lapkas asma bronkial

57
Laporan Kasus ASMA BRONKIAL Oleh Lopiga Emeninta, S. Ked 090610003 Pembimbing Dr.Elly Kusmayati, Sp.A BAGIAN/ SMF ILMU KESEHATAN ANAK

Upload: lopiga

Post on 07-Nov-2015

53 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Laporan Kasus Anak

TRANSCRIPT

Laporan Kasus

PAGE

Laporan Kasus

ASMA BRONKIAL

Oleh

Lopiga Emeninta, S. Ked090610003PembimbingDr.Elly Kusmayati, Sp.A

BAGIAN/ SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA ACEH UTARA2015BAB I

PENDAHULUANAsma bronkial merupakan penyakit inflamasi kronis pada saluran pernapasan yang ditandai dengan hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Hal ini di diagnosis berdasarkan riwayat klinis, pemeriksaan fisik dan tes fungsi paru (Fishman, 2008).Batasan asma yang lengkap menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA. Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan (Anonim, 2010).Konsensus Nasional Asma Anak juga menggunakan batasan yang praktis dalam bentuk batasan operasional yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya (Anonim, 2010).Asma dapat menyerang semua kelompok usia tetapi sering dimulai pada masa kanak-kanak. Asma adalah penyakit yang ditandai dengan serangan berulang dari sesak napas dan mengi, yang berbeda tingkat keparahan serta frekuensinya pada masing-masing individu. Pada masing-masing orang, bisa terjadi dari berjam-jam hingga berhari-hari (WHO, 2014).Bagi sebagian orang, asma adalah gangguan kecil. Bagi yang lainnya, bisa menjadi masalah besar yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan dapat mengancam jiwa (MayoClinic, 2014). Kira-kira 10% anak menderita asma yang biasanya diakibatkan oleh alergi sedangkan pada orang dewasa prevelensi kira-kira 30-50% yang menderita asma tetapi tidak disebabkan oleh alergi (Fishman, 2008).Sekitar 100-150 juta orang di dunia diperkirakan menderita asma dan angka ini terus berkembang. Asma yang mengancam jiwa mencapai lebih dari 180.000 orang. Di Amerika Serikat, angka kejadian penyakit asma mencapai lebih dari 60% sejak tahun 1980 dan meningkat hingga 5000 orang setiap tahunnya (WHO, 2014). Di Indonesia, prevalensi asma menduduki peringkat pertama untuk penyakit tidak menular. Prevalensi asma di Indonesia ada sebanyak 4,5% dan lebih tinggi angka kejadiannya pada perempuan (Riskesdas, 2013).Tujuan pengobatan asma adalah mengendalikan gejala penyakit secara efektif. Pengobatan jangka panjang dengan menggunakan inhaler kortikosteroid merupakan dasar dari pengobatan asma, serta pengetahuan pencegahan dan pendidikan pasien. Bronkodilator seperti beta 2 simpatomimetik digunakan untuk mengurangi gejala-gejala asma dengan serangan akut (Fishman, 2008).BAB 2LAPORAN KASUS1.IDENTITAS

A.Identitas Penderita

Nama

: An. RR

Umur

: 9 tahun

Berat Badan : 21 kg

Jenis Kelamin : Laki-laki

Suku

: Aceh

Anak ke : DuaAlamat : Tanah Luas

Tanggal Masuk : 09 Maret 2015

Tanggal Keluar : 11 Maret 2015

No. MR : 05.33.64

B.Identitas Orang tua

Ayah

Ibu

Nama

: Tn. M

Nama

: Ny. H

Umur

: 38 tahun

Umur

: 34 tahun

Pekerjaan: Wiraswasta

Pekerjaan: IRT Pendidikan: SMA

Pendidikan: SMA

2.ANAMNESIS

Alloanamnesis dengan ibu kandung penderita, tanggal 11 Maret 2015 pukul 13.30 WIB.

