dm pada anak.doc

44
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan obesitas pada anak dan remaja juga disertai dengan peningkatan insiden Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja. Sangat penting untuk mencapai dan mempertahankan kontrol metabolik pada anak dan remaja untuk mencegah peningkatan risiko komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler dan kurangnya kontrol glikemik pada saat dewasa. 1 Manifestasi klinis Diabetes Mellitus Tipe 2 heterogen di usia muda, dari gejalanya minimal sampai dengan ketoasidosis diabetik. Peningkatan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja, telah sebanding dengan meningkatnya obesitas, yang merupakan faktor risiko utama yang mempengaruhi sensitivitas insulin. Faktor risiko tambahan termasuk ras, riwayat keluarga diabetes mellitus, ibu diabetes selama kehamilan, kelompok usia pubertas dan kondisi-kondisi yang berhubungan dengan resistensi insulin. Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2 telah dipelajari dan diterima secara luas bahwa resistensi insulin, penting untuk pengembangan klinis diabetes melitus di masa dewasa. 2 Prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja terus mengalami peningkatan di seluruh dunia. Selama 3 dekade terakhir, Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit yang 1

Upload: ramadhan-ananda-putra

Post on 21-Oct-2015

61 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan obesitas pada anak dan remaja juga disertai dengan peningkatan insiden

Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja. Sangat penting untuk mencapai dan

mempertahankan kontrol metabolik pada anak dan remaja untuk mencegah peningkatan

risiko komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler dan kurangnya kontrol glikemik pada

saat dewasa.1

Manifestasi klinis Diabetes Mellitus Tipe 2 heterogen di usia muda, dari gejalanya

minimal sampai dengan ketoasidosis diabetik. Peningkatan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada

anak dan remaja, telah sebanding dengan meningkatnya obesitas, yang merupakan faktor

risiko utama yang mempengaruhi sensitivitas insulin. Faktor risiko tambahan termasuk ras,

riwayat keluarga diabetes mellitus, ibu diabetes selama kehamilan, kelompok usia pubertas

dan kondisi-kondisi yang berhubungan dengan resistensi insulin. Patofisiologi Diabetes

Mellitus Tipe 2 telah dipelajari dan diterima secara luas bahwa resistensi insulin, penting

untuk pengembangan klinis diabetes melitus di masa dewasa.2

Prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja terus mengalami

peningkatan di seluruh dunia. Selama 3 dekade terakhir, Diabetes Mellitus Tipe 2

merupakan penyakit yang sebelumnya terbatas pada pasien dewasa, telah meningkat tajam

prevalensinya di kalangan anak dan remaja. Di Amerika Serikat, sekitar 1 dari 3 kasus baru

diabetes melitus yang didiagnosis pada pasien dengan usia kurang dari 18 tahun adalah

Diabetes Mellitus Tipe 2. Masalah ini tidak terbatas di Amerika Serikat, tetapi juga terjadi

secara internasional.3 Di kalangan anak-anak usia sekolah di Jepang kejadian Diabetes

Mellitus Tipe 2 meningkat dari 7,2 per 100.000 kasus pada tahun 1976-1980 menjadi 13,9

per 100.000 kasus pada 1991-1995. Kejadian tahunan rata-rata Diabetes Mellitus Tipe 2

pada anak-anak Australia dengan usia kurang dari 16 tahun adalah 2,5 per 100.000 kasus

pada tahun 2001-2002.4

Meningkatnya Diabetes Mellitus Tipe 2 anak dan remaja menimbulkan tantangan

kepada dokter untuk mengobati penyakit ini. Kebanyakan edukasi yang dirancang pada anak

1

penderita Diabetes Mellitus Tipe 1 yang menekankan pengobatan insulin dan pemantauan

glukosa, tidak selalu sesuai untuk anak-anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2. Kebanyakan

obat yang digunakan untuk Diabetes Mellitus Tipe 2 telah diuji untuk keamanan dan

keampuhan hanya pada individu dengan usia lebih dari 18 tahun, dan ada sedikit bukti

ilmiah untuk optimalnya pengelolaan anak-anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2.3

Prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja terus mengalami

peningkatan. Data di Indonesia menunjukkan prevalensi diabetes pada anak di daerah

perkotaan Jakarta meningkat dari 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1995,

namun sayangnya tidak ada data lebih lanjut mengenai prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2.

Sampai saat ini, obat anti diabetik oral yang sudah disetujui penggunaannya pada anak oleh

Food and Drug Administration (FDA) hanya metformin. Sedangkan obat anti diabetik oral

golongan lain masih dalam perdebatan. Secara umum, mekanisme kerja obat-obat tersebut

dalam mengontrol kadar gula darah yaitu dengan meningkatkan sekresi insulin seperti obat

golongan sulfonylurea, menurunkan resistensi insulin seperti obat golongan biguanid dan

menurunkan absorpsi glukosa postprandial seperti obat golongan inhibitor alfa-glucosidase.

Keberhasilan terapi dinilai berdasarkan kadar glukosa darah, kadar HbA1c, dan sindrom

metabolik yang menyertainya seperti obesitas, hipertensi dan hiperlipidemia. Selain

mengontrol kadar gula darah, tata laksana Diabetes Mellitus Tipe 2 juga meliputi modifikasi

gaya hidup dan mengatasi gejala sindrom metabolik yang menyertainya. Tujuan terapi

Diabetes Mellitus Tipe 2 secara keseluruhan adalah tercapainya kadar glukosa darah yang

normal, penurunan berat badan pada pasien obesitas, pengendalian faktor-faktor comorbid

seperti hipertensi, dislipidemia, nefropati, dan steatosis hepatik (fatty liver).5

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi,

epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan,

komplikasi, dan prognosis dari Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja.

1.3 Manfaat Penulisan

Referat ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi tentang Diabetes

Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja.

2

1.4 Metode Penulisan

Penulisan referat ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada

berbagai literatur.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan kelainan metabolik yang kompleks, ditandai dengan

defek pada sekresi insulin dan kerja insulin yang akan menyebabkan hiperglikemia. (6)

Pasien dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 menunjukkan resistensi terhadap insulin pada

tingkat otot skelet, peningkatan produksi glukosa oleh hepar, dan penurunan sekresi insulin.(7) Obesitas pada anak dan remaja telah menyebabkan peningkatan insidens Diabetes

Mellitus Tipe 2 dalam 2 tahun terakhir ini.(8) Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan di

seluruh dunia, bahkan WHO menyatakan bahwa obesitas sudah merupakan suatu epidemik

global, sehingga obesitas sudah merupakan suatu problem kesehatan yang harus segera

ditangani (9)

II.3 Faktor Risiko

Faktor risiko untuk Diabetes Mellitus Tipe 2 termasuk riwayat keluarga (kondisi medis yang

resisten insulin), obesitas, aktifitas fisik yang kurang, ras dan etnik.(10)

a. Riwayat Keluarga

Faktor genetik mempengaruhi perkembangan Diabetes Mellitus Tipe 2,

sehingga riwayat  keluarga merupakan faktor risiko yang penting. Risiko untuk

pasien dengan riwayat keluarga yang mempunyai Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah

lima sampai sepuluh kali lebih tinggi dari pasien tanpa riwayat keluarga diabetes.

