fhuiguide.files.wordpress.com · web viewdalam hal ini, uu no. 32 tahun 2009 mendefinisikan...

41
Penegakan Hukum Pidana: Pertanggungjawaban Korporasi dan Tindak Pidana Lingkungan 1. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Lingkungan Indonesia. 2 1.1. Teori Pertanggungjawaban Korporasi........................2 1.2. Pemidaan Korporasi dan Pemimpin Korporasi.................4 1.3. Pertanggungjawaban Korporasi menurut UU No. 32 tahun 2009. 5 1.3.1. Rumusan Pertanggungjawaban Korporasi menurut UU No. 32 tahun 2009: Perbaikan dari UU No. 23 tahun 1997?..............5 1.3.2. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Undang-undang Lain. .8 1.3.3. Komentar Kritis.......................................10 2. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Praktek: Belajar dari Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010)......................................10 3. Tindak Pidana Lingkungan secara Teoritis.....................14 3.1. Jenis Tindak Pidana Lingkungan secara Umum...............14 3.2. Pembagian Delik dan Kaitannya dengan Baku Mutu...........15 3.3. Tindak Pidana Lingkungan dalam UU No. 32 tahum 2009......18 4. Jenis Tindak Pidana Lingkungan dalam Putusan Pengadilan......19 5. Ultimum Remedium?............................................26 1

Upload: trinhnhu

Post on 08-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

Penegakan Hukum Pidana:Pertanggungjawaban Korporasi dan Tindak Pidana Lingkungan

1. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Lingkungan Indonesia.....................................2

1.1. Teori Pertanggungjawaban Korporasi................................................................................2

1.2. Pemidaan Korporasi dan Pemimpin Korporasi..................................................................4

1.3. Pertanggungjawaban Korporasi menurut UU No. 32 tahun 2009......................................5

1.3.1. Rumusan Pertanggungjawaban Korporasi menurut UU No. 32 tahun 2009: Perbaikan dari UU No. 23 tahun 1997?.....................................................................................5

1.3.2. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Undang-undang Lain....................................8

1.3.3. Komentar Kritis.......................................................................................................10

2. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Praktek: Belajar dari Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010)......................................................................................................................................10

3. Tindak Pidana Lingkungan secara Teoritis..............................................................................14

3.1. Jenis Tindak Pidana Lingkungan secara Umum...............................................................14

3.2. Pembagian Delik dan Kaitannya dengan Baku Mutu.......................................................15

3.3. Tindak Pidana Lingkungan dalam UU No. 32 tahum 2009..............................................18

4. Jenis Tindak Pidana Lingkungan dalam Putusan Pengadilan...................................................19

5. Ultimum Remedium?...............................................................................................................26

1

Page 2: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

1. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Lingkungan Indonesia

1.1. Teori Pertanggungjawaban Korporasi

1. RESPONDEAT SUPERIOR: Allows imposition of corp. liability for criminal acts performed by officers and agents in the course of their employment, without regard to their status in the corp. hierarchy or if there was an absence of management complicity.

– LIMITATION: Agent who commits the crime must be acting within the scope of his or her authority and on behalf of the corp.

• "Scope of Authority"= agent must perform acts on behalf of the corp. and that the acts must be directly related to the performance of the type of duties the employee has general authority to perform.

– Tidak berarti bahwa tindakan agent dilakukan atas dasar instruksi atau persetujuan atasan. Tetapi cukup merupakan tindakan yang dilakukan di dalam rangka menjalankan tugas yang diberikan (within the area of operations that has been assigned)

• "acting on behalf of corp" = acting with the purpose of forwarding corp. business (an intent to benefit the corp).

2. DIRECT LIABILITY (DOCTRINE OF IDENTIFICATION)• Lord Reid dalam Tesco Supermarkets Ltd v. Nattrass:

“A living person has a mind which can have knowledge or intention or be negligent and he has hands to carry out his intentions. A corporation has none of these...Then the person who acts is not speaking or acting for the company. He is speaking as the company and his mind...is the mind of the company...”

• Yang diuji adalah apakah Seseorang merepresentasikan “the directing mind and will of the company”

• Lord Reid dalam Tesco Supermarkets menyatakan:– “normally the board of directors, the managing director, and perhaps other

superior officers of company carry out the function of management and speak and act as the company”

– “But the directors may delegate some part of their functions of management giving to their delegate full discretion to act independently of instructions from them [the directors]”

• Di Australia dan New Zealand, “directing mind of company” ini disebut sebagai “controlling officers”, yaitu seseorang yang berpartisipasi di dalam pengawasan korporasi dalam kapasitasnya sebagai direktur, manager, sekretaris, atau pegawai lain yang setingkat

• Little dan Savoline, sebagaimana dikutip oleh Sjahdeni, menjelaskan bahwa salah satu syarat di dalam identification doctrine ini adalah:

• Perbuatan pegawai yang menjadi “directing mind” korporasi haruslah termasuk dalam kegiatan (operation) yang ditugaskan kepadanya

• Tindak pidana yang dilakukan bukan merupakan kecurangan terhadap korporasi • Tindak pidana tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan manfaat bagi korporasi • Korporasi bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri (direct liability)• Kritik: terbatas pada tindak pidana yang dilakukan oleh para pejabat korporasi.

2

Page 3: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

3. DELEGATION PRINCIPLE

• Allen v. whitehead:– Seorang pemilik café mendelegasikan kekuasaannya kepada seorang manager

untuk mengelola café tersebut. Kepada manager tersebut, pemilik café menginstruksikan agar tidak mengizinkan café tersebut digunakan sebagai tempak berkumpulnya prostisusi sesuai dengan Metropolitan Police Act 1839 (melarang prostisusi)

– Manager melanggar instruksi tersebut, tetapi pemilik tetap dianggap bertanggung jawab melanggar Metropolitan Police Act, karena dianggap telah memberikan delegasi kepada manager

• Menurut Pinto dan Evans, dalam prinsip pendelegasian, “an offence can only be committed by the office holder, but he cannot avoid his statutory obligations by delegating to another”

àperhatikan bahwa ada kewajiban hukum yg dipikul oleh the office holder– Menurut Pinto dan Evans, pemidanaan berdasarkan prinsip pendelegasian

“can arise when a statute imposes a duty on a particular category of person [i.e. license holder] and makes breach of the duty an offence”

– Baik tindakan maupun mens rea pelaku, dapat dikenakan kepada pemegang izin, sebagai konsekuensi dari delegasi yang dilakukannya

à Delegasi berarti mempercayakan kepada orang lain, sehingga akibat dari perbuatan orang lain ini menjadi tanggung jawab si pemberi delegasi (mirip mandat pada konsep HAN)

– Lord Parker: prinsip delegasi digunakan hanya jika diperlukan pembuktian mengenai mens rea

– Mirip dengan Vicarious Liability (sama2 diperlukan mens rea pada orang pelaku). Bedanya adalah bahwa dalam vicarious liability tidak terjadi pelanggaran atas perintah atasan.

– Menurut Pinto dan Evans, pemidanaan berdasarkan prinsip pendelagasian bersifat personal (bukan vicarious), karena yang dianggap melanggar kewajiban adalah pemilik izin (yg mendelegasikan)

4. AGGREGATION MODEL

• Pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada penjumlahan (aggregation) dari “state of mind” atau “culpability” dari tiap individu yang mewakili korporasi (representatives)

– Agregasi ini tidak berarti benar2 menjumlahkan semua pikiran, tetapi adalah membandingkan pikiran satu orang dengan orang lainnya.

• Misalnya dalam US v. Bank of New England:– Ada aturan bahwa terdapat kewajiban dari bank untuk memberikan laporan

apabila bank melakukan transaksi mata uang melebihi batas tertentu – Seorang pegawai mengetahui aturan ini, tetapi tidak mempedulikannya

(karena tidak tahu ada transaksi yang melebihi batas).– Pegawai lain mengetahui ada transaksi ini, tetapi tidak tahu adanya aturan

tentang pelaporan – Bank (perusahaan) dianggap tahu semuanya, karenanya dianggap

bertanggunjawab atas kegagalan melakukan pelaporan • Ajaran agregasi mengindikasikan adanya pengetahuan kolektif dari korporasi

3

Page 4: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

• Ajaran ini mulai mengarah pada lahirnya pertanggungjawaban korporasi yang bersifat organisasional (dalam ajaran sebelumnya, pertanggungjawaban lahir dari pertanggungjawaban atas tindakan individual)

5. CORPORATE CULTURE

• Diterima di Australia• Sjahdeni:

– pendekatan ini memfokuskan pada kebijakan korporasi yang mempengaruhi cara korporasi menjalankan usahanya

– Korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana pegawai, apabila pegawai ini meyakini bahwa orang yang memiliki kekuasaan di dalam korporasi telah memberinya wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut

• Colvin:– If recklessness is a required fault element of an offense, that fault element may

be established by proof that the culture of a corporation caused or encouraged noncompliance with the relevant provision

– If purpose is a required fault element of an offence, that fault element may be established by proof that it was the policy of a corporation not to comply with the relevant provision

• A policy may be attributed to a corporation where it provides the most reasonable explanation of the conduct of that corporation

– If knowledge is a required fault element of an offence, that fault may be established by proof that the relevant knowledge was possessed by a corporation

• Knowledge may be attributed to a corporation where it was possessed within the corporation and the culture of the corporation caused or encouraged knowing noncompliance with the relevant provision

1.2. Pemidaan Korporasi dan Pemimpin Korporasi

• Di Inggris, atasan dapat bertanggungjawab bersama-sama dengan (bukan sebagai wakil) korporasi

– jika perbuatan pidana dilakukan dengan “consent” atau “connivance”, atau “attributable neglect” dari atasan

– Trades Description Act 1968 (s.20): “where an offence under this Act which has been committed by a body corporate is proved to have been committed with the consent or connivance of, or to be attributable to any neglect on the part of, any director, manager, secretary or other similar officer ot the body corporate or any person who was purpoting to act in any such capacity, he as well as the body corporate shall be guilty of that offence”

• Pinto & Evans:– Consent tidak selalu memerlukan pengetahuan aktual (actual knowledge),

sedangkan connivance perlu – Connivance mengindikasikan adanya tingkat keterlibatan atasan yang lebih

dalam dibandingkan dengan consent– Neglect: kegagalan untuk melakukan suatu kewajiban yang seharusnya sudah

diketahui

4

Page 5: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

• Untuk menjelaskan “attributable neglect”, Judge Rubin dalam kasus R. McMillan Aviation Ltd mengatakan bahwa seseorang atasan bertanggung jawab jika:

– He knew the trade description was false, in which case he had a duty to prevent the offence; or

– He had reasonable cause to suspect that the company was applying a false trade description, in which case he would have a duty to take steps to see if it was false or not

à Jika a dan b tidak dilakukan, maka ia dianggap bertanggung jawab

• Di AS, berdasarkan Model Penal Code 2.07: – Corp. officers and agents are personally accountable for crimes committed in

the name of the corp. – Sherman Act imposes criminal sanctions for individually responsible

officers/director/agent as well as the corp. even if agent was acting only for corp and not as an individual.