a. Keluhan Utama Sesak sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakitb. Keluhan TambahanDemam, batuk, nyeri perutc.Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan ibunya ke IGD RSU Cut Meutia pada tanggal 9 Maret 2015 dengan keluhan utama sesak sejak 1 hari SMRS. Sesak semakin memberat, berbunyi ngik-ngik pada malam hari hingga pasien tidak dapat melakukan aktivitas.Serangan sesak napas pertama kali muncul saat umur 8 bulan dan frekuensinya dalam sebulan pasien bisa mengalami 1 kali serangan. Saat awal serangan, ibu pasien langsung membawa pasien ke rumah sakit dan diberikan obat semprot hidung. Ketika obat semprot hidung habis, ibu tidak segera membawa ke rumah sakit. Ibu pasien mengatakan bahwa sesak dimulai ketika pasien selesai mengonsumsi daging dan memberat akibat debu rumah. Pasien juga mengeluh adanya demam sejak 2 hari yang lalu dan adanya batuk berdahak selama 1 minggu, batuk berdarah disangkal. Pasien juga mengeluh adanya nyeri perut di daerah epigastrium ketika perut pasien sedang kosong. Pasien tidak makan secara teratur dan menyukai makanan pedas. d.Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sudah dirawat di rumah sakit sebanyak 4 kali dengan penyakit yang sama. Pasien juga menderita penyakit TB Paru dan pengobatannya telah selesai 2 bulan yang lalu.e. Riwayat penyakit keluarga

Tidak terdapat riwayat keluarga yang mengalami asma atau alergi sebelumnya. Ayah pasien menderita penyakit TB Paru, mendapatka pengobatannya sebanyak 9 bulan dan pengobatannya telah selesai.f. Riwayat penggunaan obat

Penggunaan obat anti tuberkulosis selama 6 bulan yang didapatkan dari rumah sakit, paracetamol ketika demam (obat pasien) dan obat semprot hidung (pasien tidak ingat nama obatnya).g. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

1.Riwayat Antenatal

Ibu rajin periksa kehamilan ke Puskesmas. Selama kehamilan ibu penderita tidak pernah sakit, tidak pernah minum obat-obatan tertentu.

2.Riwayat Natal

Lahir secara spontan ditolong oleh bidan, berat badan lahir 2500 gr, nilai APGAR, panjang badan lahir dan lingkar kepala lahir ibu lupa.3.Riwayat Neonatal

Anak lahir langsung menangis dengan gerakan aktif dan warna seluruh badan kemerahan. Selama periode ini penderita tidak pernah sakit.h.Riwayat Perkembangan/Pertumbuhan

Penderita sudah dapat merangkak pada usia 5 bulan, berdiri pada umur 8 bulan, berjalan pada umur 12 bulan. Menurut ibu, pertumbuhan anak tidak jauh berbeda dengan teman sebayanya. Perkembangan penderita seperti membaca, menulis dan prestasi sekolahnya sesuai dengan umur anak seusianya.i. Riwayat Imunisasi

Ibu pasien mengaku bahwa imunisasi yang diberikan kepada pasien lengkap.j.Riwayat Makanan

Penderita mendapatkan ASI sejak lahir sampai berumur 2 tahun tetapi sejak umur 3 hari penderita telah diberikan pisang. Penderita mengalami gangguan dalam pola makan. Frekuensi makan tidak teratur dan penderita menyukai makanan pedas.3.PEMERIKSAAN FISIK

a.Keadaan umum : lemahb.Kesadaran : kompos mentis, GCS 4-5-6

c.Tanda vital

Nadi: 90 kali/menit

Respirasi: 34 kali/menit

Suhu: 37,8 C

Berat Badan: 21 kg d. Status Gizi

Status Gizi: ( BBS/BBI ) x 100% = (21 kg / 29 kg) x 100%

= 72,4 % ( Gizi Kurang ) e. Status General

Kepala:Deformitas (-), rambut hitam tersebar merata, wajah simetrisMata:konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks cahaya (+/+).Lidah:Kotor (-), tremor (-)Telinga:Bentuk normal, simetris, tidak ada sekret, serumen minimal, nyeri tidak ada.Hidung: Pernapasan cuping hidung (-), konka edema (-), hiperemis (-/-)

Leher:JVP tidak meningkat, pembesaran KGB leher tidak teraba, kuduk kaku tidak ditemukan, massa tidak ada, tortikolis (-)