Dalam suatu studi, 39% peserta dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 memiliki

setidaknya satu orangtua yang mempunyai penyakit yang sama. (10)

b. Kondisi Resistensi Insulin

Sindrom ovarium polikistik (PCOS) dan acanthosis nigricans berhubungan

dengan resistensi insulin. Sindrom ovarium polikistik ini ditandai dengan

hiperandrogenisme dan amenore yang berhubungan dengan anovulasi kronik.

Wanita dan perempuan muda dengan PCOS mempunyai risiko yang tinggi untuk

intoleransi glukosa dan Diabetes Mellitus Tipe 2. Acanthosis nigricans adalah

4

gangguan kulit yang mempengaruhi intertriginosa area tubuh (misalnya, pangkal

leher, ketiak, daerah antecubital), dan menyebabkan peningkatan kekasaran dan

ketebalan kulit serta hiperpigmentasi. Kondisi ini disebabkan oleh kelebihan insulin

akibat resistensi insulin dan terdapat pada 90% dari anak-anak yang memiliki

Diabetes Mellitus Tipe 2. (10)

c. Obesitas dan Aktifitas Fisik yang Kurang

85% dari pasien yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 juga obesitas.

Individu dengan berat badan yang berlebihan disertai dengan toleransi glukosa yang

terganggu mengalami resistensi insulin perifer dan deposisi lemak yang lebih tinggi

pada organ visceral dan intramuscular. (10)

d. Ras dan Etnis

Di Amerika Serikat, Diabetes Mellitus Tipe 2 ditemukan 2-6 kali lebih sering

pada populasi Hispanik berbanding orang kulit putih non-hispanik. Data dari seluruh

dunia menunjukkan bahwa obesitas, resistensi insulin, dan Diabetes Mellitus Tipe 2

telah meningkat di lokasi dimana gaya hidup mengarah westernisasi. Dalam

penelitian ini, istilah westernisasi bermaksud diet tinggi kalori dan aktifitas fisik

yang kurang. (10)

II.4 Epidemiologi

Diabetes Mellitus Tipe 2 banyak dilaporkan di seluruh dunia, di Jepang 80% dari semua

kasus baru diabetes pada anak-anak dan remaja adalah Diabetes Mellitus Tipe 2, di Taiwan

54,2% kasus baru didiagnosis dengan diabetes tipe 2, dengan kejadian 6,5 per 100.000

kasus, di Inggris didapatkan insiden diabetes tipe 2 pada anak-anak (<17 tahun) yaitu 0,53

dari 100,000 pertahun. Di Austria, kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak-anak dan

remaja (<15 tahun) adalah 0.25/100,000 anak. Banyak studi di Eropa menunjukkan bahwa

Diabetes Mellitus Tipe 2 tidak biasa seperti di Amerika Serikat pada populasi ini, terhitung

hanya 1-2% dari semua kasus Diabetes Mellitus.

Diabetes Mellitus Tipe 2 yang telah diamati pada kelompok non-Kaukasia (Afrika

Amerika, penduduk asli Amerika, Hispanik) sangat tinggi, Diabetes Mellitus Tipe 2 dapat

terjadi pada semua ras. Angka kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 (per 100.000 orang-tahun)

pada anak-anak dan remaja sangat bervariasi antara etnis, dengan angka tertinggi yang

5

dilaporkan adalah pada remaja usia antara 15-19 tahun. Tingkat kejadian yang dilaporkan

adalah 49,4% untuk penduduk asli Amerika, 22,7% untuk Asia/Kepulauan Pasifik, 19,4%

untuk Afrika Amerika, 17% untuk Hispanik, dan 5,6% untuk kulit putih non-Hispanik.

Tabel 1 : Kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 di kalangan anak dan remaja

Race/Ethnicity Inciden Rate (%)

African American 19.4

American Indian 49.4

Asian/Pacific Islander 22.7

Hispanic 17.0

Non-Hispanic White 5.6

Beberapa studi mendukung bahwa Diabetes Mellitus Tipe 2 memiliki prevalensi

yang lebih besar dalam kelompok etnis berisiko tinggi, Diabetes Mellitus Tipe 2 terhitung

14,9% dari semua kasus diabetes di kalangan remaja kulit putih non-Hispanik. Meskipun

prevalensi terendah dari Diabetes Mellitus Tipe 2, diamati di Eropa, dapat dikaitkan dengan

perbedaan tingkat obesitas antara remaja AS dan Eropa, penjelasan untuk perbedaan ini

masih belum jelas .

Sebuah penelitian unit kerja koordinasi endokrinologi anak di seluruh wilayah

Indonesia pada awal Maret 2012 menunjukkan jumlah penderita diabetes usia anak-anak

juga usia remaja dibawah 20 tahun terdata sebanyak 731 anak. PDN (Pusat Diabetes dan

Nutrisi) rumah sakit umum Dr. Soetomo Surabaya pernah mengklaim pada tahun 2009 ada

sebanyak 650.000 anak Indonesia menderita Diabetes Mellitus dan sebagian besar Diabetes

Mellitus Tipe 2. Jumlah ini didapat dari hasil perhitungan 5% dari total 13 juta penderita

diabetes melitus dari seluruh kelompok umur tahun 2009.

Ilmu Kesehatan Anak FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia)

menjelaskan, jumlah anak yang terkena diabetes cenderung naik dalam beberapa tahun

terakhir ini. Tahun 2011 tervatat 65 anak menderita diabetes, naik 400% dibandingkan tahun

2009. 32 anak diantaranya terkena Diabetes Mellitus Tipe 2.

II.5 Patogenesis

6

Homeostasis glukosa bergantung pada keseimbangan antara sekresi insulin oleh sel

pankreas dan kerja dari insulin. Untuk menyebabkan hiperglikemia, resistensi insulin saja

tidak cukup, perlu adanya sekresi insulin yang inadekuat juga dalam proses patologisnya.

Gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin berkontribusi bersama-sama dalam

patofisiologi penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2.1

Secara fisiologis, glukosa darah dipertahankan dalam rentang yang sangat sempit

oleh respon sekretori sekresi insulin pankreas ke fluksus macronutrients yang dihasilkan

oleh makanan sehari-hari. Dalam menanggapi resistensi insulin, peningkatan kecil dalam

gula darah puasa (bahkan dalam rentang glukosa normal) menjadi salah satu sinyal untuk

peningkatan kompensasi dalam sekresi insulin. Selama resistensi insulin dan hiperglikemia

ringan yang dihasilkan bertahan, pankreas dipaksa untuk terus-menerus mensekresi insulin,

keadaan ini disebut 'beban allostatic'. Analisis prospektif menunjukkan bahwa toleransi

glukosa normal individu dengan beban allostatic pankreas tinggi memiliki peningkatan

risiko terhadap Diabetes Mellitus Tipe 2 dibandingkan dengan individu dengan allostatic

load pankreas yang rendah. Dengan demikian, obesitas yang disebabkan resistensi insulin

dapat menyebabkan Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan meningkatkan beban allostatic

pankreas. Salah satu cara yang mungkin bahwa peningkatan beban allostatic dapat

menyebabkan kegagalan dari pankreas endokrin adalah melalui pengaruh merugikan

hiperglikemia pada sel beta, yang sering disebut sebagai glukotoksisitas. Mekanisme

tersebut termasuk penurunan ekspresi gen yang relevan, diferensiasi beta sel dan

meningkatkan apoptosis. Selain itu, telah dikemukakan bahwa hiperglikemia kronik dapat

memperburuk resistensi insulin.2

Gangguan sekresi insulin adalah penurunan respon pada glukosa, yang diamati

sebelum onset klinis penyakit. Lebih khusus, toleransi glukosa terganggu (TGT) yang

disebabkan oleh penurunan respons glukosa sekresi insulin fase awal, dan penurunan

tambahan sekresi insulin setelah makan menyebabkan hiperglikemia postprandial. Sebuah

tes toleransi glukosa oral (TTGO) dalam kasus TGT umumnya menunjukkan respon

berlebihan pada individu Barat dan Hispanik, yang memiliki resistensi insulin yang tinggi.

Bahkan ketika respon tersebut terlihat pada orang dengan obesitas atau faktor lain, mereka

menunjukkan penurunan respon sekretori fase awal. Penurunan sekresi fase awal itu

7

merupakan bagian penting dari penyakit ini, karena perubahan patofisiologi dasar selama

timbulnya penyakit.3

Gangguan sekresi insulin umumnya progresif, dan perkembangannya melibatkan

glukosa toksisitas dan lipotoksisitas. Progresi dari penurunan fungsi sel pankreas sangat

mempengaruhi kontrol jangka panjang glukosa darah. Sementara pasien dalam tahap awal

setelah onset penyakit terutama menunjukkan peningkatan glukosa darah postprandial

sebagai hasil dari peningkatan insulin resistensi dan penurunan sekresi fase awal,

perkembangan kerusakan fungsi sel pankreas kemudian menyebabkan elevasi permanen

glukosa darah.3

Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana insulin dalam tubuh tidak sebanding

dengan konsentrasi darah. Penurunan nilai insulin pada organ target utama seperti hati dan

otot adalah patofisiologi umum dari Diabetes Mellitus Tipe 2. Penyelidikan mekanisme

molekuler untuk kerja insulin telah menjelaskan bagaimana resistensi insulin ini terkait

dengan faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik, termasuk tidak hanya reseptor

insulin dan substrat reseptor insulin (IRS) yang secara langsung mempengaruhi sinyal

insulin tetapi juga 3 gen reseptor adrenergik dan gen protein uncoupling (UCP), yang

berhubungan dengan obesitas viseral dan menyebabkan resistensi insulin. Glucolipotoxicity

dan inflamasi mediator juga penting sebagai mekanisme untuk gangguan sekresi insulin dan

gangguan sinyal insulin Perhatian ini difokuskan pada keterlibatan zat bioaktif adiposit yang

diturunkan (adipokinesa) dalam resistensi insulin. Sementara TNF, leptin, resistin, dan asam

lemak bebas bertindak untuk meningkatkan resistensi, adiponektin.3

Teori mengenai resistensi insulin yang diinduksi oleh asam lemak menyebutkan

bahwa akumulasi asam lemak dan metabolitnya di dalam sel akan menyebabkan aktivasi

jalur serin / threonine kinase, aktivasi jalur ini menyebabkan fosforilasi gugus tironin seperti

pada mekanisme kerja insulin yang normal akan terhambat. Hambatan pada fosforilasi pada

gugus serin dari kompleks IRS (Insulin Receptor Substrate), sehingga fosforilasi dari gugus

tironin seperti pada mekanisme kerja insulin yang normal akan terhambat. Hambatan pada

fosforilasi gugus tironin kompleks IRS ini menyebabkan tidak teraktivasinya jalur PI3

kinase dan menyebabkan glukosa tetap berada di ekstrasel. Resistensi insulin menyebabkan

penggunaan glukosa yang dimediasi oleh insulin di jaringan perifer menjadi berkurang.

Kekurangan insulin atau resistensi insulin akan menyebabkan kegagalan fosforilasi

8

kompleks IRS, penuruna translokasi GLUT4 dan penurunan oksidasi glukosa sehingga

glukosa tyidak dapat masuk ke dalam sel dan akan terjadi kondisi hiperglikemia.4

Gambar II.5.2 Mekanisme Resistensi Insulin yang Diinduksi oleh Asam Lemak 4

Sel beta pankreas pada awalnya akan mengkompensasi untuk merespon keadaan

hiperglikemi dengan memproduksi insulin dalam jumlah banyak dan kondisi ini

menyebabkan keadaan hiperglikemia. Kegagalan sel beta dalam merespon kadar glukosa

darah yang tinggi, akan menyebabkan abnormalitas jalur transduksi sinyal insulin pada sel

beta dan terjadi resistensi insulin. Resistensi insulin pada sel beta pankreas menyebabkan

aktivasi jalur Caspease dan peningkatan kadar ceramide yang menginduksi apoptosis sel

beta fase ini akan diikuti oleh berkurangnya massa sel beta pankreas. Pengurangan massa sel

beta pankreas ini akan menyebabkan resistensi insulin berkurang dan menyebabkan

Diabetes Mellitus Tipe 2.4,5

9

Gambar II.5.1 Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Sel Beta Pankreas2

Sel beta pankreas pada awalnya akan mengkompensasi untuk merespon keadaan

hiperglikemi dengan memproduksi insulin dalam jumlah banyak dan kondisi ini

menyebabkan keadaan hiperglikemia. Kegagalan sel beta dalam merespon kadar glukosa

darah yang tinggi, akan menyebabkan abnormalitas jalur transduksi sinyal insulin pada sel

beta dan terjadi resistensi insulin. Resistensi insulin pada sel beta pankreas menyebabkan

aktivasi jalur Caspease dan peningkatan kadar ceramide yang menginduksi apoptosis sel

beta fase ini akan diikuti oleh berkurangnya massa sel beta pankreas. Pengurangan massa sel

beta pankreas ini akan menyebabkan resistensi insulin berkurang dan menyebabkan

Diabetes Mellitus Tipe 2.

