19075949 kajian filsafat dan teologi islam

Upload: hayat-ruhyat

Post on 14-Apr-2018

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    1/92

    III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (1/2)

    oleh Masdar F. Mas'udi

    Dengan mengatakan innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat (amal

    ditentukan niyatnya), maka sesungguhnya Nabi Muhammad saw

    sedang berteori bagaimana suatu amal, harus dikritik atau,

    dalam bahasa manajemennya, dievaluasi. Niat, seperti

    diketahui, adalah kesadaran tentang tujuan suatu amal

    dilakukan. Dan amal berdimensi ganda, pertama yang bersifat

    ke dalam dan personal, dan kedua yang bersifat keluar dan

    sosial. Tujuan amal yang bersifat "kedalam" landasannya

    adalah "iman," sedang tujuan yang bersifat "ke luar"

    landasannya adalah "realitas kehidupan."

    Syahdan, kritik amal atas dasar niat yang bersifat kedalam

    sama sekali bukan urusan kita. Itu adalah urusan Tuhan dan

    pribadi yang bersangkutan, dan waktunya, menurut agama,

    bukan di sini, di dunia ini, tapi di sana, di alam akhirat

    nanti. Yang ada pada wewenang kita, sebagai makhluk sosial,

    adalah kritik atau evaluasi amal dari sudut niat (tujuan)nya

    yang bersifat "keluar," yaitu mengapa dan dalam kontekssosial yang bagaimana suatu amal telah dilakukan. Dalam

    hubungan ini innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat akan berarti,

    amal itu diikat dan ditentukan oleh konteksnya, oleh

    realitas kehidupan yang mendorong kehadirannya. Tak ada

    suatu amal yang muncul begitu saja lepas dari kaitan sebab

    akibat yang melingkupinya. Dan hanya dalam kaitan sebab

    akibat itulah suatu amal bisa dinilai, dikritik atau

    dievaluasi. Dengan menerima dasar penilaian atau kritik yang

    demikian ini, maka bisa dikemukakan beberapa acuan sebagai

    berikut.

    Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amal

    pemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah,

    justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah juga

    bersifat relatif dan berubah. Kedua, bobot dan relevansi

    suatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaian

    benar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih pada

    kenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yang

    diresponsnya. Ketiga, karena setiap amal adalah respons

    terhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot dan

    relevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atas

    realitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisi

    realitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot dan

    relevansi pemikiran yang diresponinya.

    Sementara itu, realitas yang menjadi pijakan amal pemikiran,

    dapat kita kelompokkan dalam dua katagori, yaitu realitasteoritik dan realitas empirik. Yang pertama adalah realitas

    yang terdapat dalam dunia ide yang dipikirkan. Sedang yang

    kedua adalah realitas yang ada dalam dunia kenyataan yang

    dirasakan. Memang, keduanya tak harus selalu terpisah; yang

    satu terhadap yang lain bisa saling pengaruh mempengaruhi.

    Tapi yang saya maksudkan adalah, sebagian amal pemikiran

    benar-benar lahir dengan titik tolak keprihatinan pada

    realitas teoritis (baru kemudian, jika dirasa perlu,

    bergerak ke realitas empiris), sedang sebagian amal

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    2/92

    pemikiran yang lain, titik tolaknya adalah keprihatinan

    terhadap realitas empiris (baru kemudian realitas yang

    bersifat teoritis).

    Pemikiran kategori pertama, karena titik tolak

    keprihatinannya pada realitas abstrak dan umumnya terbatas

    hanya pada concern kalangan tertentu, maka dampak sosialnya

    pun cenderung abstrak dan terbatas pada kalangan tertentu

    saja. Sebaliknya, pemikiran yang lahir dari keprihatinan

    pada realitas riil yang dirasakan orang banyak, dengan

    sendirinya, juga akan cenderung pada hal-hal yang konkrit

    yang bisa mengena pada kepentingan orang banyak.

    Demikianlah, pemikiran katagori pertama, akan cenderung

    bercorak elitis, sedang yang kedua akan bercorak populis.

    PEMIKIRAN TEOLOGI MU'TAZILAH

    Fakta sejarah, bahwa pemikiran-pemikiran keagamaan (fiqh

    atau teologi) sebagai amal yang ditawarkan para pemikir

    Muslim sejak abad pertengahan adalah lahir dari suatu pola

    keprihatinan yang serupa, yaitu bagaimana ajaran agama bisadipahami umat secara benar. (Suatu pemikiran yang jelas

    berangkat dari keprihatinan teoritik). Seperti selalu

    diulang-ulang para sejarawan, bahwa pada paroh kedua abad

    pertama Hijriah, telah terjadi dua perkembangan yang sangat

    signifikan dalam sejarah umat Islam. Pertama, kenyataan

    bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh

    jadi tidak pernah diinginkan oleh mereka sendiri, dimana

    satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain,

    tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis ini

    yang terjadi dua kali, dikenal dengan sebutan fitnah kubra,

    "cobaan besar." Perkembangan kedua adalah masuknya bangsa

    Parsi dan sekitarnya kedalam Islam berikut pemikiran dan

    keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam

    benak masing-masing.

    Dengan kedua perkembangan itulah muncul

    pertanyaan-pertanyaan teologis. Bagaimana hukumnya orang

    Islam yang melakukan dosa besar (seperti membunuh sesama

    Muslim tanpa hak). Siapakah yang sesungguhnya

    bertanggungjawab atas tindakan manusia: dirinyakah, atau

    kekuatan-kekuatan itu, dan dalam kontrol siapakah ia.

    Menurut ajaran Islam, ada dua jenis balasan sejati di

    akhirat nanti, yaitu balasan sorga dan balasan neraka.

    Berkaitan dengan tanggungjawab perbuatan manusia tadi,

    faktor apakah yang memastikan orang memperoleh penyelamatan

    Tuhan dengan masuk sorga, apakah faktor itu adalah "amal

    perbuatannya" ataukah "rahmat Tuhan" semata yang diberikankepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pertanyaan ini

    muncul -besar kemungkinan karena menurut doktrin Kristiani

    yang ketika itu juga sudah dibawa masuk dalam lingkungan

    umat Islam- "penyelamatan Tuhan" itu tak ada sangkut pautnya

    dengan amal perbuatan manusia, tapi semata-mata atas dasar

    "rahmat" yang disediakan melalui pintu tunggalnya: Yesus.

    Syahdan, dari keprihatinan atas pertanyaan-pertanyaan inilah

    para pemikir Islam ketika itu merasa ditantang merumuskan

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    3/92

    jawabannya yang benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang

    shahih. Karuan saja, karena ajaran-ajaran Islam itu pun

    harus diolah terlebih dahulu melalui subyektifitas

    masing-masing pemikir, maka jawaban pun hadir dalam corak

    dan pendekatan yang demikian berbeda-beda. Masing-masing

    jawaban tumbuh sebagai aliran pemikiran yang berdiri

    sendiri. Tersebutlah, di kemudian hari nama-nama: Khawarij,

    Murjiah, Mu'tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Asy'ariyah,

    Maturidiya, Khasywiyah dan sebagainya. Yang menarik adalah

    bahwa masing-masing aliran ini, karena merasa berpedoman

    pada pegangan mutlak yang ada di tangan, mengaku sebagai

    satu-satunya yang benar, yang lainnya adalah salah.

    Berbicara tentang awal mula sejarah Muitazilah, orang akan

    selalu merujuk pada episoda diskusi Hasan al-Bashri (w. 110

    H/ 728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan

    para muridnya diseputar tema Muslim yes, Muslim no yang baru

    pada taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya

    seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah

    termasuk orang dalam (in group, minna) atau termasuk orang

    luar (out group, minhum). Maka terhadap pertanyaan yangterlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu

    adalah jawaban-jawaban berikut. Pertama, dengan melakukan

    dosa besar, seorang Muslim telah terpental dari kelompok

    (komunitas) alias menjadi "kafir" dan karena itu -sesuai

    dengan hukum riddah- halal ditumpahkan darahnya. Jawaban ini

    diajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan Khawarij.

    Jawaban kedua mengatakan bahwa Muslim yang melakukan dosa

    besar masih tetap tergolong Muslim, dan bagaimana dengan

    dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di hari akhirat

    nanti. Jawaban inilah yang agaknya dicondongi mayoritas umat

    Islam yang disebut sebagai kelompok Murji'ah (artinya:

    menangguhkan).

    Saya kira, Hasan Basri selaku pemimpin dan tokoh yang merasa

    harus menjaga keutuhan umat berada dalam arus kecenderungan

    umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada "di

    dalam" (minna) atau "di luar" (minhum) harus benar-benar

    jelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya

    yang melawan arus tadi, dengan nada menyesal Hasan

    berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I'tazala'anna!. Kata

    i'tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu'tazilah (yang

    hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada

    Washil bin Atha dan segenap pengikutnya.

