islam ditinjau dari aspek teologi
TRANSCRIPT
Islam ditinjau dari aspek teologi
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Pengantar Studi Islam
Dosen Pengampu : H. Muslich, Prof., DR., M.A
Disusun oleh :
M. FARID WAFI ALHAKIM (112211029)
DIVA MEIGA ROSMAWATI (1402026099)
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
1
Islam Ditinjau dari Aspek Teologi
I. Pendahuluan
Dalam penyelesaian sengketa antara Ali ibn Abi Talib dan Mu’awiah Ibn Abi
Sufyan dengan jalan arbitrase oleh kaum khawarij dipandang bertentangan dengan ajaran
islam. Di dalam surat Al-Maidah ayat 44 mengatakan :
barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka
itu adalah orang-orang yang kafir.
Penyelesaian sengketa dengan arbitrase bukanlah penyelesaian menurut apa yang
diturunkan Tuhan dan oleh karena itu pihak-pihak yang menyetujui arbitrase tersebut
telah menjadi kafir dalam pendapat kaum khawarij. Dengan demikian Ali, Mu’awiah,
Abu musa Al-‘Asyari dan ‘amr ibn Al-‘Aas, menurut mereka telah menjadi kaifr. Kafir
dalam arti keluar dari islam, yaitu murtad dan orang murtad wajib dibunuh. Merekapun
memutuskan untuk membunuh ke-empat pemuka itu.
Penentuan seseorang kafir atau tidak kafir bukanlah lagi soal politik, tetapi soal
teologi. Maka pada kesempatan ini kami sebagai pemakalah akan membahas bagaimana
islam itu jika ditinjau dari aspek teologi.
II. Rumusan masalah
A. Apa saja Macam-macam Aliran Teologi dalam Islam ?
B. Bagaimana Sejarah Perkembangan dan munculnya aliran-aliran teologi didalam
islam ?
C. Apa sajakah Aliran-aliran yang ada pada masa sekarang ?
III. Pembahasan
A. Macam-macam Aliran Teologi dalam Islam
1. Khwarij
Kaum Khawarij berpecah dalam beberapa golongan, yaitu ; Muhakkimah,
Azariqah, Najdah, Sufriah dan Ibadiah.
2. Murji’ah
2
Kaum Murji’ah terpecah juga dalam beberapa golongan, yaitu ; Al-Jahmiah, Al-
Salihiah, Al-Yunusiah dan Al-Khassaniah.
3. Mu’tazilah
Dalam aliran Mu’tazilah ini muncul dua faham akibat dari beberapa pemikiran-
pemikiran dari falsafat Yunani, yaitu ; Faham qadariah dan faham Jabariah.
4. Al-Asy’ariah
5. Al-Maturidiah.1
B. Sejarah Perkembangan teologi didalam islam
Persoalan politik didalam islam akhirnya meningkat menjadi persoalan
teologi dalam islam. Penentuan seorang kafi atau tidak kafir bukanlah lagi soal
politik, tetapi soal teologi. Kafir ialah orang yang tidak percaya dan lawannya adalah
mu’min, orang yang percaya. Dalam Al-Qur’an kedua kata senantiasa dikontraskan.
Didalamnya kata kafir dipakai terhadap orang yang tidak percaya pada Nabi
Muhammad dan ajaran yang beliau bawa, yaitu orang yang belum menjadi mu’min
atau masuk islam. Dengan kata lain kata kafir dipakai untuk golongan diluar islam.
Tetapi kaum khawarij memakai kata itu untuk golongan yang berada dalam islam
sendiri. Di kalangan orang islam dalam faham khawarij telah ada orang yang bersifat
kafir. Dengan demikian kata kafir mulai berubah dalam arti.2
Dalam perkembangan selanjutnya Kaum Khawarij berpecah kedalam
beberapa golongan. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan lebih lanjut.
