183488566 makalah baf daun sirih

Upload: aminah-assegaf

Post on 02-Mar-2016

45 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar belakang

    Tumbuhan obat merupakan sumber bahan obat tradisional yang banyak

    digunakan secara turun-temurun. Salah satu di antaranya adalah sirih, dikenal

    dengan sirih hijau, sirih merah, sirih hitam, sirih kuning dan sirih perak (Depkes

    1980).

    Pada percobaan digunakan tumbuhan sirih merah (Piper betle Var.

    Rubrum), termasuk familia Piperaceae. Tumbuhan sirih merah memiliki

    kemampuan sebagai antiseptik, antioksidan dan fungisida, juga memiliki sifat

    menahan pendarahan, penyembuh luka pada kulit, obat saluran cerna dan dapat

    menguatkan gigi. Sirih merah tumbuh subur di daerah Sumatera Utara, dahulu

    digunakan untuk upacara adat suku Karo (Depkes 1980). Secara umum daun sirih

    mengandung minyak atsiri sampai 4,2% (Kartasapoetra,1992), senyawa fenil

    propanoid dan tanin (Depkes 1989, Mahendra 2005).

    Derivate fenol (eugenol dan kavikol) yang terkandung dalam daun sirih

    berkhasiat antiseptik dan khususnya kavikol diketahui mempunyai daya

    pembunuh bakteri lima kali dari fenol (Heyne, 1987; Hardjono Sastrohamidjojo,

    2004; Dharmananda, 2004).

    Luka adalah kerusakan kontinuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau

    organ tubuh lain sehingga menimbulkan efek yang traumatis (Kozier, 1995 dalam

    Ismail, 2009). Luka merupakan gangguan kontinuitas suatu jaringan pada kulit,

    sehingga terjadi pemisahan jaringan yang semula normal menjadi tidak normal.

    Luka terbuka sering mengalami infeksi dan menyebabkan keterlambatan

    kesembuhan luka (Bachsinar, 1995).

    Staphylococcus aureus merupakan penyebab terjadinya infeksi yang

    bersifat piogenik. Bakteri Staphylococcus aureus ini dapat masuk ke dalam kulit

    melalui folikel rambut, muara kelenjar keringat, luka besar dan kecil.

    Staphylococcus aureus merupakan salah satu kuman yang mempunyai

  • 2

    kemampuan besar untuk menimbulkan penyakit infeksi pada luka yang berefek

    pada terjadinya radang bernanah (Jawetz dkk., 1996).

    Pengobatan terhadap luka terutama yang mengalami infeksi dengan obat-

    obat sintetis telah berkembang dan penemuan berbagai zat kimia sebagai

    antibakteri telah banyak. Tetapi akhir-akhir ini karena pertimbangan terhadap zat

    kimia sintetik yang mahal dan terlebih mempunyai efek samping yang

    membahayakan bagi organ vital, serta penggunaan antibiotik yang kurang efisien

    karena Stapilococcos mudah resisten terhadap antibiotik yang telah ada,

    menyebabkan obat yang berasal dari herbal alami menjadi menarik perhatian para

    ahli di bidang medis sebagai alternatif pengganti yang lebih poten, murah,

    memiliki efek samping yang lebih kecil, dan tersedia terus dalam jumlah besar.

    Sirih merah (Piper betle Var. Rubrum) merupakan salah satu tanaman obat

    potensial yang diketahui secara empiris memiliki khasiat untuk menyembuhkan

    berbagai jenis penyakit seperti stroke, batu ginjal, radang prostat, hepatitis,

    diabetes, asam urat, kolesterol, batuk, keputihan, maag, letih, lesu dan memiliki

    sifat antioksidan, antikanker, antiseptik, dan antiinflamasi (Hanum dan Tim

    Redaksi Cemerlang, 2011).

    Berdasarkan penelitian Juliantina dkk (2009) secara in-vitro ekstrak daun

    sirih merah memiliki kemampuan antibakteri terhadap bakteri gram positif

    (konsentrasi 25%) dan gram negatif (konsentrasi 6,25%) khususnya terhadap

    Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 35218.

    Kandungan sirih merah yang telah diketahui adalah flavonoid, alkaloid

    polifenol, tanin, saponin, dan minyak atsiri. Senyawa flavonoid bersifat

    antioksidan, antidiabetik, antikanker, dan, antibakteri. Saponin dapat memacu

    pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses

    penyembuhan luka, dan senyawa alkaloid mempunyai sifat antineoplastik yang

    juga ampuh menghambat pertumbuhan sel-sel kanker (Sadewo, 2005).

    Pembuatan larutan antiseptik dari ekstrak daun sirih merah dilakukan

    dengan menyusun formula menggunakan berbagai bahan disamping daun sirih

    merah itu sendiri. Formula yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai

    alternatif lain sediaan obat penyembuh luka yang berasal dari alam.

  • 3

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas maka dapat dirumuskan

    masalahnya yaitu pada konsentrasi berapa ekstrak daun sirih merah mampu

    memberikan efek antiseptik dan penambahan variasi bahan tambahan yang dapat

    menghasilkan larutan antiseptik ekstrak daun sirih merah yang aman dan bermutu.

    1.3 Tujuan Percobaan

    Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik produk larutan

    antiseptik dan untuk mendapatkan formula larutan antiseptik ekstrak daun sirih

    merah terbaik dilihat dari karakteristik fisik dan sifat organoleptik yang dapat

    diterima oleh konsumen.

    1.4 Manfaat Percobaan

    Dari hasil percobaan ini diharapkan dapat menghasilkan larutan antiseptik

    yang dapat digunakan masyarakat dalam upaya pemanfaatan tanaman obat

    tradisional menjadi produk obat herbal yang dapat memberikan alternatif sediaan

    obat penyembuh luka yang berasal dari bahan alam yang aman dan bermutu,

    sehingga dapat bermanfaat bagi bidang farmasi serta menambah daya guna daun

    sirih merah.

  • 4

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Sirih Merah (Piper betle Var. Rubrum)

    Sirih merah (Piper betle Var. Rubrum) merupakan salah satu tanaman obat

    potensial yang diketahui secara empiris memiliki khasiat untuk menyembuhkan

    berbagai jenis penyakit. Tanaman ini termasuk di dalam famili Piperaceae dengan

    penampakan daun yang berwarna merah keperakkan dan mengkilap saat kena

    cahaya. Sirih merah (Gambar 2.1 dan 2.2) secara empiris memiliki khasiat

    menyembuhkan asam urat, diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung,

    penyembuhan luka, peradangan organ seperti paru, hati, ginjal, tenggerokan,

    hepatitis serta maag (Sudewo, 2005).

