113063102-referat-hiv-pada-anak.doc

54
BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Sejauh ini lebih dari 6,5 juta perempuan di Indonesia jadi populasi rawan tertular HIV. Lebih dari 30% diantaranya melahirkan bayi yang tertular HIV. Pada tahun 2015, diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500 anak yang dilahirkan dan itu terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006 diperkirakan 4.360 anak terkena HIV dan separuh diantaranya meninggal dunia. Saat ini diperkirakan 2320 anak terkena HIV. Kebanyakan wanita mengurus keluarga dan anak-anaknya selain mengurus diri sendiri, sehingga gangguan kesehatan pada wanita akan mempengaruhi seluruh keluarganya. Wanita dengan HIV/AIDS harus mendapatkan dukungan dan perawatan mencakup penyuluhan yang memadai tentang penyakitnya, perawatan, pengobatan, serta pencegahan penularan pada anak dan keluarganya. Penularan HIV ke bayi dan anak bisa dari ibu ke anak, penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual pada anak). Penularan dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang bias terjadi pada saat kehamilan. Prevalensi penularan dari ibu ke bayi dalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%. Tingkat transmisi AIDS dapat dikurangi dari 25% - 30% menjadi kurang dari 2% (berkurang > 90%) kalau pakai obat antiretoviris (ARV) pada Trismester terakhir kehamilan, selama persalinan, dan kelahiran dan bayi diobati pascapersalinan selama 6 minggu dan tidak disusui. Aturan/resiman yang sangat efektif ini belum ada di Negara-negara sedang berkembang. Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada anak tahun 1983 di Amerika Serikat, yang mempunyai beberapa perbedaan dengan infeksi HIV pada orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan, pola serokonversi, riwayat perjalanan dan penyebaran penyakit, faktor resiko, metode diagnosis, dan manifestasi oral. (8) 1

Upload: paulus-apostolos-hasintongan-sianturi

Post on 21-Nov-2015

6 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUANI.1. LATAR BELAKANG

Sejauh ini lebih dari 6,5 juta perempuan di Indonesia jadi populasi rawan tertular HIV. Lebih dari 30% diantaranya melahirkan bayi yang tertular HIV. Pada tahun 2015, diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500 anak yang dilahirkan dan itu terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006 diperkirakan 4.360 anak terkena HIV dan separuh diantaranya meninggal dunia. Saat ini diperkirakan 2320 anak terkena HIV. Kebanyakan wanita mengurus keluarga dan anak-anaknya selain mengurus diri sendiri, sehingga gangguan kesehatan pada wanita akan mempengaruhi seluruh keluarganya. Wanita dengan HIV/AIDS harus mendapatkan dukungan dan perawatan mencakup penyuluhan yang memadai tentang penyakitnya, perawatan, pengobatan, serta pencegahan penularan pada anak dan keluarganya.Penularan HIV ke bayi dan anak bisa dari ibu ke anak, penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual pada anak). Penularan dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang bias terjadi pada saat kehamilan. Prevalensi penularan dari ibu ke bayi dalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%.Tingkat transmisi AIDS dapat dikurangi dari 25% - 30% menjadi kurang dari 2% (berkurang > 90%) kalau pakai obat antiretoviris (ARV) pada Trismester terakhir kehamilan, selama persalinan, dan kelahiran dan bayi diobati pascapersalinan selama 6 minggu dan tidak disusui. Aturan/resiman yang sangat efektif ini belum ada di Negara-negara sedang berkembang.InfeksiHuman immunodeficiency virus(HIV) pertama kali ditemukan pada anak tahun 1983 di Amerika Serikat,yang mempunyai beberapa perbedaan dengan infeksi HIV pada orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan, pola serokonversi, riwayat perjalanan dan penyebaran penyakit, faktor resiko, metode diagnosis, dan manifestasi oral.(8)Dampakacquired immunodeficiency syndrome(AIDS) pada anak terus meningkat, dan saat ini menjadi penyebabpertamakematian anak diAfrika, dan peringkatkeempatpenyebab kematian anakdi seluruh dunia.Saat iniWorld Health Organization(WHO) memperkirakan 2,7 juta anak di dunia telah meninggal karena AIDS.(8)Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali yaitu seorang warga negara Belanda. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa 3 (tiga) kali diulang, menyatakan positif, namun hasil Western Blot yang dilakukan di Amerika Serikat ialah negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur tersering infeksi pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal diperkirakan sebesar83%antara tahu 1992 sampai 2001. Di Amerika Serikat, infeksi HIV perinatal terjadi pada hampir 80% dari seluruh infeksi HIV pediatri. Infeksi perinatal sendiri dapat terjadi in-utero, selama periode peripartum, ataupun dari pemberian ASI, sedangkan transmisi virus melalui rute lain, seperti dari transfusi darah atau komponen darah relatif lebih jarang ditemukan. Selain itu, sexual abuse yang terjadi pada anak juga dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi HIV, di mana hal ini lebih sering ditemukan pada masaremaja.(1),(2)Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan pada anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi HIV harus menjadi suatu tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter untuk memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda yang mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan yang sukar sembuh, parotitis kronis, pneumonia berulang, lymphadenopati generalisata, gangguan perkembangan yang disertaifailure to thrive, dan kelainan kulit kronis-berulang.BAB II PEMBAHASAN