• Corp officer acting solely for corp. and not as an individual, held criminally liable for violating the Sherman Act.

Bagaimana di Indonesia?

1.3. Pertanggungjawaban Korporasi menurut UU No. 32 tahun 2009

1.3.1. Rumusan Pertanggungjawaban Korporasi menurut UU No. 32 tahun 2009: Perbaikan dari UU No. 23 tahun 1997?

UU No. 23 tahun 1997Pasal 45 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.

Pasal 46 (1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

5

Page 6: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.

Pasal 47 Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa: (1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau (2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau (3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau (4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (5) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (6) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.

UU No. 32 tahun 2009Pasal 116(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:a. badan usaha; dan/ataub. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. (2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersamasama.

Pasal 117 Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.

Pasal 118 Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.

PENJELASAN Pasal 118

6

Page 7: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

Yang dimaksud dengan pelaku fungsional dalam Pasal ini adalah badan usaha dan badan hukum. Tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik tersebut. Yang dimaksud dengan menerima tindakan dalam Pasal ini termasuk menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut.

Pasal 119 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

7

Page 8: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

Pertanyaan:- Pasal 119: pidana untuk korporasi adalah pidana yang dikenal dalam UUPPLH +

tambahan. Apakah “pidana yang dikenal dalam UUPPLH” ini secara teori dapat diterapkan kepada korporasi?

- Dapatkah pemimpin korporasi dipidana bersama-sama (bukan sebagai wakil) dengan korporasi?

- Bagaimana caranya memidanakan pemimpin korporasi?- Siapa pemimpin?

o Pasal 118 UUPPLH dan Penjelasannya o High Managerial agent menurut Model Penal Code Section 2.07 (4c): “an

officer of a corporation or an unincorporated association, or, in the case of a partnership, a partner, or any other agent of a corporation or association having duties of such responsibility that his conduct may fairly be assumed to represent the policy of the corporation or association”

- Apakah pasal 116 (2) berarti bahwa korporasi/atasan dipidana untuk perbuatan yang dilakukan oleh bawahan atau pihak yang bekerja untuknya?

- Apakah pelaku langsung dapat dipidana bersama-sama dgn korporasi? Bagaimana caranya?

1.3.2. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Undang-undang Lain

UU No. 41 tahun 1999Pasal 78 (14)

8

Page 9: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

PENJELASAN Pasal 78(14): Yang termasuk badan hukum dan atau badan usaha, antara lain perseroan terbatas, perseroan komanditer (comanditer venootschaap), firma, koperasi, dan sejenisnya.

UU No. 18 tahun 2008 ttg pengelolaan sampahPasal 42 (1) Tindak pidana dianggap sebagai tindak pidana korporasi apabila tindak pidana dimaksud dilakukan dalam rangka mencapai tujuan korporasi dan dilakukan oleh pengurus yang berwenang mengambil keputusan atas nama korporasi atau mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan hukum atau memiliki kewenangan guna mengendalikan dan/atau mengawasi korporasi tersebut. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh atau atas nama korporasi dan orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkungan korporasi, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada mereka yang bertindak sebagai pemimpin atau yang memberi perintah, tanpa mengingat apakah orang dimaksud, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama. (3) Jika tuntutan dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan ditujukan kepada pengurus pada alamat korporasi atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap. (4) Jika tuntutan dilakukan terhadap korporasi yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan pengurus agar menghadap sendiri ke pengadilan.

UU No. 18 tahun 2013 ttg Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan HutanPasal 109(1) Dalam hal perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan/atau penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.(2) Perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perorangan, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik secara sendiri maupun bersamasama. (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

PENJELASAN Pasal 109(3) Ayat (3): Pertanggung jawaban pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bersangkutan.

9

Page 10: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

(4) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi agar menghadap sendiri di sidang pengadilan dan dapat pula memerintahkan agar pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. (5) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 103.

à Bandingkan dengan Pasal 82-103 yang justru secara tegas menyatakan bahwa sanksi utk korporasi di antaranya adalah PIDANA PENJARA!

(6) Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 103, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan.

1.3.3. Komentar Kritis

2. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Praktek: Belajar dari Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010)Pada tahun 2010, MA mengeluarkan sebuah putusan yang sangat penting terkait dengan

(kegagalan) penerapan pertanggungjawaban korporasi untuk kasus pencemaran lingkungan. Putusan ini adalah Putusan MA dalam kasus Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010). Kim Young Woo adalah direktur dari PT. Dongwoo Environmental Indonesia, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan limbah B3 dan telah memperoleh izin pengolahan limbah B3 berdasarkan SK Kepala Bapedal No. KEP-154/BAPEDAL/12/2001 tangga l 07 Desember 2001, dan telah diperpanjang berdasarkan SK Menteri LH No. No.79 Tahun 2005.1 Namun demikian, orang-orang yang dipekerjakan oleh PT. Dongwoo Environmental Indonesia telah membuang limbah B3 ke tanah lapang yang terletak di Kampung Sempu, Desa Pasirgombong, Kecamatan Cikarang Utara. Limbah yang dibuang di Kampung Sempu tersebut berbentuk cairan dan lumpur berserat gergaji yang berwarna hitam pekat dan mengeluarkan bau yang tidak sedap.2 Di samping itu, selama persidangan juga diketahui bahwa limbah yang dikirim ke PT. Dongwoo Environmental Indonesia, sebagai pengolah limbah, merupakan limbah B3 cair. Seharusnya, limbah yang datang ini seluruhnya dikirim ke PPLI (Prasarana Pramunah Limbah Industri) di Bogor untuk dilakukan pengolahan.3 Akan tetapi, PT. Dongwoo Environmental Indonesia tidak memiliki penampungan khusus untuk limbah yang datang untuk diolah dan dikirim ke PPLI. Mereka hanya menggunakan drum dan plastik container (PC), dan kemudian membuang sebagian limbah tersebut di tanah lapang di Kampung Sempu.4 Akibat dari pembuangan limbah ini masyarakat di sekitar tempat pembuangan limbah mengalami kepala pusing, tenggorokan kering, dada sesak, perut mual dan muntah-muntah. Berdasarkan visum et repertum dari Rumah Sakit Medika Cikarang, diketahui bahwa penyebab sakitnya warga adalah terhirupnya gas Ammonia (NH3) , Hydrogen Sulphide (H2SO) dan Methane.5 Di samping itu, berdasarkan Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Dan Teknis Kriminalistik

1Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hal. 2.

2Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hal. 3.

3Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hal. 6.

4Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hal. 4.

10

Page 11: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

TKP No. LAB: 3267/KTF/2006, disimpulkan bahwa: 6 - “Limbah yang terdapat di TKP Kampung Sempu, Desa Pasirgombong,

Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi serta limbah dari TKP PT. Dongwoo Environmental Indonesia merupakan limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3)”

- “Limbah yang terdapat di TKP Kampung Sempu, Desa Pasirgombong, Kecamatan Cikarang Utara , Kabupaten Bekasi merupakan penyebab gejala keracunan yang dialami oleh penduduk yang terpapar oleh bau (gas) yang keluar dari limbah tersebut”; dan

- “Penampakan fisik dan komponen kimiawi limbah yang terdapat di TKP Kampung Sempu, Desa Pasirgombong, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi sama dengan limbah yang terdapat di PT. Dongwoo Environmental Indonesia, Kawasan Industri Jababeka Kecamatan Cikarang, Kabupaten Bekasi yang merupakan pabrik pengolahan limbah cair (B3).”

Perbuatan terdakwa tersebut didakwa berdasarkan Pasal 41 (1) UU No. 23 Tahun 1997 (untuk dakwaan primair), Pasal 43 (1) UU No. 23 Tahun 1997 Jo Pasal 45 UU No. 23 Tahun 1997 (untuk dakwaan subsidair), Pasal 42 (1) UU No. 23 Tahun 1997 (untuk dakwaan lebih subsidair), dan Pasal 44 (1) UU No. 23 Tahun 1997 (untuk dakwaan lebih subsidair lagi).7 Oleh PN Bekasi, terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan pada dakwaan primair, dan dijatuhi hukuman denda sebesar Rp. 325.000.000,-.8 Putusan ini dikuatkan oleh PT Jawa Barat No. 465/Pid /2009 /PT.Bdg.9 Mahkamah Agung dengan hakim H. Mansur Kartayasa, SH.,MH. sebagai Ketua Majelis, serta H.M. Zaharuddin Utama, SH.,MM. dan R. Imam Harjadi , SH.,MH. sebagai hakim anggota, menyatakan bahwa

“perbuatan Terdakwa dilakukan dalam kedudukan sebagai Presiden Direktur PT. Dongwoo Environmental Indonesia yang bergerak di bidang Pengelolaan Limbah B3,yang secara melawan hukum telah dengan sengaja melakaukan perbuatan pencemaran lingkungan hidup secara berlanjut dengan cara membuang limbah sisa-sisa pengolahan limbah B3 yang dilakukan PT. Dongwoo sejak bulan Oktober 2005 sampai dengan bulan Juni 2006, ke lokasi tanah kosong di Kampung Sempu, Desa Pasirgombong, Kecamatan Cikarang Utara, yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yaitu tanah di wilayah pembuangan limbah telah terkontaminasi bahan pelarut organik yang bersifat racun akut dan kronis yang dapat menyerang pernafasan makluk hidup, sehingga berakibat 12 (dua belas) orang penduduk menderita sakit sesuai Visum Et Repertum Dr. Ridwan Juansyah maupun hasil LabKrim tanggal 26 Juni 2006”.—[italics dari penulis].10

5Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hal. 17-18.

6Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hal. 18-19.

7Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hal. 86. Namun demikian, dalam Putusan MA tersebut terdapat kesalahan ketik yang sangat fatal, yaitu disebutkan bahwa dalam dakwaan subsidair didasarkan pada pasal 42 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997, dan bukannya Pasal 43 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997. Lihat: Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hal. 36.

8Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hal. 72.

9Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hal. 80

11

Page 12: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

Atas dasar itu, MA menyatakan bahwa “Terdakwa PT. Dongwoo Environmental Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Kim Young Woo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencemaran Lingkungan Secara Berlanjut sebagaimana Dakwaan Primair”—[italics dari penulis], dan karenanya “menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 650.000.000,- (enam ratus lima puluh juta rupiah ) dan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enum) bulan”.11

Putusan MA dalam Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010) menimbulkan beberapa persoalan terkait pertanggungjawaban korporasi. Pertama, pada halaman pertama dalam kasus ini disebutkan bahwa terdakwa adalah Kim Young Woo, sedangkan dalam amar putusan disebutkan bahwa terdakwa adalah PT. Dongwoo Environmental Indonesia. Inkonsistenti dalam penentuan terdakwa ini, menurut penulis, berawal dari kegagalan JPU dan Hakim untuk memahami pertanggunggjawaban korporasi secara benar. Menurut penulis, apabila dalam halaman pertama disebutkan bahwa terdakwa adalah Kim Young Woo, maka dalam amar pun terdakwa seharusnya Kim Young Woo, dan bukan PT. Dongwoo Environmental Indonesia. Dalam hal ini, pertanggungjawaban Kim Young Woo sebagai terdakwa dapat saja didasarkan pada teori tentang vicarious liability atau respondea superior, yaitu pertanggungjawaban atasan atas perbuatan bawahan. Jika ini yang dijadikan dasar, maka terdakwa dapat dijatuhi pidana penjara, dan tidak hanya pidana denda. Sebaliknya, apabila yang dijadikan terdakwa adalah PT. Dongwoo Environmental Indonesia (dan ini harus terlihat dalam halaman pertama surat dakwaan dan putusan, serta di dalam tuntutan dan amar putusan), maka pertanggungjawaban dapat didasarkan pada berbagai teori, seperti teori corporate culture, teori identification (atau disebut juga direct liability), atau teori aggregation. Dalam hal ini, karena yang dijadikan terdakwa adalah badan hukum, dan bukan orang, maka pidana yang dituntut atau dijatuhkan hanyalah pidana denda.12 Tentu saja, pilihan teori dan cara penentuan terdakwa didasarkan pada bukti yang tersedia.

Di samping itu, perlu pula dikemukakan di sini bahwa secara teoritis, JPU diperkenankan untuk menjadikan terdakwa baik orang maupun badan hukum dalam sebuah kasus. Cara penyusunan terdakwa seperti ini telah dipraktekkan dalam kasus Republik Indonesia v. PT. Newmont Minahasa Raya dan Richard Bruce Ness (2005), di mana JPU menentukan bahwa Terdakwa I adalah badan hukum, yaitu PT. Newmont Minahasa Raya, dan Terdakwa II adalah orang, yaitu Richard Bruce Ness.13

Seandainya cara penenentuan terdakwa dilakukan seperti dalam kasus Republik Indonesia v. PT. Newmont Minahasa Raya dan Richard Bruce Ness (2005), maka dalam kasus Republik Indonesia v. Kim Young Woo kita akan memperoleh sebagai Terdakwa I adalah PT. Dongwoo Environmental Indonesia, yang diwakili oleh Kim Youn Woo, dan sebagai Terdakwa II adalah Kim Young Woo sendiri. Seandainya cara ini yang dipilih, maka

10Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hal. 94.

11Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hal. 95.

12Untuk teori pertanggungjawaban korporasi, lihat: Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, cet. 2 (Grafitipers, 2007), hal. 77-127; Michael J. Alen, Textbook on Criminal Law, 7th ed. (Oxford University Press, 2003), hal. 234-246; Amanda Pinto dan Martin Evans, Corporate Criminal Liability (Sweet and Maxwell, 2003), hal. 17-24 dan 39-69. Eli Lederman, “Models for Imposing Corporate Criminal Liability: From Adaptation and Imitation Toward Aggregation and the Search for Self-Identity”, Buffalo Criminal Law Review, Vol. 4(1), April 2000, hal. 650-677.

Untuk pembahasan lebih lanjut tentang berbagai teori pertanggungjawaban korporasi ini, lihat pula bab tentang ketentuan pidana dalam buku ini.

13Lihat: Putusan PN Manado No. 284/Pid.B/2005/PN.Mdo, Republik Indonesia v. PT. Newmont Minahasa Raya dan Richard Bruce Ness (2005), hal. 1.

12

Page 13: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

bisa saja JPU menggunakan dakwaan berdasarkan pada teori corporate culture, teori identification (atau disebut juga direct liability), atau teori aggregation dengan merujuk pada Pasal 46 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997. Dalam hal ini, Terdakwa I hanya dapat dijatuhi pidana denda dan pidana tambahan seperti yang disebut dalam Pasal 47 UU No. 23 tahun 1997. Sedangkan untuk Terdakwa II, JPU dapat menggunakan teori vicarious liability,14 di mana yang dijadikan terdakwa adalah orang, dan karenanya terdakwa dapat pula dijatuhi pidana penjara di samping pidana denda dan pidana tambahan.

Persoalan kedua yang juga terlihat dari putusan Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010) adalah menyangkut penyusunan delik formil dalam dakwaan subsidair dan dakwaan lebih subsidair lagi. Dalam memori kasasinya, kuasa hukum tergugat menyatakan bahwa JPU dan hakim pada PN dan PT telah mencampuradukkan antara delik materil dan formil, karena di dalam dakwaan terdapat dakwaan yang didasarkan pada delik materil (yaitu

14Menurut Rahmadi, termasuk ke dalam teori vicarious liability ini adalah apa yang disebut dengan teori delegasi (delegation theory). Dengan mengikuti pendapat Cremona, Rahmadi melihat teori delegasi sebagai penafsiran yang progresif terhadap vicarious liability. Dalam hal ini, apabila terjadi pendelegasian wewenang dari majikan kepada bawahan, maka actus reus maupun mens rea dari pihak bawahan dapat dibebankan kepada majikan, sehingga majikan menjadi bertanggung jawab. Lihat: Takdir Rahmadi, op cit. note Error: Reference source not foundError: Reference source not found , hal. 254-255.

Namun demikian, penulis menganggap bahwa penggunaan teori delegasi masih perlu dipikirkan ulang mengingat kesulitan dan keterbatasan pemakaiannya. Menurut Alen, teori delegasi digunakan untuk kasus-kasus ketika mens rea dari sebuah tindak pidana hanya terdapat pada orang tertentu dengan status tertentu, seperi pemegang izin dari sebuah tempat usaha. Lebih lanjut lagi, Lord Goddard, sebagaimana dikutio oleh Alen, menyatakan bahwa dalam penggunaan teori delegasi, pertimbangan hakim tidak didasarkan pada hubungan antara majikan dengan bawahan, tetapi didasarkan pada fakta bahwa orang yang menurut hukum harus bertanggungjawab, telah mendelegasikan kewenangan, tanggung jawab, dan kekuasaannya kepada pihak lain. Lihat: Michael Alen, op cit. note Error: Reference source not foundError: Reference source not found, hal. 236-237.

Senada dengan pendapat Alen di atas, Pinto dan Evans menyatakan bahwa teori delegasi: “can arise where a statute imposes a duty on a particular category of person and makes breach of the duty an offence. The liability is personal, not vicarious; the offence can only be committed by the office holder, but he cannot avoid his statutory obligations by delegating to others. The person under the duty may be convicted of the offence where he has delegated the duty to another and that other commits the prohibited act. The mens rea of the delegate will be imputed to the license holder”—[catatan kaki diabaikan].

Lihat: Amanda Pinto dan Martin Evans, op cit. note Error: Reference source not foundError: Referencesource not found, hal. 67.

Dari uraian Allen serta Pinto dan Evans di atas terlihat bahwa penggunaan teori delegasi sangatlah terbatas, yaitu hanya pada kasus-kasus ketika undang-undang telah memberikan kewajiban kepada orang-orang tertentu (biasanya pemegang izin), dan menjadikan pelanggaran terhadap kewajiban ini sebagai tindak pidana. Apabila pemegang izin memilih untuk mendelegasikan kewenangan dan kewajibannya itu kepada orang lain, dan orang lain ini ternyata melakukan pelanggaran terhadap kewajiban, maka si pemegang izin tetap bertanggung jawab meskipun ia misalnya tidak mengetahui perbuatan dari penerima delegasi. Teori delegasi berbeda dengan teori vicarious liability, karena di dalam teori delegasi mens rea dari pelaku (bawahan) telah dianggap sebagai mens rea dari atasan, sehingga pertanggungjawaban dalam teori delegasi bersifat personal dan bukan vicarious. Dengan kata lain, menurut penulis, dalam teori delegasi, telah terjadi kanalisasi pertanggungjawaban (chanelling of liability) kepada orang-orang tertentu, karena hanya orang-orang inilah yang menurut undang-undang dianggap memiliki kewajiban hukum. Dengan demikian, apabila JPU hendak menggunakan teori delegasi untuk meminta pertanggungjawaban atas, maka hal pertama yang perlu diperhatikan adalah apakah undang-undang membebankan kewajiban kepada orang tertentu (misalnya pemegang izin), dan apakah menurut undang-undang pelanggaran terhadap kewajiban tersebut adalah tindak pidana. Di samping itu, JPU juga harus menunjukkan bahwa telah terjadi transfer kewenangan secara utuh dari atasan (yaitu orang yang diminta pertanggungjawabannya) kepada bawahan (yaitu pelaku langsung). Dalam konteks ini, adanya delegasi secara penuh harus dibuktikan mengingat dalam penggunaan teori delegasi, seorang majikan bahkan dapat dimintakan pertanggungjawaban meskipun ia tidak mengetahui perbuatan bawahan (atau bahkan melarang perbuatan bawahan).

