12810605-sec

Upload: adi-irwanto

Post on 15-Oct-2015

11 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mn

TRANSCRIPT

  • Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

    Program Studi Meteorologi

    2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung

    PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.

  • 1. Institut Teknologi Bandung 2. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

    STUDI PENENTUAN MOMENT MAGNITUDE (Mwp) MENGGUNAKAN SINYAL GELOMBANG P BROADBAND

    Mega Perdanawanti1,2,, Dr. Gunawan Ibrahim1, Dr. Tri Wahyu Hadi1

    ABSTRAK

    Magnitudo merupakan salah satu parameter yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan peringatan dini tsunami karena semakin besar magnitudo gempa maka akan semakin besar deformasi yang mungkin terjadi di dasar laut. BMKG sebagai lembaga pemerintah di Indonesia yang bertanggung jawab mengeluarkan informasi parameter gempa dan peringatan dini tsunami dalam sistemnya masih menggunakan skala magnitudo gelombang badan (mb) yang diketahui akan mengalami saturasi pada gempa-gempa besar, sehingga tidak cocok untuk penentuan magnitudo gempa-gempa besar. Untuk itu, perlu adanya metode penentuan magnitudo yang lebih tepat dan cepat untuk gempa-gempa besar berpotensi tsunami di Indonesia.

    Pada studi ini, dilakukan penentuan moment magnitude menggunakan sinyal gelombang P broadband untuk gempa-gempa berpotensi tsunami di wilayah Indonesia. Data yang digunakan sebanyak 26 event gempa (tahun 1991 2010), masing-masing dengan jumlah stasiun yang bervariasi. Penulis menggunakan metode Tsuboi, dkk. (1995) yang telah terbukti efektif untuk tujuan peringatan dini tsunami. Selain itu digunakan nilai MwCMT dari katalog Global CMT sebagai referensi magnitudo pembanding.

    Verifikasi dengan menggunakan data katalog moment magnitude Global CMT menunjukkan korelasi yang relatif baik, yaitu R2 = 0,969. Penentuan parameter gempabumi magnitudo dengan menggunakan sinyal gelombang P broadband lebih tepat dan cepat untuk memberikan pertimbangan keputusan peringatan dini tsunami di Indonesia.

    Kata kunci: Tsunami, Mw, Mwp, Gelombang P Broadband, Moment Magnitude

    1. Pendahuluan

    Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) adalah lembaga pemerintahan di Indonesia yang bertanggung jawab mengumpulkan dan mengolah data seismik, menentukan lokasi gempabumi, menganalisa apakah gempa berpotensi tsunami, mengeluarkan informasi parameter gempa dan peringatan dini tsunami, serta mengintegrasikan data observasi lainnya untuk mengkonfirmasi atau membatalkan peringatan gempa maupun tsunami.

    BMKG dalam operasionalnya untuk Indonesian Tsunami Early Warning

    System (Ina-TEWS) menggunakan sistem dari Jerman yaitu Seismological Communication Processor (SeisComP) yang memproses sinyal seismik secara real time dengan hasil yang sesuai meskipun masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut. Selain itu sistem tersebut masih menggunakan skala magnitudo gelombang badan (mb) dalam perhitungan magnitudonya. Diketahui bahwa untuk magnitudo gelombang badan (mb) diatas 6,2 akan mengalami kejenuhan atau tersaturasi (Stein and Wysession, 2003), sehingga mb tidak cocok untuk perhitungan magnitudo gempa-gempa besar.

  • 1. Institut Teknologi Bandung 2. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

    Indikator terjadinya tsunami menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang terkini antara lain : magnitudo gempabumi > 7 SR (mb), kedalaman gempabumi < 70 km, dan lokasi gempabumi di laut terutama daerah subduksi dengan tipe patahan thrust fault (naik) atau normal fault (turun).

    Magnitudo merupakan salah satu parameter yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan peringatan dini tsunami. Untuk itu, perlu adanya metode penentuan magnitudo terutama menggunakan skala moment magnitude yang diketahui lebih akurat hasilnya dan tidak akan mengalami saturasi terutama pada gempa-gempa besar.

    Penentuan moment magnitude dengan menggunakan gelombang seismik P membutuhkan waktu 2 6 menit untuk gempa dengan jarak regional, 1000 2000 km (Tsuboi, dkk., 1999) dan membutuhkan 10 15 menit untuk gempa tele, 3000 km (Tsuboi, dkk., 1999, Lomax, dkk., 2008).