II.6 DIAGNOSIS

Manifestasi Klinis

Pada anak yang memiliki kecenderungan genetik dan risiko terpapar lingkungan (misalnya,

pola makan yang buruk dan kurang olahraga), resistensi insulin mungkin menyebabkan

hiperinsulinemia dan intoleransi glukosa. Pasien seperti ini biasanya berkunjung ke dokter

dengan keluhan glikosuria tanpa ketonuria, poliuria, polidipsia, dan polifagi.. Namun,

hingga 33% dari anak-anak ini ditemukan ketonuria saat diagnosis, dan 5% sampai 25%

pasien kemudian diklasifikasikan sebagai pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 yang memiliki

ketoasidosis pada presentasi awal.(3)

10

Pemeriksaan Laboratorium

Diabetes didiagnosis apabila(2):

Gula darah puasa (FPG) adalah ≥ 7.0 mmol / l (126 mg / dl)atau

Gula darah post TTGO > 11,1mmol / l  (200 mg/dl)

Dilakukan seperti yang dijelaskan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),

menggunakan glukosa setara dengan 75 g glukosa anhidrat dilarutkan dalam air.atau

Gejala diabetes dengan gula darah sewaktu ≥ 200 mg / dl (11,1mmol / L).

Tes gula darah puasa dan/atau tes toleransi glukosa oral (TTGO) umumnya

digunakan untuk mendiagnosa Diabetes Mellitus. Pada tahun 1997, ADA menetapkan

bahwa TTGO tidak boleh digunakan untuk diagnosis rutin, yang menyebabkan banyak

perdebatan. Pada tahun 2003, ADA menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang memadai

untuk menentukan tes yang lebih unggul untuk tujuan diagnostik. TTGO lebih sensitif, hasil

dari tes gula darah puasa lebih dapat diandalkan, nyaman, dan murah. (3)

Gambar II.6.1 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus3

Kriteria diagnostik untuk diabetes didasarkan pada riwayat keluarga, pengukuran

glukosa darah dan ada tidaknya gejala diabetes(2). Gejala klasik Diabetes Mellitus adalah

poliuri, polidipsi dan polifagi Jika tidak ditemukan tanda hiperglikemia yang jelas, harus

dikonfirmasi pada hari berikutnya, dengan salah satu dari tiga metode tersebut.(1)

Diabetes pada anak-anak biasanya mempunyai gejala karakteristik seperti poliuria,

polidipsia, penglihatan kabur, dan penurunan berat badan. Diagnosis biasanya dikonfirmasi

dengan cepat dengan cara pengukuran kadar glukosa darah. 

11

Tabel 1 : Pemeriksaan untuk DM tipe 2 pada anak dan remaja ( American Diabetes

Association, 2009 )

12

Gambar II.6.2 Algoritma untuk Pre Diabetes dan Diabetes Mellitus Tipe 2.

Indentifikasi dan Intervensi untuk Remaja ( University of Minnesota, Pediatric

Endocrinology 2009)(4)

13

Pedoman Skrining

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan bahwa anak-anak menerima

skrining untuk Diabetes Mellitus apabila mereka memiliki BMI di persentil ke-85 atau lebih

tinggi serta setiap dua faktor risiko tambahanya seperti riwayat keluarga Diabetes Mellitus

Tipe 2, ras atau etnis minoritas (yaitu, Afrika Amerika, Indian Amerika, Asia atau

Kepulauan Pasifik, dan Hispanik), tanda-tanda resistensi insulin atau kondisi yang

berhubungan dengan resistensi insulin (misalnya, akantosis nigrikans, dislipidemia,

hipertensi, atau PCOS) (5)

Skrining lanjut harus dilakukan setiap 2 tahun mulai dari usia 10 tahun atau pada

awal pubertas jika terjadi pada usia muda.(5)

Gambar II.6.3: Akantosis Nigrikans pada leher (A) dan ketiak (B) pada remaja Afrika

mempunyai DM tipe 2.

14

II.7 TERAPI

Terapi Diabetes Mellitus Tipe 2 meliputi edukasi kepada pasien dan keluarga, modifikasi

gaya hidup, dan terapi medikamentosa.Tujuan terapi Diabetes Mellitus Tipe 2 secara

keseluruhan adalah tercapainya kadar glukosa darah yang normal, penurunan berat badan

pada pasien obesitas, pengendalian faktor-faktor komorbid seperti hipertensi,dislipidemia,

nefropati, dan steatosis hepatik.1

1. Edukasi

Edukasi pada pasien dan keluarga dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 sama pentingnya

pada Diabetes Mellitus Tipe 1. Pada Diabetes Mellitus Tipe 2, edukasi berperan

lebih besar pada perubahan gaya hidup, diet dan perubahan aktivitas fisik dari yang

biasanya. Edukasi biasanya diberikan oleh kelompok dengan pengetahuan dan

keahlian khusus tentang diet, latihan fisik, dan psikologis yang dibutuhkan oleh

penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Seluruh keluarga akan membutuhkan edukasi

untuk memahami prinsip-prinsip pengobatan Diabetes Mellitus Tipe 2 dan

memahami pentingnya perubahan gaya hidup untuk mengelola Diabetes Mellitus

Tipe 2.2

2. Perubahan gaya hidup

Perubahan gaya hidup adalah prinsip penting dalam pengobatan Diabetes Mellitus

Tipe 2. Keluarga dan anak harus memahami implikasi medis pada obesitas dan

Diabetes Mellitus Tipe 2 kemudian dokter harus memiliki pemahaman tentang

perilaku kesehatan dari keluarga / masyarakat untuk membuat rencana perilaku yang