13

Page 14: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

dakwaan primair) dan dakwaan yang didasarkan pada delik formil (yaitu dakwaan subsidair). Keberatan ini telah diabaikan oleh majelis hakim MA. Dalam pandangan penulis, pengabaian keberatan ini sangat tepat, karena secara teoritis seorang JPU memang dapat membagi dakwaannya secara bertingkat ke dalam dakwaan primair, dakwaan subsidair, dakwaan lebih subsidair, dan dakwaan lebih subsidair lagi. Akan tetapi penulis melihat adanya persoalan lain yang muncul dari cara JPU memformulasikan dakwaan yang didasarkan pada delik formil, yaitu dakwaan subsidair yang didasarkan pada Pasal 43 UU No. 23 tahun 1997 dan dakwaan lebih subsidair lagi yang didasarkan pada Pasal 44 UU No. 23 tahun 1997. Persoalan ini terlihat dari upaya JPU untuk menunjukkan adanya akibat berupa pencemaran/kerusakan lingkungan pada dakwaan subsidair dan dakwaan lebih subsidair lagi,15 meskipun kedua dakwaan ini didasarkan pada delik formil. Secara teoritis cara perumusan dakwaan seperti ini dapat dipersoalkan; meskipun dalam putusannya cara perumusan jaksa ini tidak berpengaruh kepada putusan, karena pengadilan menganggap terdakwa telah terbukti melakukan delik materil seperti didakwakan dalam dakwaan primair.16

3. Tindak Pidana Lingkungan secara Teoritis 3.1. Jenis Tindak Pidana Lingkungan secara Umum

1. Abstract Endangerment– Administratively-dependent crimes– Yg dipidana bukanlah pencemaran, tapi pelanggaran ketentuan administratif

2. Concrete endangerment– Administratively-dependent crimes à illegal emissions– Ada ancaman pencemaran/kerusakan lingkungan – Art. 2 (1b) of 1998 Council of Europe Convention on the Protection of the

Environment through Criminal Law:• “The unlawful discharge, emission, or introduction of a quantity of

substances or ionising radiation into air, soil or water, which causes or is likely to cause their lasting deterioration or death or serious injury to any person or substantial damage to protected monuments, other protected objects, property, animals or plants…”

3. Serious environmental Pollution – Administrative Independent crimes: Yang dipidana adalah pencemaran (akibat

perbuatan), tanpa memperhatikan ada/tidaknya pelanggaran syarat administratisi oleh terdakwa

– Perbuatan mengakibatkan atau menimbulkan resiko (= ancaman) munculnya pencemaran/kerusakan lingkungan yang sangat serius

– Pidana dapat dijatuhkan meskipun tidak ada ketentuan administratif yang dilanggarà tidak ada syarat melanggar hukum

15Untuk dakwaan subsidair, lihat: Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hal. 34-36.

Untuk dakwaan lebih subsidari lagi, lihat: Mahkamah Agung, Putusan No. K/Pid .Sus /2010, Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hal. 69-70.

16Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai delik materil dan delik formil, lihat Bab Pidana dalam buku ini.

14

Page 15: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

– Art. 2(1a) of 1998 Council of Europe Convention on the Protection of the Environment through Criminal Law:

• “the discharge, emission or introduction of a quantity of substances or ionising radiation into air, soil, or water, which:

– Causes death or serious injury to any person, or– Creates a significant risk of causing death or serious injury to any

person”4. Vague norms

– Pelanggaran terhadap duty of care (zorgvuldigheid): “if one knows or could reasonably be expected to know that by one’s actions the environment could be harmed, one should take all the measures that can reasonably be demanded in order to prevent danger or to limit or to eliminate its consequences” (M. Faure & M. Visser, 1995: 347)

àkarena “duty of care” bersifat umum (kewajibannya tidak ditentukan secara detail di dalam UU), maka tindak pidana ini terjadi karena adanya perbuatan melawan hukum secara materil

3.2. Pembagian Delik dan Kaitannya dengan Baku Mutu

Ciri-ciri Kejahatan Umum:Delik Material: yang diperhatikan adalah akibatAktual/Kongkrit: mengakibatkan pencemaran

Ciri2 Kejahatan khususDelik Formal: yang diperhatikan adalah tata cara perbuatan pidana dilakukanFaktual/Potensial: tidak harus akibatnya (yaitu pencemaran) telah terjadi

Menurut Ogus, campur tangan pemerintah dalam penentuan kegiatan individu dapat diuraikan ke dalam beberapa bentuk, dengan spektrum mulai dari campur tangan yang paling ringan, sampai ke bentuk yang paling intervensionis. Pengaturan tentang informasi merupakan bentuk campur tangan yang paling ringan seperti terlihat dalam gambar berikut ini.

15

Gambar 6.1. Bentuk-bentuk campur tangan PemerintahSumber: Anthony Ogus, Regulation: Legal Form and Economic Theory, 2004, hal. 151.

Page 16: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

Seperti terlihat dalam spektrum yang diberikan oleh Ogus, standar secara garis besar terdiri dari tiga kelompok, yaitu standar target, standar kinerja (performance/output), dan standar spesifikasi (proses). Meski demikian pengarang lain, seperti Bell dan McGillivray, mengelompokkan standar ke dalam dua kelompok besar, yaitu standar yang terkait dengan target kualitas yang ingin dicapai atau dilindungi, yang disebut dengan target-based standards; serta standar yang terkait dengan sumber pencemaran, yang disebut dengan source-based standards. Oleh Bell dan McGillivray, standar output dan standar proses dimasukkan ke dalam kelompok source-based standards.17

Standar target yang lazim digunakan adalah standar kualitas lingkungan (environmental quality standards). Standar ini sering juga disebut sebagai standar ambien (ambient standards). Standar ini memfokuskan diri pada efek dari standar terhadap target tertentu, dalam hal ini target tersebut adalah kualitas lingkungan. Artinya, dalam konteks pengelolaan lingkungan, standar target biasanya ditentukan dengan memperhatikan efek dari polutan terhadap media lingkungan tertentu, misalnya air, udara, atau tanah.18 Dengan demikian, standar kualitas lingkungan menggambarkan ukuran bagi kondisi media lingkungan tertentu serta sejauh mana media lingkungan itu dapat menenggang masuknya atau dimasukkannya sebuah bahan/limbah. Penulis berpendapat bahwa di Indonesia, standar kualitas lingkungan dapat ditemukan dalam bentuk baku mutu air, baku mutu udara ambien, baku mutu air laut, dan kriteria baku kerusakan.

Standar kinerja atau output dalam konteks lingkungan hidup sering disebut standar emisi (emission standards) atau batas emisi (emission limit value). Dalam standar ini, Pemerintah menentukan batasan kuantitas dan/atau kualitas dari emisi yang boleh dikeluarkan oleh setiap individu atau pelaku usaha/kegiatan. Dengan demikian, standar emisi tertuju pada limbah/emisi yang dihasilkan, dan karenanya tidak secara langsung tertuju pada efek atau kondisi lingkungan sebagai akibat dari masuknya limbah/emisi tersebut.19 Di Indonesia, penulis menemukan standar emisi dalam bentuk baku mutu emisi (untuk udara), baku mutu air limbah (standar efluen), dan baku mutu gangguan.

Standar spesifikasi (atau standar proses) biasanya menentukan teknologi, bahan baku, operasi kegiatan, tindakan, atau praktek tertentu yang harus diambil oleh individu.20 Di Indonesia, standar spesifikasi dapat ditemukan, misalnya, dalam berbagai ketentuan mengenai langkah dan persyaratan minimum dalam rangkaian pengelolaan limbah B3. Kewajiban untuk mengelola B3 dan limbah B3 sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 32 tahun 200921 dapat pula dimasukkan ke dalam standar spesifikasi ini.

Di luar ketiga jenis standar di atas, beberapa pengarang memasukkan pula jenis standar yang keempat, yaitu standar produk (product standards). Standar ini menentukan kualitas atau kuantitas tertentu dari sebuah produk yang dihasilkan. Standar produk dapat

17Stuart Bell dan Donald McGillivray, Environmental Law, 5th ed. (Blackstone Press, 2001), hal. 184. 18Ibid., hal. 184. Di samping penentuan standar secara luas tersebut, standar kualitas lingkungan dapat

pula ditentukan secara luas, misalnya ditentukan bagaimana kondisi habitat tertentu, atau bahkan manusia, harus dilindungi. Standar target sering pula ditentukan dengan merujuk pada adanya larangan untuk menyebabkan gangguan (nuisance) atau bahaya bagi kesehatan manusia (conditions prejudicial to human health). Loc.cit. Lihat pula: Anthony Ogus, op cit. note Error: Reference source not found, hal. 208; dan Michael Faure dan Gӧran Skogh, The Economic Analysis of Environmental Policy and Law: An Introduction (Edward Elgar, 2003), hal. 189-190.

19Stuart Bell dan Donald McGillivray, op cit. note Error: Reference source not found, hal. 185. Lihat pula: Michael faure dan Gӧran Skogh, op cit. note Error: Reference source not found, hal. 191.

20Stuart Bell dan Donald McGillivray, op cit. note Error: Reference source not found, hal. 185-186. Lihat pula: Michael faure dan Gӧran Skogh, op cit. note Error: Reference source not found, hal. 192; dan David Wilkinson, Environment and Law (Routledge, 2002), hal. 138-139.

21UU No. 32 tahun 2009, LN tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059, Pasal 58-59. 16

Page 17: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

pula dijumpai dalam ketentuan tentang pengemasan atau label tertentu dari sebuah barang. Di samping itu, standar produk dapat pula ditemui, misalnya, dalam kewajiban agar kendaraan baru harus mampu diisi oleh bensin tanpa timbal atau harus menggunakan catalytic converter.22 Termasuk ke dalam standar produk ini adalah apa yang disebut sebagai standar pemakaian (use standards). Dalam standar pemakaian ini, Pemerintah menentukan cara pemasaran dan pemakaian sebuah barang yang dianggap beresiko, seperti B3, bahan hasil rekayasa genetik atau yang mengandung hasil dari rekayasa genetik.23 Di Indonesia, standar produk ini misalnya dapat dilihat dari adanya kewajiban pemberian simbol dan label pada limbah B3, kemasan B3, dan produk hasil iradiasi atau rekayasa genetika.24

Aspek hukum yang sangat penting dari klasifikasi standar ini adalah keterkaitan antara berbagai standar, terutama standar kualitas lingkungan dan standar emisi, dengan kondisi lingkungan (pencemaran). Seperti telah dijelaskan di muka, standar kualitas lingkungan termasuk ke dalam kelompok target-based standards, karena standar ini akan menggambarkan kondisi media lingkungan tertentu; sedangkan standar emisi (dan juga standar proses dan produk) termasuk ke dalam source-based standards, karena menggambarkan kualitas limbah atau barang yang dihasilkan atau kegiatan yang dilakukan, tanpa harus terkait secara langsung dengan efeknya terhadap kondisi lingkungan. Dalam konteks ini, penting kiranya untuk memperhatikan pendapat Kolstad berikut ini:25

“A polluter generates emissions. These emissions are transformed, possibly in a complex fashion, to ambient constrations of pollution. Emissions cause no damage; it is ambient concentrations that cause damage. This is an important distinction. The word ambient refers to the world around us. That is its use here. Ambient concentrations are the concentrations of pollution in the air around us or in the water we drink. It is ambien concentrations, not emissions, that should be of concern when we discuss environmental damage.”

