fhuiguide.files.wordpress.com · web viewuntuk melihat sistem pembuktian di negara lain maka akan...
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembuktian merupakan salah satu rangkaian dalam peradilan yang
memegang peranan penting. Hal ini disebabkan pembuktian merupakan proses
yang menentukan bersalah atau tidaknya seseorang. Apabila bukti yang
disampaikan di pengadilan tidak mencukupi atau tidak sesuai dengan yang
disyaratkan maka tersangka akan dibebaskan. Namun apabila bukti yang
disampaikan mencukupi maka tersangka dapat dinyatakan bersalah. Karenanya
proses pembuktian merupakan proses yang penting agar jangan sampai orang
yang bersalah dibebaskan karena bukti yang tidak cukup. Atau bahkan orang
yang tidak bersalah justru dinyatakan bersalah.
Sistem pembuktian dari satu negara ke negara lainnya tentunya berbeda.
Hal tersebut biasanya disesuaikan dengan budaya atau paham yang dianut
negara tersebut. Pada umumnya sistem pembuktian di suatu negara dibedakan
berdasarkan negara yang menganut paham civil law dan negara yang menganut
common law. Selain itu juga dibagi berdasarkan pada beberapa teori sistem
pembuktian. Dalam teorinya, sistem pembuktian dapat dibagi menjadi empat
teori yaitu sistem teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif,
berdasarkan keyakinan hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang didukung
oleh alasan yang logis, dan berdasarkan undang-undang negatif .1 Untuk melihat
sistem pembuktian di negara lain maka akan dilihat perbandingan dengan
1 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2001). Hal. 245.
1
beberapa negara lain yaitu negara Belanda yang menganut civil law, Australia
yang menganut common law, dan sistem pembuktian dalam hukum islam yang
berbeda dengan empat teori sistem pembuktian di dalam buku Andi Hamzah.
Pembuktian di dalam hukum islam berbeda dengan teori-teori sistem
pembuktian pada umumnya, selain karena hukum islam bukanlah hukum yang
berdasarkan pada sistem common law atau civil law, juga dikarenakan sistem
pembuktian tersebut didasarkan pada Al-Quran, As-Sunnah, dan Ar-Rayu atau
penalaran yang biasanya berupa pendapat-pendapat para fuqaha atau para alim
ulama.2 Pembuktian antara satu kasus dengan kasus lainnya juga berbeda.
Contohnya adalah pembuktian dalam kasus perzinahan yang mana diatur
didalam Al-Quran surat An-Nissa ayat 15 yang mengharuskan adanya minimal
empat orang saksi yang melihat secara langsung dengan mata kepala sendiri.3
Sedangkan dalam kasus pencurian cukup dengan dua orang saksi laki-laki.
Selain perbedaan beberapa negara dalam sistem pembuktiannya
terdapat juga perbedaan dalam beban pembuktiannya. Selain berdasarkan
sistem pembuktian, beban pembuktian yang digunakan juga dapat ditentukan
dari jenis tindak pidana seperti tindak pidana korupsi di Indonesia. Beban
pembuktian dalam perspektif hukum pidana dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
beban pembuktian umum/konvensional, beban pembuktian terbalik dan beban
pembuktian berimbang.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah teori sistem pembuktian dan beban pembuktian yang berlaku
pada umumnya?
Bagaimanakah bentuk sistem dan beban pembuktian yang digunakan di
Indonesia, Australia, dan Belanda?
Bagaimanakah bentuk sistem dan beban pembuktian menurut hukum
pidana Islam?
2 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2007). Hal. 16.3 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2005). Hal.41
2
1.3 Tujuan Makalah
Untuk mengetahui sistem dan beban pembuktian pada umumnya
Menjelaskan sistem dan beban pembuktian yang berlaku di Indonesia,
Australia, dan Belanda
Mengetahui sistem dan beban pembuktian apa yang diterapkan dalam
hukum pidana Islam.
1.4 Sistematika Penulisan
Bab 1 tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, metode penulisan,
dan sistematika penulisan.
Bab 2 tentang hasil dan pembahasan yang mencakup tentang penjelasan
rumusan masalah.
Bab 3 tentang kesimpulan.
Daftar pustaka.
