037012007

108
HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007 TESIS Oleh HENDRA YUDI 037 012 007/AKK SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Upload: rierhiezbgt

Post on 04-Dec-2015

222 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 037012007

HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN

AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007

TESIS

Oleh

HENDRA YUDI

037 012 007/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 2: 037012007

HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN

AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

HENDRA YUDI

037 012 007/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 3: 037012007

Judul Tesis : HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007

Nama Mahasiswa : Hendra Yudi Nomor Pokok : 037 012 007 Program Studi : Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Badaruddin, MSi) Ketua

(Dr. Sutarman, MSc) (Ir. Etti Sudaryati, MKM) Anggota Anggota Ketua Program Studi, Direktur, (Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc.) Tanggal Lulus : 12 Maret 2008

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 4: 037012007

Telah diuji Pada tanggal : 12 Maret 2008 PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, MSi

Anggota : 1. Dr. Sutarman, MSc

2. Ir. Etty Sudaryati, MKM

3. dr. Ria Masniari Lubis, MSi

4. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 5: 037012007

PERNYATAAN

HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN

MEDAN AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar Kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Maret 2008

( Hendra Yudi )

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 6: 037012007

ABSTRAK

Anak Indonesia merupakan generasi penerus bangsa dan sebagai modal pembangunan. Karena itu, sudah sewajarnya perlu adanya upaya peningkatan kualitas manusia yang dimulai sejak dalam kandungan dari keluarga. Pentingnya perhatian terhadap gizi pada balita menyebabkan orang tua harus lebih mengerti dalam menyusun menu keluarga agar memenuhi standar gizi yang memadai. Faktor sosial budaya sangat berpengaruh pada perawatan anak dalam keluarga sehingga berdampak pada status kesehatan dan satatus gizi balita. Masalah gizi balita di kota Medan dari hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2006 adalah 23,8 persen gizi kurang, 9 persen gizi buruk dan 2 persen gizi lebih. Pada Kecamatan Medan Area masih dijumpai kasus gizi kurang, dengan keadaan masyarakat yang heterogen.

Berdasarkan fakta yang ada maka dilakukan survei dengan disain Cross Sectional Study, yaitu suatu pendekatan yang sifatnya sesaat pada suatu waktu dan tidak diikuti terus menerus dalam kurun waktu tertentu di Kecamatan Medan Area. Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 6-24 bulan yang berasal dari keluarga yang tinggal dalam wilayah kecamatan Medan Area yang berjumlah 2960 orang, dengan sampel sebanyak 107 keluarga, dimana masing-masing sampel tersebut diwakili oleh ibu rumah tangga sebagai responden penelitian. Data yang diperoleh melalui wawancara yang berpedoman pada kuesioner yang telah disiapkan dan pengukuran status gizi (BB/U) dengan menggunakan timbangan digital. Hasil pengumpulan data, menunjukan dimana hasil uji kai kuadrat diketahui bahwa pendidikan ibu (p=0,011), pekerjaan ibu (p=0,031) dan pengetahuan ibu (p=0,026) memiliki hubungan dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Sedangkan pendidikan ayah (p=0,395), pekerjaan ayah (p=0,211), penghasilan keluarga (p=0,294) dan tradisi/kebiasaan (p=408) tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Dari perhitungan yang didapat berdasarkan penelitian tersebut, maka terlihat bahwa masih terdapat masalah gizi yang tidak baik yang disebabkan kurangnya pengetahuan tetang kesehatan dan gizi, untuk itu disarankan kepada petugas puskesmas dan posyandu untuk meningkatkan pelaksanaan pemantauan pertumbuhan balita dan meningkatkan penyuluhan dalam memberikan informasi kepada masyarakat tentang kesehatan dan gizi, sehingga informasi tersebut dapat dipahami oleh masyarakat khususnya kaum ibu sebagai orang yang berhubungan langsung terhadap pertumbuhan status gizi balita. Kata Kunci : Faktor Sosial Budaya, Status Gizi, Anak Usia 6 -24 bulan.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 7: 037012007

ABSTRACT

The children of Indonesia are the generation responsible for continuing the national aspiration and development. Therefore, their family needs to attempt to improve their quality even when they are still being carried by their respective mothers. The importance of paying attention to the nutrient in children under five years old requires their parents to more understand the family menu arrangement in order to meet the adequate standard of nutrient. The sicio-cultural factor is very dominant in treating children in a family that it brings an impact to the health status and nutrient status of children of 6 – 24 months old. Based on the result of Pemantauan Status Gizi (Nutrient Status Monitoring) done by the Health Service of Sumatera Utara Province in 2006, the nutrient problem in children of 6 – 24 months old in the city of Medan was children with less nutrients (23,8%), poor nutrient (9%), and excessive nutrient (2%). A case of less nutrient and heterogeneous community is still found in Medan Area sub district. The population of this survey study with cross-sectional design is 2960 children of 6 – 24 months old originally from the families living in Medan Area sub district and 107 children were selected as the samples for this study. Each sample was represented by a housewife as a respondent for this study. The data for this study were obtained through interviewing the respondents based on the questionnaires distributed to them and the nutrient status (Body Weight/Age) of the children was measured through digital weighing scale. The result of the chi-square test shows that mothers` education (p = 0.011), mothers` occupation (p = 0.031), and mothers` knowledge(p = 0.026) have relationship with the nutrient status of the children of 6 – 24 months old. Fathers` education (p =0.395), fathers` occupation (p = 0.211), family income (p = 0.294) and tradition/belief (p = 0.408) do not have any relationship with the nutrient status of the children of 6 – 24 months old. This result of this study reveals that the problem of poor nutrient caused by the less knowledge on health and nutrient still exists, therefore, it is suggested that the officer/ personnel of puskesmas (Community Health Center) and posyandu (Integrated Service Post) improve the implementation and monitoring of the growth of children of 6 – 24 months old and increase the number of extension in providing the community with the information on health and nutrient that the information can be well understood by the community especially the mothers who are directly related to the growing process of nutrient status of children of 6 – 24 months old. Keywords: Sociocultural Factor, Nutrient status, Children of 6 – 24 Months Old.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 8: 037012007

KATA PENGANTAR

Sebelum dan sesudahnya penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah

SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah penulis

dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ” Hubungan Faktor Sosial Budaya

Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan di Kecamatan Medan Area Kota

Medan Tahun 2007 ”

Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari

berbagai pihak dan oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih

kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing

serta Bapak Dr. Sutarman, MSc dan Ibu Ir. Etti Sudaryati, MKM selaku Anggota

Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan fikiran dalam

membimbing mulai dari penyusunan proposal hingga selesai penulisan tesis ini,

demikian juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ibu dr. Ria Masniari Lubis,

MSi dan Ibu Dra. Jumirah, Apt. M.Kes atas kesediaan waktu, tenaga dan fikiran

sebagai Tim penguji tesis ini. Disamping itu penulis menyampaikan rasa terima

kasih kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, DSAK, selaku Rektor USU.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

USU.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 9: 037012007

3. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS sebagai Ketua Program Studi Administrasi

dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana USU.

4. Ibu Dr. Dra. Ida Yustina, MSi selaku Sekretaris Program Studi Administrasi

dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana USU.

5. Kapala Dinas Kesehatan dan Kepala Balitbang Kota Medan beserta jajarannya

yang telah memberi izin dan membantu penulis dalam melaksanakan penelitian

ini.

6. Pegawai puskesmas dan masyarakat di Kecamatan Medan Area Kota Medan

dan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.

7. Seluruh Staf Dosen Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Pascasarjana USU.

8. Rekan-rekan Mahasiswa Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara tahun 2003 serta semua pihak yang telah

memberikan sumbangan pemikiran dan dorongan dalam penulisan tesis ini.

Demikian juga kepada Alm. Ayahanda tercinta Misdi Haryanto dan Ibunda

tercinta Musiyah serta kepada Istri tercinta Masnura dan ketiga putera tersayang

dambaan hati Mhd. Ihsan Habwandi, Chaidir Ali Habwandi dan Mhd. Iqbal

Habwandi yang telah banyak membantu dalam hal memahami, menghibur dan mau

mengerti, memberikan dorongan moril maupun materil mulai dari mengikuti

pendidikan hingga penyelesaian tesis ini.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 10: 037012007

Untuk itu semua, penulis tidak dapat membalasnya semoga Allah SWT,

Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua bantuannya dan penulis

berharap tesis ini bermanfaat bagi pengambil keputusan dibidang kesehatan dan

pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Maret 2008

Penulis

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 11: 037012007

RIWAYAT HIDUP

Nama Hendra Yudi dilahirkan di Kelumpang, dengan Ayah bernama

Misdi Hariyanto dan Ibu bernama Musiyah, merupakan anak kedua dari sembilan

bersaudara, menganut agama Islam. Telah menikah dengan Masnura dan telah

dikarunia 3 (tiga) orang putera yang masing-masing bernama Mhd Ihsan

Habwandi, Chaidir Ali Habwandi dan Mhd. Iqbal Habwandi, sekarang menetap di

Jalan Pukat Banting IV No. 46-B Kelurahan Bantan Kecamatan Medang Tembung

Kota Medan Provinsi Sumatera Utara.

Pendidikan dimulai dari SD Negeri 064021 Helvetia Medan pada tahun

1974 - 1980, selanjutnya ke SMTP MTs Swasta Perguruan NU Sekip Medan pada

tahun 1980 - 1983, kemudian mengikuti sekolah keguruan pada PGAN Tanjung

Pura pada tahun 1983 – 1986, setelah itu melanjutkan ke Perguruan Tinggi IAIN

Sunan Gunung Djati Bandung pada tahun 1987 – 1992 dan pada Tahun 2003 –

2008 mengikuti studi sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.

Sebelum menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Daerah

Provinsi Sumatera Utara, pernah mengajar pada Perguruan Swasta Alwasliyah

Binjai pada tahun 1992 – 1994. pada tahun 1994 – 2004 diangkat menjadi PNS

sebagai staf pada Subbid Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat pada Bidang

Sosial Budaya Bappeda Provinsi Sumatera Utara dan sekarang menjabat Kasubbid

Kependudukan, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Perempuan pada Bidang Sosial

Budaya Bappeda Provinsi Sumatera Utara.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 12: 037012007

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ....................... ................................................................................... vi

ABSTRACT ....................... .................................................................................. vii

KATA PENGANTAR ....................... .................................................................. viii

RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. xi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii

DAFTAR TABEL ....................... ......................................................................... xvi

DAFTAR GAMBAR ....................... .................................................................... xix

DAFTAR LAMPIRAN ...................... .................................................................. xx

BAB 1 : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1

1.2. Perumusan Masalah ................................................................. 5

1.3. Tujuan Penelitian .................................................................... 5

1.4. Hipotesis Penelitian ................................................................ 5

1.5. Manfaat Penelitian ................................................................. 6

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sosial Budaya ........................................................ 7

2.2 Indikator Sosial Budaya ........................................................... 10

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 13: 037012007

2.3 Indikator Tingkat Kehidupan Dengan Meninjau Aspek

Sosial Budaya ......................................................................... 14

2.4 Status Gizi Balita ..................................................................... 18

2.5 Penilaian Status Gizi Balita ................................................... 24

2.6 Landasan Teoritis ..................................................................... 27

2.7 Kerangka Konsep...................................................................... 31

BAB 3 : METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ...................................................................... 33

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 33

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

............................................... 33

3.4 Metode Pengumpulan Data ...................................................... 35

3.5 Defenisi Operasional Variabel

............................................................................................................... 37

3.6 Metode Pengukuran ............................................................... 39

3.7 Metode Analisis Data ............................................................... 40

BAB 4 : HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ........................................................... 41

4.1.1. Geografi Medan Area ............................................................ 41

4.1.2. Gambaran Kependudukan...................................................... 42

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 14: 037012007

4.1.3. Gambaran Mata Pencaharian ................................................. 43

4.1.4. Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita .................. 44

4.1.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu ....... 44

4.2. Gambaran Faktor Siosial Budaya .................................................... 45

4.2.1. Pendidikan ............................................................................. 45

4.2.2. Pekerjaan................................................................................ 48

4.2.3. penghasilan ............................................................................ 49

4.2.4. Suku/Etnis.............................................................................. 49

4.2.5. Tradisi/Kebiasaan .................................................................. 51

4.2.6. Pengetahuan ........................................................................... 53

4.3. Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan ................................................ 53

4.4. Tabulasi Silang Status Gizi dan Faktor Sosial Budaya.................... 55

BAB 5 : PEMBAHASAN............................................................................. 60

5.1. Sosial Budaya Ibu dan Ayah ........................................................... 60

5.2. Status Gizi Anak ............................................................................. 62

5.3. Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi ...................... 63

5.3.1. Pendidikan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi ...................... 63

5.3.2. Pekerjaan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi ......................... 65

5.3.3. Penghasilan dengan Status Gizi ............................................ 66

5.3.4. Tradisi/kebiasaan dengan Status Gizi .......................................... 68

5.3.5. Pengetahuan dengan Status Gizi .................................................. 69

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 15: 037012007

BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN

................................................................................................................. 71

6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 71

6.2 Saran ................................................................................................ 72

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 75

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 16: 037012007

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada 15 Respnden ............... 37

3.2. Definisi Operasional Variabel, Alat Ukur dan Skala ................... 38

4.1. Keadaan Geografis Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006 ……....………………….. 41

4.2. Distribusi Penduduk berdasarkan Jumlah Keluarga dan

Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006 ………………………….. 42

4.3. Distribusi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian di

Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006 ................................................................................... 43

4.4. Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita di Wilayah

Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006 ............ 44 4.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu

di Wilyah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2007.................................................................................... 45

4.6. Distribusi Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan Medan

Area Kota Medan Tahun 2007 .................................................... 46 4.7. Distribusi Katagori Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan

Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................ 46 4.8. Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan Medan Area

Kota Medan Tahun 2007 ............................................................. 47 4.9. Distribusi Katagori Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan

Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................ 47

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 17: 037012007

4.10. Distribusi Kategori Pekerjaan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 .................................................... 48

4.11. Distribusi Katagori Pekerjaan Ibu di Kecamatan Medan

Area Kota Medan Tahun 2007 .................................................... 48

4.12. Distribusi Kategori Penghasilan Keluarga di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................ 49

4.13. Distribusi Suku/Etnis Ayah di Kecamatan Medan Area

Kota Medan Tahun 2007 ............................................................. 50 4.14. Distribusi /Etnis Ibu di Kecamatan Medan Area

Kota Medan Tahun 2007 ............................................................. 50 4.15. Distribusi Tradisi/Kebiasaan di Kecamatan Medan Area

Kota Medan Tahun 2007 ............................................................. 51 4.16. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ayah dengan Tradisi/

Kebiasaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007. 51 4.17. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ibu dengan Tradisi/

Kebiasaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007. 52 4.18. Distribusi Kategori Pengetahuan Ibu di Kecamatan Medan

Area Kota Medan Tahun 2007 .................................................... 53 4.19. Distribusi Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan di Kecamatan

Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................ 54 4.20. Distribusi Kategori Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan di

Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ..................... 54 4.21. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tingkat Pendidikan Ibu

dan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007.. 55 4.22. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tingkat Pekerjaan Ibu

dan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007.. 56 4.23. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Penghasilan Keluarga

di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ................ 57

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 18: 037012007

4.24. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tradisi/Kepercayaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ................. 58

4.25. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Pengetahuan di Kecamatan

Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ........................................ 58

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 19: 037012007

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Model Interelasi Tumbuh Kemban Anak ( Unicef) ….………... 24

2.2 Kurva klasifikasa Z score (Standar Deviasi)

Status Gizi (NHCS-WHO) …………………………………….. 28

2.3. Penyebab Gizi Kurang (disesuaikan dari bagan UNICEF (1998) The State of the World's Children 1998. Oxford Univ. Press)……………………………………………………...... 32

2.4. Kerangka Konsep Penelitian ………………………………........ 34

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 20: 037012007

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan

Status Gizi Anak Usia 6-24 bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan ................................................................................... 79

2. Master Data Status Gizi Anak Usia-24 Bulan di Kecamatan Medan

Area Kota Medan .......................................................................... 83

3. Tabel Katagori Status Gizi Berdasarkan Indeks Berat Badan Menurut umur (BB/U) Anak Laki-laki dan Perempuan Usia 0-60 Bulan ............................................................................. 89

4. Uji Validitas dan Reliabilitas serta Hasil Uji Statistik Penelitian

Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan .................... 93

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 21: 037012007

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Upaya peningkatan kualitas manusia merupakan suatu proses yang panjang

dan berkesinambungan, harus dimulai sejak dini, yaitu sejak manusia masih dalam

kandungan. Mempersiapkan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sehat,

cerdas, terampil, produktif dan kreatif, yang akan meneruskan pembangunan

bangsa harus lebih memperhatikan aspek tumbuh kembang balita, sehingga dalam

jangka panjang tercipta kesehatan bangsa Indonesia secara nyata (DepKes RI,

1996).