Toraks

1. Pulmo

Inspeksi: Bentuk simetris, tidak ditemukan retraksi dinding dada

Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris, fremitus fokal simetris

Perkusi : Suara ketok sonor

Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki (+/+) dan wheezing (+/+) 2.Cor

Inspeksi: Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

:Iktus kordis teraba sela iga IV garis midclavicula sinistra

Perkusi: Batas kanan : ICS IV LPS kanan

Batas kiri : ICS V LMK kiri

Batas atas : ICS II LPS kanan

Auskultasi: S1 dan S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)Abdomen

Inspeksi:Bentuk cembung, simetris

Palpasi:Soepel, distensi (-), ascites (-), Hepar dan lien tidak teraba (tidak ada organomegali), tidak ditemukan massa

Perkusi:Suara ketuk timpani, tidak ditemukan adanya asites

Auskultasi:Bising usus (+) normalEkstremitas

Atas: Akral hangat, oedem -/-, sianosis -/-

Bawah: Akral hangat, oedem -/-, sianosis -/-

Neurologis:Gerakan normal, tonus tidak meningkat, tidak ada atrofi, tidak didapatkan klonus, reflek fisiologis tidak meningkat, reflek patologis tidak ada. Sensibilitas normal. Tanda rangsangan meningeal tidak ada4.PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Darah Rutin (10 Maret 2015)

2. Urin Rutin (10 Maret 2015)

6.DIAGNOSA

Diagnosa Kerja

Asma Bronchial Episodik Sering7.PENATALAKSANAAN

Diet : MB

IVFD Dextrose 5% : NS 0,45% 10 gtt/i (mikro)

Injeksi : Cefotaxime 500mg/12jam

Ranitidin 1/2 amp/12 jam

Dexametasone 1/2 amp/8 jam

Oral : PCT 3 x cth

Ambroxol syr 3 x cth

Cetirizin 1xcth 1

Nebule Ventoline 1 amp + 3 cc NaCl 0,9% / 8 jam8. FOLLOW UP HARIANTanggalSOAPTerapi

09/03/2015S: Demam (+), sesak (+), batuk (+), berdahak (+), nyeri perut (+), BAK (+), BAB (+)O: T : 38,00C, HR : 95x/menit, RR : 34x/menit. KU : Lemah. Rhonki (+/+), wheezing (+/+)

A: Asma Bronchial Episodik SeringP:Diet : MBIVFD Dextrose 5% : NS 0,45% gtt/i (mikro)Cefotaxime 500mg/12jam

Ranitidin 1/2 amp/12 jam

Dexametasone 1/2 amp/8 jamOral : PCT 3 x cth

Ambroxol syr 3 x tab

Cetirizin 1xcth 1

Nebule Ventoline 1 amp + 3 cc NaCl 0,9% / 8 jam

10/03/2015S: Demam (-), sesak (+), batuk (+) berdahak (+), nyeri perut (-), BAK (+), BAB (+)O: T : 36,70C, HR : 90x/menit, RR : 30x/menit. KU : Lemah. Rhonki (+/+), wheezing (+/+)A: Asma BronchialP: Diet : MBIVFD Dextrose 5% : NS 0,45% gtt/i (mikro)Cefotaxime 500mg/12jam

Ranitidin 1/2 amp/12 jam

Oral : PCT 3 x cth

Ambroxol syr 3 x tab

Cetirizin 1xcth 1

Salbutamol 2 x 2 mg tab

Nebule Ventoline 1 amp + 3 cc NaCl 0,9% / 8 jam

11/03/20115S: Demam (-), sesak (-), batuk (+) berdahak (+), nyeri perut (-), BAK (+), BAB (+)O: T : 36,50C, HR : 95x/menit, RR : 22x/menit. KU : Lemah. Rhonki (+/+), wheezing (+/+)A: Asma BronchialP: Pasien Berobat Jalan

Cefixime 2x1 tab

PCT 3 x cth (kalau demam)

