1kunyit

12

Click here to load reader

Upload: fathir-musawwir

Post on 06-Jul-2015

411 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1kunyit

1

PELUANG PENINGKATAN KADAR KURKUMIN PADA

TANAMAN KUNYIT DAN TEMULAWAK

Natalini Nova Kristina, Rita Noveriza, Siti Fatimah Syahid dan Molide Rizal

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

ABSTRAK

Produksi kurkumin menggunakan teknik

budidaya secara konvensional dianggap memer-

lukan waktu yang sangat panjang mulai dari

tanam, panen sampai proses menghasilkan

simplisia/bahan aktif. Pemanfaatan bioteknologi

tepatnya kultur kalus diharapkan dapat mem-

bantu mengatasi hal ini, karena dengan di-

dapatkannya metode perbanyakan kalus, akan

terbuka jalan untuk memproduksi kurkumin

secara massal. Untuk meningkatkan produksi

kalus dapat digunakan zat pengatur tumbuh, dan

untuk meningkatkan bahan aktif (kurkumin)

pada kalus dapat digunakan agen seleksi filtrat

atau elisitor. Dengan teknik kultur kalus ataupun

kultur suspensi dan penerapan agen seleksi

filtrat atau elisitor diharapkan akan terbentuk

kalus dengan kadar kurkumin tinggi sehingga

dapat diproduksi dalam skala industri. Kurku-

min yang terdapat pada tanaman temu-temuan,

terutama kunyit dan temulawak, dapat diman-

faatkan sebagai pengganti Tamiflu (antibiotik

untuk penyakit flu burung). Tamiflu dinyatakan

kurang efektif dalam mengatasi penyakit ini dan

saat ini penyakit flu burung semakin merebak,

korban terus berjatuhan. Kondisi ini merupakan

tantangan bagi dunia penelitian khususnya

pertanian untuk segera menghasilkan bahan

tanaman yang dapat diformulasikan menjadi

produk untuk meningkatkan sistim imunitas

tubuh manusia. Produksi massal kurkumin

dengan teknologi induksi kalus secara kultur

jaringan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

Kata kunci : kunyit, temu lawak, kurkumin, Tamiflu

PENDAHULUAN

Kurkumin merupakan salah satu

produk senyawa metabolit sekunder

dari tanaman Zingiberaceae, khususnya

kunyit dan temulawak. Yang telah di-

manfaatkan dalam industri farmasi,

makanan, parfum, dan lain-lain. Ada

banyak data dan literatur yang menun-

jukkan bahwa kunyit dan temulawak

berpotensi besar dalam aktifitas farma-

kologi yaitu anti imflamatori, anti

imunodefisiensi, anti virus (virus flu

burung), anti bakteri, anti jamur, anti

oksidan, anti karsinogenik dan anti

infeksi (Joe et al., 2004; Chattopadhyay

et al., 2004; Araujo dan Leon, 2001).

Senyawa kurkumin ini, seperti

juga senyawa kimia lain seperti anti-

biotik, alkaloid, steroid, minyak atsiri,

resin, fenol dan lain-lain merupakan

hasil metabolit sekunder suatu tanaman

(Indrayanto, 1987). Tanaman obat dan

aromatik dapat menghasilkan senyawa

metabolit sekunder bernilai ekonomi

tinggi, seperti vinblastina/vinkristina

pada tanaman tapak dara (Vinca rosea),

ajmalisina, digitalis (Dioscorea sp),

kinina pada tanaman kina (Cinchoa

sp.), kodeina, yasmin pada tanaman

melati (Jasminum sambac), piretrin

pada tanaman Piretrum (Pyrethrum pe-

largonium) dan spearmint pada tanam-

an mentha (Mentha sp.) (Harris, 1989).

Dalam kenyataannya, produksi

kurkumin untuk pabrik-pabrik industri

sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan pertumbuhan tanaman di lapang

yang ditentukan oleh berbagai faktor

lingkungan seperti tanah, nutrisi, iklim

Page 2: 1kunyit

2

serta hama dan penyakit. Salah satu

upaya untuk menghasilkan kurkumin

dengan jumlah yang banyak adalah

dengan teknologi kultur jaringan seperti

kultur kalus. Ada peluang untuk

meningkatkan kadar kurkumin dalam

kultur kalus tanaman kunyit dan temu-

lawak dengan in duksi elisitor.

Dilain pihak, masyarakat dunia

membutuhkan kurkumin untuk obat flu

burung sebagai pengganti Tamiflu.

Tetapi Tamiflu terbukti tidak efektif

pada suatu kasus di Vietnam dan men-

jadi tidak berguna selain karena mahal

juga terjadi resistensi akibat sebuah

mutasi yang sederhana.

Tulisan ini menguraikan peluang

penerapan bioteknologi tepatnya kultur

kalus dengan menggunakan zat tum-

buh dan elisitor sebagai bahan untuk

meningkatkan produksi kurkumin pada

tanaman temulawak dan kunyit yang

nanti akan digunakan sebagai bahan

baku obat flu burung sebagai pengganti

Tamiflu.

