037012007
TRANSCRIPT
HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN
AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007
TESIS
Oleh
HENDRA YUDI
037 012 007/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2008
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN
AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
HENDRA YUDI
037 012 007/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2008
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Judul Tesis : HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007
Nama Mahasiswa : Hendra Yudi Nomor Pokok : 037 012 007 Program Studi : Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Badaruddin, MSi) Ketua
(Dr. Sutarman, MSc) (Ir. Etti Sudaryati, MKM) Anggota Anggota Ketua Program Studi, Direktur, (Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc.) Tanggal Lulus : 12 Maret 2008
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Telah diuji Pada tanggal : 12 Maret 2008 PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, MSi
Anggota : 1. Dr. Sutarman, MSc
2. Ir. Etty Sudaryati, MKM
3. dr. Ria Masniari Lubis, MSi
4. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
PERNYATAAN
HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN
MEDAN AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar Kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Maret 2008
( Hendra Yudi )
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
ABSTRAK
Anak Indonesia merupakan generasi penerus bangsa dan sebagai modal pembangunan. Karena itu, sudah sewajarnya perlu adanya upaya peningkatan kualitas manusia yang dimulai sejak dalam kandungan dari keluarga. Pentingnya perhatian terhadap gizi pada balita menyebabkan orang tua harus lebih mengerti dalam menyusun menu keluarga agar memenuhi standar gizi yang memadai. Faktor sosial budaya sangat berpengaruh pada perawatan anak dalam keluarga sehingga berdampak pada status kesehatan dan satatus gizi balita. Masalah gizi balita di kota Medan dari hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2006 adalah 23,8 persen gizi kurang, 9 persen gizi buruk dan 2 persen gizi lebih. Pada Kecamatan Medan Area masih dijumpai kasus gizi kurang, dengan keadaan masyarakat yang heterogen.
Berdasarkan fakta yang ada maka dilakukan survei dengan disain Cross Sectional Study, yaitu suatu pendekatan yang sifatnya sesaat pada suatu waktu dan tidak diikuti terus menerus dalam kurun waktu tertentu di Kecamatan Medan Area. Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 6-24 bulan yang berasal dari keluarga yang tinggal dalam wilayah kecamatan Medan Area yang berjumlah 2960 orang, dengan sampel sebanyak 107 keluarga, dimana masing-masing sampel tersebut diwakili oleh ibu rumah tangga sebagai responden penelitian. Data yang diperoleh melalui wawancara yang berpedoman pada kuesioner yang telah disiapkan dan pengukuran status gizi (BB/U) dengan menggunakan timbangan digital. Hasil pengumpulan data, menunjukan dimana hasil uji kai kuadrat diketahui bahwa pendidikan ibu (p=0,011), pekerjaan ibu (p=0,031) dan pengetahuan ibu (p=0,026) memiliki hubungan dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Sedangkan pendidikan ayah (p=0,395), pekerjaan ayah (p=0,211), penghasilan keluarga (p=0,294) dan tradisi/kebiasaan (p=408) tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Dari perhitungan yang didapat berdasarkan penelitian tersebut, maka terlihat bahwa masih terdapat masalah gizi yang tidak baik yang disebabkan kurangnya pengetahuan tetang kesehatan dan gizi, untuk itu disarankan kepada petugas puskesmas dan posyandu untuk meningkatkan pelaksanaan pemantauan pertumbuhan balita dan meningkatkan penyuluhan dalam memberikan informasi kepada masyarakat tentang kesehatan dan gizi, sehingga informasi tersebut dapat dipahami oleh masyarakat khususnya kaum ibu sebagai orang yang berhubungan langsung terhadap pertumbuhan status gizi balita. Kata Kunci : Faktor Sosial Budaya, Status Gizi, Anak Usia 6 -24 bulan.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
ABSTRACT
The children of Indonesia are the generation responsible for continuing the national aspiration and development. Therefore, their family needs to attempt to improve their quality even when they are still being carried by their respective mothers. The importance of paying attention to the nutrient in children under five years old requires their parents to more understand the family menu arrangement in order to meet the adequate standard of nutrient. The sicio-cultural factor is very dominant in treating children in a family that it brings an impact to the health status and nutrient status of children of 6 – 24 months old. Based on the result of Pemantauan Status Gizi (Nutrient Status Monitoring) done by the Health Service of Sumatera Utara Province in 2006, the nutrient problem in children of 6 – 24 months old in the city of Medan was children with less nutrients (23,8%), poor nutrient (9%), and excessive nutrient (2%). A case of less nutrient and heterogeneous community is still found in Medan Area sub district. The population of this survey study with cross-sectional design is 2960 children of 6 – 24 months old originally from the families living in Medan Area sub district and 107 children were selected as the samples for this study. Each sample was represented by a housewife as a respondent for this study. The data for this study were obtained through interviewing the respondents based on the questionnaires distributed to them and the nutrient status (Body Weight/Age) of the children was measured through digital weighing scale. The result of the chi-square test shows that mothers` education (p = 0.011), mothers` occupation (p = 0.031), and mothers` knowledge(p = 0.026) have relationship with the nutrient status of the children of 6 – 24 months old. Fathers` education (p =0.395), fathers` occupation (p = 0.211), family income (p = 0.294) and tradition/belief (p = 0.408) do not have any relationship with the nutrient status of the children of 6 – 24 months old. This result of this study reveals that the problem of poor nutrient caused by the less knowledge on health and nutrient still exists, therefore, it is suggested that the officer/ personnel of puskesmas (Community Health Center) and posyandu (Integrated Service Post) improve the implementation and monitoring of the growth of children of 6 – 24 months old and increase the number of extension in providing the community with the information on health and nutrient that the information can be well understood by the community especially the mothers who are directly related to the growing process of nutrient status of children of 6 – 24 months old. Keywords: Sociocultural Factor, Nutrient status, Children of 6 – 24 Months Old.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Sebelum dan sesudahnya penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah
SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah penulis
dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ” Hubungan Faktor Sosial Budaya
Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan di Kecamatan Medan Area Kota
Medan Tahun 2007 ”
Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari
berbagai pihak dan oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing
serta Bapak Dr. Sutarman, MSc dan Ibu Ir. Etti Sudaryati, MKM selaku Anggota
Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan fikiran dalam
membimbing mulai dari penyusunan proposal hingga selesai penulisan tesis ini,
demikian juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ibu dr. Ria Masniari Lubis,
MSi dan Ibu Dra. Jumirah, Apt. M.Kes atas kesediaan waktu, tenaga dan fikiran
sebagai Tim penguji tesis ini. Disamping itu penulis menyampaikan rasa terima
kasih kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, DSAK, selaku Rektor USU.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
USU.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
3. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS sebagai Ketua Program Studi Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana USU.
4. Ibu Dr. Dra. Ida Yustina, MSi selaku Sekretaris Program Studi Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana USU.
5. Kapala Dinas Kesehatan dan Kepala Balitbang Kota Medan beserta jajarannya
yang telah memberi izin dan membantu penulis dalam melaksanakan penelitian
ini.
6. Pegawai puskesmas dan masyarakat di Kecamatan Medan Area Kota Medan
dan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.
7. Seluruh Staf Dosen Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Pascasarjana USU.
8. Rekan-rekan Mahasiswa Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara tahun 2003 serta semua pihak yang telah
memberikan sumbangan pemikiran dan dorongan dalam penulisan tesis ini.
Demikian juga kepada Alm. Ayahanda tercinta Misdi Haryanto dan Ibunda
tercinta Musiyah serta kepada Istri tercinta Masnura dan ketiga putera tersayang
dambaan hati Mhd. Ihsan Habwandi, Chaidir Ali Habwandi dan Mhd. Iqbal
Habwandi yang telah banyak membantu dalam hal memahami, menghibur dan mau
mengerti, memberikan dorongan moril maupun materil mulai dari mengikuti
pendidikan hingga penyelesaian tesis ini.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Untuk itu semua, penulis tidak dapat membalasnya semoga Allah SWT,
Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua bantuannya dan penulis
berharap tesis ini bermanfaat bagi pengambil keputusan dibidang kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Maret 2008
Penulis
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
Nama Hendra Yudi dilahirkan di Kelumpang, dengan Ayah bernama
Misdi Hariyanto dan Ibu bernama Musiyah, merupakan anak kedua dari sembilan
bersaudara, menganut agama Islam. Telah menikah dengan Masnura dan telah
dikarunia 3 (tiga) orang putera yang masing-masing bernama Mhd Ihsan
Habwandi, Chaidir Ali Habwandi dan Mhd. Iqbal Habwandi, sekarang menetap di
Jalan Pukat Banting IV No. 46-B Kelurahan Bantan Kecamatan Medang Tembung
Kota Medan Provinsi Sumatera Utara.
Pendidikan dimulai dari SD Negeri 064021 Helvetia Medan pada tahun
1974 - 1980, selanjutnya ke SMTP MTs Swasta Perguruan NU Sekip Medan pada
tahun 1980 - 1983, kemudian mengikuti sekolah keguruan pada PGAN Tanjung
Pura pada tahun 1983 – 1986, setelah itu melanjutkan ke Perguruan Tinggi IAIN
Sunan Gunung Djati Bandung pada tahun 1987 – 1992 dan pada Tahun 2003 –
2008 mengikuti studi sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.
Sebelum menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Daerah
Provinsi Sumatera Utara, pernah mengajar pada Perguruan Swasta Alwasliyah
Binjai pada tahun 1992 – 1994. pada tahun 1994 – 2004 diangkat menjadi PNS
sebagai staf pada Subbid Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat pada Bidang
Sosial Budaya Bappeda Provinsi Sumatera Utara dan sekarang menjabat Kasubbid
Kependudukan, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Perempuan pada Bidang Sosial
Budaya Bappeda Provinsi Sumatera Utara.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ....................... ................................................................................... vi
ABSTRACT ....................... .................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ....................... .................................................................. viii
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ....................... ......................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ....................... .................................................................... xix
DAFTAR LAMPIRAN ...................... .................................................................. xx
BAB 1 : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................. 5
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................... 5
1.4. Hipotesis Penelitian ................................................................ 5
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................. 6
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Sosial Budaya ........................................................ 7
2.2 Indikator Sosial Budaya ........................................................... 10
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
2.3 Indikator Tingkat Kehidupan Dengan Meninjau Aspek
Sosial Budaya ......................................................................... 14
2.4 Status Gizi Balita ..................................................................... 18
2.5 Penilaian Status Gizi Balita ................................................... 24
2.6 Landasan Teoritis ..................................................................... 27
2.7 Kerangka Konsep...................................................................... 31
BAB 3 : METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian ...................................................................... 33
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 33
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
............................................... 33
3.4 Metode Pengumpulan Data ...................................................... 35
3.5 Defenisi Operasional Variabel
............................................................................................................... 37
3.6 Metode Pengukuran ............................................................... 39
3.7 Metode Analisis Data ............................................................... 40
BAB 4 : HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ........................................................... 41
4.1.1. Geografi Medan Area ............................................................ 41
4.1.2. Gambaran Kependudukan...................................................... 42
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.1.3. Gambaran Mata Pencaharian ................................................. 43
4.1.4. Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita .................. 44
4.1.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu ....... 44
4.2. Gambaran Faktor Siosial Budaya .................................................... 45
4.2.1. Pendidikan ............................................................................. 45
4.2.2. Pekerjaan................................................................................ 48
4.2.3. penghasilan ............................................................................ 49
4.2.4. Suku/Etnis.............................................................................. 49
4.2.5. Tradisi/Kebiasaan .................................................................. 51
4.2.6. Pengetahuan ........................................................................... 53
4.3. Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan ................................................ 53
4.4. Tabulasi Silang Status Gizi dan Faktor Sosial Budaya.................... 55
BAB 5 : PEMBAHASAN............................................................................. 60
5.1. Sosial Budaya Ibu dan Ayah ........................................................... 60
5.2. Status Gizi Anak ............................................................................. 62
5.3. Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi ...................... 63
5.3.1. Pendidikan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi ...................... 63
5.3.2. Pekerjaan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi ......................... 65
5.3.3. Penghasilan dengan Status Gizi ............................................ 66
5.3.4. Tradisi/kebiasaan dengan Status Gizi .......................................... 68
5.3.5. Pengetahuan dengan Status Gizi .................................................. 69
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN
................................................................................................................. 71
6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 71
6.2 Saran ................................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 75
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada 15 Respnden ............... 37
3.2. Definisi Operasional Variabel, Alat Ukur dan Skala ................... 38
4.1. Keadaan Geografis Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006 ……....………………….. 41
4.2. Distribusi Penduduk berdasarkan Jumlah Keluarga dan
Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006 ………………………….. 42
4.3. Distribusi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian di
Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006 ................................................................................... 43
4.4. Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita di Wilayah
Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006 ............ 44 4.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu
di Wilyah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2007.................................................................................... 45
4.6. Distribusi Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan Medan
Area Kota Medan Tahun 2007 .................................................... 46 4.7. Distribusi Katagori Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan
Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................ 46 4.8. Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan Medan Area
Kota Medan Tahun 2007 ............................................................. 47 4.9. Distribusi Katagori Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan
Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................ 47
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.10. Distribusi Kategori Pekerjaan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 .................................................... 48
4.11. Distribusi Katagori Pekerjaan Ibu di Kecamatan Medan
Area Kota Medan Tahun 2007 .................................................... 48
4.12. Distribusi Kategori Penghasilan Keluarga di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................ 49
4.13. Distribusi Suku/Etnis Ayah di Kecamatan Medan Area
Kota Medan Tahun 2007 ............................................................. 50 4.14. Distribusi /Etnis Ibu di Kecamatan Medan Area
Kota Medan Tahun 2007 ............................................................. 50 4.15. Distribusi Tradisi/Kebiasaan di Kecamatan Medan Area
Kota Medan Tahun 2007 ............................................................. 51 4.16. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ayah dengan Tradisi/
Kebiasaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007. 51 4.17. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ibu dengan Tradisi/
Kebiasaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007. 52 4.18. Distribusi Kategori Pengetahuan Ibu di Kecamatan Medan
Area Kota Medan Tahun 2007 .................................................... 53 4.19. Distribusi Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan di Kecamatan
Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................ 54 4.20. Distribusi Kategori Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan di
Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ..................... 54 4.21. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tingkat Pendidikan Ibu
dan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007.. 55 4.22. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tingkat Pekerjaan Ibu
dan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007.. 56 4.23. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Penghasilan Keluarga
di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ................ 57
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.24. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tradisi/Kepercayaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ................. 58
4.25. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Pengetahuan di Kecamatan
Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................ 58
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Model Interelasi Tumbuh Kemban Anak ( Unicef) ….………... 24
2.2 Kurva klasifikasa Z score (Standar Deviasi)
Status Gizi (NHCS-WHO) …………………………………….. 28
2.3. Penyebab Gizi Kurang (disesuaikan dari bagan UNICEF (1998) The State of the World's Children 1998. Oxford Univ. Press)……………………………………………………...... 32
2.4. Kerangka Konsep Penelitian ………………………………........ 34
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan
Status Gizi Anak Usia 6-24 bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan ................................................................................... 79
2. Master Data Status Gizi Anak Usia-24 Bulan di Kecamatan Medan
Area Kota Medan .......................................................................... 83
3. Tabel Katagori Status Gizi Berdasarkan Indeks Berat Badan Menurut umur (BB/U) Anak Laki-laki dan Perempuan Usia 0-60 Bulan ............................................................................. 89
4. Uji Validitas dan Reliabilitas serta Hasil Uji Statistik Penelitian
Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan .................... 93
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Upaya peningkatan kualitas manusia merupakan suatu proses yang panjang
dan berkesinambungan, harus dimulai sejak dini, yaitu sejak manusia masih dalam
kandungan. Mempersiapkan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sehat,
cerdas, terampil, produktif dan kreatif, yang akan meneruskan pembangunan
bangsa harus lebih memperhatikan aspek tumbuh kembang balita, sehingga dalam
jangka panjang tercipta kesehatan bangsa Indonesia secara nyata (DepKes RI,
1996).
