08_207inflamasi alergi pada asma

Upload: darmarianto

Post on 04-Feb-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/21/2019 08_207Inflamasi Alergi Pada Asma

    1/4

    585CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013

    TINJAUAN PUSTAKA

    In amasi Alergi pada Asma

    Cut Yulia Indah Sari

    PPDS I Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

    Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Persahabatan, Jakarta, Indonesia

    ABSTRAK

    Prevalensi asma beberapa dekade terakhir makin meningkat di seluruh dunia. Asma adalah penyakit inamasi kronik dan melibatkan banyak

    sel dan elemen. Inamasi tersebut mengakibatkan terjadinya remodeling pada jalan napas, hambatan aliran udara dan hipereaktivitas bronkus.

    Gejala tersebut bahkan sudah timbul pada asma ringan. Proses yang terjadi pada asma alergi terdiri dari tiga fase, yaitu induksi, reaksi asma fase

    dini, dan reaksi asma fase lanjut.

    Kata kunci:inamasi, alergi, asma

    ABSTRACT

    The overall prevalence of asthma has been increasing worldwide for the past few decades and continues to increase globally. Asthma isa chronic inammatory disease involving many types and cellular elements. The inammation leads to remodeling of the airways, airow

    obstruction, and the bronchial hyperreactivity symptoms of asthma and is present even in patients with intermittent disease. The development

    of allergic asthma exists of three phases, namely the induction phase, the early-phase asthmatic reaction (EAR) and the late-phase asthmatic

    reaction (LAR). Cut Yulia Indah Sari. Allergic Inammation in Asthma.

    Key words: inammation, allergy, asthma

    Alamat korespondensi email: [email protected]

    PENDAHULUAN

    Asma dan alergi merupakan kondisi umum

    dengan penyebab yang heterogen, kompleks

    dan masih belum diketahui secara jelas

    mekanismenya. Asma dan penyakit alergisering terjadi bersamaan pada satu individu

    atau pada individu yang berbeda dalam

    satu keluarga. Prevalensi asma dan penyakit

    alergi beberapa dekade terakhir meningkat

    di seluruh dunia. Jumlah penderita asma di

    seluruh dunia berjumlah sekitar 300 juta orang

    dengan angka kematian sebesar 250.000

    setiap tahun dan diperkirakan akan meningkat

    menjadi 400 juta orang pada tahun 2025.

    Penyakit alergi sendiri merupakan penyebab

    morbiditas yang luas, mengganggu sekolah

    dan produktivitas kerja, menurunkan kualitas

    hidup serta meningkatkan beban biaya medis

    dan non-medis.1,2

    Asma adalah gangguan inamasi kronik

    jalan napas yang melibatkan banyak sel

    dan elemennya. Inamasi kronik tersebut

    menyebabkan peningkatan hiperensponsif

    jalan napas yang menimbulkan gejala episodik

    berulang berupa mengi, sesak napas, dada

    terasa berat dan batuk terutama malam hari

    dan atau dini hari. Gejala episodik tersebut

    berhubungan dengan obstruksi jalan napas

    yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat

    reversibel dengan atau tanpa pengobatan.3

    Asma disebabkan oleh berbagai faktor

    lingkungan dan genetik yang bermanifestasidalam berbagai bentuk dan fenotip yaitu

    asma alergi, resisten terhadap steroid, asma

    yang diinduksi oleh pajanan polusi udara,

    rokok, obesitas, asam asetilsalisilat dan latihan

    fisik.2 Inamasi alergi memiliki karakteristik

    aktivasi dari sel mast mukosa yang tergantung

    Ig-E dan infiltrasi eosinofil serta peningkatan

    jumlah sel T helper 2 (Th2).4Tinjauan pustaka

    ini akan membahas mengenai inamasi

    alergi pada asma, sel-sel yang terlibat serta

    gambaran klinis yang diakibatkannya.

    ALERGI

    Terminologi alergi pertama kali diperkenalkan

    oleh Clemens von Pirquet pada tahun 1906

    yang menemukan reaksi berupa gejala dan

    tanda yang tidak biasa pada orang-orang

    tertentu ketika terpajan pada suatu alergen.

    Namun istilah tersebut kini lebih identik

    dengan penyakit alergi yang juga dikenal

    sebagai kelainan atopi. Von Pirquet sendiri

    menggunakan istilah alergi tidak terbatas

    untuk respons biologis saja, tetapi juga pada

    proses imunitas (efek yang menguntungkan)

    dan penyakit alergi (efek yang merugikan).

    Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani atopos

    yang berarti tidak pada tempatnya; sering

    digunakan untuk menunjukkan kondisi alergiherediter, yaitu rinitis alergi (hay fever), asma,

    dan dermatitis atopi. Karakteristik atopi adalah

    ditemukannya IgE sebagai respons terhadap

    alergen lingkungan secara umum dan uji kulit

    yang positif.5,6

    Penyakit asma, rinitis alergi dan dermatitis

    alergi yang juga dikenal dengan trias alergi

    memiliki hubungan klinis serta biasanya

    mempunyai riwayat sejak masa kecil.

    Beberapa studi longitudinal menunjukkan

    manifestasi atopi yang sudah dimulai sejak

    usia kanak-kanak misalnya dermatitis atopi

    dan alergi makanan yang terjadi saat bayi

    akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis

    alergi pada saat kanak-kanak. Sekitar 30%

    anak-anak dengan dermatitis atopi akan

    berkembang menjadi asma di kemudian hari

    dan hampir 66% akan menjadi rinits alergi.

    Sebagian besar (sekitar 80%) pasien asma

    memiliki riwayat rinitis alergi sedangkan

    sebanyak 19-38% pasien rinitis alergi biasanya

    disertai dengan asma.1,7

  • 7/21/2019 08_207Inflamasi Alergi Pada Asma

    2/4

    CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013586

    TINJAUAN PUSTAKA

    Peningkatan prevalensi asma alergi diduga

    berdasarkan teori hygiene hypothesis, yaitu

    makin berkurangnya pajanan infeksi dan

    endotoksin di awal kehidupan akibat makin

    baiknya higiene seseorang dan makin luasnya

    pemberian vaksinasi serta penggunaan

    antibiotika sejak dini akan merangsang sistem

    imun yang mengganggu keseimbangan

    antara Th1 dan Th2 sehingga terjadi dominasi

    sel Th2 dibanding sel Th1. Sel Th1 dan Th2

    memiliki peran yang berlawanan, yaitu untukmelawan infeksi (Th1) dan pada proses

    inamasi alergi (Th2). Faktor lain yang akan

    memperkuat respons terhadap Th1 adalah

    anak-anak yang berasal dari keluarga besar

    (memiliki beberapa saudara kandung)

