141407002 jaminan dalam pembiayaan syariah kafalah dan rahan
TRANSCRIPT
Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010
JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN SYARIAH (KAFALAH DAN RAHAN)
Tukimin, SE1
Abstrak
Kafalah adalah jaminan dari penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada pihak kedua sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban pihak kedua tersebut kepada pihak lain (pihak pertama). Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn yang juga bermakna barang jaminan, namun barang jaminannya dari orang yang berhutang. Ulama madzhab fikih membolehkan kedua jenis kafalah tersebut, baik diri maupun barang.
A. Kafalah
Dalam dunia usaha, modal merupakan sesuatu yang penting. Modal tersebut dapat bersifat
material, atau immaterial (skill, trust, dan sebagainya). Untuk memenuhi kebutuhan modal,
seorang pengusaha bisa menggunakan modal sendiri atau meminjam kepada pihak lain seperti
bank. Untuk melakukan pinjaman tersebut biasanya diperlukan beberapa syarat, di antaranya
kelayakan usaha, adanya kepercayaan (track record), dan adanya jaminan.
Berkaitan dengan jaminan ini, dapat dibedakan dalam jaminan perorangan (personal
guarantie) dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang
berpiutang dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berutang
(debitor). Ia bahkan dapat diadakan di luar atau tanpa pengetahuan si berutang tersebut.
Sedangkan jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditor dengan debitornya, tetapi juga
dapat diadakan antara kreditor dengan seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-
kewajiban si berutang (debitor). Soal jaminan, sebagaimana tersebut di atas, di dalam ajaran
Islam dikenal dengan konsep kafalah yang termasuk juga di dalam jenis dhamman (tanggungan).
1. Pengertian
Secara etimologis, kafalah berarti al-dhamma, artinya “menggabungkan”, yakni
menggabungkan dua tanggung jawab dalam suatu hal. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam surat Ali Imran (3): 37 yaitu “Allah menjadikan Zakaria sebagai penjaminnya
(Maryam)”. Di samping itu, kafalah berarti hamalah (beban) dan Za’amah (tanggungan). Di
sebut dhamman apabila penjaminan itu dikaitkan dengan harta, hamalah apabila dikaitkan
dengan diyat (denda dalam hukum qishash), za 'amah jika berkaitan dengan harta (barang
modal), dan kafalah apabila penjaminan itu dikaitkan dengan jiwa.
Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih selain Hanafi,
bahwa kafalah adalah, "menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang.”
1 Dosen Yayasan UMN Al Washliyah
1
Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010
Definisi lain adalah, "jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (mukful ‘anhu ashil)”.
Di dalam Kamus Istilah Fikih, kafalah diartikan menanggung atau penanggungan
terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari seseorang di mana padanya
ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam
hal tanggung jawab terhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih (utang).
Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan
sebagaimana tersebut di atas. Namun dalam perkembangannya, situasi telah rnengubah
pengertian ini. Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal guarantee, jaminan diri),
sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk harta secara mutlak.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah jaminan dari
penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada pihak kedua
sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban pihak kedua tersebut kepada pihak lain (pihak
pertama). Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn yang juga bermakna barang jaminan,
namun barang jaminannya dari orang yang berhutang. Ulama madzhab fikih membolehkan
kedua jenis kafalah tersebut, baik diri maupun barang.
Di dalam perundang-undangan Mesir misalnya, kafalah diartikan sebagai
menggabungkan tanggung jawab orang yang berhutang dan orang yang menjamin. Misalnya,
ada seseorang akan mengajukan kredit kepada bank, kemudian ada orang kedua yang
bertindak dan turut menjamin hutang seseorang tersebut. Ini berarti bahwa hutang tersebut
menjadi tanggung jawab orang pertama dan juga orang kedua..
Semakna dengan itu, KUH Perdata Pasal 1820 menyebutkan, bahwa penanggungan
adalah ”suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si
berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini
sendiri tidak memenuhinya.”