Dari uraian di atas, terlihat bahwa emisi bukanlah petunjuk bahwa telah terjadi pencemaran/kerusakan lingkungan. Petunjuk ini hanya dapat diketahui melalui kondisi media lingkungan (ambient), yang diukur dalam bentuk standar kualitas lingkungan. Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa pelanggaran standar emisi hanya merupakan pelanggaran peraturan perundang-undangan (atau pelanggaran syarat administrasi), tetapi belum memperlihatkan apakah sebuah media lingkungan telah tercemar atau tidak. Ukuran pencemaran ini akan terlihat apabila telah terjadi pelampauan standar kualitas lingkungan.

Sayangnya, UU No. 32 tahun 2009 justru tidak memperhatikan perbedaan penting antara standar kualitas lingkungan dan standar emisi dalam menentukan pencemaran. Dalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan—[italics dari penulis].”26 Dengan demikian, menurut UU No. 32 tahun 2009,

22Lihat: Stuart Bell dan Donald McGillivray, op cit. note Error: Reference source not found, hal. 186; David Wilkinson, op. cit. note Error: Reference source not found, hal. 139-140. Pembagian standar ke dalam 4 jenis standar ini, yaitu standar target (standar kualitas lingkungan), standar output (standar emisi), standar proses, dan standar produk, juga dapat dilihat dalam: Alexander Kiss dan Dinah Shelton, Manual of European Environmental Law, 2nd ed. (Cambridge University Press, 1997), hal. 114-116.

23Stuart Bell dan Donald McGillivray, loc.cit. 24PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, LN tahun 1999 No. 131, TLN No. 3867, Pasal

34-35.25Charles Kolstad, op cit. note Error: Reference source not found, hal. 146-147.26UU No. 32 tahun 2009, LN tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059, Pasal 1 angka 14.

17

Page 18: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

pencemaran terjadi ketika terdapat pelampauan baku mutu lingkungan hidup. Namun demikian, ketika menentukan jenis baku mutu lingkungan hidup, UU No. 32 tahun 2009 tidak membedakan antara baku mutu lingkungan sebagai standar target, dan baku mutu lingkungan sebagai standar emisi. Semua standar yang dikenal, yaitu baku mutu air, baku mutu air limbah, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dikelompokkan menjadi satu, yaitu sebagai baku mutu lingkungan.27 Dengan demikian, pembuktian adanya pencemaran menjadi terlalu mudah. Selain itu, terlalu mudahnya pembuktian adanya pencemaran tersebut juga merupakan kekeliruan, karena secara common sense tidak mungkin kita dapat menyimpulkan telah terjadi pencemaran udara hanya dari adanya, misalnya, sebuah mobil yang emisi gas buangnya melampaui emisi gas buang yang telah ditentukan.

Uniknya lagi, UU No. 32 tahun 2009 kemudian memperhatikan kembali pembedaan antara standar kualitas lingkungan dan standar emisi di dalam perumusan ketentuan pidana, yaitu pasal 98, 99, dan 100. Dalam hal ini, Pasal 98 dan 99 UU No. 32 tahun 2009, yang dianggap sebagai delik materil karena memperhatikan akibat dari perbuatan berupa adanya pencemaran, ditentukan dengan adanya pelampauan baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, dan kriteria baku kerusakan. Sedangkan untuk Pasal 100 UU No. 32 tahun 2009, yang dianggap sebagai delik formil karena hanya memperhatikan perbuatan yang dilarang tanpa memperhatikan adanya akibat berupa pencemaran, tindak pidana ditentukan dengan adanya pelampauan baku mutu emisi udara, baku mutu air limbah, baku mutu gangguan.28

Dari penjelasan ini terlihat dari UU No. 32 tahun 2009 juga tidak konsisten dalam pengklasifikasian baku mutu lingkungan, karena jika semua baku mutu lingkungan dianggap satu kelompok dan dapat digunakan untuk menunjukkan adanya pencemaran (seperti dinyatakan dalam Pasal 20 UU No. 32 tahun 2009), maka seharusnya tidak ada perbedaan sanksi di antara Pasal 98 dan 100 UU No. 32 tahun 2009. Atas dasar ini, penulis menganggap bahwa Pasal 20 UU No. 32 tahun 2009 mengandung kekeliruan, karena tidak semua pelampauan baku mutu lingkungan sudah menunjukkan adanya pencemaran. Dengan mengikuti penjelasan Koltsad di atas, penulis berpendapat bahwa hanya pelampauan baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, dan kriteria baku kerusakan lah yang menunjukkan adanya pencemaran/kerusakan lingkungan.

3.3. Tindak Pidana Lingkungan dalam UU No. 32 tahum 2009Pasal 41 dan 42 UU No. 23 tahun 1997 dikelompokkan ke dalam delik materil,29 yaitu

tindak pidana yang dianggap selesai bila timbul akibat dari tindak pidana. Dalam hal ini, akibat dari tindak pidana berupa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Dengan demikian, bukti adanya akibat berupa pencemaran/kerusakan lingkungan ini merupakan hal yang sangat penting untuk menentukan pertanggungjawaban pidana seseorang. Sedangkan pasal 43 dan 44 UU No. 23 tahun 1997 digolongkan sebagai delik formil,30 yaitu tindak pidana yang dianggap selesai begitu selesainya perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Dalam hal ini, bukti akibat berupa pencemaran/kerusakan lingkungan tidak menentukan

27UU No. 32 tahun 2009, LN tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059, Pasal 20 ayat 1 dan 2. 28Untuk penjelasan lebih lanjut tentang pembagian delik materil dan delik formil dalam UU No. 32

tahun 2009, lihat: Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia (Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 225-234.

29Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, ed. 7, cet. 17 (Gadjah Mada University Press, 2002), hal. 409.

30Ibid., hal. 409-411. 18

Page 19: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

pertanggungjawaban seseorang. Begitu seseorang telah melakukan perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 43 dan 44, maka orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana, dan karenanya harus bertanggungjawab, tanpa perlu melihat apakah perbuatan pidana tersebut telah menyebabkan terjadinya pencemaran/kerusakan lingkungan. Dengan demikian, pengelolaan limbah B3 tanpa izin atau tidak melakukan pengelolaan limbah sesuai dengan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, sudah merupakan delik formil yang dapat dipidana berdasarkan Pasa 43 dan 44 UU No. 23 tahun 1997. Sedangkan apabila pengelolaan limbah B3 menimbulkan pencemaran/kerusakan lingkungan, maka pengelola dapat dianggap telah melakukan delik materil berdasarkan Pasal 41 dan 42 UU No. 23 tahun 1997. Secara teoritis, konstruksi Pasal 41 dan 42 cocok dengan gambaran concrete endangerment, sebab dalam hal ini yang dipidana adalah perbuatan yang menyebabkan pencemaran/kerusakan lingkungan. Sedangkan Pasal 43 dan 44 cocok dengan gambaran abstract endangerment, sebab dalam hal ini yang dipidana adalah pelanggaran terhadap syarat-syarat administratif, meskipun pelanggaran ini belum tentu menimbulkan pencemaran/kerusakan lingkungan.31

Berdasarkan UU No. 32 tahun 2009, delik materil diatur dalam pasal 98 dan 99. Pasal-pasal ini merupakan tindak pidana berupa perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, dan baku mutu kerusakan.32 Delik formil diatur dalam pasal 100 s.d. pasal 115.

4. Jenis Tindak Pidana Lingkungan dalam Putusan PengadilanDi dalam prakteknya, sepertinya terdapat kesulitan dari penegak hukum untuk

membedakan antara delik materil dan delik formil. Hal ini, misalnya saja dapat dilihat dalam Putusan MA dalam kasus Republik Indonesia v. Djuanda Sanusi dan Josua Batubara (2009). Dalam kasus ini terdakwa melakukan pengiriman limbah B3 dari Balikpapan ke Jakarta dengan menggunakan kapal motor milik PT Pelayaran Sudi Jaya Agung. Akan tetapi, ternyata PT Pelayaran Sudi sama sekali tidak memiliki izin pengangkutan serta tidak memiliki sarana dan perlengkapan khusus dalam pengangkutan limbah B3.33 Atas dasar ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 1997.34 Oleh PN Jakarta Utara para terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan, dan karenanya para terdakwa tersebut dinyatakan bebas (vrijspraak).35 Atas putusan ini, JPU mengajukan kasasi. Menurut JPU, putusan PN Jakarta Utara tersebut telah salah menerapkan hukum.

31Untuk penjelasan lebih lanjut terkait concrete endangerment dan abstract endangerment, di samping juga perumusan tindak pidana sebagai serious environmental crimes atau pelanggaran terhadap vague norms, lihat: Michael Faure, “Towards a New Model for Criminalization of Environmental Pollution: The Case of Indonesia”, dalam: Michael Faure dan Nicole Niessen, Environmental Law in Development: Lessons from the Indonesian Experience (Edward Elgar, 2006), hal. 195-202. Beberapa pihak mungkin akan menganggap bahwa Pasal 41 UU No. 23 tahun 1997 tergolong kepada perumusan delik serious environmental crimes yang tidak tergantung dari adanya pelanggaran syarat-syarat administrasi (administratively independent crimes). Akan tetapi, seperti dikemukakan oleh Faure sendiri, karena Pasal 41 masih mensyaratkan adanya unsur “melawan hukum”, maka konstruksi Pasal 41 tersebut masih tergantung dari adanya pelanggaran terhadap syarat-syarat administrasi. Karena itulah maka Pasal 41 tidak bisa digolongkan ke dalam perumusan administratively independent crimes. Lihat: Ibid., hal. 205.

