reaksi alergi pada asma bronkial

31
REAKSI ALERGI PADA ASMA BRONKIAL I. PENDAHULUAN Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang ringan sampai berat, bahkan dapat mematikan. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Asma merupakan penyebab utama penyakit kronis pada masa anak-anak, menyebabkan kehilangan hari-hari sekolah yang berarti. Asma merupakan gangguan saluran napas yang sangat kompleks, tidak memiliki sifat yang khas, baik gambaran klinis, faktor pencetus, proses perjalanan penyakit, maupun pola mekanisme terjadinya sangat bervariasi. Menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004, asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten (menetap) dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, 1

Upload: annisaoktoviani

Post on 14-Apr-2016

40 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

asma brokhial

TRANSCRIPT

Page 1: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

REAKSI ALERGI PADA ASMA BRONKIAL

I. PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai

dewasa dengan derajat penyakit yang ringan sampai berat, bahkan dapat

mematikan. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang

ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat

penyumbatan saluran napas. Asma merupakan penyebab utama penyakit

kronis pada masa anak-anak, menyebabkan kehilangan hari-hari sekolah yang

berarti. Asma merupakan gangguan saluran napas yang sangat kompleks,

tidak memiliki sifat yang khas, baik gambaran klinis, faktor pencetus, proses

perjalanan penyakit, maupun pola mekanisme terjadinya sangat bervariasi.

Menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004, asma adalah

mengi berulang dan/atau batuk persisten (menetap) dengan karakteristik

sebagai berikut:

timbul secara episodik,

cenderung pada malam/dini hari (nokturnal),

musiman,

setelah aktivitas fisik,

ada riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya. 6,7

Menerut GINA 2014 Asma merupakan sebuah penyakit kronik

saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi

yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas

sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas

(breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk

(cough) terutama pada malam atau dini hari. (1)

Asma pada anak mempunyai berbagai aspek khusus yang umumnya

berkaitan dengan proses tumbuh dan kembang seorang anak, baik pada masa

bayi, balita, maupun anak besar. Peran atopi pada asma anak sangat besar dan

1

Page 2: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

merupakan faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dengan baik untuk

diagnosis dan upaya penatalaksanaan. (2-4)

II. EPIDEMILOGIMenurut World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150

juta penduduk dunia menderita asma bronkial, jumlah ini diperkirakan akan

terus bertambah sebesar 180.000 orang setiap tahun. Jumlah penderita asma

bronkial semakin terlihat mengalami peningkatan pada negara - negara

berkembang. Lebih dari 250,000 orang meninggal akibat asma bronkial

setiap tahun terkait tatalaksananya yang tidak adekuat. (3) Di Indonesia,

prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak

sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC Study on

Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma

sebesar 2,1%, sedangkan padatahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil

survey asma padaanak sekolah di beberapa kota di Indonesia

(Medan,Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan

Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun)

berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar

5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi

masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius. (4)

III. ETIOLOGI

Meskipun penyebab asma belum diketahui dengan pasti. Beberapa

penelitian mengimplikasikan adanya kombinasi dari paparan lingkungan dan

hubungannya dengan biologis dan genetika. Paparan dalam lingkungan

termasuk allergen, virus infeksi pernafasan, bahan kimia, dan polusi udara

seperti asap rokok. Kekebalan terhadap paparan dapat distimulus untuk

waktu yang lama termasuk pathogenesis inflamasi dan gangguan saluran

nafas. Bila terjadi proses pathogen pada paru-paru di awal kehidupan, dapat

memberikan dampak buruk terhadap perkembangan saluran pernafasan dan

diferensiasi sehingga saluran pernafasan terbentuk tidak sebagimana

mestinya diusia dewasa. Ketika asma muncul, paparan akan memberikan efek

2

Page 3: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

yang lebih buruk dan penyakit dapat persisten dan meningkatkan eksaserbasi

parah. (5)

Reaksi alergi terjadi jika seseorang yang telah memproduksi antibodi

IgE akibat terpapar suatu antigen (alergen), terpapar kembali oleh antigen

yang sama. Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman, obat atau

makanan yang bertindak sebagai antigen yang merangsang terjadinya respon

kekebalan.