Golangan pertama ialah “Muhakkimah” dan mereka memasukkan kedalam
lingkungan kafir orang islam yang mengerjakan dosa besar. Ayat 31 surat An-Nisa’
mengatakan :
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu
1 http://hanim.blog.unissula.ac.id/2011/10/07/aliran-aliran-teologi-islam/
2 Harun Nasution, 1985, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI-Press : Bandung, hal. 32
3
Ada pendapat yang mengatakan bahwa dosa besar ialah mempunyai
keyakinan bahwa Tuhan lebih dari satu (syirk-politeisme), karena ayat 48 surat An-
nisa’ mengatakan :
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Tetapi ada hadits-hadits yang mengatakan bahwa dalam dosa besar, selain
syirk, termasuk pula zina, sihir, membunuh manusia tanpa sebab, memakan harta
yatim piatu, riba, meninggalkan medan pertempuran dan menfitnah perempuan baik-
baik.
Maka siapa yang mengerjakan salah satu hal dosa besar tersebut, menurut
golongan Muhakkimah, menjadi kafir. Dengan demikian orang islam yang berzina
dalam faham mereka bukan lagi orang islam tetapi telah menjadi kafir.
Golongan “Azariqah”, sebagai golongan kedua. Term kafir mereka rubah
dengan term musyrik (politeis). Bagi golongan Azariqah, yang menjadi musyrik
bukan hanya orang islam yang melakukan dosa besar, bahkan juga semua orang
islam yang tak sefaham dengan mereka. Dalam pendapat mereka hanya orang
Azariqahlah yang orang islam. Orang yang tidak menganut faham Azariqah
bukanlah orang islam, tetapi orang politeis. Dan mereka tidak segan-segan
membunuh orang yang demikian.
Golongan “Najdah” lebih moderat sedikit dari golongan Azariqah. Dosa kecil
dalam faham mereka, kalau dikerjakan terus-menerus akan membuat pelakunya
menjadi musyrik.
Golongan “sufriah”. Golongan sufriah membagi dosa besar kedalam dua
bagian, dosa yang ada hukumannya didunia dan dosa yang tak ada hukumannya
didunia. Pelaku dosa besar golongan pertama tidak menjadi kafir, yang membuat
orang islam menjadi kafir ialah dosa besar golongan kedua.
Golongan “ibadiah”. Golongan ibadiah adalah golongan paling moderat yang
terdapat dalam kalangan khawarij. Mereka tidak memandang orang islam yang tidak
sefaham dengan mereka musyrik tetapi tidak pula mu’min. Dosa besar tidak
4
membuat orang islam menjadi musyrik tetapi pelaku dosa besar bukanlah mu’min.
Mereka membagi golongan kafir kedalam dua bagian, kafir al-ni’mah, orang yang
tidak bersyukur terhadap nikmat-nikmat yang diberikan Tuhan dan kafir al-millah,
yaitu orang-orang yang keluar dari agama.
Kaum khawarij, karena faham dan sikap mereka yang radikal itu, telah hilang
dari sejarah, kecuali golongan ibadiah.3
Perkembangan teologi islam selanjutnya muncul Kaum Murji’ah, yang
timbul sebagai reaksi terhadap kaum khawarij, yang membawa pendapat yang sama
sekali bertentangan dengan pendapat kaum khawarij. Orang islam yang berdosa
besar bagi mereka tidak menjadi kafir tetapi tetap mu’min. Soal dosa besarnya
diserahkan kepada putusan Tuhan kelak dihari perhitungan.
Nama Murji’ah berasal dari kata arja’a yang berarti menunda atau memberi
pengharapan. Mereka disebut kaum Murji’ah karena ajaran mereka memang
menundakan soal dosa besar yang dilakukan orang islam kepada Tuhan dihari
kiamat. Argumen yang dimajukan kaum murji’ah ialah bahwa orang islam yang
melakukan dosa besar masih mengucapkan kedua syahadat, tiada Tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah Rosulnya. Orang serupa ini masih orang mu’min dan bukan
kafir atau musyrik.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa kaum Murji’ah berlainan dengan kaum
khawarij lebih mementingkan iman atau keyakinan daripada amal atau perbuatan.
Yang menentukan islam atau tidak islamnya seseorang adalah imannya bukan
perbuatan seseorang. Keyakinan yang ada didalam hati itulah yang paling penting.
