13 tragedi universitas indonesia
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
13Tragedi
UniversitasIndonesia
Pendahuluan
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan tahun 2008 oleh Aidil Rizali. Ia menjualnya seharga Rp.5000 di UI Salemba selama tiga jam saja. Ternyata dari 30 fotokopi laku semua. Sejalan dengan perkembangan teknologi paper ini dipublikasikan ulang di Scribd agar bisa diakses khalayak ramai.
Tujuan tulisan ini sama sekali bukan untuk sekedar menjelek-jelekkan institusi universitas paling top di Indonesia ini, justru bertujuan untuk membangun. Sebagaimana orang hanya bisa berkembang bila mengetahui apa yang ia lakukan benar dan apa yang ia lakukan salah, saya harap tulisan ini bisa berkontribusi membuat Universitas Indonesia yang lebih baik lagi.
Tulisan ini tidak mengkover UI selain versi yang saya lihat dan rasakan sendiri selama menjadi mahasiswa UI pada tahun 2002-2006.
Bila terdapat kesalahan ketik atau tata bahasa ini dikarenakan saya tidak mengedit ulang. Tulisan ’Tragedi UI’ yang asli tidak ada yang saya simpan jadi yang ini merupakan hasil ingatan saya. Yang tentu saja hanya bisa mengingat 1% dari apa yang tadinya saya tulis. Jadi versi ini sangat lebih ramping, tapi esensinya dapat.
Kata ’Tragedi’ disini artinya suatu kondisi yang menyedihkan atau tidak sepatutnya terjadi atau tidak sesuai harapan.
Walaupun tulisan ini bercerita tentang UI, semua tulisan ini bisa diterapkan ke setiap universitas dan institusi pendidikan tinggi di Indonesia, juga bisa diterapkan ke semua jenjang pendidikan di seluruh dunia.
Bagi pembaca terimakasih sebelumnya, semoga bermanfaat.
Contents
Tragedi RektorTragedi DosenTragedi AlumniTragedi MahasiswaTragedi Karyawan
Tragedi Fasilitas: Tragedi Bus Kuning Tragedi Musholla Tragedi Kantin Tragedi Perpustakaan Tragedi Kelas
Tragedi Kurikulum
Tragedi Masa Orientasi
Tragedi Politik Mahasiswa
Tragedi Politik Akademia
Tragedi Ijazah
(Ada beberapa bab tambahan rupanya....)
ITragedi Rektor
Yang saya lihat Rektor UI itu selalu laki-laki dan beragama Islam. Belum
pernah ada sejarah Rektor UI itu perempuan atau beragama lain. Hal ini saya
sentil karena salah satu tujuan universitas adalah menciptakan suatu suasana
equality dimana kita memilih seseorang menjadi rektor bukan karena
kelaminnya atau agamanya atau rasnya, tetapi semata-mata karena
kemampuan dia sebagai pemimpin universitas.
Apakah berarti selama 50 tahun ini tidak ada satupun perempuan atau
penganut agama selain Islam yang kompeten memimpin universitas? Saya
pikir ada, tetapi mereka kalah dalam voting. Dan tidak selalu karena mereka
tidak kompeten.
Seharusnya kita bisa melihat ke universitas Harvard yang rektornya
perempuan, atau ke fakultas hukum Yale yang dekannya perempuan Hindu
ditengah-tengah mayoritas laki-laki Kristen berkulit putih. Ini baru namanya
universitas yang plural dan multikultural.
UI masih patriarkis.
IITragedi Dosen
Pertama kali masuk UI saya kira dosen-dosennya adalah dosen yang kompeten, kredibel, mumpuni dan bagus cara mengajarnya serta tidak rasis.Tetapi ternyata cukup banyak juga yang tidak sesuai gambaran diatas.
Ada dosen yang ketika saya mengecat rambut saya jadi pirang, dia bilang begini: ‘Ngapain dipirangin kan orang rambut pirang bodoh-bodoh.’ Nah, sejak kapan warna rambut seseorang menjadi indikator kecerdasan orang tersebut?