Mempersiapkan kualitas balita dimulai dari keluarga, sebab keluarga
mempunyai berbagai fungsi di dalam masyarakat, antara lain sebagai kesatuan unit
ekonomi yang bertanggungjawab terhadap anggota keluarganya. Disamping fungsi
tersebut salah satu fungsi keluarga yang paling menonjol adalah sebagai pemelihara
dan sebagai wadah sosialisasi bagi generasi baru. Perlu diingat bahwa keluarga
harus dilihat sebagai suatu sistem interaksi antar individu yang secara timbal balik
akan mensosialisasikan dan saling mengatur para anggotanya (Yuliani, 2004).
Pentingnya perhatian terhadap gizi pada balita menyebabkan orangtua harus
lebih mengerti dalam menyusun menu keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi
yang seimbang. Pengetahuan orangtua tentang gizi akan sangat berpengaruh pada
kebiasaan makan keluarga. Oleh karena itu, pemerintah melalui Dinas Kesehatan
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
memberikan penyuluhan program keluarga sehat dengan tujuan membantu para
keluarga dan masyarakat bertanggungjawab terhadap kesehatan diri sendiri,
membantu pelayanan kesehatan dalam masyarakat, baik yang dikelola pemerintah
maupun swasta untuk menyediakan informasi dan pelayanan kesehatan yang
berkualitas, terjangkau serta mudah diakses berdasarkan kebutuhan masyarakat
yang bersangkutan, membantu masyarakat memanfaatkan sumber daya yang ada
untuk keperluan peningkatan kesehatan yang bersifat preventif (Dinas Kesehatan
Propinsi Sumatera Utara, 2003).
Selain itu, faktor sosial budaya juga berpengaruh pada perawatan balita dalam
keluarga sehingga berdampak pada status kesehatan dan satatus gizi balita. Faktor
sosial budaya tersebut diantaranya pendidikan, pekerjaan, penghasilan, suku/etnis,
tradisi/kebiasaan dan pengetahuan mereka akan kesehatan dan gizi. Dimana latar
belakang suku yang berbeda pada orangtua akan berdampak pada kebiasaan makan
balita yang berbeda pula. Di sisi lain orangtua yang mempunyai latar belakang
pendidikan yang baik akan lebih mudah menerima informasi kesehatan yang dapat
mendukung peningkatan status gizi balita. Demikian juga dengan tingkat
pendapatan keluarga dapat mempengaruhi status gizi balita. Pada keluarga yang
berpendapatan rendah mempunyai risiko 2 kali lebih besar memiliki balita berstatus
gizi kurang dibandingkan pada keluarga yang berpendapatan tinggi (Berg, 1989).
Status gizi yang diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau
sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-
ukuran gizi tertentu. Masalah gizi utama terjadi akibat dari ketidakseimbangan gizi
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
yang masuk ke dalam tubuh seseorang, sehingga jika balita kekurangan gizi maka
dapat mengakibatkan status kesehatan balita yang buruk. Setiap balita yang
berstatus gizi buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10 – 13 poin. Pada tahun
1999 diperkirakan terdapat kurang lebih 1,3 juta balita bergizi buruk, berarti terjadi
potensi kehilangan IQ sebesar 22 juta poin, (Pemerintah RI dan WHO, 2000).
Menurut data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2000
menyebutkan sekitar 3-4 juta balita menderita kekurangan gizi, yaitu sebanyak 1,5
juta diantaranya bergizi buruk, sedangkan pada tahun 2003 prevalensi gizi kurang
sebanyak 27,5 persen dan prevalensi gizi buruk sekitar 8,5 persen. Hal ini dapat
mengakibatkan mudahnya terkena diare, infeksi dan mengalami gangguan
pertumbuhan ([email protected],2007).
Permasalahan kesehatan masih banyak dijumpai di Kota Medan, diantaranya
masalah gizi pada balita. Hal ini terlihat dari hasil Pemantauan Status Gizi
(PSG) yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2006
untuk Kota Medan adalah 23,8 persen gizi kurang, 9 persen gizi buruk dan 2
persen gizi lebih. Angka ini masih dinyatakan bermasalah dan perlu penanganan
yang serius karena angka ini masih berada diatas angka prevalensi gizi kurang yang
diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005 -
2009 yaitu setinggi-tingginya gizi kurang mencapai 20 persen dan gizi buruk 5
persen.
Masyarakat Kota Medan merupakan masyarakat yang bersifat multi etnis
dengan latar belakang budaya, pekerjaan, pendidikan dan penghasilan yang
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
berbeda. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2006 bahwa
masyarakat Kecamatan Medan Area memiliki keanekaragaman sosial budaya,
dengan jumlah penduduk sebesar 112.667 orang, dimana laki-laki sebesar 55.802
orang sedangkan perempuan sebesar 56.865 orang.
Data untuk suku bangsa yang terdapat di Kecamatan Medan Area, juga
terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa sehingga dapat dijadikan objek
penelitian dengan uraian sebagai berikut : suku Melayu sebanyak 6.444
orang, Karo sebanyak 607 orang, Simalungun sebanyak 248 orang,
Tapanuli/Toba sebanyak 8.330 orang, Madina sebanyak 6.831 orang, Pakpak
sebanyak 215 orang, Nias sebanyak 265 orang, Jawa sebanyak 18.919 orang,
Minang sebanyak 35.016 orang, Cina sebanyak 30.246 orang, Aceh sebanyak 3.240
orang, dan suku lainnya sebanyak 2.306 orang.
Pelayanan kesehatan kepada masyarakat Kecamatan Medan Area
mempunyai tiga puskesmas yaitu Puskesmas Kota Matsum, Puskesmas
Sukaramai dan Puskesmas Medan Area Selatan. dimana puskesmas Kota
Matsum mempunyai jumlah balita sebanyak 4.562 orang, puskesmas Sukaramai
mempunyai balita sebanyak 4.582 orang dan Puskesmas Medan Area Selatan
mempunyai balita sebanyak 2.696 orang. Sedangkan jumlah balita yang ditimbang
di puskesmas Kota Matsum sebanyak 3.735 orang, puskesmas Sukaramai balita
yang ditimbang sebanyak 3.070 orang sedangkan puskesmas Medan Area Selatan
balita yang ditimbang sebanyak 2.322 orang.
Puskesmas yang memiliki angka balita yang kurang gizi tertinggi adalah
Puskesmas Kota Matsum dengan presentase sebesar 17,97 persen, kemudian
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
diikuti puskesmas Sukaramai sebesar 2,64 % dan selanjutnya Puskesmas Medan
Area Selatan sebesar 0,56 persen. Puskesmas Kota Maksum memiliki jumlah balita
Bawah Garis Merah (BGM) 78 balita atau 2,09 persen dan Bawah Garis Titik-Titik
(BGT) 593 balita atau 15,88 persen, sedangkan Puskesmas Sukaramai BGM
sebanyak 6 balita atau 0,2 persen dan BGT 75 balita atau 2,44 persen, dan
puskesmas Medan Area Selatan terdapat BGM hanya 13 balita atau 0,56 persen
dan tidak terdapat balita BGT. (Profil Dinas Kesehatan Kota Medan, 2006).
Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan faktor
sosial budaya dengan status gizi balita di wilayah Kecamatan Medan Area.
1.2. Perumusan Masalah
Masih dijumpai kasus anak gizi kurang di Kecamatan Medan Area yang
secara sosial budaya masyarakat bersifat heterogen, maka masalah dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimanakah hubungan faktor sosial
budaya terhadap status gizi anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area Kota
Medan”.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran faktor sosial budaya
dan kaitannya dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
1.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan faktor sosial budaya
(suku/etnis, tradisi/kebiasaan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan
pengetahuan) dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan masukan bagi
pemerintah khususnya bidang kesehatan agar lebih memahami hubungan faktor
sosial budaya dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dalam
kegiatan perencanaan program dan strategi penanggulangan gizi anak usia 6 –
24 bulan agar mempertimbangkan aspek sosial budaya.
c. Merupakan bahan informasi penting yang ditinjau dari sosial budaya
masyarakat terhadap tingkat keberhasilan program perbaikan gizi masyarakat.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Sosial Budaya
Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial selalu dihadapkan kepada
masalah sosial yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Masalah sosial
timbul sebagai akibat dari hubungannya dengan sesama manusia lainnya dan
akibat tingkah lakunya. Masalah sosial tidak sama antara masyarakat yang satu
dengan yang lainnya karena adanya perbedaan dalam tingkatan perkembangan
kebudayaannya, sifat kependudukannya dan keadaan lingkungan alamnya
(Munandar, 1992).
Teori sosial yang diartikan sebagai usaha mengerti hakikat masyarakat,
memerlukan landasan pengetahuan dasar tentang kehidupan manusia sebagai
suatu sistem. Landasan ini dapat diperoleh dari ilmu sosial yang ruang
lingkupnya manusia dalam konteks sosial (Sumaatmaja, 1986).
Keluarga adalah unit satuan masyarakat yang terkecil dan sekaligus
merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini, dalam
hubungannya dengan perkembangan individu, sering dikenal dengan sebutan
primary group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai
macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat. Tidak dapat dipungkiri
bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
penerus keturunan saja, banyak hal-hal mengenai kepribadian yang dapat
diyakini dari suatu keluarga yang pada saat-saat sekarang ini sering dilupakan
orang. Perkembangan intelektual akan kesadaran lingkungan seorang individu
sering kali dilepaskan bahkan dipisahkan dengan masalah keluarga. Hal-hal
semacam inilah yang sering menimbulkan masalah-masalah sosial, karena
kehilangan pijakan.
Budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi daya, yang
berarti daya dari budi, karena itu harus dibedakan antara budaya dengan
kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa,
dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut (Widagdho,
1993).
Budaya dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi perlakuan dan
tindakan-tindakan sosial manusia, atau sebagai pola-pola bagi kelakuan
manusia. Di dalam masyarakat, manusia mengembangkan kebudayaannya. Ada
yang diterima dan ada yang tidak, atau diterima secara selektif karena
berkenaan dengan nilai-nilai moral dan estetika, sistrem-sistem penggolongan,
benda-benda, berbagai hal lainnya yang diperlukan hidupnya. Kesemuanya ini
merupakan masalah sosial, yang didalamnya masyarakat berada dalam suatu
proses perubahan sosial dan kebudayaan yang cepat (Munandar, 1992).
Budaya berisi norma-norma sosial, yakni sendi-sendi masyarakat yang
berisi sanksi atau hukuman-hukumannya yang dijatuhkan oleh golongan
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
bilamana peraturan yang dianggap baik untuk menjaga kebutuhan dan
keselamatan masyarakat itu, dilanggar. Norma-norma itu mengenai kebiasaan-
kebiasaan hidup, adat-istiadat atau tradisi-tradisi hidup yang dipakai turun-
temurun (Shadily, 1984).
Pada dasarnya individu selalu berada dalam situasi sosial. Situasi sosial
yang merangsang individu sehingga individu bertingkah laku disebut situasi
perangsang sosial atau social stimulus situation (Ahmadi, 1999).
Situasi perangsang sosial ini digolongkan menjadi 2 (dua) golongan besar,
yaitu :
a. Orang lain, yang dapat berupa :
1). Individu-individu lain sebagai perangsang.
2). Kelompok sebagai situasi perangsang, yang dapat dibedakan lagi atas :
hubungan intragroup, hubungan intergroup.
b. Hasil kebudayaan yang dibedakan :
1). Kebudayaan materil (materiil culture).
2). Kebudayaan non materil (non materiil culture).
Persoalan kurang gizi disebabkan karena tidak tersedianya zat-zat gizi
dalam kualitas dan kuantitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Kecukupan zat-zat gizi ini pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh makanan
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
yang dikonsumsi, dan makanan yang dikonsumsi pada gilirannya amat
ditentukan oleh kebiasaan yang bertalian dengan makanan. Kebiasaan makan
dan segala sesuatu yang berkaitan dengan makanan telah ditanamkan sejak awal
pertumbuhan manusia yang berakar dalam setiap kebudayaan manusia. Oleh
sebab itu, berbicara mengenai kebiasaan makan berarti juga berbicara mengenai
kebudayaan masyarakat.
Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan memungkinkan untuk melihat
berbagai perubahan dan variasi pengetahuan yang terjadi dalam berbagai
perubahan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya
perubahan-perubahan gaya hidup atau perilaku jangka panjang sebagai
konsekuensi langsung ataupun tidak langsung dari perubahan sosial, budaya
dan ekonomi masyarakat. Perubahan gaya hidup pada gilirannya akan
mempengaruhi kebiasaan makan, baik secara kualitas maupun kuantitas (Pelto,
1980).
Dengan adanya pernyataan di atas, dapat menimbulkan pertanyaan
tentang mengapa satu keluarga mengkonsumsi jenis makanan bergizi
sedangkan keluarga lainnya tidak. Disamping faktor ekonomi, faktor sosial dan
budaya sangat menentukan dalam hal ini. Karena kebiasaan makan, nilai-nilai
dan kepercayaan terhadap makanan, cara memasak, merupakan konsep yang
diciptakan masyarakat berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
2.2. Indikator Sosial Budaya
Kondisi sosial adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial
dan menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam struktur sosial
masyarakat (Soekanto, 1997). Untuk melihat kondisi sosial seseorang maka
perlu diperhatikan beberapa faktor yakni pekerjaan, pendapatan dan pendidikan
(Koentjaraningrat, 1993).
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,
nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial,
religius dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intlektual dan artistik
yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor,
kebudayaan merupakan keseluruhan yang komplek, yang didalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,
dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,
kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat (Wikipedia,
2008).
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai
kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai mahluk yang berbudaya,
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, mialnya pola-pola prilaku
yang menjadi suatu kebiasaan, bahasa, peralatan hidup, tradisi, organisasi
sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Wikipedia, 2008).
Selain faktor-faktor tersebut, ada juga faktor lain yang sering diikut sertakan
oleh beberapa ahli dalam melihat kondisi sosial seseorang yakni perumahan,
kesehatan dan sosialisasi dalam lingkungan masyarakat. Selanjutnya pekerjaan
adalah kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa untuk dijual kepada orang
lain atau ke pasar guna memperoleh uang sebagai pendapatan bagi seseorang
sesuai dengan nilai sosial yang berlaku. Untuk lebih jelasnya pengertian
pekerjaan mencakup beberapa hal, yakni :
Pekerjaan mencakup beberapa hal, yakni sebagai berikut (Suroto, 1992):
a. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan perorangan.
b. Pekerjaan sebagai sumber pendapatan
c. bagi masyarakat dan perseorangan sebagai imbalan atas pengorbanan
energinya.
d. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh pengakuan status sosial, harga diri dan
penghargaan dari masyarakat sebagai imbalan atas peranan dan prestasinya.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
e. Pekerjaan merupakan sumber penghidupan yang layak dan sumber
martabatnya, adalah kewajiban dan haknya sebagai warga negara dan manusia
makhluk Tuhan.
Pendapatan adalah sesuatu yang diperoleh dari pekerjaan pokok, pekerjaan
sampingan dan dari pekerjaan sub sistem dari semua anggota rumah tangga
(Mulyanto, 1995).
Sedangkan pengertian pendidikan meliputi beberapa hal, yakni :
a. Pendidikan merupakan aktivitas manusia dalam usahanya untuk menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan.
b. Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mengembangkan kepribadiannya
dengan membina potensi-potensi pribadinya, baik jasmani maupun rohani dan
berlangsung seusia hidup.
c. Pendidikan juga berarti sebagai lembaga yang bertanggungjawab menetapkan
cita-cita (tujuan) pendidikan, isi maupun sistem pendidikan tersebut. Dan hal ini
tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai, cita-cita dan falsafah
yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan.
d. Pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan pribadi dan
kemampuan seseorang yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah.
Banyak aspek yang dapat menggambarkan kondisi sosial seseorang, seperti
pendapatan yang rendah sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok
sehari-hari, pendidikan yang rendah sehingga tidak dapat mengangkat harkat
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
dan martabatnya, perumahan yang tidak sesuai dengan standar kesehatan dan
lain sebagainya (Soediharjo, 1993).