KANDUNGAN KURKUMIN

DAN MANFAATNYA SEBAGAI

PENGGANTI TAMIFLU

Kurkuminoid adalah kelompok

senyawa fenolik yang terkandung da-

lam rimpang tanaman famili Zingibera-

ceae antara lain : Curcuma longa syn.

Curcuma domestica (kunyit) dan Cur-

cuma xanthorhiza (temulawak). Kurku-

minoid bermanfaat untuk mencegah

timbulnya infeksi berbagai penyakit.

Kandungan utama dari kurkuminoid

adalah kurkumin yang berwarna ku-

ning. Kandungan kurkumin di dalam

kunyit berkisar 3 – 4% (Joe et al.,

2004; Eigner dan Schulz, 1999). Tiga

varietas unggul kunyit yang telah di-

lepas Balittro memiliki kadar kurkumin

cukup tinggi yaitu 8,7%.

Kurkumin (C2H20O6) atau diferu-

loyl methane (Gambar 1) pertama kali

diisolasi pada tahun 1815. Kemudian

tahun 1910, kurkumin didapatkan ber-

bentuk kristal dan bisa dilarutkan tahun

1913. Kurkumin tidak dapat larut

dalam air, tetapi larut dalam etanol dan

aceton (Joe et al., 2004; Chattopadhyay

et al., 2004; Araujo dan Leon, 2001).

Gambar 1. Struktur kimia kurkumin

Banyak hasil penelitian menun-

jukkan bahwa kurkumin aman dan ti-

dak toksik bila dikonsumsi oleh manu-

sia. Jumlah kurkumin yang aman di-

konsumsi oleh manusia adalah 100 mg/

hari sedangkan untuk tikus 5 g/hari

(Commandeur dan Vermeulen, 1996).

Adapun data standar kadar kurkumin

total pada rimpang kunyit tertera pada

Tabel 1.

Tamiflu adalah salah satu jenis

antibiotik yang digunakan untuk meng-

atasi penyakit flu burung merupakan

neuraminidase inhibitor sebuah enzim

pada membran virus yang memotong

partikel virus yang menyebabkan sel

membran terinfeksi, sehingga virus

tidak dapat berkembang biak di dalam

sel atau tubuh manusia yang sudah

terinfeksi virus tersebut.

Page 3: 1kunyit

3

Dari beberapa eksperimen dinya-

takan bahwa bahan obat alami seperti

kurkumin, EGCG dan beberapa sup-

lemen bisa digunakan sebagai peng-

ganti Tamiflu untuk mengatasi infeksi

virus Avian Influenza (AI). Menurut

drh. CA Nidom MS, staf pengajar

Fakultas Kedokteran Hewan yang juga

Ketua Tropical Disease Diagnostic

Center, Universitas Airlangga, kurku-

min yang terdapat pada kunyit dan

temulawak dapat berfungsi sebagai

antisitokin. Seperti diketahui, bila sese-

orang terinfeksi virus Avian Influenza

(AI) atau flu burung maka kadar sitokin

dalam tubuhnya akan naik. Kenaikan

ini menjadi berbahaya karena sitokin

dapat menyebabkan perubahan Oksi-

gen (O2) menjadi peroksida (H2O2)

yang meracuni sel-sel paru. Peneliti

lain melaporkan bahwa dalam tubuh

orang yang terinfeksi virus H5N1,

terjadi reaksi badai sitokin (cytokin

storm) yang berarti terjadi banjir

sitokin yang mengakibatkan keru-

sakan sel yang parah pada sel paru-

paru sehingga sangat membahayakan

nyawa si pasien. Untuk itu, dengan

adanya antisitokin, maka jumlah

sitokin dalam tubuh akan ditekan se-

hingga produksi peroksida juga

berkurang. Dengan demikian, keru-

Tabel 1. Hasil standarisasi kadar kurkuminoid total dari berbagai bentuk sampel

umur dan asal rimpang kunyit

No Bentuk sampel/umur/asal Kisaran

(% B/B)

Kadar kurkuminoid

Rata-rata

II Kunyit segar

* Muda (8 bulan) eks

Limbangan

* Tua (11 bulan) eks

Limbangan

4,323 – 5,463

5,627 – 6,648

5,012 ± 0,374

6,108 ± 0,358

III Kunyit Kering

* Muda (8 bulan) eks

Limbangan

* Tua (11 bulan) eks

Limbangan

5,423 – 5,811

7,799 – 8,452

5,609 0,110

8,107 ± 0,186

IIII Ekstrak pekat

* Eks. Produksi RG 530 A3

(SC = 21.32% b/b)

* Eks Risbang RG 610 A

(SC = 23.00% b/b)

7,584 – 8,484

7,133 – 9,707

7,932 ± 0,248

7,936 ± 0,940

IV Sediaan jadi

Alternatif formula-1

Sediaan – 1

Sediaan - 2

0,158 – 0,203

0,081 – 0,106

0,100 – 0,115

0,180 ± 0,017

0,93 ± 0,009

0,108 ± 0,005

Sumber : Komarawinata, 2006 (Diolah)

Page 4: 1kunyit

4

sakan se-sel paru dapat dicegah

(Kompas, 2005a).