3
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian terdiri dari dua kata, yaitu kata “sistem” dan
“pembuktian”. Secara etimologis, kata “sistem” merupakan hasil adopsi dari kata
asing “system” (Bahasa Inggris) atau “systemata” (Bahasa Yunani) dengan arti
“suatu kesatuan yang tersusun secara terpadu antara bagian-bagian
kelengkapannya dengan memiliki tujuan secara pasti” atau “seperangkat
komponen yang bekerja sama guna mencapai suatu tujuan tertentu”.4
Mengenai arti pembuktian dalam hukum acara pidana terdapat beberapa
sarjana hukum mengemukakan definisi yang berbeda-beda. Andi Hamzah
mendefenisikan pembuktian sebagai upaya mendapatkan keterangan-
keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu
keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat
mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.5 M. Yahya Harahap
menilai pembuktian adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam
usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran.6
Arti sistem pembuktian adalah suatu kesatuan yang tersusun secara
terpadu antara bagian-bagian kelengkapannya dalam usahanya mencari dan
mempertahankan kebenaran. Pengertian ini merujuk pada pengertian dari
sistem dan pengertian dari pembuktian yang dikemukakan M. Yahya Harahap.
4 Diambil dari http://www.karyatulisilmiah.com/pengertian-sistem.html5 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia: Jakarta 1984, hal 77.6 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta 1993, hal 22.
4
Maksud bagian-bagian kelengakapan dari sistem pembuktian penulis merujuk
pada pengertian yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, yaitu alat-alat bukti dan
barang bukti.
Sistem Pembuktian
a. Conviction-in Time
Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya
seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim.
Dalam sistem pembuktian ini hakim memiliki andil yang sangat besar, jika hakim
telah merasa yakin bahwa terdakwa benar melakukan apa yang didakwakan
kepadanya maka hakim bisa menjatuhkan pidana terhadapnya, dan sebaliknya.
Persoalan darimana hakim mendapatkan keyakinan tidak menjadi
permasalahan.7
Kelemahan dari sistem pembuktian conviction-in time yaitu jika alat-alat
bukti yang diajukan di persidangan mendukung kebenaran dakwaan terhadap
terdakwa namun hakim tidak yakin akan itu semua maka tetap saja terdakwa
bisa bebas. Dan sebaliknya, jika alat-alat bukti yang dihadirkan di persidangan
tidak mendukung adanya kebenaran dakwaan terhadap terdakwa namun hakim
meyakini terdakwa benar-benar melakukan apa yang didakwakan oleh Penuntut
Umum maka pidana dapat dijatuhkan oleh Hakim.8
b. Conviction-Raisonee
Dalam sistem pembuktian conviction raisonee “keyakinan hakim” tetap
memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan
tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Memang
pada akhirnya keputusan terbukti atau tidak terbuktinya dakwaan yang
didakwakan terhadap terdakwa ditentukan oleh hakim tapi dalam memberikan
putusannya hakim dituntut untuk menguraikan alasan-alasan apa yang
7 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta 1993, hal 2568 ibid
5
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Dan reasoning itu harus
“reasonable”, yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima. Arti diterima disini
hakim dituntut untuk menguraikan alasan-alasan yang logis dan masuk akal.9
c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif
Maksud dari pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah
untuk membuktikan terdakwa bersalah atau tidak bersalah harus tunduk
terhadap undang-undang. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem pembuktian
conviction-in time dan conviction-raisonee. Dalam sistem ini tidak ada tempat
bagi “keyakinan hakim”. Seseorang dinyatakan bersalah jika proses pembuktian
dan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan telah menunjukkan bahwa
terdakwa bersalah. Proses pembuktian serta alat bukti yang diajukan diatur
secara tegas dalam undang-undang.10
d. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif
Berbeda dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara
positif, dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
disayaratkan adanya keyakinan hakim untuk menentukan apakah terdakwa
bersalah ataukah tidak. Dalam sistem pembuktian ini alat-alat bukti diatur secara
tegas oleh undang-undang, demikian juga dengan mekanisme pembuktian yang
ditempuh. Ketika alat-alat bukti telah mendukung benarnya dakwaan yang
didakwakan kepada terdakwa maka haruslah timbul keyakinan pada diri hakim
akan kebenaran dari alat-alat bukti tersebut. Jika alat-alat bukti telah
mendukung kebenaran bahwa terdakwa bersalah namun belum timbul
keyakinan pada diri hakim maka pidana tidak dapat dijatuhkan.
9 ibid10 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta 1993, hal 257
6
2.2 Beban Pembuktian
2.2.1 Beban Pembuktian pada Penuntut Umum
Penuntut umum tiada mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan
undang-undang kepada terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak
memiliki hak untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum dalam
requisitornya.
Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum
harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika
tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa.
Konsekuensi logis beban pembuktian ada pada Penuntut Umum ini berkorelasi
asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri
sendiri. Teori beban pembuktian ini dikenal di Indonesia, bahwa ketentuan pasal
66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian”. Beban pembuktian seperti ini dapat
dikategorisasikan beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”.
2.2.2 Beban Pembuktian Terbalik
Terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai
pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan
yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat
membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada
asasnya teori beban pembuktian terbalik (Shifting Burden of Proof) ini
dinamakan teori ”Pembalikan Beban Pembuktian” (Omkering van het Bewijslast
atau Reversal Burden of Proof/ Onus of Proof”).
Pada hakikatnya makna dari Reversal Burden of Proof dan Shifting Burden
of Proof berbeda. Jika Shifting Burden of Proof diartikan sebagai “Pergeseran
7
Beban Pembuktian”11 maka Reversal Burden of Proof diartikan sebagai
“Pembalikan Beban Pembuktian”. Perbedaan dari kedua pengertian tersebut,
jika pada shifting burden of proof pada umumnya diterapkan sebagai pembalikan
beban pembuktian yang terbatas atau tidak murni, sedangkan pada reversal
burden of proof menggunakan pembalikan beban pembuktian yang murni atau
mutlak menurut istilah Indriyanto Seno Adji “Pembalikan Beban Pembuktian
yang Total atau Absolut”.12
Beban pembuktian terbalik ini merupakan suatu bentuk penyimpangan
asas hukum pidana yang berlaku universal. Penyimpangan asas hukum pidana
yang berlaku universal ini terletak pada penyimpangan asas “siapa yang
menuduh, maka dia yang harus membuktikan.”13 Di mana dalam beban
pembuktian terbalik, justru kewajiban terdakwa lah untuk membuktikan dirinya
tidak bersalah.
Asas lain yang juga diingkari dalam beban pembuktian terbalik ini adalah
prinsip Non-self Incrimination sebagai asas umum terhadap penghargaan adanya
prinsip praduga tidak bersalah (Presumption of Innocent). Hal ini disebabkan
dalam beban pembuktian terbalik seorang terdakwa telah dianggap bersalah
kecuali dia dapat membuktikan dirinya tidak bersalah.
2.2.3 Beban Pembuktian Berimbang
Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/ atau
Penasihat Hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya
Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya
terdakwa beserta penasehat hukum akan membuktikan sebaliknya bahwa
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
11 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, Jakarta,2006, hal.103
12 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, Jakarta,2006, hal.13813 Sapardjaja, “Ajaran sifat melawan hukum materiel dalam hukum pidana di Indonesia” Hal. 46
8
pidana yang didakwakan. Asas beban pembuktian ini dinamakan juga asas
pembalikan beban pembuktian “berimbang”.
Dalam Negara Indonesia, beban pembuktian yang digunakan yaitu beban
pembuktian umum atau konvensional dimana beban untuk membuktikan
terdapat pada Penuntut Umum. Hal tersebut dapat kita lihat pada Pasal 66
KUHAP yang isinya “ Terdakwa tidak dikenakan beban pembuktian”. Namun
dalam tindak pidana tertentu (seperti korupsi) menggunakan beban pembuktian
terbalik terbatas seperti yang terdapat dalam Pasal 37 ayat (1) UU No. 21 tahun
2001 yang isinya “Terdakwa memiliki hak untuk membuktikan dalam sidang
pengadilan”. Maksud terbatas yaitu terdakwa memiliki hak untuk membuktikan
di depan pengadilan, namun Penuntut Umum harus membuktikan kenapa
mengajukan dakwaan tersebut ke pengadilan.
Dalam Penjelasan Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999 ditentukan
pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, yaitu terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana
korupsi dan wajib memberikan keterangan mengenai seluruh harta bendanya
dan harta benda isterinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan
dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999 diatur apabila
terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa, “terdakwa tidak melakukan tindak
pidana korupsi” hal tersebut tidak berarti terdakwa tidak terbukti melakukan
korupsi. Hal ini disebabkan “penuntut umum masih berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya”14 di mana kebijakan tersebut merupakan
konsekuensi logis berlakunya beban pembuktian terbalik yang terbatas atau
berimbang.