    Tapi kalau pertanyaan tentang "status pendosa besar" ini

    banyak diselimuti latar belakang politis, maka pertanyaan

    tentang "kebebasan manusia," terasa lebih bersifat murniteologis. Dan sebenarnya pada kisaran inilah Mu'tazilah

    benar-benar tumbuh sebagai aliran teologi yang tersendiri

    diantara aliran-aliran teologi yang lain. Berbeda dengan

    aliran teologi lainnya, Mu'tazilah secara tegas mengatakan

    bahwa "manusia sepenuhnya memiliki kebebasannya sendiri

    bertindak." Baginya, hanya dengan prinsip kebebasan inilah,

    manusia secara moral dapat dituntut pertanggungjawaban di

    kemudian hari. Prinsip "janji dan ancaman" (al-wa'du wa 'l

    wa'id) yang akan dilaksanakan di hari kemudian tak bisa

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    4/92

    dipahami tanpa adanya prinsip "kebebasan" tadi. Dan

    sebaliknya, prinsip kebebasan juga hanya akan berarti kalau

    ada "janji dan ancaman" yang setimpal di hari kemudian.

    III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (2/2)

    oleh Masdar F. Mas'udi

    Mu'tazilah yakin bahwa pembalasan di akhirat semata-mata

    ditentukan oleh "amal perbuatan manusia" yang diambilnya

    sendiri secara bebas merdeka. Sebagai yang Maha adil Tuhan

    harus membalas keburukan atas setiap tindakan buruk dan

    harus membalas kebaikan atas semua tindakan yang baik. Dan

    sebagai yang Maha adil, Dia tak bisa tidak kecuali harus

    bertindak yang terbaik bagi manusia.

    Sementara itu, manusia yang bebas dan bertanggungjawab itu,

    pastilah manusia yang memiliki kemampuan yang memungkinkan

    dirinya menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.

    Kemampuan itu menurut keyakinan Mu'tazilah sudah diberikan

    Tuhan, berupa akal yang lebih dipahami sebagai rasio atau

    nalar. Dengan nalarnya, manusia tumbuh sebagai makhluk yang

    mandiri dan tidak lagi tergantung pada pihak lain dalammenentukan jalan hidupnya. Baik atau buruk (al-hasan wa

    'l-qabh) bukanlah sesuatu yang harus didiktekan siapa pun

    juga, diluar diri manusia sendiri.

    Pada poin inilah Mu'tazilah dimasyhurkan sebagai aliran

    pemikiran yang rasionalistik, yang cenderung mengunggulkan

    otoritas "akal" (nalar) atas "naqal," suatu pendirian yang

    oleh mayoritas Muslim dipandang sangat membahayakan keutuhan

    doktrin. Apakah dengan begitu, Mu'tazilah tak lagi perlu?

    Tak ada penegasan eksplisit tentang itu. Tapi, dengan

    tesisnya bahwa al-Qur'an itu makhluk, maka sebenarnya

    Mu'tazilah sudah berketetapan hati bahwa sebagai sesama

    makhluk, al-Qur'an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang

    dapat mendikte manusia.

    Seperti diketahui, tesis tentang Qur'an tersebut erat

    kaitannya dengan tesisnya yang lain tentang "Keesaan Tuhan"

    yang dibangunnya dengan pendekatan murni filosofis. Secara

    harfiyah prinsip yang tersebut terakhir ini bukan barang

    baru bagi umat Islam pada jamannya, bahkan juga sebelumnya.

    Tapi "keesaan Tuhan" dalam teori Mu'tazilah ini menjadi baru

    karena yang ia maksudkan rupanya adalah pembebasan (tanzih)

    Tuhan dari seluruh "sifat" bahkan yang secara eksplisit

    tersebut dalam ajaran-ajaran wahyu (Qur'an). Sifat-sifat

    atau atribut yang dikenakan kepada Tuhan bukanlah sesuatu

    yang sebangun dengan hakikat-Nya. Keduanya memiliki

    perbedaan yang substansial. Yakni, jika hakikat Tuhan ituqadim, maka segala sesuatu selainnya, termasuk sifat-sifat

    yang dikenakan kepadaNya, adalah hadits. Dengan menarik

    postulat ini lebih jauh, maka Qur'an sebagai ekspresi salah

    satu sifat-Nya (al-kalam) yang hadits dengan demikian juga

    berkapasitas hadits, maka diciptakan (makhluq).

    TIGA KRITIK

    Adalah al-Asy'ari (w. 330 H/942 M), menurut catatan sejarah

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    5/92

    yang pertama kali menyatakan kekecewaannya terhadap konsep

    teologi Mu'tazilah yang rasionalistik itu. Konon, pada suatu

    ketika, al-Asy'ari bertanya kepada guru besarnya,

    al-Jubba'iy, yang adalah teolog Mu'tazilah terkemuka pada

    zamannya, tentang nasib seorang anak dan seorang dewasa yang

    sama-sama masuk sorga karena imannya. Tapi, sesuai dengan

    keadilan Tuhan dalam persepsi Mu'tazilah, orang yang mati

    dewasa itu menempati kedudukan lebih tinggi dibanding

    kedudukan si anak. Mengapa harus begitu? Tanya Asy'ari.

    Karena yang dewasa telah sempat beramal kebaikan, sedang si

    anak belum, jawab Jubbaiy. Kenapa harus terjadi si anak

    tidak diberi usia yang cukup agar ia bisa berbuat kebaikan

    seperti temannya yang dewasa? Kejar Asy'ari. Tuhan tahu,

    jika si anak dibiarkan hidup, ia akan tumbuh menjadi manusia

    durhaka. Sementara Tuhan harus berbuat yang terbaik untuk

    manusia, kilah Jubbaiy. Kalau begitu, kejar Asy'ari lebih

    lanjut, bagaimana jika orang-orang yang dijebloskan dalam

    neraka protes, kenapa mereka tidak dimatikan saja ketika

    masih muda, hingga tak sempat tumbuh jadi manusia durhaka?

    Yang menarik dari diskusi ini bukan saja al-Jubbaiykehabisan akal menjawabnya, tapi seperti halnya Jubbaiy,

    Asy'ari pun juga menggunakan akal (logika) untuk mendukung

    argumentasinya. Bedanya adalah bahwa Jubbaiy (Mu'tazilah)

    dengan logika akalnya bersikeras untuk mendefinisikan Tuhan

    menurut batas-batas manusia, sedang Asy'ari, juga dengan

    logika akalnya, justru ingin membebaskan-Nya tetap berada di

    atas batas-batas manusia tadi.

    Kalau kritik al-Asy'ari itu adalah juga kritik kita kepada

    Mu'tazilah, maka kritik kita yang kedua adalah pada klaimnya

    sebagai telah menemukan kebenaran tunggal yang harus

    diterima semua pihak. Sesungguhnyalah kritik ini tidak saja

    mengena pada Mu'tazilah, tapi juga pada semua aliran teologi

    yang tumbuh pada masa-masa itu karena klaim yang sama. Hanya

    bedanya, bahwa Mu'tazilah mengaku telah menemukan kebenaran

    tunggal dan mutlak itu melalui logika akal, sedang

    lawan-lawannya mengaku menemukan kebenaran mutlak itu

    melalui huruf-huruf naqal. Yang tersebut terakhir ini dengan

    sangat militan diwakili oleh golongan Khasywiyah yang

    mengaku menjadi pengikut Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H/855

    M).

    Itulah sebabnya, salah satu ciri yang menonjol dari sejarah

    pemikiran keagamaan saat itu adalah kesembronoannya yang

    benar-benar diyakini dalam menuduh orang atau pihak lain

    sebagai kafir, syirk, murtad dan sejenisnya hanya lantaran

    pendapat yang berbeda.

    Untuk kasus Mu'tazilah sikap intoleransi ini ditindak

    lanjuti dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkarnya yang

    merisaukan banyak pihak yang menjadi lawan polemiknya.

    Seperti diketahui, dengan dalih itu, Mu'tazilah telah

    melancarkan intrik terhadap orang lain untuk menerima

    doktrin-doktrin teologinya dan menimpakan hukuman atas siapa

    saja yang mencoba menolaknya. Tragedi teologis ini dikenal

    dengan mihnah, atau inquition yang dilakukannya dengan

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    6/92

    dukungan tangan-tangan kekuasaan dan birokrasi pemerintahan

    yang karena alasan politik tertentu dapat dipengaruhinya.

    Sementara itu, kritik yang ketiga, karena pada dasarnya

    Mu'tazilah lahir dari keprihatinan pada realitas teoritis

    bahkan yang berdimensi metafisik, maka isu-isu yang

    digelutinya pun hampir tak punya sentuhan yang bermakna bagi

    umat pada umumnya. (Kritik ini pun mengena pada aliran

    teologi lainnya, karena dasar keprihatinannya yang serupa).

    Seperti telah disinggung di atas, salah satu prinsip ajaran

    yang dipropagandakan Mu'tazilah adalah tentang "keadilan"

    suatu isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu,

    terutama jika diingat praktek kesewenang-wenangan yang

    dilakukan kalangan penguasa. Tapi, lantaran dasar

    keprihatinannya yang elitis tadi, maka rupanya keadilan yang

    dimaksudkan adalah keadilan lain (yang bersifat eskatologis)

    yang berkaitan dengan "peranan" Tuhan di hari kemudian. Dan

    dalam kaitannya dengan persoalan keadilan yang dirasakan

    umat, kelompok Mu'tazilah ini justru bergandengan-tangan

    dengan rejim yang berkuasa untuk melakukan tindak

    sewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya.

    TAWARAN ALTERNATIF

    Mencoba konsisten dengan kerangka teori "niat" seperti

    tersebut di atas, maka bagi saya, sistem pemikiran teologis

    atau apa saja atributnya yang relevan untuk dibangun, adalah

    yang benar-benar berangkat dari lapisannya paling bawah.