Ambroxol syr 3 x tab

Cetirizin 1xcth 1

Salbutamol 2 x 2 mg tab

9. PEMBAHASAN

Pada pasien ini didiagnosa sebagai asma bronkial karena pasien menderita sesak napas hingga menimbulkan bunyi ngik-ngik yang memberat pada malam hari dan sudah sering berulang sejak pasien berusia 8 bulan dengan frekuensi 1 kali setiap bulannya. Sesak juga timbul ketika pasien terkena debu rumah merupakan salah satu faktor pemicu asma pada anak. Ibu pasien juga mengaku bahwa pasien telah lama memakai inhaler dan ketika inhaler habis, ibu pasien tidak segera membawa ke rumah sakit. Pasien juga pernah menderita TB Paru dan mulai mengonsumsi OAT dari bulan Juli tahun 2014. Keluarga pasien tidak ada yang memiliki alergi. Ayah pasien juga pernah mendapatkan pengobatan TB Paru selama 9 bulan dan telah dinyatakan sembuh oleh dokter.Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya rhonki dan wheezing pada kedua lapangan paru yang mendukung diagnosis asma bronkial. Pada pasien ini terapi yang diberikan adalah dextrose 5% NaCl 0,45%, pemberian antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu cefotaxime untuk menghilangkan kemungkinan adanya infeksi pada pasien karena adanya batuk berdahak dan demam yang diderita oleh pasien, ranitidine diberikan untuk mengobati nyeri perut di daerah epigastrium pada pasien karena nyeri perut yang terjadi ketika perut pasien dalam keadaan kosong. Dexametasone diberikan untuk pengobatan inflamasi dan alergi pada pasien. Paracetamol sirup diberikan untuk mengobati demam yang diderita oleh pasien dan hanya diberikan ketika pasien sedang demam. Ambroxol sirup diberikan untuk mengobati batuk berdahak karena ambroxol adalah obat yang bersifat mukolitik yaitu mengencerkan dahak agar lebih mudah dikeluarkan melalui batuk sehingga melegakan saluran pernapasan. Ventolin nebulizer diberikan sebagai inhaler dan memerlukan NaCl sebagai pengencernya. BAB 3

TINJAUAN PUSTAKADefinisi

Asma bronkial adalah kelainan inflamasi kronik yang kambuhan ini ditandai oleh serangan bronkospasme (penyempitan bronkus) yang paroksismal tapi reversibel pada saluran napas trakeobronkial; serangan ini disebabkan oleh hiperaktivitas otot polos (Mitchell, 2008). Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (PDPI, 2003) Penyumbatan saluran napas yang menimbulkan manifestasi klinis asma adalah akibat terjadinya bronkokonstriksi, pembengkakan mukosa bronkus dan hipersekresi lendir karena hiperaktivitas saluran pernapasan terhadap beberapa stimulus (Djojodibroto, 2009)Kondisi ini disebabkan peradangan saluran pernapasan di paru-paru dan mempengaruhi sensitivitas ujung saraf di saluran pernapasan sehingga menjadi mudah teriritasi. Pada suatu serangan, lapisan bronkus yang membengkak menyebabkan saluran pernapasan menyempit dan mengurangi aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru (WHO, 2014).

Etiologi dan Faktor RisikoSecara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan (Rengganis, 2008)1. Faktor Genetik

a. Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.

b. Hipereaktivitas bronkus

Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.

c. Jenis kelamin

Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.

d. Ras/etnik

e. Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan

meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.2. Faktor lingkungan

a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).

b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

3. Faktor lain

a. Alergen makanan

Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.

b. Alergen obat-obatan tertentu

Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.

c. Bahan yang mengiritasi

Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.

d. Ekspresi emosi berlebih

Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif

Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.

f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

g. Exercise-induced asthma

Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.

h. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).

i. Status ekonomiKlasifikasi

Ada 2 penggolongan besar asma bronkial, yaitu asma bronkial yang berkaitan dengan penderita yang mempunya riwayat pribadi atau riwayat keluarga dengan kelainan atopik; dan asma bronkial pada penderita yang tidak ada kaitannya dengan diatesis atopik. Asma yang berkaitan dengan atopi digolongkan sebagai asma ekstrinsik atau asma alergik, sedangkan yang tidak berkaitan dengan atopi digolongkan sebagai asma intrinsik atau idiosinkratik.