efektif. Perubahan harus dibuat secara bertahap dan dengan pengertian bahwa

perubahan harus permanen. Pasien dan keluarga harus dilatih untuk memonitor

kuantitas dan kualitas makanan, perilaku makan, dan aktivitas fisik.2

Diet

Rekomendasi diet disesuaikan dengan budaya pasien, sumber daya keluarga, dan

keluarga harus didorong untuk membuat perubahan pola makan dengan rekomendasi

makan yang sehat, termasuk konseling individual untuk penurunan berat badan,

mengurangi asupan total lemak jenuh, meningkatkan asupan serat, dan

meningkatkan aktivitas fisik.2

15

Manajemen diet fokus awalnya yaitu mengurangi konsumsi soft drink dan jus

yang mengandung gula dalam jumlah besar, modifikasi gaya hidup (diet dan

aktivitas) sesuai usia, meliputi diet sehat dan kebiasaan aktivitas. Menekankan pola

pemeliharaan yang sehat berhubungan dengan diet dan aktivitas dengan mengajarkan

pada orang tua contoh kebiasaan yang sehat, menghindari diet yang terlalu ketat, dan

menghindari menggunakan makanan untuk hadiah.2

Direkomendasikan makanan harus dimakan sesuai jadwal, di satu tempat,

tanpa aktivitas lainnya (menonton televisi, belajar, membaca, bermain), kontrol porsi

makanan utama dan makanan ringan, membatasi ketersediaan makanan dan

minuman tinggi lemak dan tinggi kalori di rumah, membaca label makanan dan

mengontrol pembeliannya. Memberi dorongan positif dari prestasi yang kecil dan

menghindari menyalahkan kegagalan pada anak.2

Tatalaksan Obesitas Pada Anak

Tujuan utama dari tatalaksana obesitas adalah peningkatan kesehatan fisik jangka panjang

melalui kebiasaan gaya hidup sehat salah satunya adalah penurunan berat badan. 3

American Academy of pediatrics merekomendasikan tahap –tahap tatalaksana obesitas pada

anak3

Tahap 1 Pencegahan Plus(Prevention Plus)

Anak dengan Obesitas dan Overweight dan keluarganya difokuskan pada pola makan dan

aktivitas kebiasaan yangs ehat. Tahap ini adalah strategi pencegahan obesitas. Dampaknya

adalah perbaikan body Mass Index(BMI).

Tahap 2 Manajemen Struktur Berat Badan (Structured Weight Management)

Berbeda dengan pencegahan pada tahap 1 adalah target perilaku lebih sedikit dan lebih

banyak pada dukungan dan struktur yang difokuskan untuk mencapai target perilaku

tersebut.

Tahap 3 Structured Weight Management

16

Tahap untuk meningkatkan intersitas perubahan perilaku,frekuensi kunjungan,dan spesialis

yang terlibat untuk memaksimalkan dukungan terhadap perubahan perilaku.Umumnya

program jenis ini tidak dilakukan pada pelayanan kesehatan primer.Tujuan pola makan dan

aktivitas umumnya sesuai dengan tahap 2.

Tabel 1. Target Berat Badan dan Tahapan Intervensi Berdasarkan Katagori umur dan BMI.

Syifa tolong crop table 8 pada jurnal nama filex s164.full hal 22.

Tahap 4 Tertiary Care Intervention

Tahap ini adalah tahap intervensi intersif untuk remaja yang mengalami obesitas

berat.Remaja tersebut sudah melalui tahap 3,sudah cukup mampu untuk memahami risiko

yang ada dan mampu mempertahankan aktivitas fisik ,serta intervensi tambhan berupa diet

sehat dan aktivitas yang sesuai.

Manajemen Latihan Fisik

Program latihan fisik sangat penting untuk memutus lingkaran setan dari

peningkatan berat badan. Pendekatan ditujukan terutama untuk mengurangi waktu

luang, seperti dengan tidak menonton televisi dan mengurangi waktu di depan

komputer. Aktivitas fisik harus dipromosikan kepada anak dan keluarga. Ini harus

mencakup upaya setiap hari untuk secara fisik lebih aktif, seperti menggunakan

tangga daripada elevator,berjalan atau bersepeda ke sekolah dan ke toko, dan

melakukan pekerjaan rumah. Edukasi orang tua dengan anak Diabetes Mellitus Tipe

2 untuk berperilaku sehat, mengajarkan mereka untuk mendorong dan memuji

aktivitas fisik dan kegiatan sehari-hari anak.2

3. Terapi Farmakologi

Tujuan dari terapi farmakologi adalah untuk menurunkan resistensi insulin,

meningkatkan sekresi insulin, atau untuk memperlambat penyerapan glukosa

postprandial. Diet dan latihan fisik saja pada anak yang didiagnosis dengan

Diabetes Mellitus Tipe 2, mempunyai tingkat keberhasilan yang rendah. Pilihan

pertama pada anak dan remaja adalah metformin. Kegagalan monoterapi dengan

17

metformin lebih dari 3 bulan menunjukkan perlunya terapi tambahan insulin. Hanya

metformin dan insulin yang disetujui untuk digunakan pada anak – anak dan remaja.4

a. Metformin

Metformin bekerja pada reseptor insulin pada hati, otot, dan jaringan

lemak, dengan lebih dominan pada hati. Produksi glukosa hepatik dikurangi

dengan penurunan glukoneogenesis. Insulin meningkatkan penyerapan

glukosa pada otot dan lemak. Penggunaan jangka panjang dikaitkan dengan

penurunan 1-2% HbA1c. Metformin harus dimulai bersama dengan edukasi

perubahan gaya hidup, kecuali pada kasus yang membutuhkan insulin untuk

memperbaiki toksisitas glukosa dalam ketoasidosis. Direkomendasi

pemberian obat yang dimulai pada dosis rendah 500 mg setiap hari,

meningkat 500 mg setiap 1 sampai 2 minggu, sampai ideal dan maksimum

dosis 2000 mg sehari dibagi dalam 4 dosis. Umumnya, dosis yang lebih

tinggi dari 2000 mg per hari tidak memberikan efek terapi yang maksimal.

Metformin umumnya mempunyai toleransi yang lebih baik bersama dengan

makanan.2,4

Efek samping utama dari metformin adalah di traktus gastrointestinal

yang sering terjadi pada inisiasi metformin yang bersifat sementara dan

sering hilang jika obat tidak digunakan lagi.. Efek samping pada saluran

pencernaan (sakit perut, diare, mual) dapat terjadi. Ini dapat dihilangkan pada

kebanyakan pasien dengan lambat titrasi dosis lebih dari 3-4 minggu.