    2.1.1 Taksonomi Sirih Merah

    Secara taksonomi tanaman daun sirih merah diklasifikasikan sebagai

    berikut:

    Kingdom : Plantae

    Divisi : Magnoliophyta

    Subdivisi : Angiospermae

    Kelas : Liliopsida

    Sub-kelas : Aracidae

    Ordo : Piperales

    Family : Piperaceae

    Genus : Piper

    Spesies : Piper betle Var. Rubrum

    Kerabat dekat : Kiseureuh, Sirih, Sirih hutan, Kemekes, Kemukus, Mricot lolot,

    Lada, Cabe jawa, Cabean, Daun wati.

  • 5

    Gambar 2.1. Sirih merah tampak depan

    Gambar 2.2. Daun sirih merah tampak bagian belakang

    Tanaman sirih merah menyukai tempat teduh, berhawa sejuk dengan sinar

    matahari 60-75%, dapat tumbuh subur dan bagus di daerah pegunungan. Bila

    tumbuh pada daerah panas, sinar matahari langsung, batangnya cepat mengering.

    Selain itu, warna merah daunnya akan pudar (Juliantina dkk, 2009).

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Subarnas dkk (2007) secara

    kromatografi sirih merah mengandung flavonoid, saponin, alkaloid senyawa

    polifenolat, tanin, kuinon, steroid, dan minyak atsiri.

  • 6

    2.1.2 Morfologi Tanaman

    a. Daun

    Daunnya berwarna hijau dengan semburat pink. Daun membentuk jantung

    hati dan bagian ujung meruncing, mengkilat dan tidak merata, tepinya rata,

    permukaan megilap, tidak berbulu dan bila daunnya dirobek maka akan

    mengeluarkan lendir, terasa pahit dan aromanya lebih wangi. Panjang daunya

    kurang lebih 15-20 cm. Warna daun pada bagian atas hijau bercorak warna putih

    keabu-abuan, sedangkan bagian bawah daun berwarna merah hati cerah.

    b. Batang

    Batang berwarna hijau agak kemerahan dan permukaan kulitnya berkerut.

    Batang bersulur dan beruas dengan jarak buku 5-10 cm.

    c. Akar

    Bakal akar tumbuh di setiap buku batang.

    2.1.3 Habitat

    Sirih merah tidak dapat tumbuh dengan subur pada daerah yang panas,

    tetapi dapat tumbuh subur pada daerah yang dingin, teduh, dan tidak terlalu

    banyak terkena sinar matahari dengan ketinggian 300-1000 m. Tanaman sirih

    merah sangat baik pertumbuhannya apabila mendapatkan sekitar 60-75% cahaya

    matahari.

    2.1.4 Distribusi

    Belum dapat dipastikan asal tanaman sirih merah ini, namun di Indonesia

    sendiri tanaman ini tersebar di daerahi Sulawesi, Yogyakarta, Papua, Jawa,

    Kalimantan dan beberapa daerah lainnya.

    2.1.5 Kandungan Kimia dan Khasiat sebagai Antiseptik

    Kandungan kimia yang terdapat pada tanaman sirih merah mengandung

    metabolit sekunder yang menyimpan senyawa aktif seperti alkali, flavonoid,

    polivenol, tanin, minyak atsiri, saponin, hidroksikafikol, kavikol, kavibetol,

    karbavakrol, cyanogenic, eugenol, cineole, kadimen, glukosida, isoprenoid,

    nonprotein amino acid, ter-penena, dan fenil propada. Oleh karena sirih merah

    banyak mengandung senyawa kimia bermanfaat, maka sirih merah memiliki

  • 7

    manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat. Kandungan zat kimia pada daun

    sirih merah yang memiliki efek antiseptik:

    1. Kavikol

    Menunjukkan efek jamur dan desinfektan, sehingga dapat digunakan sebagai

    obat antiseptik.

    2. Flavonoid

    Memiliki sifat antioksidan, senyawa fenol yang bersifat sebagi koagulator

    protein, antidiabetik, antifungi, antikanker, imunostimulan, antioksidan,

    antiseptik, antihepatotoksik, antihiperglikemik, vasodilatator dan

    antiinflamasi.

    3. Alkaloid

    Memiliki sifat antimikrobal, penghambat pertumbuhan sel kanker dan

    merupakan bagian dari sistem heterosiklik.

    4. Eugenol

    Memiliki kandungan analgetik dan antifungal dengan menghambat

    pertumbuhan yeast (sel tunas) dari Pytirosporum ovale dengan cara mengubah

    struktur dan menghambat dinding sel, sehingga meningkatkan permeabilitas

    membran terhadap benda asing dan menyebabkan kematian sel.

    5. Saponin

    Menunjukkan efek antijamur, antibakteri, dan imunomodulator.

    Kandungan eugenol dalam daun sirih mempunyai sifat antifungal. Daun

    sirih yang sudah dikenal sejak tahun 600 SM ini mengandung zat antiseptik yang

    dapat membunuh bakteri sehingga banyak digunakan sebagai antibakteri dan

    antijamur. Hal ini disebabkan oleh turunan fenol yaitu kavikol dalam sifat

    antiseptiknya lima kali lebih efektif dibandingkan fenol biasa. Dengan sifat

    antiseptiknya, sirih sering digunakan untuk menyembuhkan kaki yang luka dan

    mengobati pendarahan hidung/mimisan.

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Subarnas dkk (2007) sirih

    merah mengandung flavonoid, saponin, alkaloid, polifenol, tanin, kuinon, steroid,

    dan mono- dan seskuiterpen. Menurut Robinson (1995) dalam Simanjuntak

  • 8

    (2008) flavonoid berfungsi sebagai antioksidan, antibakteri dengan cara

    membentuk senyawa kompleks dengan protein extraseluler, protein terlarut, serta

    mengganggu integritas membran sel bakteri.

    Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri dengan cara

    mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga

    lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel

    tersebut (Robinson, 1991 dalam Juliantina dkk, 2009).

    Saponin adalah senyawa yang memacu pembentukan kolagen, yaitu

    protein struktur yang berperan dalam proses kesembuhan luka (Suratman dkk,

    1996). Kemampuan saponin dalam mempercepat penyembuhan luka dibuktikan

    oleh Shukla dkk (1999) melalui penggunaan larutan asiaticoside (ekstrak saponin)

    0,2% secara topikal dan didapatkan mampu mempercepat penyembuhan luka pada

    tikus Spraque dawley. Saponin juga memiliki kemampuan sebagai antibakteri.

