fdcipb.files.wordpress.com · web viewmahasiswa fakultas perikanan dan ilmu kelautan ipb, bogor...

24
KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI DERMAGA PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU (Coral Reefs Ecosystem Condition at Ship dock Pramuka Island, Kepulauan Seribu) Hidayat Z. R (1) , Ayu G. S (1) , M. Ramadhany (1) 1. Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor Simulasi Monitoring Ekosistem Terumbu Karang Fisheries Diving Club – IPB Diklat 29 ABSTRAK Ekosistem Terumbu karang merupakan salah satu potensi sumberdaya laut yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Tingkat adaptasi dan keanekaragaman spesies di terumbu karang dipengaruhi oleh adanya interaksi yang kompleks antara biota penyusun ekosistem tersebut. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada stasiun pengamatan Dermaga 1a memiliki persen penutupan karang keras sebesar 13,67%, Dermaga 1b sebesar 15,38% dan Dermaga 2 sebesar 8,32% dengan indeks mortalitas karang di tiap stasiun pengamatannya sebesar 0,81, 0,80 dan 0,90. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) ikan terumbu tertinggi di Dermaga 2 sebesar 1,93. Selanjutnya, Dermaga 1b sebesar 1,81 dan terendah terdapat di Dermaga 1a sebesar 1,14. Hasil perhitungan indeks dominansi (C) tertinggi di Dermaga 1a 0,55. Selanjutnya, Dermaga 1b sebesar 0,27 dan terkecil di Dermaga 2 sebesar 0,19. Rata-rata keanekaragaman makrobentos di daerah Dermaga Pulau Pramuka di kategorikan sedang, dengan nilai 2,27. Nilai keseragaman makrobentos (E) yang tertinggi terdapat pada Dermaga 1a dengan nilai 0,66, dengan nilai rataan 0,55. Keseragaman makrobentos termasuk kategori sedang dan komunitas labil. Dominansi makrobentos tertinggi terdapat di Dermaga 1b dengan nilai 1,59. Rata-rata dominansi pada daerah Dermaga Pulau Pramuka yaitu 0,63 dan termasuk kategori sedang. Keseluruhan data yang diperoleh didapat dengan menggunakan metode LIT untuk karang, ikan dan makrobentos menggunakan belt transect dengan visual sensus. Kata kunci : Terumbu karang, spesies ikan, kelimpahan, metode, stasiun pengamatan, LIT, belt transect 1

Upload: ngoxuyen

Post on 10-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI DERMAGA PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

(Coral Reefs Ecosystem Condition at Ship dock Pramuka Island, Kepulauan Seribu)Hidayat Z. R (1), Ayu G. S (1), M. Ramadhany (1)

1. Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor

Simulasi Monitoring Ekosistem Terumbu Karang Fisheries Diving Club – IPB Diklat 29

ABSTRAK

Ekosistem Terumbu karang merupakan salah satu potensi sumberdaya laut yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Tingkat adaptasi dan keanekaragaman spesies di terumbu karang dipengaruhi oleh adanya interaksi yang kompleks antara biota penyusun ekosistem tersebut. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada stasiun pengamatan Dermaga 1a memiliki persen penutupan karang keras sebesar 13,67%, Dermaga 1b sebesar 15,38% dan Dermaga 2 sebesar 8,32% dengan indeks mortalitas karang di tiap stasiun pengamatannya sebesar 0,81, 0,80 dan 0,90. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) ikan terumbu tertinggi di Dermaga 2 sebesar 1,93. Selanjutnya, Dermaga 1b sebesar 1,81 dan terendah terdapat di Dermaga 1a sebesar 1,14. Hasil perhitungan indeks dominansi (C) tertinggi di Dermaga 1a 0,55. Selanjutnya, Dermaga 1b sebesar 0,27 dan terkecil di Dermaga 2 sebesar 0,19. Rata-rata keanekaragaman makrobentos di daerah Dermaga Pulau Pramuka di kategorikan sedang, dengan nilai 2,27. Nilai keseragaman makrobentos (E) yang tertinggi terdapat pada Dermaga 1a dengan nilai 0,66, dengan nilai rataan 0,55. Keseragaman makrobentos termasuk kategori sedang dan komunitas labil. Dominansi makrobentos tertinggi terdapat di Dermaga 1b dengan nilai 1,59. Rata-rata dominansi pada daerah Dermaga Pulau Pramuka yaitu 0,63 dan termasuk kategori sedang. Keseluruhan data yang diperoleh didapat dengan menggunakan metode LIT untuk karang, ikan dan makrobentos menggunakan belt transect dengan visual sensus.