1. Ekstrinsik (alergik)

Asma ekstrinsik (alergik) biasanya mulai terjadi pada masa kanak-kanak yang menunjukkan adanya peningkatan pada kadar IgE serum dan mekanisme terjadinya biasanya terjadi oleh mekanisme imun. Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.2. Intrinsik (non alergik)Asma jenis ini biasanya terjadi pada saat dewasa. Biasanya kadar IgE serum tidak menunjukkan adanya peningkatan atau normal serta mekanisme terjadinya asma ini biasanya tidak diakibatkan oleh imunitas. Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema.Klasifikasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana lanjutan (jangka panjang). GINA (Global Initiative for Asthma) membagi asma menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang dan asma persisten berat. Berbeda dengan GINA, PNAA (Pedoman Nasional Asma Anak) membagi asma menjadi tiga, yaitu asma episodik ringan, asma episodik sedang dan asma persisten. Dasar pembagian ini karena pada asma pada anak adalah frekuensi serangan, lamanya serangan, aktivitas di luar serangan dan beberapa pemeriksaan penunjang (Supriyatno, 2005).

PatofisiologiProses patologi pada serangan asma termasuk adanya konstriksi bronkus, udema mukosa dan infiltrasi dengan sel-sel inflamasi (eosinofil, netrofil, basofil, makrofag) dan deskuamasi sel-sel epitel. Dilepaskannya berbagai mediator inflamasi seperti histamin, lekotriene C4, D4 dan E4, P.A.F yang mengakibatkan adanya konstriksi bronkus, edema mukosa dan penumpukan mukus yang kental dalam lumen saluran nafas. Sumbatan yang terjadi tidak seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan nafas menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch). Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran nafas yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran nafas, sehingga meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal mungkin mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang bermanisfestasi sebagai pulsus paradoksus.

Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 yang akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi jalan nafas yang berat, akan terjadi kelelahan otot nafas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal nafas. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot nafas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokontriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokontriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak ada, dan meningkatkan resiko terjadinya atelektasis.

Sesuai dengan definisi asma, maka hipereaktivitas bronkus merupakan dasar terjadinya asma bronkial. Hiperreaktivitas bronkus adalah peningkatan respons bronkus dan penurunan ambang rangsang konstriksi bronkus terhadap pelbagai rangsangan, misalnya latihan fisis, udara dingin, alergen, dan zat-zat kimia, dan menimbulkan reaksi inflamasi.

Derajat hipereaktivitas bronkus bisa menetap atau makin berat bila terpajan pada faktor pencetus dalam jangka waktu lama. Besar kecilnya intensitas faktor pencetus untuk menimbulkan serangan asma sangat tergantung pada hiperreaktivitas bronkus. Makin berat derajat hiperreaktivitasnya, makin kecil intensitas faktor pencetus yang diperlukan untuk timbulnya serangan asma.Proses inflamasi saluran napas pasien asma tidak saja ditemukan pada pasien asma berat, tetapi juga pada pasien asma ringan, dan reaksi inflamasi ini dapat terjadi lewat jalur imunologik maupun nonimunologik. Akibat interaksi antigen dengan IgE spesifik yang sudah terikat pada sel mast pada mukosa saluran napas, dan/atau basofil di dalam peredaran darah, akan terjadi influks Ca++ ke dalam sel mast dan basofil, dengan akibat cAMP menurun di dalam sel mast/basofil, dan terjadi degranulasi dan pelepasan histamin dan mediator lain (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas).Pada pajanan alergen dapat terjadi 3 kemungkinan, yaitu: respons asma cepat, respons asma cepat dan diikuti respons asma lambat, atau respons asma lambat saja.Pada EAR terjadi penyempitan bronkus dengan segera, kurang lebih 10-20 menit setelah pajanan alergen, dan berlangsung selama 1-2 jam. Mediator yang dilepaskan oleh sel mast/basofil adalah histamin, ECF, NCF, dan lain-lain. Akibat pelepasan mediator ini akan terjadi spasme otot polos bronkus, inflamasi, edema, dan hipersekresi. Selain itu juga terjadi peningkatan jumlah eosinofil dan neutrofil sebagai akibat pelepasan ECF dan NCF oleh sel mast dan hiperreaktivitas bronkus. Pada LAR proses penyempitan bronkus lebih lambat, lebih kurang 4-8 jam sesudah pajanan alergen, dan dapat berlangsung sampai 12-48 jam. Respons lambat ini disebabkan oleh reaksi inflamasi saluran napas sebagai akibat aktivasi eosinofil, dan pelepasan mediator oleh sel mast/basofil seperti leukotrien, PAF, prostaglandin, bradikinin, serotonin, dan lain-lain. Hiperreaktivitas bronkus akibat LAR dapat berlangsung beberapa hari, minggu, bahkan beberapa bulan. Bila EAR diikuti dengan LAR disebut sebagai dual response.Polutan seperti ozon dan asap rokok secara langsung menyebabkan kerusakan epitel saluran napas tanpa melalui reaksi imunologik, dengan akibat terpaparnya dan rangsangan pada ujung nervus vagus, demikian pula infeksi virus dapat menimbulkan hiperreaktivitas bronkus lewat jalur nonimunologik dan imunologik.