Contoh alergen yang bisa menjadi pencetus alergi adalah :

Alergen yang teridentifikasi pada asma adalah debu rumah, human dander

dan tungau, serta kecoa. Alergen lain adalah dog dander dan alergen

makanan berupa coklat dan makanan laut

Indoor allergen banyak ditemui di sekeliling kita misalnya tungau, debu

rumah yang banyak terdapat pada karpet, atau tempat tidur (kasur, bantal).

Peran indoor allergen sebagai pemicu asma tidak terlepas dari hubungan

alergen dengan lingkungan, tidak sekedar dosis pajanan (kuantitatif ) atau

lama pajanan.

IV. FAKTOR RESIKO

Faktor resiko terjadinya asma bronchial berupa :

1. Faktor Genetik

a. Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum

diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit

alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan

adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit

asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus serta disfungsi

paru yang mempengaruhi aliran udara.

b. Hipereaktivitas bronkus

Adanya bermacam-macam factor pencetus dapat mengaktifkan sel

mast sehingga sel mast melepaskan mediator inflamasi yang akan

membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan

3

Page 4: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

allergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi

yang terjadi. Keadaan ini menyebabkan terjadinya inflamasi yang

akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus.

c. Jenis kelamin

Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelumusia 14 tahun,

prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak

perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih

kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.

d. Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor

risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi

fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya

asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan

penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi

paru, morbiditas dan status kesehatan.

2. Faktor Lingkungan

a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa,

serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).

b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

4

Page 5: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

3. Faktor lain

a. Alergen makanan contoh : seafood, telur, udang dan lain-lain

b. Allergen obat-obat tertentu contoh penicillin, sefalosporin analgesic,

antipiretik dan lai-lain

c. Bahan yag mengiritasi contoh parfum, household spray, dan lain-lain

d. Stress dan gangguan emosi

e. Asap rokok dan polusi udara

f. Perubahan cuaca

g. Status ekonomi (3, 4)

V. PATOFISIOLOGI

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara

lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.

Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom.

Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan

reaksihipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase

lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk

membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini

disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada

permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan

bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase

sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian

berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan

sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa

mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik

eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada

dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus,

dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran

napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera

yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi

5

Page 6: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang

bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi

setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan

kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,

sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci

dalam patogenesis asma. Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan

mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan

mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks

bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan

makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan

alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang

terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada

beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast

misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada

keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen

vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik

senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).

Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema

bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi

Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas

bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan

parameter objektif. (4, 5)

6

Page 7: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

VI. DIAGNOSIS

Masalah penting pada morbiditas asma adalah kemampuan untuk

menegakkan diagnosis, dan seperti telah kita ketahui bahwa diagnosis asma

pada anak tidak selalu mudah untuk ditegakkan. Beberapa kriteria diagnosis

untuk itu selalu mempunyai berbagai kelemahan, tetapi umumnya disepakati

bahwa hiper reaktivitas bronkus tetap merupakan bukti objektif yang perlu

untuk diagnosis asma, termasuk untuk asma pada anak(2) Diagnosis asma

didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik,

mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk

menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu

diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko.

Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran

respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat

berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu

penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol.

Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta

pemeriksaan penunjang. . (4) (5)

Anamnesis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

7

Page 8: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

1. Anamnesa(4) :

Riwayat pengulangan batuk mengi, sulit bernafas, atau berat dada yang

memburuk pada malam hari atau secara musiman.