    (Dari dasar keprihatinannya ini, ia bisa disebut misalnya

    "teologi populis," atau "teologi kerakyatan"). Sehingga

    kalau realitas yang menggugah keprihatinannya adalah soal

    keadilan, maka keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan

    Tuhan yang harus ditegakkan di "sana," tapi keadilan yang

    menjadi tanggung jawab manusia dalam kehidupan di "sini."

    Saya pikir, kalau teologi abad pertengahan (seperti

    Mu'tazilah maupun lawan-lawannya) yang mengabdi kepada

    kepentingan doktrin disebut teologi dialektik, maka sebutan

    yang sama pun bisa juga dikenakan pada teologi yang perlu

    kita kembangkan ini. Tapi kalau dialektika teologi yang

    mengabdi doktrin itu berwatak retorik (dialektika yang

    terjadi dalam proses penghadapan antagonis antara satu

    doktrin dengan doktrin yang lain), maka dialektika teologi

    baru itu bersifat empiris (dialektika yang terjadi dari

    proses penghadapan kritis antara realitas kehidupan dengan

    pesan-pesan universal). Dilihat dari sudut muaranya, beda

    antara teologi dialektika retorik di satu pihak dengan

    dialektika empiris di lain pihak, adalah yang tersebutpertama muaranya adalah pada terbangunnya kesesuaian

    realitas pemahaman dengan bunyi doktrin yang statis, sedang

    yang tersebut terakhir concernnya pada kesesuaian antara

    realitas kehidupan dengan semangat doktrin yang dinamis.

    Yang pertama berwatak formal dengan orientasi pada bentuk

    dan cenderung tertutup, sedang yang kedua berwatak

    substansial yang berorientasi pada substansi dan bersifat

    terbuka. Dengan watak keterbukaannya, teologi dialektika

    empiris ini akan menerima perbedaan pendapat sebagai

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    7/92

    realitas kehidupan yang wajar. Justru dengan pendapat yang

    berbeda-beda itu, maka kemungkinan menemukan pilihan "yang

    terbaik" menjadi tersedia. Dengan demikian, teologi

    dialektika empiris ini secara vertikal berwatak populis,

    sedang secara horizontal berwatak demokratis; dua sisi yang

    selama ini seperti cenderung terpisah.

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    8/92

    III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (1/3)

    SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH

    oleh Zainun Kamal

    Paham teologi Asy'ari termasuk paham teologi tradisional,

    yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang

    menggunakan metafor dan golongan ekstrim tekstualis yang

    leterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran Mu'tazilah

    dan Salafiyah, tetapi "benang merah" sebagai jalan tengah

    yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihak

    Mu'tazilah, lain kali cenderung ke Salafiyah, dan lain kali

    lagi, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang

    bertentangan itu lalu mengkompromikannya menjadi satu. [1]

    Untuk meninjau pemikiran-pemikiran al-Asy'ari lebih baik

    memaparkan lebih dulu sejarah hidupnya meski secara ringkas.

    Dengan pemaparan ini akan terlihat gambaran latar belakang

    pemikirannya. Sebab suatu pemikiran merupakan hasil refleksi

    zaman dan kondisi dari suatu masyarakat. Dan al-Asy'ari jugatidak lepas dari konteks zaman dan maksyarakatnya sendiri.

    Sebenarnya, nama asli Imam Asy'ari adalah Ali Ibn Ismail [2]

    -keluarga Abu Musa al-Asy'ari. [3] Panggilan akrabnya Abu

    al-Hasan [4]. Dia dilahirkan di Bashrah pada 260 H./875 M

    [5] -saat wafatnya filsuf Arab muslim al-Kindi. [6] Ia wafat

    di Baghdad pada tahun 324 H./935 M.

    Abu al-Hasan al-Asy'ari pada mulanya belajar membaca,

    menulis dan menghafal al-Qur'an dalam asuhan orang tuanya,

    yang kebetulan meninggal dunia ketika ia masih kecil.

    Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadits, Fiqh, Tafsir

    dan bahasa antara lain kepada al-Saji, Abu Khalifah

    al-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya'kub, Abdur Rahman

    Ibn Khalf dan lain-lain. [7] Demikian juga ia belajar Fiqih

    Syafi'i kepada seorang faqih: Abu Ishak al-Maruzi (w. 340

    H./951 M.) -seorang tokoh Mu'tazilah di Bashrah. Sampai umur

    empat puluh tahun ia selalu bersama ustaz al-Juba'i, serta

    ikut berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran

    Mu'tazilah. [9]

    Pada tahun 300 H./915 M dalam usia 40 tahun, Abu al-Hasan

    al-Asy'ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Untuk hal

    ini terdapat beberapa pendapat mengenai sebab-sebab

    meninggalkan atau keluar dari Mu'tazilah. Sebab klasik yang

    biasa disebut perpisahan dia dengan gurunya karena

    terjadinya dialog antara keduanya tentang salah satu ajaranpokok Mu'tazilah, yaitu masalah "keadilan Tuhan." Mu'tazilah

    berpendapat, "semua perbuatan Tuhan tidak kosong dari

    manfaat dan kemashlahatan. Tuhan tidak menghendaki sesuatu,

    kecuali bermanfaat bagi manusia, bahkan Dia mesti

    menghendaki yang baik dan terbaik untuk kemashlahatan

    manusia. Paham ini di sebut al-Shalah wa 'l-Ashlah. [10]

    Dialog tersebut berlangsung sebagai berikut:

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    9/92

    Al-Asy'ari (A) - Bagaimana pendapat tuan tentang nasib tiga

    orang bersaudara setelah wafat; yang tua mati dalam

    bertaqwa; yang kedua mati kafir; dan yang ketiga mati dalam

    keadaan masih kecil.

    Aldubba'i (J) - yang taqwa mendapat terbaik; yang kafir

    masuk neraka; dan yang kecil selamat dari bahaya neraka.

    A - Kalau yang kecil ingin mendapatkan tempat yang lebih

    baik di Sorga, mungkinkah?

    J - Tidak, karena tempat itu hanya dapat dicapai dengan

    jalan ibadat dan kepatuhan kepada Tuhan. Adapun anak kecil

    belum mempunyai ibadat dan kepatuhan kepada-Nya.

    A- Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukan

    salahku. Sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan

    mengerjakan perbuatan baik seperti yang dilakukan oleh yang

    taqwa itu.

    J - Allah akan menjawab kepada anak kecil itu, Aku tahu,jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat maksiat dan

    engkau akan mendapat siksa; maka Saya (Allah - Red) matikan

    engkau adalah untuk kemaslahatanmu.

    A - Sekiranya saudaranya yang kafir mengatakan, "Ya Tuhanku

    Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa

    depannya, mengapa Engkau tidak jaga kepentinganku?

    Al-Jubba'i menjawab, "Engkau gila, (dalam riwayat lain

    dikatakan, bahwa Al-Jubba'i hanya terdiam dan tidak

    menjawab). [11]

    Dalam percakapan di atas, al-Jubba'i, jagoan Mu'tazilah itu,

    tampaknya dengan mudah saja dapat ditumbangkan oleh

    al-Asy'ari. Tetapi dialog ini kelihatannya hanyalah sebuah

    ilustrasi yang dibuat para pengikut al-Asy'ari sendiri untuk

    memperlihatkan perbedaan logikanya dengan logika orang-orang

    Mu'tazilah.

    Bagi Mu'tazilah, si anak kecil tentu tidak akan mengajukan

    protes kepada Allah, karena dia sendiri tahu, bahwa sesuai

    dengan keadilan Tuhan, tempat yang cocok untuknya memang di

    sana. Kalau Tuhan menempatkan anak kecil sederajat dengan

    tempat orang yang taqwa, tentu dia sendiri akan merasakan

    bahwa Tuhan sudah tidak adil lagi terhadap dirinya. Sebab,

    tempatnya memang bukanlah seharusnya sederajat dengan

    orang-orang yang taqwa.

    Di alam akhirat, menurut Mu'tazilah, tidak ada lagi

    perdebatan tentang keadilan Tuhan. Di sana, manusia sudah

    mendapati al-Wa'ad wa al-Wa'id. Dia sudah menepati janji.

    Yang taqwa mendapat sorga, yang kafir mendapat neraka, dan

    jika di sana terdapat yang meninggal dunia dalam keadaan

    masih kecil, baik anak-anak orang mukmin atau kafir, maka

    bagi mereka tidak ada alasan untuk disiksa, karena Tuhan

    Maha Suci dari penganiayaan. [12]

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    10/92

    Bagi yang kafir lebih tidak punya alasan lagi. Sebab, Tuhan

    lebih memperhatikan kemaslahatannya di dunia. Tuhan tidak

    menghendaki kekafirannya. Berarti, jika ia kafir sama

    artinya dengan kehendak diri sendiri. Sementara, dia sendiri

    sudah tahu akibat kekafirannya, karena ia diberi akal dan

    petunjuk. [13] Jadi, kalau yang kafir harus menyalahkan

    Tuhan atas kehendak dan perbuatannya sendiri, maka ia

    dianggap oleh Memorandum suatu pemikiran yang tidak

    rasional.