Mempersiapkan kualitas balita dimulai dari keluarga, sebab keluarga

mempunyai berbagai fungsi di dalam masyarakat, antara lain sebagai kesatuan unit

ekonomi yang bertanggungjawab terhadap anggota keluarganya. Disamping fungsi

tersebut salah satu fungsi keluarga yang paling menonjol adalah sebagai pemelihara

dan sebagai wadah sosialisasi bagi generasi baru. Perlu diingat bahwa keluarga

harus dilihat sebagai suatu sistem interaksi antar individu yang secara timbal balik

akan mensosialisasikan dan saling mengatur para anggotanya (Yuliani, 2004).

Pentingnya perhatian terhadap gizi pada balita menyebabkan orangtua harus

lebih mengerti dalam menyusun menu keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi

yang seimbang. Pengetahuan orangtua tentang gizi akan sangat berpengaruh pada

kebiasaan makan keluarga. Oleh karena itu, pemerintah melalui Dinas Kesehatan

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 22: 037012007

memberikan penyuluhan program keluarga sehat dengan tujuan membantu para

keluarga dan masyarakat bertanggungjawab terhadap kesehatan diri sendiri,

membantu pelayanan kesehatan dalam masyarakat, baik yang dikelola pemerintah

maupun swasta untuk menyediakan informasi dan pelayanan kesehatan yang

berkualitas, terjangkau serta mudah diakses berdasarkan kebutuhan masyarakat

yang bersangkutan, membantu masyarakat memanfaatkan sumber daya yang ada

untuk keperluan peningkatan kesehatan yang bersifat preventif (Dinas Kesehatan

Propinsi Sumatera Utara, 2003).

Selain itu, faktor sosial budaya juga berpengaruh pada perawatan balita dalam

keluarga sehingga berdampak pada status kesehatan dan satatus gizi balita. Faktor

sosial budaya tersebut diantaranya pendidikan, pekerjaan, penghasilan, suku/etnis,

tradisi/kebiasaan dan pengetahuan mereka akan kesehatan dan gizi. Dimana latar

belakang suku yang berbeda pada orangtua akan berdampak pada kebiasaan makan

balita yang berbeda pula. Di sisi lain orangtua yang mempunyai latar belakang

pendidikan yang baik akan lebih mudah menerima informasi kesehatan yang dapat

mendukung peningkatan status gizi balita. Demikian juga dengan tingkat

pendapatan keluarga dapat mempengaruhi status gizi balita. Pada keluarga yang

berpendapatan rendah mempunyai risiko 2 kali lebih besar memiliki balita berstatus

gizi kurang dibandingkan pada keluarga yang berpendapatan tinggi (Berg, 1989).

Status gizi yang diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau

sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-

ukuran gizi tertentu. Masalah gizi utama terjadi akibat dari ketidakseimbangan gizi

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 23: 037012007

yang masuk ke dalam tubuh seseorang, sehingga jika balita kekurangan gizi maka

dapat mengakibatkan status kesehatan balita yang buruk. Setiap balita yang

berstatus gizi buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10 – 13 poin. Pada tahun

1999 diperkirakan terdapat kurang lebih 1,3 juta balita bergizi buruk, berarti terjadi

potensi kehilangan IQ sebesar 22 juta poin, (Pemerintah RI dan WHO, 2000).

Menurut data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2000

menyebutkan sekitar 3-4 juta balita menderita kekurangan gizi, yaitu sebanyak 1,5

juta diantaranya bergizi buruk, sedangkan pada tahun 2003 prevalensi gizi kurang

sebanyak 27,5 persen dan prevalensi gizi buruk sekitar 8,5 persen. Hal ini dapat

mengakibatkan mudahnya terkena diare, infeksi dan mengalami gangguan

pertumbuhan ([email protected],2007).

Permasalahan kesehatan masih banyak dijumpai di Kota Medan, diantaranya

masalah gizi pada balita. Hal ini terlihat dari hasil Pemantauan Status Gizi

(PSG) yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2006

untuk Kota Medan adalah 23,8 persen gizi kurang, 9 persen gizi buruk dan 2

persen gizi lebih. Angka ini masih dinyatakan bermasalah dan perlu penanganan

yang serius karena angka ini masih berada diatas angka prevalensi gizi kurang yang

diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005 -

2009 yaitu setinggi-tingginya gizi kurang mencapai 20 persen dan gizi buruk 5

persen.

Masyarakat Kota Medan merupakan masyarakat yang bersifat multi etnis

dengan latar belakang budaya, pekerjaan, pendidikan dan penghasilan yang

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 24: 037012007

berbeda. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2006 bahwa

masyarakat Kecamatan Medan Area memiliki keanekaragaman sosial budaya,

dengan jumlah penduduk sebesar 112.667 orang, dimana laki-laki sebesar 55.802

orang sedangkan perempuan sebesar 56.865 orang.

Data untuk suku bangsa yang terdapat di Kecamatan Medan Area, juga

terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa sehingga dapat dijadikan objek

penelitian dengan uraian sebagai berikut : suku Melayu sebanyak 6.444

orang, Karo sebanyak 607 orang, Simalungun sebanyak 248 orang,

Tapanuli/Toba sebanyak 8.330 orang, Madina sebanyak 6.831 orang, Pakpak

sebanyak 215 orang, Nias sebanyak 265 orang, Jawa sebanyak 18.919 orang,

Minang sebanyak 35.016 orang, Cina sebanyak 30.246 orang, Aceh sebanyak 3.240

orang, dan suku lainnya sebanyak 2.306 orang.

Pelayanan kesehatan kepada masyarakat Kecamatan Medan Area

mempunyai tiga puskesmas yaitu Puskesmas Kota Matsum, Puskesmas

Sukaramai dan Puskesmas Medan Area Selatan. dimana puskesmas Kota

Matsum mempunyai jumlah balita sebanyak 4.562 orang, puskesmas Sukaramai

mempunyai balita sebanyak 4.582 orang dan Puskesmas Medan Area Selatan

mempunyai balita sebanyak 2.696 orang. Sedangkan jumlah balita yang ditimbang

di puskesmas Kota Matsum sebanyak 3.735 orang, puskesmas Sukaramai balita

yang ditimbang sebanyak 3.070 orang sedangkan puskesmas Medan Area Selatan

balita yang ditimbang sebanyak 2.322 orang.

Puskesmas yang memiliki angka balita yang kurang gizi tertinggi adalah

Puskesmas Kota Matsum dengan presentase sebesar 17,97 persen, kemudian

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 25: 037012007

diikuti puskesmas Sukaramai sebesar 2,64 % dan selanjutnya Puskesmas Medan

Area Selatan sebesar 0,56 persen. Puskesmas Kota Maksum memiliki jumlah balita

Bawah Garis Merah (BGM) 78 balita atau 2,09 persen dan Bawah Garis Titik-Titik

(BGT) 593 balita atau 15,88 persen, sedangkan Puskesmas Sukaramai BGM

sebanyak 6 balita atau 0,2 persen dan BGT 75 balita atau 2,44 persen, dan

puskesmas Medan Area Selatan terdapat BGM hanya 13 balita atau 0,56 persen

dan tidak terdapat balita BGT. (Profil Dinas Kesehatan Kota Medan, 2006).

Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan faktor

sosial budaya dengan status gizi balita di wilayah Kecamatan Medan Area.

1.2. Perumusan Masalah

Masih dijumpai kasus anak gizi kurang di Kecamatan Medan Area yang

secara sosial budaya masyarakat bersifat heterogen, maka masalah dalam penelitian

ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimanakah hubungan faktor sosial

budaya terhadap status gizi anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area Kota

Medan”.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran faktor sosial budaya

dan kaitannya dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 26: 037012007

1.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan faktor sosial budaya

(suku/etnis, tradisi/kebiasaan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan

pengetahuan) dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan masukan bagi

pemerintah khususnya bidang kesehatan agar lebih memahami hubungan faktor

sosial budaya dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dalam

kegiatan perencanaan program dan strategi penanggulangan gizi anak usia 6 –

24 bulan agar mempertimbangkan aspek sosial budaya.

c. Merupakan bahan informasi penting yang ditinjau dari sosial budaya

masyarakat terhadap tingkat keberhasilan program perbaikan gizi masyarakat.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 27: 037012007

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Sosial Budaya

Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial selalu dihadapkan kepada

masalah sosial yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Masalah sosial

timbul sebagai akibat dari hubungannya dengan sesama manusia lainnya dan

akibat tingkah lakunya. Masalah sosial tidak sama antara masyarakat yang satu

dengan yang lainnya karena adanya perbedaan dalam tingkatan perkembangan

kebudayaannya, sifat kependudukannya dan keadaan lingkungan alamnya

(Munandar, 1992).

Teori sosial yang diartikan sebagai usaha mengerti hakikat masyarakat,

memerlukan landasan pengetahuan dasar tentang kehidupan manusia sebagai

suatu sistem. Landasan ini dapat diperoleh dari ilmu sosial yang ruang

lingkupnya manusia dalam konteks sosial (Sumaatmaja, 1986).

Keluarga adalah unit satuan masyarakat yang terkecil dan sekaligus

merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini, dalam

hubungannya dengan perkembangan individu, sering dikenal dengan sebutan

primary group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai

macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat. Tidak dapat dipungkiri

bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 28: 037012007

penerus keturunan saja, banyak hal-hal mengenai kepribadian yang dapat

diyakini dari suatu keluarga yang pada saat-saat sekarang ini sering dilupakan

orang. Perkembangan intelektual akan kesadaran lingkungan seorang individu

sering kali dilepaskan bahkan dipisahkan dengan masalah keluarga. Hal-hal

semacam inilah yang sering menimbulkan masalah-masalah sosial, karena

kehilangan pijakan.

Budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi daya, yang

berarti daya dari budi, karena itu harus dibedakan antara budaya dengan

kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa,

dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut (Widagdho,

1993).

Budaya dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi perlakuan dan

tindakan-tindakan sosial manusia, atau sebagai pola-pola bagi kelakuan

manusia. Di dalam masyarakat, manusia mengembangkan kebudayaannya. Ada

yang diterima dan ada yang tidak, atau diterima secara selektif karena

berkenaan dengan nilai-nilai moral dan estetika, sistrem-sistem penggolongan,

benda-benda, berbagai hal lainnya yang diperlukan hidupnya. Kesemuanya ini

merupakan masalah sosial, yang didalamnya masyarakat berada dalam suatu

proses perubahan sosial dan kebudayaan yang cepat (Munandar, 1992).

Budaya berisi norma-norma sosial, yakni sendi-sendi masyarakat yang

berisi sanksi atau hukuman-hukumannya yang dijatuhkan oleh golongan

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 29: 037012007

bilamana peraturan yang dianggap baik untuk menjaga kebutuhan dan

keselamatan masyarakat itu, dilanggar. Norma-norma itu mengenai kebiasaan-

kebiasaan hidup, adat-istiadat atau tradisi-tradisi hidup yang dipakai turun-

temurun (Shadily, 1984).

Pada dasarnya individu selalu berada dalam situasi sosial. Situasi sosial

yang merangsang individu sehingga individu bertingkah laku disebut situasi

perangsang sosial atau social stimulus situation (Ahmadi, 1999).

Situasi perangsang sosial ini digolongkan menjadi 2 (dua) golongan besar,

yaitu :

a. Orang lain, yang dapat berupa :

1). Individu-individu lain sebagai perangsang.

2). Kelompok sebagai situasi perangsang, yang dapat dibedakan lagi atas :

hubungan intragroup, hubungan intergroup.

b. Hasil kebudayaan yang dibedakan :

1). Kebudayaan materil (materiil culture).

2). Kebudayaan non materil (non materiil culture).

Persoalan kurang gizi disebabkan karena tidak tersedianya zat-zat gizi

dalam kualitas dan kuantitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.

Kecukupan zat-zat gizi ini pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh makanan

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 30: 037012007

yang dikonsumsi, dan makanan yang dikonsumsi pada gilirannya amat

ditentukan oleh kebiasaan yang bertalian dengan makanan. Kebiasaan makan

dan segala sesuatu yang berkaitan dengan makanan telah ditanamkan sejak awal

pertumbuhan manusia yang berakar dalam setiap kebudayaan manusia. Oleh

sebab itu, berbicara mengenai kebiasaan makan berarti juga berbicara mengenai

kebudayaan masyarakat.

Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan memungkinkan untuk melihat

berbagai perubahan dan variasi pengetahuan yang terjadi dalam berbagai

perubahan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya

perubahan-perubahan gaya hidup atau perilaku jangka panjang sebagai

konsekuensi langsung ataupun tidak langsung dari perubahan sosial, budaya

dan ekonomi masyarakat. Perubahan gaya hidup pada gilirannya akan

mempengaruhi kebiasaan makan, baik secara kualitas maupun kuantitas (Pelto,

1980).

Dengan adanya pernyataan di atas, dapat menimbulkan pertanyaan

tentang mengapa satu keluarga mengkonsumsi jenis makanan bergizi

sedangkan keluarga lainnya tidak. Disamping faktor ekonomi, faktor sosial dan

budaya sangat menentukan dalam hal ini. Karena kebiasaan makan, nilai-nilai

dan kepercayaan terhadap makanan, cara memasak, merupakan konsep yang

diciptakan masyarakat berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 31: 037012007

2.2. Indikator Sosial Budaya

Kondisi sosial adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial

dan menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam struktur sosial

masyarakat (Soekanto, 1997). Untuk melihat kondisi sosial seseorang maka

perlu diperhatikan beberapa faktor yakni pekerjaan, pendapatan dan pendidikan

(Koentjaraningrat, 1993).

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,

nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial,

religius dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intlektual dan artistik

yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor,

kebudayaan merupakan keseluruhan yang komplek, yang didalamnya

terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,

dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota

masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,

kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat (Wikipedia,

2008).

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai

kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan

yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,

kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah

benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai mahluk yang berbudaya,

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 32: 037012007

berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, mialnya pola-pola prilaku

yang menjadi suatu kebiasaan, bahasa, peralatan hidup, tradisi, organisasi

sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu

manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Wikipedia, 2008).

Selain faktor-faktor tersebut, ada juga faktor lain yang sering diikut sertakan

oleh beberapa ahli dalam melihat kondisi sosial seseorang yakni perumahan,

kesehatan dan sosialisasi dalam lingkungan masyarakat. Selanjutnya pekerjaan

adalah kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa untuk dijual kepada orang

lain atau ke pasar guna memperoleh uang sebagai pendapatan bagi seseorang

sesuai dengan nilai sosial yang berlaku. Untuk lebih jelasnya pengertian

pekerjaan mencakup beberapa hal, yakni :

Pekerjaan mencakup beberapa hal, yakni sebagai berikut (Suroto, 1992):

a. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat dan perorangan.

b. Pekerjaan sebagai sumber pendapatan

c. bagi masyarakat dan perseorangan sebagai imbalan atas pengorbanan

energinya.

d. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh pengakuan status sosial, harga diri dan

penghargaan dari masyarakat sebagai imbalan atas peranan dan prestasinya.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 33: 037012007

e. Pekerjaan merupakan sumber penghidupan yang layak dan sumber

martabatnya, adalah kewajiban dan haknya sebagai warga negara dan manusia

makhluk Tuhan.

Pendapatan adalah sesuatu yang diperoleh dari pekerjaan pokok, pekerjaan

sampingan dan dari pekerjaan sub sistem dari semua anggota rumah tangga

(Mulyanto, 1995).

Sedangkan pengertian pendidikan meliputi beberapa hal, yakni :

a. Pendidikan merupakan aktivitas manusia dalam usahanya untuk menyesuaikan

dirinya dengan lingkungan.

b. Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mengembangkan kepribadiannya

dengan membina potensi-potensi pribadinya, baik jasmani maupun rohani dan

berlangsung seusia hidup.

c. Pendidikan juga berarti sebagai lembaga yang bertanggungjawab menetapkan

cita-cita (tujuan) pendidikan, isi maupun sistem pendidikan tersebut. Dan hal ini

tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai, cita-cita dan falsafah

yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan.

d. Pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan pribadi dan

kemampuan seseorang yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah.