Dan apa yang ada didalam hati manusia hanya Tuhan yang mengetahuinya yaitu
disamping manusia yang bersangkutan sendiri.
Oleh karena itu kaum murji’ah berpendapat bahwa perbuatan tidak dapat
dipakai sebagai ukuran untuk menentukan islam atau kafirnya seseorang. perbuatan
menurut pendapat mereka tidak mempunyai pengaruh terhadap keyakinan. Iman
seseorang tidak dapat dirusakan oleh dosa yang dilakukannya. Kaum Murji’ah
terpecah juga dalam beberapa golongan seperti “Al-Jahmiah”, “Al-Salihiah”, “Al-
3 Harun Nasution, 1985, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 34
5
Yunusiah” dan “Al-Khassaniah”. Mereka dapat dibagi kedalam dua golongan besar
yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim.4
Golongan “moderat” berpendapat bahwa, selama seseorang mengakui bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rosulnya, orang
demikian tetap orang islam. Dosa yang dilakukanya biarpun itu dalam bentuk dosa
besar tidak membuat ia keluar dari islam.
Faham murji’ah bahwa islam atau tidaknya seseorang ditentukan oleh iman
dan bahwa perbuatan tidak merusak iman, membawa golongan-golongan “ekstrim”
kepada faham bahwa perbuatan betul-betul tidak mempunyai pengaruh dalam hal
masuk surga atau neraka diakhirat kelak. Baik dosa besar sesekalipun tidak
mempunyai pengaruh dalam hal ini.
Demikianlah faham kaum Murji’ah dalam bentuk moderat dan ekstrimnya.
Sebagai halnya dengan kaum khawarij, kaum murji’ah juga sudah tidak punya wujud
lagi. Faham mereka dalam bentuk moderatnya diambil kemudian oleh ahli sunnah.
Ahli sunnah berpendapat juga bahwa orang islam yang berdosa besar bukanlah kafir,
tetapi tetap orang islam. Soal dosa besarnya diserahkan kepada Tuhan untuk
diampuni atau tidak diampuni tetapi akhirnya ia masuk surga.5
Sementara itu muncul dalam sejarah teologi islam seseorang bernama wasil
ibn ‘Ata’ yang lahir dimedinah ditahun 700 M. Pada suatu ketika Wasil menyatakan
pendapat bahwa ia tidak setuju dengan faham, baik yang dimajukan kaum khawarij
maupun kaum murji’ah. Berlawanan dengan faham khawarij tetapi sesuai dengan
faham murji’ah, Wasil berpendapat bahwa orang islam yang berbuat dosa besar
tidaklah kafir . tetapi selanjutnya berlawanan dengan faham murji’ah orang demikian
menurut pandangannya bukanlah pula mu’min.
Menurut keyakinannya orang islam yang melakukan dosa besar bekanlah
kafir, bukan pula mu’min tetapi mengambil posisi diantara kafir dan mu’min. Kalau
orang demikian tobat sebelum meninggal ia akan masuk surga, tetapi kalau ia tidak
sempat tobat maka ia akan masuk neraka untuk selama-lamanya.
4 Harun Nasution, 1985, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 35 5 Harun Nasution, 1985, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 36
6
Wasil dengan pendapatnya yang berbeda ini kemudian mendirikan aliran
teologi lain dalam islam yang dikenal dengan nama Mu’tazilah. Dimasa itu umat
islam telah banyak mempunyai kontak dengan keyakinan-keyakinan dan pemikiran-
pemikiran dari agama-agama lain dengan falsafat yunani.6
Sebagai akibat dari kontak ini masuklah kedalam islam faham “qadariah” dan
faham “jabariah” atau fatalisme. Faham qadariah dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani
dan Ghailan Al-Dimasyqi (abad VIII M). Menurut faham mereka manusialah yang
mewujudkan perbuatan-perbuatannya dengan kemauan dan tenaganya. Manusia
dalam faham qadariah mempunyai kebebasan dalam kemauan dan kebebasan dalam
perbuatan.