Setiap kelompok masyarakat, betapapun sederhananya, memiliki system
klasifikasi makanan yang didefenisikan secara budaya. Setiap kebudayaan
memiliki pengetahuan tentang bahan makanan yang dimakan, bagaimana
makanan tersebut ditanam atau diolah, bagaiman mendapatkan makanan,
bagaiman makanan tersebut disiapkan, dihidangkan, dan dimakan. Makanan
bukan saja sumber gizi, lebih dari itu makanan memainkan beberapa peranan
dalam berbagai aspek dalam kehidupan (Foster dan Anderson, 1986).
Dalam pengertian di atas para ahli tersebut mencatat beberapa peranan makanan
yaitu makanan sebagai ungkapan ikatan social, makanan sebagai ungkapan dari
kesetiakawanan kelompok, makanan dan stress dan simbolis makanan dalam
bahasa. Masing-masing kebudayaan selalu memiliki suatu rangkaian aturan
yang menjelaskan siapa yang menyiapkan dan menghidangkan makanan, untuk
siapa, dimana satu kelompok atau individu makan bersama, dimana dan dalam
kesempatan apa dan aturan makan, yang semuanya itu terpola secara budaya
dan merupakan baian dari cara-cara yang telah diterima dalam kehidupan setiap
komunitas (Helman, 1984).
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
2.3. Indikator Tingkat Kehidupan Dengan Meninjau Aspek Sosial Budaya
Tujuan pembangunan nasional adalah untuk membangun manusia Indonesia
seutuhnya, tujuan ini tidak terlepas dari pengertian bahwa manusia disatu pihak
merupakan pemegang peranan dalam pembangunan nasional (subjek) tetapi
sekaligus merupakan sasaran strategis pembangunan nasional itu sendiri yang
dapat menikmati kehidupan yang layak sesuai dengan asas keadilan sosial.
Pembangunan seperti ini hanya mungkin terlaksana jika seluruh rakyat
mempunyai kemampuan dan kemauan yang cukup tinggi dan besar untuk
melakukan semua upaya yang diperlukan serta merasa perlu ikut serta karena
berkepentingan menangani hasilnya dengan pemerintah sebagai fasilisator dan
pendorong yang kuat. Motivasi yang paling besar bagi orang untuk ikut dalam
pembangunan adalah kesadarannya menangani berbagai kebutuhan hidup
materil dan spirituil yang harus dipenuhi serta harapannya bahwa dengan ikut
serta dalam pembangunan orang akan merasa memperoleh sarana yang
diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengalaman Indonesia selama dekade pembangunan enam puluhan maupun
tujuh puluhan ternyata cukup membuktikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi
yang tinggi yang berarti pula peningkatan pendapatan nasional masih tetap
menyembunyikan kenyataan bahwa kepincangan sosial atau ketidakadilan
dalam pembagian pendapatan setiap individu justru semakin meningkat, hal ini
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
terutama terlihat dari semakin besarnya jurang kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.
Bagi negara yang berpenduduk banyak perluasan kesempatan kerja harus
dijadikan strategi pembangunan yang pokok karena pekerjaan merupakan salah
satu alat penting untuk meningkatkan mutu dan budaya manusia. Oleh
karenanya kesempatan kerja dan jumlah orang yang mempunyai pekerjaan
harus dijadikan pemeliharaan pekerjaan bukan hanya sebagai sarana saja
melainkan juga sebagai tujuan bukan hanya sebagai kewajiban melainkan
sebagai hak setiap umat manusia. Pengertian ini mencakup :
a. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan juga jasa untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan perorangan.
b. Pekerjaan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat dan perseorangan
sebagai imbalan atas pengorbanan energinya.
c. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh pengakuan status sosial, harga diri dan
penghargaan dari masyarakat sebagai imbalan atas peranan dan prestasinya.
d. Pekerjaan yang merupakan sumber penghidupan yang layak dan sumber
martabatnya adalah kewajiban dan haknya sebagai warga negara dan manusia
sebagai makhluk Tuhan.
Dari hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan dapat
meningkatkan status sosial, kebiasaan, harga diri dan terutama pendapatan
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
seseorang. Dengan tingginya pekerjaan yang dimiliki seseorang, maka semakin
besar pula pendapatan yang diterima seseorang.
Kepincangan pembagian pendapatan merupakan salah satu tolak ukur yang
dapat membuktikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata
tetap menyembunyikan kenyataan bahwa tingkat kemiskinan masih tetap belum
dapat dikurangi atau berkurang (Sagir,1992).
Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembangunan janganlah hanya
melihat tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran, tetapi juga harus
melihat keberhasilan pembangunan sosial, sehingga akan tercapai hasil
pembangunan yang sesungguhnya. Pada dasarnya faktor ekonomis dan faktor
non ekonomis seperti kesehatan, pendidikan, nutrisi, produktivitas dan
kesuburan merupakan suatu integrated system yang dapat digambarkan sebagai
berikut ;
a. Rendahnya pendapatan atau kemiskinan akan sangat mempengaruhi tingkat
kesehatan, nutrisi, tingkat pendidikan maupun kesuburan. Keluarga miskin
tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan pangan bernilai gizi maupun
kesehatan atau kehidupan yang sehat.
b. Keluarga miskin cenderung mengerahkan balita-balitanya untuk turut memikul
beban keluarga atau turut serta mencari penghasilan keluarga, sehingga
pendidikan balita-balita akan terlantar karenanya.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
c. Dalam suatu keluarga miskin, angka kelahiran atau kesuburan lebih tinggi,
disertai angka kematian yang tinggi pula, baik sebagai akibat dari besarnya
keluarga dapat membantu memecahkan masalah kemiskinan di hari tua,
maupun akibat kepercayaan bahwa masing-masing balita membawa rejekinya
masing-masing.
Seorang individu akan memperoleh pelajaran kebudayaan mengenai makanan
ini pada awalnya dalam sebuah keluarga, sebagai sebuah proses sosialisasi.
Pengetahuan yang melekat akibat proses sosialisasi yang terjadi dari sejak bayi
tersebut boleh jadi merupakan pentgetahuan local atau indigenous knowledge,
sebagai himpunan pengalaman yang disalurkan melalui informasi dari satu
generasi ke generasi berikutnya (Mundy, 1995).
Walaupun pengetahuan mengenai apa yang dimakan, makanan untuk balita,
pengolahan makanan, penyajian makanan, dan sebagainya telah diperoleh
melalui sosialisasi dan enkulturasi dalam kebudayaan, pengetahuan-
pengetahuan tersebut senantiasa mengalami perubahan. Perubahan tersebut bisa
datang dari unsur-unsur faktual yang diperoleh melalui praktisi biomedis seperti
bidan desa, kader-kader posyandu, dari dokter, atau dari iklan-iklan televisi,
atau perubahan sebagai akibat berbagai pengalaman individu itu sendiri.
Dalam hal pentingnya kebutuhan-kebutuhan sosial negara-negara berkembang
pada umumnya masih terus mengalami pertumbuhan penduduk, dengan
sendirinya kebutuhan masyarakat semakin banyak mengenai serangkaian
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
keperluan hidup yang sifatnya sangat mendasar seperti pangan, sandang,
pemukiman, pendidikan dan kesehatan. Jika dulu ada kecenderungan
mengelompokkan pendidikan dan kesehatan dalam kategori kebutuhan sosial,
maka dalam pembangunan ekonomi negara-negara berkembang kedua jenis
kebutuhan dasar itu harus dianggap termasuk prioritas ekonomi yang utama,
sebab peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan amat
mempengaruhi kualitas sumber daya manusia.
Indikator kehidupan budaya masyarakat yang dimiliki oleh sekelompok
manusia, suku dan sebagainya didasarkan pada suatu daerah/geografis turun
temurun yang biasanya tampak pada : cara berpakaian, jenis makanan yang
dikonsumsi, bahasa dan lain sebagainya. Khusus mengenai kebiasaan makan
suku pada suatu daerah biasanya terlihat dari jenis makanan yang mereka
konsumsi seperti sagu dan jagung, jadi tidak semua daerah/suku memakan nasi
sebagai makanan pokoknya (Berg, 1989).
Disamping itu ada budaya yang memperioritaskan anggota keluarga tertentu
untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan umumnya kepala
keluarga, anggota keluarga lainnya menempati urutan prioritas berikutnya dan
yang sering kali mendapatkan prioritas terbawah adalah ibu-ibu rumah tangga.
Apabila hal yang demikian itu masih dianut dengan kuat oleh setiap budaya,
sedangkan dilain pihak pengetahuan gizi belum dimiliki oleh keluarga yang
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
bersangkutan, maka dapat saja timbul distribusi konsumsi pangan yang tidak
baik diantara anggota keluarga (Suhardjo, 1989).
2.4. Status Gizi Balita
Berbicara mengenai gizi berarti membicarakan tentang makanan dalam
hubungannya dengan kesehatan dan proses dimana organisme menggunakan
makanan untuk pemeliharaan kehidupan, pertumbuhan, bekerjanya anggota dan
jaringan tubuh secara normal dan produksi tenaga (Berg, 1989).
Membahas mengenai masalah gizi, dapat digolongkan kepada tiga bagian
adalah sebagai berikut :
1. Gizi kurang, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang timbul karena tidak
cukup makan dan dengan demikian konsumsi energi kurang selama jangka
waktu tertentu. Di negara-negara sedang berkembang, konsumsi pangan yang
tidak menyertakan pangan cukup energi, biasanya juga kurang dalam satu atau
lebih zat gizi esensial lainnya. Berat badan yang menurun adalah tanda utama
dari gizi kurang.
2. Gizi lebih, yaitu keadaan patologik (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan
makanan dan dengan demikian mengkonsumsi energi lebih banyak daripada
yang diperlukan tubuh untuk jangka waktu yang panjang, dikenal sebagai gizi
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
lebih. Kegemukan merupakan tanda pertama yang biasa dilihat dari keadaan
gizi lebih.
3. Gizi salah, yaitu keadaan patologik (tidak sehat) yang disebabkan oleh makanan
yang kurang atau berlebihan dalam satu atau lebih zat esensial dalam waktu
lama. Di negara-negara sedang berkembang jenis utama gizi salah yang
disebabkan kurang gizi dalam waktu yang lama adalah kombinasi salah gizi
energi-protein, anemia kurang besi, kurang vitamin A dan gondok.
Status gizi merupakan keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan dan penggunaan makanan. Susunan makanan yang memenuhi
status gizi tubuh, pada umumnya dapat menciptakan status gizi yang
memuaskan.
Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi individu dan distribusi makanan dalam
keluarga serta tingkat kesukaan individu. Konsumsi individu diperoleh dari
konsumsi pangan dalam rumah tangga, sedangkan konsumsi pangan dalam
rumah tangga dipengaruhi oleh persediaan pangan dan tingkat kesukaan.
Pangan yang ada dalam rumah tangga tergantung dari pendapatan rumah tangga
dan persediaan pangan, sedangkan persediaan pangan serta pendapatan
dipengaruhi oleh persediaan pertanian dan pembangunan daerah (Roedjito,
1987).
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Status gizi adalah keadaan kesehatan yang diakibatkan oleh adanya interaksi
antara makanan, tubuh dan lingkungan hidup manusia. Status gizi diukur
dengan cara yaitu (Direktorat Bina Gizi, 1992).
a. Antropometri, yaitu mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas,
lemak dibawah kulit.
b. Klinik, yaitu pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh ahli medis, biasanya yang
melakukan adalah dokter.
c. Laboratorium, yaitu pemeriksaan darah, urine, tinja.
d. Dietetik, yaitu pemeriksaan jenis, jumlah, komposisi makanan yang dikonsumsi
oleh individu.
Pengukuran status gizi balita pada umumnya menggunakan antropometri yaitu
dengan cara mengukur tinggi badan atau menimbang berat badan. Berat badan
merupakan hasil peningkatan seluruh jaringan, tulang, otot, lemak dan cairan
tubuh, ukuran antropometri berat badan yang terbaik untuk status gizi dengan
keadaan tumbuh kembang pada waktu sekarang. Sedangkan tinggi badan
bertambah sesuai dengan kecepatan pertumbuhan balita karena itu tinggi badan
dapat dipakai sebagai petunjuk keadaan gizi balita untuk waktu yang lampau
(Soetjiningsih, 1994).
Status gizi yang ditentukan oleh keterbatasan dalam jumlah cukup dan dalam
kombinasi pada waktu yang tepat ditingkat sel semua zat-zat gizi yang
diperlukan tubuh untuk tumbuh, berkembang dan berfungsi normal semua
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
anggota badan. Oleh karena itu, pada prinsipnya status gizi ditentukan oleh dua
hal sebagai berikut : (Persagi, 1990)
a. Terpenuhinya dari makanan semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh.
b. Peranan faktor-faktor yang menentukan besarnya kebutuhan, penyerapan dan
penggunaan zat-zat gizi tersebut.
Pengetahuan gizi seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi konsumsi pangan dan status gizinya, demikian juga pada
keluarga yang mempunyai pengetahuan tentang kebutuhan tubuh akan gizi, ia
akan dapat menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsinya.
Pengetahuan gizi seseorang didukung dari latar belakang pendidikannya.
Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan berbagai keterbatasan dalam
menerima informasi dan penanganan masalah gizi dan kesehatan sekalipun di
daerah tempat tinggalnya banyak tersedia bahan makanan (sayuran dan buah)
serta pelayanan kesehatan yang memadai yang dapat menyampaikan informasi
tentang bagaimana mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi.
Pendidikan gizi diperlukan karena kenyataan menunjukkan bahwa suatu
keadaan kesehatan tidaklah dipengaruhi oleh hanya satu faktor diantara
berbagai faktor yang ada, faktor perilaku manusia memegang peranan penting.
Pendidikan gizi bukan hanya memberikan informasi gizi secara formal tetapi
merupakan kumpulan pengalaman dimana saja dan kapan saja, sepanjang dapat
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
mempengaruhi pengetahuan, sikap dan kebiasaan agar individu, kelompok atau
masyarakat dapat memperbaiki sikap dan tingkah lakunya (Blum, 1972).
Dari hal di atas, diketahui bahwa pengetahuan masalah gizi merupakan faktor
penentu dalam melihat perkembangan dan ketahanan daya tahan tubuh balita.
Dimana daya tahan, perkembangan dan pertumbuhan (gizi) balita diperoleh dari
pengambilan makanan yang sehat dalam keluarga. Pelayanan kesehatan
makanan dan lingkungan juga diperoleh dari kepedulian seorang ibu dalam
rumah tangga. Hal ini tentunya di dapat melalui pendidikan, dimana pendidikan
hanya dapat diperoleh dengan adanya sumber penghasilan dan pengawasan
dalam rumah tangga yang meliputi : manusianya, ekonomi dan organisasi.
Kesemuanya ini didasarkan pada kebijakan dan susunan dasar pemikiran pada
struktur ekonomi dan potensi penghasilan yang diperoleh di dalam rumah
tangga. Untuk lebih jelasnya, faktor penentu dari perkembangan dan ketahanan
daya tahan tubuh balita digambarkan pada halaman berikut (Soetjiningsih,
1995):
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Faktor Penentu dari Perkembangan dan Ketahanan Daya Tahan (Tubuh)
TUMBUH –
KEMBANG ANAK
Kecukupan makanan Keadaan kesehatan
Ketahanan makanan Pemanfaatan
Yankes dan Sanit.
Asuhan Bagi Ibu dan
Pendidikan Keluarga
Keberadaan dan Kontrol Sumber
Daya keluarga : Manusia, Ekonomi
Super Struktur Politik dan Ideologi
Struktur Ekonomi
Potensi Sumber
Gambar : 2.1. Model interelasi tumbuh kembang anak, (Unicef)
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
2.5. Penilaian Status Gizi Balita
Pertumbuhan dan perkembangan balita dapat diartikan menyangkut semua
kemajuan yang dicapai oleh tubuh manusia baik dari segi jasmani, mental dan
intelektual, mulai dari masa konsepsi sampai dewasa. Pertumbuhan berarti
bertambah besar ukuran fisik sebagai akibat perbanyakan dan pembesaran sel
dalam tubuh manusia. Sedangkan perkembangan berarti meningkatnya
keterampilan dan fungsi yang kompleks dari seseorang.