Dalam upaya mandiri mengatasi

flu burung, masyarakat telah meman-

faatkan kurkumin dan temu-temuan

yang dikombinasikan dengan tanaman

obat lainnya sebagai jamu untuk ternak

unggas mereka. Di sekitar Gunung

Kidul, masyarakat memberikan ramuan

ramuan jamu yang terdiri dari temu

lawak, kunyit putih, temu ireng, laos,

jahe, daun sereh, secang, daun salam,

cengkeh, arang bathok kelapa dan gin-

seng pada unggas dan ayam yang dise-

kitarnya telah terserang flu burung

(Silalahi, 2005). Demikian juga dengan

Sumardi dari Univ. Katolik Semarang,

memberikan ramuan tradisional yang

terdiri dari tepung cabe jawa, ekstrak

temulawak dan ekstrak temu ireng serta

tepung jahe liar yang dicampur dengan

madu, gula dan air pada unggas yang

terserang flu burung. Wabah flu burung

akan bersifat pandemik (Verkerk et al.,

2006). Walaupun sampai saat sekarang,

hal ini belum terjadi.

SUMBER KURKUMIN ALAMI

Kunyit

Kunyit (Curcuma domestica Val)

merupakan salah satu tanaman obat

potensial penghasil kurkumin. Selain

sebagai bahan baku obat dapat juga

dipakai sebagai bumbu dapur dan zat

pewarna alami. Rimpangnya sangat

bermanfaat sebagai antikoagulan, me-

nurunkan tekanan darah, obat cacing,

obat asma, penambah darah, mengobati

sakit perut, penyakit hati, karminatif,

stimulan, gatal-gatal, gigitan serangga,

diare, dan rematik. Kandungan utama

didalam rimpangnya terdiri dari mi-

nyak atsiri, kurkumin, resin, oleoresin,

desmetoksikurkumin, dan bidesmetok-

sikirkumin, damar, gom, lemak, pro-

tein, kalsium, fosfor dan besi. Zat

warna kurkumin dimanfaatkan sebagai

pewarna untuk makanan manusia dan

ternak. Kandungan kimia minyak atsiri

kunyit terdiri dari artumeron, ά dan β-

tumeron, tumerol, α-atlanton, β-kario-

filen, linalol, 1,8 sineol (Rahardjo dan

Rostiana, 2004).

Kunyit mengandung kurkumin

dengan kadar 3 - 4%, terdiri dari kur-

kumin I 94%, kurkumin II 6% dan

kurkumin III 0,3%. Kurkumin pertama

kali diisolasi tahun 1815 (Chattopad-

hyay et al., 2004). Hasil eksplorasi dari

berbagai sentra produksi telah diper-

oleh sebanyak 68 aksesi kunyit.

Nomor-nomor tersebut telah diseleksi

produksi dan mutunya sehingga terpilih

10 nomor harapan. Kesepuluh nomor

tersebut telah diuji multilokasi di tiga

lokasi selama 2 kali musim tanam. Dari

hasil seleksi dan uji adaptasi di ber-

bagai lingkungan tumbuh maka diper-

oleh 10 nomor harapan kunyit. Sampai

tahun 2006, Balittro telah melepas tiga

varietas unggul kunyit, yaitu Turina 1

dengan produksi 23,78 ton/ha, kadar

kurkumin 8,36%; Turina 2 dengan

produksi 23,16 ton/ha, kadar kurkumin

9,95% dan Turina 3, produksi 25,05

ton/ha dengan kadar kurkumin 8,55%

(Syukur et al., 2006). Umur panen agar

mendapatkan produktivitas tinggi ada-

lah saat tanaman berumur 10 - 12 bulan

setelah tanam, pada kondisi tertentu

tanaman dapat dibiarkan di lapang dan

Page 5: 1kunyit

5

dipanen pada umur 20 – 24 bulan

setelah tanam.

Temulawak

Temulawak digunakan sebagai

bahan baku obat, karena dapat merang-

sang sekresi empedu dan pankreas.

Sebagai fitofarmaka, temulawak ber-

manfaat untuk mengobati penyakit

saluran pencernaan, kelainan hati, kan-

dung empedu, pankreas, usus halus,

tekanan darah tinggi, kontraksi usus,

TBC, sariawan dan dapat digunakan

sebagai tonikum. Secara tradisional

temulawak banyak digunakan untuk

mengobati diare, disentri, wasir, beng-

kak karena infeksi, eksim, cacar, jera-

wat, sakit kuning, sembelit, kurang

nafsu makan, kejang-kejang, radang

lambung, kencing darah, ayan dan

kurang darah.

Banyaknya ragam manfaat temu-

lawak baik untuk obat tradisional mau-

pun fitofarmaka karena rimpangnya

mengandung protein, pati, zat warna

kuning kurkuminoid dan minyak atsiri.