Riwayat asma sebelumnya

Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada pada

keluarga

Keluhan timbul atau memburuk oleh infeksi pernafasan, rangsangan

bulu binatang, serbuk sari, asap, bahan kimia, perubahan suhu, debu

rumah, obat – obatan ( aspirin, penghambat beta ), olah raga, rangsang

emosi yang kuat

Keluhan berkurang dengan pemberian obat asma

2. Pemeriksaan Fisik :

Dapat dijumpai adanya sesak nafas, pernafasan mengi dan perpanjangan

ekspirasi tanda emfisema pada asma yang berat(4, 6).

a) Vital Sign Fitur umum dicatat selama serangan asma akut

tingkat pernapasan cepat (sering 25 sampai 40 napas per menit),

takikardia, dan pulsus paradoksus.

b) Pemeriksaan Thorak (7)

Pemeriksaandapat mengungkapkan bahwa pasien yang mengalami

serangan asma dapat dijumpai:

Inspeksi: sesak (napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium,

retraksi suprasternal)

Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat

terjadi pulsus paradoksus

Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan

Auskultasi: ekspirasi memanjang,wheezing

8

Page 9: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

3. Pemeriksaan Penunjang

1. Spirometer. (8)

Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis

juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

peningkatan (Volume Ekspirasi Paksa 1 detik ) VEP1≥ 12% dan ≥ 200

ml menunjukkan reversibilitas yang menyokong diagnosis asma

2. Peak Flow Meter/PFM. (8)

Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat

tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari

paru.

3. X-ray dada/thorax. (8)

Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma

4. Pemeriksaan IgE. (8)

Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE

spesifik dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, Karena uji

allergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian

pula sebaliknya.

9

Page 10: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

5. Analisa Gas Darah (8)

Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal

serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnea (PaCO2 < 35 mmHg)

kemudian pada stadium yang lebih berat pada PaCO2 justru mendekati

normal sampai normo-kapnea. Selanjutnya pada asma yang sangat berat

terjadi hiperkapnea (PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis

respiratorik.

4. Diagnosa Banding (7)

Mengi dan dispneu ekspiratoir dapat terjadi pada bermacam-macam

keadaan yang menyebabkan obtruksi pada saluran pernafasan

a. Pada bayi adanya korpus alenium disaluran nafas dan esophagus

atau kelenjer timus yang menekan trakea.

b. Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis atau

fibrosis kistik

c. Bronkiolitis akut, biasanya mengenai anak dibawah umur 2 tahun

dan terbanyak dibawah umur 6 bulan dan jarang berulang.

d. Bronchitis. Tidak ditemukan eosinofilia, bila sering berulang dan

kronik biasanya disebabkan oleh asma

e. Tuberculosis kelenjer limfe di daerah trakeobronkial

f. Kelainan trakea dan bronkus misalnya stenosis bronkus.

10

Page 11: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

VII. KLASIFIKASI ASMA

Parameter klinis,

kebutuhan obat,

dan faal paru.

Asma episodic

jarang

Asma episodic

seringAsma persisten

Frekuensi

serangan

<1 x/bulan >1 bulan Sering

< 1 minggu >1 minggu Hampir sepanjang

tahun, hamper

tidak ada remisi

Intensitas

Serangan

Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat

Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan

malam

Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu

Pemeriksaan fisis

diluar serangan

Normal Mungkin

terganggu

(ditemukan

kelainan)

Tidak pernah

normal

Obat pengendali

(anti inflamasi )

Tidak perlu Perlu, steroid Perlu, steroid

Uji faal paru

(diluar serangan)

PEF?FEV1 >80% PEF/FEV1 60-

80%

PEF/FEV1<60%

variabilitas 20-

30%

Variabilitas faal

paru

Variabilitas >15% Variabilitas >30% Variabilitas >50%

VIII. PENCEGAHAN

Upaya pencegahan asma anak mencakup pencegahan dini sensitisasi

terhadap alergen sejak masa fetus, pencegahan manifestasi asma bronkial

pada pasien penyakit atopi yang belum menderita asma, serta pencegahan

serangan dan eksaserbasi asma. (7)

11

Page 12: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk menghindari

pajanan alergen dan polutan, baik untuk mencegah sensitisasi maupun

penghindaran pencetus. Para peneliti umumnya menyatakan bahwa alergen

utama yang harus dihindari adalah tungau debu rumah, kecoak, bulu hewan

peliharaan terutama kucing, spora jamur, dan serbuk sari bunga. Polutan yang

telah diidentifikasi berhubungan dengan eksaserbasi asma adalah asap

kendaraan, kayu bakar, ozon, dan SO2. Penghindaran maksimal harus

dilakukan di tempat anak biasa berada, terutama kamar tidur dan tempat

bermain sehari-hari.