Pertumbuhan dan perkembangan, khususnya pada balita jika dikaitkan dengan
gizi diperlukan tinjauan dari keadaaan gizi ibu sejak masa kehamilan. Masa
hamil seorang ibu membutuhkan zat gizi yang lebih besar dari biasanya karena
pada masa ini, zat gizi diperlukan bukan hanya untuk keperluan si ibu saja
tetapi juga janin yang sedang dikandungnya. Apabila pada masa hamil seorang
ibu kurang mengkonsumsi zat gizi sesuai dengan kebutuhannya bisa berakibat
tidak baik bagi kesehatannya dan janin yang sedang dikandungnya (Departemen
Kesehatan RI, 1985).
Dalam menilai status gizi dapat dilakukan dengan empat cara yaitu (Supariasa
dkk, 2002):
a. Secara biokimia, yaitu melalui pemeriksaan darah, air seni, tinja sehingga dapat
diketahui tingkat kecukupan zat dan gizi seseorang.
b. Secara dietetika, yaitu survei konsumsi jenis dan jumlah makanan yang
dikonsumsi.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
c. Secara klinis, yaitu dengan pemeriksaan keadaan jasmani.
d. Secara antropometri, yaitu dengan mengukur berat badan, tinggi badan atau
merujuk bagian tubuh tertentu sepoerti lingkar lengan, lingkar kepala, tebal
lapisan lemak dan lain-lain.
Pengukuran status gizi yang paling sering digunakan di Indonesia adalah secara
antropometri. Pengukuran status gizi berdasarkan kriteria antropometri
mungkin mempunyai kelemahan-kelemahan, namun sampai saat ini dianggap
merupakan cara yang paling banyak, mudah serta praktis untuk dilakukan,
karena siapa saja dapat melakukannya dengan terlebih dahulu mendapat sedikit
latihan.
Berat badan (BB) merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberikan
gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak), karena massa tubuh sangat
sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak misalnya karena terserang
penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan
yang dikonsumsi maka berat badan merupakan antropometri yang sangat labil.
Dalam keadaan normal dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan
antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin berat badan berkembang
mengikuti pertambahan usia. Sebaliknya dalam keadaan yang tidak normal
terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan yaitu dapat berkembang
lebih cepat atau lebih lambat dari pada normal.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Berdasarkan sifat-sifat ini maka indeks BB/U digunakan sebagai salah satu
indikator status gizi dan karena sifatnya berat badan yang labil maka indeks
BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini.
Penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status gizi memiliki kelebihan dan
kelemahan. Adapun kelebihannya adalah :
a. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum.
b. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek.
c. Dapat mendeteksi kegemukan.
Untuk menentukan klasifikasi status gizi menurut rekomendasi WHO (NCHS –
WHO) digunakan Z Score (Standar deviasi) sebagai batas ambang yang dibagi
menjadi empat klasifikasi yaitu (Supariasa, 2002):
a. Status gizi buruk bila < – 3SD.
b. Status gizi kurang bila ≥ -3SD dan < -2SD
c. Status gizi baik bila ≥ – 2SD dan < +2SD.
d. Status gizi lebih bila ≥ +2SD.
Untuk lebih jelasnya, dapat digambarkan grafik sebagai berikut :
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Baik
-3 -2 -1 +1 +2 +3
2.6. Landasan Teoritis Penyebab langsung timbulnya gizi kurang pada anak adalah makanan tidak
seimbang dan penyakit infeksi. Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh.
Dengan demikian timbulnya KEP tidak hanya karena kurang makan tetapi juga
karena penyakit, terutama diare dan ISPA. Anak yang mendapat makanan cukup
baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita KEP.
Sebaliknya anak yang tidak memperoleh makan yang cukup dan seimbang, daya
tahan tubuhnya(imunitas)dapat melemah. Dalam keadaan demikian anak mudah
diserang infeksi dan kurang nafsu makan sehingga anak kekurangan makan.
Akhirnya berat badan anak menurun. Apabila keadaan ini terus berlangsung, anak
menjadi kurus dan timbullah KEP. Sering ditanyakan apakah makanan atau
penyakit yang lebih dahulu menjadi penyebab KEP. Dalam kenyataan, keduanya
(makanan dan penyakit) sering datang bersama-sama menyebabkan KEP.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Penyebab langsung seperti diuraikan diatas timbul karena tiga faktor sebab
tidak langsung, yaitu (1) tidak cukup tersdia pangan atau makanan dikeluarga, (2)
pola pengasuhan anak yang tidak memadai, dan (3) keadaan sanitasi yang buruk
dan tersedia air bersih, serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai. Ketiga
faktor penyebab tidak langsung tersebut itu tidak berdiri sendiri tetapi saling
berkaitan.
Tidak cukupnya persediaan pangan dikeluarga menunjukan adanya
kerawanan ketahanan pangan keluarga. Artinya kemampua keluarga untuk
mencukupi kebutuhan pangan, baik jumlah maupun mutu gizinya, bagi seluruh
anggota keluarga belum terpenuhi. Ketahanan pangan keluarga terkait dengan
ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau
sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi
dan kesehatan.
Pola pengasuhan anak adalah sikap dan prilaku ibu atau pengasuh lain dalam
hal kedekatannya denagn anak, memberi makan, merawat, menjag kebersihan,
memberikan kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya itu sangat berpengaruh
pada tumbuh kembang anak. Pola asuh yang tidak memadai dapat menyebab anak
tidak suka makan atau tidak diberikan makanan seimbang, dan juga dapat
memudahkan terjadinya infeksi. Pola asuh anak berhubungan dengan keadaan ibu,
seperti kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan
tentang pengasuhan anak yang baik , peran dalam keluarga atau dimasyarakat, sifat
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari
si ibu atau pengasuh anak.
Akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan
kebersihan lingkungan besar pengaruhnya terhadap pengasuhan anak. Demikian
pengasuhan anak yang baik memerlukan pelayanan kesehatan yang seperti
imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak,
pendidikan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu,
puskesmas, pratek bidan atau dokter, dan rumah sakit. Makin tersedia air bersih
yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap
pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang
kesehatan dan gizi, makin kecil resiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi
termasuk KEP.
Ketiga faktor tidaklangsung tersebut saling berkaitan dan bersumber pokok
masalah yang ada di masyarakat yaitu diberdayakannya sumber daya masyarakat,
terutama sumberdaya perempuan akibat kurangnya pendidikan, pengetahuan dan
keterampilan keluarga untuk dapat memecahkan masalah gizi keluarga dan
masyarakat. Ketidak berdayaan keluarga tersebut dimuka bersumber pada akar
masalah yang ada pada masyarakat yaitu kerawanan pangan dan kemiskinan yang
diakibatkan oleh kemunduran ekonomi negara sehingga banyak pengangguran,
meningkatkan harga terutama harga pangan (inflasi).
Semua masalah diatas pada hakekatnya dapat bersumber pada ketidakstabilan
ekonomi, politik dan sosial bangsa dan negara. Untuk lebih singkatnya dapat
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
digambarkan daya tahan tubuh balita dalam konteks sosial, politik dan budaya
sebagaimana berikut (Soekirman, 2000):
Dampak Kekurangan Gizi
Makan Penyakit Infeksi Tidak Seimbang
Penyebab langsung Tidak Cukup
Persediaan Pangan
Sanitasi dan Air Bersih/Pelayanan Kesehatan Dasar Tidak Memadai
Pola Asuh Anak Tidak
M d i
Penyebab tidak langsung
Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan
Kurang pemberdayaan wanita
Dan keluarga, kurang pemanfaatan Sumberdaya masyarakat
Pokok Masalah di Masyarakat
Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan
Krisis Ekonomi,Politik Akar Masalah
(nasional)
Gambar 2.3. Penyebab Gizi Kurang (disesuaikan dari bagan UNICEF (1998) The State of the World's Children 1998. Oxford Univ. Press)
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
2.7. Kerangka Konsep
Penelitian ini mengemukakan faktor sosial budaya yang berhubungan dengan
status gizi balita di dalam keluarga. Faktor sosial budaya yang terdapat dalam
penelitian meliputi pendidikan, pekerjaan, penghasilan, suku/etnis,
tradisi/kebiasaan, dan pengetahuan yang berhubungan dengan pola makan balita
pada keluarga baik kuantitas maupun kualitas yang selanjutnya juga dapat
berhubungan dengan status gizi balita. Dimana antara pendidikan, pekerjaan
dan penghasilan mempunyai kaitan yang erat satu sama lain. Ketiganya saling
mendukung satu sama lain, dalam arti apabila pendidikan yang dimiliki tinggi
biasanya akan memperoleh pekerjaan yang baik dan pekerjaan yang memadai
akan memberikan penghasilan yang baik pula. Keterkaitan faktor sosial budaya
terhadap status gizi balita dalam keluarga sebagaimana yang telah disampaikan
pada awal penulisan ini dari berbagai leteratur, antara lain mengemukakan
bahwa kondisi sosial sering terkait dengan permasalahan perumahan, kesehatan
dan sosialisasi dalam lingkungan masyarakat serta merupakan interaksi yang
bersinggungan dalam lingkungan hidup manusia. Keterkaitan tersebut termasuk
juga menyangkut dari latar belakang pendidikan orangtua. Oleh karena itu
dengan pendidikan yang tinggi maka orangtua akan lebih mengetahui cara
merawat balita, sedangkan pekerjaan dan penghasilan yang baik dapat
mendukung pola makan balita yang diharapkan dapat meningkatkan status gizi
balita. Selain ketiga faktor sosial budaya tersebut suku/etnis, tradisi/kebiasaan
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
dan pengetahuan merupakan faktor penting lainnya dalam meningkatkan status
gizi balita. Faktor-faktor sosial budaya ini yang berhubungan dengan status gizi
balita dapat dilihat pada kerangka konsep sebagai berikut :
Status Gizi Balita ( Baik dan Tidak Baik)
Sosial Budaya 1. Pendidikan 2. Pekerjaan 3. Penghasilan 4. Suku/Etnis 5. Tradisi/Kebiasaan 6. Pengetahuan
Pola Makan Balita Pada Keluarga
(kuantitas/ Kualitas)
---------- = tidak diteliti
Gambar 2.4 : Kerangka Konsep Penelitian
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah survei dengan menggunakan disain Cross Sectional
Study, yaitu suatu pendekatan yang sifatnya sesaat pada suatu waktu dan tidak
diikuti terus menerus dalam kurun waktu tertentu (Notoadmojo, 2002).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Medan Area, dikarenakan pada
kecamatan ini banyak balita yang mengalami gizi kurang (Profil Dinas Kesehatan
Kota Medan, 2006). Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan selama 9 (sembilan)
bulan, mulai bulan April - Desember 2007. Tahap-tahap penelitian ini dimulai dari
penelusuran pustaka, konsultasi, seminar proposal dan dilanjutkan dengan
penelitian di lapangan (pengumpulan data), analisa data dan penyusunan laporan
penelitian.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang memiliki anak
usia 6-24 bulan yang berasal dari keluarga yang tinggal dalam wilayah kerja
Puskesmas di Kecamatan Medan Area yang berjumlah 2960 orang. Namun tidak
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
termasuk anak dari keluarga etnis China, dikarenakan tidak tercantum dalam data
Puskesmas maupun data posyandu.
3.3.2. Sampel
Sampel adalah anak usia 6 – 24 bulan yang ditimbang dan ibu sebagai
responden yang diwawancarai, diambil dari populasi, dimana jumlahnya ditentukan
dengan menggunakan rumus sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu
populasi, yaitu (Sastroasmoro, 1995) :
Zα² PQ n = d²
Keterangan : Zα = deviat baku normal untuk α (Zα =1,96)
P = proporsi balita yang mengalami masalah gizi (50 %)
Q = 1-P (50 %)
d = ketepatan absolut yang dikehendaki (10 %)
n = jumlah sampel (97 keluarga)
Dari perhitungan rumus didapat jumlah sampel minimal 97 keluarga, dengan
memperkirakan 10 persen sampel yang keluar sewaktu pengolahan maka jumlah
sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 107 keluarga. Teknik pengambilan
sampel digunakan teknik Simple Random Sampling (pengambilan sampel secara
acak sederhana), yaitu memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota)
populasi untuk dipilih menjadi sampel. Sampel diambil dengan mengumpulkan
nama anak yang berusia 6-24 bulan secara keseluruhan yang ada di Kecamatan
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Medan Area. Kemudian nama diambil secara acak dengan menggunakan gulungan
kertas yang telah tertulis nama balita (sistem undian).
3.4. Metoda Pengumpulan Data
Sebelum data dikumpulkan, terlebih dahulu kuesioner diuji validitasnya
dengan melakukan uji realibilitas pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Setelah diketahui kusioner layak diajukan, selanjutnya dilakukan pengumpulan
data.
Pengumpulan data dilakukan untuk jenis data :
1. Data Primer.
Dikumpulkan melalui wawancara langsung kepada responden dengan
menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Data primer yang
dikumpulkan adalah semua data yang termasuk variabel independent dan variabel
dependen. Wawancara dilakukan dengan mengunjungi rumah responden yang
dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat yang telah diberikan
pelatihan sebelum ke lapangan.
Data status gizi balita dikumpulkan dengan melakukan pengukuran berat
badan dan mencatat data anak usia 6 – 24 bulan. Berat badan diukur dengan
memakai alat ukur timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0,1 kg.
2. Data Sekunder.
Dikumpulkan dari laporan bulanan, triwulan dan tahunan di Puskesmas
Kecamatan Medan Area dan data dari laporan/catatan kantor kelurahan atau camat
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
atau instansi terkait lain yang berkenaan dengan data-data gambaran daerah
penelitian.
Adapun usaha reabilitas dan validitas data yang dikumpulkan adalah sebagai
berikut :
a. Validitas alat ukur seperti timbangan.
b. Pengukuran dilakukan dua kali seperti penimbangan berat badan, pengukuran
tinggi badan
c. Melatih enumerator atau pengumpul data dalam pengumpulan data, misal
melatih cara menimbang berat badan, mengukur tinggi badan, menyamakan
persepsi tentang kuesioner.
d. Uji kuesioner di luar sampel penelitian. (hasil uji pada Lampiran 2)
Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas dengan menggunakan responden
diluar sampel penelitian diperoleh r-tabel = 0.514 dari N=15 orang dan taraf
signifikansi 95% ternyata skore tiap pertanyaan lebih dari nilai r-tabel. Hal ini
menunjukan bahwa semua kuesioner valid dan layak diajukan kepada sampel
penelitian dan tidak dibutuhkan revisi kembali, sebagaimana dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas Kuesioner Pada 15 Orang Responden
No. Pertanyaan Total Keterangan
Pengetahuan1 .778** Valid .001 0.778 > 0.514 15 Pengetahuan 2 .868** Valid .000 0.868 > 0.514 15 Pengetahuan 3 .652* Valid .011 0.652 > 0.514 15 Pengetahuan 4 .773** Valid .001 0.773 > 0.514 15 Pengetahuan 5 .656* Valid .011 0.656 > 0.514 15 Pengetahuan 6 .778** Valid .001 0.778 > 0.514 15 Pengetahuan 7 .925** Valid .000 0.925 > 0.514 15 Pengetahuan 8 .638* Valid .010 0.638 > 0.514 15
3.5. Definisi Operasional Variabel
Dalam penelitian ini, terdapat berbagai variabel yang akan diukur dengan
menggunakan perangkat-perangkat alat ukur yang telah ditetapkan, untuk
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
memperjelas gambaran variabel dalam penelitian, maka disusunlah definisi
operasional variabel sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 3.2. Definisi Operasional Variabel, Alat Ukur dan Skala
Varibel Sub Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Pendidikan Tingkat pendidikan
orang tua yang didapat secara formal seperti SD, SLTP, SLTA, PT
Kuesioner Ordinal
Pekerjaan Jenis pekerjaan orang tua yang meliputi PNS/TNI/Polri, karyawan swasta, wiraswasta, buruh, dll.