Kandungan kimia minyak atsiri antara

lain : feladren, kamfer, tumerol, tolil-

metilkarbinol, arkurkumen, zingiberen,

kuzerenon, germakron, β-tumeron serta

xanthorrizol yang mempunyai limpah-

an tertinggi sampai 40% (Rahardjo dan

Rostiana, 2004). Senyawa xanthorizol

telah dipatenkan di Korea Selatan seba-

gai fitofarmaka untuk mengobati kan-

ker. Balittro memiliki 10 nomor ha-

rapan temulawak yang berpotensi pro-

duksi 20 - 40 ton/ha, kadar minyak at-

siri 6,2 – 10,6% dengan kadar kur-

kumin 2,0 – 3,3%. Panen dapat dilaku-

kan pada umur 9 – 12 bulan setelah

tanaman atau daun telah menguning

dan gugur. Sebagai bahan tanaman

untuk bibit digunakan tanaman yang

sehat berumur 12 bulan. Perbanyakan

tunas secara in vitro telah berhasil

dilakukan pada tanaman ini dengan

menggunakan media Murashige dan

Skoog (MS) yang diperkaya dengan

Benzil Adenin 1,5 mg/l + Naptheline

Acetic Acid 0,5 mg/l dengan rata-rata

jumlah tunas 3,65 selama 8 minggu

(Syahid dan Hadipoetyanti, 2002).

Perbanyakan ini tidak perlu melalui

fase perakaran karena pada media

tersebut telah terbentuk eksplan sem-

purna. Dari hasil uji analisa kimia

didapatkan bahwa temulawak hasil

kultur in vitro ini menghasilkan kan-

dungan kurkumin yang lebih tinggi

(Syahid dan Hadipoentyanti, 2007) di-

bandingkan dengan kandungan kurku-

min temulawak asal koleksi plasma

nutfah di kebun percobaan Sukamulia

yang berkisar antara 2,11 – 3,24%

(Setiyono dan Ajijah, 2002).

KENDALA PRODUKSI

KURKUMIN SECARA

KONVENSIONAL

Kendala yang dialami dalam pro-

duksi kurkumin secara konvensional

adalah rendahnya keragaman genetik

yang dimiliki. Bila dibandingkan de-

ngan negara lain seperti India misalnya,

negara kita masih jauh tertinggal dalam

hal plasma nutfah kunyit Balittro baru

memiliki 70 aksesi (Syukur et al.,

2006). Sementara itu India telah memi-

liki 500 – 600 aksesi kunyit (Prosea,

1999), sehingga seleksi untuk menda-

patkan aksesi kunyit yang memiliki ka-

dar kurkumin tinggi, guna mendukung

Page 6: 1kunyit

6

untuk produksi kurkumin dalam jumlah

besar juga kurang optimal.

Masalah yang dihadapi dalam

pengembangan tanaman penghasil obat

dan atsiri pada umumnya adalah meru-

pakan tanaman musiman atau tahunan

sehingga membutuhkan waktu yang

cukup lama untuk mendapatkan hasil-

nya. Berbagai kendala dijumpai dalam

perbanyakan temu-temuan antara lain :

budidaya, pasca panen, mutu dan fluk-

tuasi harga. Di sisi lain, desakan pen-

duduk dan perkembangan industri yang

semakin menyempitkan ketersediaan

lahan-lahan pertanian. Selain itu, pro-

duksi kurkumin secara alami dari ta-

naman kunyit dan temulawak memer-

lukan tenggang waktu yang panjang

sekitar 9 bulan, mulai dari pembibitan,

penanaman, panen sampai dengan pro-

sesing. Hal ini setiap tahun terus ber-

gulir secara kontinue. Pemecahan ma-

salah dapat ditanggulangi dengan tek-

nik kultur jaringan tepatnya kultur ka-

lus secara in vitro. Dari hasil penelitian

yang telah dilakukan oleh Syahid dan

Hadipoentyanti (2002), kandungan kur-

kumin tanaman temulawak hasil kultur

in vitro, ternyata lebih tinggi diban-

dingkan koleksi plasma nutfah yang

diperbanyak secara konvensional.

Penggunaan teknik kultur jaring-

an jadi lebih menarik dari pada me-

numbuhkan di lapangan yang mem-

punyai banyak hambatan (Mantel dan

Smith, 1983; Sudiarto et al., 1990).

Perbanyakan dan pengembangan temu-

temuan dengan teknik kultur jaringan

mulai dilirik untuk mempercepat proses

dalam mengatasi berbagai kendala

tersebut di atas.

Tetapi ternyata pada penerapan

teknik perbanyakan secara in vitro, juga

belum dapat menjawab tantangan un-

tuk menyediakan bahan tanaman dalam

jumlah besar. Sebab walaupun dapat

diperbanyak dalam jumlah besar secara

in vitro, tanaman tetap harus dikeluar-

kan dan dibudidayakan kembali di

lapang dan hal ini bahkan memper-

panjang periode panen karena membu-

tuhkan waktu yang panjang agar ter-

bentuk rimpang yang selanjutnya di-

jadikan simplisia guna menghasilkan

kurkumin. Penerapan bioteknologi,

khususnya bioreaktor atau fermentor

yang dapat memperbanyak sel tanaman

yang mengandung bahan aktif dalam

jumlah besar diharapkan dapat diman-

faatkan untuk produksi masal kurku-

min di masa mendatang.