14 Indriyanto Seno Adji. “Pidana Mati bagi Koruptor sebagai upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999.” 2000. Hal 108
9
Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Pada tahun 1971 telah dibentuk UU No. 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian pada tahun 1999
diundangkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang menganut sistem pembuktian terbalik terbatas yang terdapat
dalam Pasal 37 yang memungkinkan diterapkannya pembuktian terbalik yang
terbatas terhadap harta benda tertentu dan mengenai perampasan harta hasil
korupsi. UU No. 3 Tahun 1971 dan UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap
mempergunakan teori pembuktian negative, kemudian di UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni berupa Sistem Pembalikan
Beban Pembuktian dan Berimbang. Yang mengatur pembuktian terbalik secara
lebih jelas yaitu pada Pasal 12 B, 12 C, 37, 37A, 38 A, dan 38 B.
Pada KUHP Tindak Pidana jabatan yang berkorelasi dengan perbuatan
korupsi terdapat di dalam Bab XXVIII KUHP yaitu khususnya terhadap perbuatan
penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415 KUHP), membuat palsu atau
memalsukan (Pasal 416 KUHP), menerima pemberian atau janji (Pasal 418, 419,
dan 420 KUHP) serta menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum (Pasal 423, 425 dan 435 KUHP).
Pada hakikatnya, ketentuan-ketentuan Tindak Pidana Korupsi itu ternyata
kurang efektif dalam menanggulangi korupsi. Maka, dirasakan perlu adanya
peraturan yang dapat lebih memberi keleluasaan kepada penguasa untuk
bertindak terhadap pelaku-pelakunya. Asas Pembalikan Beban Pembuktian
merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis
pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang universal. Dalam Hukum Pidana
(Formal), baik sistem Eropa Kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal
pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut
Umum. Hanya saja, dalam “certain cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan
penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu Sistem Pembalikan Beban
10
Pembuktian atau dikenal sebagai “Reversal of Burden Proof” (Omkering van
Bewijslast). Itu pun tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas
yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan
dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/ Terdakwa.
Penjelasan umum dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dikatakan
pengertian “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni :
“terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya”. Kata-kata “bersifat terbatas” didalam memori atas pasal 37
dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa
“terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi” hal itu tidak berarti bahwa
terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi, sebab Penuntut Umum, masih tetap
berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Kata-kata “berimbang” dilukiskan sebagai penghasilan terdakwa ataupun
sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income terdakwa dan
perolehan harta benda, sebagai output. Antara income sebagai input yang tidak
seimbang dengan output atau dengan kata lain input lebih kecil dari output.
Dengan demikian diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai output
tersebut (misalnya rumah-rumah, mobil-mobil, saham-saham, simpanan dolar
dalam rekening bank, dan lain-lainnya) adalah hasil perolehan dari tidak pidana
korupsi yang didakwakan.
Martiman Prodjohamidjojo menjelaskan, dalam pembuktian tindak pidana
korupsi dianut dua teori pembuktian 15, yakni :
15 Martiman Prodjohamidjojo Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31, Tahun 1999), Mandar Maju, Bandung, 2001, hal.108
11
1) Teori bebas, yang diturut oleh terdakwa
Teori bebas sebagaimana tercermin dan tersirat dalam penjelasan
umum, serta berwujud dalam, hal-hal sebagai tercantum dalam
pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999, sebagai berikut:
a) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
b) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.
c) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
d) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang
kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau
sumber panambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut
dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
e) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3) dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban
untuk membuktikan dakwaaannya.
2) Teori negatif menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut
umum.
Sedangkan teori negatif menurut undang-undang tersirat
dalam pasal 183 KUHAP, yaitu : “Hakim tidak boleh menjatuhkan
12
pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, sistem
pembuktian terbalik adalah sistem dimana beban pembuktian
berada pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya berlaku
pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan
dimungkinkannya dilakukan pemeriksaan tambahan atau khusus
jika dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan harta benda
milik terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi
namun hal tersebut belum didakwakan. Bahkan jika putusan
pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi
diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga
berasal dari tindak pidana korupsi, maka negara dapat melakukan
gugatan terhadap terpidana atau ahli warisnya.
2.3 Sistem Pembuktian di Indonesia
Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana kita sejak berlakunya
wetboek van strafprocesrecht dahulu yang saat ini disebut dengan KUHAP
menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara terbatas (negatief
wettelijk bewisjstheorie). Perbedaan antara dua kitab ini dalam hal pembuktian
terletak pada ditentukannya minimal jumlah alat bukti. Pasal 294 ayat 1 HIR
merumuskan:
“Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim
mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah
terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh
itulah yang salah tentang perbuatan itu.”