Metformin tidak boleh diberikan kepada pasien dengan gangguan ginjal,

penyakit hati, jantung atau insufisiensi pernapasan, atau yang menerima

bahan kontras radiografi. Metformin untuk sementara dihentikan selama ada

gangguan pada saluran pencernaan. 2,4

Insulin

Meskipun terjadi hiperinsulinemia dan resistensi insulin, dosis kecil

dari suplemen insulin sering kurang efektif. Jika ada kontrol glikemia yang

tidak adekuat pada terapi oral, sebuah analog long-acting insulin dapat

memberikan terapi yang memuaskan, tanpa terapi makanan. Metformin harus

dilanjutkan untuk meningkatkan sensitivitas insulin. 2

18

Jika hiperglikemia post-prandial terjadi, meglitinide yang diberikan

sebelum makan adalah pilihan awal yang terbaik. Jika hiperglikemia post-

prandial berlanjut, dapat digantikan dengan insulin rapid atau short acting.

Efek samping dari insulin adalah terjadinya hipoglikemia dan peningkatan

berat badan. 2

Gambar II.7.1 Algoritma tatalaksana Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja.

19

II.8 Komplikasi

Insiden dan prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2 meningkat pada masa anak-anak, namun

hanya sedikit yang diketahui mengenai komplikasi yang terjadi. Beberapa komplikasi

Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak-anak dan remaja yaitu :

a) Komplikasi Mikrovaskuler

Dalam penelitian yang dilakukan di India Selatan terhadap 368 anak-anak dan

remaja dengan Diabetes Mellitus Tipe 2, didapatkan sebanyak 26,7% dengan

retinopati, 14,7% dengan mikroalbuminuria, 14,2% dengan neuropati, dan 8,4%

dengan nefropati. Salah satu alasan terjadinya peningkatan komplikasi

mikrovaskuler di kalangan remaja yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah

karena peningkatan hiperkoagulabilitas (karena untuk peningkatan D-dimer dan

kadar kolesterol total serum).

a. Komplikasi Retinopati

Kelainan retina terjadi sangat awal dalam perjalanan penyakit Diabetes Mellitus

Tipe 2. Pengontrolan terhadap kadar glukosa selama masa anak-anak dan remaja

dapat membantu menunda atau mencegah pengembangan terjadinya diabetes

retinopati.

b. Komplikasi pada Sistem Renal

Penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal fase akhir atau End-Stage Renal Disease

(ESRD) dapat terjadi sejak masa anak-anak, terutama pada anak dengan obesitas dan

menderita Diabetes Mellitus Tipe 2.. Anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

memiliki resiko yang lebih tinggi terkena penyakit ginjal primer, seperti Nefropati

IgA, Glomerulonefritis Membrano Proliferative serta 4 kali resiko untuk terjadi

gagal ginjal

Hiperglisemia yang terjadi selama bertahun-tahun dapat meningkatkan

terjadinya komplikasi jangka panjang. Oleh karena itu, anak-anak yang didiagnosis

dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 perlu dilakukan pemeriksaan skrining terhadap

Laju Filtrasi Glomerular (GFR), peningkatan tekanan darah dan Laju Ekskresi

20

Albumin Urin (U-AER). Deteksi terhadap mikroalbuminuria merupakan penanda

paling awal terhadap penyakit ginjal serta prediktor yang independen untuk

morbiditas dan mortalitas di masa yang akan datang. Namun, diagnosis penyakit

ginjal tidak dapat di tegakkan hanya berdasarkan dari pemeriksaan klinis dan

pemeriksaan labor. Biopsy ginjal diperlukan untuk menegakkan diagnosis secara

pasti.

c. Komplikasi Neuropati

Perubahan mikrovaskuler yang terjadi pada Diabetes Mellitus Tipe 2 juga

berdampak terhadap perkembangan otak, hal ini dapat terjadi sebelum

ditemukannya gangguan makrovaskuler. Dewasa dengan Diabetes Mellitus Tipe

2 diketahui mengalami penurunan yang signifikan volume hipokampus dan

prefontal seiring dengan peningkatan derajat atrofi serebral secara global.

Kemungkinan penyebabnya meliputi penurunan vasodilatasi pembuluh darah

pada Diabetes Mellitus Tipe 2 dan penurunan reaktifitas serebrovaskuler

terhadap kadar CO2.

b) Komplikasi Makrovaskuler

a. Perlemakan Hati Non Alkaholik / Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD)

Penyakit perlemakan hati non alkaholik /Non alcoholic fatty liver disease

(NAFLD) ditandai dengan peningkatan enzim hati dalam serum yang terjadi

akibat infiltrasi dan akumulasi trigliserida pada sel hepatosit. Sebagai

konsekuensi terhadap peningkatan trigliserida, NAVLD sering dihubungkan

dengan hipertrigliseridemia, peningkatan kadar alanin transverase ALT dan

defisiensi vitamin D.

NAFLD merupakan penyebab tersering terjadinya penyakit hati pada

anak yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2, dislipidemia, serta obesitas

abdominal. Sekitar 40-70% anak dengan obesitas menderita NAFLD. Penyakit

fatty liver non alkaholik dan penurunan sensitivitas insulin dapat bersifat

reversible apabila dilakukan pengaturan diet dalam waktu singkat dan program

21

olahraga yang bertujuan untuk menurunkan berat badan. Namun apabila hal

tersebut belum bisa teratasi, NAFLD dapat menjadi progresif dan berlanjut

menjadi sirosis hati di kemudian hari baik pada masa anak-anak maupun dewasa.

Komplikasi lain dari NAFLD dapat mengakibatkan hepatokarsinoma, kematian

terkait kelainan hepar pada usia dewasa dan perkembangan penyakit

kardiovaskuler.

Peningkatan kadar enzim hepar tidak selalu bisa dijadikan dasar diagnosis

terjadinya NAFLD. Apabila kadar ALT meningkat 3 kali diatas normal selama lebih

dari 6 bulan, maka pemeriksaan USG abdomen perlu dilakukan untuk melihat

kemungkinan terjadinya hepatitis akibat virus. Biopsy hepar diperlukan untuk

menegakkan diagnosis pasti dan menentukan derajat NAFLD.

b. Komplikasi pada Sistem Pancreas

Kadar insulin fase awal dan C Peptide menurun pada remaja obesitas yang

menderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Fungsi sel beta menurun seiring dengan

tingkat sensitivitas insulin. Hal ini terjadi akibat penurunan fungsi sel beta secara

cepat dan bahkan tanpa adanya perubahan terhadap sensitivitas insulin di hepar.

