141407002 jaminan dalam pembiayaan syariah kafalah dan rahan

10

Click here to load reader

Upload: ahmad-fadhil

Post on 29-Nov-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 141407002 Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah Kafalah Dan Rahan

Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010

JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN SYARIAH (KAFALAH DAN RAHAN)

Tukimin, SE1

Abstrak

Kafalah adalah jaminan dari penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada pihak kedua sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban pihak kedua tersebut kepada pihak lain (pihak pertama). Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn yang juga bermakna barang jaminan, namun barang jaminannya dari orang yang berhutang. Ulama madzhab fikih membolehkan kedua jenis kafalah tersebut, baik diri maupun barang.

A. Kafalah

Dalam dunia usaha, modal merupakan sesuatu yang penting. Modal tersebut dapat bersifat

material, atau immaterial (skill, trust, dan sebagainya). Untuk memenuhi kebutuhan modal,

seorang pengusaha bisa menggunakan modal sendiri atau meminjam kepada pihak lain seperti

bank. Untuk melakukan pinjaman tersebut biasanya diperlukan beberapa syarat, di antaranya

kelayakan usaha, adanya kepercayaan (track record), dan adanya jaminan.

Berkaitan dengan jaminan ini, dapat dibedakan dalam jaminan perorangan (personal

guarantie) dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang

berpiutang dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berutang

(debitor). Ia bahkan dapat diadakan di luar atau tanpa pengetahuan si berutang tersebut.

Sedangkan jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditor dengan debitornya, tetapi juga

dapat diadakan antara kreditor dengan seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-

kewajiban si berutang (debitor). Soal jaminan, sebagaimana tersebut di atas, di dalam ajaran

Islam dikenal dengan konsep kafalah yang termasuk juga di dalam jenis dhamman (tanggungan).

1. Pengertian

Secara etimologis, kafalah berarti al-dhamma, artinya “menggabungkan”, yakni

menggabungkan dua tanggung jawab dalam suatu hal. Hal ini sesuai dengan firman Allah

dalam surat Ali Imran (3): 37 yaitu “Allah menjadikan Zakaria sebagai penjaminnya

(Maryam)”. Di samping itu, kafalah berarti hamalah (beban) dan Za’amah (tanggungan). Di

sebut dhamman apabila penjaminan itu dikaitkan dengan harta, hamalah apabila dikaitkan

dengan diyat (denda dalam hukum qishash), za 'amah jika berkaitan dengan harta (barang

modal), dan kafalah apabila penjaminan itu dikaitkan dengan jiwa.

Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih selain Hanafi,

bahwa kafalah adalah, "menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang.”

1 Dosen Yayasan UMN Al Washliyah

1

Page 2: 141407002 Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah Kafalah Dan Rahan

Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010

Definisi lain adalah, "jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga

untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (mukful ‘anhu ashil)”.

Di dalam Kamus Istilah Fikih, kafalah diartikan menanggung atau penanggungan

terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari seseorang di mana padanya

ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam

hal tanggung jawab terhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih (utang).

Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan

sebagaimana tersebut di atas. Namun dalam perkembangannya, situasi telah rnengubah

pengertian ini. Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal guarantee, jaminan diri),

sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk harta secara mutlak.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah jaminan dari

penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada pihak kedua

sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban pihak kedua tersebut kepada pihak lain (pihak

pertama). Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn yang juga bermakna barang jaminan,

namun barang jaminannya dari orang yang berhutang. Ulama madzhab fikih membolehkan

kedua jenis kafalah tersebut, baik diri maupun barang.

Di dalam perundang-undangan Mesir misalnya, kafalah diartikan sebagai

menggabungkan tanggung jawab orang yang berhutang dan orang yang menjamin. Misalnya,

ada seseorang akan mengajukan kredit kepada bank, kemudian ada orang kedua yang

bertindak dan turut menjamin hutang seseorang tersebut. Ini berarti bahwa hutang tersebut

menjadi tanggung jawab orang pertama dan juga orang kedua..

Semakna dengan itu, KUH Perdata Pasal 1820 menyebutkan, bahwa penanggungan

adalah ”suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si

berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini

sendiri tidak memenuhinya.”

3. Rukun dan Syarat –syarat Kafalah

a. Pihak Penjamin (Kafiil)

1. Baligh (dewasa) dan berakal sehat;

2. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela

(ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.

b. Pihak Orang yang berhutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)

1. Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin;

2. Dikenal oleh penjamin.

c. Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)

2

Page 3: 141407002 Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah Kafalah Dan Rahan

Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010

1. Diketahui identitasnya;

2. Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.