    (Robinson,1995 dalam Simanjuntak, 2008).

    Tanin memiliki aktivitas antibakteri. Toksisitas tanin dapat merusak

    membran sel bakteri, senyawa astringent tanin dapat menginduksi pembentukan

    kompleks senyawa ikatan terhadap enzim atau subtrat mikroba dan pembentukan

    suatu kompleks ikatan tanin terhadap ion logam yang dapat menambah daya

    toksisitas tanin itu sendiri (Akiyama, 2001 dalam Juliantina dkk, 2009).

    Menurut Parwata (2008) minyak atsiri sebagai antibakteri pada umumnya

    mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil. Turunan fenol

    berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan

    hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang

    lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan

    menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol

    menyebabkan koagulasi protein dan membran sel mengalami lisis.

    2.1.6 Penggunaan Tanaman Sirih Merah

    Kegunaan sirih merah di lingkungan masyarakat dalam menyembuhkan

    beberapa penyakit seperti, diabetes mellitus, jantung koroner, TBC (tuberkulosis),

    asam urat, kanker payudara, kanker darah (leukemia), ambeien, penyakit ginjal,

  • 9

    impotensi, eksim atau eksema atau dermatitis, gatal-gatal, luka bernanah yang

    sulit sembuh, karies gigi, batuk, radang pada mata, radang pada gusi dan telinga,

    radang prostat, hepatitis, hipertensi, keputihan kronis, demam berdarah dengue

    (DBD), penambah nafsu makan, penyakit kelamin ( gonorrhea, sifilis, herpes,

    hingga HIV/AIDS), sebagai obat kumur dan luar, dan manfaat bagi kecantikan (

    lulur, masker, penuaan dini, penghalus kulit, dan lain-lain).

    2.2 Larutan antiseptik

    Larutan antiseptik adalah larutan yang dibuat untuk membunuh bakteri

    yangn dapat membuat infeksi. Larutan antiseptik banyak dijumpai dikalangan

    masyarakat. Biasanya larutan antiseptik digunakan untuk mengobati luka dan

    membersihkan kulit akibat bakteri dan jamur. Larutan antiseptik pada umumnya

    berbahan dasar dari senyawa kimia, seperti iod dan golongan alkohol. Senyawa

    tersebut dapat menekan pertumbuhan bakteri sehingga bakteri tidak dapat tumbuh.

    Senyawa golongan alkohol banyak terdapat pada tanaman, seperti daun

    sirih merah. Oleh sebab itu, larutan antiseptik dapat dibuat dari bahan alami.

    Bahan alami digunakan sebagai bahan dasar pembuatan larutan antiseptik karena

    lebih ekonomis dan mengandung efek samping yang relative kecil.

    Beberapa bahan-bahan tambahan beserta fungsinya secara umum yang

    dapat dijumpai dalam larutan antiseptik :

    a) Astringents (zat penciut), menyebabkan pembuluh darah lokal berkontraksi

    dengan demikian dapat mengurangi bengkak pada jaringan, contoh: alkohol,

    seng klorida, seng asetat, aluminium, dan asam-asam organik, seperti tannic,

    asetic, dan asam sitrat.

    b) Deterjen, mengurangi tegangan permukaan dengan demikian menyebabkan

    bahan-bahan yang terkandung menjadi lebih larut, dan juga dapat

    menghancurkan dinding sel bakteri yang menyebabkan bakteri lisis. contoh:

    sodium laurel sulfate.

    c) Anodynes, meredakan nyeri dan rasa sakit, contoh: turunan fenol, minyak

    eukaliptol, minyak watergreen.

    d) Aquadest, penyusun persentasi terbesar dari volume larutan.

  • 10

    Larutan antiseptik bekerja berdasarkan berbagai proses kimiawi atau fisika

    dengan tujuan guna meniadakan risiko transmisi dari jasad renik. Prosesnya yaitu

    denaturasi protein mikroorganisme, pengendapan protein dalam protoplasma.

    Oksidasi protein. Mengganggu sistem dan proses enzim. Modifikasi dinding sel

    atau membran sitoplasma (Tjay dan Rahardja, 2007).

    2.3 Kulit dan fungsinya

    Kulit normal memiliki tiga lapisan yaitu epidermis, dermis dan jaringan

    subkutan. Epidermis mempunyai sel basal yang terus membelah untuk

    mempertahankan lapisan epitel berlapis. Lapisan ini adalah pelindung primer

    antara lingkungan luar dan dalam tubuh yaitu mencegah masuknya bakteri atau

    senyawa racun, dan bersama dengan dermis, melindungi struktur bagian dalam

    dari trauma (Cruse and McPherdran, 1992 dalam Simanjuntak, 2008).

    Dermis atau korium tebalnya 3-5 mm merupakan anyaman serabut

    kolagen dan elastin, yang bertanggung jawab untuk sifat-sifat penting dari kulit.

    Dermis mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, gelembung rambut,

    kelenjar lemak (sebasea), kelenjar keringat, otot dan serabut saraf. Daerah atas

    dari dermis terdapat papillae membentuk lapisan papila yang berhubungan

    kedalam epidermis. Lapisan sub kutan (hypodermis) merupakan kelanjutan dari

    dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak (Ackerman, 1987;

    Ansel, 1989 dalam Simanjuntak, 2009). Kulit mempunyai beberapa fungsi yaitu,

    mengatur suhu tubuh, pertahanan, sensasi, ekskresi, imunitas, sintesis vitamin D.

    2.4 Absorbsi Obat Melalui Kulit

    Tujuan umum penggunaan obat topikal pada terapi adalah untuk

    menghasilkan efek terapeutik pada tempat-tempat spesifik di jaringan epidermis.

    Daerah yang terkena umumnya epidermis dan dermis, sedangkan obat-obat

    topikal tertentu seperti emoliens (pelembab), antimikroba dan deodorant terutama

    bekerja di permukaan kulit saja. Hal ini memerlukan penetrasi difusi dari kulit

    atau absorbsi perkutan (Lachman, dkk., 1994 dalam Simanjuntak, 2008).

  • 11

    Faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi kulit sangat bergantung dari

    sifat fisika kimia obat dan juga tergantung pada zat pembawa, pH, dan

    konsentrasi. Perbedaan fisiologis melibatkan kondisi kulit dalam keadaan baik

    atau terluka, umur kulit, perbedaan spesies, dan kelembaban yang dikandung oleh

    kulit (Lachman. dkk, 1994 dalam Simanjuntak, 2008).