Kata kunci : Terumbu karang, spesies ikan, kelimpahan, metode, stasiun pengamatan, LIT, belt transect

ABSTRACT

Coral reefs ecosystem are one of the ocean resource that very important for human life. The levels of adaptation and species diversity in coral reefs affected by the presence of complex interactions between the constituent biota ecosystem. Observations show that diving site at Dermaga 1 a percent hard coral cover 13.67%, 15.38% for Dermaga 1 b and Dermaga 2 at 8.32% with an index of coral mortality at each observation station at 0.81, 0, 80 and 0 , 90. The results of calculation of diversity index (H ') of reef fishes highest at Dermaga 2 of 1.93. More at Demaga 1 b by 1.81and the lowest at Dermaga 1 a by 1.14. The results of calculation of the dominance index (C) the highest at Dermaga 1 a by 0.55, Dermaga 1 b by 0.27 the next at Dermaga 2 and the smallest 0.19. The average macrobenthos diversity in areas categorized Pramuka Island Dermaga, with a value of 2.27. And for uniformity macrobenthos value (E) is the highest found in the Dermaga 1 a with the value 0.66, with an average value of 0.55, including

1

the category of being macrobenthos uniformity and community instability. The dominance of the macrobenthos was highest in Dermaga 1 b with a value of 1.59. Average dominance in the Dermaga area Pramuka Island is 0.63 and includes a category of being. The overall data obtained by using the LIT method for coral, fish and macrobenthos using belt transects with visual census.

Keywords :Coral reef, fish species, kelimpahan, method, survey result,LIT, belt transect

PENDAHULUAN

Pulau Pramuka merupakan salah satu gugusan Kepulauan Seribu yang menjadi pusat administrasi bagi Kepulauan Seribu. Ekosistem Terumbu karang merupakan salah satu potensi sumberdaya laut yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi terumbu karang yang berada di daerah sekitar dermaga perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.

METODOLOGI

Gambar 1. Peta stasiun penyelaman

Pengamatan pada 3 komponen utama ekosistem terumbu karang ini dilakukan dengan metode visual sensus menggunakan LIT dan Belt transect. Kedua metode yang digunakan baik LIT maupun belt transect ini dilakukan pada dua kedalaman 3 m dan 10

m. LIT (Line Intercept Transect) merupakan metode pengambilan data yang dilakukan untuk menentukan persentase tutupan karang, seperti karang keras, karang lunak, spons, alga, dan juga karang mati (Wilkinson, Hill. 2004). Metode yang digunakan pada pengamatan karang ini dilakukan dengan mencatat semua biota yang ditemukan yang menyinggung garis transek. Data karang yang diambil dengan metode ini hingga tahap taksonomi genus sehingga ketelitian yang didapatkan cukup baik.

Pengambilan data dengan menggunakan metode LIT ini dilakukan sepanjang transek 75 meter yang sejajar garis pantai dengan 3 kali ulangan berjeda 5 meter. Pengamat melakukan pengambilan data karang pada biota yang tepat menyinggung garis transek, selanjutnya data yang diperoleh dianalisis berdasarkan persen penutupan karang dan indeks mortalitas karang.

Data ikan terumbu dan makrobentos diambil dengan menggunakan metode belt transect. Perbedaan metode belt transect pada pengambilan data ikan terumbu dengan makrobentos terlihat pada luasan daerah pengambilan data. Pada pengambilan data ikan terumbu, luasan pengambilan data adalah 300 m2 sedangkan pengambilan data makrobentos luasan pengambilan data adalah 120 m2.Pengambilan data ikan terumbu dilakukan pada transek sepanjang 75 meter,

2

pengambilan data dilakukan dengan 3 kali ulangan berjeda 5 meter. Data yang diambil berjarak 2,5 meter ke arah kanan dan kiri, dan 5 meter ke atas.

Metode belt transect makrobentos dilakukan sepanjang transek 75 meter dengan interval 5 meter. Pengambilan data makrobentos ini dilakukan dengan jarak 1 meter ke kanan dan 1 meter ke kiri. Metode belt transect ini memiliki ketelitian yang cukup baik hingga tahap taksonomi spesies. Data yang diambil pada ikan terumbu dan makrobentos selanjutnya dianalisis berdasarkan kelimpahan (English et al., 1994), indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Odum, 1971), indeks keseragaman (Odum, 1971), dan indeks dominasi (Odum, 1971)

ANALISIS DATA

KARANG

Analisis data yang dilakukan setelah pengambilan data karang berupa data persentase penutupan karang dan indeks mortalitas karang. Persentase penutupan karang dihitung setelah mengetahui panjang transek dalam pengambilan data (English et al, 1994).

