renggang de-

    ngan sel-sel lain. Kalus berupa kum-

    pulan sel dan selalu melakukan proses

    dediferensiasi. Kalus atau yang dikenal

    dengan kultur sel ini diharapkan dapat

    memperbanyak dirinya menjadi massa

    sel yang besar secara terus-menerus.

    Hal lain yang menguntungkan adalah

    kultur sel tidak dipengaruhi oleh per-

    ubahan-perubahan lingkungan seperti

    iklim, penyakit tanaman dan peningkat-

    an produksi dapat tersedia bila dibutuh-

    kan sewaktu-waktu.

    Senyawa sekunder melalui kultur

    jaringan dapat diisolasi dari kalus atau

    sel. Kandungannya dapat ditingkatkan

    melalui seleksi bahan tanaman atau

    jaringan, tingkat pertumbuhan tanam-

    an, pemakaian zat pengatur tumbuh

    dan prekusor, pemakaian mutagen baik

    secara fisik maupun kimia serta mani-

    pulasi faktor lingkungan. Kalus sebagai

    bahan senyawa sekunder dan produk

    lainnya dapat dipacu pembentukan dan

    pertumbuhannya dengan pemakaian zat

    pengatur tumbuh 2,4-D, NAA dan se-

    ring pula dikombinasikan dengan sito-

    kinin. Adakalanya kombinasi auksin

    dengan sitokinin selain dapat merang-

    sang proses pembelahan sel juga mem-

    pengaruhi kandungan senyawa sekun-

    dernya. Hasil penelitian Marshall dan

    Staba (1976) mendapatkan peningkatan

    kandungan diosgenin dengan peng-

    gunaan 2,4-D pada tanaman Dioscorea

    deltoidea.

    Pada kultur sel, harus diperhati-

    kan bahwa masa kultur yang panjang

    dalam media yang tetap, akan kehabis-

    an unsur hara dan air, karena media

    menguapkan air dari waktu ke waktu.

    Selain kehabisan hara, sel-sel dalam

    kalus juga mengeluarkan persenyawa-

    an-persenyawaan hasil metabolit se-

    kunder. Pertumbuhan kultur kalus mi-

    rip dengan grafik pertumbuhan kultur

    bakteri (Dodds and Roberts dalam

    Gunawan. 1978), sehingga dapat di-

    bayangkan bila proses fermentor ini di-

    terapkan maka akan dihasilkan senya-

    wa kurkumin dalam jumlah besar

    dalam waktu singkat.

    Sedangkan kultur suspensi ada-

    lah kalus yang ditumbuhkan pada me-

    dia cair dan kultur suspensi ini praktis

    digunakan untuk produksi bahan-bahan

    sekunder. Dalam kultur suspensi sel di-

    kenal dua kelompok kultur yakni kultur

    batch dan continuous. Dalam kultur

    batch, media hara dan volume tetap,

    tetapi konsentrasi hara berubah sesuai

    dengan pertumbuhan sel. pada masa

  • 9

    inkubasi terjadi pertambahan biomass

    yang mengikuti pola sigmoid. Setelah

    mecapai suatu masa tertentu sel ber-

    henti membelah. Oleh karena itu kultur

    batch harus selalu diperbaharui.

    Sementara kultur continuous me-

    rupakan kultur sel jangka panjang

    dengan suplai hara yang konstan dalam

    wadah yang besar. Dalam kultur ini ter-

    dapat sistem untuk sirkulasi mengeluar-

    kan media lama dan ditambah dengan

    media baru. Dalam kultur sel conti-

    nuous terdapat dua tipe, yaitu tipe

    tertutup (close type) dan tipe terbuka

    (open type). Dalam tipe tertutup sel ber-

    tambah terus tanpa dipanen, hanya me-

    dia yang disirkulasi. Sedangkan pada

    tipe terbuka, penambahan media baru

    disertai juga dengan panen sel dan

    media. Tipe kultur continuous yang ter-

    buka dapat menggunakan chemostat

    atau turbidostat. Chemostat menggu-

    nakan standard konsentrasi bahan-ba-

    han kimia tertentu yang mengatur laju

    pertumbuhan, misalnya konsentrasi N,

    P atau glukosa. Persenyawaan N, P

    atau glukosa diatur sedemikian rupa

    pada suatu level yang tetap untuk

    mengatur populasi sel yang tertentu.