Gambar 2.1 Patofisiologi Asma

Diagnosis episode batuk dan atau wheezing berulang

hiperinflasi dada

tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

ekspirasi memanjang dengan suara wheezing yang dapat didengar

respons baik terhadap bronkodilator.

Anak dengan asma biasanya membaik dengan cepat bila diberikan bronkodilator kerja cepat, terlihat penurunan frekuensi pernapasan dan tarikan dinding dada dan berkurangnya distres pernapasan. Pada serangan berat, anak mungkin memerlukan beberapa dosis inhalasi (ICHRC, 2012).

Pada pemeriksaan dapat bervariasi dari normal sampai didapatnya kelainan. Selain itu perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang paling sering ditemukan adalah wheezing (mengi), tetapi pada sebagian pasien asma tidak didapatkan mengi di luar serangan. Pada serangan asma umumnya terdengar mengi, disertai tanda-tanda lainnya, pada asma yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest) dan pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun (Depkes, 2009)Pasien yang mengalami serangan asma, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan (sesuai derajat serangan) :

1. Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal), sianosis.

2. Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus).

3. Perkusi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata

4. Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir.

Gambar 2.2 Diagnosis Asma

Pemeriksaan Penunjang

1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidakbegitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.

3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.

4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).

5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapatdilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.

6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin. (Rengganis, 2008)PenatalaksanaanPenatalaksanaan asma bertujuan :1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup meningkat

2. Mencegah eksaserbasi akut3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

4. Mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas lainnya

5. Menghindari efek samping obat

6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel

7. Meminimalkan kunjngan ke gawat darurat. Komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter dan pasien adalah hal yang penting sebagai dasar penatalaksanaan. Diharapkan agar dokter selalu bersedia mendengarkan keluhan pasien, itu merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu mengembangkan hubungan dokter pasien, identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko, penilaian, pengobatan dan monitor asma serta penatalaksanaan asma eksaserbasi akut.

Anak dengan episode pertama wheezing tanpa distress pernapasan, bisa dirawat di rumah hanya dengan terapi penunjang. Tidak perlu diberi bronkodilator

Anak dengan distres pernapasan atau mengalami wheezing berulang, beri salbutamol dengan nebulisasi atau MDI (metered dose inhaler). Jika salbutamol tidak tersedia, beri suntikan epinefrin/adrenalin subkutan. Periksa kembali anak setelah 20 menit untuk menentukan terapi selanjutnya:

Jika distres pernapasan sudah membaik dan tidak ada napas cepat, nasihati ibu untuk merawat di rumah dengan salbutamol hirup atau bila tidak tersedia, beri salbutamol sirup per oral atau tablet (lihat di ).

Jika distres pernapasan menetap, pasien dirawat di rumah sakit dan beri terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain seperti yang diterangkan di bawah.

Jika anak mengalami sianosis sentral atau tidak bisa minum, rawat dan beri terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain yang diterangkan di bawah.

Jika anak dirawat di rumah sakit, beri oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan dosis pertama steroid dengan segera.

Respons positif (distres pernapasan berkurang, udara masuk terdengar lebih baik saat auskultasi) harus terlihat dalam waktu 20 menit. Bila tidak terjadi, beri bronkodilator kerja cepat dengan interval 20 menit.