    Penentuan magnitudo yang tepat dengan waktu yang relatif cepat sangat diperlukan terutama dalam pengambilan keputusan peringatan dini tsunami di Indonesia, sehingga membuka peluang untuk melakukan penelitian dengan judul : Studi Penentuan Moment Magnitude (Mwp) Menggunakan Sinyal Gelombang P Broadband. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pendekatan yang tepat terkait dengan skala magnitudo dan metode penentuan magnitudo yang digunakan oleh BMKG di wilayah Indonesia, menggantikan skala magnitudo dan metode yang dipakai selama ini.

    2. Data dan Metodologi 2.1 Data

    Data yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah:

    1. Data sinyal event gempabumi berpotensi tsunami di wilayah Indonesia (10 LU - 15 LS dan 90 BT - 140 BT) sebanyak 26 data event gempabumi (jumlah stasiun pengamat dari masing-masing event bervariasi) dengan Mw > 6,0 dan kedalaman dibawah 100 km pada tahun 1991 2010 yang diunduh dari pusat manajemen data Incorporate Research Institution of Seismology (IRIS) Wilber (http://www.iris.edu/dms/wilber.htm). Data yang digunakan adalah komponen BHZ (Broadband komponen vertikal) dari stasiun-stasiun pengamat yang mempunyai jarak 30 - 90 dari episenter event gempabumi. Data dalam format Standard for the Exchange of Earthquake Data (SEED) dikumpulkan dari stasiun-stasiun pengamat pada jaringan virtual Federation of Digital Broadband Seismographic Networks (FDSN) dan Global Seismograph Network (GSN) Broadband sebanyak 44 stasiun. Data sinyal yang diambil dalam format SEED (default) yaitu dengan time window 2 menit sebelum waktu tiba gelombang P dan 10 menit setelah waktu gelombang P. Seluruh data kemudian dikonversi ke dalam format Seismic Analysis Code (SAC) menggunakan program rdseed yang dapat diunduh dari website IRIS (http://www.iris.edu/software/downloads/).

    2. Data nilai moment magnitude Global CMT (MwCMT) dari 26 event gempabumi berpotensi tsunami (gambar 3.1) seperti tertera pada poin satu, dengan menggunakan data dari Global Centroid Moment Tensor (Global CMT) sebagai nilai untuk verifikasi hasil perhitungan pada penelitian ini dengan cara mencari korelasinya dengan membandingkan nilainya.

  • 1. Institut Teknologi Bandung 2. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

    Gambar 2.1 Peta distribusi event gempabumi berpotensi tsunami di Indonesia tahun 1991 sampai dengan 2010 berdasarkan data dari Global CMT

    2.2 Metodologi

    Dalam penulisan tugas akhir ini, ada beberapa langkah utama pengolahan data, yaitu :

    1. Mengubah sinyal seismogram sensor broadband gelombang P komponen vertikal yang berupa sinyal kecepatan (velocity) menjadi sinyal pergeseran (displacement) dengan cara mengintegralkan velocity menjadi displacement.

    2. Sinyal di-Fast Fourier Transform (FFT) untuk merubah sinyal dari domain waktu ke domain frekuensi sehingga dapat diketahui frekuensi sudutnya untuk menentukan batas frekuensi atas dan batas frekuensi bawah bagi keperluan bandpass filtering.

    3. Filtering menggunakan filter bandpass butterworth dengan batasan frekuensi 0,008 3 Hz.

    4. Menghitung seismic moment (Mo) menggunakan metode Tsuboi (1995). Sinyal pergeseran (displacement) sebagai suatu fungsi waktu sumber (source time function) dan integrasi momen seismik skalar yang diambil dari amplitudo maksimum gelombang P dirumuskan sebagai berikut :

    dimana uz (xr , t) adalah nilai pergeseran pada komponen vertikal gelombang P untuk gempa jauh (far field), pada stasiun xr , densitas (kerapatan) batuan di stasiun dinyatakan sebagai (3,5 x 103 kg/m3), rumus Haversine dipergunakan untuk menghitung jarak epicenter dari stasiun r (km) menggunakan prinsip hukum trigonometri lingkaran dari http://www.movable-type.co.uk/scripts/latlong.html dengan dikalikan jari-jari bumi sebesar 6.371 km.

    r = cos-1|sin E sin S + cos E cos S cos (S E)| *6.371

    dimana E dan E sebagai koordinat lintang dan bujur epicenter, S dan S sebagai koordinat lintang dan bujur stasiun.

    Kecepatan gelombag P sebenarnya (apparent P velocity, APV3) dinyatakan sebagai . Kanjo, dkk (2006) merubah metode hubungan jarak dan kecepatan gelombang P berdasarkan tabel model bumi IASP91 sehingga mendapatkan harga tetapan kecepatan gelombang P sebagai berikut :

    0,16 7,9/

    Sedangkan harga tetapan 7,9/ dari Tsuboi, dkk (1995, 1996) tidak digunakan dalam metodologi ini.