II.1. DEFINISI

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan AIDS tetapi HIV memungkinkan untuk menjadi pencetus terjadinya AIDS. Sampai saat ini masih ditemukan beberapa kontraversi tentang ketepatan mekanisme perusakan sistem imun oleh HIV.Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang termasuk dalam familia retrovirus yaitu kelompok virus berselubung(envelope virus)yang mempunyai enzim reverse transcriptase, enzim yang dapat mensintesis kopi DNA dari genon RNA. Virus ini masuk dalam sub familia lentivirus berdasarkan kesamaan segmen genon, morfologi dan siklus hidupnya. Sub familia lentivirus mempunyai sifat dapat menyebabkan infeksi laten, mempunyai efek sitopatik yang cepat, perkembangan penyakit lama dan dapat fatal.Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). AIDS adalah penyakit fatal yang merupakan stadium lanjut dari infeksi HIV. Infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik. Gejala umum yang sering terjadi pada anak adalah diare berkepanjangan, sering mengalami infeksi atau demam lama, tumbuh jamur di mulut, badan semakin kurus dan berat badan terus turun. Serta gangguan sistem dan fungsi organ tubuh lainnya yang berlangsung kronis atau lama. Secara primer HIV dan AIDS terjadi pada dewasa muda, tapi jumlah anak-anak dan remaja yang terkena semakin bertambah jumlahnya.II.2. ETIOLOGIVirus penyebab defisiensi imun yang dengan namaHuman Immunodeficiency Virus(HIV) adalah suatu virus RNA dari familiRetrovirusdan subfamiliLentiviridae.Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebutlymphadenopathy associated virus type-2(LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal juga sebagaihuman T cell-lymphotropic virus type III(HTLV-III),lymphadenipathy-associated virus(LAV) danAIDS-associated virus.Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.

Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.

Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan sel-sel enterokromafin).Sedangkangp 41atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu membentuk sinsitium.Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.

Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.

KARAKTERISASI VIRUS HIV Gambar 1. Struktur anatomi HIV-1 dan HIV - 2

Partikel HIV terdiri atasinner core yang mengandung 2 untai DNA identik yang dikelilingi oleh selubung fosfolipid. Genon HIV mengandung genenvyang mengkode selubung glikoprotein, gen gag yang mengkode protein core yang terdiri dari protein p17 (BM 17.000) dan p24 (BM 24.000), dan gen pol yang mengkode beberapa enzim yaitu : reverse trans-criptase, integrase dan protease. Enzim-enzim tersebut dibuuhkan dalam proses replikasi. Selain itu HIV juga mengandung 6 gen lainnya yaituvpr, vif, rev, nefdanvpuyang mengatur proses reproduksi virus. Bagian paling infeksius dari HIV adalah selubung glikoprotein gp 120 (BM 120.000) dan gp 41 (BM 41.000). Kedua glikoprotein tersebut sangat ber-peran pada perlekatan virus HIV dengan sel hospes pada proses infeksi.

HIV dikelompokkan berdasarkan struktur genom dan antigenitasnya yaitu HIV-1 dan HIV-2. Perbedaan infeksi kedua virus tersebut dapat dilihat pada tabel.

Tabel 1. Perbedaan infeksi HIV-2 dan HIV-1

II.3. PATOFISIOLOGI INFEKSI HIVSistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV menginfeksi sel Thelperyang memiliki reseptor CD4 di permukaannya, makrofag, sel dendritik, organ limfoid. Fungsi penting sel Thelperantara lain menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi, sehingga penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita mudah terinfeksi.Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel yang pertama kali terinfeksi ialah sel dendritik. Kemudian sel-sel ini menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim antigen tersebut ke sel-sel limfoid.HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, sehingga limfosit CD4 dihasilkan dan dikirim ke sel limfoid yang peka terhadap infeksi HIV. Limfosit-limfosit CD4 yang diakumulasikan di jaringan limfoid akan tampak sebagai limfadenopati dari sindrom retrovirus akut yang dapat terlihat pada remaja dan orang dewasa. HIV akan menginfeksi sel CD4 yang sangat berespon terhadapnya sehingga kehilangan respon dan kontrol pertumbuhan terhadap HIV. Ketika replikasi virus melebihi batas (biasanya 3-6 minggu sejak infeksi) akan terjadi viremia yang tampak secara klinis sebagaiflulike syndrome(demam, rash, limfadenopati, atrhralgia) terjadi 50-70% pada orang dewasa. Dengan terbentuknya respon imun humoral dan seluler selama 2-4 bulan, muatan virus dalam darah mengalami penurunan secara substansial, dan pasien memasuki masa dengan gejala yang sedikit dan jumlah CD4 yang meningkat sedikit.Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein virus gp120 pada molekul CD4.

Partikel HIV yang berikatan dengan molekul CD4 kemudian masuk ke dalam sel hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp41 yang terdapat pada permukaan membran virus. Molekul CD4 banyak terdapat pada sel limfosit T helper/ CD4+, narnun sel-sel lain seperti makrofag, monosit, sel dendritik, sel langerhans, sel stem hematopoetik dan sel mikrogial dapat juga terinfeksi HIV melalui ingesti kombinasi virus-antibodi atau melalui molekul CD4 yang diekspresikan oleh sel tersebut.