L = Persentase penutupan karang (%)Li = Panjang kategori lifeform ke-iN = Panjang transek (6000 cm)

Indeks mortalitas karang menunjukkan besarnya perubahan karang hidup menjadi mati. Nilai indeks mortalitas mendekati nol menunjukkan bahwa tidak ada perubahan berarti bagi karang hidup, sedangkan nilai mendekati satu menunjukkan bahwa terjadi perubahan berarti dari karang hidup menjadi karang mati.

Ikan terumbu dan Makrobentos

Analisis data yang digunakan dalam metode ini, yaitu kelimpahan ikan terumbu, indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominasi (C). Menurut Odum (1971) kelimpahan dapat dihitung dengan rumus:

D = Kepadatan/kelimpahan (Ind/Ha)Ni = Jumlah Individu (Ind)A = Luas pengambilan data (Ha)

Indeks keanekaragaman digunakan untuk mendapatkan gambaran populasi organisme secara matematis agar mempermudah analisis informasi jumlah individu masing-masing spesies dalam suatu komunitas (Odum, 1971). Keanekaragaman jenis dihitung dengan Indeks Shannon-Wiener dengan rumus sebagai berikut:

Pada ikan terumbu

Pada makrobentos

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener

Pi = Perbandingan antara jumlah individu ikan spesies ke-i (ni) dengan jumlah

total individu ikan terumbu (N)I = 1, 2,…n

Kategori penilaian untuk keanekaragaman jenis adalah sebagai berikut :

3

a. H’≤ 1 : Keanekaragaman rendah, Penyebaran rendah kestabilan komunitas rendah,

b. 1<H’<3: Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, kestabilan komunitas sedang,

c. H’≥ 3 :Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, kestabilan komunitas tinggi.

Indeks keseragaman (E) menggambarkan ukuran jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas. Semakin merata penyebaran individu antar spesies, maka keseimbangan ekosistem akan makin meningkat. Indeks Keseragaman menggunakan :

E = Indeks keseragamanH’ = Keseimbangan spesiesH’max = Indeks keanekaragaman

maksimum = Ln S S = Jumlah total macam spesies

Nilai indeks berkisar antara 0-1 dengan kategori sebagai berikut :

a) 0< E ≤ 0,4 : Keseragaman kecil, komunitas tertekan

b) 0,4 < E ≤ 0,6 : Keseragaman sedang, komunitas labil

c) 0,6 < E ≤ 1,0 : Keseragaman tinggi, komunitas stabil

Nilai indeks keseragaman dan keanekaragaman yang kecil biasanya

menandakan adanya dominasi suatu spesies terhadap spesies-spesies lainnya. Rumus indeks domonasi (C) adalah (Odum, 1971):

C = Indeks dominasipi = Proporsi jumlah individu pada

spesiesikankarangi = 1, 2, 3,..n

Nilai indeks berkisar antara 0 - 1 dengan kategori sebagai berikut :

a) 0 < C < 0,5 = Dominansi rendahb) 0,5 < C ≤ 0,75 = Dominansi sedangc) 0,75 < C ≤ 1,0 = Dominansi tinggi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi ekosistem terumbu karang juga dipengaruhi oleh aspek fisika kimia perairan. oleh karena itu, pengambilan data mengenai fisika kimia perairan ini membantu untuk mengetahui kualitas perairan yang dapat memberikan gambaran terhadap kondisi ekosistem terumbu karang.

4

Tabel 1. Hasil Pengamatan Data Kualitas Air dan Fisika Kimia PerairanStasiun

PengamatanSalinitas(‰) Kecerahan(m) Suhu (oC) DO(mg/L)

Dermaga 1 a 30 2,5 29 4,1

Dermaga 1 b 30 2,5 29 4,1

Dermaga 2 30 4 29 4,05

Rerata 30 3 29 4,08

Maksimum 30 4 29 4,1

Minimum 30 2,5 29 4,05

Berdasarkan data parameter fisika kimia pada tabel 2, salinitas pada ketiga stasiun pengamatan memiliki nilai yang sama yaitu 30 ‰ sehingga masih masuk kedalam kisaran standar nilai baku mutu air laut menurut KMNLH (2004), yaitu sebesar 29 hingga 32‰. Kecerahan di Dermaga 1a dan Dermaga 1b sebesar 2,5 meter, sementara Dermaga 2 sebesar 4 meter.