Faham Jabariah dipelopori oleh Al-Ja’d Ibn Dirham (abad VIII M) Dan Jahm
Ibn Safwan (w. 131 H). Menurut faham Jabariah perbuatan manusia diciptakan
Tuhan dalam diri manusia. Dalam faham ini manusia tidak mempunyai kemauan dan
daya untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia menurut Jabariah tah ubahnya
sebagai wayang yang tidak bergerak jika tidak digerakan dalang.kalau dalam faham
qadariah terdapat kebebasan manusia, dalam faham jabariah manusia tidak
mempunyai kebebasan. Semua perbuatannya telah ditentukan Tuhan semenjak azal.
Diatas telah disebut bahwa Wasil membawa ajaran posisi diantara dua posisi
yang dalam istilah arabnya disebut Al-manzilah bain Al-manzilatain. Selain dari itu
ia mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat dalam arti bahwa apa yang
disebut sifat sebebnarnya bukanlah sesuatu yang mempunyai wujud tersendiri diluar
zat Tuhan. Sifat merupakan esensi Tuhan.
Kalau Wasil adalah pemimpin pertama dari kaum Mu’tazilah, pemimpin
kedua ialah Abu Al-Huzail akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya
Tuhan dan untuk mengetahui kewajiban berterima kasih kepadanya. Juga akal cukup
kuat untuk mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk atau jahat dan untuk
mengetahui kewajiban mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Selanjutnya ia
membawa faham al-salah wa al-aslah, yaitu Tuhan mewujudkan yang baik bahkan
yang terbaik untuk maslahat manusia.
6 Harun Nasution, 1985, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 37
7
Pemimipin Mu’tazilah lain, Al-Nazzam (185-221 H), menonjolkan faham
keadilan Tuhan dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak berkuasa untuk berlaku
zalim. Perbuatan zalim timbul hanya dari yang mempunyai cacat dan Tuhan tidak
mempunyai cacat. Dari Tuhan timbul hanya perbuatan-perbuatan baik. Selanjutnya
Al-Nazzam mengatakan bahwa kalam Allah atau sabda Tuhan tidak qadim, tetapi
diciptakan. Ini membawa pada faham diciptakannya Al-Quran yang kuat
dipertahankan oleh kaum Mu’tazilah. Kaum mu’tazilah dikenal mempunyai lima
ajaran dasar : al-tauhid, al-‘adl, al-wa’d wa al-wa’id, al-manzilah bain al-manzilatain
dan al-amr bi al-ma’ruf serta al nahy ‘an al-munkar.
Ajaran dasar pertama bertujuan membela kemurnian faham kemahaesaan
Tuhan, sehingga mereka mengatakan Tuhan tidak mempunyai sifat dan hanya
mempunyai esensi. Tuhan bersifat maha adil, dan untuk mempertahankan faham itu
mereka menganut faham qadariah.
Yang dimaksud al-wa’ad wa al-wa’id ialah bahwa Tuhan akan melaksanakan
janji baik dan ancamannya.
Apa yang dimaksud dengan al-manzilah bain al-manzilatain telah
diterangkan diatas, dan ini hubungannya juga erat dengan faham keadilan Tuhan. Al-
amr bi al-ma’ruf wa al-nahy’an al munkar mengandung arti kewajiban menyuruh
berbuat baik dan melarang berbuat jahat.
Pemikiran rasionil Mu’tazilah dan sikap kekerasan mereka, membawa pada
lahirnya aliran-aliran teologi lain dalam islam. Aliran-aliran itu timbul untuk
menjadi tantangan bagi aliran yang bercorak rasionil dan liberal tersebut.7
Tantangan pertama datang di Bagdad dari Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (873-
935 M). Al-Asy’ari pada mulanya adalah pemuka Mu’tazilah, tetapi kemudian
merubah pendapat-pendapat teologinya.
Sebagai lawan dari mu’tazilah Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan tetap
mempunyai sifat-sifat. Tuhan kata Al-Asy’ari tidak mungkin mengetahui dengan
esensinya, Tuhan harus mengetahui dengan sifatnya. Al-Quran bukanlah diciptakan,
tetapi bersifat qadim. Manusia bukanlah pencipta karena tiada pencipta selain dari
Tuhan. Mengenai dosa besar Al-Asy’ari sependapat dengan murji’ah moderat.