Banyak bukti menunjukkan bahwa molekul CD4 memegang peranan penting pada petogenesis dan efek sitopatik HIV.5 Percobaan tranfeksi gen yang mengkode molekul CD4 pada sel tertentu yang tidak mempunyai molekul tersebut, menunjukkan bahwa sel yang semula resisten ter-hadap HIV berubah menjadi rentan terhadap infeksi tersebut.8 Efek sitopatik ini bervariasi pada sel CD4+, namun paling tinggi pada sel dengan densitas molekul CD4 permukaan yang paling tinggi yaitu sel limfosit T CD4+.Sekali virion HIV masuk ke dalam sel, maka enzim yang terdapat dalam nukleoprotein menjadi aktif dan memulai siklus reproduksi virus. Nukleoprotein inti virus menjadi rusak dan genom RNA virus akan ditranskripsi menjadi DNA untai ganda oleh enzimreverse transcriptasedan kemudian masuk ke nukleus. Enzim integrase akan mengkatalisa integrasi antara DNA virus dengan DNA genom dari sel hospes. Bentuk DNA integrasi dari HIV disebut provirus, yang mampu bertahan dalam bentuk inaktif selama beberapa bulan atau beberapa tahun tanpa memproduksi virion baru. Itu sebabnya infeksi HIV pada seseorang dapat bersifat laten dan virus terhindar dari sistem imun hospes.

Partikel virus yang infeksius akan terbentuk pada saat sel limfosit T teraktivasi. Aktivasi sel T CD4+ yang telah terinfeksi HIV akan mengakibatkan aktivasiprovirusjuga. Aktivasi ini diawali dengan transkripsi gen struktural menjadi mRNA kemudian ditranslasikan menjadi protein virus. Karena protein virus dibentuk dalam sel hospes, maka membran plasma sel hospes akan disisipi oleh glikoprotein virus yaitu gp41 dan gp120. RNA virus danprotein corekemudian akan membentuk membran dan menggunakan membran plasma sel hospes yang telah dimodifikasi dengan glikoprotein virus, membentuk selubung virus dalam proses yang dikenal sebagai budding. Pada beberapa kasus aktivasi provirus HIV dan pembentukan partikel virus baru dapat menyebabkan lisisnya sel yang terinfeksi.Selama periode laten, HIV dapat berada dalam bentukprovirusyang berintegrasi dengan genom DNA hospes, tanpa mengadakan transkripsi. Ada beberapa faktor yang dapat mengaktivasi proses transkripsi virus tersebut. Secarain vitrotelah dibuktikan pada sel-T yang terinfeksi virus laten, rangsangan TNF(Tumor Necrosis Factor)dan IL-6 dapat meningkatkan produksi virus yang infeksius. Hal ini penting karena monosit pada individu yang terinfeksi HIV cenderung melepaskan sitoksin dalam jumlah besar sehingga dapat menyebabkan meningkatnya transkripsi virus.Infeksi beberapa virus dapat meningkatkan transkripsi provirus DNA pada HIV sehingga berkembang menjadi AIDS yaitu; HTLV-1,cytomegalovirus, virus herpes simplex, virus Epstein-Barr, adeno-virus, papovirus dan virus hepatitisB.

Gambar 2. Replikasi Virus HIVReplikasi HIV-1 permulaan pada anak tidak menunjukkan adanya manifestai klinis pada anak. Walaupun di tes dengan menggunakan PCR atau isolasi virus untuk sequenceasam nukleat dari virus, hanya 3 pola penyakit ditemukan pada anak-anak. Tepatnya 15-25% bayi baru lahir yang terinfeksi HIV pada negara berkembang muncul dengan perjalanan penyakit yang cepat, dengan gejala dan onset AIDS dalam beberapa bulan pertama kehidupan, median waktu ketahanan hidup ialah 9 bulan jika tidak diobati. Pada negara miskin, mayoritas bayi baru lahir akan mengalami perjalanan penyakit seperti ini. Telah diketahui bahwa infeksi intrauterin bertepatan dengan periode pertumbuhan cepat CD4 pada janin. Migrasi yang normal dari sel-sel ini menuju ke sumsum tulang, limpa, dan timus yang menghasilkan penyebaran sistemik HIV, tidak dapat dicegah oleh sistem imun yang imatur dari janin. Infeksi dapat terjadi sebelum pembentukan ontogenik normal sel imun, yang mengakibatkan gangguan dari imunitas. Anak-anak dengan keadaan seperti ini menunjukkan hasil tes PCR yang positif (nilai median 11.000 kopi/ml) pada 48 jam pertama kehidupan. Bukti ini menunjukkan terjadinya infeksi inuterin. Muatan virus akan terus meningkat dalam 2-3 bulan (750000kopi/ml) dan menurun secara perlahan. Berbeda dengan orang dewasa bahwa muatan virus pada anak-anak tetapi tinggi selama 1-2 tahun pertama.Infeksi perinatal mayoritas yang terjadi di negara berkembang (60-80%) mengalami pola penyakit yang kedua ini, yang mempunyai perjalanan penyakit yang lebih lambat, dengan median ketahanan hidup selama 6 tahun. Banyak pasien dengan penyakit ini memiliki tes kultur yang negatif dalam 1 minggu pertama kehidupan dan dipertimbangkan sebagai pasien bayi yang terinfeksi intrapartum. Pada pasien mauatn virus akan meningkat dengan cepat dalam 2-3 bulan pertama kehidupan (median 100.000 kopi/ml) dan menurun secara lambat setelah 24 bulan. Ini berbeda dengan orang dewasa dimana muatan virus berkurang dengan cepat setelah infeksi primer.