    sehingga memudahkan terjadinya penularan

    penyakit Tuberkulosis (Tb), Campak dan

    Hepatitis A di antara keluarga, terpajan pada

    agen infeksius, endotoksin dan hewan di usia

    dini akan menurunkan risiko terjadinya asma

    (Gambar 1).7-9

    FAKTOR GENETIK DAN LINGKUNGAN

    PADA ASMA DAN ALERGI

    Perkembangan penyakit alergi dan asma

    merupakan hasil interaksi antara faktor genetik

    dan lingkungan seperti pajanan terhadap

    alergen, infeksi dan polusi udara. Meskipun

    setiap orang terpajan dengan alergen dan ter-

    sensitisasi terhadap zat tertentu di lingkungan

    sekitar namun manifestasi alergi dan asma

    hanya terjadi pada beberapa orang saja. Hal ini

    menunjukkan bahwa ada faktor genetik yang

    berperan.9Gen yang pertama kali diidentifikasi

    berpengaruh terhadap asma adalaha disintegrin

    and metalloprotease 33 (ADAM33) yang

    berperan dalam hiperesponsivitas bronkus dan

    proses remodeling jalan napas. Polimorfisme

    pada gen ADAM33 juga dihubungkan dengan

    proses terjadinya penurunan fungsi paru yang

    cepat pada populasi umum, penderita asma

    maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

    Lebih lanjut juga ditemukan bahwa asma yang

    dihubungkan dengan polimorfisme nukleutida

    tunggal pada ADAM33 dapat memprediksipenurunan fungsi paru pada anak-anak. Hal

    ini menunjukkan bahwa pengaruh ADAM33

    sudah ada sejak awal masa kehidupan.1,10

    Studi epidemiologi juga menunjukkan

    terdapat hubungan antara pajanan

    lingkungan dan risiko untuk terjadinya

    asma dan alergi. Selain faktor risiko genetik

    dilaporkan juga faktor ras/etnik, jenis kelamin,

    perokok aktif maupun pasif, mengkonsumsi

    produk hewani, hewan peliharaan anjing

    maupun kucing, jumlah anggota keluarga,

    riwayat perawatan rumah sakit di usia kanak-

    kanak, infeksi pernapasan akibat virus, pajanan

    mikroba, vaksinasi, pemakaian antibiotik dan

    antipiretik, cara kelahiran saat bayi, pemberian

    ASI, polusi udara, obesitas, alergen, dan

    pajanan di tempat kerja.1

    PATOFISIOLOGI INFLAMASI ALERGI

    PADA ASMA

    Lebih dari 10.000 liter udara mengalir ke

    dalam paru setiap hari. Inhalasi gas tersebut

    mengikutsertakan bakteri, virus, alergen

    dan bahan iritan yang semuanya dapat

    menyebabkan cedera pada epitel paru.

    Epitel yang rusak tersebut pada kondisi

    normal mampu melakukan perbaikan secara

    cepat. Sel epitel terkadang dalam proses

    perbaikan tersebut membutuhkan interaksi

    dengan fibroblas, jaringan saraf dan matriks

    ekstraseluler dilamina propria sehingga terjadi

    reepitelisasi dan reinervasi secara cepat.

    Interaksi anatomi dan fungsi antara epitel

    dan sel mesenkim tersebut disebut dengan

    epithelial-mesenchymal tropic unit (EMTU). Ini

    menunjukkan bila terdapat defek primer pada

    asma akibat faktor eksogen spesifik di epitel

    maka akan secara terus menerus dilepaskan

    growth factors. Mediator-mediator ini akan

    bekerja secara terorganisir dengan sitokin

    Th2 sehingga menyebabkan gangguan

    fungsi EMTU yang akhirnya mengakibatkanaktivasi miofibroblas secara permanen. Sekali

    teraktivasi, miofibroblas akan memperkuat

    inamasi yang terjadi dan dimulailah proses

    remodeling oleh epitel.11-13 Berikut ini adalah

    episode-episode yang khas terjadi pada asma

    bila terpajan oleh suatu alergen.

    1. Fase induksi

    Proses inamasi bronkus dan hiperresponsif

    jalan napas dimulai dari masuknya alergen

    ke dalam jalan napas. Sebagian besar antigen

    akan dibersihkan oleh pergerakan mukosiliar.

    Alergen yang dapat melalui mekanismepertahanan tersebut akan menembus lapisan

    epitel dasar dan akan ditangkap oleh antigen-

    presenting cell (APC) terutama sel dendritik

    dan makrofag alveolar. Alergen tersebut akan

    dibawa ke kelenjar limfe dan dipresentasikan

    ke sel T dan B. Sel Th yang teraktivasi akan

    menghasilkan berbagai sitokin seperti

    interleukin (IL)-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-

    10, IL-12, IL-13, IL-18, interferon (IFN)-, tumor

    necrosis factor (TNF)-, TNF- dan granulocyte

    macrophage colony stimulating factor (GM-

    CSF). Sitokin yang paling berperan dalam

    perkembangan asma adalah IL-4, IL-5, IL-9

    dan IL-13, sedangkan IL-4 dan IL-13 berperan

    penting pada produksi IgE. Interleukin -4

    dan 13 bersama dengan IL-9 berperan dalam

    menghasilkan sel mast, produksi mukus yang

    berlebihan dan hiperesponsivitas jalan napas.

    Sitokin utama yang menyebabkan akumulasi

    eosinofil adalah IL-5.14,15

    2. Reaksi asma fase dini

    Sel mast berperan penting pada reaksi

    asma fase dini yang menghubungkan IgE

    Faktor yang mendukung

    timbulnya fenotip TH1

    Memiliki beberapa saudara kandung

    Pajanan dini day care, tb, campak dan infeksi

    hepatitis A.Lingkungan perkampungan

    Perlindungan kekebalanPenyakit alergi,

    termasuk asma

    Faktor yang mendukung timbulnya

    fenotip TH2

    Penggunaan antibiotik

    Gaya hidup kebarat-baratan

    Lingkungan perkotaanDiet

    Tersensitisasi terhadap tungau dan kecoa

    Gambar 1 Keseimbangan antara respons sitokin Th1 dan Th28

    Keseimbangan

    Sitokin

  • 7/21/2019 08_207Inflamasi Alergi Pada Asma

    3/4

    587CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013

    TINJAUAN PUSTAKA

    dan jalan napas hiperresponsif ditemukan

    di jaringan penunjang bronkus dan ruangperifer intraalveol dengan melepaskan zat

    kimia dan jumlah sel mast akan meningkat

    setelah pajanan alergen. Sel mast terlokalisir

    di dalam sel otot polos bronkus dan

    epitel bronkus penderita asma dan akan

    menginfiltrasi kelenjar mukus jalan napas.