32UU No. 32 tahun 2009, LN tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059, Pasal 98 dan 99. 33Mahkamah Agung, Putusan No. 212 K/Pid.Sus/2009, Republik Indonesia v. Djuanda Sanusi dan

Josua Batubara (2009), hal. 2-4. 34Mahkamah Agung, Putusan No. 212 K/Pid.Sus/2009, Republik Indonesia v. Djuanda Sanusi dan

Josua Batubara (2009), hal. 4. 19

Page 20: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

Menurutnya, dari persidangan terbukti bahwa pengangkutan limbah B3 dilakukan tanpa adanya izin pengangkutan dan alat pengangkut tidak memiliki perlengkapan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut JPU, Pasal 43 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 yang dijadikan dasar dakwaan “merupakan Delik Formil, sehingga tidak menitik beratkan pada segi akibat dari perbuatan para Terdakwa, namun lebih cenderung kepada apakah para pelaku telah memenuhi kewajiban yang secara formil harus dipenuhi sehingga tidak bertentangan dengan undang-undang yang mengaturnya”.36 Pendapat ini, menurut penulis, sudah sangat tepat karena sesuai dengan sifat Pasal 43 UU No. 23 tahun 1997 sebagai delik formil, maka pengangkutan limbah B3 tanpa izin dan tanpa dilengkapi peralatan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan (dalam hal ini PP No. 18 tahun 1999) sudah merupakan tindak pidana. Akan tetapi, majelis hakim MA, yaitu Dr. H. Abdurrahman, SH., MH., sebagai Ketua Majelis, serta Prof. Dr. Mieke Komar, SH., MCL. dan H. M. Zaharuddin Utama, SH., MM., sebagai para hakim anggota, justru menolak permohonan kasasi JPU karena menganggap JPU “tidak dapat membuktikan bahwa putusan tersebut [putusan bebas oleh PN Jakarta Utara—penulis] adalah merupakan pembebasan yang tidak murni, karena Pemohon Kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut”, serta gagal untuk menunjukkan bahwa “putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dengan telah melampaui batas wewenang-nya”.37 Menurut penulis, putusan ini menimbulkan pertanyaan karena MA gagal untuk menjelaskan mengapa pengangkutan limbah B3 tanpa izin dan tanpa adanya kelengkapan peralatan bukan merupakan delik formil berdasarkan Pasal 43 UU No. 23 tahun 1997.

Pertanyaan dapat pula muncul setelah membaca Putusan MA dalam kasus Republik Indonesia v. Maslan Helmi (2004). Terdakwa didakwa telah secara melawan hukum sengaja dan tanpa izin melakukan penyimpanan, penimbunan dan memperdagangkan limbah B3 berupa abu zinc, seingga mengakibatkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup terhadap sumur-sumur penduduk diwilayah RT.004 / 01 Kelurahan Munjul Kecamatan Cipayung Jakarta Timur. Pencemaran ini ditunjukkan dengan turunnya kualitas air sumur turun sampai melebihi baku mutu air bersih yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI No.416/Permenkes/Per/IX/1992.38 Atas hal ini, terdakwa didakwa dengan dakwaan primair berdasarkan Pasal 41 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997,39 dakwaan subsidair berdasarkan Pasal 43 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997,40 dan dakwaan lebih subsidair berdasarkan Pasal 42 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997.41 Untuk menunjukkan adanya pencemaran, JPU menunjukkan bahwa sampel tanah yang diuji oleh Bapedalda Ibukota Jakarta mengandung zinc tinggi dan bahwa berdasarkan pemeriksaan Pusat Laboratorium Forensik Polri No.Lab.2205/KTF/2001 tanggal 12 Agustus 2001 sampel sumur penduduk memiliki kandungan zinc yang sangat tinggi jauh melebihi baku mutu air bersih.42 PN Jakarta Timur menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti telah melakukan tindak pidana berdasarkan dakwaan primair, tetapi terbukti

35Mahkamah Agung, Putusan No. 212 K/Pid.Sus/2009, Republik Indonesia v. Djuanda Sanusi dan Josua Batubara (2009), hal. 5.

36Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, ed. 7, cet. 17 (Gadjah Mada University Press, 2002), hal. 409-411.

37Mahkamah Agung, Putusan No. 212 K/Pid.Sus/2009, Republik Indonesia v. Djuanda Sanusi dan Josua Batubara (2009), hal. 9.

38Mahkamah Agung, Putusan No. 783K/Pid/2004, Republik Indonesia v. Maslan Helmi (2004), hal. 1.

39Mahkamah Agung, Putusan No. 783K/Pid/2004, Republik Indonesia v. Maslan Helmi (2004), hal. 4. 40Mahkamah Agung, Putusan No. 783K/Pid/2004, Republik Indonesia v. Maslan Helmi (2004), hal. 5. 41Mahkamah Agung, Putusan No. 783K/Pid/2004, Republik Indonesia v. Maslan Helmi (2004), hal. 6.

20

Page 21: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

melakukan tindak pidana berdasarkan dakwaan subsidair. Atas dasar itu, PN Jakarta Timur menjatuhkan hukuman penjara percobaan selama 10 bulan dan denda sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) subsidair 2 bulan kurungan, dengan masa percobaan 2 tahun.43 PT Jakarta menguatkan PN Jakarta Timur yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana seperti didakwakan dalam dakwaan subsidair. Akan tetapi PT Jakarta mengubah hukuman menjadi penjara selama 10 bulan dan denda sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) subsidair 2 bulan kurungan.44 Dengan demikian putusan ini menghapuskan pidana percobaan yang dijatuhkan oleh PN Jakarta Timur. Putusan PT Jakarta ini diperkuat oleh Putusan MA yang terdiri dari H. Parman Soeparman, SH.MH. sebagai Ketua Majelis serta Arbijoto, SH. dan Sunardi Padang, SH. Sebagai Hakim anggota.45

Karena putusan MA tidak menjelaskan atas dasar apa hakim menolak dakwaan primair, maka muncul pertanyaan atas dasar apakah hakim menolak dakwaan primair tersebut. Lebih jauh lagi, dari putusan MA dapat dilihat bahwa saat mengajukan dakwaan subsidair, JPU mencoba untuk membuktikan pula bahwa adanya akibat pencemaran air tahan berupa rasa air sumur yang asam dan melebihi baku mutu air bersih. Menurut JPU, kondisi pencemaran ini terjadi karena masuknya zinc ke dalam air tanah di sekitar lokasi penyimpanan limbah B3.46 Cara JPU menyusun dakwaan subsidair menimbulkan pertanyaan, karena JPU ternyata masih mencoba membuktikan adanya akibat tindak pidana (berupa pencemaran air sumur), meskipun dakwaan didasarkan pada Pasal 43 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997, yang memiliki sifat sebagai delik formil.

Kegagalan pengadilan untuk membedakan delik materil dan delik formil juga dapat dilihat dalam Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004). Di dalam kasus ini terdakwa adalah direktur utama dan kepala bagian maintenance dari PT. Senayan Sandang Makmur, yaitu sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha tekstil. Dalam kasus ini, JPU mendakwa para terdakwa dengan dakwaan berlapis.

Dalam dakwaan primer disebutkan bahwa PT. Senayan Sandang Makmur menghasilkan limbah cair yang dibuang ke Selokan Pasir Paku, yang selanjutnya mengalir menuju Waduk Saguling. JPU menyatakan bahwa sebelum dibuang ke Selokan tersebut, limbah seharusnya diproses melalui IPAL sampai memenuhi baku mutu air limbah yang ditetapkan dalam SK Gubernur Jawa Barat No. 6 tahun 1999.47 Terdakwa I memerintahkan Terdakwa II untuk mengawasi pembuatan gorong-gorong yang akan digunakan untuk melepaskan melepaskan atau membuang limbah cair secara langsung ke Selokan Pasir Paku, tanpa melalui IPAL. Karena IPAL tidak dioperasikan, maka limbah cair yang dibuang ke Selokan Pasir Paku melebihi baku mutu air limbah.48 Di samping itu, berdasarkan pengujian terhadap sampel air sungai setelah bercampur dengan air limbah dari PT. Senayan Sandang Makmur (down stream), ditemukan bahwa kualitas air mengalami penurunan yang ditandai dengan adanya peningkatan konsentrasi untuk parameter tertentu. Sampel air dari down stream menunjukkan pula bahwa air telah melampaui baku mutu air untuk badan sungai golongan B, C, dan D berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 39 lahun 2000. Atas dasar

42Mahkamah Agung, Putusan No. 783K/Pid/2004, Republik Indonesia v. Maslan Helmi (2004), hal. 2-3.

43Mahkamah Agung, Putusan No. 783K/Pid/2004, Republik Indonesia v. Maslan Helmi (2004), hal. 7. 44Mahkamah Agung, Putusan No. 783K/Pid/2004, Republik Indonesia v. Maslan Helmi (2004), hal. 8. 45Mahkamah Agung, Putusan No. 783K/Pid/2004, Republik Indonesia v. Maslan Helmi (2004), hal. 10. 46Mahkamah Agung, Putusan No. 783K/Pid/2004, Republik Indonesia v. Maslan Helmi (2004), hal. 4. 47PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan

Djuwito (2004), hal. 4.48PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan

Djuwito (2004), hal. 5. 21

Page 22: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

ini, JPU beranggapan bahwa limbah cair PT. Senayan Sandang Makmur yang dibuang ke Selokan Pasir Paku, dan selanjutnya mengalir ke Waduk Saguling, telah mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup pada Waduk Saguling. Karenanya, JPU mendakwa bahwa Terdakwa I dan II telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41(1) UU No. 23 tahun 1997.49

Untuk dakwaan subsider, JPU mendakwa para Terdakwa dengan Pasal 43(1) UU No. 23 tahun 1997.50 Namun demikian, argumen JPU untuk mendukung dakwaan subsider ini ternyata sama persis dengan argumen yang digunakannya untuk dakwaan primer. Dalam hal ini, pada satu sisi JPU menunjukkan bahwa air limbah dari PT. Senayan Sandang Makmur telah melampaui baku mutu air limbah, sedang pada sisi lain JPU juga menunjukkan bahwa perbuatan para Terdakwa telah mengakibatkan pelampauan baku mutu air untuk sungai golongan B, C, dan D.51