7 Harun Nasution, 1985, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 40
8
Faham-faham yang dimajukan Al-Asy’ari ini kemudian mengambil bentuk
aliran teologi yang dikenal dengan nama Al-Asy’ariah. Diantara pemuka-pemuka
Al-Asy’ariah termasyhur terdapat nama-nama Abu Bakar Al-Baqillani (w. 1013 M),
Imam Al-Haramain Al-Juwaini (419-478 H) dan Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111
M).
Tantangan kedua terhadap Mu’tazilah datang dari Abu Mansur Al-Maturidi
(w. 944 M) di samarqand. Dalam soal sifat-sifat Tuhan Al-Maturidi sefaham dengan
Al-Asya’ari. Baginya Al-Quran dalam pendapatnya bersifat qadim dan bukan
diciptakan. Demikian pula dalam hal mengenai dosa besar ia sefaham dengan Al-
Asy’ari. Tetapi dalam hal perbuatan manusia ia berpendapat lain dari Al-Asy’ari.
Pendapatnya lebih dekat dengan Al-Mu’tazilah dalam arti bahwa manusialah yang
sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam soal al-wa’d wa al-wa’id
Al-Maturidi juga tidak sefaham dengan Al-Asy’ari. Sesuai dengan Al-Mu’tazilah ia
berpendapat bahwa janji-janji baik dan ancaman-ancaman Tuhan pasti terjadi kelak.
Jelas kiranya, bahwa Al-Maturidi berlainan dengan Al-Asy’ari tidak
membawa faham yang seluruhnya berlawanan dengan pendapat-pendapat
Mu’tazilah. Dengan demikian aliran teologi Al-Maturidiah terletak diantara aliran
Asy’ariah dan aliran Mu’tazilah. Pemuka-pemuka terbesar dari aliran Maturidiah
adalah antara lain Abu Al-Yurs Al-Badzdawi (421-493 H) dan Najm Al-Din Al-
Nasafi (460-537 H).8
C. Aliran-aliran yang ada pada masa sekarang
Berbeda dengan aliran-aliran teologi lainnya, aliran Asy’ariah dan aliran
maturidiah masih ada dan inilah pada umumnya yang dianut oleh umat islam
sekarang. Aliran maturidiah banyak dianut oleh pengikut-pengikut mazhab Abu
Hanifah. Kedua aliran inilah yang disebut dengan Ahli Sunnah. Tetapi dalam pada
itu faham rasionil yang dibawa oleh kaum mu’tazilah mulai timbul kembali di abad
ke duapuluh ini, terutama dikalangan kaum terpelajar islam. Tetapi bagaimanapun
pengikut Asy’ariah jauh lebih banyak daripada pengikut aliran-aliran lainnya.
8 Harun Nasution, 1985, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 41
9
Perbedaan dasar antara aliran Asy’ariah dengan aliran Mu’tazilah terletak
pada pendapat tentang kekuatan akal. Sebagai telah dilihat diatas, kaum Mu’tazilah
amat menghargai akal dan berpendapat bahwa akal manusia dapat sampai kepada
dua ajaran dasar dalam agama yaitu adanya Tuhan dan masalah kebaikan dan
kejahatan. Setelah sampai kepada adanya Tuhan dan apa yang disebut baik serta apa
yang disebut jahat, akal manusia dapat pula mengetahui kewajibannya terhadap
Tuhan dan kewajibannya untuk berbuat baik dan kewajiban untuk menjauhi
perbuatan jahat. Wahyu dalam keempat hal ini datang untuk memperkuat pendapat
akal dan untuk memberi perincian tentang apa yang telah diketahuinya itu.