Ada dosen yang ketika tahu saya rajin berbahasa Inggris dia bilang: ‘Ngapain berbahasa Inggris, ini kan di Indonesia.’ Lha saya ini kan mahasiswa yang sedang belajar bahasa Inggris, ya kalau mau mahir ya musti latihan terus dong. Kalau saya mahasiswa bahasa Arab atau Rusia atau Cina yang saya juga pasti akan berusaha berbahasa tersebut. Mau di Indonesia atau dimanapun juga di dunia kalau mau bisa suatu bahasa ya musti dipraktekkan.
Ada dosen yang mengajar bahasa Inggris tetapi bahasa Inggrisnya belepotan. Ini juga berlaku bagi dosen yang mengajar bahasa lain. Nah bagaimana kira-kira kualitas murid yang diajar oleh dosen yang tidak terlalu mengerti bahasa yang diajarkannya?
Ada dosen yang sering kasih nilai A tetapi jarang sekali masuk.Ada dosen yang kalau kita terlambat sedetik saja kita tidak boleh masuk.
Ada dosen yang tidak pernah melihat kita kalau mengajar, hanya ngomong terus dari textbook.
Banyak dosen bahan bacaannya sudah jadul dan mereka juga jarang membaca, apalagi membaca buku bahasa Inggris dengan pemahaman yang advance.
IIITragedi Alumni
Banyak sekali alumni UI yang tidak menguasai ilmu yang telah
dipelajarinya selama 4 tahun kuliah, termasuk saya. Bukan itu saja, hampir
90% pelajaran yang diberikan kepada saya bukanlah pelajaran yang saya
mau. 10% lagi pelajaran yang saya suka tetapi tetap saja setahun dua tahun
setelah lulus saya lupa 100% dan sama sekali tidak perduli.
Pernah lihat skripsi, tesis atau disertasi mahasiswa S1, S2, dan S3 UI?
Kebanyakan berbahasa Indonesia. Artinya akses orang luar untuk meneliti
tulisan-tulisan tersebut agak terhambat. Sedangkan yang berbahasa Inggris
umumnya sangat memusingkan pembaca. Mereka sepertinya menulis
dengan logika Indonesia dalam bahasa Inggris, hasilnya susah dibaca.
Jadinya buat apa belajar 4-5 tahun di kampus kalau kemudian semua
pelajaran itu hilang? Bukankah itu benar-benar buang-buang waktu, tenaga
dan uang yang sangat signifikan?
Lagipula kalau alumni datang ke acara malam inisiasi baik jurusan maupun klub, mereka biasanya songong, sombong dan suka buat onar, kurang kerjaan dan nggak punya kehidupan kali sudah lulus lusinan tahun masih ngurusin hal seperti itu.
IVTragedi Mahasiswa
Mahasiswa adalah jantung universitas. Mereka adalah motor perubahan. Tetapi mahasiswa yang saya lihat adalah mahasiswa yang suka menawar deadline jadwal tugas kepada dosen. Ingin saya bilang ke teman-teman sekelas, ‘Sadar nggak kita ini sedang berkompetisi dengan mahasiswa-mahasiswa sedunia? Apa mahasiswa level Harvard akan melas-melas minta molor jadwal tugas dan ujian? Kita harus lebih baik dari ini.’ Sayang saya tidak bernyali mengucapkannya enam tahun yang lalu. Tetapi saya mengumpulkan tugas seminggu lebih cepat dari yang lain dengan kualitas yang cukup baik.
Jenis mahasiswa yang sering saya lihat biasanya lebih takut kehilangan waktu gaul dengan teman daripada benar-benar serius membuat tugas dan memahami pelajaran. Mereka berkumpul di kantin sambil membuat polusi lingkungan dengan merokok dan buang sampah sembarangan. Benar-benar kualitas sampah dan ini terjadi di universitas terbaik di Indonesia.. Maklumlah kita kenapa Singapura menjadi negara terunggul di Asia Tenggara, mahasiswa-mahasiswa disana justru kebalikan dari mahasiswa disini: serius, tepat waktu dan malu apabila tidak unggul. Disini justru ada mahasiswa yang malu kalau terlihat lebih baik dari temannya.
Mahasiswa disini pemalas. Maka saya buat Komunitas Antimalas, sebuah komunitas moral yang anggotanya adalah setiap mahasiswa yang tidak malas. Seharusnya ini menjadi ideologi setiap mahasiswa UI, Antimalas.
Antimalas datang tepat waktu, Antimalas menjadi unggul, Antimalas membuat terobosan.