Kecerahan air laut menurut standar baku mutu harus lebih dari 5 meter. Dari hasil yang didapatkan, seharusnya syarat tersebut tidak dapat terpenuhi, tetapi karena sudah mencapai kedalaman maksimum dari masing - masing stasiun sehingga kecerahannya sebesar 100%. Suhu perairan pada setiap stasiun pengamatan sebesar 29oC, standar nilai baku mutu air laut untuk suhu adalah 28 hingga 30 ⁰C. Kondisi arus pada saat pengambilan data dapat dikatakan tenang atau berarus rendah. Berdasarkan data salinitas, kecerahan, kondisi arus, dan suhu, hasil kisaran nilainya dapat mendukung kelangsungan hidup terumbu karang (KMN LH, 2004). Hal berbeda terlihat dari hasil analisis mengenai kandungan oksigen terlarut yang kurang dari standar baku mutu sebesar 5 mg/L. Rata-rata dari hasil yang didapat sebesar 4,08 mg/L.

Kurangnya kandungan oksigen terlarut di sekitar Dermaga Pulau Pramuka diduga karena polusi, seperti bahan bakar minyak yang berasal dari kapal-kapal yang melintas dan bersinggah (Johannes et al., 1972 dan Spooner, 1970 dalam Supriharyono, 2000).

KARANG

Berdasarkan gambar 2, patahan karang (rubble) terlihat sangat mendominasi dengan persentasi 44,12% yang kemudian disusul dengan batu-batuan (rock) dan karang keras sebesar 21,43% dan 13,67%. Menurut Gomez dan Yup (1981) dalam Edy S. dkk. (2011), kondisi tutupan karang dengan presentasi 13,67% termasuk dalam kategori buruk (0%-24,9%).

Berdasakan persentasi karang yang ada, genera yang ditemukan pada stasiun penyelaman tersebut adalah Porites, Pachyseris, Pocillopora, Madracis, Fungia dan Acropora. Selain genus karang yang diidentifikasi, indeks mortalitas karang pada stasiun penyelaman tersebut juga diketahui sebesar 0,81. Kondisi terumbu karang dapat dikatakan memiliki rasio kematian yang tinggi atau memiliki tingkat kesehatan yang rendah jika nilai indeks mortalitas karang

5

(IMK) mendekati satu (English et al., 1994 dalam A. R. Huda 2008).

Gambar 2. Komposisi tutupan substrat pada stasiun Dermaga 1a

Berdasarkan gambar 3, terlihat bahwa jumlah patahan karang yang ada sebesar 47,30%, batu-batuan sebesar 15,08%, karang mati dengan alga sebesar 8,43%, pasir 3,63%, biota lain sebesar 3,75% dan juga spons sebesar 1,03%. Sedangkan persen penutupan karangnya sendiri sebesar 15,38%. Kondisi tutupan karang yang demikian menggambarkan kondisi karang buruk (Gomez dan Yap 1981 dalam Edy S, dkk., 2011).

Untuk persentasi tutupan karang yang hanya 15,38%, genera karang yang ditemukan diantaranya Porites, Madracis, Cycloseris, Favites, Acropora, Euphyllia dan Cypastrea. Indeks mortalitas karang (IMK) sebesar 0,90 menunjukkan tingkat kematian karang keras yang tinggi.

Tingginya jumlah patahan karang pada stasiun penyelaman ini diduga diakibatkan tingginya lalu lintas kapal sepanjang daerah tersebut. Selain itu, kerusakan karang tersebut diduga juga akibat tingkah laku manusia yang kurang menjaga ekosistem yang ada (Sunarto, 2006).

Stasiun pengamatan ini, tingginya jumlah patahan karang menandakan bahwa di daerah ini telah terjadi kerusakan ekosistem terumbu karang. Kerusakan yang terjadi diduga diakibatkan tingginya lalu lintas kapal di sepanjang daerah tesebut, pelepasan dan penarikan jangkar yang tidak memperhatikan keberadaan karang dan juga tingkah para penyelam yang dengan mudahnya mematahkan karang yang ada. Semua kegiatan tersebut tergolong dalam kategori antropogenik, yaitu kerusakan yang diakibatkan oleh kerusakan manusia (Sunarto, 2006).

Ancaman manusia terhadap terumbu karang dapat dideteksi dengan cara melihat indikasi yang tampak dan kemungkinan penanganan yang dapat dilakukan. Ancaman terhadap ekosistem terumbu karang juga dapat disebabkan oleh faktor alam. Ancaman oleh alam dapat berupa angin topan, badai tsunami, gempa bumi, pemangsaan oleh COT (crown-of-thorns starfish) dan pemanasan global yang menyebabkan pemutihan karang (Sukmara et.al, 2001).