    Pada kultur continuous dengan turbi-

    dostat, diatur jumlah sel tertentu, yang

    diatur dengan turbiditas. Kerapatan bio-

    mass yang melebihi turbiditas yang

    sudah ditentukan, akan dikeluarkan.

    Untuk tujuan komersial telah di-

    lakukan pengembangan produksi meta-

    bolit sekunder tanaman obat dengan

    sistem bioreaktor. Sistem bioreaktor ini

    dapat digunakan untuk kultur embrio-

    nik ataupun organogenik dari berbagai

    spesies tanaman (Levin et al., 1988;

    Preil et al., 1988).

    Dari salah satu hasil percobaan

    yang menggunakan sistem bioreaktor

    ini dapat dihasilkan saponin sebesar

    500 mg/l/hari dari bioreaktor kultur

    jaringan akar ginseng (Park et al.,

    1992) dan produksi alkaloid ginseno-

    side dari kultur akar Panax ginseng de-

    ngan sistem bioreaktor berskala besar 1

    10 ton (Hahn et al., 2003). Teknik kultivasi bioreaktor ini juga telah ber-

    hasil dilakukan untuk memproduksi zat

    anti kanker dari beberapa spesies Taxus

    dengan caracara konvensional dima-na untuk mendapatkan 1 kg komponen

    aktif taxol harus menebang 1 pohon

    Taxus yang kira-kira telah berumur 100

    tahun (Muhlbah, 1998).

    Sementara itu perbanyakan ku-

    nyit secara in vitro dapat juga dilaku-

    kan dengan menggunakan media Mu-

    rashige dan Skoog yang diperkaya

    dengan Benzil Adenin 2 mg/l dan bah-

    kan dari hasil penyimpanan pada media

    pertumbuhan minimal yang mengguna-

    kan manitol 1%, tunas masih mampu

    beregenerasi secara normal dengan

    rata-rata jumlah tunas 4,2 (Syahid,

    2004).

    Peningkatan produksi bahan aktif

    kurkumin dengan elisitor

    Peningkatan produksi kalus akan

    semakin cepat bila menggunakan agen

    seleksi filtrat. Agen seleksi filtrat ada-

    lah gen-gen jasad renik atau bagian dari

    gen-gen jasad renik yang mampu me-

    nampung gen asing yang ditumpang-

    kan pada struktur jasad renik tersebut

    dan ditransplantasikan ke sel-sel yang

  • 10

    harapkan mampu mengubah sifat-sifat

    sel.

    Seleksi in vitro untuk mendapat-

    kan kalus kunyit yang mengandung

    kurkumin tinggi dapat dilakukan de-

    ngan menggunakan agen seleksi filtrat

    atau elisitor yang ditambahkan ke da-

    lam media tumbuh. Teknik ini sudah

    diterapkan pada beberapa tanaman bu-

    didaya dan berhasil memperoleh varian

    baru yang tahan terhadap OPT.

    Jamur Colletotrichum lagenarum

    dapat menginduksi sintesa saponin

    (ginsengosides) pada sel kultur ginseng

    (Xiaojie et al., 2005). Atau Aspergillus

    niger menginduksi produksi hypericin

    pada kultur suspensi sel Hypericum

    perforatum (Xu et al., 2005).

    KESIMPULAN

    Peluang pengembangan bahan

    aktif kurkumin dari tanaman kunyit dan

    temulawak untuk mengatasi flu burung

    dapat dilakukan dengan teknik kultur

    jaringan yang menghasilkan kalus.

    Strategi untuk meningkatkan kandung-

    an kurkumin dalam kalus dapat diberi-

    kan elisator, sehingga peluang untuk

    menghasilkan kurkumin dengan teknik

    biofermentor untuk skala industri dapat

    dilakukan.

    SARAN

    Penelitian ini perlu dilanjutkan

    untuk mendapatkan teknik untuk

    meningkatkan kurkumin pada kalus

    tanaman kunyit hasil kultur jaringan.

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Pada kesempatan ini Penulis

    mengucapkan terima kasih kepada Dr.