Jika tidak ada respons setelah 3 dosis bronkodilator kerja-cepat, beri aminofilin IV.

Oksigen Berikan oksigen pada semua anak dengan asma yang terlihat sianosis atau mengalami kesulitan bernapas yang mengganggu berbicara, makan atau menyusu (serangan sedang-berat).

Bronkodilator kerja-cepatBeri anak bronkodilator kerja-cepat dengan salah satu dari tiga cara berikut: nebulisasi salbutamol, salbutamol dengan MDI dengan alat spacer, atau suntikan epinefrin/adrenalin subkutan, seperti yang diterangkan di bawah.(1) Salbutamol NebulisasiAlat nebulisasi harus dapat menghasilkan aliran udara minimal 6-10 L/ menit. Alat yang direkomendasikan adalah jet-nebulizer (kompresor udara) atau silinder oksigen. Dosis salbutamol adalah 2.5 mg/kali nebulisasi; bisa diberikan setiap 4 jam, kemudian dikurangi sampai setiap 6-8 jam bila kondisi anak membaik. Bila diperlukan, yaitu pada kasus yang berat, bisa diberikan setiap jam untuk waktu singkat.

(2) Salbutamol MDI dengan alat spacer Alat spacer dengan berbagai volume tersedia secara komersial. Pada anak dan bayi biasanya lebih baik jika memakai masker wajah yang menempel pada spacer dibandingkan memakai mouthpiece. Jika spacer tidak tersedia, spacer bisa dibuat menggunakan gelas plastik atau botol plastik 1 liter. Dengan alat ini diperlukan 3-4 puff salbutamol dan anak harus bernapas dari alat selama 30 detik.

(3) Epinefrin (adrenalin) subkutanJika kedua cara untuk pemberian salbutamol tidak tersedia, beri suntikan epinefrin (adrenalin) subkutan dosis 0.01 ml/kg dalam larutan 1:1000 (dosis maksimum: 0.3 ml), menggunakan semprit 1 ml. Jika tidak ada perbaikan setelah 20 menit, ulangi dosis dua kali lagi dengan interval dan dosis yang sama. Bila gagal, dirawat sebagai serangan berat dan diberikan steroid dan aminofilin.

Bronkodilator OralKetika anak jelas membaik untuk bisa dipulangkan, bila tidak tersedia atau tidak mampu membeli salbutamol hirup, berikan salbutamol oral (dalam sirup atau tablet). Dosis salbutamol: 0.05-0.1 mg/kgBB/kali setiap 6-8 jam

SteroidJika anak mengalami serangan wheezing akut berat berikan kortikosteroid sistemik metilprednisolon 0.3 mg/kgBB/kali tiga kali sehari pemberian oral atau deksametason 0.3 mg/kgBB/kali IV/oral tiga kali sehari pemberian selama 3-5 hari.

Aminofilin Jika anak tidak membaik setelah 3 dosis bronkodilator kerja cepat, beri aminofilin IV dengan dosis awal (bolus) 6-8 mg/kgBB dalam 20 menit. Bila 8 jam sebelumnya telah mendapatkan aminofilin, beri dosis setengahnya. Diikuti dosis rumatan 0.5-1 mg/kgBB/jam. Pemberian aminofilin harus hati-hati, sebab margin of safety aminofilin amat sempit.

Hentikan pemberian aminofilin IV segera bila anak mulai muntah, denyut nadi >180 x/menit, sakit kepala, hipotensi, atau kejang.

Jika aminofilin IV tidak tersedia, aminofilin supositoria bisa menjadi alternatif.AntibiotikAntibiotik tidak diberikan secara rutin untuk asma atau anak asma yang bernapas cepat tanpa disertai demam. Antibiotik diindikasikan bila terdapat tanda infeksi bakteri.Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu :

1. Penatalaksanaan Asma Akut

Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera, Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/gawat darurat. Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar pasien dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke dokter. Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala,

pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan laboratorium yang dapat menyebabkan keterlambatan dalam pengobatan/tindakan.