Menurut Burke et. al. (2002) dalam Gatot Sudiono (2008), bahwa tanpa ikan-ikan dan hewan-hewan avertebrata laut, maka populasi karang akan digantikan oleh populasi alga yang mencegah penempelan dan pertumbuhan larva karang pada substrat.

Penangkapan ikan dengan menggunakan potassium dan pengeboman ikan merupakan praktek yang umum dilakukan, yang memberikan dampak sangat negatif bagi terumbu karang. Penangkapan ikan dengan potasium atau dengan racikan bom lainnya, akan dapat menghancurkan struktur terumbu karang dan membunuh banyak ikan yang ada di sekelilingnya.

6

Gambar 3. Komposisi tutupan substrat pada stasiun Dermaga 1b

Berdasarkan gambar 4, terlihat dengan jelas bahwa pada stasiun ini jumlah patahan karangnya lebih tinggi, yaitu mecapai 60,70%. Pada stasiun ini juga ditemukan makro alga sebesar 11,78%, karang mati dengan alga sebesar 11,25%, pasir sebesar 7,80%, karang mati sebesar 0,03% dan juga karang lunak dalam jumlah sangat kecil, yaitu 0,12%. Sedangkan untuk karang kerasnya sendiri, persen penutupannya adalah sebesar 8,32%.

Berdasarkan persentasi tutupan karang yang diperoleh, diketahui bahwa kondisi tutupan karang pada stasiun penyelaman tersebut berada pada kondisi yang buruk (Gomez dan Yup 1981 dalam Edy S. dkk. 2011). Genera karang yang ditemukan pada stasiun penyelaman ini adalah Porites, Pachyseris, Pocillopora dan Acropora. Indeks mortalitas karang (IMK) yang diperoleh sebesar 0,80 yang menandakan tingginya angka kematian karang keras pada stasiun tersebut.

Pada stasiun pengamatan ini, tingginya patahan karang keras diduga diakibatkan oleh hal yang sama seperti pada stasiun penyelaman sebelunya. Hal tersebut karena jarak stasiun penyelaman yang tidak begitu jauh dari stasiun penyelaman sebelumnya.

Gambar 4. Komposisi tutupan substrat pada stasiun Dermaga 2

IKAN TERUMBU

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh sebanyak 13 famili yang terbagi menjadi 38 spesies ikan terumbu. Famili cenderung didominasi oleh Pomacentridae sebesar 73,1%, selanjutnya famili Labridae sebesar 12,1%, Apogonidae 11,9%, Siganidae 0,9%, Nemipteridae 0,6%, Caesionidae 0,4%, Chaetodontidae 0,4%, Serranidae 0,2%, Lutjanidae 0,1%, Haemulidae 0,1%, dan famili lainnya seperti Balistidae, Aulostomidae, dan Pomacanthidae sebanyak 0,1% (gambar 5). Ketiga stasiun pengamatan memperlihatkan yang paling mendominasi adalah famili Pomacentridae, Apogonidae, dan Labridae, terutama spesies Pomacentrus lepidogenys dan Pomacentrus alexanderae dari Famili Pomacentridae. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dhahiyat, dkk (2002) dalam McConnell (1987), dominasi spesies dari genus Pomacentrus ini disebabkan oleh sifat mereka yang teritori (mempertahankan daerah kekuasaan). Ikan yang termasuk kedalam kelompok nokturnal yang mendominasi disini yaitu famili Apogonidae. Bila dilihat dari keterkaitan dengan habitatnya, Apogonidae sering ditemukan berada di celah karang dan diantara bulu babi (Diadema setosum) untuk mencari perlindungan saat siang hari.

7

Famili Labridae yang banyak muncul pada tiga stasiun pengamatan yaitu spesies Cirrhilabrus cyanopleura. Famili Labridae dan Pomacentridae memiliki tingkat kelentingan medium hingga tinggi sehingga kemampuan bertahan hidupnya lebih baik. Selain itu, ikan ini termasuk ke dalam ikan mayor sehingga penangkapan terhadap ikan ini juga cenderung lebih kecil. Kecuali, untuk beberapa ikan badut dari famili Pomacentridae yang sering dimanfaatkan sebagai ikan hias (Napitupulu dkk, 2005 dalam Setyawan dkk, 2009).

Dermaga merupakan tempat bersandarnya kapal dan banyak aktivitas manusia sehingga memungkinkan masuknya limbah-limbah yang bisa meningkatkan kandungan nutrient. Menurut Dhahiyat dkk. (2003),

alga tumbuh subur pada perairan yang mengandung banyak nutrient. Hal ini terlihat dari banyaknya famili pomacentridae yang makanannya berupa alga, berbagai jenis invertebrata, dan zooplankton.