Pola ketiga dari perjalanan penyakit (long-term suvivors) muncul dalam jumlah kecil ( 1 tahun asimtomatis dengan status imunologi normal, terdapat 2 pilihan :a. Awali pengobatan tidak bergantung kepada gejala klinis.b. Tunda pengobatan pada keadaan resiko progresifitas perjalanan penyakit rendah atau adanya faktor lain misalnya pertimbangan lamanya respon pengobatan, keamanan dan kepatuhan.Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah : Peningkatanviral load Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau presentasi supresi imun (Kategori Imun 2 pada tabel ) Timbulnya gejala klinisKeputusan untuk memberikan terapi antiretrovirus harus memenuhi kriteria sebagai berikut :(7)1) Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk mendiagnosis HIV secara dini.2) Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ART) selama sedikitnya 1 tahun3) Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang ART, pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dll.4) Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong kepatuhan serta untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART5) Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati, dll.6) Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi oportunistik akibat HIV7) Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk infeksi oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV.8) Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja sosial, dukungan sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok dukungan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan pendampinya.9) Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk menyebarluaskan informasi dan pedoman baru.10) Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku.Perjalanan penyakit infeksi HIV dan penggunaan ART pada anak adalah serupa dengan orang dewasa tetapi ada beberapa pertimbangan khusus yang dibutuhkan untuk bayi, balita, dan anak yang terinfeksi HIV.Efek obat berbeda selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan anak. Kepatuhan berobat pada anak menjadi tantangan tersendiri.Terapi ARV memberi manfaat klinis yang bermakna pada anak yang terinfeksi HIV yang menunjukkan gejala. Uji klinis terhadap anak sudah menunjukkan bahwa ART memberi manfaat serupa dengan pemberian ART pada orang dewasa.Saat ini ada 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia:1.Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors(NRTIs): Obat ini dikenal sebagai analog nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir (ABC).

2.Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors(NNRTI): obat ini berbeda dengan NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA. Obat dalam golongan ini termasuk nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV).

3.Protease Inhibitor(PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat dalam golongan ini termasuk Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV), Amprenavir (APV), dan Lopinavir/ritonavir (LPV/r).

Regimen obat yang diusulkan di Indonesia ialah :Salah satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari Kolom B

Kolom AKolom B

Nevirapine (NVP)AZT + ddl

Nelfinavir (NVF)ddl+3TC

d4T + ddl

AZT + 3TC

d4T + 3TC

Tabel 5.Regimen ART yang diusulkan di Indonesia

Untuk neonatus, regimen obat yang diberikan berupa 2nucleoside reverse transcriptase inhibitors(NRTIs)atau nevirapine dengan 2NRTIsatauprotease inhibitordengan 2NRTIs. Selain itu, juga direkomendasikan pemberian zidovudine dengan didanosine atauzidovudine dengan lamivudine dikombinasi dengan nelfinavir atau ritonavir. Untuk bayi-bayi yang lebih tua dan anak-anak, direkomendasikan beberapa regimen antiretroviral.Protease inhibitorsebagai pilihan utama dengan 2NRTIs.Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitoryang paling direkomendasikan untuk anak-anak berusia lebih dari tiga tahun adalah 2NRTIs dengan efavirenz (dapat disertai dengan atau tanpaprotease inhibitor). Untuk anak-anak berusia kurang dari tiga tahun yang belum dapat mendapat tablet, regimennonnucleosideterpiliih adalah 2NRTIs dengan nevirapine. Alternatif pemberian regimen terapinucleoside analogueadalah zidovudine dengan lamivudine dan abacavir.

Pemantauan pengobatanPemantauan pengobatan diperlukan untuk melihat :

1.Kepatuhan minum obat.

2.Gejala baru yang timbul akibat efek samping obat maupun dari perjalanan penyakit itu sendiri.

Pemantauan sebaiknya dilakukan setelah 1 bulan pengobatan dimulai dan selanjutnya setiap 3 bulan sekali.

Pemantauan keberhasilan dan toksisitas ART:

1.Secara klinis

a.Berat badan meningkat

b.Tidak kena infeksi opportunistik, atau kalau pun terkena, infeksi tidak berat

c.Anamnesis gejala yang berhubungan dengan HIV seperti batuk lebih dari 2 minggu, demam, diare, dll disertai pemeriksaan fisik.

2.Pemeriksaan laboratorium

Tes darah rutin termasuk tes darah lengkap, SGOT/SGPT, kreatinin, gula darah, kolesterol dan trigliserid dibutuhkan untuk memantau efek samping obat dan perjalanan penyakit. Jenis tes yang dibutuhkan bergantung pada regimen obat yang digunakan. Tes jumlah CD4 setiap 6 bulan sekali diperlukan untuk menentukan kapan profilaksis dapat dihentikan. Bila tes ini belum dapat dilakukan maka dapat dipakai hitung limfosit total.