Pemeriksaan Hba1c merupakan suatu skrining atau deteksi dini terhadap

progresivitas penyakit dan resiko kekambuhan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada

remaja.

c. Komplikasi pada sistem Pulmo

Pengambilan oksigen puncak yang ditentukan oleh masa lemak sangat

dipengaruhi oleh Diabetes Mellitus Tipe 2 pada masa dewasa. Saat dewasa (13-

18 tahun) diminta untuk melakukan Test Ergometri sampai terjadi kelelahan

menggunakan kalorimetri indirek, dimana mereka yang menderita Diabetes

Mellitus Tipe 2 memiliki intake oksigen maksimal 11 % lebih rendah dari orang

normal dengan berat badan yang sama tetapi tidak menderita Diabetes Mellitus

Tipe 2.

22

Diabetes Mellitus Tipe 2 juga memiliki efek terhadap proses pernapasan

selama tidur. Sensitivitas insulin memiliki hubungan yang negatif dengan

fragmentasi tidur dan hipoksemia intermiten pada laki-laki dewasa. Hal ini tidak

dipengaruhi oleh umur dan tumpukan jaringan lemak. Selain itu, hal ini dapat

menjadi prekursur perkembangann Diabetes Mellitus Tipe 2 pada dewasa yang

mengalami obesitas dikarenakan oleh penurunan metabolisme.

d. Hipertensi

Hipertensi lebih sering ditemukan pada anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

dari pada Diabetes Mellitus Tipe 1, dimana ditemukan sebanyak 12 - 36 % pada

anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2. Pada saat didiagnosis dengan hipertensi,

sukar untuk ditentukan apakah anak tersebut menderita Diabetes Mellitus Tipe 1

atau Diabetes Mellitus Tipe 2. Ditambah lagi karena terdapatnya gejala yang

bercampur antara Diabetes Mellitus Tipe 1 dan Diabetes Mellitus Tipe 2. Perlu

penanganan secara proaktif dan terapeutik pada anak yang telah menderita

komplikasi hipertensi dalam perubahan gaya hidup agar dapat menurunkan

tingkat kejadian penyakit kardiovaskuler dimasa yang akan datang,

Perkembangan penyakit hipertensi bervariasi tergantung kepada etnis.

Anak yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Etnis Melayu (Filipina)

memiliki resiko paling tinggi mengalami hipertensi dibandingkan dengan

kelompok etnis di Asia lainnya. Hipertensi merupakan komplikasi yang paling

sering diantara anak-anak, terutama pada suku Melayu.

e. Komplikasi Kardiovaskuler

Anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 biasanya telah mengalami penurunan

terhadap fungsi kardiovaskuler. Aktivitas fisik regular dapat meningkatkan

kesehatan sistem kardiovaskuler dan menurunkan komplikasi Diabetes Mellitus

Tipe 2 jangka panjang. Salah satu komplikasi jangka panjang yaitu penyakit

jantung koroner. Hal ini terjadi karena ukuran lipoprotein densitas tinggi (HDL)

pada anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 berubah menjadi partikel-partikel

kecil. Penyebab utama perubahan ini adalah resistensi insulin. Resistensi insulin

23

yang terjadi selama usia muda dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan

mortalitas seseorang sepanjang hidupnya. Salah satu intervensi farmakologis

untuk mengatasi komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak adalah dengan

pemberian obat metformin.

II.9 PROGNOSIS

Pencegahan komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah fokus utama untuk

memastikan prognosis yang baik. Manajemen yang intensif dan peningkatan kontrol

glikemik telah terbukti secara signifikan mengurangi perkembangan terjadinya komplikasi

mikrovaskular dan makrovaskular pada orang dengan Diabetes Mellitus Tipe 2.(3)

Pengetahuan mengenai diagnosis, perkembangan, rekomendasi skrining, dan rekomendasi

pengobatan pada Diabetes Mellitus Tipe 2 anak-anak dan remaja sangat kurang tidak seperti

Diabetes Mellitus Tipe 2 pada pasien dewasa. Sejumlah laporan telah mendokumentasikan

kejadian komorbiditas pada remaja dengan Diabetes Mellitus Tipe 2, tapi belum ada

penelitian yang mengamati perkembangan komorbiditas dan pengobatannya pada anak-anak

dan remaja.1 Sampai saat ini, sejumlah komplikasi telah diidentifikasi mengenai Diabetes

Mellitus Tipe 2 pada anak-anak dan remaja termasuk komplikasi mikrovaskuler kronis,

seperti retinopati, nefropati (mikroalbuminuria) dan neuropati perifer, dan komplikasi

makrovaskuler kronis seperti atheroskelerosis adalah yang paling lazim, dan ini mengurangi

harapan hidup dan kualitas hidup penderita. Atherosklerosis koroner dan kejadian

kardiovaskular sangat terkait dengan kontrol glikemik yang buruk. 5,6 Oleh karena itu,

pendekatan multifaktorial untuk manajemen diperlukan yang mencakup upaya untuk

mengendalikan hipertensi, dislipidemia dan obesitas serta hiperglikemia.2

Pengukuran kontrol glikemik langsung paling baik ditentukan oleh monitoring glukosa

darah karena ini dapat memberikan dokumentasi langsung dari hiperglikemia dan

hipoglikemia, yang memungkinkan penerapan strategi untuk pengobatan optimal, serta

untuk memastikan kadar glukosa selalu dalam batas normal. Hemoglobin A1c (HbA1c)

adalah satu-satunya ukuran kontrol glikemik yang akurat yang tersedia. Peningkatan HbA1c

dapat memprediksi komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler jangka panjang. Dari

24

penelitian Diabetes Control and Complications Trial (DCCT), 96% dari komplikasi pada

penderita berkorelasi dengan perubahan dalam HbA1c. DCCT, dan studi –studi yang serupa

memberikan bukti yang jelas bahwa jumlah komplikasi lebih sedikit dan onset komplikasi

lebih lambat pada remaja yang mempunyai kontrol metabolik yang baik, yang mempunyai

tingkat HbA1c yang lebih rendah. Penelitian lanjut dari data DCCT menunjukkan bahwa

kontrol glikemik 5-7 tahun yang buruk selama remaja dan dewasa muda, menghasilkan

peningkatan risiko komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler komplikasi dalam 6-10 thn

berikutnya.3

Penting untuk mempertahankan kadar HbA1 C yang normal bagi memastikan prognosis

yang baik. Saat ini, target kadar HbA1c yang dipakai untuk control glikemik adalah <7%,

namun target ketat glikemik sebesar 6,5% telah diusulkan untuk penderita Diabetes Mellitus

Tipe 2. Idealnya, ini memerlukan pencapaian target pemantauan glukosa sendiri <6mmol /

L (puasa) dan <8mmol / L (2hrs post-prandial). Pemeriksaan HbA1c sebaiknya dilakukan

setiap 3 bulan.4

Selain itu, pemantauan tanda-tanda komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler secara

klinis merupakan salah satu faktor penting mempengaruhi prognosis. Pemantauan ini harus

mencakup tes untuk mikroalbuminuria, skrining untuk retinopati, evaluasi tekanan darah

dan lipid darah. Skrining komplikasi ini harus dimulai pada saat tegaknya diagnosis.