Kuesioner Ordinal
Penghasilan Tingkat pendapatan yang didapat keluarga setiap bulannya, yang dihitung berdasarkan rupiah
Kuesioner Ratio
Tradisi/kepercayaan Kepercayaan terhadap ada tidaknya makanan pantangan pada balita
Kuesioner Ordinal
Suku/etnis Suku bangsa orang tua yang terdiri dari Jawa, Batak Toba, Karo, Mandailing, Nias, Minang, dll.
Kuesioner Nominal
Faktor Sosial Budaya
Pengetahuan Segala sesuatu yang diketahui ibu tentang kesehatan dan gizi
Kuesioner Ordinal
Status gizi
Keadaan keseimbangan gizi yang diukur dari indeks antropometri (berat badan disesuaikan dengan usia)
Timbangan Ordinal
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
3.6. Metode Pengukuran
a. Pendidikan, dikategorikan menjadi :
1. tinggi, jika orang tua sampai pada pendidikan SLTA dan PT
2. rendah, jika SD dan SLTP
b. Pekerjaan, dikategorikan menjadi :
1. pekerjaan tetap, jika jenis pekerjaan PNS/TNI/POLRI, karyawan swasta.
2. pekerjaan tidak tetap, jika wiraswasta, buruh, dan Ibu Rumah tangga.
c. Penghasilan, dikategorikan menjadi :
1. penghasilan diatas atau sama dengan rata-rata
2. penghasilan dibawah rata-rata
d. Tradisi/kepercayaan, dikategorikan menjadi :
1. ada pantangan makanan
2. tidak ada pantangan makanan
e. Pengetahuan, dikategorikan menjadi (Notoadmojo, 2005) :
1. baik, jika pertanyaan benar ≥ 75%
2. kurang baik, jika pertanyaan benar < 75%
f. Status gizi dikategorikan dengan mengambil batasan Z-score NCHS-WHO,
dimana data diolah dengan menggunakan perangkat lunak yaitu dengan program
Gizi Com (Supariasa, 2002), yaitu :
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
1. baik, jika batasan Z-score NCHS-WHO masuk dalam status gizi baik (≥ -2
SD sampai ≤ +2 SD).
2. tidak baik, jika ada dalam batasan Z-score NCHS-WHO masuk dalam status
gizi kurang ( < -2 SD sampai > -3 SD), status gizi buruk (≤ 3 SD), dan status
gizi lebih (> +2 SD).
3.7. Metode Analisis Data
3.7.1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang distribusi
frekuensi responden, maka dilakukan analisis deskriptif/univariat. Analisis ini
digunakan untuk memperoleh gambaran pada masing-masing variabel yang
meliputi suku/etnis, tradisi/kebiasaan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan,
pengetahuan pada orang tua yang memiliki anak usia 6 – 24 bulan, serta status
gizinya.
3.7.2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat akan dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel
faktor sosial budaya (pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan) dengan
status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Untuk menguji hipotesis dipakai uji kai kuadrat.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Lokasi Penelitian
4.1.1. Geografi Medan Area
Kecamatan Medan Area terletak 25 meter di atas permukaan laut dengan luas
wilayah 4,22 km2 dan batas wilayah Kecamatan Medan Area sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kecamatan Medan Perjuangan
Sebelah Selatan : Kecamatan Medan Kota
Sebelah Barat : Kecamatan Medan Kota
Sebelah Timur : Kecamatan Medan Denai
Kecamatan Medan Area memiliki 3 (tiga) unit Puskesmas yaitu Puskesmas
Sukaramai, Puskesmas Medan Area Selatan dan Puskesmas Kota Maksum dengan
keadaan geografis sebagaimana terlihat pada Tabel 4. 1.
Tabel 4.1. Keadaan Geografis Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006
No. Puskesmas Luas Wilayah (H) Jumlah Kelurahan
1. Kota Maksum 112,40 H 4
2. Sukaramai 150,23 H 4
3. Medan Area Selatan 153,10 H 4
Jumlah 415,73 H 12
Sumber :Badan Pusat Statistik Kota Medan 2006
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Puskesmas Kota Maksum mempunyai wilayah kerja seluas 112,40 Ha yang
terdiri dari 4 Kelurahan yaitu Kelurahan Kota Maksum I, Kelurahan Kota Maksum
II, Kelurahan Kota Maksum IV dan Kelurahan Sei Rengas Permata. Puskesmas
Sukaramai mempunyai wilayah kerja seluas 150,23 Ha yang terdiri dari 4
Kelurahan yaitu Kelurahan Tegal Sari I, Kelurahan Tegal Sari II, Kelurahan Tegal
Sari III dan Kelurahan Pasar Merah Timur. Puskesmas Medan Area Selatan
mempunyai wilayah kerja seluas 153,10 Ha yang terdiri dari 4 Kelurahan yaitu
Kelurahan Sukaramai I, Kelurahan Sukaramai II, Kelurahan Pandau Hulu II dan Sei
Rengas II.
4.1.2. Gambaran Kependudukan
Distribusi penduduk berdasarkan jumlah keluarga dan jenis kelamin di
wilayah kerja 3 (tiga) Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006
dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jumlah Keluarga dan Jenis Kelamin di wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006
Penduduk
KK Laki-laki Perempuan
Jumlah Total Wilayah Kerja Puskesmas
n % n % n % n %
Kota Maksum 8657 39,8 18011 32,9 17857 33,2 38045 35,1
Sukaramai 6603 30,3 20673 37,8 19643 36,5 40316 37,2
Medan Area Selatan
6476 29,7 15951 29,1 16212 30,1 32163 29,6
Jumlah 21736 100 54635 50,4 53712 49,5 108347 100
Sumber : Badan Pusat Statistik 2006
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Jumlah penduduk Kecamatan Medan Area pada tahun 2006 sebanyak 108.347
jiwa yang terdiri dari 54.633 laki-laki (50,4%) dan 53.712 perempuan (49,5%).
4.1.3. Gambaran Mata Pencaharian
Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian di wilayah kerja 3 (tiga)
puskesmas di Kecamatan Medan Area dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Wilayah
Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006
Kota Maksum Sukarame Medan Area
Selatan Jumlah Pekerjaan
N % N % N % N % Negeri 1112 49,8 782 35,0 337 15,1 2231 5,4 Swasta 6050 34.3 4588 26.0 6989 39.6 1762
7 42.8Pegawai
ABRI 31 34,3 50 55,5 9 10 90 0,2 Petani - - - - - 21 100 21 0,05
Pedagang - 9639 41,9 6464 28,1 6900 29,9 23003 55,8
Pensiun - 237 37,1 254 39,8 147 23,0 638 1,5 Jumlah Total
- 17069 41,4 1213
8 29,4 11945 29,0 4115
2 100
Sumber : Badan Pusat Statistik 2006
Penduduk Kecamatan Medan Area sebagian besar mempunyai mata
pencaharian pedagang yaitu 55,8 persen sedangkan pegawai swasta 42,8 persen,
pegawai negeri 5,4 persen, pensiunan 1,5 persen, ABRI 0,2 persen dan petani 0,05
persen.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.1.4. Jumlah kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita
Jumlah kelahiran dan kematian bayi dan balita di Kecamatan Medan Area
dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut :
Tabel 4.4. Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita di Wilayah Tiga
Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006
Puskesmas Jumlah Kelahiran
Jumlah Lahir Mati
Jumlah Bayi Mati
Jumlah Balita
Jumlah Balita Mati
Kota Maksum 1080 0 0 4.582 0
Sukaramai 1027 0 0 3.908 0
Medan Area Selatan 732 0 1 2.696 1
Jumlah 2.839 0 1 11.186 1
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Medan, 2006.
Tabel 4.4 di atas menunjukan bahwa jumlah kelahiran terbesar terdapat pada
Puskesmas Koata Maksum yaitu 1080 orang, kemudian diikuti Puskesmas
Sukaramai sebanyak 1027 orang dan Puskesmas Medan Area Selatan sebanyak 732
orang.
4.1.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu
Balita yang mengalami BGM ada 65 orang dengan perincian terbanyak
di Puskesmas Kota Maksum sebanyak 44 orang, dan pencapaian program hanya 89
persen, paling rendah diantara Puskesmas Sukaramai dan Medan Area Selatan.
Tetapi partisipasi masyarakat untuk menggunakan posyandu di Puskesmas Kota
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Maksum paling tinggi dibandingkan dengan Sukaramai dan Medan Area Selatan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut :
Tabel 4.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu di Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2007
Kecamatan
Bayi Yang Memiliki KMS (%)
Partisipasi Masyarakat
(%)
Pencapaian Program
(%)
Cakupan Efek
Program (%)
BGM
Kota Maksum 89,0 89,2 75,0 89,0 44 Sukaramai 86,4 80,7 74,6 93,0 16
Medan Area Selatan 85 81 76,5 93,0 5
Rata-Rata 86,8 83,6 75,4 91,6 - Jumlah - - - - 65
Sumber : Puskesmas Kecamatan Medan Area, bulan November 2007
4.2. Gambaran Faktor Sosial Budaya
4.2.1. Pendidikan
Tingkat pendidikan ayah dan ibu yang memiliki anak usia 6 – 24 bulan dalam
penelitian ini dikategorikan menjadi tingkat pendidikan tinggi dan tingkat
pendidikan rendah, dimana yang tamat SLTA dan PT/Akademi termasuk dalam
kategori tingkat pendidikan tinggi. Sedangkan tidak tamat, tamat SD dan SLTP
dikategorikan tingkat pendidikan rendah yang dapat dilihat pada tabel berikut :
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 4.6. Distribusi Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
No. Tingkat Pendidikan n %1. SD 13 12,12. SLTP 24 22,43. SLTA 56 52,34. PT/Akademi 14 13,1
Jumlah 107 100,0
Tabel 4.6 menunjukkan tingkat pendidikan yang ditempuh ayah adalah SLTA
yaitu 56 orang (52,3 %). Hal ini menunjukan bahwa tinggkat pendidikan ayah
sebagian besar tinggi yang dapat berhubungan kepada status gizi anak.
Tabel 4.7. Distribusi Kategori Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan Medan
Area Kota Medan Tahun 2007
No. Kategori Tingkat Pendidikan n %1. Tinggi 70 65,42. Rendah 37 34,6
Jumlah 107 100,0
Pada Tabel 4.7 diketahui bahwa tingkat pendidikan ayah pada kategori tinggi
sebanyak 70 orang (65,4 %), dan kategori rendah sebanyak 37 orang (34,6%).
Sebagian besar pendidikan ayah adalah pada kategori tinggi yang dapat
berhubungan dengan status gizi anak.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 4.8. Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
No. Tingkat Pendidikan n %1. SD 18 16,82. SLTP 24 22,43. SLTA 55 51,54. PT/Akademi 10 9,3
Jumlah 107 100,0
Pada Tabel 4.8. di atas diketahui bahwa tingkat pendidikan ibu terbanyak
adalah SLTA sebanyak 55 orang (51,5 %) dan yang paling sedikit adalah
PT/Akademi yaitu 10 orang (9,3 %). Dari tabel tersebut menunjukan bahwa
pendidikan ibu sudah menggambarankan kategori yang baik yaitu tinggi.
Tabel 4.9. Distribusi Kategori Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan Medan
Area Kota Medan Tahun 2007
No. Kategori Tingkat Pendidikan n %1. Tinggi 65 60,72. Rendah 42 39,3
Jumlah 107 100,0
Pada Tabel 4.9 diatas diketahui bahwa kategori tingkat pendidikan tinggi
yaitu 65 orang (60,7 %), dan kategori tingkat pendidikan rendah yaitu 42 orang
(39,3 %). Hal ini menunjukan tingginya tingkat pendidikan ibu yang akan
berhubungan pada status gizi anak.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.2.2. Pekerjaan
Pekerjaan ayah dan ibu dikategorikan menjadi pekerjaan dengan penghasilan
tetap dan pekerjaan dengan penghasilan tidak tetap yang dapat dilihat dalam tabel
berikut
Tabel 4.10. Distribusi Kategori Pekerjaan Ayah di Kecamatan Medan Area
Kota Medan Tahun 2007
No. Kategori Pekerjaan n %1. Pekerjaan Tetap 22 20,62. Pekerjaan Tidak Tetap 85 79,4
Jumlah 107 100,0
Dari Tabel 4.10 diatas dapat diketahui bahwa sebanyak 85 orang (79,4 %)
ayah yang pekerjaan tidak tetap. Dimana dari hasil penelitian diketahui bahwa
sebagian besar ayah bekerja sebagai wiraswasta atau dikategorikan pada pekerjaan
tidak tetap.
Tabel 4.11. Distribusi Kategori Pekerjaan Ibu di Kecamatan Medan Area
Kota Medan Tahun 2007
No. Kategori Pekerjaan n %1. Pekerjaan Tetap 10 9,32. Pekerjaan Tidak Tetap 97 90,7
Jumlah 107 100,0
Pada Tabel 4.11 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar ibu adalah ibu
yang pekerja tidak tetap yaitu 97 orang (90,7%). Di lapangan ditemukan bahwa
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
sebagian besar ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya dirumah
atau dikategorikan ibu dengan pekerjaan tidak tetap.
4.2.3. Penghasilan
Penghasilan keluarga dikategorikan dengan penghasilan di atas rata-rata dan
penghasilan di bawah rata-rata yang diperoleh dari penghasilan tertinggi keluarga
sebesar Rp. 5.000.000,- dan penghasilan keluarga terendah sebesar Rp. 200.000,-
dengan nilai rata-ratany sebesar Rp. 1.065.400,- yang dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 4.12. Distribusi Kategori Penghasilan Keluarga di Kecamatan Medan
Area Kota Medan Tahun 2007
No. Kategori Penghasilan n %1. Penghasilan ≥ rata-rata
(Rp.1.065.400) 28 26,2
2. Penghasilan < rata-rata (Rp.1.065.400) 79 73,8
Jumlah 107 100,0
Pada Tabel 4.12 diatas diketahui bahwa kategori pendapatan diatas rata-
rata sebanyak 28 orang (26,2%) dan kategori pendapatan dibawah sebanyak 79
orang (73,8%).
4.2.4. Suku/Etnis
Suku dari orang tua anak usia 6 – 24 bulan terdiri dari beberapa yang dapat
dilihat pada tabel-tabel berikut :
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 4.13. Distribusi Suku/Etnis Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
No. Suku/Etnis n %1. Batak Toba 5 4,72. Batak Mandailing 15 17,83. Jawa 31 29,04. Melayu 5 4,75. Minang 45 42,16. Nias 1 0,97. Lain-lain 1 0,9
Jumlah 107 100,0
Pada Tabel 4.13 di atas diketahui bahwa suku/etnis ayah yang terbanyak
adalah pada suku minang, yaitu 45 orang (42,1 %). Sedangkan terdapat 1 orang (0,9
%) pada lain-lain yaitu suku Aceh.
Tabel 4.14. Distribusi Suku/Etnis Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan
Tahun 2007
No. Suku/Etnis n %1. Batak Toba 3 2,82. Batak Mandailing 12 11,23. Batak Karo 1 0,94. Jawa 26 24,35. Melayu 7 6,56. Minang 55 51,47. Nias 1 0,98. Lain-lain 2 1,9
Jumlah 107 100,0
Dari Tabel 4.14 di atas diketahui bahwa suku/etnis ibu yang
terbanyak adalah suku minang, yaitu 55 orang (51,4 %). Sedangkan pada
lain-lain terdapat 2 orang (1,9 %) yaitu suku Bugis dan Aceh.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.2.5. Tradisi/Kebiasaan
Ada tidaknya pantangan makanan dalam keluarga atau yang biasa disebut
tradisi/kebiasaan makan keluarga dapat diketahui pada tabel berikut :
Tabel 4.15. Distribusi Tradisi/Kebiasaan di Kecamatan Medan Area
Kota Medan Tahun 2007
No. Kategori Tradisi/Kebisaan N %1. Ada pantangan 19 17,82. Tidak ada pantangan 88 82,2
Jumlah 107 100,0
Ada tidaknya pantangan pada anak diketahui dengan melihat ada tidaknya
satu jenis atau lebih makanan yang tidak boleh dikonsumsi anak. Dari Tabel 4.15
diketahui bahwa sebagian besar tidak ada pantangan bagi ibu untuk memberikan
makanan pada anak yaitu 82,2 persen.