Banyak aspek yang dapat menggambarkan kondisi sosial seseorang, seperti

pendapatan yang rendah sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok

sehari-hari, pendidikan yang rendah sehingga tidak dapat mengangkat harkat

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 34: 037012007

dan martabatnya, perumahan yang tidak sesuai dengan standar kesehatan dan

lain sebagainya (Soediharjo, 1993).

Setiap kelompok masyarakat, betapapun sederhananya, memiliki system

klasifikasi makanan yang didefenisikan secara budaya. Setiap kebudayaan

memiliki pengetahuan tentang bahan makanan yang dimakan, bagaimana

makanan tersebut ditanam atau diolah, bagaiman mendapatkan makanan,

bagaiman makanan tersebut disiapkan, dihidangkan, dan dimakan. Makanan

bukan saja sumber gizi, lebih dari itu makanan memainkan beberapa peranan

dalam berbagai aspek dalam kehidupan (Foster dan Anderson, 1986).

Dalam pengertian di atas para ahli tersebut mencatat beberapa peranan makanan

yaitu makanan sebagai ungkapan ikatan social, makanan sebagai ungkapan dari

kesetiakawanan kelompok, makanan dan stress dan simbolis makanan dalam

bahasa. Masing-masing kebudayaan selalu memiliki suatu rangkaian aturan

yang menjelaskan siapa yang menyiapkan dan menghidangkan makanan, untuk

siapa, dimana satu kelompok atau individu makan bersama, dimana dan dalam

kesempatan apa dan aturan makan, yang semuanya itu terpola secara budaya

dan merupakan baian dari cara-cara yang telah diterima dalam kehidupan setiap

komunitas (Helman, 1984).

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 35: 037012007

2.3. Indikator Tingkat Kehidupan Dengan Meninjau Aspek Sosial Budaya

Tujuan pembangunan nasional adalah untuk membangun manusia Indonesia

seutuhnya, tujuan ini tidak terlepas dari pengertian bahwa manusia disatu pihak

merupakan pemegang peranan dalam pembangunan nasional (subjek) tetapi

sekaligus merupakan sasaran strategis pembangunan nasional itu sendiri yang

dapat menikmati kehidupan yang layak sesuai dengan asas keadilan sosial.

Pembangunan seperti ini hanya mungkin terlaksana jika seluruh rakyat

mempunyai kemampuan dan kemauan yang cukup tinggi dan besar untuk

melakukan semua upaya yang diperlukan serta merasa perlu ikut serta karena

berkepentingan menangani hasilnya dengan pemerintah sebagai fasilisator dan

pendorong yang kuat. Motivasi yang paling besar bagi orang untuk ikut dalam

pembangunan adalah kesadarannya menangani berbagai kebutuhan hidup

materil dan spirituil yang harus dipenuhi serta harapannya bahwa dengan ikut

serta dalam pembangunan orang akan merasa memperoleh sarana yang

diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pengalaman Indonesia selama dekade pembangunan enam puluhan maupun

tujuh puluhan ternyata cukup membuktikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi

yang tinggi yang berarti pula peningkatan pendapatan nasional masih tetap

menyembunyikan kenyataan bahwa kepincangan sosial atau ketidakadilan

dalam pembagian pendapatan setiap individu justru semakin meningkat, hal ini

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 36: 037012007

terutama terlihat dari semakin besarnya jurang kelompok masyarakat

berpenghasilan rendah terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.

Bagi negara yang berpenduduk banyak perluasan kesempatan kerja harus

dijadikan strategi pembangunan yang pokok karena pekerjaan merupakan salah

satu alat penting untuk meningkatkan mutu dan budaya manusia. Oleh

karenanya kesempatan kerja dan jumlah orang yang mempunyai pekerjaan

harus dijadikan pemeliharaan pekerjaan bukan hanya sebagai sarana saja

melainkan juga sebagai tujuan bukan hanya sebagai kewajiban melainkan

sebagai hak setiap umat manusia. Pengertian ini mencakup :

a. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan juga jasa untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat dan perorangan.

b. Pekerjaan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat dan perseorangan

sebagai imbalan atas pengorbanan energinya.

c. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh pengakuan status sosial, harga diri dan

penghargaan dari masyarakat sebagai imbalan atas peranan dan prestasinya.

d. Pekerjaan yang merupakan sumber penghidupan yang layak dan sumber

martabatnya adalah kewajiban dan haknya sebagai warga negara dan manusia

sebagai makhluk Tuhan.

Dari hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan dapat

meningkatkan status sosial, kebiasaan, harga diri dan terutama pendapatan

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 37: 037012007

seseorang. Dengan tingginya pekerjaan yang dimiliki seseorang, maka semakin

besar pula pendapatan yang diterima seseorang.

Kepincangan pembagian pendapatan merupakan salah satu tolak ukur yang

dapat membuktikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata

tetap menyembunyikan kenyataan bahwa tingkat kemiskinan masih tetap belum

dapat dikurangi atau berkurang (Sagir,1992).

Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembangunan janganlah hanya

melihat tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran, tetapi juga harus

melihat keberhasilan pembangunan sosial, sehingga akan tercapai hasil

pembangunan yang sesungguhnya. Pada dasarnya faktor ekonomis dan faktor

non ekonomis seperti kesehatan, pendidikan, nutrisi, produktivitas dan

kesuburan merupakan suatu integrated system yang dapat digambarkan sebagai

berikut ;

a. Rendahnya pendapatan atau kemiskinan akan sangat mempengaruhi tingkat

kesehatan, nutrisi, tingkat pendidikan maupun kesuburan. Keluarga miskin

tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan pangan bernilai gizi maupun

kesehatan atau kehidupan yang sehat.

b. Keluarga miskin cenderung mengerahkan balita-balitanya untuk turut memikul

beban keluarga atau turut serta mencari penghasilan keluarga, sehingga

pendidikan balita-balita akan terlantar karenanya.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 38: 037012007

c. Dalam suatu keluarga miskin, angka kelahiran atau kesuburan lebih tinggi,

disertai angka kematian yang tinggi pula, baik sebagai akibat dari besarnya

keluarga dapat membantu memecahkan masalah kemiskinan di hari tua,

maupun akibat kepercayaan bahwa masing-masing balita membawa rejekinya

masing-masing.

Seorang individu akan memperoleh pelajaran kebudayaan mengenai makanan

ini pada awalnya dalam sebuah keluarga, sebagai sebuah proses sosialisasi.

Pengetahuan yang melekat akibat proses sosialisasi yang terjadi dari sejak bayi

tersebut boleh jadi merupakan pentgetahuan local atau indigenous knowledge,

sebagai himpunan pengalaman yang disalurkan melalui informasi dari satu

generasi ke generasi berikutnya (Mundy, 1995).

Walaupun pengetahuan mengenai apa yang dimakan, makanan untuk balita,

pengolahan makanan, penyajian makanan, dan sebagainya telah diperoleh

melalui sosialisasi dan enkulturasi dalam kebudayaan, pengetahuan-

pengetahuan tersebut senantiasa mengalami perubahan. Perubahan tersebut bisa

datang dari unsur-unsur faktual yang diperoleh melalui praktisi biomedis seperti

bidan desa, kader-kader posyandu, dari dokter, atau dari iklan-iklan televisi,

atau perubahan sebagai akibat berbagai pengalaman individu itu sendiri.

Dalam hal pentingnya kebutuhan-kebutuhan sosial negara-negara berkembang

pada umumnya masih terus mengalami pertumbuhan penduduk, dengan

sendirinya kebutuhan masyarakat semakin banyak mengenai serangkaian

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 39: 037012007

keperluan hidup yang sifatnya sangat mendasar seperti pangan, sandang,

pemukiman, pendidikan dan kesehatan. Jika dulu ada kecenderungan

mengelompokkan pendidikan dan kesehatan dalam kategori kebutuhan sosial,

maka dalam pembangunan ekonomi negara-negara berkembang kedua jenis

kebutuhan dasar itu harus dianggap termasuk prioritas ekonomi yang utama,

sebab peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan amat

mempengaruhi kualitas sumber daya manusia.

Indikator kehidupan budaya masyarakat yang dimiliki oleh sekelompok

manusia, suku dan sebagainya didasarkan pada suatu daerah/geografis turun

temurun yang biasanya tampak pada : cara berpakaian, jenis makanan yang

dikonsumsi, bahasa dan lain sebagainya. Khusus mengenai kebiasaan makan

suku pada suatu daerah biasanya terlihat dari jenis makanan yang mereka

konsumsi seperti sagu dan jagung, jadi tidak semua daerah/suku memakan nasi

sebagai makanan pokoknya (Berg, 1989).

Disamping itu ada budaya yang memperioritaskan anggota keluarga tertentu

untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan umumnya kepala

keluarga, anggota keluarga lainnya menempati urutan prioritas berikutnya dan

yang sering kali mendapatkan prioritas terbawah adalah ibu-ibu rumah tangga.

Apabila hal yang demikian itu masih dianut dengan kuat oleh setiap budaya,

sedangkan dilain pihak pengetahuan gizi belum dimiliki oleh keluarga yang

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 40: 037012007

bersangkutan, maka dapat saja timbul distribusi konsumsi pangan yang tidak

baik diantara anggota keluarga (Suhardjo, 1989).

2.4. Status Gizi Balita

Berbicara mengenai gizi berarti membicarakan tentang makanan dalam

hubungannya dengan kesehatan dan proses dimana organisme menggunakan

makanan untuk pemeliharaan kehidupan, pertumbuhan, bekerjanya anggota dan

jaringan tubuh secara normal dan produksi tenaga (Berg, 1989).

Membahas mengenai masalah gizi, dapat digolongkan kepada tiga bagian

adalah sebagai berikut :

1. Gizi kurang, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang timbul karena tidak

cukup makan dan dengan demikian konsumsi energi kurang selama jangka

waktu tertentu. Di negara-negara sedang berkembang, konsumsi pangan yang

tidak menyertakan pangan cukup energi, biasanya juga kurang dalam satu atau

lebih zat gizi esensial lainnya. Berat badan yang menurun adalah tanda utama

dari gizi kurang.

2. Gizi lebih, yaitu keadaan patologik (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan

makanan dan dengan demikian mengkonsumsi energi lebih banyak daripada

yang diperlukan tubuh untuk jangka waktu yang panjang, dikenal sebagai gizi

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 41: 037012007

lebih. Kegemukan merupakan tanda pertama yang biasa dilihat dari keadaan

gizi lebih.

3. Gizi salah, yaitu keadaan patologik (tidak sehat) yang disebabkan oleh makanan

yang kurang atau berlebihan dalam satu atau lebih zat esensial dalam waktu

lama. Di negara-negara sedang berkembang jenis utama gizi salah yang

disebabkan kurang gizi dalam waktu yang lama adalah kombinasi salah gizi

energi-protein, anemia kurang besi, kurang vitamin A dan gondok.

Status gizi merupakan keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi,

penyerapan dan penggunaan makanan. Susunan makanan yang memenuhi

status gizi tubuh, pada umumnya dapat menciptakan status gizi yang

memuaskan.

Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi individu dan distribusi makanan dalam

keluarga serta tingkat kesukaan individu. Konsumsi individu diperoleh dari

konsumsi pangan dalam rumah tangga, sedangkan konsumsi pangan dalam

rumah tangga dipengaruhi oleh persediaan pangan dan tingkat kesukaan.

Pangan yang ada dalam rumah tangga tergantung dari pendapatan rumah tangga

dan persediaan pangan, sedangkan persediaan pangan serta pendapatan

dipengaruhi oleh persediaan pertanian dan pembangunan daerah (Roedjito,

1987).

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 42: 037012007

Status gizi adalah keadaan kesehatan yang diakibatkan oleh adanya interaksi

antara makanan, tubuh dan lingkungan hidup manusia. Status gizi diukur

dengan cara yaitu (Direktorat Bina Gizi, 1992).

a. Antropometri, yaitu mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas,

lemak dibawah kulit.

b. Klinik, yaitu pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh ahli medis, biasanya yang

melakukan adalah dokter.

c. Laboratorium, yaitu pemeriksaan darah, urine, tinja.

d. Dietetik, yaitu pemeriksaan jenis, jumlah, komposisi makanan yang dikonsumsi

oleh individu.

Pengukuran status gizi balita pada umumnya menggunakan antropometri yaitu

dengan cara mengukur tinggi badan atau menimbang berat badan. Berat badan

merupakan hasil peningkatan seluruh jaringan, tulang, otot, lemak dan cairan

tubuh, ukuran antropometri berat badan yang terbaik untuk status gizi dengan

keadaan tumbuh kembang pada waktu sekarang. Sedangkan tinggi badan

bertambah sesuai dengan kecepatan pertumbuhan balita karena itu tinggi badan

dapat dipakai sebagai petunjuk keadaan gizi balita untuk waktu yang lampau

(Soetjiningsih, 1994).

Status gizi yang ditentukan oleh keterbatasan dalam jumlah cukup dan dalam

kombinasi pada waktu yang tepat ditingkat sel semua zat-zat gizi yang

diperlukan tubuh untuk tumbuh, berkembang dan berfungsi normal semua

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 43: 037012007

anggota badan. Oleh karena itu, pada prinsipnya status gizi ditentukan oleh dua

hal sebagai berikut : (Persagi, 1990)

a. Terpenuhinya dari makanan semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh.

b. Peranan faktor-faktor yang menentukan besarnya kebutuhan, penyerapan dan

penggunaan zat-zat gizi tersebut.

Pengetahuan gizi seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi konsumsi pangan dan status gizinya, demikian juga pada

keluarga yang mempunyai pengetahuan tentang kebutuhan tubuh akan gizi, ia

akan dapat menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsinya.

Pengetahuan gizi seseorang didukung dari latar belakang pendidikannya.

Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan berbagai keterbatasan dalam

menerima informasi dan penanganan masalah gizi dan kesehatan sekalipun di

daerah tempat tinggalnya banyak tersedia bahan makanan (sayuran dan buah)

serta pelayanan kesehatan yang memadai yang dapat menyampaikan informasi

tentang bagaimana mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi.

Pendidikan gizi diperlukan karena kenyataan menunjukkan bahwa suatu

keadaan kesehatan tidaklah dipengaruhi oleh hanya satu faktor diantara

berbagai faktor yang ada, faktor perilaku manusia memegang peranan penting.

Pendidikan gizi bukan hanya memberikan informasi gizi secara formal tetapi

merupakan kumpulan pengalaman dimana saja dan kapan saja, sepanjang dapat

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 44: 037012007

mempengaruhi pengetahuan, sikap dan kebiasaan agar individu, kelompok atau

masyarakat dapat memperbaiki sikap dan tingkah lakunya (Blum, 1972).

Dari hal di atas, diketahui bahwa pengetahuan masalah gizi merupakan faktor

penentu dalam melihat perkembangan dan ketahanan daya tahan tubuh balita.

Dimana daya tahan, perkembangan dan pertumbuhan (gizi) balita diperoleh dari

pengambilan makanan yang sehat dalam keluarga. Pelayanan kesehatan

makanan dan lingkungan juga diperoleh dari kepedulian seorang ibu dalam

rumah tangga. Hal ini tentunya di dapat melalui pendidikan, dimana pendidikan

hanya dapat diperoleh dengan adanya sumber penghasilan dan pengawasan

dalam rumah tangga yang meliputi : manusianya, ekonomi dan organisasi.

Kesemuanya ini didasarkan pada kebijakan dan susunan dasar pemikiran pada

struktur ekonomi dan potensi penghasilan yang diperoleh di dalam rumah

tangga. Untuk lebih jelasnya, faktor penentu dari perkembangan dan ketahanan

daya tahan tubuh balita digambarkan pada halaman berikut (Soetjiningsih,

1995):

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 45: 037012007

Faktor Penentu dari Perkembangan dan Ketahanan Daya Tahan (Tubuh)

TUMBUH –

KEMBANG ANAK

Kecukupan makanan Keadaan kesehatan

Ketahanan makanan Pemanfaatan

Yankes dan Sanit.

Asuhan Bagi Ibu dan

Pendidikan Keluarga

Keberadaan dan Kontrol Sumber

Daya keluarga : Manusia, Ekonomi

Super Struktur Politik dan Ideologi

Struktur Ekonomi

Potensi Sumber

Gambar : 2.1. Model interelasi tumbuh kembang anak, (Unicef)

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 46: 037012007

2.5. Penilaian Status Gizi Balita

Pertumbuhan dan perkembangan balita dapat diartikan menyangkut semua

kemajuan yang dicapai oleh tubuh manusia baik dari segi jasmani, mental dan

intelektual, mulai dari masa konsepsi sampai dewasa. Pertumbuhan berarti

bertambah besar ukuran fisik sebagai akibat perbanyakan dan pembesaran sel

dalam tubuh manusia. Sedangkan perkembangan berarti meningkatnya

keterampilan dan fungsi yang kompleks dari seseorang.