Sayangnya kebanyakan takut berbeda, hanya suka memfitnah dan menjelek-jelekkan orang dari belakang, berpikiran sempit dan dangkal.
VTragedi Karyawan
Seleksi karyawan masih berdasar nepotisme dan kenalan saja. Jadinya banyak orang yang sama sekali tidak berpendidikan dan tidak layak malah jadi karyawan.
Salah seorang penjaga perpustakaan pernah berkata ’Jangan sombong ya berbahasa Inggris disini.’ Lha saya mahasiswa Inggris dan ini kampus kan? Sudah begitu penjaga tersebut laki-laki tetapi bernada bencong. Bukannya ada masalah dengan bencong tetapi sepertinya tidak pas bencong kerja di fakultas.
Banyak karyawan yang ijazahnya SMA, dan tidak diberi training untuk mengerjakan tugas mereka dengan mumpuni akhirnya mahasiswa dan dosen kadang dibuat repot dengan alasan lupa atau terselip.
VITragedi Fasilitas
Tragedi Bus Kuning
Selama tahun 2002-2006, supir bis kuning banyak yang merokok selagi
menyupir. Akibatnya saya dan ratusan orang jadi passive smoker.
Memangnya enak sudah wangi-wangi eh hanya beberapa menit sebelum
sampai kelas malah bau asap? Nanti di kelas bau ini menyebar ke seantero
ruangan dan membuat malas dosen dan kita semua.
Supir bus kuning juga sering malas dan ngetem lama, akibatnya sering kali
saya memilih jalan kaki daripada menunggu BK. Sudah sampai tujuan baru
bus menyusul datang.
Tragedi Musholla
Musholla FIB toiletnya persis berdampingan dengan tempat imam shalat. Jadinya aneh ngebayangin saat kita sujud di depan kita ada orang di toilet. Karpet musholla juga sering bau.
Kantin
Kantin yang seyogyanya menjadi tempat beristirahat malah menjadi tempat menikmati asap rokok gratis. Hampir seperti spa. Dan orang-orang biadab ini sama sekali tidak memperdulikan kalau ada orang-orang lain yang mau makan dan minum. Sangat tidak nyaman ketika makanan mau masuk mulut eh ada bumbu asap rokok.
Banyak juga orang-orang idiot yang menulis kata-kata kotor di meja makan.
Perpustakaan
Perpustakaan mirip ghost town. Sebelum ada internet disitu (internet baru
ada tahun 2006), perpustakaan nyaris nggak ada penghuninya. Kalaupun ada
mereka biasanya di lantai satu baca koran dan majalah berbahasa Indonesia.
Bisa dihitung berapa banyak yang bersama saya di lantai 2, 3, atau 4
membaca buku klasik dalam bahasa Inggris. Kebanyakan juga hanya
sanggup baca lima atau enam halaman sebelum ketiduran.
Perpustakaan mirip hotel untuk tidur hanya saja di perpustakaan kita tidur
sambil duduk.
Buku-bukunya kurang up to date dan karyawan perpustakaan banyak
yang tidak bisa bahasa Inggris sehingga kalau orang asing datang mereka
tidak mendapat layanan kelas dunia.
Mana bisa UI menjadi kampus setaraf internasional apabila dari rektor,
dekan, dosen, mahasiswa, alumni, dan karyawan kebanyakan susah bercakap
dan menulis fasih dan lancar dalam bahasa Inggris?
Kelas
Selama tiga setengah tahun pertama semua kelas yang saya ikuti ada coretan
di dinding. Baru pada awal tahun 2006 saya menulis surat ke dekan yang
meminta coretan-coretan ini dihapus. Sepertinya tidak pantas Fakultas
bernama Budaya membiarkan coretan-coretan tidak bermutu ini terus ada.
Dekan menyetujui dan minggu depannya semua coret-coretan telah hilang
dan dicat baru.
Tapi tantangan yang lebih besar menunggu yaitu menghilangkan coret-
coretan di bangku. Nah ini rada susah. Tragis masih ada mahasiswa yang
coret-coret, padahal ini UI, Harvardnya Indonesia. Jauh.