Tabel 4.16. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ayah dengan
Tradisi/Kebiasaan Di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
Tradisi/Kebiasaan
Ada Pantangan
Tidak ada pantangan
Jumlah No. Suku/Etnik
n % n % n % 1. Batak Toba 1 20,0 4 80,0 5 100,02. Batak Mandailing 2 10,5 17 89,5 19 100,03. Jawa 5 16,1 26 83,9 31 100,04. Melayu 0 0 5 100,0 5 100,05. Minang 11 24,4 34 75,6 45 100,06. Nias 0 0 1 100,0 1 100,07. Lain-lain 0 0 1 100,0 1 100,0 Jumlah 19 17,8 88 82,2 107 100,0
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Dari Tabel 4.16 diketahui bahwa terdapat beberapa suku ayah yang tdak
pantangan makanan pada anak, yaitu pada ayah suku/etnik Melayu, Nias dan Suku
lainnya.
Tabel 4.17. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ibu dengan Tradisi/Kebiasaan Di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
Tradisi/Kebiasaan Ada
Pantangan Tidak ada pantangan
Jumlah No. Suku/Etnik
n % n % n % 1. Batak Toba 1 3,3 2 66,7 3 1002. Batak Mandailing 1 8,3 11 91,7 12 1003. Batak karo 0 0 1 100,0 1 1004. Jawa 4 15,4 22 84,6 26 1005. Melayu 1 14,3 6 85,7 7 1006. Minang 11 20,0 44 80,0 55 1007. Nias 0 0 1 100,0 1 1008. Lain-lain 1 50,0 1 50,0 2 100 Jumlah 19 17,8 88 82,2 107 100
Dari Tabel 4.17 diketahui bahwa pada suku/etnik minang terdapat 20%
ibu memberi pantangan makanan pada anak, meskipun tidak begitu besar
jumlahnya pada suku-suku lain. Dari hasil penelitian diketahui bahwa makanan
yang dipantangkan oleh ibu kepada anak dengan alasan kesehatan saja, bukan
karena pantangan dari suku/etnik ibu.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.2.6. Pengetahuan
Pengetahuan responden dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu pengetahuan
dengan kategori baik dan pengetahuan dengan kategori kurang baik yang dapat
dilihat lebih jelas pada tabel berikut ini :
Tabel 4.18. Distribusi Kategori Pengetahuan Ibu di Kecamatan Medan Area
Kota Medan Tahun 2007
No. Kategori Pengetahuan n %1. Baik 22 20,62. Kurang baik 85 80,4
Jumlah 107 100,0
Meskipun sebagian besar tingkat pendidikan ibu sudah tinggi, ternyata ibu
masih kurang pengetahuannya terhadap kesehatan. Pada Tabel 4.18 di atas dapat
dketahui bahwa sebagian besar ibu memliki pengetahuan kurang baik, yaitu
sebanyak 85 ibu (80,4 %).
4.3. Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan
Status gizi balita yang ditemui dilapangan adalah terdiri dari kategori yaitu
status gizi baik, status gizi kurang dan status gizi buruk yang dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 4.19. Distribusi Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Kota Medan Tahun 2007
No. Status Gizi n %1. Baik 68 63,62. Kurang 30 28,03. Buruk 9 8,4
Jumlah 107 100,0
Dari hasil pengukuran berat badan anak diperoleh bahwa sebagian besar anak
berstatus gizi baik. Seperti terlihat pada Tabel 4.19 di atas diketahui bahwa status
gizi baik adalah sebanyak 68 orang (63,6 %), status gizi kurang sebanyak 30 orang
(28,0 %) dan status gizi buruk sebanyak 9 orang (8,4 %).
Tabel 4.20. Distribusi Kategori Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan
di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
No. Kategori Status Gizi n %1. Baik 68 63,62. Tidak Baik (Kurang dan Buruk) 39 36,4
Jumlah 107 100,0
Satus gizi anak anak yang kemudian dikategorikan kedalam 2 kategori yaitu
baik dan tidak baik diperoleh hasil bahwa sebagian besar anak berada pada kategori
baik. Dimana pada Tabel 4.20 di atas dapat diketahui bahwa kategori status
gizi baik adalah 68 orang (63,6 %), sedangkan kategori tidak baik sebanyak 39
orang (36,4%).
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
4.4. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Faktor Sosial Budaya
Tabulasi silang antara status gizi dengan faktor sosial budaya dapat dilihat
dalam tabel-tabel berikut :
Tabel 4.21. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tingkat Pendidikan Ibu dan
Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
Status Gizi Baik Tidak baik
Jumlah Kategori Pendidikan
N % n % n % Pendidikan Ayah
Tinggi Rendah
4721
67,156,8
2316
32,9 43,2
70 37
100,0100,0
P = 0,395Pendidikan Ibu
Tinggi Rendah
2048
47,673,8
2217
52,4 26,2
42 65
100,0100,0
P = 0,011
Dari Tabel 4.21 diatas dapat diketahui bahwa diantara 37 ayah yang tingkat
pendidikannya rendah, terdapat 16 (43,2%) ayah yang memiliki anak yang status
gizi tidak baik, dan dari 70 ayah yang tingkat pendidikannya tinggi, terdapat 23
(32,9%) ayah yang memiliki anak yang status gizi tidak baik. Dari hasil uji terdapat
nilai p adalah 0,395 (p>0,05) maka menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara tingkat pendidikan ayah dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.
Diantara 42 ibu yang tingkat pendidikannya tinggi, ada 47,6 persen ibu yang
memiliki anak yang status gizi baik, dan dari 65 ibu yang tingkat pendidikan rendah
terdapat 48 (73,8%) ibu yang memliki anak yang status gizi baik. Dari hasil uji
didapat p=0,011 (p<0,05), maka hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak. Dimana semakin baik tingkat
pendidikan ibu maka status gizi anak akan semakin baik.
Tabel 4.22. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Pekerjaan Ibu dan Ayah
di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
Status Gizi Baik Tidak baik
Jumlah Kategori Pekerjaan
N % n % N % Pekerjaan Ayah
Penghasilan Tetap Penghasilan Tidak Tetap
1751
77,360,0
534
22,7 40,0
22 85
100,0100,0
P = 0,211Pekerjaan Ibu
Penghasilan Tetap Penghasilan Tidak Tetap
365
30,067,0
732
70,0 33,0
10 97
100,0100,0
P = 0,031
Dari Tabel 4.22 diatas dapat diketahui bahwa diantara 22 ayah yang memiliki
pekerjaan dengan penghasilan tetap, terdapat 5 (22,7%) ayah yang memiliki anak
yang status gizi tidak baik, sedangkan dari 85 ayah yang berpenghasilan tidak tetap
terdapat 34 (40,0%) ayah yang memiliki anak yang status gizi tidak baik. Dari hasil
uji terdapat nilai p adalah 0,211 (p>0,05) maka menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara pekerjaan ayah dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan.
Diantara 10 ibu yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan tetap, ada
30,0% ibu yang memiliki anak yang status gizi baik, sedangkan dari 97 ibu yang
berpenghasilan tidak tetap terdapat 65 (67,0%) ibu yang memiliki anak yang status
gizi baik. Dari hasil uji didapat p=0,0031 (p<0,05), maka menunjukkan bahwa ada
hubungan antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 4.23. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Penghasilan Keluarga di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
Status Gizi
Baik Tidak baik Jumlah
Penghasilan Keluarga n % n % n %
Tinggi ( ≥ rata-rata Rp 1.065.400) 15 53,6 13 46,4 28 100,0Rendah (< rata-rata Rp.1.065.400) 53 67,1 26 32,9 79 100,0
Jumlah 68 63,6 39 36,4 107 100,0 p =0,294
Penghasilan keluarga tidak mempunyai hubungan terhadap status gizi anak,
hal ini dilihat dari uji statistik yang dihasilkan dimana p = 0,294. Hubungan yang
tidak signifikan dengan p > 0,05 terjadi antara penghasilan keluarga dengan status
gizi anak, dimana semakin baik penghasilan dalam keluarga tidak berhubungan
dengan status gizi anak. Diantara penghasilan keluarga yang tinggi terdapat 15
(53,6%) keluarga yang memliki balita dengan status gizi baik, sedangkan diantara
penghasilan keluarga yang rendah terdapat 53 (67,1%) keluarga yang memiliki
anak dengan status gizi baik pula.
Tabel 4.24. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tradisi/Kepercayaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
Status Gizi
Baik Tidak baik Jumlah
Tradisi/Kepercayaan N % n % n %
Ada pantangan Makanan 10 52,6 9 47,4 19 100,0
Tidak Ada Pantangan Makanan 58 65,9 30 34,1 88 107
Jumlah 68 63,6 39 36,4 107 100,0 p =0,408
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Hasil analisa hubungan antara status gizi dengan tradisi diperoleh
bahwa dari 19 keluarga yang memberikan pantangan makanan kepada anak
terdapat 10 anak (52,6%) dengan status gizi baik, sedangkan dari 88 keluarga
yang tidak ada pantangan makanan terdapat 58 anak (65,9%) dengan status gizi
baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,408 maka dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan antara tradisi/kepercayaan keluarga dengan status gizi anak.
Tabel 4.25. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Pengetahuan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007
Status Gizi
Baik Tidak baik Jumlah
Pengetahuan Ibu N % n % n %
Baik 9 40,9 13 59,1 22 100,0Kurang baik (Sedang) 59 69,4 26 30,6 85 100,0
Jumlah 68 63,6 39 36,4 107 100,0 P=0,026
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa diantara 22 ibu yang berpengetahuan
baik memiliki 13 anak (59,14%) dengan status gizi tidak baik, sedangkan diantara
85 ibu yang pengetahuannya kurang baik terdapat 26 anak (30,6%) dengan status
gizi tidak baik. Dari hasil uji statistik ditemukan nilai p = 0,026 maka ada
hubungan antara pengetahuan ibu dengan tatus gizi anak usia 6 – 24 bulan di
kecamatan Medan Area.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1. Sosial Budaya Ibu dan Ayah
Pendidikan ayah sebesar 34,6 persen masih berpendidikan rendah yaitu SD
dan SLTP. Begitu pula dengan pendidikan ibu 39,3 persen berpendidikan rendah
yaitu SD dan SLTP. Pendidikan dapat mempermudah orang menerima informasi.
Pendidikan dalam penelitian ini merupakan pendidikan formal yang didapat ibu
dari pendidikan sekolah. Ibu yang berpendidikan lebih rendah akan lebih sulit
memahami bagaimana memantau pertumbuhan anak dan dampaknya pada status
gizi anak yang tidak baik.
Sebenarnya pendidikan khusus gizi sangat medukung ibu melaksanakan
pemantauan pertumbuhan anaknya, karena pendidikan gizi merupakan salah satu
upaya penanggulangan gizi. Dengan pendidikan gizi diharapkan terjadi perubahan
perilaku ke arah perbaikan kesehatan dan gizi yang lebih baik lagi. Perilaku
kesehatan dan gizi berasal dari proses sosialisasi dalam sistem keluarga melalui
proses pendidikan maupun sebagai dampak penyebaran informasi. Pangan yang
tersedia tidak banyak berarti tanpa pengetahuan gizi yang baik. Sebalikya
pendidikan gizi tidak akan berhasil seperti yang diharapkan bila pangan tidak
tersedia dan penduduk dalam kondisi miskin, (Baliwati, 2004).
Selain pendidikan, ekonomi juga berperanan dalam pemantauan pertumbuhan
atau lebih kepada status gizi anak, karena peningkatan ekonomi menurut Berg
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
(1989) akan mendorong rumah tangga menyediakan makanan yang semakin
beragam dan berjenis. Tidak dapat dipungkiri kenyataan teori ini di masyarakat
sering terbukti dengan semakin membaiknya tingkat ekonomi keluarga maka
kecenderungan untuk membeli susu formula semakin meningkat pula. Jenis
pekerjaan ayah dalam penelitian ini adalah sebagian besar berpenghasilan tidak
tetap (79,4%), yaitu ayah yang bekerja sebagai wiraswasta (40,2%), termasuk
didalamnya sebagai pedagang. Ibu yang berpenghasilan tetap dalam penelitian ini
adalah ibu yang bekerja sebagai pegawai swasta dan pegawai negeri sipil (PNS),
dan sebagian besar ibu adalah ibu rumah tangga (71,0 %), sehingga keadaan
ekonomi yang lebih pasti juga menyebabkan kecenderungan terjadinya pergeseran
pola asuh dengan baik. Jika dilihat dari pendapatan keluarga memang lebih banyak
keluarga yang mempunyai penghasilan dibawah rata-rata ≤ Rp. 1.065.400,-
(73,8%). Hal ini berpengaruh pada ketersediaan pangan dalam keluarga yang secara
langsung dapat berpengaruh pada status gizi anak.
Suku ayah terbanyak adalah Minang (42,1 %), begitu pula pada suku ibu yang
terbanyak adalah Minang (51,4%). Hal ini karena di daerah penelitian ini,
kebanyakan masyarakat bersuku Minang, meskipun tidak sedikit susku-suku lain
yang berdomisi di Kecamatan Medan Area, yaitu suku Batak Toba, Batak
Mandailing, Jawa dan lain sebagainya.
Hasil penelitian diketahui masih ada ibu yang memberikan pantangan makan
pada anak (17,8%) dengan alasan kesehatan anak, dimana jenis makanan yang
dipantangkan oleh ibu hanya sejenis makanan yang pedas, jajanan yang
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
mengandung zat kimia dan penyedap rasa yang berlebihan dan minuman terlalu
dingin. Hal ini berbeda dengan tingkat pengetahuan ibu yang sebagian besar masih
kurang (80,4 %).
5.2. Status Gizi Anak
Status gizi pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori yaitu kategori baik
dan tidak baik, dimana yang termasuk kategori baik adalah status gizi baik dan
yang termasuk kategori tidak baik adalah status gizi kurang, buruk dan lebih. Hasil
penelitian di lapangan diperoleh sebagian besar status gizi anak baik (63,6%) atau
dalam kategori baik, sedangkan 36,4 persen masih pada kategori tidak baik, dimana
terdapat 28 persen berstatus gizi kurang dan 8,4 persen anak dengan gizi buruk.
Angka status gizi kurang dan buruk untuk kecamatan ini, masih lebih besar dari
angka hasil laporan pemantauan status gizi untuk kota Medan tahun 2007, yaitu gizi
kurang 21,8 persen dan status gizi buruk 5 persen, (Dinas Kesehatan Propinsi
Sumatera Utara, tahun 2007).
Banyak hal yang menyebabkan status gizi anak menjadi terganggu baik secara
langsung maupun tidak langsung. Penyebab secara langsung diantaranya adalah
kurangnya informasi yang memadai dan penghasilan keluarga yang masih banyak
dibawah rata-rata (73,8 %). Dimana hal ini berpengaruh terhadap ketersediaan
bahan pangan keluarga, karena pendapatan merupakan faktor yang paling
menentukan kualitas dan kuantitas makanan, (Berg, 1989). Di lain pihak sebagian
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
kekurangan gizi akan bisa diatasi apabila orang mengetahui bagaimana seharusnya
memanfaatkan sumber yang dimiliki, (Berg, 1989).
Banyak ibu yang tidak lagi menimbang berat badan anaknya secara rutin ke
Posyandu, akibatnya ibu tidak mengetahui bagaimana pertumbuhan anak yang
semestinya. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan ibu tentang bagaiman
cara memantau pertumbuhan anak melalui posyandu, karena kebanyakan ibu tidak
mengerti bagaimana mengetahui anak yang sehat melalui kartu menuju sehat
(KMS) (56,1 %), meskipun mereka mengetahui manfaat dari penimbangan anak
rutin tiap bulannya (88,8%). Kartu Menuju Sehat (KMS) yang akan
menggambarkan status gizi balita tersebut. Rangkaian kegiatan pemantauan tumbuh
kembang balita di posyandu meliputi pendaftaran, penimbangan, pencatatan (KMS)
dan penyuluhan sederhana (Departemen Kesehatan RI, 2002).