Cara yang sama juga diulang untuk dakwaan lebih subsider dan lebih subsider lagi. Dalam dakwaan lebih subsider, para Terdakwa didakwa dengan menggunakan Pasal 44(1) UU No. 23 tahun 1997.52 Dalam dakwaan lebih subsider lagi, para Terdakwa didakwa dengan menggunakan Pasal 42(1) UU No. 23 tahun 1997.53 Baik untuk dakwaan lebih subsider dan lebih subsider lagi ini, JPU menggunakan argumen yang sama dengan argumen pada dakwaan primer, yaitu menunjukkan adanya pelampauan baku mutu air limbah dan baku mutu air.54

Seperti dijelaskan sebelumnya, Pasal 41 dan 42 UU No. 23 tahun 1997 tergolong kepada delik materil, sedangkan Pasal 43 dan 44 UU No. 23 tahun 1997 tergolong kepada delik formil. Dengan pembedaan ini maka terlihat bahwa JPU telah keliru dalam menyusun dakwaan subsider dan lebih subsidernya. Untuk kedua dakwaan yang didasarkan pada delik formil ini, JPU masih berupaya untuk menunjukkan bahwa perbuatan para Terdakwa telah mengakibatkan terjadinya pelampauan baku mutu air. Secara teoritis, formulasi dakwaan seperti ini bermasalah, karena seperti telah dijelaskan sebelumnya, pelampauan baku mutu air berguna untuk menunjukkan telah terjadinya pencemaran, sehingga tepat jika digunakan untuk dakwaan yang memakai rumusan delik materil (Pasal 41 atau 42 UU No. 23 tahun 1997), tetapi tidak tepat jika digunakan untuk dakwaan yang memakai rumusan delik formil (Pasal 43 dan 44 UU No. 23 tahun 1997).

Campur aduk antara delik materil dan formil (dalam konteks baku mutu air dan baku mutu air limbah) ternyata diulang oleh Majelis Hakim yang mengadili kasus ini. Dalam hal ini, hakim Damsuri Nungtjik sebagai hakim ketua, serta hakim Eddyan Satria dan hakim K.G. Damanik sebagai hakim anggota, menyatakan bahwa Para Terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan dalam dakwaan subsider, yaitu perbuatan yang diancam dengan pidana menurut Pasal 43(1) UU No. 23 tahun 1997.55 Dalam pertimbangannya, hakim mengakui bahwa limbah cair yang dikeluarkan oleh PT. Senayan

49PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004), hal. 6.

50PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004), hal. 10.

51PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004), hal. 8-10.

52PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004), hal. 14.

53PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004), hal. 17.

54PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004), hal. 12-14 dan 14-17.

22

Page 23: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

Sandang Makmur telah melampaui baku mutu air limbah, dan bahwa kualitas air sungai Pasir Paku telah melampaui baku mutu air sungai.56 Majelis hakim juga menyimpulkan bahwa sumber air di sekitar pembuangan limbah PT. Senayan Sandang Makmur telah tercemar.57

Namun demikian, majelis hakim juga melihat bahwa di samping PT. Senayan Sandang Makmur terdapat juga rumah tangga dan perusahaan tekstil lain yang membuang limbah ke saluran Pasir Paku, serta bahwa air limbah PT. Senayan Sandang Makmur hanya sedikit berada di atas baku mutu air limbah. Dengan demikian, maka majelis hakim menyatakan tidak terdapat cukup bukti tentang kausalitas yang menunjukkan bahwa limbah dari PT. Senayan Sandang Makmur telah mengakibatkan pencemaran air.58 Akibatnya, dakwaan primer dari PJU dianggap tidak terbukti. Selanjutnya, majelis hakim juga berpendapat bahwa karena air limbah yang dibuang PT. Senayan Sandang Makmur sedikit melebihi baku mutu air limbah dan karena limbah rumah tangga yang dibuang ke Saluran Pasir Paku mengandung zat yang lebih berbahaya dari limbah PT. Senayan Sandang Makmur, maka unsur kesengajaan sebagai syarat dari dakwaan subsider menjadi tidak terbukti.59 Majelis hakim melihat bahwa pelanggaran perundang-undangan (berupa pelampauan baku mutu limbah cair oleh PT. Senayan Sandang Makmur), terjadi karena adanya kelalaian dan kekurang hati-hatian PT. Senayan Sandang Makmur, berupa tindakan tidak segera menutup saluran yang menyebabkan adanya aliran limbah yang langsung menuju selokan Pasir Paku, tidak segera membuat saluran tersendiri untuk memisahkan air limbah PT. Senayan Sandang Makmur dari air limbah rumah tangga, dan tidak segera memperbaiki IPAL yang ada agar dapat menampung dan memproses seluruh limbah yang ada. Atas dasar ini, maka para Terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan pada dakwaan lebih subsider.60

Putusan dalam kasus Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004) menimbulkan berbagai pertanyaan. Dalam kasus ini, majelis hakim misalnya memutuskan bahwa unsur kesengajaan dalam Pasal 43 UU No. 23 tahun 1997 tidak terbukti karena limbah yang dibuang hanya sedikit di atas ambang batas dan adanya limbah rumah tangga yang mengalir ke saluran yang sama. Pertimbangan ini bermasalah secara teoritis. Pertama, dalam pandangan penulis, perbuatan yang oleh hakim dianggap sebagai kelalaian, misalnya tidak memperbaiki IPAL dan membiarkan air limbah mengalir ke Saluran Pasir Paku tanpa melalui IPAL, adalah perbuatan yang disengaja. Tidak mungkin seseorang membuat saluran khusus untuk mengalirkan air limbah secara langsung tanpa melalui IPAL adalah perbuatan yang tidak disengaja. Kedua, dari pertimbangan hakim seolah-olah terdapat kesan bahwa karena limbah yang dibuang oleh perusahaan para Terdakwa kurang berbahaya dibandingkan dengan limbah rumah tangga maka unsur sengaja dalam Pasal 43 ayat 1 tidak terpenuhi. Ironisnya, majelis hakim sendiri mengatakan bahwa limbah PT. Senayan Sandang Makmur yang melampaui baku mutu air limbah dapat dikategorikan sebagai zat yang berbahaya.61

Dengan demikian, majelis hakim tidak konsisten menilai sifat bahaya dari pembuangan

55PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004), hal. 39.

56PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004), hal. 26-27.

57PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004), hal. 35.

58PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004), hal. 35-36.

59PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004), hal. 37.

60PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004), hal. 38-39.

23

Page 24: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

limbah oleh PT. Senayan Sandang Makmur. Ketiga, hakim masih menuntut adanya pembuktian tentang potensi dampak/pencemaran ketika memeriksa dakwaan subsider, padahal dakwaan ini didasarkan pada Pasal 43 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997, yang merupakan delik formil. Keempat, ketika hakim menyatakan bahwa unsur kesengajaan dalam Pasal 43 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997 tidak terbukti karena adanya limbah yang dibuang oleh rumah tangga, maka penulis memperoleh kesan telah terjadinya campur aduk antara persoalan kausalitas dengan persoalan kesengajaan. Penulis berpendapat bahwa unsur melanggar undang-undang dari Pasal 43 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997 telah terpenuhi ketika air limbah dari PT. Senayan Sandang Makmur terbukti melampaui baku mutu air limbah. Sedangkan unsur sengaja dari Pasal ini terpenuhi ketika Para Terdakwa membiarkan limbah dibuang padahal sangat patut diduga bahwa Para Terdakwa (atau PT. Senayan Sandang Makmur sebagai korporasi) mengetahui limbah tersebut melampaui baku mutu air limbah. Di samping itu, unsur kesengajaan dalam Pasal 43 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997 secara mudah dapat dibuktikan dari adanya perintah untuk membuat saluran pembuangan limbah tanpa melalui IPAL atau tidak adanya perintah untuk menghentikan pembuangan limbah ketika diketahui bahwa IPAL yang ada tidak berfungsi.

Persoalan yang nyaris sama dapat dilihat pula dalam putusan Republik Indonesia v. Chu Chuan Jung alias Kevin Chu dan Erna Rosmalia (2004). Dalam kasus ini, Terdakwa I yaitu Chu Chuan Jung alias Kevin Chu adalah Presiden Direktur PT. Multi Growth, dan Terdakwa II yaitu Erna Rosmalia adalah Manager Personalia dan Umum PT. Multi Growth, sebuah perusahaan tekstil yang membuang limbah cairnya ke Waduk Saguling. JPU menyusun dakwaannya dalam bentuk dakwaan alternatif. Dalam Dakwaan Primer, Para Terdakwa didakwa dengan Pasal 41 (1) UU No. 23 tahun 1997. Dalam dakwaan ini, JPU mendalilkan bahwa PT. Multi Growth telah menghasilkan limbah cair yang langsung dibuang tanpa melalui proses IPAL menuju Waduk Saguling. Menurut JPU, Terdakwa 1 telah memberi perintah kepada Terdakwa II agar limbah cair yang dihasilkan hanya diolah melalui IPAL pada siang hari saja, sehingga pembuangan limbah yang dialirkan menuju Waduk Saguling dilakukan tanpa melalui IPAL. Akibat dari perbuatan ini, maka berdasarkan sampel air limbah dan air pada saluran pembuangan diketahui bahwa limbah cair dari PT. Multi Growth telah melampaui baku mutu air limbah berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 6 tahun 1999 tentang batas maksimum air limbah tekstil, sedangkan saluran pembuangan telah melampaui baku mutu air berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 39 tahun 2000 untuk badan sungai Golongan B, C, dan D. JPU menyatakan bahwa limbah cair PT. Multi Growth yang di atas baku mutu telah mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan pada Waduk Saguling dan matinya biota air atau habitat makhluk hidup termasuk manusia, sehingga terdapat masyarakat yang mengalami gatal-gatal dan air Waduk Saguling menjadi tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.62 Untuk dakwaan subsider, JPU mendakwa Para Terdakwa dengan Pasal 43 ayat (1) UU No. 23 tahun 1997; untuk dakwaan lebih subsider, JPU mendakwa Para Terdakwa dengan Pasal 44 ayat (1) UU No. 23 tahun 1997; dan untuk dakwaan lebih-lebih subsider JPU mendakwa Para Terdakwa dengan Pasal 42 ayat (1) UU No. 23 tahun 1997. Meski dakwaan disusun dalam bentuk dakwaan alternatif, namun pada dasarnya dalil yang disampaikan oleh JPU tetaplah sama seperti pada dakwaan primer, yaitu bahwa PT. Multi Growth telah menghasilkan limbah cair yang langsung dibuang tanpa melalui proses IPAL, bahwa Terdakwa 1 telah memberi perintah kepada Terdakwa II agar limbah cair yang dihasilkan hanya diolah melalui IPAL pada siang hari saja, sehingga

61PN Bale Bandung, Putusan No. 50/Pid.B/2004/PN.BB, Republik Indonesia v. Rino Turino dan Djuwito (2004), hal. 39.