    Sel mast sendiri pada manusia dihasilkan dari

    sel induk pluripoten CD34+ dan bersirkulasi

    di dalam darah kemudian akan kembali ke

    jaringan. Saat terjadi serangan asma, jumlah

    sel mast yang berdegranulasi meningkat.

    Pajanan berulang terhadap alergen akan

    menyebabkan terjadinya ikatan silang antaraantigen, IgE dan reseptor Fc pada sel mast.

    Ikatan tersebut menghasilkan pelepasan

    mediator seperti histamin, prostaglandin,

    leukotrien dan sitokin misalnya TNF-. Hal

    ini merupakan penyebab timbulnya gejala-

    gejala hipersensitivitas tipe cepat seperti

    rinitis ringan sampai syok anafilaktik.4,14-16

    Gejala-gejala ini terjadi pada hitungan menit

    sejak pajanan awal alergen dan mencapai

    puncak dalam 10-15 menit yang dalam

    keadaan normal akan membaik dalam 1-3

    jam pascapajanan. Proses inamasi ini pada

    akhirnya menyebabkan kontraksi otot polos

    jalan napas, edema dan meningkatnya sekresi

    mukus sehingga terjadi sumbatan jalan napas

    serta timbul gejala asma akut seperti hidung

    tersumbat, bersin, bronkokonstriksi dan

    kulit kemerahan. Respons fase dini ini akan

    menginduksi menurunnya VEP1 sebanyak

    25%.11,17

    3. Reaksi asma fase lanjut

    Reaksi asma fase dini yang berlangsung sekitar

    4-6 jam berikutnya akan diikuti reaksi asma

    fase lanjut yang lebih berat dan lama. Secara

    umum sel mast dan mediator-mediator yangdilepaskannya akan menginduksi terjadinya

    konstriksi jalan napas, meningkatnya

    permeabilitas vaskular, hiperresponsif jalan

    napas, sekresi mukus dan meningkatkan

    penarikan sel-sel inamasi ke dalam jalan

    napas setelah beberapa jam pajanan alergen

    terutama eosinofil selain itu sel T, makrofag,

    basofil, neutrofil serta sel-sel struktural

    seperti sel epitel, fibroblas, sel endotel dan

    sel-sel otot polos. Sel-sel inamasi ini dapat

    menghasilkan mediator-mediator inamasi

    yang sangat banyak seperti kemokin, sitokin

    dan leukotrien yang berpengaruh baik secaralangsung terhadap jalan napas maupun

    tidak langsung melalui mekanisme neural,

    peningkatan inamasi jalan napas kronik

    setelah pajanan alergen berulang. Hasilnya

    adalah berupa inamasi kronik jalan napas

    yang terus-menerus mengalami cedera

    hingga akhirnya menimbulkan perubahan

    struktural jalan napas dan akan tampak

    beberapa tahun berikutnya berupa penurunan

    VEP1 sebanyak 75%. Perubahan struktur ini

    secara keseluruhan disebut sebagai proses

    remodelingjalan napas.14,16,17

    REMODELINGJALAN NAPAS

    Pajanan alergen yang terus menerus atau

    berulang menyebabkan inamasi akan

    menetap dan sel imun innatedan adaptif akan

    banyak ditemukan di jaringan. Inamasi yang

    menetap ini dihubungkan dengan perubahan

    pada struktur sel di jaringan dan pada banyak

    kasus terlihat perubahan fungsi dari organ

    yang sakit tersebut. Penelitian mengenai

    reaksi fase dini maupun fase lanjut telah

    banyak dilakukan dengan mudah pada subyek

    manusia sedangkan penelitian inamasi

    alergi kronik yang berakibat terjadinya

    proses remodeling jalan napas kebanyakan

    dilakukan terhadap subjek hewan coba yang

    mempunyai kelainan alergi yang kesemuanya

    tidak ada yang menyerupai penyakit pada

    manusia sehingga belum diketahui secara jelas

    apa yang terjadi setelah terpajan alergen yang

    terus menerus dan beragam juga perubahan

    pada inamasi jaringan setempat dari reaksi

    fase dini dan reaksi fase lanjut ke inamasi

    alergi kronik.5,17 Inamasi pada pasien asma

    kronik dapat memengaruhi seluruh lapisan

    dinding jalan napas dan yang tersering adalah

    perubahan pada epitel termasuk peningkatan

    jumlah sel goblet yang memproduksi mukus,

    peningkatan sitokin dan kemokin sel epitelial,

    inamasi pada daerah submukosa termasuk

    peningkatan terbentuknya endapan matrikekstrasel di lamina retikularis, perubahan