Berdasarkan pengetahuan dasar tentang proses sensitisasi dan allergic

march maka upaya pencegahan asma dilakukan juga dengan mencegah dan

menghambat perjalanan alamiah penyakit alergi. Upaya tersebut antara lain

adalah dengan mencegah timbulnya suatu penyakit alergi (asma) pada anak

yang telah tersensitisasi. Suatu uji klinis multisenter ETAC (early treatment

of the atopic child) telah menunjukkan manfaat setirizin untuk menghambat

timbulnya asma pada anak kecil penderita dermatitis atopi yang sudah

tersensitisasi terhadap alergen tertentu tetapi belum menderita asma.

Untuk anak yang sudah menderita asma dilakukan pengobatan

pencegahan dan kontrol asma yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan,

atau menurunkan kekerapan serta derajat serangan asma, dengan pemberian

sodium kromolin, ketotifen, inhibitor dan antagonis leukotrien, serta

kortikosteroid. Sejauh ini kortikosteroid merupakan antiinflamasi terpilih

yang paling efektif untuk pencegahan asma. Pemberian kortikosteroid

inhalasi dapat mengontrol asma kronik dengan baik, walaupun pada anak kecil relatif lebih sulit dilakukan sehingga membutuhkan alat bantu inhalasi(2)

IX. PENGOBATAN

4 Komponen Tata Laksana Asma.

GINA ( 2011 ) mengajukan 4 komponen tata laksana yang dibutuhkan untuk

mencapai dan mempertahankan kontrol asma8 :

12

Page 13: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

1. Mengembangkan Kerjasama Dokter dengan Pasien

Diupayakan tercapainya kerjasama yang baik antara dokter dan pasien,

dan melakukan edukasi pasien tentang asma dan tatakelola asma yang

perlu mereka kerjakan. Manajemen yang efektif diperoleh bila pasien

dapat aktif merawat diri sendiri yaitu bila ia telah mampu :

Menghindari faktor resiko

Menggunakan obatnya secara benar dan teratur sesuai yang telah

ditentukan

Mengerti penggunaan obat pengontrol dan pelega

Mampu memonitor asma dan bila mungkin bisa menggunakan PEF

meter

Mengenal tanda pemburukan asma dan cara mengatasinya

Konsultasi bila diperlukan

2. Mengenal dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko

Pasien harus mengetahui faktor pencetus asma mereka dan berusaha

menghindari berbagai faktor yang dapat mencetuskan asmanya seperti

diuraikan mengenai faktor pencetus asma. Pasien tetap melakukan olah raga

sesuai kamampuannya dan bila perlu sebelum olah raga terlebih dahulu

menggunakan obat asma.

3. Evaluasi, Terapi dan Monitor Asma

Algoritma 1 menunjukkan suatu cara tata laksana asma secara garis besar

yang dapat dipergunakan sebagai dasar diagnosis asma, evaluasi

kontrol/beratnya asma, tempat perawatan dan tingkat terapi yang diberikan

pada pasien yang datang ke klinik asma atau klinik emergensi. Tindak lanjut

terapi pasien ditentukan berdasarkan respon pasien hingga pasien dapat

pulang untuk berobat.

4. Monitoring untuk mempertahankan kontrol asma

13

Page 14: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

Pasien kontrol 1 – 3 bulan kemudian dan seterusnya 3 bulan sekali. Bila

adaeksaserbasi kontrol tiap 2 – 4 minggu, ditanyakan mengenai hasil kontrol

asma yang tercapai, kepatuhan pasien menggunakan inhaler dan PEF meter

secara benar atau adanya masalah lain pada pasien.