3. Berakal sehat.

d. Obyek Penjaminan (Makful Bihi)

1. Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang, benda,

maupun pekerjaan;

2. Bisa dilaksanakan oleh penjamin;

3. Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali

setelah dibayar atau dibebaskan;

4. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya;

5. Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).

6. Praktek kafalah dalam Perbankan

Adapun praktik bank dalam membumikan prinsip kafalah yang sesuai dengan syariah

islam bisa dilangsungkan dalam praktik bank garansi dan Letter Of Credit. Praktik bank

garansi bisa diberlangsungkan dengan cara bank sebagai kafiil menerbitkan surat tanggungan

kepada pemilik proyek atau usaha dengan permintaan dari nasabah. Sehubungan dengan

kontrak atau transaksi yang telah disepakati sebelumnya antara bank, nasabah dan pemilik

proyek .Namun apabila terjadi hal-hal yang tak diinginkan seperti resiko di luar kesengajaan

ataupun kelalaian berdasarakan surat jaminan yang dikeluarkan oleh bank penjamin proyek

maka pihak ketiga/pemilik proyek dapat mengajukan klaim kepada penerbit bank garansi

tadi.

Dalam buku Konsep, Produkk, Dan Implementasi Operasional Bank Syariah surat

garansi yang dikeluarkan oleh bank garansi dapat di bagi menjadi enam bentuk surat

penjaminan garansi yang dikeluarkan oleh bank penjamin kepada yang dijamin agar proyek

usaha atau bisnisnya bisa selesai berdasarkan jangka waktu yang telah disepakati dengan

pemilik proyek:

a. Bid Bond

Secara umum bid bond penngertiannya sama dengan penjabaran arti dan makna dari

bank garansi di atas . yakin bank sebagai pihak penjamin mengeluarkan jaminan atas

permintaan nasabah untuk kepentingan pemilik proyek agar pengerjaan proyek tadi dapat

selesai dengan seksama dan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan di awal.

3

Page 4: 141407002 Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah Kafalah Dan Rahan

Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010

b. Performance Bond

Hampir sama dengan bid bond Jaminan yang diberikan oleh bank penjamin atas

permintaan nasabah untuk kepentingan pihak pemilik proyek. hanya saja dalam

Permormance Bond justru disengaja ditekankan kepada pihak yang mengelola proyek

terikat dengan kontrak dan hal ini juga menyebabkan pihak yang mengelola proyek tadi

bisa dengan aman dan nyaman serta sungguh-sungguh dalam pengerjaan proyek yang

tentunya pihak pengelola sangat ditekankan tanggung jawabnya kepada kepada pemilik

proyek.

c. Advance Payment Bond

Hampir sama dengan dua penjelasan di atas hanya saja yang menjadi perbedaannya

antara bank penjamin, pihak yang dijamin, dan pihak yang terjmain adalah pembayaran

di awal muka atau pembayaran termin oleh pemilik proyek kepada kontraktor.

d. Rentention Bond

Jaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan nasabah sebagai madhmun lahu

untuk kepentingan pemilik proyek yang menjadi mitra kerja nasabah . Ia berkaitan

dengan pemeliharaan hasil pekerjaan /proyek sampai batas waktu yang telah

diperjanjikan kontark kerja

e. Custom Bond

Berkaitan erat dengan penangguhan bea masuk atas barang-barang impor yang

dimintakan penangguhan pembayarannya apabila memenuhi syarat-syarat yang

ditetapkan penangguhan pembayarannnya.

B. Ar Rahan

1. Pengertian

Secara etimologi kata Ar-Rahan berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad Ar-Rahn dalam

istilah hukum positif disebut dengan jaminan, aggunan dan rungguhan. Dalam islam Ar-Rahn

merupakan sarana saling tolong menolong bagi umat islam tanpa adanya imbalan jasa. Ada

beberapa definisi Ar-Rahn ulama Malikiyah mendenifisikannya dengan: harta yang dijadikan

pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat, ada pun yang dijadikan barang

jaminan (agunan) bukan saja yang bersifat materi, tetapi juga bersifat manfaat, benda yang

dijadikan barang jaminan (agunan) tidak harus diserahkan secara aktual tetapi boleh juga

pengesahannya secara hukum.