    pada fibroblas, peningkatan pembentukan

    miofibroblas serta peningkatan vaskularisasi

    dan penebalan lapisan otot polos jalan napas

    disertai peningkatan ukuran, jumlah dan

    fungsi sel otot polos.16-17

    Interaksi kompleks antara epitel jalan napas

    yang mengalami inamasi kronik dengan

    EMTU diduga merupakan yang mengatur

    terjadinya proses remodeling jalan napas.

    Proses tersebut meliputi penebalan dinding

    jalan napas sebagai hasil dari terjadinya fibrosissubepitelial, hiperplasia dan hipertrofi miosit,

    hiperplasia miofibroblas, hipertrofi epitel serta

    hiperplasia sel goblet dan kelenjar mukus.

    Dinding jalan napas menjadi edematosa

    dan lapisan mukosa dan submukosa akan

    terinfiltrasi oleh eosinofil dan sel T. Membran

    basal juga menebal dan terdapat deskuamasi

    epitel. Miofibroblas diperkirakan berperan

    penting dalam proses remodeling jalan

    napas yang diyakini sudah terjadi meskipun

    pada asma ringan. Penelitian menunjukkan

    bahwa pengobatan antiinamasi sejak dini

    dapat membatasi terjadinya remodelingjalan

    napas dengan berkurangnya deposit kolagen

    subepitel dan menurunkan diferensiasi

    fibroblas menjadi miofibroblas.5,8,17

    ONE AIRWAY ONE DISEASE

    Hidung dan sinus paranasal merupakan

    bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

    traktus respiratorius. Kesamaan gambaran

    antara mukosa hidung dan bronkus

    menunjukkan terdapat interaksi antara

    hidung dan paru dengan fungsi yang

    MEDIATOR SEL MAST

    PARU

    PARU

    DARAH

    KELENJAR

    GETAH BENING

    REMODELING JALAN NAPAS

    REAKSI ASMA DINI

    REAKSI ASMA LANJUT

    INDUKSI

    SEL MAST

    Gambar 2Kaskade alergi14

  • 7/21/2019 08_207Inflamasi Alergi Pada Asma

    4/4

    CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013588

    TINJAUAN PUSTAKA

    Studi epidemiologi menunjukkan bahwa

    asma dan rinitis sering terjadi pada individu

    yang sama. Prevalensi asma tanpa rinitis

    biasanya kurang dari 2% sementara asma

    dengan rinitis bervariasi antara 10%-

    40%. Sebuah penelitian yang dilakukan

    di Amerika Serikat menemukan bahwa

    rinitis meningkatkan risiko terjadinya asma

    sebanyak tiga kali diantara pasien atopi

    maupun nonatopi. Pasien rinitis dengan

    keluhan di hidung yang berat dan memiliki

    riwayat sinusitis akan memiliki risiko

    tambahan yang lebih besar untuk terjadinya

    asma. Namun hal tersebut sampai saat ini

    masih membutuhkan penelitian lebih lanjut

    untuk membuktikan bahwa rinitis alergi

    yang muncul sebagai manifestasi klinis

    awal dari penyakit alergi benar-benar akan

    berkembang menjadi asma di kemudianhari.18

    SIMPULAN

    1. Asma dan alergi menyebabkan pe-

    ningkatan morbiditas, biaya kesehatan, dan

    mengganggu produktivitas kerja.

    2. Terdapat hubungan antara faktor genetik

    dan pajanan lingkungan untuk terjadinya

    asma dan alergi.

    3. Proses inamasi alergi pada asma terdiri

    dari fase induksi, reaksi asma fase dini, dan

    reaksi asma fase lanjut.

    4. Proses remodelingjalan napas terjadi akibatinamasi yang terjadi kronik dan berulang serta

    sudah mulai terjadi pada asma ringan.