3. Rukun dan Syarat –syarat Kafalah
a. Pihak Penjamin (Kafiil)
1. Baligh (dewasa) dan berakal sehat;
2. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela
(ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
b. Pihak Orang yang berhutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)
1. Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin;
2. Dikenal oleh penjamin.
c. Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)
2
Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010
1. Diketahui identitasnya;
2. Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
3. Berakal sehat.
d. Obyek Penjaminan (Makful Bihi)
1. Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang, benda,
maupun pekerjaan;
2. Bisa dilaksanakan oleh penjamin;
3. Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali
setelah dibayar atau dibebaskan;
4. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya;
5. Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).
6. Praktek kafalah dalam Perbankan
Adapun praktik bank dalam membumikan prinsip kafalah yang sesuai dengan syariah
islam bisa dilangsungkan dalam praktik bank garansi dan Letter Of Credit. Praktik bank
garansi bisa diberlangsungkan dengan cara bank sebagai kafiil menerbitkan surat tanggungan
kepada pemilik proyek atau usaha dengan permintaan dari nasabah. Sehubungan dengan
kontrak atau transaksi yang telah disepakati sebelumnya antara bank, nasabah dan pemilik
proyek .Namun apabila terjadi hal-hal yang tak diinginkan seperti resiko di luar kesengajaan
ataupun kelalaian berdasarakan surat jaminan yang dikeluarkan oleh bank penjamin proyek
maka pihak ketiga/pemilik proyek dapat mengajukan klaim kepada penerbit bank garansi
tadi.
Dalam buku Konsep, Produkk, Dan Implementasi Operasional Bank Syariah surat
garansi yang dikeluarkan oleh bank garansi dapat di bagi menjadi enam bentuk surat
penjaminan garansi yang dikeluarkan oleh bank penjamin kepada yang dijamin agar proyek
usaha atau bisnisnya bisa selesai berdasarkan jangka waktu yang telah disepakati dengan
pemilik proyek:
a. Bid Bond
Secara umum bid bond penngertiannya sama dengan penjabaran arti dan makna dari
bank garansi di atas . yakin bank sebagai pihak penjamin mengeluarkan jaminan atas
permintaan nasabah untuk kepentingan pemilik proyek agar pengerjaan proyek tadi dapat
selesai dengan seksama dan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan di awal.
3
Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010
b. Performance Bond
Hampir sama dengan bid bond Jaminan yang diberikan oleh bank penjamin atas
permintaan nasabah untuk kepentingan pihak pemilik proyek. hanya saja dalam
Permormance Bond justru disengaja ditekankan kepada pihak yang mengelola proyek
terikat dengan kontrak dan hal ini juga menyebabkan pihak yang mengelola proyek tadi
bisa dengan aman dan nyaman serta sungguh-sungguh dalam pengerjaan proyek yang
tentunya pihak pengelola sangat ditekankan tanggung jawabnya kepada kepada pemilik
proyek.
c. Advance Payment Bond
Hampir sama dengan dua penjelasan di atas hanya saja yang menjadi perbedaannya
antara bank penjamin, pihak yang dijamin, dan pihak yang terjmain adalah pembayaran
di awal muka atau pembayaran termin oleh pemilik proyek kepada kontraktor.
d. Rentention Bond
Jaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan nasabah sebagai madhmun lahu
untuk kepentingan pemilik proyek yang menjadi mitra kerja nasabah . Ia berkaitan
dengan pemeliharaan hasil pekerjaan /proyek sampai batas waktu yang telah
diperjanjikan kontark kerja
e. Custom Bond
Berkaitan erat dengan penangguhan bea masuk atas barang-barang impor yang
dimintakan penangguhan pembayarannya apabila memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan penangguhan pembayarannnya.
B. Ar Rahan
1. Pengertian
Secara etimologi kata Ar-Rahan berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad Ar-Rahn dalam
istilah hukum positif disebut dengan jaminan, aggunan dan rungguhan. Dalam islam Ar-Rahn
merupakan sarana saling tolong menolong bagi umat islam tanpa adanya imbalan jasa. Ada
beberapa definisi Ar-Rahn ulama Malikiyah mendenifisikannya dengan: harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat, ada pun yang dijadikan barang
jaminan (agunan) bukan saja yang bersifat materi, tetapi juga bersifat manfaat, benda yang
dijadikan barang jaminan (agunan) tidak harus diserahkan secara aktual tetapi boleh juga
pengesahannya secara hukum.