    5. Menghitung moment magnitude (Mw) menggunakan metode Kanamori (1977), dengan rumusan sebagai berikut :

    Perlu diketahui bahwa perhitungan moment magnitude (Mw) pada

  • 1. Institut Teknologi Bandung 2. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

    penelitian ini berbeda dengan Mw yang diperoleh dari moment tensor.

    6. Menghitung moment magnitude gelombang P broadband (Mwp) menggunakan metode Tsuboi, dkk (1995), dengan rumusan sebagai berikut :

    Penambahan nilai 0,2 pada perhitungan moment magnitude gelombang P broadband (Mwp) untuk mengkoreksi pola radiasi penjalaran gelombang P pada nilai Mwp.

    7. Semua rumusan diketik dalam bentuk perintah pada program Seismic Analysis Code (SAC) yang dikembangkan oleh Goldstein (2005) untuk menentukan Mo, Mw, dan Mwp. Sinyal gelombang P broadband komponen vertikal yang dianalisis secara manual dalam hal cutting gelombang yaitu dari awal gelombang P hingga pP atau pS dengan durasi 40 240 detik berdasarakan tabel IASP91 earth model tahun 1991 yang akan diproses menggunakan rumusan-rumusan di atas, memasukkan hasil perhitungan APV3, dan memasukkan hasil perhitungan distance dalam meter.

    8. Menganalisis sinyal gelombang P dari beberapa stasiun pada setiap event gempabumi. Setelah didapatkan nilai Mw dan Mwp pada masing-masing

    stasiun kemudian diambil nilai rata-rata dari seluruh stasiun tersebut untuk mendapatkan nilai magnitudo dan momen sebenaranya.

    Berikut diagram alir metodologi dari penentuan moment magnitude gelombang P broadband (Mwp) :

    3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Hasil Penentuan Moment

    Magnitude (Mwp) Data dari IRIS Wilber diolah dari SEED menjadi SAC (satu event gempa, Mentawai 2010 dengan 10 stasiun dengan GCD 30 sampai dengan 90) kemudian diolah sebagaimana yang telah dijelaskan pada poin metodologi, sehingga didapatkan hasil penentuan Mwp untuk masing-masing stasiun pengamat (gambar 3.3 dan tabel 3.1).

    Tabel 3.1 Hasil perhitungan Mwp dari masing-masing stasiun untuk event gempa Mentawai 25 Oktober 2010.

  • 1. Institut Teknologi Bandung 2. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

    Gambar 3.1 Penentuan Mwp menggunakan program SAC event gempabumi Mentawai 25 Oktober 2010 pada stasiun RER. (a) Sinyal asli dari seismogram velocity komponen vertikal. (b) potongan sinyal dengan durasi 135 detik dari waktu tiba gelombang P. (c) Seismogram velocity diintegralkan menjadi seismogram displacement. (d) Integral dari seismogram displacement setelah diabsolutkan. (e) Hasil perhitungan Mwp = 7,85 terlihat pada sumbu y.

    3.2 Perbandingan Mw Hasil Perhitungan dengan MwCMT

    Perbandingan antara hasil perhitungan moment magnitude dengan menggunakan metode Tsuboi (1995) tanpa koreksi pola radiasi pada penelitian ini dengan moment magnitude yang diperoleh dari katalog Global Centroid Moment Tensor (Global CMT)

    dapat dilihat pada gambar 3.2. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa hasil perhitungan moment magnitude pada penelitian ini secara sistematis konsisten dengan nilai moment magnitude yang diperoleh dari katalog Global CMT.

    Gambar 3.2 Grafik perbandingan Mw hasil perhitungan dengan MwCMT

    Gambar 3.3 Grafik selisih perbandingan Mw hasil perhitungan dengan MwCMT

    Jika dilihat dari grafik selisih nilai perbandingan Mw hasil perhitungan dengan MwCMT (gambar 3.3) terlihat bahwa selisihnya tidak terlalu signifikan yaitu antara -0,3 sampai dengan 0,3. Untuk gempa dengan Mw 7,0 8,0, selisih perbandingannya tidak terlalu signifikan bahkan mendekati nol. Sedangkan untuk gempa dengan Mw > 8,0, selisih perbandingannya terlihat cukup signifikan bahkan sebagian besar nilainya lebih kecil daripada nilai MwCMT. Hal ini memperlihatkan bahwa metode penentuan untuk perhitungan Mw lebih baik digunakan pada event gempa yang kecil (Mw < 8,0) daripada untuk perhitungan Mw event gempa yang lebih besar (Mw > 8,0). Secara keseluruhan nilai Mw lebih kecil daripada nilai MwCMT , namun dilihat

  • 1. Institut Teknologi Bandung 2. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

    dari selisihnya yang tidak terlalu signifikan maka hasil perhitungan Mw dapat dinilai relatif baik.