    Sebab lain yang biasa disebutkan adalah meninggalkan

    ajaran-ajaran Mu'tazilah karena pernah bermimpi melihat

    Rasulullah saw sebanyak tiga kali. Mimpi itu terjadi pada

    bulan Ramadhan. Mimpi pertama terjadi pada tanggal 10; mimpi

    kedua pada tanggal duapuluh, dan mimpi ketiga pada tanggal

    tigapuluh. [14] Dalam mimpi yang terjadi pada bulan Ramadlan

    itu Rasulullah menyampaikan bahwa madzhab ahli haditslah

    yang benar, karena itulah madzhabnya yang berasal dari saya.

    [15]

    Diriwayatkan bahwa al-Asy'ari sebelum mengambil keputusan

    untuk keluar dari Mu'tazilah, ia mengisolir diri di rumahnya

    selama limabelas hari. Sesudah itu ia pergi ke mesjid lalu

    naik mimbar dan menyampaikan:

    "Saya dulu mengatakan, bahwa al-Qur'an adalah makhluk; Allah

    swt. tidak dapat dilihat dengan pandangan mata orang mukmin

    di akhirat dan perbuatan jahat adalah perbuatan saya

    sendiri. Sekarang saya taubat dari semuanya itu. Saya

    lemparkan keyakinan-keyakinan lama saya, sebagaimana saya

    lemparkan baju ini (isyarat pada jubahnya). Dan saya keluar

    dari kekejian dan skandal Mu'tazilah." [16]

    Terlepas dari soal sesuai atau tidaknya uraian di atas

    dengan fakta sejarah; maka dari sisi lain dapat pula kita

    ungkapkan sebab yang mendorong al-Asy'ari meninggalkan faham

    Mu'tazilah. Sebab itu ialah rasa skeptis dan

    ketidakpercayaannya lagi terhadap kemampuan akal,

    sebagaimana yang pernah pula dialami oleh al-Ghazali di

    kemudian hari. Pada kedua tokoh ini terdapat suatu indikasi

    kesamaan yang sangat mirip.

    Al-Asy'ari, sebagai contoh pendiri aliran, setelah belajar

    pada Mu'tazilah, kemudian merasa tidak puas, lantas

    menyerangnya. Demikian juga halnya dengan al-Ghazali,

    sebagai benteng pertahanan yang kokoh terhadap aliran

    al-Asy'ari, setelah ia belajar filsafat, kemudian merasatidak puas, lalu menyerang pula. Al-Asy'ari memakai

    ungkapan-ungkapan yang pedas sekali dalam menyerang

    Mu'tazilah, dengan tuduhan sebagai golongan sesat,

    penyeleweng, dan majusinya umat. Begitu pula al-Ghazali

    menyerang para filsuf, dengan tuduhan sebagai golongan

    bid'ah dan kufur. Al-Asy'ari melakukan sanggahan terhadap

    Mu'tazilah setelah ia mengetahui benar akan aliran

    Mu'tazilah itu. Setelah itu ia menulis sebuah buku yang

    bernama Maqalat al-Islamiyyin yang berisikan kepercayaan

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    11/92

    aliran-aliran. Dan untuk bantahannya ia menulis lagi sebuah

    buku yang bernama al-Ibanah. Demikian juga halnya dengan

    al-Ghazali, setelah mengkaji filsafat secara mendalam,

    kemudian ia tulis pemikiran-pemikiran filsuf itu dalam

    sebuah buku yang bernama Maqasid al-Falsafah. Setelah itu,

    baru ia melakukan bantahan-bantahan terhadap para filsuf

    dengan mengarang sebuah buku yang bernama Tahafut

    al-Falasifah (kesalahan para filsuf).

    Sebagaimana diketahui, pemegang janji rasional pada masa

    al-Asy'ari adalah para tokoh Mu'tazilah, karena itu

    sanggahannya tertuju langsung pada Mu'tazilah. Sementara

    para filsuf yang dinilai sebagai pewaris pemikiran rasional

    Mu'tazilah, maka al-Ghazali sebagai pembela ikhlas terhadap

    aliran al-Asy'ari harus dengan tegas pula melakukan

    sanggahan terhadap filsuf.

    Pemikiran al-Asy'ari yang asli baru dapat diketahui setelah

    ia menyatakan pemisahan dirinya dari Mu'tazilah dan

    pengakuannya menganut paham aqidah salafiyah aliran Ahmad

    bin Hambal. [17] Yaitu keimanan yang tidak didasaripenyelaman persoalan gaib yang mendalam. Di sisi lain, ia

    hanya percaya pada akidah dengan dalil yang ditunjuk oleh

    nash, dan dipahami secara tekstual sebagaimana yang tertulis

    dalam Kitab suci dan sunnah Rasul. Fungsi akal hanyalah

    sebagai saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil al-Qur'an.

    [18] Jadi akal terletak di belakang nash-nash agama yang

    tidak boleh berdiri sendiri. Ia bukanlah hakim yang akan

    mengadili. Spekulasi apapun terhadap segala sesuatu yang

    sakral dianggap suatu bid'ah. Setiap dogma harus dipercayai

    tanpa mengajukan pertanyaan bagaimana dan mengapa.

    Sekarang permasalahannya ialah, sampai seberapa jauh

    al-Asy'ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah dan

    keikhlasannya terhadap ajaran Salafiyah. Untuk mengetahui

    ajaran-ajaran al-Asy'ari, kita dapat melihat pada

    kitab-kitab yang ditulisnya, terutama:

    1.Maqalat al-Islamiyyin, merupakan karangan yang pertama

    dalam soal-soal kepercayaan Islam. Buku ini menjadi sumber

    yang penting, karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya.

    Buku ini terdiri -dari tiga bagian:

    a.Tinjauan tentang golongan-golongan dalam Islam

    b.Aqidah aliran Ashhab al-Hadits dan Ahl al-Sunnah, dan

    c.Beberapa persoalan ilmu Kalam.

    2.Al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah, berisikan uraian tentangkepercayaan Ahl al-Sunnah dan pernyataan penghargaannya

    terhadap persoalan-persoalan yang banyak dan penting. Dalam

    buku ini ia menyerang dengan pedas aliran Mu'tazilah.

    3.Kitab al-Luma' fi al-Radd 'ala ahl al-Zaigh wa al-bida',

    berisikan sorotan terhadap lawan-lawannya dalam beberapa

    persoalan ilmu Kalam.

    Para ahli mempertanyakan tentang perbedaan kandungan yang

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    12/92

    terdapat pada kedua kitabnya al-Ibanah dan al-Luma'. Yang

    pertama, peranan naql lebih tinggi ketimbang akal. Dalam

    arti, Salafiahnya lebih dominan dibandingkan Mu'tazilah.

    Sedangkan buku kedua (al-Luma'), peranan akal lebih tinggi

    dalam memahami nash-nash. Di sini terlihat adanya anjuran

    kembali untuk memahami nash-nash agama dengan metode ilmu

    kalam. [19]

    Perbedaan ini bisa terjadi, karena al-Asy'ari pada kitabnya

    al-Ibanah ditulisnya langsung setelah pernyataannya keluar

    dari Mu'tazilah. Jadi, secara psikologis, bukunya dalam

    rangka menonjolkan sikap loyalnya terhadap kaum Salafi,

    sebagai rekan barunya. Dan sikap kebenciannya terhadap

    Mu'tazilah karena penilaiannya sebagai musuh yang sedang

    dihadapinya, meski dulu teman akrabnya. Sebenarnya, ini

    dapat dipahami. Sebab, seseorang yang selama ini dijadikan

    teman baik, oleh karena suatu hal berubah menjadi musuh,

    maka ia akan memperlihatkan sikap bencinya terhadap musuh

    itu. Dan sebaliknya akan memperlihatkan sikap loyalnya

    terhadap teman baru. Karena itu, kitab al-Ibanah

    mencerminkan tingkat kesunyian secara penuh. Sebaliknya,menampakkan sikap bencinya terhadap Mu'tazilah lebih nyata.

    Karena itu, kitab al-Ibanah menurut para ahli ditulis

    langsung setelah al-Asy'ari meninggalkan faham Mu'tazilah.

    III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (2/3)

    SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH

    oleh Zainun Kamal

    Lain halnya dengan kitabnya al-Luma', yang ditulis setelah

    kitab al-Ibanah. Ia sudah mesti mengambil sikap yang jelas.

    Maka di sini terlihat kembali kajian keagamaan al-Asy'ari

    dengan dalil-dalil rasional dan membangun ilmu kalamnya

    sendiri. Dengan demikian, ketika menulis kitab al-Luma',

    argumentasi rasional al-Asy'ari menonjol kembali dalam

    memahami nash-nash agama dan terlihat interpretasi

    metaforisnya (ta'wil). Kecenderungannya pada metode kaum

    Mu'tazilah inilah yang menyebabkan kaum Hambali menolak

    paham teologi al-Asy'ari.

    Hal itu memperlihatkan gambaran yang agak mirip dengan sikap

    al-Ghazali yang mencoba menyerang para filsuf, tetapi

    kenyataannya ia tetap mempergunakan metode falsafah dalam

    kajian keislaman, khususnya logika Aristoteles. Inilah yang

    dikatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa al-Ghazali telah masuk ke

    dalam kandang falsafah, kemudian berusaha keluar, dan

    berputar-putar mencari pintunya, tetapi sudah tidak berdaya

    lagi untuk keluar.