4
Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010
Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad Ar-Rahn di bolehkan dalam islam
berdasarkan Al-qur’an dan sunah rosul. Ar-Rahnu ditubuhkan atas dasar Fardhu Kifayah dan
bukan atas dasar keuntungan semata-mata oleh, pelaksanaannya. Antara tujuan utamanya
ialah untuk menghapuskan riba atau hasil bunga (faedah) dan gharar yang dikenakan oleh
pengusaha kedai pajak gadai secara konvensional.
Ar-Rahnu dari sudut bahasa bermakna mantap dan berkekalan. Misalnya, keadaan yang
mantap ataupun ia bermakna tahanan, seperti firman Allah S.W.T. yang bermaksud:"Tiap-
tiap diri terikat, tidak terlepas daripada (balasan buruk bagi amal jahat) yang
dikerjakannya.............".(Surah al-Muddaththir 74:38)
Ar Rahnu adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta (nilai ekonomis)
sebagai jaminan hutang, hingga pemilik barang yang bersangkutan boleh mengambil hutang.
Ar-Rahn berarti juga pledge atau pawn (gadai), yaitu kontrak atau akad penjaminan dan
mengikat saat hak penguasaan atas barang jaminan berpindah tangan. Dalam kontrak
tersebut, tidak terjadi pemindahan kepemilikan atas barang jaminan. Atau dengan kata lain,
merupakan akad penyerahan barang dari nasabah kepada bank sebagai jaminan sebagian atau
seluruhnya atas hutang yang dimiliki nasabah. Dengan demikian, pemindahan kepemilikan
atas barang hanya terjadi dalam kondisi tertentu sebagai efek atau akibat dari kontrak. Ar-
Rahnu dari sudut syarak merujuk kepada satu barang yang berharga dijadikan sebagai
sandaran yang terikat dengan hutang bercagar yang boleh dibayar dengannya sekiranya
hutang tersebut tidak dapat dijelaskan.
Ahmad Azhar Basyir mentakrifkan Ar-Rahnu sebagai "menjadikan suatu benda yang
bernilai menurut pandangan syara" sebagai tanggungan hutang dengan adanya benda yang
menjadi tanggungan itu seluruh atau sebahagian hutang dapat diterima".
H.M Arsjad Thalib Lubis mentakrifkan Ar-Rahnu sebagai "menjadi suatu barang
yang berupa harta dan ada harganya jadi jaminan hutang dan ia akan dijadikan
pembayarannya jika hutang itu tidak dapat dibayar".
Abdul Rahman Al-Jaziri menerangkan bahawa Ar-Rahnu menurut syara’ berarti "
menjadikan barang yang ada harganya menurut pandangan syara’ sebagai jaminan
kepercayaan hutang piutang. Dalam erti seluruh hutang atau sebahagiannya dapat diambil,
sebab sudah ada barang jaminan tersebut. Ar-Rahnu boleh ditakrifkan sebagai keadaan di
mana penghutang atau penerima pinjaman menyandarkan barangan kepunyaan sebagai
jaminan kepada hutang atau pinjaman yang diterima daripada pemiutang atau pemberi
pinjaman.
5
Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010
3. Rukun Ar-Rahn
a. Penggadai atau orang yang menggadai; iaitu orang yang berhutang;
b. Penerima gadaian atau pemegang gadai; iaitu pihak yang memberi pinjaman;
c. barang gadaian; iaitu barang yang berharga yang dipunyai dan dalam kawalan penerima
pinjaman;
d. Tanggungan gadaian; iaitu jumlah yang berhutang;
e. Sighah atau perjanjian; iaitu perjanjian berkaitan pinjaman/ hutang dan gadaian.
5. Pendapat Ulama tentang Rahan
a. Pendapat Imam Syafii
Dalam kitab al-Um’nya Imam Syafii menjelaskan tetang pemanfaataan barang
jaminan sebagai berikut: “Manfaat dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan,
tidak ada sesuatu pun dari barang jaminan itu bagi yang menerima gadai.”
Sedangkan pendapat senada diutarakan Ulama Safiiyah bahwa orang yang
menggadaikan adalah yang mempunyai hak atas manfaat barang yang digadaikan,
meskipun barang yang digadai itu ada di bawah kekuasaan penerima gadai,
Kekuasaannya atas barang yang digadai tidak hilang kecuali ketika mengambil manfaat
atas barang gadai tersebut. Sedangkan penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat
barang gadai jika hal itu disyaratkan dalam akad, tetapi jika mengambil manfaatnya itu
diizinkan oleh orang yang menggadai maka itu diperbolehkan.