Pertumbuhan dan perkembangan, khususnya pada balita jika dikaitkan dengan

gizi diperlukan tinjauan dari keadaaan gizi ibu sejak masa kehamilan. Masa

hamil seorang ibu membutuhkan zat gizi yang lebih besar dari biasanya karena

pada masa ini, zat gizi diperlukan bukan hanya untuk keperluan si ibu saja

tetapi juga janin yang sedang dikandungnya. Apabila pada masa hamil seorang

ibu kurang mengkonsumsi zat gizi sesuai dengan kebutuhannya bisa berakibat

tidak baik bagi kesehatannya dan janin yang sedang dikandungnya (Departemen

Kesehatan RI, 1985).

Dalam menilai status gizi dapat dilakukan dengan empat cara yaitu (Supariasa

dkk, 2002):

a. Secara biokimia, yaitu melalui pemeriksaan darah, air seni, tinja sehingga dapat

diketahui tingkat kecukupan zat dan gizi seseorang.

b. Secara dietetika, yaitu survei konsumsi jenis dan jumlah makanan yang

dikonsumsi.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 47: 037012007

c. Secara klinis, yaitu dengan pemeriksaan keadaan jasmani.

d. Secara antropometri, yaitu dengan mengukur berat badan, tinggi badan atau

merujuk bagian tubuh tertentu sepoerti lingkar lengan, lingkar kepala, tebal

lapisan lemak dan lain-lain.

Pengukuran status gizi yang paling sering digunakan di Indonesia adalah secara

antropometri. Pengukuran status gizi berdasarkan kriteria antropometri

mungkin mempunyai kelemahan-kelemahan, namun sampai saat ini dianggap

merupakan cara yang paling banyak, mudah serta praktis untuk dilakukan,

karena siapa saja dapat melakukannya dengan terlebih dahulu mendapat sedikit

latihan.

Berat badan (BB) merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberikan

gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak), karena massa tubuh sangat

sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak misalnya karena terserang

penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan

yang dikonsumsi maka berat badan merupakan antropometri yang sangat labil.

Dalam keadaan normal dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan

antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin berat badan berkembang

mengikuti pertambahan usia. Sebaliknya dalam keadaan yang tidak normal

terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan yaitu dapat berkembang

lebih cepat atau lebih lambat dari pada normal.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 48: 037012007

Berdasarkan sifat-sifat ini maka indeks BB/U digunakan sebagai salah satu

indikator status gizi dan karena sifatnya berat badan yang labil maka indeks

BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini.

Penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status gizi memiliki kelebihan dan

kelemahan. Adapun kelebihannya adalah :

a. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum.

b. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek.

c. Dapat mendeteksi kegemukan.

Untuk menentukan klasifikasi status gizi menurut rekomendasi WHO (NCHS –

WHO) digunakan Z Score (Standar deviasi) sebagai batas ambang yang dibagi

menjadi empat klasifikasi yaitu (Supariasa, 2002):

a. Status gizi buruk bila < – 3SD.

b. Status gizi kurang bila ≥ -3SD dan < -2SD

c. Status gizi baik bila ≥ – 2SD dan < +2SD.

d. Status gizi lebih bila ≥ +2SD.

Untuk lebih jelasnya, dapat digambarkan grafik sebagai berikut :

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 49: 037012007

Baik

-3 -2 -1 +1 +2 +3

2.6. Landasan Teoritis Penyebab langsung timbulnya gizi kurang pada anak adalah makanan tidak

seimbang dan penyakit infeksi. Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh.

Dengan demikian timbulnya KEP tidak hanya karena kurang makan tetapi juga

karena penyakit, terutama diare dan ISPA. Anak yang mendapat makanan cukup

baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita KEP.

Sebaliknya anak yang tidak memperoleh makan yang cukup dan seimbang, daya

tahan tubuhnya(imunitas)dapat melemah. Dalam keadaan demikian anak mudah

diserang infeksi dan kurang nafsu makan sehingga anak kekurangan makan.

Akhirnya berat badan anak menurun. Apabila keadaan ini terus berlangsung, anak

menjadi kurus dan timbullah KEP. Sering ditanyakan apakah makanan atau

penyakit yang lebih dahulu menjadi penyebab KEP. Dalam kenyataan, keduanya

(makanan dan penyakit) sering datang bersama-sama menyebabkan KEP.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 50: 037012007

Penyebab langsung seperti diuraikan diatas timbul karena tiga faktor sebab

tidak langsung, yaitu (1) tidak cukup tersdia pangan atau makanan dikeluarga, (2)

pola pengasuhan anak yang tidak memadai, dan (3) keadaan sanitasi yang buruk

dan tersedia air bersih, serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai. Ketiga

faktor penyebab tidak langsung tersebut itu tidak berdiri sendiri tetapi saling

berkaitan.

Tidak cukupnya persediaan pangan dikeluarga menunjukan adanya

kerawanan ketahanan pangan keluarga. Artinya kemampua keluarga untuk

mencukupi kebutuhan pangan, baik jumlah maupun mutu gizinya, bagi seluruh

anggota keluarga belum terpenuhi. Ketahanan pangan keluarga terkait dengan

ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau

sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi

dan kesehatan.

Pola pengasuhan anak adalah sikap dan prilaku ibu atau pengasuh lain dalam

hal kedekatannya denagn anak, memberi makan, merawat, menjag kebersihan,

memberikan kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya itu sangat berpengaruh

pada tumbuh kembang anak. Pola asuh yang tidak memadai dapat menyebab anak

tidak suka makan atau tidak diberikan makanan seimbang, dan juga dapat

memudahkan terjadinya infeksi. Pola asuh anak berhubungan dengan keadaan ibu,

seperti kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan

tentang pengasuhan anak yang baik , peran dalam keluarga atau dimasyarakat, sifat

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 51: 037012007

pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari

si ibu atau pengasuh anak.

Akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan

kebersihan lingkungan besar pengaruhnya terhadap pengasuhan anak. Demikian

pengasuhan anak yang baik memerlukan pelayanan kesehatan yang seperti

imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak,

pendidikan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu,

puskesmas, pratek bidan atau dokter, dan rumah sakit. Makin tersedia air bersih

yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap

pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang

kesehatan dan gizi, makin kecil resiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi

termasuk KEP.

Ketiga faktor tidaklangsung tersebut saling berkaitan dan bersumber pokok

masalah yang ada di masyarakat yaitu diberdayakannya sumber daya masyarakat,

terutama sumberdaya perempuan akibat kurangnya pendidikan, pengetahuan dan

keterampilan keluarga untuk dapat memecahkan masalah gizi keluarga dan

masyarakat. Ketidak berdayaan keluarga tersebut dimuka bersumber pada akar

masalah yang ada pada masyarakat yaitu kerawanan pangan dan kemiskinan yang

diakibatkan oleh kemunduran ekonomi negara sehingga banyak pengangguran,

meningkatkan harga terutama harga pangan (inflasi).

Semua masalah diatas pada hakekatnya dapat bersumber pada ketidakstabilan

ekonomi, politik dan sosial bangsa dan negara. Untuk lebih singkatnya dapat

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 52: 037012007

digambarkan daya tahan tubuh balita dalam konteks sosial, politik dan budaya

sebagaimana berikut (Soekirman, 2000):

Dampak Kekurangan Gizi

Makan Penyakit Infeksi Tidak Seimbang

Penyebab langsung Tidak Cukup

Persediaan Pangan

Sanitasi dan Air Bersih/Pelayanan Kesehatan Dasar Tidak Memadai

Pola Asuh Anak Tidak

M d i

Penyebab tidak langsung

Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan

Kurang pemberdayaan wanita

Dan keluarga, kurang pemanfaatan Sumberdaya masyarakat

Pokok Masalah di Masyarakat

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan

Krisis Ekonomi,Politik Akar Masalah

(nasional)

Gambar 2.3. Penyebab Gizi Kurang (disesuaikan dari bagan UNICEF (1998) The State of the World's Children 1998. Oxford Univ. Press)

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 53: 037012007

2.7. Kerangka Konsep

Penelitian ini mengemukakan faktor sosial budaya yang berhubungan dengan

status gizi balita di dalam keluarga. Faktor sosial budaya yang terdapat dalam

penelitian meliputi pendidikan, pekerjaan, penghasilan, suku/etnis,

tradisi/kebiasaan, dan pengetahuan yang berhubungan dengan pola makan balita

pada keluarga baik kuantitas maupun kualitas yang selanjutnya juga dapat

berhubungan dengan status gizi balita. Dimana antara pendidikan, pekerjaan

dan penghasilan mempunyai kaitan yang erat satu sama lain. Ketiganya saling

mendukung satu sama lain, dalam arti apabila pendidikan yang dimiliki tinggi

biasanya akan memperoleh pekerjaan yang baik dan pekerjaan yang memadai

akan memberikan penghasilan yang baik pula. Keterkaitan faktor sosial budaya

terhadap status gizi balita dalam keluarga sebagaimana yang telah disampaikan

pada awal penulisan ini dari berbagai leteratur, antara lain mengemukakan

bahwa kondisi sosial sering terkait dengan permasalahan perumahan, kesehatan

dan sosialisasi dalam lingkungan masyarakat serta merupakan interaksi yang

bersinggungan dalam lingkungan hidup manusia. Keterkaitan tersebut termasuk

juga menyangkut dari latar belakang pendidikan orangtua. Oleh karena itu

dengan pendidikan yang tinggi maka orangtua akan lebih mengetahui cara

merawat balita, sedangkan pekerjaan dan penghasilan yang baik dapat

mendukung pola makan balita yang diharapkan dapat meningkatkan status gizi

balita. Selain ketiga faktor sosial budaya tersebut suku/etnis, tradisi/kebiasaan

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 54: 037012007

dan pengetahuan merupakan faktor penting lainnya dalam meningkatkan status

gizi balita. Faktor-faktor sosial budaya ini yang berhubungan dengan status gizi

balita dapat dilihat pada kerangka konsep sebagai berikut :

Status Gizi Balita ( Baik dan Tidak Baik)

Sosial Budaya 1. Pendidikan 2. Pekerjaan 3. Penghasilan 4. Suku/Etnis 5. Tradisi/Kebiasaan 6. Pengetahuan

Pola Makan Balita Pada Keluarga

(kuantitas/ Kualitas)

---------- = tidak diteliti

Gambar 2.4 : Kerangka Konsep Penelitian

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 55: 037012007

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah survei dengan menggunakan disain Cross Sectional

Study, yaitu suatu pendekatan yang sifatnya sesaat pada suatu waktu dan tidak

diikuti terus menerus dalam kurun waktu tertentu (Notoadmojo, 2002).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Medan Area, dikarenakan pada

kecamatan ini banyak balita yang mengalami gizi kurang (Profil Dinas Kesehatan

Kota Medan, 2006). Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan selama 9 (sembilan)

bulan, mulai bulan April - Desember 2007. Tahap-tahap penelitian ini dimulai dari

penelusuran pustaka, konsultasi, seminar proposal dan dilanjutkan dengan

penelitian di lapangan (pengumpulan data), analisa data dan penyusunan laporan

penelitian.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang memiliki anak

usia 6-24 bulan yang berasal dari keluarga yang tinggal dalam wilayah kerja

Puskesmas di Kecamatan Medan Area yang berjumlah 2960 orang. Namun tidak

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 56: 037012007

termasuk anak dari keluarga etnis China, dikarenakan tidak tercantum dalam data

Puskesmas maupun data posyandu.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah anak usia 6 – 24 bulan yang ditimbang dan ibu sebagai

responden yang diwawancarai, diambil dari populasi, dimana jumlahnya ditentukan

dengan menggunakan rumus sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu

populasi, yaitu (Sastroasmoro, 1995) :

Zα² PQ n = d²

Keterangan : Zα = deviat baku normal untuk α (Zα =1,96)

P = proporsi balita yang mengalami masalah gizi (50 %)

Q = 1-P (50 %)

d = ketepatan absolut yang dikehendaki (10 %)

n = jumlah sampel (97 keluarga)

Dari perhitungan rumus didapat jumlah sampel minimal 97 keluarga, dengan

memperkirakan 10 persen sampel yang keluar sewaktu pengolahan maka jumlah

sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 107 keluarga. Teknik pengambilan

sampel digunakan teknik Simple Random Sampling (pengambilan sampel secara

acak sederhana), yaitu memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota)

populasi untuk dipilih menjadi sampel. Sampel diambil dengan mengumpulkan

nama anak yang berusia 6-24 bulan secara keseluruhan yang ada di Kecamatan

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 57: 037012007

Medan Area. Kemudian nama diambil secara acak dengan menggunakan gulungan

kertas yang telah tertulis nama balita (sistem undian).

3.4. Metoda Pengumpulan Data

Sebelum data dikumpulkan, terlebih dahulu kuesioner diuji validitasnya

dengan melakukan uji realibilitas pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Setelah diketahui kusioner layak diajukan, selanjutnya dilakukan pengumpulan

data.

Pengumpulan data dilakukan untuk jenis data :

1. Data Primer.

Dikumpulkan melalui wawancara langsung kepada responden dengan

menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Data primer yang

dikumpulkan adalah semua data yang termasuk variabel independent dan variabel

dependen. Wawancara dilakukan dengan mengunjungi rumah responden yang

dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat yang telah diberikan

pelatihan sebelum ke lapangan.

Data status gizi balita dikumpulkan dengan melakukan pengukuran berat

badan dan mencatat data anak usia 6 – 24 bulan. Berat badan diukur dengan

memakai alat ukur timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0,1 kg.

2. Data Sekunder.

Dikumpulkan dari laporan bulanan, triwulan dan tahunan di Puskesmas

Kecamatan Medan Area dan data dari laporan/catatan kantor kelurahan atau camat

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 58: 037012007

atau instansi terkait lain yang berkenaan dengan data-data gambaran daerah

penelitian.

Adapun usaha reabilitas dan validitas data yang dikumpulkan adalah sebagai

berikut :

a. Validitas alat ukur seperti timbangan.

b. Pengukuran dilakukan dua kali seperti penimbangan berat badan, pengukuran

tinggi badan

c. Melatih enumerator atau pengumpul data dalam pengumpulan data, misal

melatih cara menimbang berat badan, mengukur tinggi badan, menyamakan

persepsi tentang kuesioner.

d. Uji kuesioner di luar sampel penelitian. (hasil uji pada Lampiran 2)

Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas dengan menggunakan responden

diluar sampel penelitian diperoleh r-tabel = 0.514 dari N=15 orang dan taraf

signifikansi 95% ternyata skore tiap pertanyaan lebih dari nilai r-tabel. Hal ini

menunjukan bahwa semua kuesioner valid dan layak diajukan kepada sampel

penelitian dan tidak dibutuhkan revisi kembali, sebagaimana dapat dilihat pada

tabel dibawah ini :

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 59: 037012007

Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas Kuesioner Pada 15 Orang Responden

No. Pertanyaan Total Keterangan

Pengetahuan1 .778** Valid .001 0.778 > 0.514 15 Pengetahuan 2 .868** Valid .000 0.868 > 0.514 15 Pengetahuan 3 .652* Valid .011 0.652 > 0.514 15 Pengetahuan 4 .773** Valid .001 0.773 > 0.514 15 Pengetahuan 5 .656* Valid .011 0.656 > 0.514 15 Pengetahuan 6 .778** Valid .001 0.778 > 0.514 15 Pengetahuan 7 .925** Valid .000 0.925 > 0.514 15 Pengetahuan 8 .638* Valid .010 0.638 > 0.514 15

3.5. Definisi Operasional Variabel

Dalam penelitian ini, terdapat berbagai variabel yang akan diukur dengan

menggunakan perangkat-perangkat alat ukur yang telah ditetapkan, untuk

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 60: 037012007

memperjelas gambaran variabel dalam penelitian, maka disusunlah definisi

operasional variabel sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 3.2. Definisi Operasional Variabel, Alat Ukur dan Skala

Varibel Sub Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Pendidikan Tingkat pendidikan

orang tua yang didapat secara formal seperti SD, SLTP, SLTA, PT

Kuesioner Ordinal

Pekerjaan Jenis pekerjaan orang tua yang meliputi PNS/TNI/Polri, karyawan swasta, wiraswasta, buruh, dll.