PELUANG PENINGKATAN

KURKUMIN SKALA

KOMERSIAL DENGAN

BIOTEKNOLOGI

Penerapan bioteknologi untuk mem-

produksi kurkumin

Pemanfaatan kultur sel untuk

produksi agro industri, telah lazim

digunakan saat ini, dan telah dilakukan

secara komersial sejak tahun 1950,

seperti perbanyakan sel tembakau dan

sayur-sayuran yang telah dilakukan se-

jak akhir tahun 1950an dan awal tahun

1960an di US, Canada dan Eropa.

Senyawa-senyawa seperti shikonin dan

saponin ginseng sudah diproduksi da-

lam skala industri di Jepang, sedangkan

beberapa senyawa lain juga diproduksi

di Eropa (Tabel 2), (Misawa, 1994).

Page 7: 1kunyit

7

Metabolit sekunder seperti kur-

kumin dapat dibentuk dengan cara

menginduksi jaringan tanaman pada

media yang mengandung zat pengatur

tumbuh untuk membentuk kalus. Kalus

selanjutnya diperbanyak dengan cara

kultur kalus ataupun suspensi dan dapat

juga menggunakan elisitor dalam

fermentor atau bioreaktor, contohnya

ginseng.

Keberhasilan sintesa metabolit

sekunder dipengaruhi oleh faktor ling-

kungan dan kendala biologis. Faktor

lingkungan dapat meliputi cahaya,

penggunaan zat pengatur tumbuh, pre-

kusor, unsur hara yang tersedia, kom-

posisi medium, perbedaan morfologi,

jaringan tanaman yang digunakan dan

aktivitas biosintesa (Tabata dalam

Dalimunthe, 1987). Bahan kimia

atau yang lebih dikenal sekarang de-

ngan sebutan bahan aktif dari suatu

tanaman ini, dapat diperoleh dari ta-

naman lengkap. Tanaman berinterak-

si dengan lingkungannya mempro-

duksi metabolit sekunder yang ber-

macam-macam (Harborne, 1996).

Beberapa dari senyawa tersebut ber-

peran dalam aktivitas pharmakolo-

gikal, industri dan pertanian yang

mana akan meningkatkan nilai ta-

naman secara komersial (Paganga et

al., 1999; Bingham et al., 1998).

Sejak penelitian kultur jaringan

berkembang dengan pesat, ditemukan

bahwa sel-sel dalam kultur menghasil-

kan juga persenyawaan-persenyawaan

Tabel 2. Produksi metabolit sekunder dari sel kultur tanaman

No Senyawa Jenis tanaman Berat kering (%)

Kultur Tanaman

1 Shikonin Lithospermum

erythrorhizon

20 1,5

2 Ginsenoside Panax ginseng 27 4,5

3 Anthaquinones Morinda citrifolia 18 0,3

4 Armalicine Canharanthus roseus 1,0 0,3

5 Rosmarinic acid Coleus blumeii 15 3

6 Ubiquinone-10 Nicotiana tabacum 0,036 0,003

7 Diosgenin Dioscorea detoides 2 2

8 Benzylisoquinoline

alkaloid

Coptis japonica 11 5-10

9 Berberine Thalictrum minor 10 0,01

10 Berberine Coptis japonica 10 2-4

11 Anthraquinones Galium verum 5,4 1,2

12 Anthraquinones Galium aparine 3,8 0,2

13 Nicotine Nicotiana tabacum 3,4 2,0

14 Bisoclaurine Stephania cepharantha 2,3 0,8

15 Tripdiolide Tripteryqium wilfordii 0,05 0,001 Sumber : Misawa, (1994)

Page 8: 1kunyit

8

yang dibutuhkan manusia dengan ting-

kat produksi per unit berat kering yang

setara atau bahkan lebih tinggi dari ta-

naman asalnya. Kultur kalus telah ber-

hasil dilakukan pada beberapa tanaman

obat seperti pada tanaman solanum

(Solanum khasianum dan Solanum

laciniatum) yang menghasilkan solaso-

din untuk bahan KB, ataupun pada

tanaman Mentha (Mentha piperita)

untuk menghasilkan pipperint sebagai

bahan mint dalam industri (Kristina,

1992) (Tabel 2).

Senyawa metabolit sekunder ini

dapat dihasilkan dari kultur kalus atau-

pun kultur suspensi sel (Furaya, 1982).

Kalus berasal dari potongan organ yang

telah steril dalam media yang mengan-

dung auksin dan kadangkala sitokinin.

Kalus ini adalah sel-sel parenkim yang

mempunyai ikatan yang renggang de-

ngan sel-sel lain. Kalus berupa kum-

pulan sel dan selalu melakukan proses

dediferensiasi. Kalus atau yang dikenal

dengan kultur sel ini diharapkan dapat

memperbanyak dirinya menjadi massa

sel yang besar secara terus-menerus.

Hal lain yang menguntungkan adalah

kultur sel tidak dipengaruhi oleh per-

ubahan-perubahan lingkungan seperti

iklim, penyakit tanaman dan peningkat-

an produksi dapat tersedia bila dibutuh-

kan sewaktu-waktu.