    2.4.1 Fisiologi Kulit dan Pengaruhnya Terhadap Absorbsi Bahan Obat

    Lapisan kulit terluar, stratum korneum yang mati (lapisan tanduk)

    merupakan perintang sejati untuk absorbsi obat. Lapisan ini terdiri dari sel-sel

    datar, mati, dan berisi zat tanduk, yang kira-kira mengandung 50% keratin dan

    sedikit air (10-15%). Sel-sel ini dapat membengkak dan mampu menarik air

    sampai 50% sehingga ketebalannya dapat meningkat dari 5-10 menjadi 80 mm.

    Keseluruhan stratum korneum diperbaharui setiap 14 hari. Lapisan ini menjadi

    muara bagi kelenjar keringat dan folikel rambut, sehingga secara skematik

    terdapat empat kemungkinan yang memungkinkan stratum korneum dilintasi yaitu

    interseluler, transeluler, transgandular dan transfolikel (Lachman. dkk, 1994

    dalam Simanjuntak, 2008).

    2.5 Pengertian luka

    Luka adalah suatu keadaan kerusakan jaringan dan dapat mengenai

    struktur yang lebih dalam dari kulit seperti saraf, otot, atau membran. Menurut

    Karakata dan Bachsinar (1996) yang dikutip oleh Simanjuntak (2008)

    menyebutkan luka, cacat atau kerusakan kulit dan jaringan dibawahnya

    disebabkan oleh: (1) trauma mekanis yang disebabkan karena tergesek, terpotong,

    terpukul, tertusuk, terbentur dan terjepit, (2) trauma elektris yang disebabkan

    cedera karena listrik dan petir, (3) trauma termis yang disebabkan oleh panas dan

    dingin, (4) trauma kimia yang disebabkan oleh zat kimia yang bersifat asam dan

    basa serta zat iritatif lainnya.

    2.5.1 Klasifikasi Luka

    Menurut Karakata dan Bachsinar (1996) yang dikutip oleh Simanjuntak

    (2008) berdasarkan kedalaman jaringan yang dikenai, luka dapat dibagi dua yaitu:

    (1) simpleks, bila hanya melibatkan kulit, (2) komplikatum, bila melibatkan kulit

  • 12

    dan jaringan dibawahnya. Menurut Karakata dan Bachsinar (1996) yang dikutip

    oleh Simanjuntak (2008) berdasarkan keadaannya luka dibagi atas dua bagian,

    yaitu:

    1. Luka tertutup

    Dalam hal ini kulit masih utuh, ontohnya (a) vulnus contussum atau luka

    memar. Di sini kulit tidak rusak, tetapi pada pembuluh darah sub kutan, sehingga

    dapat terjadi hematom, (b) vulnus traumaticum. Terjadi di dalam tubuh, tetapi

    tidak tampak dari luar.

    2. Luka terbuka.

    Dalam keadaan ini kulit sudah robek, contohnya: (a) ekskoriasi atau luka

    lecet adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda

    berpermukaan kasar atau rata, (b) vulnus scissum adalah luka sayat atau luka iris

    yang ditandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan, (c) vulnus

    laceratum atau luka robek adalah luka dengan tepi tidak beraturan atau compang-

    camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul, (d) vulnus punctum

    atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya

    kedalaman luka lebih dari lebarnya, (e) vulnus caesum atau luka potong adalah

    luka yang disebabkan oleh benda tajam yang besar, dengan tepi tajam dan rata, (f)

    vulnus sclopetorum atau luka tembak yang terjadi karena tembakan, granat, dan

    sebagainya, dengan tepi luka yang tidak teratur, (g) vulnus morsum atau luka gigit

    yang disebabkan oleh gigitan binatang atau manusia, bentuk luka tergantung

    bentuk gigi penggigit.

    2.5.2 Penyembuhan Luka

    Penyembuhan luka merupakan proses terus menerus dari peradangan dan

    perbaikan, dimana sel-sel inflamasi, epitel, endotel, trombosit dan fibroblast

    keluar secara bersamaan dari tempatnya semula dan berinteraksi untuk

    memperbaiki kerusakan. Menurut Potter (2006), sifat penyembuhan pada semua

    luka sama, dengan variasinya bergantung pada lokasi, keparahan, dan luasnya

    cedera. Kemampuan sel dan jaringan melakukan regenerasi atau kembali ke

    struktur normal melalui pertumbuhan sel juga mempengaruhi penyembuhan luka.

  • 13

    Ada dua jenis luka, yaitu luka jaringan yang hilang dan luka jaringan tanpa yang

    hilang. Insisi bedah yang bersih merupakan contoh luka dengan sedikit jaringan

    yang hilang. Luka bedah akan menyalami penyembuhan primer. Tepi-tepi luka

    akan merapat atau saling berdekatan sehingga mempunyai resiko infeksi yang

    rendah. Sebaliknya luka dengan kehilangan sel atau jaringan lebih luas, seperi:

    infark, ulcerasi radang, pembentukan abses, atau bahkan luka besar akan

    mengalami penyembuhan sekunder. Tepi luka akan tetap terbuka sehingga terisi

    oleh jaringan parut. Penyembuhan sekunder memerlukan waktu yang lebih lama

    (Potter, 2006). Perawatan luka yang efektif diperlukan untuk membantu proses

    penyembuhan luka. Perawatan luka terdiri dari pembersihan luka, debridement

    dan pembalutan. Tidak ada standar yang ditetapkan untuk frekuensi dilakukannya

    pembersihan luka maupun pembalutan. Hal ini tergantung pada kondisi luka dan

    banyaknya sekret (pus) yang dihasilkan.

    Pembersihan luka bukan pembedahan biasanya dilakukan sehari sekali.

    Pembersihan luka yang terlalu sering mengurangi kemungkinan luka istirahat

    sehingga memperlambat kesembuhan (Bachsinar, 1995 dalam Simanjuntak,2008).

    Luka yang bertahan lama pada kulit akan menimbulkan trauma dan gangguan

    bagi penderitanya sehingga sangatlah penting untuk memperhatikan kecepatan

    proses kesembuhan luka itu sendiri. Penyembuhan luka merupakan serangkaian

    proses yang kompleks karena merupakan suatu kegiatan bioseluler yang terjadi

    secara berurutan dan dipengaruhi oleh banyak faktor baik itu intrinsik maupun

    ekstrinsik (Price dan Wilson, 2006 dalam Simanjuntak, 2008).