Kuesioner Ordinal

Penghasilan Tingkat pendapatan yang didapat keluarga setiap bulannya, yang dihitung berdasarkan rupiah

Kuesioner Ratio

Tradisi/kepercayaan Kepercayaan terhadap ada tidaknya makanan pantangan pada balita

Kuesioner Ordinal

Suku/etnis Suku bangsa orang tua yang terdiri dari Jawa, Batak Toba, Karo, Mandailing, Nias, Minang, dll.

Kuesioner Nominal

Faktor Sosial Budaya

Pengetahuan Segala sesuatu yang diketahui ibu tentang kesehatan dan gizi

Kuesioner Ordinal

Status gizi

Keadaan keseimbangan gizi yang diukur dari indeks antropometri (berat badan disesuaikan dengan usia)

Timbangan Ordinal

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 61: 037012007

3.6. Metode Pengukuran

a. Pendidikan, dikategorikan menjadi :

1. tinggi, jika orang tua sampai pada pendidikan SLTA dan PT

2. rendah, jika SD dan SLTP

b. Pekerjaan, dikategorikan menjadi :

1. pekerjaan tetap, jika jenis pekerjaan PNS/TNI/POLRI, karyawan swasta.

2. pekerjaan tidak tetap, jika wiraswasta, buruh, dan Ibu Rumah tangga.

c. Penghasilan, dikategorikan menjadi :

1. penghasilan diatas atau sama dengan rata-rata

2. penghasilan dibawah rata-rata

d. Tradisi/kepercayaan, dikategorikan menjadi :

1. ada pantangan makanan

2. tidak ada pantangan makanan

e. Pengetahuan, dikategorikan menjadi (Notoadmojo, 2005) :

1. baik, jika pertanyaan benar ≥ 75%

2. kurang baik, jika pertanyaan benar < 75%

f. Status gizi dikategorikan dengan mengambil batasan Z-score NCHS-WHO,

dimana data diolah dengan menggunakan perangkat lunak yaitu dengan program

Gizi Com (Supariasa, 2002), yaitu :

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 62: 037012007

1. baik, jika batasan Z-score NCHS-WHO masuk dalam status gizi baik (≥ -2

SD sampai ≤ +2 SD).

2. tidak baik, jika ada dalam batasan Z-score NCHS-WHO masuk dalam status

gizi kurang ( < -2 SD sampai > -3 SD), status gizi buruk (≤ 3 SD), dan status

gizi lebih (> +2 SD).

3.7. Metode Analisis Data

3.7.1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang distribusi

frekuensi responden, maka dilakukan analisis deskriptif/univariat. Analisis ini

digunakan untuk memperoleh gambaran pada masing-masing variabel yang

meliputi suku/etnis, tradisi/kebiasaan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan,

pengetahuan pada orang tua yang memiliki anak usia 6 – 24 bulan, serta status

gizinya.

3.7.2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat akan dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel

faktor sosial budaya (pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan) dengan

status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Untuk menguji hipotesis dipakai uji kai kuadrat.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 63: 037012007

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian

4.1.1. Geografi Medan Area

Kecamatan Medan Area terletak 25 meter di atas permukaan laut dengan luas

wilayah 4,22 km2 dan batas wilayah Kecamatan Medan Area sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kecamatan Medan Perjuangan

Sebelah Selatan : Kecamatan Medan Kota

Sebelah Barat : Kecamatan Medan Kota

Sebelah Timur : Kecamatan Medan Denai

Kecamatan Medan Area memiliki 3 (tiga) unit Puskesmas yaitu Puskesmas

Sukaramai, Puskesmas Medan Area Selatan dan Puskesmas Kota Maksum dengan

keadaan geografis sebagaimana terlihat pada Tabel 4. 1.

Tabel 4.1. Keadaan Geografis Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006

No. Puskesmas Luas Wilayah (H) Jumlah Kelurahan

1. Kota Maksum 112,40 H 4

2. Sukaramai 150,23 H 4

3. Medan Area Selatan 153,10 H 4

Jumlah 415,73 H 12

Sumber :Badan Pusat Statistik Kota Medan 2006

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 64: 037012007

Puskesmas Kota Maksum mempunyai wilayah kerja seluas 112,40 Ha yang

terdiri dari 4 Kelurahan yaitu Kelurahan Kota Maksum I, Kelurahan Kota Maksum

II, Kelurahan Kota Maksum IV dan Kelurahan Sei Rengas Permata. Puskesmas

Sukaramai mempunyai wilayah kerja seluas 150,23 Ha yang terdiri dari 4

Kelurahan yaitu Kelurahan Tegal Sari I, Kelurahan Tegal Sari II, Kelurahan Tegal

Sari III dan Kelurahan Pasar Merah Timur. Puskesmas Medan Area Selatan

mempunyai wilayah kerja seluas 153,10 Ha yang terdiri dari 4 Kelurahan yaitu

Kelurahan Sukaramai I, Kelurahan Sukaramai II, Kelurahan Pandau Hulu II dan Sei

Rengas II.

4.1.2. Gambaran Kependudukan

Distribusi penduduk berdasarkan jumlah keluarga dan jenis kelamin di

wilayah kerja 3 (tiga) Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006

dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jumlah Keluarga dan Jenis Kelamin di wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006

Penduduk

KK Laki-laki Perempuan

Jumlah Total Wilayah Kerja Puskesmas

n % n % n % n %

Kota Maksum 8657 39,8 18011 32,9 17857 33,2 38045 35,1

Sukaramai 6603 30,3 20673 37,8 19643 36,5 40316 37,2

Medan Area Selatan

6476 29,7 15951 29,1 16212 30,1 32163 29,6

Jumlah 21736 100 54635 50,4 53712 49,5 108347 100

Sumber : Badan Pusat Statistik 2006

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 65: 037012007

Jumlah penduduk Kecamatan Medan Area pada tahun 2006 sebanyak 108.347

jiwa yang terdiri dari 54.633 laki-laki (50,4%) dan 53.712 perempuan (49,5%).

4.1.3. Gambaran Mata Pencaharian

Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian di wilayah kerja 3 (tiga)

puskesmas di Kecamatan Medan Area dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Wilayah

Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2006

Kota Maksum Sukarame Medan Area

Selatan Jumlah Pekerjaan

N % N % N % N % Negeri 1112 49,8 782 35,0 337 15,1 2231 5,4 Swasta 6050 34.3 4588 26.0 6989 39.6 1762

7 42.8Pegawai

ABRI 31 34,3 50 55,5 9 10 90 0,2 Petani - - - - - 21 100 21 0,05

Pedagang - 9639 41,9 6464 28,1 6900 29,9 23003 55,8

Pensiun - 237 37,1 254 39,8 147 23,0 638 1,5 Jumlah Total

- 17069 41,4 1213

8 29,4 11945 29,0 4115

2 100

Sumber : Badan Pusat Statistik 2006

Penduduk Kecamatan Medan Area sebagian besar mempunyai mata

pencaharian pedagang yaitu 55,8 persen sedangkan pegawai swasta 42,8 persen,

pegawai negeri 5,4 persen, pensiunan 1,5 persen, ABRI 0,2 persen dan petani 0,05

persen.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 66: 037012007

4.1.4. Jumlah kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita

Jumlah kelahiran dan kematian bayi dan balita di Kecamatan Medan Area

dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut :

Tabel 4.4. Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita di Wilayah Tiga

Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006

Puskesmas Jumlah Kelahiran

Jumlah Lahir Mati

Jumlah Bayi Mati

Jumlah Balita

Jumlah Balita Mati

Kota Maksum 1080 0 0 4.582 0

Sukaramai 1027 0 0 3.908 0

Medan Area Selatan 732 0 1 2.696 1

Jumlah 2.839 0 1 11.186 1

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Medan, 2006.

Tabel 4.4 di atas menunjukan bahwa jumlah kelahiran terbesar terdapat pada

Puskesmas Koata Maksum yaitu 1080 orang, kemudian diikuti Puskesmas

Sukaramai sebanyak 1027 orang dan Puskesmas Medan Area Selatan sebanyak 732

orang.

4.1.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu

Balita yang mengalami BGM ada 65 orang dengan perincian terbanyak

di Puskesmas Kota Maksum sebanyak 44 orang, dan pencapaian program hanya 89

persen, paling rendah diantara Puskesmas Sukaramai dan Medan Area Selatan.

Tetapi partisipasi masyarakat untuk menggunakan posyandu di Puskesmas Kota

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 67: 037012007

Maksum paling tinggi dibandingkan dengan Sukaramai dan Medan Area Selatan.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut :

Tabel 4.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu di Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area Tahun 2007

Kecamatan

Bayi Yang Memiliki KMS (%)

Partisipasi Masyarakat

(%)

Pencapaian Program

(%)

Cakupan Efek

Program (%)

BGM

Kota Maksum 89,0 89,2 75,0 89,0 44 Sukaramai 86,4 80,7 74,6 93,0 16

Medan Area Selatan 85 81 76,5 93,0 5

Rata-Rata 86,8 83,6 75,4 91,6 - Jumlah - - - - 65

Sumber : Puskesmas Kecamatan Medan Area, bulan November 2007

4.2. Gambaran Faktor Sosial Budaya

4.2.1. Pendidikan

Tingkat pendidikan ayah dan ibu yang memiliki anak usia 6 – 24 bulan dalam

penelitian ini dikategorikan menjadi tingkat pendidikan tinggi dan tingkat

pendidikan rendah, dimana yang tamat SLTA dan PT/Akademi termasuk dalam

kategori tingkat pendidikan tinggi. Sedangkan tidak tamat, tamat SD dan SLTP

dikategorikan tingkat pendidikan rendah yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 68: 037012007

Tabel 4.6. Distribusi Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

No. Tingkat Pendidikan n %1. SD 13 12,12. SLTP 24 22,43. SLTA 56 52,34. PT/Akademi 14 13,1

Jumlah 107 100,0

Tabel 4.6 menunjukkan tingkat pendidikan yang ditempuh ayah adalah SLTA

yaitu 56 orang (52,3 %). Hal ini menunjukan bahwa tinggkat pendidikan ayah

sebagian besar tinggi yang dapat berhubungan kepada status gizi anak.

Tabel 4.7. Distribusi Kategori Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan Medan

Area Kota Medan Tahun 2007

No. Kategori Tingkat Pendidikan n %1. Tinggi 70 65,42. Rendah 37 34,6

Jumlah 107 100,0

Pada Tabel 4.7 diketahui bahwa tingkat pendidikan ayah pada kategori tinggi

sebanyak 70 orang (65,4 %), dan kategori rendah sebanyak 37 orang (34,6%).

Sebagian besar pendidikan ayah adalah pada kategori tinggi yang dapat

berhubungan dengan status gizi anak.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 69: 037012007

Tabel 4.8. Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

No. Tingkat Pendidikan n %1. SD 18 16,82. SLTP 24 22,43. SLTA 55 51,54. PT/Akademi 10 9,3

Jumlah 107 100,0

Pada Tabel 4.8. di atas diketahui bahwa tingkat pendidikan ibu terbanyak

adalah SLTA sebanyak 55 orang (51,5 %) dan yang paling sedikit adalah

PT/Akademi yaitu 10 orang (9,3 %). Dari tabel tersebut menunjukan bahwa

pendidikan ibu sudah menggambarankan kategori yang baik yaitu tinggi.

Tabel 4.9. Distribusi Kategori Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan Medan

Area Kota Medan Tahun 2007

No. Kategori Tingkat Pendidikan n %1. Tinggi 65 60,72. Rendah 42 39,3

Jumlah 107 100,0

Pada Tabel 4.9 diatas diketahui bahwa kategori tingkat pendidikan tinggi

yaitu 65 orang (60,7 %), dan kategori tingkat pendidikan rendah yaitu 42 orang

(39,3 %). Hal ini menunjukan tingginya tingkat pendidikan ibu yang akan

berhubungan pada status gizi anak.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 70: 037012007

4.2.2. Pekerjaan

Pekerjaan ayah dan ibu dikategorikan menjadi pekerjaan dengan penghasilan

tetap dan pekerjaan dengan penghasilan tidak tetap yang dapat dilihat dalam tabel

berikut

Tabel 4.10. Distribusi Kategori Pekerjaan Ayah di Kecamatan Medan Area

Kota Medan Tahun 2007

No. Kategori Pekerjaan n %1. Pekerjaan Tetap 22 20,62. Pekerjaan Tidak Tetap 85 79,4

Jumlah 107 100,0

Dari Tabel 4.10 diatas dapat diketahui bahwa sebanyak 85 orang (79,4 %)

ayah yang pekerjaan tidak tetap. Dimana dari hasil penelitian diketahui bahwa

sebagian besar ayah bekerja sebagai wiraswasta atau dikategorikan pada pekerjaan

tidak tetap.

Tabel 4.11. Distribusi Kategori Pekerjaan Ibu di Kecamatan Medan Area

Kota Medan Tahun 2007

No. Kategori Pekerjaan n %1. Pekerjaan Tetap 10 9,32. Pekerjaan Tidak Tetap 97 90,7

Jumlah 107 100,0

Pada Tabel 4.11 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar ibu adalah ibu

yang pekerja tidak tetap yaitu 97 orang (90,7%). Di lapangan ditemukan bahwa

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 71: 037012007

sebagian besar ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya dirumah

atau dikategorikan ibu dengan pekerjaan tidak tetap.

4.2.3. Penghasilan

Penghasilan keluarga dikategorikan dengan penghasilan di atas rata-rata dan

penghasilan di bawah rata-rata yang diperoleh dari penghasilan tertinggi keluarga

sebesar Rp. 5.000.000,- dan penghasilan keluarga terendah sebesar Rp. 200.000,-

dengan nilai rata-ratany sebesar Rp. 1.065.400,- yang dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 4.12. Distribusi Kategori Penghasilan Keluarga di Kecamatan Medan

Area Kota Medan Tahun 2007

No. Kategori Penghasilan n %1. Penghasilan ≥ rata-rata

(Rp.1.065.400) 28 26,2

2. Penghasilan < rata-rata (Rp.1.065.400) 79 73,8

Jumlah 107 100,0

Pada Tabel 4.12 diatas diketahui bahwa kategori pendapatan diatas rata-

rata sebanyak 28 orang (26,2%) dan kategori pendapatan dibawah sebanyak 79

orang (73,8%).

4.2.4. Suku/Etnis

Suku dari orang tua anak usia 6 – 24 bulan terdiri dari beberapa yang dapat

dilihat pada tabel-tabel berikut :

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 72: 037012007

Tabel 4.13. Distribusi Suku/Etnis Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

No. Suku/Etnis n %1. Batak Toba 5 4,72. Batak Mandailing 15 17,83. Jawa 31 29,04. Melayu 5 4,75. Minang 45 42,16. Nias 1 0,97. Lain-lain 1 0,9

Jumlah 107 100,0

Pada Tabel 4.13 di atas diketahui bahwa suku/etnis ayah yang terbanyak

adalah pada suku minang, yaitu 45 orang (42,1 %). Sedangkan terdapat 1 orang (0,9

%) pada lain-lain yaitu suku Aceh.

Tabel 4.14. Distribusi Suku/Etnis Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan

Tahun 2007

No. Suku/Etnis n %1. Batak Toba 3 2,82. Batak Mandailing 12 11,23. Batak Karo 1 0,94. Jawa 26 24,35. Melayu 7 6,56. Minang 55 51,47. Nias 1 0,98. Lain-lain 2 1,9

Jumlah 107 100,0

Dari Tabel 4.14 di atas diketahui bahwa suku/etnis ibu yang

terbanyak adalah suku minang, yaitu 55 orang (51,4 %). Sedangkan pada

lain-lain terdapat 2 orang (1,9 %) yaitu suku Bugis dan Aceh.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 73: 037012007

4.2.5. Tradisi/Kebiasaan

Ada tidaknya pantangan makanan dalam keluarga atau yang biasa disebut

tradisi/kebiasaan makan keluarga dapat diketahui pada tabel berikut :

Tabel 4.15. Distribusi Tradisi/Kebiasaan di Kecamatan Medan Area

Kota Medan Tahun 2007

No. Kategori Tradisi/Kebisaan N %1. Ada pantangan 19 17,82. Tidak ada pantangan 88 82,2

Jumlah 107 100,0

Ada tidaknya pantangan pada anak diketahui dengan melihat ada tidaknya

satu jenis atau lebih makanan yang tidak boleh dikonsumsi anak. Dari Tabel 4.15

diketahui bahwa sebagian besar tidak ada pantangan bagi ibu untuk memberikan

makanan pada anak yaitu 82,2 persen.