    Gambar 3 Proses yang terjadi pada asma fase dini dan lanjut11

    Migrasi ke paru

    Aktivitas lekosit di laminapropria bronkus

    IL-4, IL-5, IL-13,MBP, ECP,LT

    Kontraksi otot polos yang lama,vasodilatasi, eksudasi plasmadan sekresi mukus

    FASE LANJUT

    REMODELINGJALAN NAPAS

    Sel Mast teraktivasimelalui reseptor IgEanitas tinggi

    Kontraksi singkat ototpolos, vasodilatasi, eksudasiplasma dan sekresi mukus

    FASE DINI

    VEP1

    CEDERAEPITEL

    GM-CSF

    TGF-,ET1

    HT, LT,PG

    IL-4IL-13

    MENIT JAM

    IMUNITAS Th2

    Sel Th2 dansel B migrasike paru

    IL-3, IL-5,GM-CSF

    Migrasi ke KGB

    Pproduksi eosinol disumsum tulang

    Sel Dendritik menangkap alergen,matang dan berdiferensiasimenjadi APC

    ALERGEN

    DERAJAT

    KEPARAHAN

    PENYAKIT

    SAL NAPAS

    ATAS

    DERAJAT

    KEPARAHAN

    PENYAKIT SAL

    NAPAS BAWAH

    DERAJAT KEPARAHAN

    RHINITIS SHINOSINUSITIS

    ASMA

    Gambar 4Hubungan antara rinitis dan keparahan asma18

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Carol O, Yao TC. The genetics of asthma and allergic disease: a 21st century perspective. Immunological reviews 2011;242:10-30.

    2. Kim HY, DeKruyff RH, Umetsu DT. The many paths to asthma: phenotype shaped by innate and adaptive immunity. Nature Immunology.2010;11(7):577-82.

    3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika; 2004.p.1-11.

    4. Murphy DM, OByrne PM. Recent advances in the pathophysiology of asthma. Chest.2010;137(6):1417-26

    5. Galli SJ, Tsai M, Piliponsky AM. The development of allergic inammation. Nature. 2008;454:445-54.

    6. Mackay IR, Rosen FS. Allergy and allergic disease. N Engl J Med. 2001;344(1):30-6.

    7. Guill MF. Asthma update: Epidemiology and pathophysiology. Pediatric in Review. 2004; 25(9):299-304.

    8. Busse WW, Lemanske RF. Asthma. N Engl J Med. 2001; 344(5):350-60.

    9. Umetsu DT, DeKruyff RH. The regulation of allergy and asthma. Immunological reviews. 2006;212:238-55.

    10. Davies DE. The role of the epithelium in airway remodeling in asthma. Proc Am Thorac Soc. 2009;6:678-82.

    11. Ferreira MA. Inammation in allergic asthma: Initiating events, immunological response and risk factors. Respirology. 2004;9:16-24.

    12. Holgate ST. Epithelium dysfunction in asthma. J Allergy Clin Immunol. 2007;120:1233-44.

    13. Holgate ST, Davies DC, Puddicombe S, Richter A, Lacki e P, Lordan P ,et al. Mechanisms of airway epithelial damage: Epithelial-mesenchymal interaction in pathogenesis of asthma. Eur

    Respir J. 2003; 22(44):24-9.

    14. Verstraelen S, Bloemen K, Witters H, Schoeters G, Heuvel RV. Cell types involved in allergic asthma and their use in i n vitro models to assess respiratory sensitization. Toxicology in Vitro.

    2008;1419-31.

    15. Bloemen K, Verstraelen S, Heuvel RV, Witters H, Neilssen I, Schoeters G. The allergic cascade: review of the most important molecules in the asthmatic lung. Immunology Letters. 2007;113:6-18.

    16. Barnes PJ. Pathophysiology of allergic inammation. Immunological reviews. 2011;242:31-50.

    17. Canonica GW. Treating asthma as an inammatory disease. Chest. 2006;130:218-88.

    18. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA). Allergy. 2008;63(86):8-160.

    saling melengkapi. Konsep one airway one

    disease didasarkan bahwa sebagian besar

    penderita asma memiliki rinitis alergi yang

    dapat meningkatkan risiko serangan dan

    kekambuhan pada asma sehingga makin

    memperbesar frekuensi kunjungan ke unit

    gawat darurat dan perawatan di rumah sakit.

    Umumnya, makin berat rinitis yang diderita,

    makin berat pula asmanya (Gambar 3) karena

    sebagian besar serangan akut asma di sini

    disebabkan oleh infeksi virus pada rinitisnya.Namun, tidak sebaliknya, tidak semua

    penderita rinitis memiliki asma.1,18