Indikasi untuk Mengganti Regimen atau Berhenti ARTMengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan degan mengganti satu atau lebih obat dari golongan yang sama dengan obat yang dicurigai mengakibatkan toksisitas.(7)Mengganti terapi akibat kegagalan, untuk hal ini terdapat kriteria khusus untuk penggantian terapi menjadi regimen yang baru secara keseluruhan (masing-masing obat dalam kombinasi diganti dengan yang baru) atau penghentian terapi penggantian atau penghentian dilakukan apabila :1. ODHA pernah menerima regimen yang sama sekali tidak efektif lagi misalnya monoterapi atau terapi dengan 2 nukleosida Nucleosida reverse transcriptase inhibitor (NRTI)2. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load menjadi terdeteksi kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi.3. Jumlah CD4 terus-menerus menurun setelah dites 2 kali dengan interval beberapa minggu4. Infeksi opportunistik denganimmune reconstitution syndrome/sindrom pemulihan kembali kekebalan.Asuhan GiziAsuhan gizi merupakan komponen penting dalam perawatan individu yang terinfeksi HIV. Mereka akan mengalami gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan dan hal ini berkaitan dengan kurang gizi. Penyebabnya multifaktorial antara lain karena anoreksia, gangguan penyerapan sari makanan pada saluran cerna, hilangnya cairan tubuh akibat diare dan muntah, dan gangguan metabolisme. Jika seseorang dengan HIV mempuyai status gizi yang baik maka daya tahan tubuh akan lebih baik sehingga menghambat memasuki tahap AIDS.Asuhan gizi dan terapi gizi bagi ODHA sangat penting bagi mereka yang mengkonsumsi ARV. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan ARV dan obat infeksi opoortunistik dan juga sebaliknya, sehingga mmerlukan pengaturan diet seperti obat ARV dimakan ketika saat lambung kosong.Prinsip gizi medis pada ODHA ialah tinggi kalori tinggi protein (TKTP) diberikan secara oral, juga kaya vitamin meneral dan cukup air. Berdasarkan beberapa penelitian, pemberian stimulan nafsu makan, sepertimegestrol acetatedanhuman recombinant growth hormonedapat memberikan kenaikan berat badan dan pertumbuhan.

Seiring dengan berkembangnya penyakit, akan terjadi penurunan berat badan yang sangat drastis (drastic wasting) dan terhambatnya pertumbuhan anak. Berkurangnya cadangan protein dapat diatasi dengan meningkatkan intake asam amino, terutama threonine dan methionine.

Bayi yang lahir dari ibu HIV tidak boleh diberi ASI ibunya, sehingga bayi diberikan pengganti air susu ibu (PASI). Namun dalam keadaan tertentu dimana pemberian PASI tidak memungkinkan dan bayi akan jatuh ke dalam kurang gizi, ASI masih dapat diberikan dengan cara diperas dan dihangatkan terlebih dahulu pada suhu di atas 66OC untuk membunuh virus HIV.

Rekomendasi terkait menyusui untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut :

1. Menyusui bayinya secara eksklusif selama 4-6 bulan untuk ibu yang tidak terinfeksi atau ibu yang tidak diketahui status HIV-nya.

2. Ibu dengan HIV positif dianjurkan untuk tidak memberikan ASI dan sebaliknya memberikan susu formula (PASI) atau susu sapi atau kambing yag diencerkan.

3. Bila PASI tidak memungkinkan disarankan pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan kemudian segera dihentikan untuk diganti dengan PASI.

II.10. PROGNOSISViremia plasma dan hitung limfosit CD4 sesuai usia dapat menentukan resiko perjalanan penyakit dan komplikasi HIV. Prognosis yang buruk pada infeksi perinatal berhubungan dengan terjadinya encephalofati, infeksi, perkembangan menjadi AIDS lebih awal, dan berkurangnya jumlah limfosit CD4 yang cepat. Tanpa terapi, kurang lebih 30% bayi yang terinfeksi berkembang menjadi gejala klinis berat kategori C atau kematian dalam 1 tahun kehidupan. Dengan terapi yang optimal angka mortalitas dan morbiditas menjadi rendahII.11. PENCEGAHAN