VIITragedi Kurikulum
Ketahuan sekali kalau akademia Universitas Indonesia ini malas berbenah
diri dan meninjau kurikulum modern selevel Harvard, Yale, Brown,
Stanford, dan Princeton. Kurikulum masih menggunakan buku-buku tahun
1980an, setidaknya ini yang terjadi pada saya dan mahasiswa-mahasiswa
seangkatan.
Kurikulum juga rigid dan tidak fleksibel. Kalau di Bard misalnya, Anda
bisa mengambil kelas apapun yang sesuai minat Anda. Di Oxford, sebagai
mahasiswa S1 Anda bisa mengambil kelas Filsafat, Ekonomi dan Politik,
dan ini sudah diterapkan sejak tahun 1920, hampir 100 tahun yang lalu!
Nah di UI bahkan ketua jurusan waktu itu melarang saya mengambil kelas
bahasa-bahasa selain Inggris karena dia bilang ’Kamu disini bukan untuk
belajar bahasa lain, kamu disini untuk belajar sastra Inggris.’
Siapa sih yang punya hak melarang kita belajar apapun yang kita sukai? Kalau kita suka suatu pelajaran pasti pelajaran itu menjadi gampang dan akan mudah diingat. Jadi ini sebenarnya bagus dan ini yang diterapkan di universitas modern di Barat. Sayangnya progress dari Oxford atau Harvard butuh waktu yang lamaaaa sekali untuk ditransfer ke UI, karena SDM kita yang masih sangat ketinggalan baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Seharusnya ini menjadi pemacu kemajuan bukan justifikasi ketertinggalan.
VIIITragedi Masa Orientasi
Masa orientasi baik tingkat universitas, fakultas dan jurusan adalah sampah
yang sama sekali tidak penting dan tidak ada mutunya. Orang-orang sok
penting dari ketua-ketua bem, senat, dan jurusan mencoba menunjukkan apa
yang harus kita pikir dan rasakan. Mengindoktrinasi pikiran kita seperti
menunjukkan klip reformasi tahun 1998 seolah-olah mahasiswa yang
membuat perubahan itu. Lalu menangisi kematian mahasiswa-mahasiswa
yang mati. Lalu nyanyi lagu-lagu kampus. Memangnya kita ini disini mau
belajar atau mau apa sih?
Lalu di fakultas di lakukan lagi orientasi yang menjadi kesempatan senior-
senior merebut pacar orang atau melakukan pendekatan, kadang malah
bullying. Lalu musti dengar ceramah agama. Banyak dari kita yang tidak
terlalu religius dan malah pingin muntah bila dipaksa mendengar ceramah
agama yang dipaksakan. Mau saya shalat atau tidak, mau saya ke gereja atau
tidak, itu urusan pribadi saya, memangnya saya hidup di negeri mana?
Sejauh saya tahu saya tidak melanggar hukum manapun.
Kemudian orientasi tingkat jurusan, yang walaupun sudah dilarang tetapi
tetap dilakukan. Keanggotaan seumur hidup. Bullshit, klub apapun yang
keanggotaannya seumur hidup sudah pasti tidak bermutu. Dan memangnya
kita minta jadi anggota dan jadi pesuruh senior-senior? Siapa mereka?
Alasan apapun dibalik masa orientasi hanya omong kosong belaka. Masa
orientasi adalah masa buang-buang waktu, tenaga, dan uang. Benar-benar
tidak ada gunanya dan tidak ada intelektualitasnya. Tanya universitas-
universitas terbaik dunia, mereka sudah meninggalkan tradisi usang ini
puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Atau contentnya jauh lebih bermutu.
IXTragedi Politik Mahasiswa
Preman kampus sebenarnya adalah orang-orang Muslim yang bergabung
dalam suatu kelompok rahasia bernama Tanzhim (organisasi dalam bahasa
Arab), orang-orang Tarbiyah yang umumnya jadi kader atau simpatisan PKS
(Partai Keadilan Sejahtera).
Pertama kali saya mendengar hal diatas saya pikir bercanda, tetapi empat
tahun kemudian saya mafhum hal itu benar terjadi. UI ternyata memang
punya secret society. Mayoritas ketua senat di Teknik, FKM, FIK, FMIPA,
FIB, FK, dan FKG adalah anggota Tanzhim. Sedangkan mayoritas ketua
senat di Hukum, Ekonomi, dan Psikologi bukan. Setidaknya ini yang terjadi
di tahun 2006, 2005, 2004, dan 2003.