Gambar 5. Sepuluh famili ikan terumbu terbanyak pada tiga stasiun pengamatan

Tabel 1. Struktur komunitas ikan terumbu, Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (C)

No Stasiun Pengamatan

Jumlah spesies

Kelimpahan (ind/ha) H’ E C

1 Dermaga 1 a 23 4.000 2.65 0.823 0.092

2 Dermaga 1 b 26 8.000 1,81 0,07 0,27

3 Dermaga 2 24 4.000 1,93 0,08 0,19

Rata-rata 24 5.333 2,13 0,32 0,184

Struktur komunitas ikan terumbu ditunjukan oleh kelimpahan (D), keanekaragaman ( H’), keseragaman ( E ) dan dominasi (C ) yang disajikan pada tabel 1. Nilai kelimpahan (D) tertinggi didapatkan di stasiun pengamatan Dermaga 1b sebesar 8.000 Ind/ha. Nilai kelimpahan yang sama didapatkan di Dermaga 1a dan Dermaga 2 sebesar 4.000 Ind/ha dengan rata-rata sebesar 5.333

Ind/ha. Kelimpahan spesies pada setiap stasiun yang umum ditemukan adalah Pomacentrus lepydogenis sebanyak 36.000 Ind/ha, dan Pomacentrus alexanderae sebanyak 14.600 Ind/ha (gambar 2). Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) ikan terumbu tertinggi dari tiga stasiun pengamatan di lokasi penelitian dijumpai di Dermaga 2 sebesar 1,93 dengan rata-rata

8

2,13. Selanjutnya, di Dermaga 1b dengan keanekaragaman sebesar 1,81. Sementara keanekaragaman terendah di stasiun pengamatan Dermaga 1a sebesar 1,14. Hasil perhitungan indeks dominasi (C) tertinggi di Dermaga 1a 0,55 dengan rata-rata sebesar 0,184, selanjutnya Dermaga 1b sebesar 0,27 dan terkecil di Dermaga 2 sebesar 0,19. Dilihat dari hasil yang didapatkan dari setiap stasiun pengamatan menunjukan bahwa Dermaga 1a sebagai stasiun yang relatif lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya karena memiliki nilai kelimpahan tertinggi dengan dominasi yang rendah, meskipun nilai kelimpahannya termasuk kedalam kategori sedang dalam range (1<H’<3) menurut indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi pada stasiun pengamatan di Dermaga 1 b yang menunjukan nilai dominasi tertinggi dengan keanekeragaman rendah. Tingginya keanekaragaman jenis dan rendahnya nilai dominasi , maka setiap jenis memiliki peran yang seimbang di dalam komunitas (Setyawan dkk, 2009).

Indeks keseragaman (E) dari yang tertinggi di Dermaga 1 a sebesar 0,55 dengan rata-rata 0,32, selanjutnya Dermaga 2 sebesar 0,08, dan yang terkecil di Dermaga 1b sebesar 0,07. Jika nilainya semakin besar

(mendekati 1) akan berbanding lurus dengan keanekaragaman (H’) dan berbanding terbalik dengan indeks dominansi (C). Hal ini berarti bahwa kondisi komunitas ikan terumbu di stasiun pengamatan Dermaga 1a relatif lebih baik daripada stasiun lainnya dengan indeks keseragaman (E) dan Keanekaragaman (H) yang tinggi, sementara nilai indeks dominansinya rendah.

Gambar 6. Kelimpahan 10 spesies ikan terumbu terbanyak pada tiga stasiun pengamatan.

MAKROBENTOS

Tabel 1. Struktur Komunitas Makrobentos, Keanekaragaman ( H’), Keseragaman ( E ), dan Dominansi ( C )

No Stasiun Pengamatan

Kepadatan (Ind/ha) H’ E C

1 Dermaga 1a 14.333 2,84 0,66 0,23

2 Dermaga 1b 24.583 1,59 0,42 1,59

3 Dermaga 2 9.417 2,38 0,58 0,07

9

Rata-rata 16.111 2,27 0,55 0,63

Nilai keaenekaragaman (H’) bentos yang tertinggi terdapat pada Dermaga 1a dengan nilai 2,84. Menurut Odum (1971) untuk nilai H’ 1 < H’ ≤ 3 termasuk kategori sedang, penyebaran sedang dan kestabilitas komunitas sedang. Rata-rata keanekaragaman makrobentos di daerah Dermaga Pulau Pramuka di kategorikan sedang, dengan nilai 2,27. Untuk nilai keseragaman makrobentos (E) yang tertinggi terdapat pada Dermaga 1a dengan nilai 0,66, dengan nilai rataan 0,55, Keseragaman makrobentos termasuk kategori sedang dan komunitas labil. Dominansi makrobentos tertinggi terdapat di Dermaga 1 b dengan nilai 1,59. Rata-rata dominansi pada daerah Dermaga Pulau Pramuka yaitu 0,63 dan termasuk kategori sedang.