1. Dapatkah perempuan terinfeksi HIV hamil/memiliki anakKita semua berhak untuk menikah dan mendapatkan keturunan. Menjadi HIV positif tidak mengurangi hak kita. Namun jelas tanggung jawab kita juga lebih besar. Kita pasti ingin supaya anak kita tidak terinfeksi HIV, dan ada beberapa cara untuk mengurangi risiko ini. Selain itu, kita pasti ingin tetap sehat agar dapat membesarkan anak kita. Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi kita tidak terinfeksi dan kita tetap sehat adalah dengan memakai terapi antiretroviral (ART). Perempuan terinfeksi HIV di seluruh dunia sudah memakai obat antiretroviral (ARV) secara aman waktu hamil lebih dari sepuluh tahun. ART sudah berdampak besar pada kesehatan perempuan terinfeksi HIV dan anaknya. Oleh karena ini, banyak dari mereka yang diberi semangat untuk mempertimbangkan mendapatkan anak.2. Penatalaksanaan selama kehamilanKonseling merupakan keharusan bagi wanita positif-HIV. Hal ini sebaiknya dilakukan pada awal kehamilan, dan apabila ia memilih untuk melanjutkan kehamilannya, perlu diberikan konseling berkelanjutan. Perkembangan penatalaksanaan selama kehamilan mengikuti kemajuan-kemajuan dalam pengobatan individu non hamil dengan HIV. Konsekuensi penyakit yang tidak diobati sangat merugikan, terjadi pergeseran dari fokus yang semata-mata untuk melindugi janin menjadi pendekatan yang lebih berimbang berupa pengobatan ibu dan janinnya.Banyak terjadi kemajuan dalam pengobatan HIV. Sejumlah penelitian membuktikan bahwakombinasi analog nukleosida-zidovudin, zalsitabin, ataulamivudinyang diberikan bersama dengan suatuinhibitor protease-indinavir, ritonavir, atausakuinavirsangat efektif untuk menekan kadar RNA HIV. Pada pasien HIV yang diberi kemoterp triple, angka kelansungan hidup jangka panjang meningkat dan morbiditas berkurang.Center for Disease Control and Prevention (1998)menganjurkan untuk menawarkan terapi antiretrovirus (ARV) kombinasi pada wanita hamil. Petunjuk ini diperbarui olehPerinatal HIV Guidelines Working Group (2000,2001). Working Group merekomendasikan pemeriksaan hitung CD4+ limfosit T dan kadar RNA HIV kurang lebih tiap trimester, atau sekitar setiap 3 sampai 4 bulan. Hasil pemeriksaan ini dipakai untuk mengambil keputusan untuk memulai terapi ARV, mengubah terapi, menentukan rute pelahiran, atau memulai profilaksis untuk pneumonia Pneumocystis carinii.Bahkan dengan pengobatan, penyulit non-infeksi menigkat pada para wanita dan bayi. Wanita hamil yang diterapi dua inhibitor transcriptase mengalami efek merugikan dan sering terjadi pelahiran preterm.Pada ibu juga dilakukan pemeriksaan untuk penyakit menular seksual lain dan tuberculosis (TB). Pasien diberi vaksininasi untuk hepatiis B, influenza, dan mungkin juga infeksi pneumokokus. Apabila hitung CD4+ kurang dari 200 /ul, dianjurkan pemberian profilaksis primer P.carinii. Pneumonia diterapi dengan pentamidin atau sulfametoksazol-trimetoprin oral atau intravena. Infeksi oportunistik simtomatik lain yang mungkin timbul adalah toksoplasmosis, herpes, dan kandidiasis.3. Penatalaksanaan PersalinanSeksio SesareaEuropean Collaborative Study Group(1994) melaporkan bahwa seksio sesarea elektif dapat mengurangi risiko penularan vertikal sekitar 50 %. Apabila dianalisis berdasarkan terapi ARV, tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam angka penularan pada wanita yang mendapat zidovudin dan menjalani seksio sesarea versus per vaginam.Internasional Perinatal HIV Group(1999) baru-baru ini melaporkan penularan HIV vertikal secara bermakna menurun menjadi kurang dari separuh apabia saksio sesarea dibandingkan dengan cara pelahiran lain. Apabila pada masa prenatal, intrapartum, dan neonatal juga diberikan terapi ARV dan dilakukan seksio sesarea, kemungkinan penularan vertikal akan berkurang sebesar 87 % disbanding dengan cara pelahiran lain dan tanpa terapi ARV.Berdasarkan temuan ini,American College of Obstetricians and Gynecologists(2000) menyimpulkan bahwa seksio sesarea terencana harus dianjurkan bagi wanita terinfeksi HIV dengan jumlah RNA HIV-1 lebih dari 1000 salinan/ml. Hal ini dilakukan tanpa memandang apakah pasien sedang atau belum mendapat terapi ARV. Persalinan terencana dapat dilakukan sebelum 38 minggu untuk mengurangi kemungkinan pecahnya selaput ketuban.Penulis-penulis lain mengungkapkan kekhawatiran morbiditas mungkin meningkat secara bermakna pada wanita terinfeksi HIV yang menjalani seksio sesarea. Mereka menyimpulkan bahwa terapi ARV kombinasi dapat menurunkan resiko penularan vertikal sampai serendah 2 %. Morris,dkk tidak melaporkan adanya penularan perinatal pada 76 wanita yang mendapat terapi ARV sangat aktif (High active antiretroviral therapy, HAART).PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE BAYI

Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu:a) Prong 1 : Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;b) Prong 2 : Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif;c) Prong 3 : Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya;d) Prong 4 : Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya.Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan Prong 1 dan Prong 2. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi, diimplementasikan semua prong. Ke-empat prong secara nasional dikoordinir dan dijalankan oleh pemerintah, serta dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta dan lembaga swadaya masyarakat.Pedoman baru dari WHO mengenai pencegahan penularan dari ibu-ke-bayi(preventing mother-to-child transmission/PMTCT) berpotensi meningkatkan ketahanan hidup anak dan kesehatan ibu, mengurangi risiko (mother-to-child transmission/MTCT) hingga 5% atau lebih rendah serta secara jelas memberantas infeksi HIV pediatrik.Pedoman itu memberikan perubahan yang bermakna pada beberapa tindakan di berbagai bidang. Anjuran kunci adalah: ART untuk semua ibu hamil yang HIV-positif dengan jumlah CD4 di bawah 350 atau penyakit WHO stadium 3 atau penyakit HIV stadium 4, tidak menunda mulai pengobatan dengan tulang punggung AZT dan 3TC atau tenofovir dan dengan 3TC atau FTC. Penyediaan antiretroviral profilaksis yang lebih lama untuk ibu hamil yang HIV-positif yang membutuhkan ART untuk kesehatan ibu. Apabila ibu menerima ART untuk kesehatan ibu, bayi harus menerima profilaksis nevirapine selama enam minggu setelah lahir apabila ibunya menyusui, dan profilaksis dengan nevirapine atau AZT selama enam minggu apabila ibu tidak menyusui. Untuk pertama kalinya ada cukup bukti bagi WHO untuk mendukung pemberian ART kepada ibu atau bayi selama masa menyusui, dengan anjuran bahwa menyusui dan profilaksis harus dilanjutkan hingga bayi berusia 12 bulan apabila status bayi adalah HIV-negatif atau tidak diketahui. Apabila ibu dan bayi adalah HIV-positif, menyusui harus didorong untuk paling sedikit dua tahun hidup, sesuai dengan anjuran bagi populasi umum.Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah mencegah penularan pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa bayi hanya dapat tertular oleh ibunya. Jadi bila ibunya HIV-negatif, maka bayi juga tidak terinfeksi HIV. Status HIV ayah tidak mempengaruhi status HIV bayi. Hal ini dapat dijelaskan karena sperma ayah yang menderita HIV tidak mengandung virus, yang mengandung virus adalah air mani. Oleh sebab itu, telur ibu tidak dapat ditularkan sperma. Jelas, bila perempuan tidak terinfeksi, dan melakukan hubungan seks dengan laki-laki tanpa kondom dalam upaya buat anak, ada risiko si perempuan tertular. Dan bila perempuan terinfeksi pada waktu tersebut, dia sendiri dapat menularkan virus pada bayi. Tetapi laki-laki tidak dapat langsung menularkan janin atau bayi. Hal ini menekankan pentingnya kita menghindari infeksi HIV pada perempuan.Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan harus dicegah. Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu di bawah 1.000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko kontak cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi waktu itu, dan hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI. Dengan semua upaya ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8%.