Dari data Puskesmas Medan Area, kita ketahui bahwa partisipasi masyarakat
untuk datang ke posyandu (D/S) sudah baik yaitu rata-rata 83,6 persen. Angka ini
menunjukkan sudah mencapai target yang diinginkan yaitu 80 persen. Tetapi
keadaan status gizi yang baik di Medan Area masih 63,6 persen. Hal ini karena
masih banyak faktor yang mempengaruhi status gizi anak, bukan hanya karena
masalah ibu tidak datang membawa anak ke posyandu.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
5.3. Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi
5.3.1. Pendidikan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi
Pendidikan ayah tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak, dimana
dari hasil uji dketahui bahwa nilai p = 0,395. Sedangkan tingkat pendidikan ibu
memiliki hubungan dengan status gizi (p = 0,011). Hal ini terjadi karena pada
dasarnya ibu yang berperan secara langsung dalam mengasuh anak dalam keluarga.
Tingkat pendidikan ibu dapat dikaitkan pada pola pikir ibu dalam mengasuh anak,
dimana ibu menyediakan pangan keluarga dengan kualitas dan kuantitas yang
cukup baik. Ibu yang berpendidikan tinggi akan lebih mudah menerima informasi
atau menerima pesan-pesan kesehatan dan gizi daripada ibu yang berpendidikan
lebih rendah.
Menurut Notoatmodjo (1997), pendidikan merupakan proses belajar pada diri
seseorang untuk melakukan perubahan. Seseorang dikatakan belajar, jika di dalam
dirinya terjadi perubahan, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak
mengerjakan menjadi dapat mengerjakan sesuatu. Menurut Ensiklopedia (2007),
pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk memberikan pengetahuan
serta ketrampilan. Pengertian ini menunujukkan bahwa pengetahuan penting untuk
mendukung suatu perubahan yang diinginkan. Menurut penelitian Kusumawati dan
Mutalazimah (2004), pendidikan mempunyai hubungan dengan berat bayi lahir,
dalam hal ini pendidikan ibu dimana nilai p adalah 0,0006. Penelitian Kusumawati
dan Mutalazimah ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kecamatan
Medan Area, bahwa pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan status gizi anak.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Dari hasil penelitian ditemukan diantara 42 ibu yang tingkat pendidikannya
tinggi, terdapat 47,6 persen ibu yang memiliki anak dengan status gizi baik.
Sedangkan dari 65 ibu yang tingkat pendidikan rendah terdapat terdapat 73,8
persen status gizi anaknya baik. Hal ini berarti anak yang berstatus gizi baik lebih
banyak ditemukan pada ibu yang tingkat pendidikannya rendah.
Hasil survey dilapangan didapat bahwa sebagian besar ibu yang memiliki
tingkat pendidikan rendah selalu berada di rumah. Hal ini menandakan bahwa ibu
yang tingkat pendidikan rendah memiliki waktu lebih banyak untuk merawat dan
memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain itu akan lebih cepat
tanggap terhadap setiap kondisi yang terjadi pada anaknya. Perhatian yang penuh
dan perawatan anak yang maksimal menjadikan status gizi anak menjadi lebih baik.
Dilain pihak ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi lebih banyak
berada di luar rumah dan waktu untuk memperhatikan anak menjadi lebih sedikit,
sehingga anak lebih sering bersama orang lain sebagai pengasuh. Selain itu, kurang
tanggap terhadap konidisi yang terjadi pada pertumbuhan dan perkembangan
anaknya. Keadaan tersebut mengakibatkan anak mengalami gangguan pertumbuhan
dan perkembangan terutama status gizinya. Kurangnya perhatian dan waktu
bersama anak membuat ibu kehilangan kendali dalam memantau pertumbuhan dan
perkembangan anak. Menurut Soekirman (2000) bahwa pola asuh yang tidak
memadai mempengaruhi dalam hal kedekatan dengan anak, memberi makan,
merawat, memberi kasih sayang dan menjaga kebersihan.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
5.3.2. Pekerjaan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi
Pekerjaan ayah tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak,
dimana p = 0,211, sedangkan pekerjaan ibu berhubungan dengan status gizi
anak, dimana p = 0,031. Hal ini terjadi karena ibu yang bekerja tidak dapat
mengasuh anaknya secara langsung, ibu tidak dapat menyediakan dan memberikan
makan pada anak. Pada ibu yang memiliki penghasilan tetap diketahui memiliki
anak yang status gizi tidak baik lebih besar (70%) dibandingkan anak yang
berstatus gizi tidak baik (30%).
Hasil survey di lapangan ditemukan bahwa ibu yang berpenghasilan tidak
tetap memiki anak status gizi baik dengan angka lebih tinggi (67%) dibandingkan
ibu berpenghasilan tetap (30%). Hal ini terjadi karena ibu yang memiliki
penghasilan tetap lebih banyak waktu diluar rumah dan bekerja dibandingkan ibu
yang penghasilannya tidak tetap. Dikarenakan ibu yang berpenghasilan tetap
kebanyakan bekerja sebagai karyawan swasta dengan rutinitas lebih banyak diluar
rumah, sehingga pola asuh anak lebih banyak dilakukan orang lain sebagai
pengasuhnya yang kemungkinan besar pengetahuan terhadap pola asuh yang baik
masih kurang. Sementara ibu yang berpenghasilan tidak tetap sebagian besar adalah
ibu rumah tangga yang kesehariannya hanya di rumah. Dengan demikian secara
langsung dapat merawat dan mengasuh anaknya sendiri, sehingga ibu dapat
memantau pertumbuhan dan perkembangan anaknya terutama status gizinya.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
5.3.3. Penghasilan dengan Status Gizi
Hasil penelitian menunjukan bahwa penghasilan tidak berhubungan dengan
status gizi anak, dimana nilai p = 0,294 (p > 0,05). Hal ini karena penghasilan rata-
rata di Kecamatan Medan Area hanya berkisar 1 (satu) juta rupiah, sedangkan yang
di bawah rata-rata ada 73,8 persen. Sebagian besar keluarga di Kecamatan Medan
Area mempunyai penghasilan yang homogen sehingga penghasilan tidak
mempengaruhi kepada status gizi anak.
Pendapatan dikatakan mempunyai hubungan dengan status gizi anak, menurut
yang tertulis dalam buku Berg (1989), anak-anak yang lebih banyak di dalam
keluarga yang mempunyai pendapatan yang sama dengan keluarga lain, maka
status gizi anak dalam keluarga yang mempunyai anggota yang lebih banyak akan
lebih rendah daripada status gizi anak dalam keluarga yang mempunyai anggota
lebih sedikit. Jumlah yang diberi makan akan lebih banyak, sementara pendapatan
tidak mencukupi. Pendapatan yang tidak mencukupi lebih bayak habis untuk
makanan. Menurut pernyataan dalam buku Soekirman (2000), setiap pertambahan
penghasilan akan menambah keragaman jenis bahan makanan yang dikonsumsi.
Tetapi dalam penelitian ini penghasilan tidak mempunyai hubungan dengan
status gizi anak karena rata-rata pendapatan keluarga sebanyak 1 (satu) juta rupiah,
rata-rata pendapatan seperti ini untuk ukuran hidup di kota sangat minim dan tidak
mencukupi untuk kebutuhan hidup satu keluarga. Pendapatan hanya dihabiskan
sebahagian besar untuk membeli makanan, sehingga untuk kelompok keluarga
yang mempunyai pendapatan diatas atau sama dengan 1 (satu) juta rupiah tidak
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
mempunyai perbedaan yang mencolok dengan yang dibawah rata-rata, sama-sama
mempunyai anak dengan status gizi tidak baik. Dimana 46,4 % anak dengan status
gizi tiedak baik berasal dari keluarga yang mempunyai pendapatan ≥ 1 (satu) juta
rupiah dan 32,9 % anak status gizi tidak baik berasal dari keluarga yang
mempunyai pendapatan dibawah 1 (satu) juta rupiah.
5.3.4. Tradisi/Kebiasaan dengan Status Gizi
Tradisi/kebiasaan tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak, dimana
nilai p = 0,408 atau p > 0,05. Tidak ada makanan yang dipantangkan untuk anak
dalam keluarga yang tinggal di Kecamatan Medan Area, sehingga tradisi/kebiasaan
tidak mempunyai hubungan dengan status gizi anak. Disamping itu hasil survey
dilapangan menunjukkan bahwa masyarakat Kecamatan Medan Area yang terdiri
dari beragam suku/etnis, namun secara tradisi/kebiasaan dalam pola makan ataupun
konsumsi yang diberikan kepada anak yang berkaitan dengan latar belakang budaya
suku/etnis masing-masing keluarga tersebut sudah tidak dilakukan.
Umumnya untuk masyarakat perkotaan atau masyarakat yang sudah tinggal
dalam satu wilayah yang sama mempunyai adat dan kebiasaan yang sama pula.
Adat dan kebiasaan yang berasal dari leluhur/suku karena proses waktu yang lama
akan merubah perilaku individu/keluarga dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan di tempat individu/keluarga tinggal, sehingga masyarakat di tempat
penelitian (Kecamatan Medan Area) mempunyai adat atau kebiasaan memberi
makan anak yang sama. Menurut Robson (1980) kebiasaan makan pada orang-
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
orang yang tinggal disuatu daerah yang sama biasanya tidak berbeda, kebiasaan
makan dibentuk dari sejak anak (usia muda) dan dalam waktu yang lama dan
dipengaruhi oleh ekologi (lingkungan).
5.3.5. Pengetahuan dengan Status Gizi
Pengetahuan ibu memiliki hubungan dengan status gizi anak, dimana
nilai p = 0,026 atau p < 0,05. Keadaan ini sejalan dengan penelitian Kusumawati
dan Mutalazimah (2004), dimana pengetahuan ibu mempunyai hubungan dengan
berat bayi lahir dimana nilai p adalah 0,014.
Pengetahuan mempengaruhi perilaku seseorang, karena pemahaman tentang
objek sudah diketahui, dalam konteks penelitian ini pengetahuan ibu tentang
kesehatan dan gizi sudah memberikan pemahaman untuk bertindak. Walaupun
sebagian besar ibu hanya mempunyai pengetahuan dengan tingkat sedang (40-
75%). Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan mendukung seseorang untuk
bertindak.
Dalam penelitian ini, pengetahuan ibu tentang makanan pada anak seperti,
mengetahui arti makanan seimbang, ibu-ibu lebih banyak mengetahui bahwa
makanan seimbang itu adalah makanan yang mengandung karbohidrat, protein dan
vitamin (71 %). Sedangkan makanan yang baik untuk anak menurut ibu adalah
makanan dengan ASI dan karbohidrat (65,4 %). Pemahaman ibu tentang makanan
dalam konteks ini dikatakan sedang jika mengacu kepada batasan dalam buku
Notoatmodjo (1997) dimana pengetahuan sedang antara 40-75 persen.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Pengetahuan ini akan mendukung ibu dalam merawat dan mengasuh anak termasuk
pemberian makan pada anak, sehingga akan berdampak kepada status gizi anak.
Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan merupakan respon tertutup yang belum
diekspresikan ke tindakan, dan belum dapat dilihat/diamati orang lain secara jelas.
Hasil penelitian diperoleh bahwa ibu yang pengetahuannya kurang baik
memiliki anak dengan status gizi baik lebih tinggi (69,4 %) dibandingkan ibu yang
pengetahuannya baik (40,9 %). Hal ini bisa saja terjadi, dikarenakan banyak faktor
yang mempengaruhi status gizi anak diantaranya faktor lingkungan, penyakit
infeksi dan lain sebagainya. Dimana dengan kondisi lingkungan di Kecamatan
Medan Erea yang dapat digolongkan kurang baik karena padatnya penduduk,
perumahan yang kurang sehat, kebersihan yang masih kurang dan lain sebagainya
menyebabkan anak mudah terserang berbagai macam penyakit termasuk penyakit
infeksi yang secara langsung mempengaruhi status gizi anak. Selain itu dilapangan
juga dijumpai ibu yang memiliki pengetahuan baik, namun pada prakteknya masih
kurang. hal ini dikarenakan anak diasuh oleh orang lain ataupun tingkat ekonomi
yang tidak memadai untuk mendukung tingkat pengetahuan yang baik tersebut.
Ibu-ibu yang memiliki pengetahuan lebih baik biasanya memiliki pendidikan
yang lebih tinggi, sedangkan ibu yang memiliki pendidikan tinggi lebih
mempunyai kesempatan untuk bekerja di luar rumah, sehingga pola asuh anak
dalam keluarga menurun, karena waktu ibu lebih banyak digunakan diluar rumah
daripada untuk mengasuh anak, hal ini dapat menyebabkan status gizi anak tidak
baik.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ikhwansyah (2004) di
Kecamatan Kertak Hanyar Kabupaten Banjar bahwa terdapatnya hubungan secara
bermakna (P < 0,005) antara pengetahuan ibu dengan status gizi anak balita,
(www.yahoo.com).
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta sesuai dengan tujuan
penelitian, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Tidak ada hubungan pendidikan ayah dengan status gizi anak (p = 0,395),
dimana pada kelompok status gizi anak yang baik tidak mempunyai
perbedaan antara ayah dengan pendidikan tinggi (67,1 %) dan pendidikan
rendah (56,8 %).
2. Pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan statu gizi anak (P = 0,011)
dengan arah hubungan yang negatif, dimana ibu yang berpendidikan rendah
mempunyai anak dengan status baik (73,8 %) lebih banyak dibandingkan
ibu yang berpendidikan tinggi (47,6 %).
3. Tidak ada hubungan pekerjaan ayah dengan status gizi anak (P = 0,211),
imana ayah mempunyai pekerjaan dengan penghasilan tetap dan tidak tetap
sama-sama memiliki anak dengan status gizi baik.
4. Pekerjaan ibu mempunyai hubungan dengan status gizi anak (P = 0,031),
dimana ibu yang bekerja lebih banyak di rumah (berpenghasilan tidak tetap)
mempunyai lebih banyak anak dengan status gizi baik (67,0 %) dari pada
ibu yang bekerja di luar ruamah (berpenghasilan tetap).
5. Penghasilan keluarga yang diatas atau sama dengan Rp.1.065.400,- maupun
dibawah Rp.1.065.400,- tidak mempunyai hubungan dengan status gizi
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
anak, dimana untuk kategori penghasilan keluarga ini mempunyai anak
dengan status gizi baik yang sama-sama banyak.
6. Tidak ada hubungan antara tadisi/kebiasaan dengan status gizi anak (p =
0,408), dimana keluarga yang tidak mempunyai tradisi makanan pantangan
mempunyai 65,9 % anak dengan status gizi baik, demikian juga dengan
keluarga yang mempunyai tradisi makanan mempunyai anak dengan status
gizi baik yang tinggi (52,6 %).
7. Pengetahuan ibu mempunyai hubungan dengan status gizi anak (p = 0,026)
dengan arah hubungan yang negatif, dimana ibu yang yangb mempunyai
pengetahuan kurang baik memiliki anak dengan status gizi baik (69,4 %)
lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang berpengetahuan baik (40,9%).
6.2. Saran
Berdasarkan kesimpiulan diajukan beberapa saran sebagai bahan
pertimbangan dalam pemecahan masalah sehingga dapat meningkatkan kulitas
anak balita khususnya anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan area Kota
Medan, adapun saran tersebut sebagai berikut :
1. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan, bahwa :
a. Dalam menyusun kegiatan perencanaan pada bidang kesehatan,
khususnya kegiatan upaya peningkatan status gizi masyarakat agar
mempertimbangkan faktor sosial budaya.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
b. Secara berkesinambungan agar melakukan supervisi terhadap
puskesmas untuk pemantauan kinerja petugas puskesmas dalam
meningkatkan status gizi balita pada masing-masing keluarga.
c. Untuk memberikan penyegaran kepada petugas puskesmas melalui
berbagai kursus dan pelatihan peningkatan status gizi balita, yang
diharapkan nantinya dapat memberikan bimbingan maupun
penyampaian informasi kepada masyarakat dalam kegiatan pengasuhan,
khususnya para ibu yang memiliki balita.
d. Secara berkala memberikan penghargaan kepada petugas puskesmas
yang berprestasi dalam upaya peningkatan status gizi balita, sehingga
peran petugas tersebut dalam pendampingan kepada para ibu yang
memiliki balita dapat lebih efektif.