Ulama Safiiyah menyandarkan pendapat ini pada hadist yang diriwayatkan dari
Abu Hurairah sebagai berikut: “Gadaian itu tidak menutup akan yang punyanya dari
manfaat barang itu, faidahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan
resikonya (kerusakan dan biaya)”. Sedangkan Imam Syafii menyebutkan hadis lain yang
diriwayatkan Abu Hurairah yang menjelaskan bahwa, “barang jaminan itu dapat
ditunggangi dan diperah”. Secara tegas Imam Syafii memberi penjelasan mengenai hadis
di atas yakni bahwa yang boleh menunggangi dan memeras barang gadai itu hanyalah
pemiliknya dan bukan orang yang menerima gadai.
Dari penjelasan dan dasar syar’i yang digunakan Imam Safii dan Ulama Syafiiyah
di atas dapat diartikan bahwa manfaat barang gadai hanyalah milik si pegadai dan bukan
orang yang menerima barang gadai, sedangkan hak bagi penerima gadai hanyalah
mengawasi barang jaminan sebagai kepercayaan hutang yang telah diberikannya kepada
si pegadai dan dapat memanfaatkannya hanya jika seizin orang yang menggadai.
b. Pendapat Imam Malik (Malikiyah)
6
Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010
Ulama Malikiyah dalam hal pemanfaatan barang gadai berpendapat bahwa hasil
dari barang gadaian dan segala sesuatu yang dihasilkan dari padanya adalah hak yang
menggadaikan, dan hasil gadaian itu adalah bagi yang menggadaikan selama si penggadai
tidak mensyaratkan (Rahmat Syafii, 1997). Dengan kata lain jika murtahin mensyaratkan
bahwa hasil barang gadai itu untuknya, maka hal itu dapat dilakukan dengan beberapa
syarat:
1. Utang terjadi karena jual beli dan bukan karena menguntung-kan;
2. Pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai adalah
untuknya;
3. Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan waktunya harus
ditentukan, dan jika tidak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka
menjadi tidak sah.
Jika syarat-syarat tersebut di atas telah jelas, maka menurut ulama Malikiyah sah
bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikan.
Dari kedua pendapat ulama tersebut dapat diambil persamaan keduanya yaitu
bahwa manfaat barang jaminan gadai (rahn) ialah bagi orang yang memilikinya
(menggadainya). Sedangkan perbedaan yang nampak ialah pada bolehnya pemanfaatan
barang gadai dengan adanya syarat oleh Imam Malik sedangkan Imam Syafii atau ulama
Safiiyah membolehkan hanya dengan adanya izin dari penggadai (orang yang
mempunyai barang). Hadis yang dijadikan landasan oleh ulama yang membolehkan
pemanfaatannya ialah Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah sebagai
berikut: Sabda Rasulullah: “gadaian ditunggangi dengan nafkahnya, jika dia dijadikan
jaminan utang dan air susu diminum dengan nafkahnya jika dijadikan jaminan utang dan
kepada yang menunggangi dan meminum harus memberi nafkah” (HR Bukhari).
c. Pendapat Imam Ahmad Ibn Hambal (Hambaliyah)
Dalam hal pemanfaatan barang gadai ulama Hambaliyah lebih menekankan pada
jenis barang yang digadaikan, yakni pada apakah barang yang digadai tersebut hewan
atau bukan, dan bisa ditunggangi serta diperah susunya atau tidak. Jika barang yang
digadai tidak dapat ditungangi dan diperah, maka boleh bagi penerima gadai mengambil
manfaat atas barang gadai. Sedangkan jika barang gadai tersebut tidak dapat ditunggangi
dan diperah maka barang tersebut dapat diambil manfaatnya dengan seizin yang
menggadaikan secara suka rela dan selama sebab gadai itu bukan dari sebab hutang.
(Sayyid Sabiq, hal. 189).