1. PMTCT dengan antiretroviral penuhUntuk mengurangi viral load ibu, cara terbaik adalah dengan memakai terapi antiretroviral penuh sebelum menjadi hamil. Ini akan mencegah penularan pada janin. Terapi antiretroviral dapat diberikan walaupun tidak memenuhi kriteria untuk mulai terapi antiretroviral; setelah melahirkan bisa berhenti lagi bila masih tidak dibutuhkan.Pedoman baru dari WHO melonggarkan kriteria terapi antiretroviral untuk perempuan hamil. WHO mengusulkan perempuan hamil dengan penyakit stadium klinis 3 dan CD4 di bawah 350 ditawarkan ART (antiretroviral therapy). Jelas bila CD4 di bawah 200, atau mengalami penyakit stadium klinis 4, sebaiknya si perempuan memakai ART.Namun ada sedikit keraguan dengan rejimen yang sebaiknya diberikan pada perempuan. Perempuan hamil tidak boleh diberikan efavirenz pada triwulan pertama. Selain itu, ada masalah dengan pemberian nevirapine pada perempuan dengan CD4 yang masih tinggi: efek samping ruam dan hepatotoksisitas (keracunan hati) lebih mungkin dialami oleh perempuan dengan di atas 250. Jadi dibutuhkan pemantauan yang lebih ketat, sedikitnya pada beberapa minggu pertama, bila nevirapine diberikan pada perempuan dengan CD4 di atas 250.(26)

2. PMTCT mulai diniNamun sering kali si ibu baru tahu dirinya terinfeksi setelah dia hamil. Mungkin ARV tidak terjangkau. Seperti dibahas, ibu hamil tidak boleh memakai efavirenz pada triwulan pertama, tetapi mungkin nevirapine menimbulkan efek samping. Bila dia pakai terapi TB (tuberculosis), diusulkan dihindari nevirapine, walaupun boleh tetap dipakai NNRTI (non nucleoside reverse transcriptase inhibitor)ini bila tidak ada pilihan lain. Dan apa dampak bila ART diberikan pada perempuan tetapi tidak pada suami yang terinfeksi juga? Apakah si perempuan akan kasih obatnya pada suami, atau lebih buruk lagi, obatnya dibagi dengan dia? Bila menghadapi beberapa masalah ini, atau si perempuan tetap tidak memenuhi kriteria untuk mulai ART penuh, sebaiknya dia ditawarkan protokol yang berikut.

Tabel 6. Rezimen PMTC DiniAZT dan 3TC diteruskan setelah melahirkan untuk mencegah timbulnya resistansi pada nevirapine, karena walaupun hanya satu pil diberikan waktu persalinan, tingkat nevirapine dapat tetap tinggi dalam darah untuk beberapa hari, jadi serupa dengan monoterapi dengan nevirapine. Hal yang serupa pada bayi dicegah dengan pemberian AZT setelah dosis tunggal nevirapine.

Sekali lagi, protokol ini membutuhkan diagnosis dan perawatan agak dini, dan obat harus tersedia. Bila ibu diberikan AZT untuk kurang dari empat minggu sebelum melahirkan, AZT pada bayi sebaiknya diteruskan selama empat minggu, bukan tujuh hari.(26)