    Menurut Kumar, dkk (2007) penyembuhan luka merupakan fenomena

    kompleks dan melibatkan berbagai proses dengan urutan sebagai berikut: (1)

    induksi respon peradangan akut oleh jejas awal, (2) regenerasi sel parenkimal, (3)

    migrasi dan proliferasi, baik sel parenkim maupun sel jaringan ikat, (4) sintesis

    protein extra cellular matrix (ECM), (5) remodeling unsur parenkim untuk

    mengembalikan fungsi jaringan, (6) remodeling jaringan ikat untuk memperoleh

    kekuatan luka.

    Terdapat sejumlah faktor sistemik dan faktor lokal yang dapat

    mengganggu penyembuhan luka. Faktor sistemik yang mempengaruhi

  • 14

    penyembuhan luka antara lain (1) nutrisi, pengaruhnya sangat menonjol terutama

    pada defisiensi protein dan vitamin C akan mengganggu sintesis kolagen dan

    memperlama penyembuhan luka, (2) status metabolik, misalnya diabetes melitus,

    (3) status sirkulasi darah, misalnya arteriosklerosis, tersedianya darah pada tempat

    luka tidak cukup, begitu juga pada kelainan vena dimana sirkulasi darah tidak

    lancar, (4) hormon glukokortikoid mempunyai pengaruh anti inflamasi

    menghambat pembentukan fibroblas, mengganggu sintesis kolagen.

    Faktor lokal yang berpengaruh terhadap penyembuhan luka antara lain :

    (1) infeksi, merupakan penyebab tunggal keterlambatan penyembuhan luka, (2)

    faktor mekanik misalnya mobilisasi dini, memperlambat penyembuhan luka, (3)

    benda asing seperti benang jahitan yang tidak teresorbsi, fragmen baja, kaca,

    pecahan tulang merupakan halangan untuk penyembuhan luka, (4) macam, lokasi

    dan ukuran besarnya luka mempengaruhi penyembuhan.

    2.5.3 Fisiologi Kesembuhan Luka

    Menurut Morrison (2004) proses fisiologis kesembuhan luka dapat dibagi

    kedalam 4 fase utama, yaitu :

    1. Respon inflamasi akut terhadap cidera (durasi fase 0-3 hari) Hemostasis :

    vasokonstriksi sementara dari pembuluh darah yang rusak, terjadi pada saat

    sumbatan trombosit dibentuk dan diperkuat juga oleh serabut fibrin untuk

    membentuk sebuah bekuan. Respon jaringan yang rusak dan sel mast melepaskan

    histamine dan mediator lain, sehingga menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh

    darah sekeliling yang masih utuh serta meningkatnya penyediaan darah ke daerah

    tersebut sehingga menjadi merah dan hangat. Permeabilitas kapiler darah

    meningkat dan cairan yang kaya protein mengalir ke interstisial menyebabkan

    oedema local. Peradangan akut merupakan respon langsung tubuh terhadap cidera

    atau kematian sel, yang secara makroskopik digambarkan dalam karakteristik atau

    tanda-tanda pokok dari peradangan akut yaitu adanya kemerahan, panas, nyeri dan

    pembengkakan.

    2. Fase destruktif (durasi fase 1-6 hari) Pembersihan terhadap jaringan mati atau

    yang mengalami devitalisasi dan bakteri oleh polimorf dan makrofag. Polimorf

    menelan dan menghancurkan bakteri.

  • 15

    3. Fase proliferasi (durasi fase 3-24 hari) Fibroblas meletakan subtansi dasar dan

    serabut-serabut kolagen serta pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi luka.

    Tanda-tanda inflamasi mulai berkurang, jaringan yang dibentuk dari gelung

    kapiler baru, yang menopang kolagen dan subtansi dasar, disebut jaringan

    granulasi. Menurut Cotran, (1999) yang dikutip oleh Triyono, (2005) apabila tidak

    ada kontaminasi atau infeksi yang bermakna, fase inflamasi berlangsung pendek.

    Setelah luka berhasil dibersihkan dari jaringan mati dan sisa material yang tidak

    berguna, dimulailah fase proliferasi. Fase proliferasi ditandai dengan

    pembentukan jaringan granulasi pada luka. Jaringan granulasi merupakan

    kombinasi dari elemen seluler termasuk fibroblast dan sel inflamasi, yang

    bersamaan dengan timbulnya kapiler baru tertanam dalam jaringan longgar ekstra

    seluler dari matriks kolagen, fibronektin dan asam hialuronik. Fibroblast muncul

    pertama kali secara bermakna pada hari ke 3 dan mencapai puncak pada hari ke

    7.Fibroblast ini berasal dari sel-sel mesenkimal lokal, terutama yang berhubungan

    dengan lapisan adventisia, pertumbuhannya disebabkan oleh sitokin yang

    diproduksi oleh makrofag dan limfosit. Fibroblast merupakan elemen utama pada

    proses perbaikan untuk pembentukan protein struktural yang berperan dalam

    pembentukan jaringan. Fibroblast juga memproduksi kolagen dalam jumlah besar,

    kolagen ini berupa glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks luka

    ekstraseluler yang berguna membentuk kekuatan pada jaringan parut. Kolagen

    pertama kali dideteksi pada hari ke 3 setelah luka, meningkat sampai minggu ke-

    3. Kolagen terus menumpuk sampai tiga bulan

    4. Fase maturasi (durasi fase 24-365 hari) Epitelisasi, kontraksi dan reorganisasi

    jaringan ikat. Dalam setiap cidera yang mengakibatkan hilangnya kulit, sel epitel

    pada pinggir luka dan dari sisa-sisa folikel rambut membelah dan mulai

    bermigrasi di atas jaringan granula baru.

    2.6 Gangguan Kesembuhan Luka

    Kesembuhan luka dapat terganggu disebabkan oleh dua faktor : faktor

    endogen dan eksogen (Syamsuhidayat dan Jong, 1997 dalam Simanjuntak, 2008).

    Penyebab endogen terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut

  • 16

    koagulopati dan gangguan sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan

    menghambat kesembuhan luka sebab hemeostasis merupakan titik tolak dan dasar

    fase inflamasi. Gangguan sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi

    tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi (Syamsuhidayat dan

    Jong, 1997 dalam Simanjuntak, 2008).

    Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan

    mengganggu mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut.