Tabel 4.16. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ayah dengan

Tradisi/Kebiasaan Di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

Tradisi/Kebiasaan

Ada Pantangan

Tidak ada pantangan

Jumlah No. Suku/Etnik

n % n % n % 1. Batak Toba 1 20,0 4 80,0 5 100,02. Batak Mandailing 2 10,5 17 89,5 19 100,03. Jawa 5 16,1 26 83,9 31 100,04. Melayu 0 0 5 100,0 5 100,05. Minang 11 24,4 34 75,6 45 100,06. Nias 0 0 1 100,0 1 100,07. Lain-lain 0 0 1 100,0 1 100,0 Jumlah 19 17,8 88 82,2 107 100,0

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 74: 037012007

Dari Tabel 4.16 diketahui bahwa terdapat beberapa suku ayah yang tdak

pantangan makanan pada anak, yaitu pada ayah suku/etnik Melayu, Nias dan Suku

lainnya.

Tabel 4.17. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ibu dengan Tradisi/Kebiasaan Di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

Tradisi/Kebiasaan Ada

Pantangan Tidak ada pantangan

Jumlah No. Suku/Etnik

n % n % n % 1. Batak Toba 1 3,3 2 66,7 3 1002. Batak Mandailing 1 8,3 11 91,7 12 1003. Batak karo 0 0 1 100,0 1 1004. Jawa 4 15,4 22 84,6 26 1005. Melayu 1 14,3 6 85,7 7 1006. Minang 11 20,0 44 80,0 55 1007. Nias 0 0 1 100,0 1 1008. Lain-lain 1 50,0 1 50,0 2 100 Jumlah 19 17,8 88 82,2 107 100

Dari Tabel 4.17 diketahui bahwa pada suku/etnik minang terdapat 20%

ibu memberi pantangan makanan pada anak, meskipun tidak begitu besar

jumlahnya pada suku-suku lain. Dari hasil penelitian diketahui bahwa makanan

yang dipantangkan oleh ibu kepada anak dengan alasan kesehatan saja, bukan

karena pantangan dari suku/etnik ibu.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 75: 037012007

4.2.6. Pengetahuan

Pengetahuan responden dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu pengetahuan

dengan kategori baik dan pengetahuan dengan kategori kurang baik yang dapat

dilihat lebih jelas pada tabel berikut ini :

Tabel 4.18. Distribusi Kategori Pengetahuan Ibu di Kecamatan Medan Area

Kota Medan Tahun 2007

No. Kategori Pengetahuan n %1. Baik 22 20,62. Kurang baik 85 80,4

Jumlah 107 100,0

Meskipun sebagian besar tingkat pendidikan ibu sudah tinggi, ternyata ibu

masih kurang pengetahuannya terhadap kesehatan. Pada Tabel 4.18 di atas dapat

dketahui bahwa sebagian besar ibu memliki pengetahuan kurang baik, yaitu

sebanyak 85 ibu (80,4 %).

4.3. Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan

Status gizi balita yang ditemui dilapangan adalah terdiri dari kategori yaitu

status gizi baik, status gizi kurang dan status gizi buruk yang dapat dilihat pada

tabel berikut ini :

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 76: 037012007

Tabel 4.19. Distribusi Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Kota Medan Tahun 2007

No. Status Gizi n %1. Baik 68 63,62. Kurang 30 28,03. Buruk 9 8,4

Jumlah 107 100,0

Dari hasil pengukuran berat badan anak diperoleh bahwa sebagian besar anak

berstatus gizi baik. Seperti terlihat pada Tabel 4.19 di atas diketahui bahwa status

gizi baik adalah sebanyak 68 orang (63,6 %), status gizi kurang sebanyak 30 orang

(28,0 %) dan status gizi buruk sebanyak 9 orang (8,4 %).

Tabel 4.20. Distribusi Kategori Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan

di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

No. Kategori Status Gizi n %1. Baik 68 63,62. Tidak Baik (Kurang dan Buruk) 39 36,4

Jumlah 107 100,0

Satus gizi anak anak yang kemudian dikategorikan kedalam 2 kategori yaitu

baik dan tidak baik diperoleh hasil bahwa sebagian besar anak berada pada kategori

baik. Dimana pada Tabel 4.20 di atas dapat diketahui bahwa kategori status

gizi baik adalah 68 orang (63,6 %), sedangkan kategori tidak baik sebanyak 39

orang (36,4%).

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 77: 037012007

4.4. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Faktor Sosial Budaya

Tabulasi silang antara status gizi dengan faktor sosial budaya dapat dilihat

dalam tabel-tabel berikut :

Tabel 4.21. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tingkat Pendidikan Ibu dan

Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

Status Gizi Baik Tidak baik

Jumlah Kategori Pendidikan

N % n % n % Pendidikan Ayah

Tinggi Rendah

4721

67,156,8

2316

32,9 43,2

70 37

100,0100,0

P = 0,395Pendidikan Ibu

Tinggi Rendah

2048

47,673,8

2217

52,4 26,2

42 65

100,0100,0

P = 0,011

Dari Tabel 4.21 diatas dapat diketahui bahwa diantara 37 ayah yang tingkat

pendidikannya rendah, terdapat 16 (43,2%) ayah yang memiliki anak yang status

gizi tidak baik, dan dari 70 ayah yang tingkat pendidikannya tinggi, terdapat 23

(32,9%) ayah yang memiliki anak yang status gizi tidak baik. Dari hasil uji terdapat

nilai p adalah 0,395 (p>0,05) maka menunjukkan bahwa tidak ada hubungan

antara tingkat pendidikan ayah dengan status gizi anak usia 6-24 bulan.

Diantara 42 ibu yang tingkat pendidikannya tinggi, ada 47,6 persen ibu yang

memiliki anak yang status gizi baik, dan dari 65 ibu yang tingkat pendidikan rendah

terdapat 48 (73,8%) ibu yang memliki anak yang status gizi baik. Dari hasil uji

didapat p=0,011 (p<0,05), maka hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 78: 037012007

tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak. Dimana semakin baik tingkat

pendidikan ibu maka status gizi anak akan semakin baik.

Tabel 4.22. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Pekerjaan Ibu dan Ayah

di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

Status Gizi Baik Tidak baik

Jumlah Kategori Pekerjaan

N % n % N % Pekerjaan Ayah

Penghasilan Tetap Penghasilan Tidak Tetap

1751

77,360,0

534

22,7 40,0

22 85

100,0100,0

P = 0,211Pekerjaan Ibu

Penghasilan Tetap Penghasilan Tidak Tetap

365

30,067,0

732

70,0 33,0

10 97

100,0100,0

P = 0,031

Dari Tabel 4.22 diatas dapat diketahui bahwa diantara 22 ayah yang memiliki

pekerjaan dengan penghasilan tetap, terdapat 5 (22,7%) ayah yang memiliki anak

yang status gizi tidak baik, sedangkan dari 85 ayah yang berpenghasilan tidak tetap

terdapat 34 (40,0%) ayah yang memiliki anak yang status gizi tidak baik. Dari hasil

uji terdapat nilai p adalah 0,211 (p>0,05) maka menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan antara pekerjaan ayah dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan.

Diantara 10 ibu yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan tetap, ada

30,0% ibu yang memiliki anak yang status gizi baik, sedangkan dari 97 ibu yang

berpenghasilan tidak tetap terdapat 65 (67,0%) ibu yang memiliki anak yang status

gizi baik. Dari hasil uji didapat p=0,0031 (p<0,05), maka menunjukkan bahwa ada

hubungan antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 79: 037012007

Tabel 4.23. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Penghasilan Keluarga di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

Status Gizi

Baik Tidak baik Jumlah

Penghasilan Keluarga n % n % n %

Tinggi ( ≥ rata-rata Rp 1.065.400) 15 53,6 13 46,4 28 100,0Rendah (< rata-rata Rp.1.065.400) 53 67,1 26 32,9 79 100,0

Jumlah 68 63,6 39 36,4 107 100,0 p =0,294

Penghasilan keluarga tidak mempunyai hubungan terhadap status gizi anak,

hal ini dilihat dari uji statistik yang dihasilkan dimana p = 0,294. Hubungan yang

tidak signifikan dengan p > 0,05 terjadi antara penghasilan keluarga dengan status

gizi anak, dimana semakin baik penghasilan dalam keluarga tidak berhubungan

dengan status gizi anak. Diantara penghasilan keluarga yang tinggi terdapat 15

(53,6%) keluarga yang memliki balita dengan status gizi baik, sedangkan diantara

penghasilan keluarga yang rendah terdapat 53 (67,1%) keluarga yang memiliki

anak dengan status gizi baik pula.

Tabel 4.24. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tradisi/Kepercayaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

Status Gizi

Baik Tidak baik Jumlah

Tradisi/Kepercayaan N % n % n %

Ada pantangan Makanan 10 52,6 9 47,4 19 100,0

Tidak Ada Pantangan Makanan 58 65,9 30 34,1 88 107

Jumlah 68 63,6 39 36,4 107 100,0 p =0,408

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 80: 037012007

Hasil analisa hubungan antara status gizi dengan tradisi diperoleh

bahwa dari 19 keluarga yang memberikan pantangan makanan kepada anak

terdapat 10 anak (52,6%) dengan status gizi baik, sedangkan dari 88 keluarga

yang tidak ada pantangan makanan terdapat 58 anak (65,9%) dengan status gizi

baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,408 maka dapat disimpulkan bahwa

tidak ada hubungan antara tradisi/kepercayaan keluarga dengan status gizi anak.

Tabel 4.25. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Pengetahuan Ibu di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007

Status Gizi

Baik Tidak baik Jumlah

Pengetahuan Ibu N % n % n %

Baik 9 40,9 13 59,1 22 100,0Kurang baik (Sedang) 59 69,4 26 30,6 85 100,0

Jumlah 68 63,6 39 36,4 107 100,0 P=0,026

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa diantara 22 ibu yang berpengetahuan

baik memiliki 13 anak (59,14%) dengan status gizi tidak baik, sedangkan diantara

85 ibu yang pengetahuannya kurang baik terdapat 26 anak (30,6%) dengan status

gizi tidak baik. Dari hasil uji statistik ditemukan nilai p = 0,026 maka ada

hubungan antara pengetahuan ibu dengan tatus gizi anak usia 6 – 24 bulan di

kecamatan Medan Area.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 81: 037012007

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1. Sosial Budaya Ibu dan Ayah

Pendidikan ayah sebesar 34,6 persen masih berpendidikan rendah yaitu SD

dan SLTP. Begitu pula dengan pendidikan ibu 39,3 persen berpendidikan rendah

yaitu SD dan SLTP. Pendidikan dapat mempermudah orang menerima informasi.

Pendidikan dalam penelitian ini merupakan pendidikan formal yang didapat ibu

dari pendidikan sekolah. Ibu yang berpendidikan lebih rendah akan lebih sulit

memahami bagaimana memantau pertumbuhan anak dan dampaknya pada status

gizi anak yang tidak baik.

Sebenarnya pendidikan khusus gizi sangat medukung ibu melaksanakan

pemantauan pertumbuhan anaknya, karena pendidikan gizi merupakan salah satu

upaya penanggulangan gizi. Dengan pendidikan gizi diharapkan terjadi perubahan

perilaku ke arah perbaikan kesehatan dan gizi yang lebih baik lagi. Perilaku

kesehatan dan gizi berasal dari proses sosialisasi dalam sistem keluarga melalui

proses pendidikan maupun sebagai dampak penyebaran informasi. Pangan yang

tersedia tidak banyak berarti tanpa pengetahuan gizi yang baik. Sebalikya

pendidikan gizi tidak akan berhasil seperti yang diharapkan bila pangan tidak

tersedia dan penduduk dalam kondisi miskin, (Baliwati, 2004).

Selain pendidikan, ekonomi juga berperanan dalam pemantauan pertumbuhan

atau lebih kepada status gizi anak, karena peningkatan ekonomi menurut Berg

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 82: 037012007

(1989) akan mendorong rumah tangga menyediakan makanan yang semakin

beragam dan berjenis. Tidak dapat dipungkiri kenyataan teori ini di masyarakat

sering terbukti dengan semakin membaiknya tingkat ekonomi keluarga maka

kecenderungan untuk membeli susu formula semakin meningkat pula. Jenis

pekerjaan ayah dalam penelitian ini adalah sebagian besar berpenghasilan tidak

tetap (79,4%), yaitu ayah yang bekerja sebagai wiraswasta (40,2%), termasuk

didalamnya sebagai pedagang. Ibu yang berpenghasilan tetap dalam penelitian ini

adalah ibu yang bekerja sebagai pegawai swasta dan pegawai negeri sipil (PNS),

dan sebagian besar ibu adalah ibu rumah tangga (71,0 %), sehingga keadaan

ekonomi yang lebih pasti juga menyebabkan kecenderungan terjadinya pergeseran

pola asuh dengan baik. Jika dilihat dari pendapatan keluarga memang lebih banyak

keluarga yang mempunyai penghasilan dibawah rata-rata ≤ Rp. 1.065.400,-

(73,8%). Hal ini berpengaruh pada ketersediaan pangan dalam keluarga yang secara

langsung dapat berpengaruh pada status gizi anak.

Suku ayah terbanyak adalah Minang (42,1 %), begitu pula pada suku ibu yang

terbanyak adalah Minang (51,4%). Hal ini karena di daerah penelitian ini,

kebanyakan masyarakat bersuku Minang, meskipun tidak sedikit susku-suku lain

yang berdomisi di Kecamatan Medan Area, yaitu suku Batak Toba, Batak

Mandailing, Jawa dan lain sebagainya.

Hasil penelitian diketahui masih ada ibu yang memberikan pantangan makan

pada anak (17,8%) dengan alasan kesehatan anak, dimana jenis makanan yang

dipantangkan oleh ibu hanya sejenis makanan yang pedas, jajanan yang

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 83: 037012007

mengandung zat kimia dan penyedap rasa yang berlebihan dan minuman terlalu

dingin. Hal ini berbeda dengan tingkat pengetahuan ibu yang sebagian besar masih

kurang (80,4 %).

5.2. Status Gizi Anak

Status gizi pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori yaitu kategori baik

dan tidak baik, dimana yang termasuk kategori baik adalah status gizi baik dan

yang termasuk kategori tidak baik adalah status gizi kurang, buruk dan lebih. Hasil

penelitian di lapangan diperoleh sebagian besar status gizi anak baik (63,6%) atau

dalam kategori baik, sedangkan 36,4 persen masih pada kategori tidak baik, dimana

terdapat 28 persen berstatus gizi kurang dan 8,4 persen anak dengan gizi buruk.

Angka status gizi kurang dan buruk untuk kecamatan ini, masih lebih besar dari

angka hasil laporan pemantauan status gizi untuk kota Medan tahun 2007, yaitu gizi

kurang 21,8 persen dan status gizi buruk 5 persen, (Dinas Kesehatan Propinsi

Sumatera Utara, tahun 2007).

Banyak hal yang menyebabkan status gizi anak menjadi terganggu baik secara

langsung maupun tidak langsung. Penyebab secara langsung diantaranya adalah

kurangnya informasi yang memadai dan penghasilan keluarga yang masih banyak

dibawah rata-rata (73,8 %). Dimana hal ini berpengaruh terhadap ketersediaan

bahan pangan keluarga, karena pendapatan merupakan faktor yang paling

menentukan kualitas dan kuantitas makanan, (Berg, 1989). Di lain pihak sebagian

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 84: 037012007

kekurangan gizi akan bisa diatasi apabila orang mengetahui bagaimana seharusnya

memanfaatkan sumber yang dimiliki, (Berg, 1989).

Banyak ibu yang tidak lagi menimbang berat badan anaknya secara rutin ke

Posyandu, akibatnya ibu tidak mengetahui bagaimana pertumbuhan anak yang

semestinya. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan ibu tentang bagaiman

cara memantau pertumbuhan anak melalui posyandu, karena kebanyakan ibu tidak

mengerti bagaimana mengetahui anak yang sehat melalui kartu menuju sehat

(KMS) (56,1 %), meskipun mereka mengetahui manfaat dari penimbangan anak

rutin tiap bulannya (88,8%). Kartu Menuju Sehat (KMS) yang akan

menggambarkan status gizi balita tersebut. Rangkaian kegiatan pemantauan tumbuh

kembang balita di posyandu meliputi pendaftaran, penimbangan, pencatatan (KMS)

dan penyuluhan sederhana (Departemen Kesehatan RI, 2002).