Hampir 100% dari Ketua BEM dan MPM dalam 15 tahun terakhir adalah
kader atau minimal kandidat yang direstui Tanzhim. Bahkan biasanya dua
kandidat yang bersaing untuk menjadi Ketua BEM adalah orang Tanzhim
juga. Pengecualian ada pada tahun 2004 ketika Jack Rizali, seorang
independen dan pembaharu, maju seorang diri tanpa dukungan. Ia
melakukannya bukan untuk sok-sok-an, tetapi karena muak terhadap
kepalsuan dan kedok politik kampus. Walaupun ia kalah, perjuangannya
tetap inspiratif dan membawa angin segar untuk perlawanan kepada sistem
Tanzhim sialan ini. Sama dengan banyak pahlawan Indonesia yang kalah
melawan Belanda yang justru mengobarkan api semangat perlawanan.
Selama politik mahasiswa masih di dominasi satu agama, satu ras dan
satu kelamin, UI masih bayi diranah dunia yang multikultural dan plural.
Sampai sekarang belum ada kandidat yang beragama non-Islam atau yang
berasal dari etnis Cina atau Papua.
Jadi politik kampus milik kaum Apatis. Mayoritas mahasiswa tidak
perduli politik toh mereka tidak dibayar dan beresiko menguras tenaga,
padahal setelah selesai kuliah segala politik ini hilang seketika. Lebih baik
menjadi anggota atau ketua klub yang lebih jelas berprofit seperti AIESEC
atau EDS.
XTragedi Politik Akademia
Hal yang hampir mirip tapi jauh lebih serius terjadi di ranah politik
akademia. Misalnya dalam pemilihan rektor, suara akademia Fakultas
Kedokteran sangat berpengaruh, sedangkan suara akademia FIB dan FIK
nyaris tak terdengar. Kita juga sering melihat pemilihan berdasarkan
kedekatan agama, ras, dan kelamin bukannya berdasar pengalaman, reputasi,
dan kompetensi.
XITragedi Ijazah
Tragedi ijazah termasuk tragedi transkrip nilai. Jika kita melamar kerja kita
biasanya membawa dua hal ini, seolah-olah ada relevansi antara nilai B saya
di Morfologi dan menjadi pegawai di hotel. Dan ingat ini semua terjadi di
masa lalu. Mayoritas hal yang saya pelajari sudah terlupakan. Jadi
sebenarnya jika hari itu saya diberi tes sesuai dengan kompetensi saya di
ijazah mungkin sekali saya akan dapat nilai jeblok, seperti kebanyakan orang
yang saya tahu.
Hal ini sama saja dengan ijazah SMA, SMP, dan SD. Jika sekarang saya
musti mengerjakan kembali matematika atau fisika tingkat SMP, saya ragu
saya akan dapat nilai bagus.
Sebaiknya sistem ijazah ini dikaji ulang biar relevan. Harus ada cara yang
lebih tepat mengukur kompetensi sekarang seseorang selain melihat
kompetensinya di masa lalu pada beberapa pelajaran.
Penutup
Setelah empat tahun ’lulus’ dari UI saya:
- Telah lupa sama sekali apa yang saya pelajari di kelas atau - Melihat pelajaran tersebut tidak penting dan tidak ada
aplikasinya dalam hidup saya.- Orang bilang ’Masa orientasi nanti jadi ingatan yang bagus’,
tidak berlaku bagi saya, bagi saya masa orientasi adalah masa tai kucing.
- Kesal terhadap buruknya mutu mayoritas dosen dan mahasiswa di universitas negeri terbaik yang dimiliki Indonesia.
- Merasa buang-buang waktu, tenaga, dan uang dan balasannya tidak setimpal. Bangun jam 4 pagi, jalan kaki 1 km ke depan, menunggu bus 30 menit, naik bis gelantungan selama 45 menit, lalu jalan kaki 20 menit dan masuk kelas, untuk mendapat pelajaran basi dari dosen kurang mutu dengan mahasiswa sekelas yang kurang pantas.
Tetapi UI tahun 2010 sepertinya jauh lebih baik dari UI tahun 2002
secara infrastruktur lebih nyaman, luas, banyak gedung baru dan
fasilitas bagus. Mudah-mudahan begitu juga SDMnya.