    3.3 Perbandingan Mwp Hasil Perhitungan dengan MwCMT

    Perbandingan antara hasil perhitungan moment magnitude dengan menggunakan metode Tsuboi (1995) yang sudah terkoreksi pola radiasinya pada penelitian ini dengan moment magnitude yang diperoleh dari katalog Global Centroid Moment Tensor (Global CMT) dapat dilihat pada gambar 3.4. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa hasil perhitungan moment magnitude pada penelitian ini secara sistematis konsisten dengan nilai moment magnitude yang diperoleh dari katalog Global CMT.

    Gambar 3.4 Grafik perbandingan Mwp hasil perhitungan dengan MwCMT

    Gambar 3.5 Grafik selisih perbandingan Mwp hasil perhitungan dengan MwCMT

    Jika dilihat dari grafik selisih nilai perbandingan Mwp hasil perhitungan dengan MwCMT (gambar 3.5) terlihat bahwa selisihnya tidak terlalu signifikan yaitu antara -0,1 sampai dengan 0,5.

    Untuk gempa dengan Mwp > 7,0, selisih perbandingannya tidak terlalu signifikan bahkan mendekati nol. Sedangkan untuk gempa dengan Mwp < 7,0, selisih perbandingannya terlihat cukup signifikan bahkan sebagian besar melebihi nilai dari MwCMT. Hal ini memperlihatkan bahwa metode penentuan untuk perhitungan Mwp lebih baik digunakan pada event gempa yang besar (Mwp > 7,0) daripada untuk perhitungan Mwp event gempa yang lebih kecil (Mwp < 7,0). Secara keseluruhan nilai Mwp lebih besar daripada nilai MwCMT, namun dilihat dari selisihnya yang tidak terlalu signifikan maka hasil perhitungan Mwp dapat dinilai relatif baik. Seperti yang telah diketahui bahwa salah satu indikator parameter untuk menentukan gempa berpotensi tsunami menurut BMKG adalah magnitudo > 7,0 SR sehingga sangat tepat jika penetuan Mwp diaplikasikan sebagai metode yang digunakan oleh BMKG.

    4. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan

    Berdasarkan hasil studi penentuan moment magnitude menggunakan sinyal gelombang P broadband dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hasil penentuan Mw dan Mwp

    menggunakan sinyal gelombang P broadband dengan metode Tsuboi (1995) dari penelitian ini mendekati hasil perhitungan Mw Global CMT yang berdasarkan dari hasil perhitungan secara inversi.

    2. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai Mw dan Mwp setelah dibandingkan dengan nilai Mw Global CMT mempunyai nilai korelasi R2 = 0,969 sehingga hasilnya dinilai relatif baik dan tepat.

    3. Dari korelasi tersebut terlihat bahwa penentuan Mwp lebih cepat dari segi waktu karena hanya menggunakan sinyal gelombang P yang lebih awal tiba di masing-masing stasiun pengamat. Sedangkan perhitungan Mw Global

  • 1. Institut Teknologi Bandung 2. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

    CMT membutuhkan waktu yang lebih lama karena menggunakan seluruh sinyal gelombang seismik baik gelombang badan maupun gelombang permukaan serta masih menggunakan metode inversi.

    4. Hasil penentuan Mwp yang terbukti relatif lebih tepat dan cepat ini dapat diaplikasikan dalam memberikan pertimbangan keputusan peringatan dini tsunami di Indonesia.

    4.2 Saran

    1. Untuk meningkatkan ketepatan dalam penentuan Mwp ini diperlukan data sinyal gelombang P broadband dari jaringan stasiun pengamat yang lebih banyak lagi, sehingga bisa mendapatkan hasil yang lebih kecil selisihnya dari hasil perbandingan dengan MwCMT.

    2. Untuk meningkatkan kecepatan dalam penentuan Mwp ini diperlukan data dari stasiun pengamat far field maupun near field, sehingga tidak hanya terbatas pada penentuan gempa tele tetapi juga gempa lokal maupun regional yang waktu tiba gelombang P di stasiun pengamatnya lebih cepat sehingga dapat dianalisis lebih awal.