Dari data Puskesmas Medan Area, kita ketahui bahwa partisipasi masyarakat

untuk datang ke posyandu (D/S) sudah baik yaitu rata-rata 83,6 persen. Angka ini

menunjukkan sudah mencapai target yang diinginkan yaitu 80 persen. Tetapi

keadaan status gizi yang baik di Medan Area masih 63,6 persen. Hal ini karena

masih banyak faktor yang mempengaruhi status gizi anak, bukan hanya karena

masalah ibu tidak datang membawa anak ke posyandu.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 85: 037012007

5.3. Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi

5.3.1. Pendidikan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi

Pendidikan ayah tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak, dimana

dari hasil uji dketahui bahwa nilai p = 0,395. Sedangkan tingkat pendidikan ibu

memiliki hubungan dengan status gizi (p = 0,011). Hal ini terjadi karena pada

dasarnya ibu yang berperan secara langsung dalam mengasuh anak dalam keluarga.

Tingkat pendidikan ibu dapat dikaitkan pada pola pikir ibu dalam mengasuh anak,

dimana ibu menyediakan pangan keluarga dengan kualitas dan kuantitas yang

cukup baik. Ibu yang berpendidikan tinggi akan lebih mudah menerima informasi

atau menerima pesan-pesan kesehatan dan gizi daripada ibu yang berpendidikan

lebih rendah.

Menurut Notoatmodjo (1997), pendidikan merupakan proses belajar pada diri

seseorang untuk melakukan perubahan. Seseorang dikatakan belajar, jika di dalam

dirinya terjadi perubahan, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak

mengerjakan menjadi dapat mengerjakan sesuatu. Menurut Ensiklopedia (2007),

pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk memberikan pengetahuan

serta ketrampilan. Pengertian ini menunujukkan bahwa pengetahuan penting untuk

mendukung suatu perubahan yang diinginkan. Menurut penelitian Kusumawati dan

Mutalazimah (2004), pendidikan mempunyai hubungan dengan berat bayi lahir,

dalam hal ini pendidikan ibu dimana nilai p adalah 0,0006. Penelitian Kusumawati

dan Mutalazimah ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kecamatan

Medan Area, bahwa pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan status gizi anak.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 86: 037012007

Dari hasil penelitian ditemukan diantara 42 ibu yang tingkat pendidikannya

tinggi, terdapat 47,6 persen ibu yang memiliki anak dengan status gizi baik.

Sedangkan dari 65 ibu yang tingkat pendidikan rendah terdapat terdapat 73,8

persen status gizi anaknya baik. Hal ini berarti anak yang berstatus gizi baik lebih

banyak ditemukan pada ibu yang tingkat pendidikannya rendah.

Hasil survey dilapangan didapat bahwa sebagian besar ibu yang memiliki

tingkat pendidikan rendah selalu berada di rumah. Hal ini menandakan bahwa ibu

yang tingkat pendidikan rendah memiliki waktu lebih banyak untuk merawat dan

memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain itu akan lebih cepat

tanggap terhadap setiap kondisi yang terjadi pada anaknya. Perhatian yang penuh

dan perawatan anak yang maksimal menjadikan status gizi anak menjadi lebih baik.

Dilain pihak ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi lebih banyak

berada di luar rumah dan waktu untuk memperhatikan anak menjadi lebih sedikit,

sehingga anak lebih sering bersama orang lain sebagai pengasuh. Selain itu, kurang

tanggap terhadap konidisi yang terjadi pada pertumbuhan dan perkembangan

anaknya. Keadaan tersebut mengakibatkan anak mengalami gangguan pertumbuhan

dan perkembangan terutama status gizinya. Kurangnya perhatian dan waktu

bersama anak membuat ibu kehilangan kendali dalam memantau pertumbuhan dan

perkembangan anak. Menurut Soekirman (2000) bahwa pola asuh yang tidak

memadai mempengaruhi dalam hal kedekatan dengan anak, memberi makan,

merawat, memberi kasih sayang dan menjaga kebersihan.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 87: 037012007

5.3.2. Pekerjaan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi

Pekerjaan ayah tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak,

dimana p = 0,211, sedangkan pekerjaan ibu berhubungan dengan status gizi

anak, dimana p = 0,031. Hal ini terjadi karena ibu yang bekerja tidak dapat

mengasuh anaknya secara langsung, ibu tidak dapat menyediakan dan memberikan

makan pada anak. Pada ibu yang memiliki penghasilan tetap diketahui memiliki

anak yang status gizi tidak baik lebih besar (70%) dibandingkan anak yang

berstatus gizi tidak baik (30%).

Hasil survey di lapangan ditemukan bahwa ibu yang berpenghasilan tidak

tetap memiki anak status gizi baik dengan angka lebih tinggi (67%) dibandingkan

ibu berpenghasilan tetap (30%). Hal ini terjadi karena ibu yang memiliki

penghasilan tetap lebih banyak waktu diluar rumah dan bekerja dibandingkan ibu

yang penghasilannya tidak tetap. Dikarenakan ibu yang berpenghasilan tetap

kebanyakan bekerja sebagai karyawan swasta dengan rutinitas lebih banyak diluar

rumah, sehingga pola asuh anak lebih banyak dilakukan orang lain sebagai

pengasuhnya yang kemungkinan besar pengetahuan terhadap pola asuh yang baik

masih kurang. Sementara ibu yang berpenghasilan tidak tetap sebagian besar adalah

ibu rumah tangga yang kesehariannya hanya di rumah. Dengan demikian secara

langsung dapat merawat dan mengasuh anaknya sendiri, sehingga ibu dapat

memantau pertumbuhan dan perkembangan anaknya terutama status gizinya.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 88: 037012007

5.3.3. Penghasilan dengan Status Gizi

Hasil penelitian menunjukan bahwa penghasilan tidak berhubungan dengan

status gizi anak, dimana nilai p = 0,294 (p > 0,05). Hal ini karena penghasilan rata-

rata di Kecamatan Medan Area hanya berkisar 1 (satu) juta rupiah, sedangkan yang

di bawah rata-rata ada 73,8 persen. Sebagian besar keluarga di Kecamatan Medan

Area mempunyai penghasilan yang homogen sehingga penghasilan tidak

mempengaruhi kepada status gizi anak.

Pendapatan dikatakan mempunyai hubungan dengan status gizi anak, menurut

yang tertulis dalam buku Berg (1989), anak-anak yang lebih banyak di dalam

keluarga yang mempunyai pendapatan yang sama dengan keluarga lain, maka

status gizi anak dalam keluarga yang mempunyai anggota yang lebih banyak akan

lebih rendah daripada status gizi anak dalam keluarga yang mempunyai anggota

lebih sedikit. Jumlah yang diberi makan akan lebih banyak, sementara pendapatan

tidak mencukupi. Pendapatan yang tidak mencukupi lebih bayak habis untuk

makanan. Menurut pernyataan dalam buku Soekirman (2000), setiap pertambahan

penghasilan akan menambah keragaman jenis bahan makanan yang dikonsumsi.

Tetapi dalam penelitian ini penghasilan tidak mempunyai hubungan dengan

status gizi anak karena rata-rata pendapatan keluarga sebanyak 1 (satu) juta rupiah,

rata-rata pendapatan seperti ini untuk ukuran hidup di kota sangat minim dan tidak

mencukupi untuk kebutuhan hidup satu keluarga. Pendapatan hanya dihabiskan

sebahagian besar untuk membeli makanan, sehingga untuk kelompok keluarga

yang mempunyai pendapatan diatas atau sama dengan 1 (satu) juta rupiah tidak

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 89: 037012007

mempunyai perbedaan yang mencolok dengan yang dibawah rata-rata, sama-sama

mempunyai anak dengan status gizi tidak baik. Dimana 46,4 % anak dengan status

gizi tiedak baik berasal dari keluarga yang mempunyai pendapatan ≥ 1 (satu) juta

rupiah dan 32,9 % anak status gizi tidak baik berasal dari keluarga yang

mempunyai pendapatan dibawah 1 (satu) juta rupiah.

5.3.4. Tradisi/Kebiasaan dengan Status Gizi

Tradisi/kebiasaan tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak, dimana

nilai p = 0,408 atau p > 0,05. Tidak ada makanan yang dipantangkan untuk anak

dalam keluarga yang tinggal di Kecamatan Medan Area, sehingga tradisi/kebiasaan

tidak mempunyai hubungan dengan status gizi anak. Disamping itu hasil survey

dilapangan menunjukkan bahwa masyarakat Kecamatan Medan Area yang terdiri

dari beragam suku/etnis, namun secara tradisi/kebiasaan dalam pola makan ataupun

konsumsi yang diberikan kepada anak yang berkaitan dengan latar belakang budaya

suku/etnis masing-masing keluarga tersebut sudah tidak dilakukan.

Umumnya untuk masyarakat perkotaan atau masyarakat yang sudah tinggal

dalam satu wilayah yang sama mempunyai adat dan kebiasaan yang sama pula.

Adat dan kebiasaan yang berasal dari leluhur/suku karena proses waktu yang lama

akan merubah perilaku individu/keluarga dan menyesuaikan diri dengan

lingkungan di tempat individu/keluarga tinggal, sehingga masyarakat di tempat

penelitian (Kecamatan Medan Area) mempunyai adat atau kebiasaan memberi

makan anak yang sama. Menurut Robson (1980) kebiasaan makan pada orang-

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 90: 037012007

orang yang tinggal disuatu daerah yang sama biasanya tidak berbeda, kebiasaan

makan dibentuk dari sejak anak (usia muda) dan dalam waktu yang lama dan

dipengaruhi oleh ekologi (lingkungan).

5.3.5. Pengetahuan dengan Status Gizi

Pengetahuan ibu memiliki hubungan dengan status gizi anak, dimana

nilai p = 0,026 atau p < 0,05. Keadaan ini sejalan dengan penelitian Kusumawati

dan Mutalazimah (2004), dimana pengetahuan ibu mempunyai hubungan dengan

berat bayi lahir dimana nilai p adalah 0,014.

Pengetahuan mempengaruhi perilaku seseorang, karena pemahaman tentang

objek sudah diketahui, dalam konteks penelitian ini pengetahuan ibu tentang

kesehatan dan gizi sudah memberikan pemahaman untuk bertindak. Walaupun

sebagian besar ibu hanya mempunyai pengetahuan dengan tingkat sedang (40-

75%). Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan mendukung seseorang untuk

bertindak.

Dalam penelitian ini, pengetahuan ibu tentang makanan pada anak seperti,

mengetahui arti makanan seimbang, ibu-ibu lebih banyak mengetahui bahwa

makanan seimbang itu adalah makanan yang mengandung karbohidrat, protein dan

vitamin (71 %). Sedangkan makanan yang baik untuk anak menurut ibu adalah

makanan dengan ASI dan karbohidrat (65,4 %). Pemahaman ibu tentang makanan

dalam konteks ini dikatakan sedang jika mengacu kepada batasan dalam buku

Notoatmodjo (1997) dimana pengetahuan sedang antara 40-75 persen.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 91: 037012007

Pengetahuan ini akan mendukung ibu dalam merawat dan mengasuh anak termasuk

pemberian makan pada anak, sehingga akan berdampak kepada status gizi anak.

Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan merupakan respon tertutup yang belum

diekspresikan ke tindakan, dan belum dapat dilihat/diamati orang lain secara jelas.

Hasil penelitian diperoleh bahwa ibu yang pengetahuannya kurang baik

memiliki anak dengan status gizi baik lebih tinggi (69,4 %) dibandingkan ibu yang

pengetahuannya baik (40,9 %). Hal ini bisa saja terjadi, dikarenakan banyak faktor

yang mempengaruhi status gizi anak diantaranya faktor lingkungan, penyakit

infeksi dan lain sebagainya. Dimana dengan kondisi lingkungan di Kecamatan

Medan Erea yang dapat digolongkan kurang baik karena padatnya penduduk,

perumahan yang kurang sehat, kebersihan yang masih kurang dan lain sebagainya

menyebabkan anak mudah terserang berbagai macam penyakit termasuk penyakit

infeksi yang secara langsung mempengaruhi status gizi anak. Selain itu dilapangan

juga dijumpai ibu yang memiliki pengetahuan baik, namun pada prakteknya masih

kurang. hal ini dikarenakan anak diasuh oleh orang lain ataupun tingkat ekonomi

yang tidak memadai untuk mendukung tingkat pengetahuan yang baik tersebut.

Ibu-ibu yang memiliki pengetahuan lebih baik biasanya memiliki pendidikan

yang lebih tinggi, sedangkan ibu yang memiliki pendidikan tinggi lebih

mempunyai kesempatan untuk bekerja di luar rumah, sehingga pola asuh anak

dalam keluarga menurun, karena waktu ibu lebih banyak digunakan diluar rumah

daripada untuk mengasuh anak, hal ini dapat menyebabkan status gizi anak tidak

baik.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 92: 037012007

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ikhwansyah (2004) di

Kecamatan Kertak Hanyar Kabupaten Banjar bahwa terdapatnya hubungan secara

bermakna (P < 0,005) antara pengetahuan ibu dengan status gizi anak balita,

(www.yahoo.com).

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 93: 037012007

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta sesuai dengan tujuan

penelitian, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Tidak ada hubungan pendidikan ayah dengan status gizi anak (p = 0,395),

dimana pada kelompok status gizi anak yang baik tidak mempunyai

perbedaan antara ayah dengan pendidikan tinggi (67,1 %) dan pendidikan

rendah (56,8 %).

2. Pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan statu gizi anak (P = 0,011)

dengan arah hubungan yang negatif, dimana ibu yang berpendidikan rendah

mempunyai anak dengan status baik (73,8 %) lebih banyak dibandingkan

ibu yang berpendidikan tinggi (47,6 %).

3. Tidak ada hubungan pekerjaan ayah dengan status gizi anak (P = 0,211),

imana ayah mempunyai pekerjaan dengan penghasilan tetap dan tidak tetap

sama-sama memiliki anak dengan status gizi baik.

4. Pekerjaan ibu mempunyai hubungan dengan status gizi anak (P = 0,031),

dimana ibu yang bekerja lebih banyak di rumah (berpenghasilan tidak tetap)

mempunyai lebih banyak anak dengan status gizi baik (67,0 %) dari pada

ibu yang bekerja di luar ruamah (berpenghasilan tetap).

5. Penghasilan keluarga yang diatas atau sama dengan Rp.1.065.400,- maupun

dibawah Rp.1.065.400,- tidak mempunyai hubungan dengan status gizi

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 94: 037012007

anak, dimana untuk kategori penghasilan keluarga ini mempunyai anak

dengan status gizi baik yang sama-sama banyak.

6. Tidak ada hubungan antara tadisi/kebiasaan dengan status gizi anak (p =

0,408), dimana keluarga yang tidak mempunyai tradisi makanan pantangan

mempunyai 65,9 % anak dengan status gizi baik, demikian juga dengan

keluarga yang mempunyai tradisi makanan mempunyai anak dengan status

gizi baik yang tinggi (52,6 %).

7. Pengetahuan ibu mempunyai hubungan dengan status gizi anak (p = 0,026)

dengan arah hubungan yang negatif, dimana ibu yang yangb mempunyai

pengetahuan kurang baik memiliki anak dengan status gizi baik (69,4 %)

lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang berpengetahuan baik (40,9%).

6.2. Saran

Berdasarkan kesimpiulan diajukan beberapa saran sebagai bahan

pertimbangan dalam pemecahan masalah sehingga dapat meningkatkan kulitas

anak balita khususnya anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan area Kota

Medan, adapun saran tersebut sebagai berikut :

1. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan, bahwa :

a. Dalam menyusun kegiatan perencanaan pada bidang kesehatan,

khususnya kegiatan upaya peningkatan status gizi masyarakat agar

mempertimbangkan faktor sosial budaya.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 95: 037012007

b. Secara berkesinambungan agar melakukan supervisi terhadap

puskesmas untuk pemantauan kinerja petugas puskesmas dalam

meningkatkan status gizi balita pada masing-masing keluarga.

c. Untuk memberikan penyegaran kepada petugas puskesmas melalui

berbagai kursus dan pelatihan peningkatan status gizi balita, yang

diharapkan nantinya dapat memberikan bimbingan maupun

penyampaian informasi kepada masyarakat dalam kegiatan pengasuhan,

khususnya para ibu yang memiliki balita.

d. Secara berkala memberikan penghargaan kepada petugas puskesmas

yang berprestasi dalam upaya peningkatan status gizi balita, sehingga

peran petugas tersebut dalam pendampingan kepada para ibu yang

memiliki balita dapat lebih efektif.