Penyesuaian obat dilakukan untuk mendapatkan kontrol yaitu

ditingkatkan regimen obat bila tak terkontrol/atau terkontrol sebagian,

sedangkan bila terkontrol baik selama 3 bulan diturunkan dosis dan langkah

terapi secara perlahan, hingga batas dosis obat minimal yang dapat

mengontrol.

Monitoring tetap diperlukan meskipun kontrol telah tercapai karena asma

adalah penyakit yang bervariasi hingga terapi perlu disesuaikan secara

berkala sebagai respon terhadap tanda – tanda kurangnya kontrol yang

ditandai oleh gejala yang memburuk atau timbulnya eksaserbasi.

Obat Asma

Obat asma dapat digolongkan menjadi pengedali ( controller ) dan pelega (

reliever ). Controller adalah obat yang dikonsumsi tiap hari untuk

membuat asma dalam keadaan terkontrol terutama melalui efek anti

inflamasi. Reliever adalah obat yang digunakan bila perlu berdasar efek

cepat untuk menghilangkan bronkokontriksi dan menghilangkan

gejalanya13.

Controller Reliever

Kortikosteroid (inhalasi, sistemik) Short acting b2 agonist (SABA) : inhalasi, oral

Leukotriene modifeier Kortikosteroid sistemik

Long acting b2 agonist (LABA) : inhalasi, oral

Antikolinergik : Ipratropium br, oxitropium

Chromolin: Sodium cromoglycate dan Nedocromil Teofilin

Teofilin lepas lambat

14

Page 15: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

Anti IgE

Antikolinergik: Tiotropium

Obat pengendali ( Controller )11

Pencegah adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk

mengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi

proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma.

Obat ini diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan

keadaan asma terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut

sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat sebagai

pengcegah, antara lain

a) Kortikosteroid inhalasi

b) Kortikosteroid sistemik

c) Sodium chromoglicate dan sodium Nedochromil

Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada

asma persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan

untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak.

d) Methylxanthine

15

Page 16: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek

ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas

lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi

menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala

dan memperbaiki faal paru.

e) Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi

Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah

salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>

12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi

otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan

permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan

mediator dari sel mast dan basofil.

f) Leukotriene modifiers

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya

melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator

minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen,

sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga

mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah

preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan.

Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis

reseptor leukotrien sisteinil).

Penghilang gejala (Reliever)

Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,

memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan

dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak

memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif

jalan napas. Termasuk penghilang gejala adalah 11.

Agonis beta2 kerja singkat

16

Page 17: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol,

dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu

mulai kerja (onset) yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana

agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas,

meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti

pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast.

Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat

bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma

Kortikosteroid sistemik.

Steroid sistemik digunakan sebagai obat penghilang gejala bila

penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil

belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan

bronkodilator lain.

Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek

penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.

Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik

vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi

yang disebabkan iritan.Termasuk dalam golongan ini adalah

ipratropium bromide dan tiotropium bromide.

Theophilin

Teofilin merupakan preparat metil-xantin yang pada masanya

sangat populer untuk terapi rumatan asma kronik ringan, dan

sebagai penunjang pengobatan asma kronik berat. Walaupun saat

ini masih banyak dipakai, teofilin tidak begitu menarik lagi setelah

pengobatan anti-inflamasi untuk asma lebih terfokus kepada

kortikosteroid. Selama ini efek anti-inflamasi teofilin memang

masih sering dipertanyakan. Selain itu metabolisme teofilin

diketahui akan terganggu dalam keadaan demam oleh penyakit

tertentu, seperti influenza, atau oleh obat seperti eritromisin,

simetidin, dan siprofloksasin. Pada anak, teofilin juga diketahui

17

Page 18: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

dapat mempengaruhi prestasi sekolah sehingga tidak dianjurkan

untuk diberikan pada anak dengan gangguan psikologis atau

gangguan belajar.