    Pemberian sitostatik, obat penekan imun, misalnya setelah transplantasi organ,

    dan kortikosteroid juga akan mempengaruhi kesembuhan luka. Pengaruh setempat

    seperti hematom, benda asing, jaringan mati seperti sekuester dan nekrosis serta

    adanya infeksi sangat menghambat kesembuhan luka (Syamsuhidayat dan Jong,

    1997 dalam Simanjuntak, 2008). Infeksi merupakan penyebab tunggal terpenting

    melambatnya penyembuhan, dengan memperpanjang fase peradangan dan

    berpotensi meningkatkan jejas jaringan lokal (Kumar dkk, 2007).

    2.7 Staphylococcus aureus

    Klasifikasi Staphylococcus aureus menurut Salle (1961) dalam Dianasari

    (2009) adalah :

    Kingdom : Bacteria

    Divisio : Protophyta

    Subdivisio : Schizomycetea

    Classis : Schizomycetes

    Ordo : Eubacteriales

    Familia : Micrococcaceae

    Genus : Staphylococcus

    Species : Staphylococcus aureus

    Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat

    dengan diameter 0,8-1 mm, dapat berdiri sendiri, berpasangan membentuk rantai

    atau berkelompok tidak teratur. Staphylococcus aureus mudah tumbuh pada

    kebanyakan pembenihan bakteriologik, dalam keadaan aerobik atau mikroaerobik.

  • 17

    Staphylococcus aureus tumbuh paling cepat pada suhu kamar 37C, paling baik

    membentuk pigmen pada suhu kamar (20-25C) dan pada media dengan pH 7,2-

    7,4. Koloni pada perbenihan padat berbentuk bulat, halus menonjol, dan berwarna

    abu-abu sampai kuning emas tua (Jawetz dkk., 1996).

    Staphylococcus aureus merupakan bakteri koagulase positif, hal ini

    membedakannya dengan spesies lain. Staphylococcus aureus merupakan patogen

    utama bagi manusia dan hewan, sering menghemolisa darah, mengkoagulasi

    plasma, serta menghasilkan berbagai enzim ekstraseluler dan toksin.

    Staphylococcus cepat menjadi resisten terhadap banyak zat antimikroba sehingga

    menimbulkan masalah pengobatan yang sulit (Jawetz dkk., 1996).

    2.8 Antimikroba

    Zat antimikroba dapat bersifat bakteriostatik yaitu bersifat menghambat

    perkembangbiakan bakteri atau bakteriosidal yang memiliki sifat mematikan

    bakteri (Jawetz dkk, 1996). Kerja bakterisidal berbeda dari bakteriostatis dalam

    hal tidak dapat dipulihkan lagi, yaitu bakteri yang dimatikan tidak dapat lagi

    berkembang biak, meskipun sudah tidak terkena zat itu lagi (Jawetz dkk, 1996).

    2.9 Bahan Tambahan Larutan Antiseptik

    Dalam pembuatan larutan antiseptik ekstrak daun sirih merah ini

    menggunakan zat-zat tambahan sebagai berikut :

    2.9.1 Disodium Hidrogen Posfat

    Disodium Hidrogen Posfat tidak kompatibel dengan alkaloid, antipyrine,

    chloral hydrate, timbal asetat, pirogalol, resorsinol dan kalsium glukonat, dan

    ciprofloxacin. Interaksi antara kalsium dan fosfat, yang mengarah pada

    pembentukan larut kalsium-fosfat mengendap, mungkin dalam parenteral

    admixtures.

    Bentuk anhidrat dari Disodium Hidrogen Posfat bersifat higroskopis. Ketika

    dipanaskan sampai 40oC, sekering dodekahidrat, pada 100

    oC kehilangan air

    kristalisasi, dan pada panas (sekitar 240oC) itu diubah menjadi pirofosfat tersebut,

    Na4P2O7. Larutan berair dari Disodium Hidrogen Posfat stabil dan dapat

  • 18

    disterilkan dengan autoklaf. Bahan massal harus disimpan dalam wadah kedap

    udara. di tempat yang sejuk dan kering.

    Kelarutan sangat mudah larut dalam air. Memiliki fungsi sebagai larutan

    penyangga (HOPE ed 5, 694).

    2.9.2 Asam Sitrat

    Asam sitrat (C6H8O7) merupakan hablur bening, tidak berwarna atau serbuk

    hablur granul sampai halus, putih, tidak berbau atau praktis tidak berbau, rasa

    sangat asam. Kelarutannya sangat mudah larut dalam air, mudah larut dalam

    etanol, agak sukar larut dalam eter (FI IV, 48). Asam sitrat memiliki kelarutan

    yang tinggi dalam air dan mudah diperoleh dalam bentuk granular (Rohdiana,

    2002).

    2.9.3 Sodium Lauril Sulfat

    Sodium lauril sulfat adalah campuran dari natrium alkil sulfat, sebagian

    besar mengandung natrium lauril sulfat, CH3(CH2)10CH2OSO3Na. Kandungan

    campuran natrium klorida dan natrium sulfat tidak lebih dari 8,0 %. Merupakan

    hablur, kecil, berwarna putih atau kuning muda, agak berbau khas. Memiliki

    kelarutan yang mudah larut dalam air (FI IV, 595).

    2.9.4 Aquadest

    Akuades adalah air murni yang diperoleh dengan cara penyulingan. Air

    murni dapat diperoleh dengan cara penyulingan, pertukaran ion, osmosis terbalik

    atau dengan cara yang sesuai. Air murni lebih bebas kotoran maupun mikroba. Air

    murni digunakan dalam sediaan-sediaan yang membutuhkan air terkecuali untuk

    parenteral, akuades tidak dapat digunakan (Budiman, Muhammad Haqqi. 2008).

  • 19

    BAB III

    METODOLOGI PERCOBAAN

    3.1 Alat dan Bahan

    3.1.1 Alat

    Alat yang digunakan adalah alat pengaduk, corong, kertas saring,

    evaporator, Erlenmeyer, timbangan analitik, gelas piala, gelas ukur, alat

    maserator, rotary evaporator, pH meter atau pH universal.

    3.1.2 Bahan

    Bahan yang digunakan dalam percobaan ini meliputi bahan utama dan

    bahan tambahan serta bahan analisis. Bahan utama yang digunakan adalah

    simplisia daun sirih. Bahan tambahan yang digunakan adalah disodium hidrogen

    posfat, asam sitrat, sodium lauryl sulfat, dan aquadest. Bahan analisis yang

    digunakan adalah etanol 70%, N-heksan, dan reagen untuk keperluan skrining

    fitokimia.