    Sebagai penentang Mu'tazilah, sudah barang tentu al-Asy'ari

    berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhan

    sendiri merupakan pengetahuan ('Ilm). Yang benar, Tuhan itu

    mengetahui (Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuanNya,

    bukanlah dengan Zat-Nya. Demikian pula bukan dengan

    sifat-sifat seperti, sifat hidup, berkuasa, mendengar dan

    melihat. [20]

    Disini terlihat, al-Asy'ari menetapkan sifat kepada Tuhan

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    13/92

    seperti halnya kaum Salafi. Namun cara penafsirannya cukup

    berbeda. Kaum Salafi hanya menetapkan sifat kepada Allah,

    sebagaimana teks ayat, tanpa melakukan pembahasan mendalam.

    Mereka hanya menerima arti dengan jalan kepercayaan, bahwa

    sifat-sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Begitu

    hati-hatinya mereka dalam menjaga persamaan Allah dengan

    makhluk-Nya, sehingga mereka mengatakan, "Siapa yang

    tergerak tangannya, lalu ketika membaca ayat yang berbunyi

    "Aku (Allah) ciptakan dengan tangan-Ku," lalu ia langsung

    mengatakan, wajib dipotong tangannya." [21]

    Lain halnya dengan al-Asy'ari, baginya arti sifat tidak jauh

    berbeda dengan pengertian sifat bagi Muitazilah. Bagi

    al-Asy'ari, sifat berada pada Zat, tetapi sifat bukan Zat,

    dan bukan pula lain dari Zat. Ungkapan al-Asy'ari yang

    seperti ini, kata Dr. Ibrahim Madkour, tidak terlepas dari

    paradoks. [22]

    Bagi Mu'tazilah, sifat sama dengan Zat. Sifat tidak

    mempunyai pengertian yang sebenarnya. Jika dikatakan, yang

    mengetahui ('Alim), maka artinya menetapkan pengetahuan('Ilm) bagi Allah, dan yang mengetahui itu adalah Zat-Nya

    sendiri. Dalam hal ini, menetapkan sifat hanya sekedar untuk

    memahami bahwa Allah bukanlah jahil. Seperti juga mengatakan

    yang berkuasa (qadir) adalah menetapkan kekuasaan (qudrah)

    bagi Allah. Kekuasaan itu adalah Zat-Nya sendiri. Artinya,

    menafsirkan kelemahan Allah. [23]

    Masih berbicara tentang tauhid, pemikiran al-Asy'ari yang

    lain ialah, bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu,

    al-Asy'ari membawakan argumen rasio dan nash. Yang tidak

    dapat dilihat, kata al-Asy'ari, hanyalah yang tak punya

    wujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan

    oleh karena itu dapat dilihat. [24]

    Argumen al-Qur'an yang dimajukannya antara lain,

    "Wajah-wajah yang ketika itu berseri-seri memandang kepada

    Allah" (QS. al-Qiyamah: 22-23).

    Menurut al-Asy'ari kata nazirah dalam ayat itu tak bisa

    berarti memikirkan seperti pendapat Mu'tazilah, karena

    akhirat bukanlah tempat berfikir; juga tak bisa berarti

    menunggu, karena wajah atau muka tidak dapat menunggu, yang

    menunggu adalah manusia. Lagi pula, di sorga tidak ada

    penungguan, karena menunggu mengandung arti dan membuat

    kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nazirah mesti

    berarti melihat dengan mata kepala. [25]

    Sungguhpun al-Asy'ari berpendapat, bahwa orang-orang mukmin

    nanti dapat melihat Tuhan di Akhirat dengan mata kepala,

    namun pemahamannya bukanlah bersifat harfiyah. Tetapi

    menghendaki suatu penafsiran lagi yaitu, bahwa melihat Tuhan

    itu tidak mesti mempunyai tempat dan terarah pada tujuan,

    tetapi hanya merupakan suatu penglihatan pengetahuan dan

    kesadaran, dengan mempergunakan mata, yang belum terfikirkan

    bagi kita sekarang, bagaimana bentuk mata itu nantinya. [26]

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    14/92

    Namun demikian, untuk dapat menerima, bahwa Tuhan dapat

    dilihat nanti di akhirat, maka al-Asy'ari memerlukan pula

    untuk menafsirkan atau menta'wilkan ayat yang berikut ini:

    Artinya: "Penglihatan tak dapat menangkap-Nya tetapi ia

    dapat mengangkat penglihatannya." (al-An'am: 103) Ayat

    tersebut di atas diartikan oleh al-Asy'ari, bahwa yang

    dimaksud tidak dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, dan

    bukan di akhirat. Dan juga diartikan tidak dapat melihat

    Tuhan di akhirat bagi orang kafir. [27]

    Apa yang telah kita ungkapkan di atas, adalah merupakan

    sebagian dari pemikiran al-Asy'ari tentang tauhid. Sekarang

    kita berpindah kepada pemikirannya tentang keadilan. Sengaja

    dirangkaikan keadilan dengan tauhid, karena pembahasan

    tentang tauhid hanyalah merupakan filsafat ketuhanan semata,

    sedangkan keadilan adalah merupakan filsafat hubungan khaliq

    dengan makhluknya.

    Al-Asy'ari, seperti Mu'tazilah, meyakini bahwa Allah adalah

    Maha Adil. Tetapi seperti kaum Salafi, ia menolak bahwa kitamewajibkan sesuatu kepada Allah. Dan juga menolak faham

    al-Shalah wa al-Ashlah Mu'tazilah, artinya, Tuhan wajib

    mewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan

    manusia. Allah, kata al-Asy'ari, bebas memperbuat apa yang

    kehendaki-Nya. [28]

    Al-Asy'ari meninjau keadilan Tuhan dari sudut kekuasaan dan

    kehendak mutlak Tuhan. Keadilan diartikannya "menempatkan

    sesuatu pada tempat yang sebenarnya," yaitu seseorang

    mempunyai kekuasaan mutlak atas harta yang dimilikinya serta

    mempergunakannya sesuai dengan pengetahuan pemilik. [29]

    Tidak dapat dikatakan salah, kata al-Asy'ari, kalau Tuhan

    memasukkan seluruh umat manusia ke dalam sorga, termasuk

    orang-orang kafir, dan juga tidak dapat dikatakan Tuhan

    bersifat dzalim, jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam

    neraka. [30] Karena perbuatan salah dan tidak adil menurut

    pendapatnya adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan

    karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum,

    maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.

    [31]

    Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak,

    dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap

    makhluk-Nya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak kecil di hari

    kiamat, menjatuhkan hukuman bagi orang mukmim, atau

    memasukkan orang kafir ke dalam sorga, maka Tuhan tidaklah

    berbuat salah dan dzalim. Tuhan masih tetap bersifat adil.[32] Upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan

    hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan.

    Paham keadilan al-Asy'ari ini mirip dengan paham sebagian

    umat yang merestui seorang raja yang absolut diktator. Sang

    raja yang absolut diktator itu, memiliki hal penuh untuk

    membunuh atau menghidupkan rakyatnya. Kemudian digambarkan,

    bahwa sang raja itu diatas dari undang-undang dan hukum,

    dalam arti, dia tidak perlu patuh dan tunduk kepada

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    15/92

    undang-undang dan hukum. Karena undang-undang dan hukum itu

    adalah bikinannya sendiri.

    Dari asumsi itu, kemudian al-Asy'ari menganalogikan bahwa

    Allah adalah memiliki kemerdekaan mutlak. Dia memperbuat

    sekehendak-Nya terhadap milik-Nya. Maka tidak seorangpun

    yang dapat mewajibkan sesuatu kepada Allah mengenai

    kemaslahatan umat manusia, baik di dunia ini, maupun di

    akhirat. [33] Kalau Allah menganiaya seluruh umat manusia,

    baik di dunia atau di akhirat, maka tidak seorangpun yang

    akan sanggup mempersalahkan dan menuntut-Nya. Persis seperti

    seorang raja yang absolut diktator, kalau ia menganiaya

    seluruh rakyatnya, maka tak seorangpun yang sanggup

    menentangnya. Karena manusia, bagi al-Asy'ari, selalu

    digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya

    dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan

    absolut mutlak. [34] Karena manusia dipandang lemah, maka

    paham al-Asy'ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham

    Jabariyah (fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will).

    Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendak

    dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatandengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asyari memakai

    istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-Kasb dapat

    diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusia

    dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentang

    faham kasb ini, al-Asy'ari memberi penjelasan yang sulit

    ditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia

    dalam perbuatannya. Namun dalam penjelasannya tertangkap

    bahwa kasb itu pada hakekatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi,

    dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif

    dalam perbuatannya. [35] Kasb, kata al-Asy'ari, adalah

    sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-muhtasib) dengan

    perantaraan daya yang diciptakan. [36]

    Melihat kepada pengertian, "sesuatu yang timbul dari yang

    berbuat" mengandung atas perbuatannya. Tetapi keterangan

    bahwa "kasb itu adalah ciptaan Tuhan" menghilangkan arti

    keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif

    dalam perbuatan-perbuatannya.

    Argumen yang dimajukan oleh al-Asy'ari tentang diciptakannya

    kasb oleh Tuhan adalah ayat:

    "Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu." (QS.

    al-Shaffat 37:96)

    Jadi dalam paham al-Asy'ari, perbuatan-perbuatan manusia

    adalah diciptakan Tuhan. [37] Dan tidak ada pembuat (agent)bagi kasb kecuali Allah. [38] Dengan perkataan lain, yang

    mewujudkan kasb atau perbuatan manusia, menurut al-Asy'ari,

    sebenarnya adalah Tuhan sendiri.

    Bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan,

    dapat dilihat dari pendapat al-Asy'ari tentang kehendak dan

    daya yang menyebabkan perbuatan menjadi wujud. Al-Asy'ari

    menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin

    dikehendaki. Tidak satupun didalam ini terwujud lepas dari

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    16/92

    kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki

    sesuatu, ia pasti ada, dan jika Tuhan tidak menghendakinya

    niscaya ia tiada. [39] Firman Tuhan:

    "Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki" (QS.

    al-Insan 76:30).

    Ayat ini diartikan oleh al-Asy'ari bahwa manusia tak bisa

    menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia

    supaya menghendaki sesuatu itu. [40] Ini mengandung arti

    bahwa kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan,

    dan kehendak yang ada dalam diri manusia, sebenarnya tidak

    lain dari kehendak Tuhan.

    Dalam teori kasb, untuk terwujudnya suatu perbuatan dalam

    perbuatan manusia, terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatan

    Tuhan dan perbuatah manusia. Perbuatan Tuhan adalah hakiki

    dan perbuatan manusia adalah majazi (sebagai lambang).

    Al-Baghdadi mencoba menjelaskan kepada kita sebagai berikut.

    Tuhan dan manusia dalam suatu perbuatan adalah seperti dua

    orang yang mengangkat batu b esar ; yang seorang mampumengangkatnya sendirian, sedangkan yang seorang lagi tidak

    mampu. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu

    besar itu, maka terangkatnya batu itu adalah oleh yang kuat

    tadi, namun tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu

    tidak turut mengangkat. Demikian pulalah perbuatan manusia.

    Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan perantaraannya daya

    Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat

    sebagai pembuat. [43]

    III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (3/3)

    SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH

    oleh Zainun Kamal

    Buat sementara dapat kita simpulkan bahwa dalam paham

    al-Asy'ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya,

    daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi daya yang berpengaruh

    dan efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah

    daya Tuhan, sedangkan daya manusia tidaklah efektif kalau

    tidak disokong oleh daya Tuhan.

    Karena manusia dalam teori kasb al-Asy'ari tidak mempunyai

    pengaruh efektif dalam perbuatannya, maka banyak para ahli

    menilai bahwa kasb adalah sebagai jabariyah moderat, bahkan

    Ibn Hazm (w. 456 H) dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menilai,

    sebagai jabariyah murni. [44] Harun Nasution juga

    berpendapat demikian. Alasannya karena menurut al-Asy'ari

    kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya

    Tuhan, dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan danbukan perbuatan manusia. [46]

    Ibn Taimiyyah menilai al-Asy'ari telah gagal dengan konsep

    kasb-nya yang hendak menengahi antara Qaddariyyah dengan

    Jabbariyah. Sebab, menurut Ibn Taimiyyah, Kasb-nya

    al-Asy'ari itu telah membawa para pengikutnya berfaham

    Jabariyah murni, yang mengingkari sama sekali adanya

    kemampuan pada manusia untuk berbuat. Memang, seperti yang

    sudah kita uraikan di atas, al-Asy'ari menegaskan bahwa kasb

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    17/92

    manusia itu tidak mempunyai efek nyata dalam mewujudkan

    perbuatan manusia itu. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah

    menilai konsep kasb yang ditetapkan al-Asy'ari itu tidak

    masuk akal. [46]

    PENGARUH KALAM AL-ASY'ARI

    Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam faham teologi

    al-Asy'ari manusia selalu digambarkan sebagai seorang yang

    lemah, yang tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat

    berhadapan dengan kekuasaan yang absolut, apalagi berhadapan

    dengan kekuasaan mutlak Allah.

    Teologi ini timbul merupakan refleksi dari status sosial dan

    kultural masyarakat pada masanya, yaitu keadaan masyarakat

    Islam pada abad ke-9 M. [47] dimana raja-raja selalu

    berkuasa dengan diktator dan mempunyai hak penuh untuk

    menghukum siapa saja yang diinginkannya, sang raja tidak

    perlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hukum. Sebab

    undang-undang dan hukum itu adalah bikinannya sendiri.

    Karena teologi al-Asy'ari didirikan atas kerangka landasan

    yang menganggap bahwa akal manusia mempunyai daya yang

    lemah, maka disinilah letak kekuatan teologi itu, yaitu ia

    dengan mudah dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang

    bersifat sederhana dalam pemikiran.

    Kunci keberhasilan teologi al-Asy'ari ialah karena sejak

    awal berdirinya ia telah berpihak kepada awwamnya - umat

    Islam, yang jumlahnya selalu mayoritas di dunia Sunni.

    Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju dengan

    ajaran-ajaran Mu'tazilah.

    Sejarah menunjukkan, bahwa aliran al-Asy'ari telah berhasil

    menarik rakyat banyak di bawah naungannya berkat campur

    tangan khalifah al-Mutawakkil, ketika yang terakhir ini

    membatalkan aliran Mu'tazilah sebagai paham resmi pada waktu

    itu. Kemudian setelah wafatnya al-Asy'ari pada tahun 935M.

    Ajarannya dikembangkan oleh para pengikutnya, antara lain,

    al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Akhirnya, aliran

    itu mengalami kemajuan besar sekali, sehingga mayoritas umat

    Islam menganutnya sampai detik ini.

    Salah satu faktor penting bagi tersebarnya teologi

    al-Asy'ariyah di dunia Islam adalah sifat akomodatifnya

    terhadap Dinasti yang berkuasa, sebagai konsekuensi logis

    dari paham manusia lemah dan patuh kepada penguasa. Dengan

    demikian, ia sering mendapat dukungan, bahkan menjadi alirandari Dinasti yang berkuasa. Sungguhpun demikian, paham

    al-Asy'ari ini juga telah membawa dampak dan pengaruh

    negatif. Ia telah menghilangkan kesadaran pemikiran

    rasionalisme di dunia Islam. Hilangnya pemikiran

    rasionalisme tersebut telah menyebabkan kemunduran umat

    Islam selama berabad-abad.

    Karena akal manusia, menurut al-Asy'ari, mempunyai daya yang

    lemah, akibatnya, menjadikan penganutnya kurang mempunyai

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    18/92

    ruang gerak, karena terikat tidak saja pada dogma-dogma,

    tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti dzanni,

    yaitu ayat-ayat yang sebenarnya boleh mengandung arti lain

    dari arti letterlek, tetapi mereka artikan secara letterlek.

    Dengan demikian para penganutnya teologi ini sukar dapat

    mengikuti dan mentolerir perubahan dan perkembangan yang

    terjadi dalam masyarakat modern. Selain itu, ia dapat

    merupakan salah satu dari faktor-faktor yang memperlambat

    kemajuan dan pembangunan. Bahkan, lebih tegas lagi, Sayeed

    Ameer Ali mengatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam

    sekarang ini salah satu sebabnya karena formalisme

    al-Asy'ari. [49]

    Paham bahwa semua peristiwa yang terjadi, termasuk perbuatan

    manusia, adalah atas kehendak Tuhan menghilangkan makna

    pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, dan

    lebih dari itu, menjadikan manusia-manusia yang tidak mau

    bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahannya. Peristiwa

    terowongan Mina adalah salah satu bukti nyata dari faham

    Fatalisme. Dengan dalih peristiwa itu terjadi atas kehendak

    Tuhan semata, sehingga tidak ada yang mau bertanggungjawabatasnya.

    Paham fatalisme yang berkembang dalam masyarakat, seperti

    rezeki, jodoh dan maut adalah di tangan Tuhan, menjadikan

    manusia-manusia yang enggan merubah nasibnya sendiri dan

    merubah struktur masyarakat. Dan ia selalu mempersalahkan

    takdir atas kemiskinan, kebodohan dan kematian massal yang

    terjadi.

    Untuk menutup tulisan ini, suatu kesimpulan dapat diambil

    bahwa faham teologi al-Asy'ari mempunyai basis yang kuat

    pada suatu masyarakat yang bersifat sederhana dalam cara

    hidup dan berpikir, serta jauh dari pengetahuan. Tetapi

    teologi ini akan menjadi lemah disaat berhadapan

    perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi baru.

    CATATAN

    1.Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah II, Mesir,

    tahun 1976, h. 46

    2.Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishak Ibn Salim Ibn Ismail

    Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Musa

    al-Asy'ari (Lihat Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-lbanah 'an

    Ushul al-Dinyanah, Ed, Dr. Fauqiyah Husein Mahmud, Mesir,

    1977, h. 9 (Selanjutnya disebut, Fauqiyah, al-lbanah). Lihat

    juga Abu al-Hasan al-Asy'ari, maqalat al-Islamiyyin waIkhtilaf al-Mushallin, ed., M. Mahyudin Abdul Hamid, Mesir,

    1969, h. 3

    3.Abu Musa al-Asy'ari adalah salah seorang sahabat

    Rasul-Allah saw. dan salah seorang hakim yang mewakili Ali

    Ibn Abi Thalib waktu terjadinya arbitrase antara Ali dan

    Muawiyah, lihat Hamudah Guramah, Abu al-Hasan al-Asy'ari,

    Mesir, 1973 h. 60

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    19/92

    4.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 10

    5.Terdapat beberapa variasi pendapat dalam menetapkan tahun

    lahirnya: 270 H./885 M. Ibn Atsir, dalam al-Lubab I. h. 52

    270 H./881 M. Al-Makrizi, dalam al-Khutbath III, h. 303

    (dikutip dari Fanqiyah, Ibid., h. 13 Penulis lebih cenderung

    menetapkan sejarah lahirnya pada ketika memisahkan diri dari

    Mu'tazilah adalah pada tahun 300 H. Sedangkan usianya waktu

    itu sudah umum diketahui empat puluh tahun. (lihat M. Ali

    Abu Rayyan, Tarikh al-Fikri al-Falsafi Fi al-lslam,

    Iskandariyah, 1980, h. 310

    6.Hamuddh, Al-Asy'ari, hal. 60

    7.Fauqiyah, Al-Ibanah, hal. 29

    8.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982 h.