Senyawa sekunder melalui kultur

jaringan dapat diisolasi dari kalus atau

sel. Kandungannya dapat ditingkatkan

melalui seleksi bahan tanaman atau

jaringan, tingkat pertumbuhan tanam-

an, pemakaian zat pengatur tumbuh

dan prekusor, pemakaian mutagen baik

secara fisik maupun kimia serta mani-

pulasi faktor lingkungan. Kalus sebagai

bahan senyawa sekunder dan produk

lainnya dapat dipacu pembentukan dan

pertumbuhannya dengan pemakaian zat

pengatur tumbuh 2,4-D, NAA dan se-

ring pula dikombinasikan dengan sito-

kinin. Adakalanya kombinasi auksin

dengan sitokinin selain dapat merang-

sang proses pembelahan sel juga mem-

pengaruhi kandungan senyawa sekun-

dernya. Hasil penelitian Marshall dan

Staba (1976) mendapatkan peningkatan

kandungan diosgenin dengan peng-

gunaan 2,4-D pada tanaman Dioscorea

deltoidea.

Pada kultur sel, harus diperhati-

kan bahwa masa kultur yang panjang

dalam media yang tetap, akan kehabis-

an unsur hara dan air, karena media

menguapkan air dari waktu ke waktu.

Selain kehabisan hara, sel-sel dalam

kalus juga mengeluarkan persenyawa-

an-persenyawaan hasil metabolit se-

kunder. Pertumbuhan kultur kalus mi-

rip dengan grafik pertumbuhan kultur

bakteri (Dodds and Roberts dalam

Gunawan. 1978), sehingga dapat di-

bayangkan bila proses fermentor ini di-

terapkan maka akan dihasilkan senya-

wa kurkumin dalam jumlah besar

dalam waktu singkat.

Sedangkan kultur suspensi ada-

lah kalus yang ditumbuhkan pada me-

dia cair dan kultur suspensi ini praktis

digunakan untuk produksi bahan-bahan

sekunder. Dalam kultur suspensi sel di-

kenal dua kelompok kultur yakni kultur

batch dan continuous. Dalam kultur

batch, media hara dan volume tetap,

tetapi konsentrasi hara berubah sesuai

dengan pertumbuhan sel. pada masa

Page 9: 1kunyit

9

inkubasi terjadi pertambahan biomass

yang mengikuti pola sigmoid. Setelah

mecapai suatu masa tertentu sel ber-

henti membelah. Oleh karena itu kultur

batch harus selalu diperbaharui.

Sementara kultur continuous me-

rupakan kultur sel jangka panjang

dengan suplai hara yang konstan dalam

wadah yang besar. Dalam kultur ini ter-

dapat sistem untuk sirkulasi mengeluar-

kan media lama dan ditambah dengan

media baru. Dalam kultur sel conti-

nuous terdapat dua tipe, yaitu tipe

tertutup (close type) dan tipe terbuka

(open type). Dalam tipe tertutup sel ber-

tambah terus tanpa dipanen, hanya me-

dia yang disirkulasi. Sedangkan pada

tipe terbuka, penambahan media baru

disertai juga dengan panen sel dan

media. Tipe kultur continuous yang ter-

buka dapat menggunakan chemostat

atau turbidostat. Chemostat menggu-

nakan standard konsentrasi bahan-ba-

han kimia tertentu yang mengatur laju

pertumbuhan, misalnya konsentrasi N,

P atau glukosa. Persenyawaan N, P

atau glukosa diatur sedemikian rupa

pada suatu level yang tetap untuk

mengatur populasi sel yang tertentu.

Pada kultur continuous dengan turbi-

dostat, diatur jumlah sel tertentu, yang

diatur dengan turbiditas. Kerapatan bio-

mass yang melebihi turbiditas yang

sudah ditentukan, akan dikeluarkan.

Untuk tujuan komersial telah di-

lakukan pengembangan produksi meta-

bolit sekunder tanaman obat dengan

sistem bioreaktor. Sistem bioreaktor ini

dapat digunakan untuk kultur embrio-

nik ataupun organogenik dari berbagai

spesies tanaman (Levin et al., 1988;

Preil et al., 1988).

Dari salah satu hasil percobaan

yang menggunakan sistem bioreaktor

ini dapat dihasilkan saponin sebesar

500 mg/l/hari dari bioreaktor kultur

jaringan akar ginseng (Park et al.,

1992) dan produksi alkaloid ginseno-

side dari kultur akar Panax ginseng de-

ngan sistem bioreaktor berskala besar 1

– 10 ton (Hahn et al., 2003). Teknik

kultivasi bioreaktor ini juga telah ber-

hasil dilakukan untuk memproduksi zat

anti kanker dari beberapa spesies Taxus

dengan cara–cara konvensional dima-

na untuk mendapatkan 1 kg komponen

aktif taxol harus menebang 1 pohon

Taxus yang kira-kira telah berumur 100

tahun (Muhlbah, 1998).