25

BAB III

KESIMPULAN

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Zeitler P, Hirst K, Pyle L, Linder B, Bethesda, Copeland K, et al. A Clinical Trial to

Maintain Glycemic Control in Youth with Type 2 Diabetes. N Engl J Med. 2012;

366:2247-56

2. Tfayli H, Arslanian S. Pathophysiology of Type 2 Diabetes Mellitus in Youth: The

Evolving Chameleon. Arq Bras Endocrinol Metab. 2009; 53:165-72

3. Springer SC, Silverstein J, Copeland K, Moore KR, Prazar GE, Raymer T, et al;

American Academy of Pediatrics. Management of Type 2 Diabetes Mellitus in Children

and Adolescents. Pediatrics. 2013; 648-62

4. Erhardt E, Molnar D. Is Type 2 Diabetes Mellitus A Significant Problem in European

Adolescents?. Scandinavian Journal of Nutrition 2004; 48:155-60

5. Diani A, Pulungan AB. Tatalaksana Metformin Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Anak

Dibandingkan dengan Obat Anti Diabetes Oral yang Lain. Sari Pediatri 2010; 11:295-

400

6. Deepak N Parchwani, SMS Murthy, Amit A Upadhyah, Digisha D Patel, National

Journal of Physiology, Pharmacy & Pharmacology | 2013 | Vol 3 | Issue 1 | 57 – 68

7. Robert M, Hal B Jenson, Richard E, Bonita F. Nelson Textbook of Pediatrics 18 th

Edition

8. Tamara S. Hannon, Goutham Rao and Silva A. Arslanian, Childhood Obesity and Type

2 Diabetes Mellitus, Pediatrics 2005;116;473

9. Kohei kaku. Pathophysiology of Type 2 Diabetes and Its Treatment Policy, JMAJ 53(1):

41-46, Japan Medical Association- Journal 53 (1): 41-46, 2010

10. WHO.obesity: Preventing and managing the Global Epidemic. Geneva: WHO technical

Report Series, 2000.

11. Anila Chadha, MD, Malcolm S. Schwartz, DO, Type 2 Diabetes Mellitus in Childhood:

Obesity and Insulin Resistance, JAOA • Vol 108 • No 9 • September 2008

12. Ebe D’Adamo MD,Sonia Caprio MD,Type 2 Diabetes in Youth ; Epidemiology and

Pathophysiology, Journal Diabetes Care, Volume 34,2011.

13. Chiarelli, Francesco, Maria Loredana M. Insulin resistance and obesity in

childhood,EJE.2008

27

14. Kohei KAKU, Pathophysiology of Type 2 Diabetes and Its Treatment Policy. JMAJ:

41–46.2010.

15. P.A. Tatarani, Obesity, Diabetes & Energy Metabolism Unit, Clinical Diabetes &

Nutrition Section. Pathophysiology of obesity-induced insulin resistance and type 2

diabetes mellitus.2009

16. Savage DB, Petersen KF, Shulman GI, Mechanism of Insulin resistance in humans and

possible links with inflammation. Hypertension 2009;:828-33

17. Ten S, Maclaren N. Insulin resistance syndrome in children. J Clin Endocrinol Metab. 

Jun;2004:2526-39..

18. Craig ME. Hattersley A. Donaghue KC. Definition, epidemiology and classification of

diabetes in children and adolescents, ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines

2009 Compendium, International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes, 2009. 

19. Rosenbloom AL, Silverstein JH, Amemiya S, Zeitler P, Klingensmith, G Type 2

diabetes in the child and adolescent, ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines

2009 Compendium, International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes, 2009.

20. J Darrell Nesmith, Type 2 Diabetes Mellitus in Children and Adolescents, Pediatric in

review, 2005.

21. MN Diabetes Steering Commitee (MDSC) workgroup, Algorithm for Prediabetes &

Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) Identification and Intervention for Youth, University

of Minnesota Pediatric Endocrinology, 2009.

22. Malcolm S. Schwartz DO, Anila Chandha MD, Type 2 Diabetes Mellitus in Childhood:

Obesity and Insulin resistance, JAOA, 2008.

23. David A. Antonetti, Ph.D, Ronald Klein,M.D, M.P.H, Thomas W.Gardner, M.D,

Diabetic Retinopathy, NEJM, 2012.

24. Kenneth C. Copeland, Janet Silverstein, Kelly R. Moore, Greg E. Prazar, Terry Raymer,

Richard N. Shiffman, Shelley C. Springer, Vidhu V. Thaker, Meaghan Anderson,

Stephen J. Spann and Susan K. Flinn; American Academy of Pediatrics. Management of

Newly Diagnosed Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) in Children and

Adolescents.Pediatrics. 2013

28

25. Barlow SE.Expert Committee Recommendations Regarding the Prevention, Assessment, and Treatment of Child and Adolescent Overweight and Obesity: Summary Report. Pediatrics 2007.

26. Jordan DN, Jordan JL; Journal of Diabetes Research & Clinical Metabolism. Pediatric

type 2 diabetes mellitus complications: a systematic review of the literature, Journal of

Diabetes Research & Clinical Metabolism. 2012

27. Rewers M, Pihoker C, Donaghue K, Hanas R, Swift P, Klingensmith GJ. ; ISPAD

Clinical Practice Consensus Guidelines 2009 Compendium. Assessment and monitoring

of glycemic control in children and adolescents with diabetes. Pediatric Diabetes 2009:

10 (Suppl. 12): 71–81.

28. Department of Health, Western Australia. Type 2 Diabetes in Children and Adolescents

Model of Care and Clinical Practice Guideline. Perth: Princess Margaret Hospital and

Health Networks Branch, Department of Health, Western Australia; 2009.

29. Halpern A, Mancini MC, Magalhães EC, Fisberg M, Radominski R, Bertolami MC,

Bertolami A et al, ; Metabolic syndrome, dyslipidemia, hypertension and type 2 diabetes

in youth: from diagnosis to treatment. Diabetology & Metabolic Syndrome. 2010, 2:55

30. Donaghue KC, Chiarelli F, Trotta D, Allgrove J, Dahl-Jorgensen K; ISPAD Clinical

Practice Consensus Guidelines 2009 Compendium.Microvascular and macrovascular

complications associated with diabetes in children and adolescents. Pediatric Diabetes

2009: 10 (Suppl. 12): 195–203.

29