Gambar 7. Jumlah famili di Dermaga Pulau Pramuka

Famili Diadematidae di Dermaga Pulau Pramuka adalah yang tertinggi sehingga dapat disimpulkan bahwa perairan di daerah Dermaga Pulau Pramuka memiliki kadar nutrien yang tinggi. Hal tersebut mengakibatkan pertumbuhan alga meningkat karena famili Diadematidae dengan spesies Diadema setosum mengkonsumsi alga. Tingginya populasi alga dapat berdampak buruk bagi karang karena akan terjadi persaingan antara karang dengan alga (Dhahiyat dkk, 2003).

Pada Dermaga 1a, dari Gambar 8 dapat dilihat Spesies Diadema setosum merupakan yang tertinggi dengan kepadatan 5833 Ind/ha dan spesies yang terendah ialah Armina major, Culcita novaeguineae, Didemnum molle, Echinotrix calamaris, Entacmaea quadricolor, Oceanapia sagittaria, Ophiomastix purpurea, Pseudobiceros bedfordi dengan nilai 83 Ind/ha.

Data tersebut menandakan perairan di Dermaga 1a memiliki nutrien yang banyak, ditandai dengan spesies Diadema setosum yang melimpah menjadi indikator perairan bahwa di stasiun tersebut perairannya memiliki nutrien yang tinggi. Aktifitas manusia dan kapal-kapal yang melintas dan singgah di Dermaga menyebabkan kualitas perairan di Dermaga kurang baik. Dapat dilihat dari hasil fisika kimia perairan dan presentase tutupan karang di stasiun ini buruk (Sunarto, 2006).

10

Gambar 8. Kepadatan (Ind/ha) makrobentos di Dermaga 1a

Dapat dilihat dari grafik kepadatan makrobentos di Dermaga 1b, kepadatan spesies makrobentos yang tertinggi di Dermaga 1b ialah spesies Diadema setosum dengan nilai 16.417 Ind/ha dan spesies yang terendah terdiri dari beberapa spesies, yaitu Comanthina schlegeli, Culcita novaeguineae, Drupella rugosa, Entacmaea

quadricolor, Heteractis magnifica, Codakia orbiculata, dan Euryspongia sp. dengan nilai 83 Ind/ha. Sama dengan di demaga 1a, di stasiun ini spesies tertinggi ialah Diadema setosum. Pada stasiun pengamatan ini terdapat Famili Aglajidae, spesies Chelidonura amoena yang jarang ditemukan di Pulau Pramuka.

11

Gambar 9. Kepadatan ( Ind/ha) makrobentos di Dermaga 1 b

Kepadatan Spesies yang tertinggi yang terdapat pada Dermaga 2 ialah Aaptos chromis dengan nilai 2.917 Ind/ha dan terdapat lebih dari 1 spesies makrobentos yang memiliki kepadatan terendah ialah Echinotrix calamaris, Culcita novaeguineae, Haliclona sp., Heteractis malu, Liparometra

regalis, Oceanapia sagittaria, Ophiomastix janualis, Trochus niloticus dengan nilai83 Ind/ha. Filim porifera, spesies Aaptos chromis dapat hidup dangan tidak dipengaruhi oleh kualitas suatu perairan. Sehingga menduduki spesies tertinggi di stasiun pengamatan Dermaga 2

Gambar 10. Kepadatan ( Ind/ha) makrobentos di Dermaga 2

12

KESIMPULAN

Hasil yang didapat dari pengambilan data ekosistem terumbu karang di stasiun pengamatan Dermaga 1 dan Dermaga 2 Pulau Pramuka menunjukkan bahwa persen penutupan karang di stasiun pengamatan tersebut sangat rendah dengan indeks mortalitas tertinggi mencapai 0,9. Komposisi spesies ikan terbanyak termasuk ke dalam Famili Pomacentridae yang merupakan ikan mayor. Selain itu, famili ini memiliki rentan kelentingan medium hingga tinggi, sehingga dapat hidup di perairan yang kurang baik. Famili makrobentos yang tertinggi, yaitu Diadematidae dengan spesies Diadema Setosum yang menjadi indikator kualitas perairan. Banyaknya spesies Diadema setosum mencirikan bahwa kadar nutrien di stasiun pengamatan tersebut sangat tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Huda A. R. 2008. Kondisi Terumbu Karang di Daerah Sekitar Pelabuhan dan non Pelabuhan di Perairan Pulau Kelapa dan Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta. Bogor. Institut Pertanian Bogor. [skripsi]

Kantor KMNLH. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-51/2004n Tentang Pedoman

Penetapan Baku Mutu Air Laut. Jakarta : Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup.