3. PMTCT mulai lambatBila baru dapat mulai pengobatan waktu persalinan yang dapat dipaka sebagai berikut

Tabel 7. Rezimen PMTC Lambat4. Makanan bayiSampai 10% bayi dari ibu HIV-positif tertular melalui menyusui, tetapi jauh lebih sedikit bila disusui secara eksklusif. Sebaliknya lebih dari 3% bayi di Indonesia meninggal akibat infeksi bakteri, yang sering disebabkan oleh makanan atau botol yang tidak bersih. Ada juga yang diberi pengganti ASI (PASI) dengan jumlah yang kurang sehingga bayi meninggal karena malnutrisi. ASI memberi semuanya yang dibutuhkan oleh bayi untuk tumbuh dan melawan infeksi. Jadi sering kali bayi lebih berisiko bila diberi PASI daripada ASI dari ibu HIV-positif. Oleh karena itu usulan sekarang adalah agar bayi diberi ASI eksklusif untuk enam bulan pertama, kemudian disapih mendadak, kecuali bila dapat dipastikan bahwa PASI secara eksklusif dapat diberi dengan cara AFASSA =Affordable(terjangkau)F = Feasible(praktis)A = Acceptable(diterima oleh lingkungan)S = Safe(aman)S = Sustainable(kesinambungan)Itu berarti tidak boleh disusui sama sekali. Ada banyak masalah: mahalnya harga susu formula, sehingga sering bayi tidak diberi cukup; kalau bayi menangis, ibu didesak untuk menyusuinya; ibu yang tidak menyusui dianggap kurang memperhatikan bayi, atau melawan dengan asas; air yang dipakai tidak bersih, atau campuran tidak disimpan secara aman; dan apakah PASI dapat diberi terus-menerus.ASI eksklusif berarti bayi hanya diberi ASI dari saat lahir tanpa makanan atau minuman lain, termasuk air. ASI adalah sangat halus, mudah diserap oleh perut/usus. Makanan lain lebih keras sehingga lapisan perut/usus membuka agar diserap, membiarkan HIV dalam ASI menembus dan masuk darah bayi. Jadi risiko penularan tertinggi bila bayi diberi ASI yang mengandung HIV, bersamaan dengan makanan lain. Harus ada kesepakatan sebelum melahirkan antara ibu, ayah dan petugas medis agar bayi langsung disusui setelah lahir, sebelum diberi makanan/minuman lain. Setelah enam bulan, sebaiknya disapih secara mendadak (berhenti total menyusui). DAFTAR PUSTAKA

1. LAPORAN KASUS HIV-AIDS DI INDONESIA Triwulan 3 Tahun 2011 Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan, Kementerian Kesehatan RI

2. Prof. Subowo, dr. Msc.Phd. 2010.Imunologi Klinik.CV. SAGUNG SETO. P.177.Jakarta

3. Wiknjosastro H, Saifuddin A B, Rachimhadhi T. Penyakit Menular. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin A B, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo d/a Bagian Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. 556.

4. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human Imunodeficiency Virus. Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. 243 247.

5. Abbas A, Lichtman A, Pober J. Cellular and Molecular Immunology. Philadelphia : WB Saunders Co 1994; 418-25.

6. Stites D, Terr A, Parslow T. Medical Immunology. Ninth ed. London Prentice Hall Int Inc 1997; 748-55.

7. Sarwo Handayani.Balitbang Depkes RI.Deplesi Sel Limfosit CD4+ pada infeksi HIV.Cermin Dunia Kedokteran No.130.2001

8. Kuby J. Immunology. Second Ed. New York : Freeman and Co. 1996; 523-56.

9. Whittle H, Ariyoshi K, Rowland-Jones S. HIV-2 and T Cell Recognition. Current Op in Immunol 1998; 10 : 383.

10. Wolther K, Schuitmaker H, Miedema F. Rapid CD4+ T-Cell Turnover HIV 1 Infection: Paradigm Revisited. J Immunol Today 1998; 19 : 44-7.

11. Benjamini E, Lekowitz S. Immunology : A Short Course. Second ed. New York: Wiley and Sons 1991; 226-9.

12. Roit I, Brostoff J, Male D. Immunology, Fourth ed. London: Mosby 1996; 16.7-16.8, 21.7.

13. Lane C. Immunophatogenesis of HIV Infection. Medscape HIV/AIDS. Annual Update. Norhwestern Univ Med School 1999.

14. O' Brien S, Dean M. In Search of AIDS-Resistance Genes. J Scient Am 1997; Sept : 28-33.

15. http://www.metapathogen.com/HIV-1/HIV-1-anatomy.html16. Donel Suhaimi,dkk.2009.Pencegahan dan Penatalaksanaan Infeksi HIV pada Kehamilan.Pekan Baru.

17. Greenwood D, Slack R, Peutherer J, Barer M. Medical microbiology: a guide to microbial infections: pathogenesis, immunity, laboratory diagnosis and control. Edisi ke-17. UK: Churchill Livingstone; 2007.

18. Green WC. Latar belakang dan masalah umum. Dalam: Green WC (eds). HIV, kehamilan, dan kesehatan perempuan. Yayasan spiritia, Jakarta;2009:4-6.

19. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu dan bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006; 13-16.

20. Samsuridjal D. Gejala-gejala infeksi HIV/AIDS. Dalam kumpulan Artikel dan Makalah untuk Pelatihan Penatalaksanaan HIV/AIDS di RS provinsi sumatera Utara. Medan;http://www.ilunifk83.com/t71-hiv-aids21. Lubis, Imran. Pemeriksaan Laboratorium untuk HIV, dalam AIDS pada Cermin Dunia Kedokteran No.75, 1992. Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta.

22. Cunningham F G, Gant N F, Leveno K J, Gilstrap L C, Hauth J C, Wenstrom, K D. Penyakit Menular Seksual. Dalam: Cunningham F G, Gant N F, Leveno K J, Gilstrap L C, Hauth J C, Wenstrom, K D. Obstetri Williams. Jakarta: EGC. 2006. 1677 1678.

23. Isselbacher, J Kurt. dkk. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison. Editor: Ahmad H. Asdie. Volume 4, Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.

24. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom, KD. Penyakit menular seksual. Dalam: Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom, KD. Obstetri Williams. EGC, Jakarta; 2006: 1680-1681.

25. Jaringan pencegahan HIV dari ibu ke anak. Kebijakan PMTCT Indonesia: PMTCT.net; 2008. h.1.

26. Kemenkes RI.2011.Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Ke Bayi.Jakarta

1