62PN Bale Bandung, Putusan No. 51/Pid.B/2004/PNBB., Republik Indonesia v. Chu Chuan Jung alias Kevin Chu dan Erna Rosmalia (2004), hal. 3-7.

24

Page 25: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

pembuangan limbah yang dialirkan menuju Waduk Saguling dilakukan tanpa melalui IPAL, bahwa air limbah PT. Multi Growth telah melampaui baku mutu air limbah, bahwa perbuatan terdakwa telah berakibat pada dilampauinya baku mutu air, dan bahwa perbuatan Para Terdakwa telah mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan pada Waduk Saguling.63

Seperti telah diungkapkan sebelumnya, cara JPU menyusun dakwaan alternatifnya sesungguhnya bermasalah, karena JPU mencampuradukkan antara delik materil (yaitu Pasal 41 dan 42 UU No. 23 tahun 1997) dengan delik formil (yaitu Pasal 43 dan 44 UU No. 23 tahun 1997). Artinya, ketika menyusun dakwaan subsider dan lebih subsider, yang didasarkan pada delik formil, secara teoritis tidak perlu dimasukkan dalil bahwa perbuatan Para Terdakwa telah menyebabkan dilampauinya baku mutu air dan terjadinya pencemaran (dalam arti penurunan kualitas air) pada Waduk Saguling. Dalam delik formil, cukup bagi ditunjukkan bahwa Para Terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, yang dalam hal ini berupa perbuatan membuang limbah tanpa melalui IPAL atau membuang limbah yang melebihi baku mutu air limbah. Akibat dari perbuatan ini tidak perlu didalilkan, karena memang tidak relevan dalam delik formil.

Dalam putusannya pada kasus Republik Indonesia v. Chu Chuan Jung alias Kevin Chu dan Erna Rosmalia (2004), hakim PN Bale Bandung, yaitu Damsuri Nungtjik, SH, MH. sebagai Hakim Ketua Majelis serta Muzaini Achmad, SH, MH. dan Arkanuddin, SH sebagai Hakim Anggota, menyatakan bahwa meskipun unsur barang siapa dan unsur melawan hukum dari dakwaan primer telah terbukti, tetapi unsur sengaja dalam dakwaan ini tidak terbukti. Menurut majelis hakim, unsur sengaja terjadi jika “sejak semula dalam proses IPAL PT.Multi Growth dimaksudkan untuk mencemari lingkungan disekitar/sepanjang aliran pembuangan sisa air limbah cair”; namun karena para Terdakwa baru mengetahui adanya penyimpangan pengoperasian IPAL yang dilakukan oleh bekas Manager Umum (yang telah melarikan diri) setelah pihak Kepolisian melakukan pemeriksaan, maka unsur sengaja ini tidak terbukti.64 Di samping itu, majelis hakim juga berpendapat bahwa karena unsur sengaja dalam dakwaan primer tidak terbukti, maka unsur sengaja dalam dakwaan subsider juga tidak terbukti, karena keduanya dianggap sama.65 Menurut majelis hakim, dakwaan yang terbukti adalah dakwaan lebih subsider, yang didasarkan pada pasal 44 ayat (1) UU No. 23 tahun 1997.66

Pertimbangan majelis hakim tersebut di atas dapat dipersoalkan, karena berbagai alasan. Pertama, pertimbangan majelis hakim yang menyatakan bahwa unsur sengaja dalam dakwaan primer tidak terbukti karena para Terdakwa tidak mengetahui adanya penyimpangan operasi IPAL yang dilakukan bekas Manager Umum, menunjukkan adanya persoalan dalam pemahaman majelis hakim mengenai teori-teori pertanggungjawaban korporasi. Berdasarkan teori agregasi, korporasi harus dianggap tahu atas sesuatu yang tidak diketahui seseorang di dalam lingkup organisasi korporasi.67 Jika teori ini yang digunakan, maka ketidaktahuan para

63Untuk dakwaan subsider, lihat: PN Bale Bandung, Putusan No. 51/Pid.B/2004/PNBB., Republik Indonesia v. Chu Chuan Jung alias Kevin Chu dan Erna Rosmalia (2004), hal. 7-10.

Untuk dakwaan lebih subsider, lihat: PN Bale Bandung, Putusan No. 51/Pid.B/2004/PNBB., Republik Indonesia v. Chu Chuan Jung alias Kevin Chu dan Erna Rosmalia (2004), hal. 11-14.

Untuk dakwaan lebih-lebih subsider, lihat: PN Bale Bandung, Putusan No. 51/Pid.B/2004/PNBB., Republik Indonesia v. Chu Chuan Jung alias Kevin Chu dan Erna Rosmalia (2004), hal. 14-18.

64PN Bale Bandung, Putusan No. 51/Pid.B/2004/PNBB., Republik Indonesia v. Chu Chuan Jung alias Kevin Chu dan Erna Rosmalia (2004), hal. 38.

65PN Bale Bandung, Putusan No. 51/Pid.B/2004/PNBB., Republik Indonesia v. Chu Chuan Jung alias Kevin Chu dan Erna Rosmalia (2004), hal. 40.

66PN Bale Bandung, Putusan No. 51/Pid.B/2004/PNBB., Republik Indonesia v. Chu Chuan Jung alias Kevin Chu dan Erna Rosmalia (2004), hal. 44.

67Lihat pembahasan mengenai teori pertanggungjawaban korporasi dalam Bab tentang penegakan hukum pidana.

25

Page 26: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

Terdakwa atas apa yang dilakukan oleh Manager Umum tidak lantas dapat diartikan bahwa mereka tidak bertanggungjawab. Lagi pula, sulit rasanya untuk menerima dalil bahwa para Terdakwa tidak mengetahui adanya penyimpangan, mengingat PT. Multi Growth bahkan sudah memperoleh teguran dari Pemerintah Daerah mengenai tidak dioperasikannya IPAL mereka.68 Menurut penulis, menjadi sesuatu yang tidak masuk akal jika para Terdakwa tetap tidak mengetahui adanya penyimpangan dalam pengoperasian IPAL padahal telah ada teguran resmi dari pemerintah tentang hal tersebut. Kedua, persoalan yang lebih serius terjadi pada saat majelis hakim menyamakan unsur sengaja dalam dakwaan primer dengan unsur sengaja dalam dakwaan subsider, sehingga karena unsur sengaja dalam dakwaan primer tidak terbukti maka unsur sengaja dalam dakwaan subsider pun tidak terbukti. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, terdapat perbedaan mendasar antara Pasal 41 (1) UU No. 23 tahun 1997, yang merupakan dasar dari dakwaan primer, dengan Pasal 43 (1) UU No. 23 tahun 1997, yang merupakan dasar dari dakwaan subsider. Perbedaan ini adalah bahwa Pasal 41 merupakan delik materil, sedangkan Pasal 43 merupakan delik formil. Dengan perbedaan mendasar ini, maka unsur sengaja dari kedua pasal ini seharusnya berbeda pula. Dalam hal ini, unsur sengaja dalam dakwaan primer adalah kesengajaan untuk menimbulkan pencemaran, sedangkan unsur sengaja dalam dakwaan subsider adalah kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Dalam konteks ini, membuat saluran by pass, yaitu saluran yang dibuat untuk membuang limbah tanpa diolah melalui IPAL, atau memerintahkan agar pada malam hari limbah tidak diolah melalui IPAL, sudah cukup untuk menunjukkan bahwa unsur sengaja dalam delik formil telah terpenuhi. Tidak mungkin sebuah saluran by pass dibuat tanpa sengaja!

Sementara itu, dalam Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010), hakim telah menyimpulkan bahwa terjadi pencemaran yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa. Akan tetapi, seperti terlihat dalam penjelasan sebelumnya, bukti yang dikemukan oleh JPU hanyalah berupa adanya visum et repertum yang menunjukkan bahwa sakitnya warga yang disebabkan oleh terhirupnya gas tertentu, dan bukti bahwa limbah B3 yang ada di Kampung Sempu mirip dengan limbah yang dibuang oleh orang yang dipekerjakan terdakwa. Dari putusan MA, tidak terlihat adanya bukti bahwa gas yang dihirup warga benar-benar berasal dari limbah B3 yang dibuang oleh orang yang dipekerjakan terdakwa. Dalam hal ini, tidak terlihat adanya pembuktian bahwa limbah B3 yang dibuang memang akan menghasilkan atau mengandung gas-gas yang menyebabkan sakitnya warga. Di samping itu, kesimpulan bahwa limbah B3 yang ada di Kampung Sempu berasal dari perbuatan terdakwa, juga hanya didasarkan bahwa limbah tersebut secara fisik dan kimiawi mirip dengan limbah yang diolah terdakwa. Penulis menganggap putusan seperti ini merupakan terobosan karena dalam Republik Indonesia v. Kim Young Woo (2010) hakim telah mengesampingkan kemungkinan sebab lain yang dapat pula menjadi penyebab terhirupnya gas tertentu oleh warga. Di samping itu, terobosan pun terlihat dari disimpulkannya pencemaran/kerusakan lingkungan dari bukti adanya korban, dan bukan dari bukti adanya pelampauan baku mutu. Dengan demikian, hakim telah sedemikian rupa menyederhanakan kerumitan pembuktian kausalitas pencemaran dengan perbuatan terdakwa.

5. Ultimum Remedium?

68PN Bale Bandung, Putusan No. 51/Pid.B/2004/PNBB., Republik Indonesia v. Chu Chuan Jung alias Kevin Chu dan Erna Rosmalia (2004), hal. 28 dan 41.

26

Page 27: fhuiguide.files.wordpress.com · Web viewDalam hal ini, UU No. 32 tahun 2009 mendefinisikan pencemaran sebagai “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

27