4

Page 5: 141407002 Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah Kafalah Dan Rahan

Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010

Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad Ar-Rahn di bolehkan dalam islam

berdasarkan Al-qur’an dan sunah rosul. Ar-Rahnu ditubuhkan atas dasar Fardhu Kifayah dan

bukan atas dasar keuntungan semata-mata oleh, pelaksanaannya. Antara tujuan utamanya

ialah untuk menghapuskan riba atau hasil bunga (faedah) dan gharar yang dikenakan oleh

pengusaha kedai pajak gadai secara konvensional.

Ar-Rahnu dari sudut bahasa bermakna mantap dan berkekalan. Misalnya, keadaan yang

mantap ataupun ia bermakna tahanan, seperti firman Allah S.W.T. yang bermaksud:"Tiap-

tiap diri terikat, tidak terlepas daripada (balasan buruk bagi amal jahat) yang

dikerjakannya.............".(Surah al-Muddaththir 74:38)

Ar Rahnu adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta (nilai ekonomis)

sebagai jaminan hutang, hingga pemilik barang yang bersangkutan boleh mengambil hutang.

Ar-Rahn berarti juga pledge atau pawn (gadai), yaitu kontrak atau akad penjaminan dan

mengikat saat hak penguasaan atas barang jaminan berpindah tangan. Dalam kontrak

tersebut, tidak terjadi pemindahan kepemilikan atas barang jaminan. Atau dengan kata lain,

merupakan akad penyerahan barang dari nasabah kepada bank sebagai jaminan sebagian atau

seluruhnya atas hutang yang dimiliki nasabah. Dengan demikian, pemindahan kepemilikan

atas barang hanya terjadi dalam kondisi tertentu sebagai efek atau akibat dari kontrak. Ar-

Rahnu dari sudut syarak merujuk kepada satu barang yang berharga dijadikan sebagai

sandaran yang terikat dengan hutang bercagar yang boleh dibayar dengannya sekiranya

hutang tersebut tidak dapat dijelaskan.

Ahmad Azhar Basyir mentakrifkan Ar-Rahnu sebagai "menjadikan suatu benda yang

bernilai menurut pandangan syara" sebagai tanggungan hutang dengan adanya benda yang

menjadi tanggungan itu seluruh atau sebahagian hutang dapat diterima".

H.M Arsjad Thalib Lubis mentakrifkan Ar-Rahnu sebagai "menjadi suatu barang

yang berupa harta dan ada harganya jadi jaminan hutang dan ia akan dijadikan

pembayarannya jika hutang itu tidak dapat dibayar".

Abdul Rahman Al-Jaziri menerangkan bahawa Ar-Rahnu menurut syara’ berarti "

menjadikan barang yang ada harganya menurut pandangan syara’ sebagai jaminan

kepercayaan hutang piutang. Dalam erti seluruh hutang atau sebahagiannya dapat diambil,

sebab sudah ada barang jaminan tersebut. Ar-Rahnu boleh ditakrifkan sebagai keadaan di

mana penghutang atau penerima pinjaman menyandarkan barangan kepunyaan sebagai

jaminan kepada hutang atau pinjaman yang diterima daripada pemiutang atau pemberi

pinjaman.

5

Page 6: 141407002 Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah Kafalah Dan Rahan

Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010

3. Rukun Ar-Rahn

a. Penggadai atau orang yang menggadai; iaitu orang yang berhutang;

b. Penerima gadaian atau pemegang gadai; iaitu pihak yang memberi pinjaman;

c. barang gadaian; iaitu barang yang berharga yang dipunyai dan dalam kawalan penerima

pinjaman;

d. Tanggungan gadaian; iaitu jumlah yang berhutang;

e. Sighah atau perjanjian; iaitu perjanjian berkaitan pinjaman/ hutang dan gadaian.

5. Pendapat Ulama tentang Rahan

a. Pendapat Imam Syafii

Dalam kitab al-Um’nya Imam Syafii menjelaskan tetang pemanfaataan barang

jaminan sebagai berikut: “Manfaat dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan,

tidak ada sesuatu pun dari barang jaminan itu bagi yang menerima gadai.”