Sementara itu perbanyakan ku-

nyit secara in vitro dapat juga dilaku-

kan dengan menggunakan media Mu-

rashige dan Skoog yang diperkaya

dengan Benzil Adenin 2 mg/l dan bah-

kan dari hasil penyimpanan pada media

pertumbuhan minimal yang mengguna-

kan manitol 1%, tunas masih mampu

beregenerasi secara normal dengan

rata-rata jumlah tunas 4,2 (Syahid,

2004).

Peningkatan produksi bahan aktif

kurkumin dengan elisitor

Peningkatan produksi kalus akan

semakin cepat bila menggunakan agen

seleksi filtrat. Agen seleksi filtrat ada-

lah gen-gen jasad renik atau bagian dari

gen-gen jasad renik yang mampu me-

nampung gen asing yang ditumpang-

kan pada struktur jasad renik tersebut

dan ditransplantasikan ke sel-sel yang

Page 10: 1kunyit

10

harapkan mampu mengubah sifat-sifat

sel.

Seleksi in vitro untuk mendapat-

kan kalus kunyit yang mengandung

kurkumin tinggi dapat dilakukan de-

ngan menggunakan agen seleksi filtrat

atau elisitor yang ditambahkan ke da-

lam media tumbuh. Teknik ini sudah

diterapkan pada beberapa tanaman bu-

didaya dan berhasil memperoleh varian

baru yang tahan terhadap OPT.

Jamur Colletotrichum lagenarum

dapat menginduksi sintesa saponin

(ginsengosides) pada sel kultur ginseng

(Xiaojie et al., 2005). Atau Aspergillus

niger menginduksi produksi hypericin

pada kultur suspensi sel Hypericum

perforatum (Xu et al., 2005).

KESIMPULAN

Peluang pengembangan bahan

aktif kurkumin dari tanaman kunyit dan

temulawak untuk mengatasi flu burung

dapat dilakukan dengan teknik kultur

jaringan yang menghasilkan kalus.

Strategi untuk meningkatkan kandung-

an kurkumin dalam kalus dapat diberi-

kan elisator, sehingga peluang untuk

menghasilkan kurkumin dengan teknik

biofermentor untuk skala industri dapat

dilakukan.

SARAN

Penelitian ini perlu dilanjutkan

untuk mendapatkan teknik untuk

meningkatkan kurkumin pada kalus

tanaman kunyit hasil kultur jaringan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini Penulis

mengucapkan terima kasih kepada Dr.

Ireng Darwati yang telah banyak

memberi saran dalam perbaikan tulisan

ini.

DAFTAR PUSTAKA

Araujo, C.A.C and L.L. Leon, 2001.

Biological activities of Curcuma

longa L. Mem. Inst. Oswaldo Cruz,

Rio de Janeiro 96 (5) : 723 - 728.

Byron, J.R., 2006. H5N1 Avian flu

virus therapy. Conventional and

Herbal Options : Jrb at med-owl

dot com. Version 2, February,

2006.

Chattopadhyay, I., Biswas, K.,

Bandyopadhyay, U. and Banerjee,

R.K., 2004. Tumeric and Curcumin

: Biological actions ans medicinal

applications. Current Science. 87

(1) : 44 - 53.

Commandeur, J.N. and N.P.

Vermeulen, 1996. Cytotoxicity and

cytoprotective activities of natural

compounds. The case of curcumin.

Xenobiotica 26 : 667 - 680.

Dalimonthe, S.L, 1987. Kultur jaringan

sebagai sarana untuk menghasilkan

metabolit sekunder. Dalam Buku

Risalah Seminar Nasional Meta-

bolit Sekunder. 1987. (Ed) Suwi-

jiyo Pramono, D. Gunawan dan

C.J. Soegihardjo, 6-9 September,

Yogyakarta. PAU Bioteknologi

UGM. hal. 157 – 162.

Page 11: 1kunyit

11

Eigner, D. And D. Schulz, 1999. Ferula

asa-foetida and Curcuma longa in

traditional medical treatment and

diet in Nepal. J. Ethnopharmacol

67 : 1 - 6.

Furaya, T., 1982. Production of

pharmacologically active principles

in plant tissue culture. Proc. 5th Intl.

Cong. Plant Tissue and Cell Cul-

ture. Plant Tissue Culture. 269-272.

Harborne, J. B., 1996. Recent advance

in chemical ecology. Natural

Product Reports 12 : 83 - 98.

Haris, R., 1989. Tanaman Minyak

Atsiri. Penebar Swadaya, Jakarta.

172 hal.

IIndrayanto, G., 1987. Produksi meta-

bolit sekunder dengan teknik kultur

jaringan. Dalam buku Risalah Se-

minar Nasional Metabolit Sekunder

1987. (Ed.) Suwijiyo Pramono, D.

Gunawan dan C.J. Soegiarto. 6-9

September. Yogyakarta. PAU Bio-

teknologi UGM. hal. 32 – 44.

Joe, B.; M. Vijaykumar and B.R.

Lokesh, 2004.Biological properties

of curcumin-cellular and molecular

mechanisms of action. Critical

Review in Food Science and

Nutrition 44 (2) : 97 - 112.

Komarawinata, D., 2006. Budidaya dan

pasca panen tanaman obat untuk

meningkatkan kadar bahan aktif.