    Ireng Darwati yang telah banyak

    memberi saran dalam perbaikan tulisan

    ini.

    DAFTAR PUSTAKA

    Araujo, C.A.C and L.L. Leon, 2001.

    Biological activities of Curcuma

    longa L. Mem. Inst. Oswaldo Cruz,

    Rio de Janeiro 96 (5) : 723 - 728.

    Byron, J.R., 2006. H5N1 Avian flu

    virus therapy. Conventional and

    Herbal Options : Jrb at med-owl

    dot com. Version 2, February,

    2006.

    Chattopadhyay, I., Biswas, K.,

    Bandyopadhyay, U. and Banerjee,

    R.K., 2004. Tumeric and Curcumin

    : Biological actions ans medicinal

    applications. Current Science. 87

    (1) : 44 - 53.

    Commandeur, J.N. and N.P.

    Vermeulen, 1996. Cytotoxicity and

    cytoprotective activities of natural

    compounds. The case of curcumin.

    Xenobiotica 26 : 667 - 680.

    Dalimonthe, S.L, 1987. Kultur jaringan

    sebagai sarana untuk menghasilkan

    metabolit sekunder. Dalam Buku

    Risalah Seminar Nasional Meta-

    bolit Sekunder. 1987. (Ed) Suwi-

    jiyo Pramono, D. Gunawan dan

    C.J. Soegihardjo, 6-9 September,

    Yogyakarta. PAU Bioteknologi

    UGM. hal. 157 162.

  • 11

    Eigner, D. And D. Schulz, 1999. Ferula

    asa-foetida and Curcuma longa in

    traditional medical treatment and

    diet in Nepal. J. Ethnopharmacol

    67 : 1 - 6.

    Furaya, T., 1982. Production of

    pharmacologically active principles

    in plant tissue culture. Proc. 5th Intl.

    Cong. Plant Tissue and Cell Cul-

    ture. Plant Tissue Culture. 269-272.

    Harborne, J. B., 1996. Recent advance

    in chemical ecology. Natural

    Product Reports 12 : 83 - 98.

    Haris, R., 1989. Tanaman Minyak

    Atsiri. Penebar Swadaya, Jakarta.

    172 hal.

    IIndrayanto, G., 1987. Produksi meta-

    bolit sekunder dengan teknik kultur

    jaringan. Dalam buku Risalah Se-

    minar Nasional Metabolit Sekunder

    1987. (Ed.) Suwijiyo Pramono, D.

    Gunawan dan C.J. Soegiarto. 6-9

    September. Yogyakarta. PAU Bio-

    teknologi UGM. hal. 32 44.

    Joe, B.; M. Vijaykumar and B.R.

    Lokesh, 2004.Biological properties

    of curcumin-cellular and molecular

    mechanisms of action. Critical

    Review in Food Science and

    Nutrition 44 (2) : 97 - 112.

    Komarawinata, D., 2006. Budidaya dan

    pasca panen tanaman obat untuk

    meningkatkan kadar bahan aktif.

    Makalah pada Seminar Status Tek-

    nologi Tanaman Obat dan Aro-

    matik. 13 Desember 2006. 8 hal.

    Kristina, N.N., 1992. Produksi meta-

    bolit sekunder melalui kultur in

    vitro. Medkom Puslitbangtri. hal.

    18 22.

    Levin, R., V. Gaba; B. Tal; S. Hirsch;

    D. De Nola; K. Vasil, 1988. Auto-

    matic plant tissue culture for max

    propagation. Biotechnology. 6 :

    1035 - 1040.

    Marshall, J.O.G. and E.J. Staba, 1976.

    Hormonal effect on diosgenin bio-

    synthesis and growth in Dioscorea

    deltoidea tissue culture Phytochem

    15 : 53 - 55.

    Mantell, SH & H. Smith, 1983. Cul-

    tural factors that influensce secon-

    dary metabolite accumulations in

    plant cel and tissue culture. In :

    S.H. Mantell and Smith (eds.) Plant

    Biotechnology cambridge. Univ.

    Press. London. p. 75 - 108.

    Misawa, M., 1994. Plant tissue culture:

    An alternative for production of

    useful metabolite. FAO Agricultu-

    ral services Bulletin. No. 108.