Sedangkan pendapat senada diutarakan Ulama Safiiyah bahwa orang yang

menggadaikan adalah yang mempunyai hak atas manfaat barang yang digadaikan,

meskipun barang yang digadai itu ada di bawah kekuasaan penerima gadai,

Kekuasaannya atas barang yang digadai tidak hilang kecuali ketika mengambil manfaat

atas barang gadai tersebut. Sedangkan penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat

barang gadai jika hal itu disyaratkan dalam akad, tetapi jika mengambil manfaatnya itu

diizinkan oleh orang yang menggadai maka itu diperbolehkan.

Ulama Safiiyah menyandarkan pendapat ini pada hadist yang diriwayatkan dari

Abu Hurairah sebagai berikut: “Gadaian itu tidak menutup akan yang punyanya dari

manfaat barang itu, faidahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan

resikonya (kerusakan dan biaya)”. Sedangkan Imam Syafii menyebutkan hadis lain yang

diriwayatkan Abu Hurairah yang menjelaskan bahwa, “barang jaminan itu dapat

ditunggangi dan diperah”. Secara tegas Imam Syafii memberi penjelasan mengenai hadis

di atas yakni bahwa yang boleh menunggangi dan memeras barang gadai itu hanyalah

pemiliknya dan bukan orang yang menerima gadai.

Dari penjelasan dan dasar syar’i yang digunakan Imam Safii dan Ulama Syafiiyah

di atas dapat diartikan bahwa manfaat barang gadai hanyalah milik si pegadai dan bukan

orang yang menerima barang gadai, sedangkan hak bagi penerima gadai hanyalah

mengawasi barang jaminan sebagai kepercayaan hutang yang telah diberikannya kepada

si pegadai dan dapat memanfaatkannya hanya jika seizin orang yang menggadai.

b. Pendapat Imam Malik (Malikiyah)

6

Page 7: 141407002 Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah Kafalah Dan Rahan

Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010

Ulama Malikiyah dalam hal pemanfaatan barang gadai berpendapat bahwa hasil

dari barang gadaian dan segala sesuatu yang dihasilkan dari padanya adalah hak yang

menggadaikan, dan hasil gadaian itu adalah bagi yang menggadaikan selama si penggadai

tidak mensyaratkan (Rahmat Syafii, 1997). Dengan kata lain jika murtahin mensyaratkan

bahwa hasil barang gadai itu untuknya, maka hal itu dapat dilakukan dengan beberapa

syarat:

1. Utang terjadi karena jual beli dan bukan karena menguntung-kan;

2. Pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai adalah

untuknya;

3. Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan waktunya harus

ditentukan, dan jika tidak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka

menjadi tidak sah.

Jika syarat-syarat tersebut di atas telah jelas, maka menurut ulama Malikiyah sah

bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikan.

Dari kedua pendapat ulama tersebut dapat diambil persamaan keduanya yaitu

bahwa manfaat barang jaminan gadai (rahn) ialah bagi orang yang memilikinya

(menggadainya). Sedangkan perbedaan yang nampak ialah pada bolehnya pemanfaatan

barang gadai dengan adanya syarat oleh Imam Malik sedangkan Imam Syafii atau ulama

Safiiyah membolehkan hanya dengan adanya izin dari penggadai (orang yang

mempunyai barang). Hadis yang dijadikan landasan oleh ulama yang membolehkan

pemanfaatannya ialah Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah sebagai

berikut: Sabda Rasulullah: “gadaian ditunggangi dengan nafkahnya, jika dia dijadikan

jaminan utang dan air susu diminum dengan nafkahnya jika dijadikan jaminan utang dan

kepada yang menunggangi dan meminum harus memberi nafkah” (HR Bukhari).

c. Pendapat Imam Ahmad Ibn Hambal (Hambaliyah)

Dalam hal pemanfaatan barang gadai ulama Hambaliyah lebih menekankan pada

jenis barang yang digadaikan, yakni pada apakah barang yang digadai tersebut hewan

atau bukan, dan bisa ditunggangi serta diperah susunya atau tidak. Jika barang yang

digadai tidak dapat ditungangi dan diperah, maka boleh bagi penerima gadai mengambil

manfaat atas barang gadai. Sedangkan jika barang gadai tersebut tidak dapat ditunggangi

dan diperah maka barang tersebut dapat diambil manfaatnya dengan seizin yang

menggadaikan secara suka rela dan selama sebab gadai itu bukan dari sebab hutang.

(Sayyid Sabiq, hal. 189).