7
Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010
Secara jelas dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan pendapat dikalangan Ulama
madzhab dalam membahas pemanfaatan barang gadai di atas merupakan refrensi bagi
para pihak dalam transaksi gadai (rahn) untuk dapat memilih atau mencari jalan tengah
dalam hal pemanfaatan barang gadai sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada,
sehingga tujuan utama gadai sebagai pengikat pada transaksi yang tidak tunai tidak
terabaikan.
Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan
bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam,
walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang
dijadikan jaminan tersebut.
C. Penutup
Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebaga berikut:
1. Kafalah adalah salah satu fasilitas perbankan syari'ah yang merupakan jaminan dari si
penjamin, baik berupa jaminan diri maupun barang untuk membebaskan kewajiban yang
ditanggung pihak lain;
2. Kebolehan kafalah sebagai salah satu produk perbankan syari'ah didasarkan pada nash al-
Qur'an al-Karim, Hadis-Hadis Rasulullah SAW., dan beberapa pendapat jumhur fuqaha'
sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan di atas, termasuk fatwa Dewan Syari'ah
Nasional (DSN);
3. Kafil mempunyai kewajiban secara mutlak yang disebabkan penyertaan dirinya dalam akad
kafalah ini;
4. Hak fasakh adalah berada pada makful lahu (bank), sejauh ia mau mempergunakannya;
5. Ar-Rahnu dapat memberi pilihan kepada masyarakat Islam, khususnya dalam mengatasi
masalah kewenangan. Dengan ini, mereka yang memerlukan pinjaman segera tidak lagi
terbelenggu dengan sistem pajak gadai sedia ada konvensional yang lebih bersifat menekan
dan menindas. Selain dari itu, kemudahan ini selaras dengan dasar dan prinsip perjalanan
sistem berkoperasi; tolong-menolong dan bantu-membantu antara satu sama lain;
6. Transaksi Rahn Emas bisa dilakukan di perbankan syariah, dengan berlandaskan Al-qur’an,
Hadist rosul, Ijma dan kaidah fiqih, semoga dengan adanya fatwa ini masyarakat tidak perlu
bimbang atau ragu-ragu bila mengalami masalah ekonomi, karena motto dari pegadaian
syariah itu sendiri yaitu mengatasi masalah tanpa masalah;
7. Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber
pada al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara
8
Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010
tunai. Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar,
yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi
dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.
Daftar Pustaka
Abdul Mujieb, (1994), Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Abdurrahman Al-Jaziri, (tt), al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.
Antonio, Muhammad Syafi’i, (2000), Sistem dan Prosedur Operational Bank Sayri'ah, Yogyakarta: UII Press.
................................, (2001), Bank Syari'ah: Teori dan Praktek, Jakarta: Gema Insani, Jakarta.
Asyur, Ahmad Isa, (1995), Al-Fikih al-Muyassar, Dar al Fikr, Beirut, Libanon.
`Aama Ibn Mandur, (1999), Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi.
Bukhari, Sahih Bukhari, Kutub al-Tis’ah (CD).
Ensiklopedi Hukum Islam, (1996), Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hope.
Himpunan Fatwa-fatwa Dewan Syari'ah Nasional, (2001), BI DSN, Jakarta.
Ibnn Rusdy, (1991), Bidaya al-Mujtahid, alih bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini.Karim, Adiwarman, (2000), Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani
Press.
Khusaini, (1995), Taqiyyudin Abi Bakar, Kifayah al-Akhyar, Terjemahan, Surabaya: Bina Iman.
Rusyd, Ibn, (tt), Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut, Libanon: Dar al Fikr.
Sayyid Sabiq, (1985), Fiqh Sunnah, Jus III, Beirut: Dar al-Fikr. Imam as-Syafii, (tt), al-Um, Jilid III, tp.
Siamat, Dahlan, (2001), Lembaga Manajemen Keuangan, Edisi III, Jakarta: FE UI.
Subekti, R, dan R. Tjitrosudibio, (1978), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita.
Surat Edaran BI, nomor : 23/7/UKU, tanggal 18 Maret 1991.
Zuhaili, Wahbah, (1989), Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut, Libanon: Dar al-Fikr.
9
Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010
R. Subekti, (1991), Jaminan jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesi, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Ahmad Isa Asyur, 91995), Fikih al-Muyassar fi al-Muamalah, (terj), Solo: Pustaka Mantiq.
10