    3. Seluruh prosedur penentuan moment magnitude (Mwp) menggunakan sinyal gelombang P broadband ini masih manual, sehingga untuk meningkatkan kecepatan dalam penentuannya akan lebih cepat jika diaplikasikan dalam sistem penentuan yang real-time dan otomatis.

    Daftar Pustaka

    Kanamori H., 1977, The Energy Release in Great Earthquake, J. Geophys. Res. 82, 2981 2987.

    Kanjo K., T. Furudate, and Tsuboi S., 2006, Application of Mwp of the Great December 26, 2004 Sumatra Earthquake, Earth Planet Space. 58, 121 126.

    Kanjo K., Okamoto K., 2008, Practice of Seismic Analysis Code,International Institute of Seismology and Earthquake Engineering, Building Research Institute.

    Tsuboi S., K. Abe, K. Takano, and Y. Yamanaka, 1995, Rapid Determination of Mw from Broadband P Waveforms, Bulletin of the Seismological Society of America. 83, 606 613.

    Tsuboi S., P. M. Whitmore, and T. J. Sokolowski, 1999, Application of Mwp to Deep and Teleseismic Earthquake, Bulletin of the Seismological Society of America. 89, 345351.

    www.globalcmt.org

    www.iris.edu/dms/wilber.htm

  • 1. Institut Teknologi Bandung 2. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

    Tabel 3.2 Data Hasil Perhitungan Mw dan Mwp Event Gempabumi Berpotensi Tsunami di Wilayah Indonesia

    No Date (dd/mm/yyyy) Origin Time (hr, min, sec) Lat Lon Depth Region Mw

    CMT Mw Mwp

    1 04/07/1991 11:43:16.00 -8.02 124.73 17 Alor 6.7 6.59 6.79 2 02/06/1994 18:17:34.00 -11.03 113.04 15 Banyuwangi 7.7 7.59 7.79 3 21/01/1994 02:24:29.90 1.02 127.73 19.9 Halmahera 7.0 7.09 7.29 4 08/10/1994 21:44:13.50 -1.19 127.87 15 Halmahera 6.8 7.02 7.22 5 27/01/1995 20:17:05.20 -4.37 134.39 15 Papua 6.8 6.67 6.87 6 13/02/1995 15:04:30.40 -1.31 127.57 15 Halamahera 6.7 6.60 6.80 7 14/05/1995 11:33:28.60 -8.60 125.26 15.8 Timor 6.8 6.70 6.90 8 01/01/1996 08:05:23.10 0.74 119.93 15 Minahasa 7.9 7.76 7.96 9 17/02/1996 06:00:02:80 -0.67 136.62 15 Biak 8.2 8.01 8.21

    10 29/11/1998 14:10:45.10 -2.03 125.00 16.4 Seram 7.7 7.58 7.78 11 04/05/2000 04:21:33.40 -1.29 123.59 18.6 Sulawesi 7.5 7.29 7.49 12 04/06/2000 16:28:46.50 -4.73 101.94 43.9 Padang 7.8 7.67 7.87 13 10/10/2002 10:50:41.90 -1.79 134.3 15 Papua 7.5 7.36 7.56 14 28/03/2005 16:10:31.54 1.67 97.07 25.8 Nias 8.6 8.38 8.58 15 10/04/2005 10:29:17.76 -1.68 99.54 12 Padang 6.7 6.49 6.69 16 14/03/2006 06:57:37.46 -3.35 127.31 13 Buru 6.7 6.62 6.82 17 17/07/2006 08:20:38.40 -10.28 107.78 20 Pangandaran 7.7 7.43 7.63 18 12/09/2007 11:11:15.60 -3.78 100.99 24.4 Bengkulu 8.5 8.25 8.45 19 25/02/2008 08:36:42.39 -2.66 99.95 14.4 Pagai 7.2 7.07 7.27 20 16/11/2008 17:02:43.77 1.50 122.05 29.2 Sulawesi 7.3 7.25 7.45 21 03/01/2009 19:44:09.00 -0.38 132.83 15.2 Papua 7.7 7.49 7.69 22 11/02/2009 17:35:01.24 3.92 126.81 23.9 Talaud 7.1 7.10 7.30 23 16/08/2009 07:38:28.59 -1.56 99.45 12 Mentawai 6.7 6.59 6.79 24 30/09/2009 10:16:17.39 -0.79 99.67 77.8 Padang 7.6 7.58 7.78 25 06/04/2010 22:15:19.10 2.07 96.74 17.6 Sinabang 7.8 7.63 7.83 26 25/10/2010 14:42:59.81 -3.71 99.32 12 Mentawai 7.8 7.57 7.77