7

Page 8: 141407002 Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah Kafalah Dan Rahan

Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010

Secara jelas dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan pendapat dikalangan Ulama

madzhab dalam membahas pemanfaatan barang gadai di atas merupakan refrensi bagi

para pihak dalam transaksi gadai (rahn) untuk dapat memilih atau mencari jalan tengah

dalam hal pemanfaatan barang gadai sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada,

sehingga tujuan utama gadai sebagai pengikat pada transaksi yang tidak tunai tidak

terabaikan.

Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan

bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam,

walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang

dijadikan jaminan tersebut.

C. Penutup

Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebaga berikut:

1. Kafalah adalah salah satu fasilitas perbankan syari'ah yang merupakan jaminan dari si

penjamin, baik berupa jaminan diri maupun barang untuk membebaskan kewajiban yang

ditanggung pihak lain;

2. Kebolehan kafalah sebagai salah satu produk perbankan syari'ah didasarkan pada nash al-

Qur'an al-Karim, Hadis-Hadis Rasulullah SAW., dan beberapa pendapat jumhur fuqaha'

sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan di atas, termasuk fatwa Dewan Syari'ah

Nasional (DSN);

3. Kafil mempunyai kewajiban secara mutlak yang disebabkan penyertaan dirinya dalam akad

kafalah ini;

4. Hak fasakh adalah berada pada makful lahu (bank), sejauh ia mau mempergunakannya;

5. Ar-Rahnu dapat memberi pilihan kepada masyarakat Islam, khususnya dalam mengatasi

masalah kewenangan. Dengan ini, mereka yang memerlukan pinjaman segera tidak lagi

terbelenggu dengan sistem pajak gadai sedia ada konvensional yang lebih bersifat menekan

dan menindas. Selain dari itu, kemudahan ini selaras dengan dasar dan prinsip perjalanan

sistem berkoperasi; tolong-menolong dan bantu-membantu antara satu sama lain;

6. Transaksi Rahn Emas bisa dilakukan di perbankan syariah, dengan berlandaskan Al-qur’an,

Hadist rosul, Ijma dan kaidah fiqih, semoga dengan adanya fatwa ini masyarakat tidak perlu

bimbang atau ragu-ragu bila mengalami masalah ekonomi, karena motto dari pegadaian

syariah itu sendiri yaitu mengatasi masalah tanpa masalah;

7. Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber

pada al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara

8

Page 9: 141407002 Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah Kafalah Dan Rahan

Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010

tunai. Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar,

yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi

dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.

Daftar Pustaka

Abdul Mujieb, (1994), Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Abdurrahman Al-Jaziri, (tt), al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.

Antonio, Muhammad Syafi’i, (2000), Sistem dan Prosedur Operational Bank Sayri'ah, Yogyakarta: UII Press.

................................, (2001), Bank Syari'ah: Teori dan Praktek, Jakarta: Gema Insani, Jakarta.

Asyur, Ahmad Isa, (1995), Al-Fikih al-Muyassar, Dar al Fikr, Beirut, Libanon.

`Aama Ibn Mandur, (1999), Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi.

Bukhari, Sahih Bukhari, Kutub al-Tis’ah (CD).

Ensiklopedi Hukum Islam, (1996), Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hope.

Himpunan Fatwa-fatwa Dewan Syari'ah Nasional, (2001), BI DSN, Jakarta.

Ibnn Rusdy, (1991), Bidaya al-Mujtahid, alih bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini.Karim, Adiwarman, (2000), Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani

Press.

Khusaini, (1995), Taqiyyudin Abi Bakar, Kifayah al-Akhyar, Terjemahan, Surabaya: Bina Iman.

Rusyd, Ibn, (tt), Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut, Libanon: Dar al Fikr.

Sayyid Sabiq, (1985), Fiqh Sunnah, Jus III, Beirut: Dar al-Fikr. Imam as-Syafii, (tt), al-Um, Jilid III, tp.

Siamat, Dahlan, (2001), Lembaga Manajemen Keuangan, Edisi III, Jakarta: FE UI.

Subekti, R, dan R. Tjitrosudibio, (1978), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita.

Surat Edaran BI, nomor : 23/7/UKU, tanggal 18 Maret 1991.

Zuhaili, Wahbah, (1989), Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut, Libanon: Dar al-Fikr.

9

Page 10: 141407002 Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah Kafalah Dan Rahan

Kultura Volume: 11 No.1 Maret 2010

R. Subekti, (1991), Jaminan jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesi, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Ahmad Isa Asyur, 91995), Fikih al-Muyassar fi al-Muamalah, (terj), Solo: Pustaka Mantiq.

10