    3.2 Metode Percobaan

    3.2.1 Determinasi Bahan

    Bahan adalah daun sirih merah yang berasal dari Kp.Angkrek-Cibatu,

    Kabupaten Garut yang dideterminasi di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati,

    Institut Teknologi Bandung.

    3.2.2 Pembuatan Serbuk Simplisia

    Daun yang akan diolah menjadi serbuk daun sirih merah dipilih yang

    segar, sehat dan berkualitas. Daun yang demikian ialah daun yang tidak busuk,

    caat, atau pecah, juga bebas hama penyakit. Daun dikumpulkan, dilakukan sortasi

    basah, kemudian dicuci dengan air bersih lalu ditiriskan, dan dikeringkan dibawah

    sinar matahari. Simplisia yang telah kering, dilakukan sortasi kering dan diserbuk

    dengan menggunakan blender kemudian diayak.

  • 20

    3.2.3 Pemeriksaan Mutu Serbuk

    Pemeriksaan mutu serbuk meliputi: identifikasi serbuk yaitu pemeriksaan

    organoleptis meliputi bau, bentuk dan warna, pemeriksaan kadar air serbuk

    (dengan menggunakan metode destilasi toluene), dan skrining fitokimia.

    3.2.4 Skrining fitokimia

    3.2.4.1 Pemeriksaan senyawa alkaloid

    Simplisia ditambah amonia encer lalu digerus dalam mortar. Tambahkan

    beberapa mililiter kloroform sambil terus digerus. Filtrat disaring dan dikocok

    dengan asam klorida 2N. Lapisan asam dipisahkan kemudian dibagi menjadi 3

    bagian. Bagian pertama digunakan sebagai blangko. Bagian kedua ditetesi dengan

    larutan pereaksi Mayer dan bagian ketiga ditetesi pereaksi Bouchardat.

    Terbentuknya endapan putih pada pereaksi Mayer dan endapan jingga coklat pada

    penambahan pereaksi Bouchardat menunjukkan reaksi positif adanya alkaloid

    (Farnsworth, 1966).

    3.2.4.2 Pemeriksaan senyawa saponin

    Simplisia ditambahkan air dan digerus dalam mortar hingga lumat. Hasil

    penggerusan dipindahkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan lagi sedikit air

    dan dipanaskan. Setelah dingin tabung dikocok kuat selama beberapa menit.

    Pembentukan busa sekurang-kurangnya setinggi 1 cm yang persisten selama

    beberapa menit dan tidak hilang dengan penambahan asam menunjukkan adanya

    saponin (Farnsworth, 1966).

    3.2.4.3 Pemeriksaan senyawa tanin dan polifenol

    Simplisia digerus dalam mortir dan dipanaskan di atas penangas kemudian

    disaring. Filtrat dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama ditetesi dengan pereaksi

    besi (III) klorida. Terbentuknya warna biru hitam menunjukkan adanya tanin dan

    polifenolat. Bagian kedua ditambahkan larutan gelatin 1%. Adanya endapan putih

    menunjukkan bahwa dalam simplisia terdapat tanin (Farnsworth, 1966).

    3.2.4.4 Pemeriksaan senyawa flavonoid

    Simplisia digerus dalam mortir dan dipanaskan dengan air di atas

    penangas kemudian disaring. Filtrat yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke

    dalam tabung reaksi. Setelah itu tambahkan serbuk Zn, larutan alkohol:asam

  • 21

    klorida (1:1) dan amil alkohol ke dalam filtrat. Campuran kemudian dikocok kuat-

    kuat. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat berwarna merah, kuning atau

    jingga yang dapat ditarik oleh amil alkohol (Soetarno, 1997; Farnsworth, 1966).

    3.2.4.5 Pemeriksaan senyawa kuinon

    Simplisia digerus dalam mortir dan dipanaskan dengan air di atas

    penangas kemudian disaring. Filtrat ditetesi dengan larutan NaOH. Terbentuknya

    warna kuning hingga merah menunjukkan adanya senyawa kelompok kuinon

    (Farnsworth, 1966).

    3.2.4.6 Pemeriksaan senyawa triterpenoid dan steroid

    Simplisia disari dengan eter. Sari eter kemudian diuapkan hingga kering.

    Pada residu diteteskan pereaksi Lieberman-Burchard. Penambahan pereaksi

    dilakuakan dalam keadaan dingin. Terbentuknya warna ungu menunjukkan bahwa

    dalam simplisia terkandung senyawa triterpenoid, sedangkan bila terbentuk warna

    hijau biru menunjukkan adanya kelompok steroid

    3.2.4.7 Pemeriksaan senyawa monoterpenoid dan seskuiterpenoid

    Simplisia disari dengan eter, sari eter kemudian diuapkan hingga kering.

    Pada residu diteteskan pereaksi anisaldehid-asam sulfat atau vanilin-asam sulfat.

    Penambahan reaksi dilakukan dalam keadaan dingin. Terbentuknya warna ungu

    menunjukkan adanya senyawa monoterpenoid dan seskuiterpenoid.

    3.2.5 Pembuatan Ekstrak secara Maserasi

    Serbuk daun sirih merah 500 gram dimaserasi dengan pelarut N-heksan

    sebanyak 8 kali dengan penggantian pelarut. Pelarut N-heksan diperlukan untuk

    menghilangkan lemak daun dan klorofil yang tidak diperlukan. Selanjutnya

    simplisia di keringkan selama satu hari, dan dilanjutkan maserasi dengan pelarut

    etanol 70% selama 3 x 24 jam dengan penggantian pelarut. Maserat yang

    diperoleh dengan pelarut etanol 70% kemudian dievaporasi dengan menggunakan

    rotary evaporator pada suhu 40OC sehingga diperoleh ekstrak kental.

  • 22

    3.2.6 Pemeriksaan Kualitas Ekstrak Kental

    3.2.6.1 Pemeriksaan Organoleptis

    Dilakukan pemeriksaan menggunakan panca indera untuk

    mendeskripsikan bentuk, warna, dan bau ekstrak (Depkes, 2000).

    3.2.6.2 Uji Kadar air

    Penetapan kadar air dilakukan dengan metode azeotropi (destilasi toluene).

    Pada metode destilasi harus menggunakan pelarut yang mempunyai massa jenis

    lebih ringan daripada air dan mempunyai titik didih lebih besar daripada air,

    contohnya toluene. Air yang masuk ke dalam kondensor harus mengalir. Pada

    metode ini, sampel dan pelarut dimasukkan dalam labu sampai sampel terendam

    kemudian dipanaskan sehingga terjadi penguapan. Uap yang terbentuk akan naik

    dan masuk ke kondensor yang mengkondensasi uap sehingga akan mencair

    kembali dan ditampung untuk mengukur kadar airnya.