    Toronto-Canada.

    Paganga, G., N. Miller and C.A. Rice

    Evans, 1999. The polyphenolic

    content of fruit and vegetables and

    their anti-oxidant activities. What

    does a serving constitue? Free

    Redic. Research 30 : 153 - 162.

    Preil, W.; P. Florek; V. Wix, A. Beck,

    1988. Toward mass propagation by

    use of bioreactors. Acta Horticult.

    226 : 99 - 105.

    Park, J.M. and S.Y. Yoon, 1992. Pro-

    duction of sunguinarine by suspen-

    sion culture of Papaver somni-

  • 12

    ferum in bioreactor. J. Ferm.

    Bioeng. 74 : 292 - 296.

    Prosea, 1999. Plant Resources of South

    East Asia. No. 12 (1). Medicinal and poisonous plants 1. Ed. de

    Padua, L.S., Bunyapraphatsara, N.,

    and Lemmens, R.H.M.J. p. 215 216.

    Rahardjo, M. dan O. Rostiana, 2004.

    Standar prosedur Operasional Bu-

    didaya Kunyit dalam Standar Pro-

    sedur Operasional Jahe, Kencur,

    Kunyit dan Temulawak. Badan

    Litbang Pertanian. Balittro-Bogor.

    46 hal.

    Setiyono, R.T dan N. Ajijah, 2002.

    Evaluasi beberapa sifat agronomi

    plasma nutfah temulawak (Cur-

    cuma xanthorhiza Roxb.). Buletin

    Littro XIII (2) : 7 - 12.

    Sudiarto, Emmyzar, S.M. Rosita, O.

    Rostiana, S. Affandi dan D. Sitepu,

    1990. Hasil penelitian dan pengem-

    bangan tanaman obat. Dalam :

    Tanaman Obat (Buku VI). Seri

    Pengembangan No. 12. Prosiding

    Simposium I Hasil Penelitian dan

    Pengembangan Tanaman Industri.

    hal. 813 829.

    Syahid, S.F., 2004. Konservasi kunyit

    (Curcuma domestica Vahl.) mela-

    lui pertumbuhan minimal. Prosi-

    ding Simposium IV Hasil Peneli-

    tian Tanaman Perkebunan. Bogor

    28 - 30 September 2004. hal. 231 -

    236.

    Syahid, S.F. dan E. Hadipoentyanti,

    2002. Pengaruh zat pengatur

    tumbuh Benzyl Adenin (BA) dan

    NAA terhadap pertumbuhan temu-

    lawak (Curcuma xanthorrhiza

    Roxb). Buletin Penelitian Tanaman

    Rempah dan Obat. XIII (2): 1 - 6.

    Syahid, S.F. dan E. Hadipoentyanti,

    2007. Respon temulawak hasil rim-

    pang kultur in vitro genersi kedua

    terhadap pemupukan. Jurnal Puslit-

    bangbun (Proses Editing).

    Syukur, Ch.. L. Udarno, Supriadi, O.

    Rostiana &. S.F. Syahid, 2006.

    Usulan pelepasan varietas kunyit.

    Balittro-Puslitbangbun. 25 hal.

    Verkerk, R.; D. Downing; J. Meldrum

    and S. Hickey, 2006. The pivotal

    role for natural products in coun-

    tering an avian influenza pandemic.

    Alliance for Natural Health. p. 63.

    Wasito, R., 2005. Malaikat pencabut

    nyawa itu ternyata lalat. Harian

    Suara Pembaharuan. Rabu, 21

    September 2005.

    Xiaojie, X; H. Xiangyang; S. J. Neill;

    F. Jianying and C. Weining, 2005.

    Fungal elicitor induce singlet oxy-

    gen generation, ethylene release

    and saponin synthesis in cultured

    cells of Panax ginseng. C.A.

    Meyer. Plant Cell Physiol. 46 (6) :

    947 - 954.

    Zhou, L.G. and J.Y.Wu, 2006. Deve-

    lopment and application of medici-

    nal plant tissue cultures for produc-

    tion of drugs and herbal medicinals

    in China. Nat. Pro. Rep. 23 : 789 -

    810.