Makalah pada Seminar Status Tek-

nologi Tanaman Obat dan Aro-

matik. 13 Desember 2006. 8 hal.

Kristina, N.N., 1992. Produksi meta-

bolit sekunder melalui kultur in

vitro. Medkom Puslitbangtri. hal.

18 – 22.

Levin, R., V. Gaba; B. Tal; S. Hirsch;

D. De Nola; K. Vasil, 1988. Auto-

matic plant tissue culture for max

propagation. Biotechnology. 6 :

1035 - 1040.

Marshall, J.O.G. and E.J. Staba, 1976.

Hormonal effect on diosgenin bio-

synthesis and growth in Dioscorea

deltoidea tissue culture Phytochem

15 : 53 - 55.

Mantell, SH & H. Smith, 1983. Cul-

tural factors that influensce secon-

dary metabolite accumulations in

plant cel and tissue culture. In :

S.H. Mantell and Smith (eds.) Plant

Biotechnology cambridge. Univ.

Press. London. p. 75 - 108.

Misawa, M., 1994. Plant tissue culture:

An alternative for production of

useful metabolite. FAO Agricultu-

ral services Bulletin. No. 108.

Toronto-Canada.

Paganga, G., N. Miller and C.A. Rice

Evans, 1999. The polyphenolic

content of fruit and vegetables and

their anti-oxidant activities. What

does a serving constitue? Free

Redic. Research 30 : 153 - 162.

Preil, W.; P. Florek; V. Wix, A. Beck,

1988. Toward mass propagation by

use of bioreactors. Acta Horticult.

226 : 99 - 105.

Park, J.M. and S.Y. Yoon, 1992. Pro-

duction of sunguinarine by suspen-

sion culture of Papaver somni-

Page 12: 1kunyit

12

ferum in bioreactor. J. Ferm.

Bioeng. 74 : 292 - 296.

Prosea, 1999. Plant Resources of South

–East Asia. No. 12 (1). Medicinal

and poisonous plants 1. Ed. de

Padua, L.S., Bunyapraphatsara, N.,

and Lemmens, R.H.M.J. p. 215 –

216.

Rahardjo, M. dan O. Rostiana, 2004.

Standar prosedur Operasional Bu-

didaya Kunyit dalam Standar Pro-

sedur Operasional Jahe, Kencur,

Kunyit dan Temulawak. Badan

Litbang Pertanian. Balittro-Bogor.

46 hal.

Setiyono, R.T dan N. Ajijah, 2002.

Evaluasi beberapa sifat agronomi

plasma nutfah temulawak (Cur-

cuma xanthorhiza Roxb.). Buletin

Littro XIII (2) : 7 - 12.

Sudiarto, Emmyzar, S.M. Rosita, O.

Rostiana, S. Affandi dan D. Sitepu,

1990. Hasil penelitian dan pengem-

bangan tanaman obat. Dalam :

Tanaman Obat (Buku VI). Seri

Pengembangan No. 12. Prosiding

Simposium I Hasil Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Industri.

hal. 813 – 829.

Syahid, S.F., 2004. Konservasi kunyit

(Curcuma domestica Vahl.) mela-

lui pertumbuhan minimal. Prosi-

ding Simposium IV Hasil Peneli-

tian Tanaman Perkebunan. Bogor

28 - 30 September 2004. hal. 231 -

236.

Syahid, S.F. dan E. Hadipoentyanti,

2002. Pengaruh zat pengatur

tumbuh Benzyl Adenin (BA) dan

NAA terhadap pertumbuhan temu-

lawak (Curcuma xanthorrhiza

Roxb). Buletin Penelitian Tanaman

Rempah dan Obat. XIII (2): 1 - 6.

Syahid, S.F. dan E. Hadipoentyanti,

2007. Respon temulawak hasil rim-

pang kultur in vitro genersi kedua

terhadap pemupukan. Jurnal Puslit-

bangbun (Proses Editing).

Syukur, Ch.. L. Udarno, Supriadi, O.

Rostiana &. S.F. Syahid, 2006.

Usulan pelepasan varietas kunyit.

Balittro-Puslitbangbun. 25 hal.

Verkerk, R.; D. Downing; J. Meldrum

and S. Hickey, 2006. The pivotal

role for natural products in coun-

tering an avian influenza pandemic.

Alliance for Natural Health. p. 63.

Wasito, R., 2005. Malaikat pencabut

nyawa itu ternyata lalat. Harian

Suara Pembaharuan. Rabu, 21

September 2005.

Xiaojie, X; H. Xiangyang; S. J. Neill;

F. Jianying and C. Weining, 2005.

Fungal elicitor induce singlet oxy-

gen generation, ethylene release

and saponin synthesis in cultured

cells of Panax ginseng. C.A.

Meyer. Plant Cell Physiol. 46 (6) :

947 - 954.

Zhou, L.G. and J.Y.Wu, 2006. Deve-

lopment and application of medici-

nal plant tissue cultures for produc-

tion of drugs and herbal medicinals

in China. Nat. Pro. Rep. 23 : 789 -

810.