    3.2.6.3 Penetapan Bobot Jenis

    Piknometer ditimbang dalam keadaan kosong. Kemudian piknometer diisi

    penuh dengan air dan ditimbang, sehingga kerapatan air dapat ditetapkan.

    Kemudian piknometer dikosongkan dan diisi penuh dengan ekstrak, lalu

    ditimbang sehingga kerapatan ekstrak ditetapkan.

    3.2.6.4 Kadar Abu

    Sebanyak 2 gram ekstrak ditimbang seksama dimasukkan ke dalam krus

    platina atau silikat yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar

    perlahan-lahan sampai arang habis. Kemudian ditimbang sampai diperoleh bobot

    tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

    3.2.6.5 Kadar Abu Tidak Larut Asam

    Abu yang telah diperoleh ddaam penetapan abu dididihkan dengan 25 ml

    asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam

    dikumpulkan, disaring dengan kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas,

    dipijarkan sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu

    yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bobot yang dikeringkan di udara.

  • 23

    3.2.6.6 Kadar Sari Larut Air

    Sebanyak 5 gram ekstrak, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air

    kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling 100 ml) dalam labu bersumbat

    sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam,

    kemudian disaring. Filtrat sebanyak 20 ml diuapkan sampai kering dalam cawan

    penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan

    pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air

    dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

    3.2.6.7 Kadar Sari Larut Etanol

    Sebanyak 5 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol

    (95%) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama,

    dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Sebanyak 20 ml filtrat di uapkan

    sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan

    dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105 oC sampai bobot tetap. Kadar dalam

    persen sari yang larut dalam etanol (95%) dihitung terhadap bahan yang telah

    dikeringkan di udara.

    3.2.7 Preformulasi

    Pada tahap ini dilakukan studi literatur tentang sifat fisika kimia zat aktif

    dan zat tambahan serta ketercampuran dari bahan-bahan yang dugunakan.

    3.2.8 Pengumpulan Bahan

    Pada tahap ini dilakukan pengumpulan bahan untuk pembuatan larutan

    antiseptik yang terdiri dari ekstrak daun sirih merah, disodium hydrogen posfat,

    asam sitrat, sodium lauryl sulfat, dan aquadest.

  • 24

    3.2.9 Formulasi

    Penentuan formulasi larutan antiseptik yang digunakan dalam percobaan

    ini berdasar pada Drug Formulation Manual, yaitu :

    Bahan F1 F2 F3 F4

    Ekstrak daun sirih 0% 5% 10% 15%

    Disodium Hidrogen Posfat 3,83 % 3,83 % 3,83 % 3,83 %

    Asam Sitrat 1,1 % 1,1 % 1,1 % 1,1 %

    Sodium Lauril Sulfat 0,5 % 0,5 % 0,5 % 0,5 %

    Aquadest add 100 mL add 100 mL add 100 mL add 100 mL

    Prosedur pembuatan :

    1. Ambil 30 mL dari 100 mL aquadest. Tambahkan Na2HPO4 sedikit demi

    sedikit diaduk sampai melarut. Kemudian tambahkan asam sitrat sedikit demi

    sedikit diaduk-aduk sampai hancur dan terlarut. Cek pH dan harus berada

    dalam rentang 4-6.

    2. Ambil lagi 30 mL aquadest tambahkan ekstrak daun sirih dengan perlahan dan

    sedikit demi sedikit dengan konstan pengadukan. Pastikan ekstrak telah

    terlarut sempurna.

    3. Pindahkan larutan ekstrak ke wadah larutan peyangga. Aduk larutan selama

    30 menit.

    4. Buat larutan menjadi 70 mL dengan aquadest.

    5. Ambil 10 mL aqua destilata ke bejana/wadah yang lain dan tambahkan

    Sodium Lauryl Sulfat, aduk sampai larut sempurna. Pindahkan larutan ini ke

    wadah utama.

    6. Jadikan larutan menjadi 100 mL dan aduk dengan sempurna selama 20 menit.

    7. Saring menggunakna mesh 100 bahan stainless

    8. Pastikan pH 4-6.

    9. Kirim ke tempat quality control. Untuk evaluasi.

  • 25

    3.2.10 Evaluasi Sediaan Larutan

    3.2.10.1 Organoleptis

    Meliputi warna, bau, bentuk atau kekeruhan pada penyimpanan masing-

    masing 12 jam.

    3.2.10.2 Volume Terpindahkan (FI IV, )

    Untuk penetapan volume terpindahkan, pilih tidak kurang dari 30 wadah,

    dan selanjutnya ikuti prosedur berikut untuk bentuk sediaan tersebut. Kocok isi

    dari 10 wadah satu persatu.

    Prosedur:

    Tuang isi perlahan-lahan dari tiap wadah ke dalam gelas ukur kering

    terpisah dengan kapasitas gelas ukur tidak lebih dari dua setengah kali volume

    yang diukur dan telah dikalibrasi, secara hati-hati untuk menghindarkan

    pembentukkan gelembung udaa pada waktu penuangan dan diamkan selama tidak

    lebih dari 30 menit.

    Jika telah bebas dari gelembung udara, ukur volume dari tiap

    campuran: volume rata-rata larutan yang diperoleh dari 10 wadah tidak kurang

    dari 100 %, dan tidak satupun volume wadah yang kurang dari 95 % dari volume

    yang dinyatakan pada etiket. Jika A adalah volume rata-rata kurang dari 100 %

    dari yang tertera pada etiket akan tetapi tidak ada satu wadahpun volumenya

    kurang dari 95 % dari volume yang tertera pada etiket, atau B tidak lebih dari satu

    wadah volume kurang dari 95 %, tetapi tidak kurang dari 90 % dari volume yang

    tertera pada etiket, lakukan pengujian terdadap 20 wadah tambahan. Volume rata-

    rata larutan yang diperoleh dari 30 wadah tidak kurang dari 100 % dari volume

    yang tertera pada etiket, dan tidak lebih dari satu dari 30 wadah volume kurang

    dari 95 %, tetapi tidak kurang dari 90 % seperti yang tertera pada etiket. (Voigt,

    R. 1995).

    3.2.10.3 Pemeriksaan pH

    Sediaan larutan diukur pH-nya menggunakan pH meter.