2. Disarankan kepada puskesmas :
a. Agar kepala puskesmas lebih meningkatkan kegiatan bagi tenaga gizi
untuk membina para kader posyandu dalam pemantauan status gizi
balita.
b. Agar petugas gizi memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang
pentingnya meningkatkan status gizi, khususnya tentang hubungan
faktor sosial budaya (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan,
tradisi/kebiasaan makan) dengan status gizi anak, khususnya kepada
para ibu.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
c. Agar petugas gizi memberikan penyuluhan kepada masyarakat dalam
peningkatan pola asuh yang baik sehingga dapat meningkatkan status
gizi anak-anak mereka.
d. Agar petugas gizi membekali para kader posyandu dengan tehnik-tehnik
komunikasi pada masyarakat, utamanya dalam mendekati etnis china,
sehingga partisipasi dan kemauan dari etnis china dalam kegiatan
pemantauan kesehatan balita dapat ditingkatkan.
3. Disaran kepada Lembaga Pemerhati Kesehatan dan Masalah Gizi agar lebih
meningkatkan kegiatanya dalam mendukung penanggulangan permasalahan
gizi, khususnya bagi balita.
4. Disarankan kepada Pemerintah Kota Medan dan masyarakat untuk
bekerjasama dalam meningkatkan sarana prasarana yang dapat
meningkatkan status gizi balita seperti pengadaan Tempat Penitipan Anak
(TPA) yang nantinya diharapkan dapat mendukung dalam memperhatikan
kesehatan dan status gizi anak.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Ahmadi, Abu. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Alfonsine. 1985. Manual Pelayanan GiziUntuk Karya Kesehatan. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. Ancok, Djamaluddin. 1992. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Yogyakarta:
Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta. Berg, A., 1989. Peranan Gizi dalam Pembangunan, Jakarta: Penerbit CV Rajawali. Departemen Kesehatan RI. 1996. Program Kelangsungan Hidup dan
Perkembangan Anak Ditinjau Dari Peningkatan Penggunaan ASI dan Pembinaan Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Dep Kes RI.
Departemen Kesehatan RI. 1994. Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam
Bidang Kesehatan 1994/95 – 1998/99. Jakarta: Dep Kes RI. Departemen Kesehatan RI. 1985. Pedoman Bina Tumbuh Kembang Anak. Jakarta:
Dep Kes RI. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. Program Keluarga Sehat. Djiteng Roedjito. 1987. Kajian Perencanaan Gizi. Bogor: Institut Pertanian. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 1992. Pedoman Pemantauan Status Gizi Melalui
Posyandu. Jakarta. Fauzi Muzaham. 1995. Sosiologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press. Foster, George, M & Barbara G, Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan,
Penerjemah : Priyanti S. Pakan dan Meutia Swasono, Penerbit UI Press, Jakarta.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Helman, Cecil, 1984, Culture, Health, and Illness, Bristol: John Wright & Sons, Ltd.
Ikhwansyah, 2004. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Balita di Kecamatan Kertak Hanyar Kabupaten Banajar, WWW.yahoo.com 26 Maret 2008
International Food Policy Research Institute. 1997. Care and Nutrition Concepts
and Measurement. Washington DC. Khumaidi, M. 1994. Gizi Masyarakat. Jakarta: Gunung Mulia. Koentjaraningrat. 1993. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia. Kusuma, Yuli dan Mutalazimah. 2004. Hubungan Pendidikan Dan Pengatahuan
Gizi Ibu dengan Berat Badan Bayi Lahir di RSUD DR. Moewardi Surakarta. Surakarta. INFOKES, 8(1). www.yahoo.com 18 desember.
Lanner, Lenore J. & Jean-Pierre Habiet. 1989, Concepts about Infants Healt,
Growth and Meaning, A. Comparison Between Nutritional Scientist and Madurese Mothers, Social Science Medicine, Vol. 29 (1)
Lastoro, Lana. 2006. Belajar menulis Sejarah sosial Masyarakat. SAV PUSKAT
Sinduharjo. Sleman. www.yahoo.com. 4 Januari 2008 Lie Goan Hong. 1995. Pola Makanan Di Indonesia, Aspek Kesehatan dan Gizi
Anak Balita. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lisdiana. 1997. Waspada Terhadap Kelebihan dan Kekurangan Gizi. Bandar
Lampung: Trubus Agriwidya. Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mundy, Pahil, A. 1995. Indegenous Communication and Indigeneos Knowledge.
The Culture Dimention of Development Indigenous Knowledge System. (D.M. Warren L, J. Slikkerveer & D. Brokensha, ed). Intermediate Tecnology Publication.
Notoatmojo. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan.
Yogyakarta: Andi Offset. Rakhmat Jalaluddin, 1991, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Pelto, Gretel, 1980, Anthropological Contributions to Nutrition Education Research, Journal of Nutrition Education, Vol. 13 (1): 2 – 8.
Pemerintah R.I. dan WHO, 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001 – 2005, Jakarta.
Persagi. 1990. Gizi Indonesia. Jakarta. Sagir. 1992. Kesempatan Kerja Ketahanan Nasional dan Pembangunan Manusia
Seutuhnya. Bandung: Alumni. Santoso, dkk. 1999. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta. Santoso, dkk. 1978. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Akademi Gizi. Sastroasmoro, Sdigdo dan sofyan Ismail, 1995. Dasar-dasar metodologi
Penenlitian Klinis. Bagian Ilimu Kesehatan Anak fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . Jakarta : Banarupa Aksara.
Shadily, Hasan. 1984. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina
Aksara. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Untuk Keluarga dan Masyarakat.
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Soeleman, Munandar. 1992. Ilmu Budaya Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial.
Bandung: Eresco. Soetjiningsih., 1995. Tumbuh Kembang Anak, Jakarta: EGC Kedokteran. Solihin, Pudjiati. 1993. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: FKUI. Suhardjo. 1986. Pangan, Gizi, dan Pertanian. UI Press, Jakarta. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Jakarta: Depdikbud Pendidikan Tinggi Pusat. Sumaatmadja, Nursid. 1986. Perspektif Studi Sosial. Bandung: Alumni. Sugiyono. 1992. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Suparni. 1988. Tata Boga, Praktek Menyusun Menu Untuk Keluarga. Solo: Tiga
Serangkai. Widagdho, Djoko. 1993. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Wikipedia Indonesia. 2007. Ensiklopedia Bebas Berbahasa Pendidikan.
www.yahoo.com. 18 Desember 2007. Winarno. 1990. Gizi dan Makanan Bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. Robson, J.R.K, 1980. Food, Ecology and Cultural, Readings in the Anthropology of
Dictory Practices. Newyork : Gordon and Breach Science Publisher.
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Lampiran 1
KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 –
24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN
NOMOR RESPONDEN :
A. NAMA PEWAWANCARA :…………………………………… B. TANGGAL WAWANCARA :…………………………………… C. WAKTU : PUKUL :……………….s/d……………….. Indentitas Responden
1. Tanggal Wawancara :……………………………………………. 2. Nama :……………………………………………. 3.Agama / Suku :……………………………………………. 4. Alamat :……………………………………………. Usia Anak Balita 1. Berapakah usia anak ibu sekarang ? Sebutkan ..................bulan 2. Tanggal lahir : ......../.........../........... (dd/mm/yy) Pendidikan Oang Tua Pendidikan orang tua yang ditamatkan pada jenjang pendidikan terakhir :
Pendidikan Ayah Ibu 1. SD 2. SLTP 3. SLTA 4. Akad/S1
Pekerjaan Orang Tua
Pekerjaan Ayah Ibu 1. PNS/TNI/Polri 2. Karyawan Swasta 3. Buruh/Pekerja lepas 4. Ibu Rumah Tangga 5. Wiraswasta 6. ......................................
Penghasilan Keluarga Penghasilan keluarga yang didapat dalam sebulan, bersumber dari pekerjaan ayah dan ibu : Rp...................................................................... Tradisi/Kepercayaan 1. Apakah anak ibu mempunyai makanan yang tidak boleh dimakan/dipantangkan ? a. Ya b. Tidak
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
2. Jika ya, makanan apa yang tidak boleh dimakan/dipantangkan pada anak ibu ? (sebutkan) ............................................................................................................................... 3. Kenapa makanan tersebut dipantangkan pada anak ibu ? a. alasan kesehatan : (sebutkan)............................................................................................................................. b. alasan dari leluhur : (sebutkan) .................................................................................................................................. c. alasan lain : (sebutkan) .................................................................................................................................. Suku Orang Tua
Suku Ayah Ibu 1. Batak Toba 2. Batak Mandailing 3. Batak Karo 4. Jawa 5. Melayu 6. Minang 7. Nias 8. Sunda 9. lain-lain
...........................
Pengetahuan 1. Apakah anda tahu apa arti anak yang sehat ?
a. Anak yang selalu naik berat badannya (2) b. Anak yang tidak pernah sakit (1) c. tidak tahu (0)
2. Bagaimana anda mengetahui anak yang sehat melalui KMS ? a. anak yang naik berat badannya dalam salah satu pita warna (2) b. anak yang naik berat badannya dan berpindah pada pita warna di atasnya (1) c. tidak tahu (0)
3. Apakah ibu tahu manfaat dari melakukan penimbangan secara rutin pada anak ? a. mengetahui secara dini setiap ada gangguan pertumbuhan pada anak (2) b. dapat mengetahui dengan cepat kepintaran anak (1) c. tidak tahu (0)
4. Apakah ibu tahu makanan yang baik pada bayi ? a. ASI saja sampai usia anak 6 bulan (2) b. ASI dengan makanan lumat lainnya (1) c. tidak tahu (0)
5. Apakah ibu tahu kapan makanan boleh pertama kali dikenalkan pada bayi ? a. pada usia bayi setelah 6 bulan (2) b. pada usia bayi sebelum 6 bulan (1) c. tidak tahu (0)
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
6. Kapan anak ibu seharusnya dihentikan ASI (sapih) ? a. sampai anak berusia 24 bulan (2) b. sampai anak berhenti sendiri (1) c. tidak tahu (0) 7. Apakah ibu tahu arti dari anak BGM ?
a. anak yang berat badannya di bawah garis merah (2) b. anak dengan status gizi buruk (1) c. tidak tahu
8. Apakah ibu tahu apa yang dilakukan jika anak BGM ?
a. membawa anak ke puskesmas dan minta nasihat yang harus dilakukan pada anak (2) b. memberi makan pada anak sesering mungkin tanpa membawa ke puskesmas (1) c. tidak tahu (0)
9. Apa ibu tahu tanda-tanda anak kekurangan makan ? a. anak badannya kurus dan beratnya tidak naik (2) b. anak rewel dan tidak ceria (1) c. tidak tahu (0)
10. Manfaat ASI adalah :
a. meningkatkan kekebalan tubuh bayi, agar tidak mudah sakit Ya (1) Tidak (0) b. menjadikan hubungan ibu dan bayi semakin erat Ya (1) Tidak (0) c. tidak tahu (0)
11. Makanan yang baik untuk anak ibu adalah : a. ASI dan makanan lain yang mengandung cukup zat gizi seimbang (2) b. ASI dan makanan lain yang hanya mengandung kalori dan protein (1) c. Tidak tahu (0)
12. Menurut ibu apakah harus ada makanan yang dipantangkan bagi anak kecuali makanan yang terlalu merangsang (pedas dan banyak bumbu) ?
a. Tidak (2) b. Ya (1) c. Tidak tahu (0)
13. Apakah arti makanan yang megandung zat gizi seimbang ? a. mengandung zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur dalam porsi yang cukup (2) b. mengandung zat karbohidrat, protein dan vitamin (1) c. tidak tahu
14. Kapan sebaiknya frekuensi ASI diberikan dalam sehari ? a. sekehendak hati anak, kapan saja anak mau harus diberikan (2) b. 3 kali saja dalam sehari (1) c. tidak tahu (0)
15. Menurut ibu apa manfaat dari menjaga kebersihan diri dan lingkungan anak ? a. agar anak tetap sehat dan baik pertumbuhan dan perkembangannya (2) b. agar anak tidak mudah sakit dan mau makan (1) c. tidak tahu
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Hasil penimbangan Berat badan I : ......................kg Berat badan II : ......................kg Rata-rata berat badan : Berat badan I + II = ...................kg 2
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Lampiran 4
Uji Validitas Pengetahuan Correlations
Total
Pengetahuan Pengetahuan1 Pearson Correlation .778** Sig. (2-tailed) .001 N 15 Pengetahuan 2 Pearson Correlation .868** Sig. (2-tailed) .000 N 15 Pengetahuan 3 Pearson Correlation .652* Sig. (2-tailed) .011 N 15 Pengetahuan 4 Pearson Correlation .773** Sig. (2-tailed) .001 N 15 Pengetahuan 5 Pearson Correlation .656* Sig. (2-tailed) .011 N 15 Pengetahuan 6 Pearson Correlation .778** Sig. (2-tailed) .001 N 15 Pengetahuan 7 Pearson Correlation .925** Sig. (2-tailed) .000 N 15 Pengetahuan 8 Pearson Correlation .638* Sig. (2-tailed) .010 N 15
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Total
Pengetahuan Pengetahuan 9 Pearson Correlation .571* Sig. (2-tailed) .029 N 15 Pengetahuan 10 Pearson Correlation .652* Sig. (2-tailed) .011 N 15 Pengetahuan 11 Pearson Correlation .574* Sig. (2-tailed) .025 N 15 Pengetahuan 12 Pearson Correlation .638* Sig. (2-tailed) .010 N 15 Pengetahuan 13 Pearson Correlation .516* Sig. (2-tailed) .049 N 15 Pengetahuan 14 Pearson Correlation .515* Sig. (2-tailed) .048 N 15 Pengetahuan 15 Pearson Correlation .516* Sig. (2-tailed) .049 N 15 Total Pengetahuan
Pearson Correlation 1.000
Sig. (2-tailed) . N 15
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Reliability Pengetahuan Case Processing Summary N % Cases Valid 15 100.0 Excluded(
a) 0 .0
Total 15 100.0a Listwise deletion based on all
variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.678 15 Item Statistics
Mean Std.
Deviation N Pengetahuan 1 1.67 .488 15
Pengetahuan 2 2.40 .737 15
Pengetahuan 3 1.20 .561 15
Pengetahuan 4 1.67 .488 15
Pengetahuan 5 1.20 .414 15
Pengetahuan 6 1.67 .488 15
Pengetahuan 7 2.67 .724 15
Pengetahuan 8 2.07 .799 15
Pengetahuan 9 1.87 .352 15
Pengetahuan 10 2.53 .302 15
Pengetahuan 11 1.73 .458 15
Pengetahuan 12 1.20 .561 15
Pengetahuan 13 2.00 .378 15
Pengetahuan 14 1.27 .594 15
Pengetahuan 15 1.60 .507 15
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item
Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if
Item Deleted
Pengetahuan 1 25.07 17.210 -.271 .716
Pengetahuan 2 24.33 11.667 .823 .573
Pengetahuan 3 25.53 15.124 .210 .672
Pengetahuan 4 25.07 13.495 .731 .617
Pengetahuan 5 25.53 15.981 .060 .684
Pengetahuan 6 25.07 15.067 .277 .665
Pengetahuan 7 24.07 11.495 .883 .564
Pengetahuan 8 24.67 13.238 .426 .641
Pengetahuan 9 24.87 16.981 -.259 .704
Pengetahuan 10 24.20 14.029 .064 .746
Pengetahuan 11 25.00 14.143 .581 .636
Pengetahuan 12 25.53 15.838 .045 .690
Pengetahuan 13 24.73 14.781 .492 .650
Pengetahuan 14 25.47 14.981 .222 .671
Pengetahuan 15 25.13 14.552 .399 .652
Scale Statistics
Mean Variance Std.
Deviation N of
Items 26.73 16.352 4.044 15