    36

    9.Louis Gardet & J. Anawati, Falsafat al-Fikrial-Dini Bain

    al-Islam wa al-Masihiyah I (terj.) Bairut, 1976, h 93

    10.Zuhdi Jar Allah, Al-Mu'tazilah. Bairut, 1974, h. 102

    11.Lihat Rayyan, Tarikh, h. 312 Gardet & Anawati, Falsafah,

    h. 94. Madkour, Fi al-Falsafah, h. 116, Subhi Fi Ilm

    al-Kalam II, h. 73, Dan Hamudah, al-Asy'ari, h.65

    12.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982, h.

    159.

    13.Bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kehendak dan

    perbuatannya sendiri menurut pendapat Mu'tazilah, dapat

    dilihat pada, Mahmud Kasim, Dirasat Fi al-Falsafah

    al-Islamiyyah, Mesir, 1973 h. 164-165

    14.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 31

    15.Ibid., h. 34

    16.Ibid., dan lihat juga Subhi, Fi Ilm al-Kalam II,

    Iskandiyah, h. 41

    17.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-Ibanah'an Ushul al-Dinayah,

    Mesir,1397 H. H.8

    18.Faiqiyah, Al-Ibanah, h. 35

    19.Hasan Mahmud al-Asy'ari, dalam, Dirasat Arabiyah wa

    Islamiyah I, Dar el Ulum, Kairo, 1985, h. 38

    20.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Kitab al-Luma' Fi al-Rad'ala ahl

    al-Zaigh wa al-Bida', Kairo, 1965, h. 30

    21.Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal I, Ed. Abd. Aziz

    M.M. Wakil, Kairo, 1968, h. 104

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    20/92

    22.Madkour, Fi al-Fasafah II, h. 50

    23.Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 51

    24.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 17. Lihat juga, Al-Syahrastani,

    Al-Mihal I, h. 100

    25.Al-Asy'ari, Ibid, h. 13

    26.Al-Syahrastani, Al-Milal I, h. 100. Lihat juga Madkour,

    27.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 16

    28.Al-Sahrastani, Al-Milal I, h. 102, 113

    29.Ibid., h. 101

    30.Ibid

    31.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 71

    32.Ibid., lihat juga Mahmud Kasim, Dirasat, h. 167

    33.Mahmud Kasim, h. 168

    34.Ibid.

    35.Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah,

    Kairo, tt., h.205

    36.Al-Asy'ari, al-Luma', h. 76

    37.Ibid., h. 70

    38.Ibid., h. 72

    39.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 51

    40.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 57

    41.Ibid, h. 41

    42.Abd al-Rahman Badawi, Madzahib al-Islamiyin, Bairut,

    1971, h. 562

    43.Abd al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul al Din, Bairut,

    1981, h. 133-134

    44.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, h. 205

    45.Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983 h.

    112

    46.Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah II, h. 16-17

    47.Mahmud Kasim, Dirasat, h. 34

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    21/92

    48.Sayeed Ameer Alim, The Spirit Of Islam, Delhi, tt., h.

    472 473.

    III.13. FILSAFAT ISLAM (1/3)

    oleh Harun Nasution

    Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang

    Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil.

    Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar

    Macedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di

    daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran

    antara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk

    setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan

    ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah

    pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama

    Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta

    Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran.

    Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke

    daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan

    Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta

    Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini,dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut,

    jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai

    dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama

    dan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikan

    ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat

    untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula

    terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi.

    Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang

    tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin

    menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan

    memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka

    peroleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu

    golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis

    kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk

    itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani.

    Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka

    jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam

    al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

    Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam

    teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri

    dari teologi rasional ini ialah:

    1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka

    tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu

    yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis danilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil

    arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan

    arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti

    tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil

    dalam memahami wahyu.

    2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang

    kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia

    dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil,

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    22/92

    mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam

    kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara

    mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham

    qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah

    free-will and free-act, yang membawa kepada konsep

    manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan

    maupun pemikiran.

    3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan

    konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah

    yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka.

    Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada

    keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam

    al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur

    perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan

    menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu

    dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.

    Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan

    kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir

    serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yangmembawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi

    juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.

    Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796-873M)

    satu-satunya filsuf Arab dalam Islam. Ia dengan tegas

    mengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak ada

    pertentangan. Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang

    yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga

    menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar.

    Selanjutnya filsafat dalam pembahasannya memakai akal dan

    agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai

    argumen-argumen rasional.

    Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada

    "Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama

    itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengan

    demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia

    dalam pendapat Al-Kindi adalah filsafat ketuhanan atau

    teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena

    itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan

    tidak dilarang, tetapi wajib.

    Dengan filsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha

    memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau

    kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada

    di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya

    konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada diluar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat

    (kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah

    benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting

    adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada

    dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals).

    Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah

    jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli,

    (haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang

    bersifat universal dalam bentuk jenis.

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    23/92

    Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan

    filsafat Islam. Dalam hal ini al-Farabi (870-950 M) memberi

    konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan,

    Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaannya

    yang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan

    terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti

    banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi

    esa, hanya berhubungan dengan yang esa.

    Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan filsafat emanasi

    (al-faid, pancaran) dari al-Farabi. Yang Maha Esa berfikir

    tentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau

    energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya

    yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang

    diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I.

    Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.

    Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti

    banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya

    sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II danpemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal

    II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya

    sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan

    pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam

    Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan

    menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan

    menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah

    gambaran berikut:

    Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.

    Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.

    Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.

    Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.

    Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.

    Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.

    Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.

    Akal X menghasilkan hanya Bumi.

    Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan

    Akal.

    Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di

    zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri

    atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi

    menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan

    diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang

    diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalahmalaikat.

    Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat

    emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang

    banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui

    Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya

    sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.

    Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    24/92

    melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat

    arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat

    al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut

    paham emanasi.

    Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau

    nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan

    tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan

    sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada.

    Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu

    yang dipancarkan pemikiran Tuhan.

    Karena Tuhan beffikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula,

    apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim,

    dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain

    kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang

    empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari

    sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik

    al-Ghazali.

    III.13. FILSAFAT ISLAM (2/3)

    oleh Harun Nasution

    Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filsuf-filsuf Islam ada

    pula soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebut

    al-nafs. Filsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran

    yang diberikan Ibn Sina (980-1037M). Sama dengan al-Farabi ia

    membagi jiwa kepada tiga bagian:

    1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan,

    tumbuh dan berkembang biak.

    2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah

    dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan

    pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu

    pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra

    dalam yang berada di otak dan terdiri dari:

    i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang

    diperoleh pancaindra.

    ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar

    dari materi.

    iii.Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.

    iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang

    terlindung dalam gambar-gambar tersebut.

    v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.

    3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu

    berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:

    a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal

    dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam

    jiwa binatang.

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    25/92

    b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang

    tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan

    malaikat.

    Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang

    akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia

    terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting

    diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu

    Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan

    arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa

    binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal

    teoritis akan berkembang dengan baik.

    Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:

    1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi

    untuk menangkap arti-arti murni.

    2. Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap

    arti-arti murni.

    3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak

    menangkap arti-arti murni.

    4. Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya

    menangkap arti-arti murni.

    Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki

    filsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti

    murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.

    Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga

    yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa

    tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat

    menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh

    terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam

    hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang

    mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di

    dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk

    membawa manusia kepada kesempurnaan.

    Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi

    perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa

    tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya

    tubuh kembali menjadi tanah.

    Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan

    setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajatkepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di

    atas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap

    arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya

    makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau

    akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi

    pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam

    menangkap arti-arti murni.

    Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    26/92

    karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti

    dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh

    balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di akhirat.

    Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas fungsinya

    tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang

    bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan

    diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa

    tumbuh tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah

    kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah

    dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi

    kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia

    akan mengalami kesengsaraan kelak.

    Dari paham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapi

    perhitungan kelak timbul faham tidak adanya pembangkitan

    jasmani yang juga dikritik al-Ghazali.

    Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam.

    Pemurnian konsep tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiran

    Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis

    (al-jins) serta diferensiasi (al-fasl). Sebagai seorangMu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat

    Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat.

    Pemurnian itu membawa al-Farabi pula kepada falsafat emanasi

    yang di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula

    dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena

    Tuhan dalam filsafat emanasi tak boleh berhubungan langsung

    dengan yang banyak dan hanya berfikir tentang diriNya Yang

    Maha Esa, timbul pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui

    juz'iat, yaitu perincian yang ada dalam alam ini. Tuhan

    mengetahui hanya yang bersifat universal. Karena akal I, II

    dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I, II

    dan seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau kekhususan

    yang terjadi di alam ini. Karena inti manusia adalah jiwa

    berfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani

    tak ada. Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam bidang

    sains para filsuf percaya pula kepada tidak berubahnya hukum

    alam.

    Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan

    al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filsuf Islam.

    Tiga, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa mereka

    kepada kekufuran, yaitu:

    1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman

    2. Pembangkitan jasmani tak ada

    3. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.

    Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran dalam pendapat

    al-Ghazali karena qadim dalam filsafat berarti sesuatu yang

    wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman yaitu tidak

    pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak

    diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat

    dalam teologi Islam adalah: la qadima, illallah, tidak ada

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    27/92

    yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah

    pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada paham

    syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut

    tak dapat diampuni Tuhan.

    Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta

    yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme dan

    ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam

    tauhid yang sebagaimana dilihat di atas para filsuf

    mengusahakan Islam memberikan arti semurni-murninya. Inilah

    yang mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filsuf yang

    percaya bahwa alam ini qadim.

    Mengenai masalah kedua pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan

    teks ayat-ayat dalam al-Qur'an menggambarkan adanya

    pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin

    "Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini?.

    Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannya

    pertama kali." Maka pengkafiran di sini berdasar atas

    berlawanannya falsafat tidak adanya pembangkitan jasmani

    dengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan.

    Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui

    perincian yang ada di alam juga didasarkan atas keadaan

    falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-Qur'an.

    Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat al-An'am:

    Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya.

    Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian

    timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi

    falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali

    mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai

    hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf. Dalam pada itu

    sebelum zaman al-Ghazali telah muncul teologi baru yang

    menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa

    oleh al-Asy'ari (873-935) yang pada mulanya adalah salah satu

    tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu

    jelas ia meninggalkan paham Mu'tazilahnya dan munculkan

    sebagai lawan dari teologi Mu'tazilah teologi baru yang

    kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari.

    Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'ari

    bercorak tradisional. Corak tradisionalnya dilihat dari

    hal-hal

    1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah

    sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti

    lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil artitersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan

    pemikiran ilmiah dan filosofis.

    2. Karena akal lemah manusia dalam teologi ini

    merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang

    belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi

    masih banyak bergantung pada orang lain untuk

    membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan

    paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    28/92

    kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap

    statis.

    3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari

    paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini

    diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan

    menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum

    alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah

    kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak

    sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi

    biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak

    Tuhan.

    Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada

    berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis sebagaimana

    halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali,

    teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam

    bagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman

    al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad

    sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah dan filsuf-filsuf

    Islam.III.13. FILSAFAT ISLAM (3/3)

    oleh Harun Nasution

    Di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol

    Islam, sebaliknya pemikiran filsafat masih berkembang sesudah

    serangan al-Ghazali tersebut. Ibn Bajjah (1082-1138) dalam

    bukunya Risalah al-Wida', kelihatannya mencela al-Ghazali yang

    berpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat

    sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan.

    Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan

    menghidupkan pendapat Mu'tazilah bahwa akal manusia begitu

    kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan

    seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada

    Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat

    baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu

    datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di

    suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai

    kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari

    Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi

    dan Ibn Sina.

    Tapi Ibn Rusyd-lah (1126-1198 M) yang mengarang buku Tahafut

    al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali

    yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasifah.

    Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyaipermulaan dalam zaman, konsep al-Ghazali bahwa alam hadis,

    alam mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusyd

    mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada

    sesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain, di ketika

    itu berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari

    tiada atau nihil.

    Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan

    kandungan al-Qur'an. Didalam al-Qur'an digambarkan bahwa

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    29/92

    sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di

    sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan,

    Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari

    dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air.

    Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan

    langit dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari

    Ha Mim menyebut pula,

    Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap.

    Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta

    uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia'

    mengatakan pula,

    Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit

    dan bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami

    pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air.

    Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanyaberasal dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda

    yang berlainan.

    Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat

    al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat

    hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengan

    kandungan al-Qur'an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur'an

    sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf

    lain. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kata

    Ibn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari "tiada,"

    seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada," seperti

    yang dikatakan para filsuf. Ayat 12 dari surat al-Mu'minun,

    menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari tanah.

    Manusia di dalam al-Qur'an diciptakan bukan dari "tiada"

    tetapi dari sesuatu yang "ada," yaitu intisari tanah seperti

    disebut oleh ayat di atas. Filsafat memang tidak menerima

    konsep penciptann dari tiada (creatio ex nihilo). "Tiada,"

    kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi "ada," yang terjadi

    ialah "ada" berubah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam hal

    bumi, "ada" dalam bentuk materi asal yang empat dirubah Tuhan

    menjadi "ada" dalam bentuk bumi. Demikian pula langit. Dan

    yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi

    susunannya adalah baru (hadis).

    Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa

    kepada politeisme atau ateisme, karena qadim dalam pemikiran

    filsafat bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan,tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan dalam keadaan

    terus menerus, mulai dari zaman tak bermula di masa lampau

    sampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi Tuhan

    qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah Pencipta

    dan alam qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terus

    menerus dari zaman tak bermula ke zaman tak berakhir. Dengan

    demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi

    adalah ciptaan Tuhan,

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    30/92

    Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini

    tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat

    47/8 dari surat Ibrahim menyebut:

    Janganlah sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi

    rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi

    balasan di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain dan

    (demikian pula) langit.

    Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya di hari

    kiamat, Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan

    demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yang

    lain. Konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi

    dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materi

    asal api, udara, air dan tanah kembali; dari keempat unsur ini

    Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi

    dan langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan

    diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlah

    seterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai

    sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai

    dengan kandungan al-Qur'an.

    Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk

    mengkafirkan filsuf dalam filsafat mereka tentang qadimnya

    alam. Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan

    pihak al-Ghazali sama-sama memberi tafsiran masing-masing

    tentang ayat-ayat al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang

    bertentangan bukanlah pendapat filsuf dengan al-Qur'an, tetapi

    pendapat filsuf dengan pendapat al-Ghazali.

    Mengenai masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang

    terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tak

    pernah mengatakan demikian. Menurut mereka Tuhan mengetahui

    perinciannya; yang mereka persoalkan ialah bagaimana Tuhan

    mengetahui perincian itu. Perincian berbentuk materi dan

    materi dapat ditangkap pancaindra, sedang Tuhan bersifat

    immateri dan tak mempunyai pancaindra.

    Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam

    Tahafut al-Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebut hal

    itu. Dalam pada itu ia melihat adanya pertentangan dalam

    ucapan-ucapan al-Ghazali. Di dalam Tahajut al-Falasifah ia

    menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapat

    adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain ia

    mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti ialah

    pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada.

    Dengan demikian al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuatuntuk mengkafirkan kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidak

    tahunya Tuhan tentang perincian di alam dan tidak adanya

    pembangkitan jasmani. Ini bukanlah pendapat filsuf, dan

    kelihatannya adalah kesimpulan yang ditarik al-Ghazali dari

    filsafat mereka.

    Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain,

    menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada

    pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    31/92

    kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian

    akal bertentangan dengan teks wahyu dalam al-Qur'an maka

    dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil adalah

    meningga]kan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan

    kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti

    tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada

    kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya.

    Antara filsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan

    dalam harmoni ini akal mempunyai kedudukan tinggi.

    Pengharmonian akal dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana

    dikenal dengan averroisme. Salah satu ajaran averroisme ialah

    kebenaran ganda, yang mengatakan bahwa pendapat filsafat

    benar, sungguhpun menurut agama salah. Agama mempunyai

    kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan

    pemikiran rasional dan ilmiah di Eropa.

    Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol

    mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya

    hanya tinggal di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada

    1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dariCastilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol,

    hilang pulalah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islam

    bagian barat.

    Di dunia Islam bagian timur, kecuali di kalangan Syi'ah,

    teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat al-Ghazali bahwa

    jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan

    dari pada jalan filsafat. Hilanglah pemikiran rasional,

    filosofis dan ilmiah dari dunia Islam sunni sehingga datang

    abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam

    bidang pemikiran, filsafat dan sains, sebagaimana disebut di

    atas, berkembang di Barat atas pengaruh metode berpikir Ibn

    Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional

    mulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaruan seperti

    al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain.

    DAFTAR KEPUSTAKAAN

    De Boer, TJ., History of Philosophy in Islam, Tranl. E.R.

    Jones, London, Luzac & Co., 1970.

    Al-Farabi, Rasail, Hyderabad, t.t.

    Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1966.

    Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dalal, Cairo, al-Maktab al-Fanni,

    1961.

    Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta,

    Bulan Bintang, 1983.

    Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1964.

    Ibn Rusyd, Fals al-Maqal, London, J.E. Brill, 1969.

    Ibn Sina, Al-Najah, Kairo, M.B. al-Halabi, 1938.

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    32/92

    O. Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arabs,

    London, Routledge & Kegan Paul, 1964.

    Sharif M.M., ed., A History of Muslim Philosophy, Weisbaden,

    1963.

  • 7/27/2019 19075949 Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

    33/92

    III.14. TASAWUF (hal. 42)

    oleh Harun Nasution (1/4)

    Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin

    dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati

    bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang

    menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan

    bersifat rohani, maka bagian yang