Setyawan Edy, Yusri Safran, Timotius Silvianita. 2011. Laporan Pengamatan Jangka Panjang Terumbu karang Jakarta. Terangi. Jakarta.

Sudiono G. 2008. Analisis Pengelolaan Terumbu Karang pada Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Randayan dan Sekitarnya. Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat. Universitas Diponegoro. [tesis]

Sunarto.2006. Keanekaragaman Hayati dan Degradasi Ekosistem Terumbu Karang. Bandung. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjajaran. [skripsi]

Yayat Dhahiyat, Djalinda Sinuhaji dan Herman Hamdani. 2003. Struktur Komunitas Ikan terumbu di Daerah Transplantasi Karang Pulau Pari, Kepulauan Seribu.Bandung. Laboratorium Biologi Perikanan Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian Universitas Padj adj aran, Jatinangor. [skripsi]

13

14

LAMPIRAN

Lampiran 1. Genus karang keras yang ditemukan di tiga stasiun pengamatan di Dermaga Pulau Pramuka

HC

Stasiun Pengamatan

Dermaga 2

Dermaga 1a

Dermaga 1b

Acropora √ √ √

Cycloseris √ - -

Cypastrea √ - -

Euphyllia √ - -

Favites √ √ -

Fungia - √ -

Madracis √ √ -

Pachyseris √ √ √

Pocillopora - √ √

Porites √ √ √

Lampiran 2. Spesies ikan terumbu yang ditemukan di tiga stasiun pengamatan di Dermaga Pulau Pramuka

Spesies Dermaga 1 a

Dermaga 1 b

Dermaga 2

Abudefduf septemfasciatus √ √ √

Abudefduf sexfasciatus √

Abudefduf vaigiensis √

Apogon compressus √ √ √

15

Aulostomus chinensis √

Caesio cuning √

Caesio teres √

Cephalopholis boenak √

Chaetodon octofasciatus √ √ √

Chaetodontoplus mesoleucus √

Choerodon anchorago √ √ √

Chromis atripectoralis √

Chromis xanthura √ √

Cirrhilabrus cyanopleura √ √ √

Dischistodus prosopotaenia √ √ √

Halichoeres biocellatus √ √ √

Halichoeres leucurus √ √ √

Halichoeres melanurus √

Hemigymnus melapterus √ √ √

Labriodes bicolor √

Labroides dimidiatus √ √

Lutjanus decussatus √

Neoglyphidodon bonang √ √

Neoglyphidodon nigroris √

Plectorhinchus chaetodonoides √

Pomacentrus alexanderae √ √ √

Pomacentrus burroughi √ √

16

Pomacentrus lepidogenys √ √ √

Pomacentrus moluccensis √ √ √

Pomacentrus simsiang √ √

Premnas biaculeatus √

Pseudobalistes flavimarginatus √

Scolopsis auratus √

Scolopsis bilineatus √ √

Scolopsis temporalis √ √ √

Scolopsis trilineatus √

Siganus argenteus √

Thalassoma lunare √ √ √

Lampiran 3. Spesies makrobenthos yang ditemukan di tiga stasiun pengamatan di Dermaga Pulau Pramuka

Spesies Dermaga 1a Dermaga 1b Dermaga 2

Aaptos chromis √ √ √

Armina major √    

Callyspongia vaginalis √    

Chelidonura amoena   √  

Codakia orbiculata √ √ √

Colobometra perspinosa √    

Comanthina schlegeli   √  

Comanthus benneti √   √

Culcita novaeguineae √ √ √

17

Diadema setosum √ √ √

Didemnum molle √   √

Drupella rugosa √ √  

Echinotrix calamaris √   √

Entacmaea quadricolor √ √  

Euryspongia sp.   √  

Haliclona sp.     √

Heteractis magnifica √ √  

Heteractis malu     √

Himerometra robustipina     √

Liparometra regalis     √

Oceanapia sagittaria √   √

Ophiomastix janualis √ √ √

Ophiomastix purpurea √ √  

Pedum spondyloideum √ √ √

Pinna muricata √    

Pseudobiceros bedfordi √    

Sabellastarte indica √ √ √

Trochus niloticus     √

18