2. Disarankan kepada puskesmas :

a. Agar kepala puskesmas lebih meningkatkan kegiatan bagi tenaga gizi

untuk membina para kader posyandu dalam pemantauan status gizi

balita.

b. Agar petugas gizi memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang

pentingnya meningkatkan status gizi, khususnya tentang hubungan

faktor sosial budaya (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan,

tradisi/kebiasaan makan) dengan status gizi anak, khususnya kepada

para ibu.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 96: 037012007

c. Agar petugas gizi memberikan penyuluhan kepada masyarakat dalam

peningkatan pola asuh yang baik sehingga dapat meningkatkan status

gizi anak-anak mereka.

d. Agar petugas gizi membekali para kader posyandu dengan tehnik-tehnik

komunikasi pada masyarakat, utamanya dalam mendekati etnis china,

sehingga partisipasi dan kemauan dari etnis china dalam kegiatan

pemantauan kesehatan balita dapat ditingkatkan.

3. Disaran kepada Lembaga Pemerhati Kesehatan dan Masalah Gizi agar lebih

meningkatkan kegiatanya dalam mendukung penanggulangan permasalahan

gizi, khususnya bagi balita.

4. Disarankan kepada Pemerintah Kota Medan dan masyarakat untuk

bekerjasama dalam meningkatkan sarana prasarana yang dapat

meningkatkan status gizi balita seperti pengadaan Tempat Penitipan Anak

(TPA) yang nantinya diharapkan dapat mendukung dalam memperhatikan

kesehatan dan status gizi anak.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 97: 037012007

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Ahmadi, Abu. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Alfonsine. 1985. Manual Pelayanan GiziUntuk Karya Kesehatan. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia. Ancok, Djamaluddin. 1992. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Yogyakarta:

Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta: Rineka Cipta. Berg, A., 1989. Peranan Gizi dalam Pembangunan, Jakarta: Penerbit CV Rajawali. Departemen Kesehatan RI. 1996. Program Kelangsungan Hidup dan

Perkembangan Anak Ditinjau Dari Peningkatan Penggunaan ASI dan Pembinaan Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Dep Kes RI.

Departemen Kesehatan RI. 1994. Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam

Bidang Kesehatan 1994/95 – 1998/99. Jakarta: Dep Kes RI. Departemen Kesehatan RI. 1985. Pedoman Bina Tumbuh Kembang Anak. Jakarta:

Dep Kes RI. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. Program Keluarga Sehat. Djiteng Roedjito. 1987. Kajian Perencanaan Gizi. Bogor: Institut Pertanian. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 1992. Pedoman Pemantauan Status Gizi Melalui

Posyandu. Jakarta. Fauzi Muzaham. 1995. Sosiologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press. Foster, George, M & Barbara G, Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan,

Penerjemah : Priyanti S. Pakan dan Meutia Swasono, Penerbit UI Press, Jakarta.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 98: 037012007

Helman, Cecil, 1984, Culture, Health, and Illness, Bristol: John Wright & Sons, Ltd.

Ikhwansyah, 2004. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Balita di Kecamatan Kertak Hanyar Kabupaten Banajar, WWW.yahoo.com 26 Maret 2008

International Food Policy Research Institute. 1997. Care and Nutrition Concepts

and Measurement. Washington DC. Khumaidi, M. 1994. Gizi Masyarakat. Jakarta: Gunung Mulia. Koentjaraningrat. 1993. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia. Kusuma, Yuli dan Mutalazimah. 2004. Hubungan Pendidikan Dan Pengatahuan

Gizi Ibu dengan Berat Badan Bayi Lahir di RSUD DR. Moewardi Surakarta. Surakarta. INFOKES, 8(1). www.yahoo.com 18 desember.

Lanner, Lenore J. & Jean-Pierre Habiet. 1989, Concepts about Infants Healt,

Growth and Meaning, A. Comparison Between Nutritional Scientist and Madurese Mothers, Social Science Medicine, Vol. 29 (1)

Lastoro, Lana. 2006. Belajar menulis Sejarah sosial Masyarakat. SAV PUSKAT

Sinduharjo. Sleman. www.yahoo.com. 4 Januari 2008 Lie Goan Hong. 1995. Pola Makanan Di Indonesia, Aspek Kesehatan dan Gizi

Anak Balita. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lisdiana. 1997. Waspada Terhadap Kelebihan dan Kekurangan Gizi. Bandar

Lampung: Trubus Agriwidya. Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mundy, Pahil, A. 1995. Indegenous Communication and Indigeneos Knowledge.

The Culture Dimention of Development Indigenous Knowledge System. (D.M. Warren L, J. Slikkerveer & D. Brokensha, ed). Intermediate Tecnology Publication.

Notoatmojo. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan.

Yogyakarta: Andi Offset. Rakhmat Jalaluddin, 1991, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung, PT. Remaja

Rosdakarya.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 99: 037012007

Pelto, Gretel, 1980, Anthropological Contributions to Nutrition Education Research, Journal of Nutrition Education, Vol. 13 (1): 2 – 8.

Pemerintah R.I. dan WHO, 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001 – 2005, Jakarta.

Persagi. 1990. Gizi Indonesia. Jakarta. Sagir. 1992. Kesempatan Kerja Ketahanan Nasional dan Pembangunan Manusia

Seutuhnya. Bandung: Alumni. Santoso, dkk. 1999. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta. Santoso, dkk. 1978. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Akademi Gizi. Sastroasmoro, Sdigdo dan sofyan Ismail, 1995. Dasar-dasar metodologi

Penenlitian Klinis. Bagian Ilimu Kesehatan Anak fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . Jakarta : Banarupa Aksara.

Shadily, Hasan. 1984. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina

Aksara. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Untuk Keluarga dan Masyarakat.

Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Soeleman, Munandar. 1992. Ilmu Budaya Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial.

Bandung: Eresco. Soetjiningsih., 1995. Tumbuh Kembang Anak, Jakarta: EGC Kedokteran. Solihin, Pudjiati. 1993. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: FKUI. Suhardjo. 1986. Pangan, Gizi, dan Pertanian. UI Press, Jakarta. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Jakarta: Depdikbud Pendidikan Tinggi Pusat. Sumaatmadja, Nursid. 1986. Perspektif Studi Sosial. Bandung: Alumni. Sugiyono. 1992. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Suparni. 1988. Tata Boga, Praktek Menyusun Menu Untuk Keluarga. Solo: Tiga

Serangkai. Widagdho, Djoko. 1993. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 100: 037012007

Wikipedia Indonesia. 2007. Ensiklopedia Bebas Berbahasa Pendidikan.

www.yahoo.com. 18 Desember 2007. Winarno. 1990. Gizi dan Makanan Bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan. Robson, J.R.K, 1980. Food, Ecology and Cultural, Readings in the Anthropology of

Dictory Practices. Newyork : Gordon and Breach Science Publisher.

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 101: 037012007

Lampiran 1

KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 –

24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN

NOMOR RESPONDEN :

A. NAMA PEWAWANCARA :…………………………………… B. TANGGAL WAWANCARA :…………………………………… C. WAKTU : PUKUL :……………….s/d……………….. Indentitas Responden

1. Tanggal Wawancara :……………………………………………. 2. Nama :……………………………………………. 3.Agama / Suku :……………………………………………. 4. Alamat :……………………………………………. Usia Anak Balita 1. Berapakah usia anak ibu sekarang ? Sebutkan ..................bulan 2. Tanggal lahir : ......../.........../........... (dd/mm/yy) Pendidikan Oang Tua Pendidikan orang tua yang ditamatkan pada jenjang pendidikan terakhir :

Pendidikan Ayah Ibu 1. SD 2. SLTP 3. SLTA 4. Akad/S1

Pekerjaan Orang Tua

Pekerjaan Ayah Ibu 1. PNS/TNI/Polri 2. Karyawan Swasta 3. Buruh/Pekerja lepas 4. Ibu Rumah Tangga 5. Wiraswasta 6. ......................................

Penghasilan Keluarga Penghasilan keluarga yang didapat dalam sebulan, bersumber dari pekerjaan ayah dan ibu : Rp...................................................................... Tradisi/Kepercayaan 1. Apakah anak ibu mempunyai makanan yang tidak boleh dimakan/dipantangkan ? a. Ya b. Tidak

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 102: 037012007

2. Jika ya, makanan apa yang tidak boleh dimakan/dipantangkan pada anak ibu ? (sebutkan) ............................................................................................................................... 3. Kenapa makanan tersebut dipantangkan pada anak ibu ? a. alasan kesehatan : (sebutkan)............................................................................................................................. b. alasan dari leluhur : (sebutkan) .................................................................................................................................. c. alasan lain : (sebutkan) .................................................................................................................................. Suku Orang Tua

Suku Ayah Ibu 1. Batak Toba 2. Batak Mandailing 3. Batak Karo 4. Jawa 5. Melayu 6. Minang 7. Nias 8. Sunda 9. lain-lain

...........................

Pengetahuan 1. Apakah anda tahu apa arti anak yang sehat ?

a. Anak yang selalu naik berat badannya (2) b. Anak yang tidak pernah sakit (1) c. tidak tahu (0)

2. Bagaimana anda mengetahui anak yang sehat melalui KMS ? a. anak yang naik berat badannya dalam salah satu pita warna (2) b. anak yang naik berat badannya dan berpindah pada pita warna di atasnya (1) c. tidak tahu (0)

3. Apakah ibu tahu manfaat dari melakukan penimbangan secara rutin pada anak ? a. mengetahui secara dini setiap ada gangguan pertumbuhan pada anak (2) b. dapat mengetahui dengan cepat kepintaran anak (1) c. tidak tahu (0)

4. Apakah ibu tahu makanan yang baik pada bayi ? a. ASI saja sampai usia anak 6 bulan (2) b. ASI dengan makanan lumat lainnya (1) c. tidak tahu (0)

5. Apakah ibu tahu kapan makanan boleh pertama kali dikenalkan pada bayi ? a. pada usia bayi setelah 6 bulan (2) b. pada usia bayi sebelum 6 bulan (1) c. tidak tahu (0)

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 103: 037012007

6. Kapan anak ibu seharusnya dihentikan ASI (sapih) ? a. sampai anak berusia 24 bulan (2) b. sampai anak berhenti sendiri (1) c. tidak tahu (0) 7. Apakah ibu tahu arti dari anak BGM ?

a. anak yang berat badannya di bawah garis merah (2) b. anak dengan status gizi buruk (1) c. tidak tahu

8. Apakah ibu tahu apa yang dilakukan jika anak BGM ?

a. membawa anak ke puskesmas dan minta nasihat yang harus dilakukan pada anak (2) b. memberi makan pada anak sesering mungkin tanpa membawa ke puskesmas (1) c. tidak tahu (0)

9. Apa ibu tahu tanda-tanda anak kekurangan makan ? a. anak badannya kurus dan beratnya tidak naik (2) b. anak rewel dan tidak ceria (1) c. tidak tahu (0)

10. Manfaat ASI adalah :

a. meningkatkan kekebalan tubuh bayi, agar tidak mudah sakit Ya (1) Tidak (0) b. menjadikan hubungan ibu dan bayi semakin erat Ya (1) Tidak (0) c. tidak tahu (0)

11. Makanan yang baik untuk anak ibu adalah : a. ASI dan makanan lain yang mengandung cukup zat gizi seimbang (2) b. ASI dan makanan lain yang hanya mengandung kalori dan protein (1) c. Tidak tahu (0)

12. Menurut ibu apakah harus ada makanan yang dipantangkan bagi anak kecuali makanan yang terlalu merangsang (pedas dan banyak bumbu) ?

a. Tidak (2) b. Ya (1) c. Tidak tahu (0)

13. Apakah arti makanan yang megandung zat gizi seimbang ? a. mengandung zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur dalam porsi yang cukup (2) b. mengandung zat karbohidrat, protein dan vitamin (1) c. tidak tahu

14. Kapan sebaiknya frekuensi ASI diberikan dalam sehari ? a. sekehendak hati anak, kapan saja anak mau harus diberikan (2) b. 3 kali saja dalam sehari (1) c. tidak tahu (0)

15. Menurut ibu apa manfaat dari menjaga kebersihan diri dan lingkungan anak ? a. agar anak tetap sehat dan baik pertumbuhan dan perkembangannya (2) b. agar anak tidak mudah sakit dan mau makan (1) c. tidak tahu

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 104: 037012007

Hasil penimbangan Berat badan I : ......................kg Berat badan II : ......................kg Rata-rata berat badan : Berat badan I + II = ...................kg 2

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 105: 037012007

Lampiran 4

Uji Validitas Pengetahuan Correlations

Total

Pengetahuan Pengetahuan1 Pearson Correlation .778** Sig. (2-tailed) .001 N 15 Pengetahuan 2 Pearson Correlation .868** Sig. (2-tailed) .000 N 15 Pengetahuan 3 Pearson Correlation .652* Sig. (2-tailed) .011 N 15 Pengetahuan 4 Pearson Correlation .773** Sig. (2-tailed) .001 N 15 Pengetahuan 5 Pearson Correlation .656* Sig. (2-tailed) .011 N 15 Pengetahuan 6 Pearson Correlation .778** Sig. (2-tailed) .001 N 15 Pengetahuan 7 Pearson Correlation .925** Sig. (2-tailed) .000 N 15 Pengetahuan 8 Pearson Correlation .638* Sig. (2-tailed) .010 N 15

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 106: 037012007

Total

Pengetahuan Pengetahuan 9 Pearson Correlation .571* Sig. (2-tailed) .029 N 15 Pengetahuan 10 Pearson Correlation .652* Sig. (2-tailed) .011 N 15 Pengetahuan 11 Pearson Correlation .574* Sig. (2-tailed) .025 N 15 Pengetahuan 12 Pearson Correlation .638* Sig. (2-tailed) .010 N 15 Pengetahuan 13 Pearson Correlation .516* Sig. (2-tailed) .049 N 15 Pengetahuan 14 Pearson Correlation .515* Sig. (2-tailed) .048 N 15 Pengetahuan 15 Pearson Correlation .516* Sig. (2-tailed) .049 N 15 Total Pengetahuan

Pearson Correlation 1.000

Sig. (2-tailed) . N 15

* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 107: 037012007

Reliability Pengetahuan Case Processing Summary N % Cases Valid 15 100.0 Excluded(

a) 0 .0

Total 15 100.0a Listwise deletion based on all

variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

.678 15 Item Statistics

Mean Std.

Deviation N Pengetahuan 1 1.67 .488 15

Pengetahuan 2 2.40 .737 15

Pengetahuan 3 1.20 .561 15

Pengetahuan 4 1.67 .488 15

Pengetahuan 5 1.20 .414 15

Pengetahuan 6 1.67 .488 15

Pengetahuan 7 2.67 .724 15

Pengetahuan 8 2.07 .799 15

Pengetahuan 9 1.87 .352 15

Pengetahuan 10 2.53 .302 15

Pengetahuan 11 1.73 .458 15

Pengetahuan 12 1.20 .561 15

Pengetahuan 13 2.00 .378 15

Pengetahuan 14 1.27 .594 15

Pengetahuan 15 1.60 .507 15

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Page 108: 037012007

Hendra Yudi : Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kecamatan..., 2008 USU e-Repository © 2008

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item

Deleted

Scale Variance if

Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if

Item Deleted

Pengetahuan 1 25.07 17.210 -.271 .716

Pengetahuan 2 24.33 11.667 .823 .573

Pengetahuan 3 25.53 15.124 .210 .672

Pengetahuan 4 25.07 13.495 .731 .617

Pengetahuan 5 25.53 15.981 .060 .684

Pengetahuan 6 25.07 15.067 .277 .665

Pengetahuan 7 24.07 11.495 .883 .564

Pengetahuan 8 24.67 13.238 .426 .641

Pengetahuan 9 24.87 16.981 -.259 .704

Pengetahuan 10 24.20 14.029 .064 .746

Pengetahuan 11 25.00 14.143 .581 .636

Pengetahuan 12 25.53 15.838 .045 .690

Pengetahuan 13 24.73 14.781 .492 .650

Pengetahuan 14 25.47 14.981 .222 .671

Pengetahuan 15 25.13 14.552 .399 .652

Scale Statistics

Mean Variance Std.

Deviation N of

Items 26.73 16.352 4.044 15