2. Penatalaksanaan Asma Kronik

Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan asma secara mandiri, sehingga dapatmengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan asma. Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin yang yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal sebagai pengontrol, Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi eksaserbasi/serangan, dikenal

pelega. Ciri-ciri asma terkontrol:

1. Tanpa gejala harian atau 2x/minggu2. Tanpa keterbatasan aktivitas harian3. Tanpa gejala asma malam4. Tanpa pengobatan pelega atau 2x/minggu5. Fungsi paru normal atau hampir normal6. Tanpa eksaserbasi

Ciri-ciri asma tidak terkontrol :1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma)

2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut

3. Kebutuhan obat pelega meningkat.

Pengendalian asma bertujuan :

1. Meningkatkan kemandirian pasien dalam upaya pencegahan asma

2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko asma

3. Terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko asma

4.Terlaksananya penegakan diagnosis dan tatalaksana pasien asma sesuai standar/kriteria

5. Menurunnya angka kesakitan akibat asma

6. Menurunnya angka kematian akibat asma

Untuk melaksanakan tujuan tersebut, salah satu cara dapat dilakukan dengan Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang meliputi :

1. Penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang pencegahan dan penanggulangan asma.

2. Meningkatkan pengetahuan, motivasi dan partisipasi pasien dalam pengendalian asma.

3. Untuk merubah sikap dan perilaku pasien dalam pengendalian asma.

4. Meningkatkan kemandirian pasien dalam ketrampilan penggunaan obat/alat inhalasiPelaksanaan KIE tentang asma dan faktor risikonya dapat dilakukan melalui berbagai media penyuluhan, seperti penyuluhan tatap muka, radio, televisi dan media elektronik lainnya, poster, leaflet, pamflet, surat kabar, majalah dan media cetak lainnya.

Eksaserbasi AsmaEksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang memburuk secara progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa kombinasi gejala-gejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus napas yang dapat diukur secara obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan indikator yang lebih dapat dipercaya dibanding gejala. Penderita asma terkontrol dengan steroid inhaler, memiliki risiko yang lebih kecil untuk eksaserbasi. Namun, penderita tersebut masih dapat mengalami eksaserbasi, misalnya bila menderita infeksi virus saluran napas. Penanganan eksaserbasi yang efektif juga melibatkan keempat komponen penanganan asma jangka panjang, yaitu pemantauan, penyuluhan, kontrol lingkungan dan pemberian obat. Tidak ada keuntungan dari dosis steroid lebih tinggi

pada eksaserbasi asma, atau juga keuntungan pemberian intravena dibanding oral. Jumlah pemberian steroid sistemik untuk eksaserbasi asma yang memerlukan kunjungan gawat darurat dapat berlangsung 3-10 hari. Untuk kortikosteroid, tidak perlu tapering off, bila diberikan dalam waktu kurang dari satu minggu. Untuk waktu sedikit lebih lama (10 hari) juga mungkin tidak perlu tapering off bila penderita juga

mendapat kortikosteroid inhaler.

Pencegahan

A. Mencegah Sensititasi

Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanandengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1, respons nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan hipotesis.

B. Mencegah Eksaserbasi

Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen (indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya.

Gambar 2.3 Algoritma Penatalaksanaan AsmaDAFTAR PUSTAKA

1. Fishman, Liat. 2008. Bronchial Asthma : Diagnosis and Long-Term Treatment in Adults. Continuing Medical Education. Deutsches Arzteblatt International. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2696883/2. WHO. 2014. Bronchial Asthma. Diakses : 20 Maret 2015. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs206/en/3. MayoClinic. 2014. Diseases and Conditions Asthma. Diakses : 20 Maret 2015. http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/asthma/basics/definition/con-200269924. Mitchell, Kumar. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Ed. 7. Jakarta : EGC.5. Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.

6. Tanjung, Dudut. 2007. Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. Digitized by USU library.

7. Supriyatno, Bambang. 2005. Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma pada Anak. Majalah Kedokteran Indonesia vol. 55 no.3, Maret 2005.8. Rengganis, Iris. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia, vol. 58 no.11.9. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular

10. ICHRC (International Child Health Review Collaboration). 2009. Asma : Diagnosis dan Tatalaksana. Diakses 20 Maret 2015. http://www.ichrc.org/442-asma-diagnosis-dan-tatalaksanaPAGE 10