Kaum Asy’ariah, sebaliknya berpendapat bahwa akal tidak begitu besar daya
kekuatannya. Diantara ke empat masalah diatas akal dapat hanya sampai kepada
adanya Tuhan. Soal kewajiban manusia terhadap Tuhan, soal baik dan buruk (jahat)
dan kewajiban berbuat baik serta kewajiban menjauhi kejahatan, itu tidak dapat
diketahui akal manusia. Itu diketahui manusia hanya melalui wahyu yang diturunkan
Tuhan melalui para Nabi dan Rosul.
Kalau kaum Mu’tazilah banyak percaya pada kekuatan akal manusia, kaum
Asy’ariah banyak bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai kaum Mu’tazilah
ialah mempergunakan akal dan kemudian memberi interpretasi pada teks atau nas
wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy’ariah sebaliknya, pergi terlebih
dahulu kepada teks wahyu dan kemudian membawa argumen-argumen rasionil
untuk teks wahyu itu. Dengan kata lain kalau kaum Mu’tazilah membaca yang
tersirat dalam teks, kaum Asy’ariah membaca yang tersurat.
Pemikiran-pemikiran Mu’tazilah mulai ditimbulkan kembali oleh pemuka-
pemuka pembaharuan dalam islam periode abad kesembilan belas masehi, terutama
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Ahmad Khan di India. Di abad
keduapuluh ini, penonjolan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah diteruskan oleh
pengikut-pengikut Muhammad Abduh di Mesir dan pengikut-pengikut Ahmad Khan
di India dan pakistan.
Pandangan orang terhadap Mu’tazilah telah pula mulai berubah. Kalau
sebelumnya kaum Mu’tazilah dianggap kafir dan buku-buku serta ajaran-ajaran
mereka terlarang, sekarang telah ada pengarang-pengarang bahkan ulama yang
10
menyokong atau membela mereka. Dari uraian tersebut dapatlah dilihat bahwa
sebagai halnya dalam lapangan hukum islam, dalam teologi islam terdapat pula
beberapa mazhab atau aliran. Aliran-aliran yang ada dan yang mulai timbul kembali
ialah Asy’ariah, Maturidiah dan Mu’tazilah. Ketiga aliran ini, sama halnya dengan
mazhab-mazhab hukum islam, tidak keluar dari ajaran-ajaran islam. Semuanya
masih dalam lingkungan islam dan oleh karena itu tiap orang islam mempunyai
kebebasan untuk memilih aliran teologi atau falsafat hidup yang sesuai dengan
jiwanya.9
IV. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas maka dapa disimpulkan, bahwa macam-macam aliran
teologi didalam islam diantaranya yaitu ; Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Al-Asy’ariah,
Al-Maturidiah.
Kaum Khawarij berpecah dalam beberapa golongan, yaitu ; Muhakkimah,
Azariqah, Najdah, Sufriah dan Ibadiah. Kemudian Kaum Murji’ah terpecah juga dalam
beberapa golongan, yaitu ; Al-Jahmiah, Al-Salihiah, Al-Yunusiah dan Al-Khassaniah.
Selanjutnya pada aliran Mu’tazilah muncul dua faham yaitu ; faham qadariah dan faham
Jabariah. Pemikiran rasionil Mu’tazilah dan sikap kekerasan mereka, membawa pada
lahirnya aliran-aliran teologi lain dalam islam. Aliran-aliran itu timbul untuk menjadi
tantangan bagi aliran yang bercorak rasionil dan liberal tersebut. Tantangan pertama
muncul aliran Al-Asy’ariah dan tantangan kedua muncul Al-Maturidiah.
V. Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. kami telah berusaha keras demi
terwujudnya makalah yang lebih baik. Apabila masih ada kesalahan dalam pengetikan
maupun bahasa maka kami senantiasa mengharapkan kritik dan saran bahkan yang tidak
konstruktif sekalipun dari para pembaca, demi perbaikan yang akan datang. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan kita. Khususnya dalam
bidang ilmu Pengantar Studi Islam, Amin
9 http://hanim.blog.unissula.ac.id/2011/10/07/aliran-aliran-teologi-islam/
11
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, 1985, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, PT UI-Press : Bandung
http://hanim.blog.unissula.ac.id/2011/10/07/aliran-aliran-teologi-islam/