Pada masa anak terjadi proses tumbuh- kembang fisis, faal, imunologi,

dan perilaku yang memberi peluang sangat besar bagi kita untuk melakukan

upaya pencegahan, kontrol, self-management, dan pengobatan asma.

Walaupun medikamentosa selalu merupakan unsur penting pengobatan asma

anak, harus tetap diingat bahwa hal tersebut hanyalah merupakan salah satu

dari berbagai komponen utama penatalaksanaan asma. Penatalaksanaan asma

yang baik harus disokong oleh pengertian tentang peran genetik, alergen,

polutan, infeksi virus, serta lingkungan sosioekonomi dan psikologis pasien

beserta keluarga.

Pengobatan asma pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan dan

menjaga status aktivitas anak normal dan faal paru normal, mencegah

timbulnya asma kronik, serta mencegah pengaruh buruk tindakan

pengobatan. Secara umum obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok,

yaitu obat pelega (relievers) dan obat pengontrol (controllers).

Obat pelega asma bertujuan untuk melegakan saluran napas dan

menghilangkan serangan serta eksaserbasi akut dengan pemberian

bronkodilator. Bronkodilator yang banyak dipakai saat ini adalah agonis,

selain xantin dan antikolinergik. Obat pengontrol asma bertujuan menjaga

dan mengontrol asma persisten dengan mencegah kekambuhan. Obat

pengontrol asma yang banyak dipergunakan adalah kortikosteroid, selain

anti-inflamasi lain seperti sodium kromolin, nedokromil, inhibitor dan

antagonis leukotrien, serta berbagai antihistamin generasi baru.

18

Page 19: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

X. PROGNOSIS

Batuk dan mengi berulang terjadi 35% pada anak-anak usia pra sekolah.

Sepertiga dari hal ini akan menjadi kemudian akan menjadi asma persisten

pada masa kanak-kanak, dan sekitar dua pertiga akan membaik sendiri

menjelang masa remaja mereka. Asma yang parah pada umur 1-10 tahun

diprediksi akan menjadi persisten pada usia dewasa. Anak-anak dengan asma

sedang sampai berat dan fungsi paru-paru yang lemah juga dapat

memungkinkan untuk memiliki asma persisten di usia dewasa. Anak-anak

dengan asma ringan dan fungsi paru yang normal dari waktu ke waktu akan

menjadi asma berkala, namun remisi lengkap selama 5 tahun dimasa kanak-

kanak jarang terjadi. (5)

19

Page 20: Reaksi Alergi Pada Asma Bronkial

Daftar Pustaka

1. Fitz JM, Reddel HK. global strategy for asthma management and prevention.

@2014 Global Initative for Asthma. 2014.

2. Akib AA. Asma pada Anak. Sari Pediatri. 2002;4(2):78-82.

3. Herdi. Gambaran Faktor Pencetus Serangan Asma pada Pasien Asma di

Poloklinik Paru dan Bangsal Paru. Pontianak: Universitas Tanjungpura

Pontianak; 2011.

4. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt Indon.

2008;58(11):444-51.

5. liu AH, Cover R, Spahn JD, Leung DYM. Chilhood Asthma. In: Robert M.

Kliegman M, Bonita F. Stanton M, Nina F. Schor M, PhD, Joseph W. St

Game III M, Richard E. Behrman M, editors. Nelson Textbook of Pediatrics.

United States of America: ELSEVIER SAUNDERS; 2011. p. 780-6.

6. Kim H, Mazza J. Asthma AACI. 2011:1-9.

7. latief da, Napitupulu dPM, Pudijadi dA, Ghazali dMv, dst. Pulmonologi.

In: Hassan dr, Alatas dH, editors. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 1985. p. 1203-28.

8. Sundaru H. Asma Bronkial. Jakarta Pusat: InternaPublishing; 2010.

20