Pasal ini kemudian disempurnakan menjadi Pasal 183 KUHAP yang berbunyi:
13
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Rumusan Pasal 183 KUHAP dinilai lebih sempurna karena menentukan
dengan jelas berapa jumlah alat bukti yang harus digunakan hakim untuk
memperoleh keyakinan dan menjatuhkan pidana. Sistem pembuktian negatif
dalam KUHAP dinilai lebih baik dan lebih menjamin kepastian hukum.
Dalam sistem pembuktian negatif yang dianut oleh Indonesia – sebagai
intinya, yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP, dapat disimpulkan pokok-
pokoknya adalah:
a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika
memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana.
b. Syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.
Sebenarnya, pembuktian dilakukan untuk memutus perkara in casu
perkara pidana, dan bukan semata-mata menjatuhkan perkara pidana. Sebab,
untuk menjatuhkan pidana masih diperlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan
terdakwa melakukan tindakan pidana.16
Pada dasarnya kegiatan pembuktian dilakukan dalam usaha mencapai
derajat keadilan dan kepastian hukum yang setinggi-tingginya dalam putusan
hakim. Pembuktian dilakukan untuk memutus perkara terbukti atau tidak sesuai
dengan apa yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Ada dua syarat
untuk mencapai suatu hasil pembuktian agar dapat menjatuhkan pidana. Kedua
syarat ini saling berhubungan dan tidak terpisahkan.
Pertama, hakim harus menggunakan minimal dua alat bukti yang sah.
Dua alat bukti ini tidak harus berbeda jenisnya. Jadi bisa saja terdiri dari dua alat
16 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2005, halaman 31.
14
bukti yang sama, misalnya keterangan dua orang saksi. Kedua ialah hakim
memperoleh keyakinan. Keyakinan hakim ini harus dibentuk atas fakta-fakta
yang didapat dari alat-alat bukti yang disebutkan pada syarat pertama, yang
telah ditentukan oleh KUHAP. Keyakinan hakim masuk ke dalam ruang lingkup
kegiatan pembuktian apabila kegiatan pembuktian tidak dipandang hanya untuk
membuktikan saja tetapi untuk mencapai tujuan akhir penyelesaian perkara
pidana yaitu menarik amar putusan oleh hakim.
Adami Chazawi menjelaskan ada tiga keyakinan hakim yang sifatnya
mutlak, bertingkat dan tidak dapat dipisahkan:
1. Keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana sesuai dengan dakwaan
Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam praktiknya di pengadilan,
disebutkan bahwa tindak pidana yang didakwakan oleh JPU terbukti
secara sah dan meyakinkan. Yang dimaksud dengan sah adalah
memenuhi syarat menggunakan dua alat bukti atau lebih. Namun
keyakinan mengenai terbuktinya tindak pidana belum cukup untuk
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.
2. Keyakinan bahwa benar terdakwa yang melakukan tindak pidana.
Hakim harus memperoleh keyakinan bahwa benar terdakwalah yang
melakukan tindak pidana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum
kepadanya. Keyakinan ini pun belum cukup untuk menjatuhkan
pidana pada terdakwa.
3. Keyakinan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa
memang dapat dipersalahkan kepadanya. Ada dua hal yang dapat
membuat seorang terdakwa tidak dipidana yaitu ada alasan
pembenar dan pemaaf pada dirinya. Jika tidak ditemukan dua alasan
ini pada diri terdakwa, hakim dapat memperoleh keyakinan bahwa
terdakwa dapat dipersalahkan atas tindakan yang dilakukannya dan
dapat dijatuhkan pidana. Apabila hakim tidak memperoleh keyakinan
pada tingkat ini, berarti hakim tidak yakin terdakwa dapat
dipersalahkan atas tindak pidana yang dilakukannya. Maka pidana
15
tidak akan dijatuhkan melainkan menjatuhkan pelepasan dari segala
tuntutan hukum.
Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian negatif
sebaiknya dipertahankan karena dua alasan yaitu yang pertama, memang sudah
selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat
menjatuhkan suatu hukuman pidana. Janganlah hakim terpaksa memidana orang
sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah
jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada
patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan
peradilan.17
Dalam hukum acara perdata, sistem pembuktian yang dianut adalah
positif, artinya pembuktian hanya melihat pada alat bukti saja, yakni yang telah
ditentukan dalam undang-undang. Surat gugatan dapat dikabulkan apabila
didasarkan pada alat bukti yang sah. Jadi dalam sistem pembuktian ini, keyakinan
hakim sama sekali diabaikan. Apabila suatu gugatan sudah memenuhi syarat alat
bukti yang sah sesuai dengan ketentuan undang-undang, maka gugatan harus
dikabulkan. Jadi, dalam sistem pembuktian hukum acara perdata yang dicari
adalah kebenaran formil, tidak seperti hukum acara pidana yang mencari
kebenaran materil.18
Maksudnya dalam perkara pidana apabila barang dan alat bukti
memberatkan terdakwa, hakim tidak boleh langsung memutus pidana. Hakim
harus memerhatikan alat bukti misalnya kesaksian yang diberikan oleh saksi
maupun terdakwa dan menemukan alasan timbulnya tindak pidana serta
mencari apakah ada alasan pembenar dan pemaaf bagi terdakwa. Hal-hal ini
yang kemudian akan membentuk keyakinan hakim untuk menjatuhkan pidana
pada terdakwa. Inilah yang disebut dengan mencari kebenaran materiil.
Sedangkan dalam perkara perdata, keyakinan hakim sama sekali tidak
dibutuhkan untuk menyelesaikan sengketa antar pihak. Misalnya terjadi
17 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur Bandung, Jakarta, 1967, halaman 77.18 Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2005, halaman 25-26.
16
sengketa tanah antara dua pihak dan sebenarnya dalam hati hakim meyakini
bahwa tanah tersebut adalah milik penggugat. Namun karena berdasarkan bukti
yang ditunjukan sertifikat tanah tersebut adalah atas nama tergugat, maka
hakim tidak boleh memutuskan bahwa tanah itu adalah milik penggugat. Inilah
yang disebut dengan menacari kebenaran formil.
2.4 Sistem Pembuktian di Australia
Di Australia terdapat dua macam pengadilan yaitu untuk pelanggaran
yang ringan dan kejahatan yang lebih serius. Hal ini dibedakan berdasarkan sifat
pembuktiannya, untuk kejahatan yang lebih serius biasanya pembuktiannya lebih
sulit dan memakan proses yang panjang dibandingkan pada pelanggaran ringan.
2.4.1 Pengadilan Untuk Pelanggaran Ringan (Summary Offences)
Merupakan perkara yang paling umum di temui di Australia. Perkara ini di
adili dan diputus pada Magistrates Court19 yang dipimpin satu orang hakim saja.
Seseorang yang dituntut karena pelanggaran ringan disebut dengan terdakwa,
dan penuntutan dalam Magistrates Court dilakukan oleh Jaksa Polisi yang
umumnya dikenal dengan “complainant”. Sesuai dengan adversarial system,
maka pihak-pihak yang berperkara disini adalah Jaksa Polisi dan Terdakwa.
Tuntutan bisa dilakukan atas dasar keyakinan penuntut bahwa
tuntutannya akan menghasilkan putusan di pengadilan. Selain itu masyarakat
juga bisa melakukannya atas dasar masyarakat ingin sebuah perkara diselesaikan
di pengadilan, caranya adalah seseorang hanya perlu menyampaikan adanya
keluhan (complaint) kepada petugas pengadilan di Magistrates Court20. Untuk
jenis pelanggaran ini, batas untuk mengajukan tuntutan adalah dua tahun.
Kepolisian mempunyai keleluasaan untuk memutuskan apakah akan menuntut
berdasarkan complaint tersebut21.19 Sebuah pengadilan terendah dari sistem pengadilan di Australia yang memiliki yurisdiksi pidana dan perdata yang terbatas, namun dapat memiliki yurisdiksi khusus saat bertindak sebagai Pengadilan Anak.
20 Australia, Summary Procedure Act 1921, s 4921 Ibid., s 52
17
Pada persidangan pertama di pengadilan, tuntutan terhadap terdakwa
dibacakan dengan jelas. Biasanya pada persidangan pertama ini terdakwa tidak
diijinkan untuk mengajukan pembelaan tanpa didampingi penasihat hukum. Jadi
kemungkinan yang bisa diambil oleh terdakwa adalah;
Meminta agar kasus tersebut ditangguhkan pada waktu yang ditentukan
sampai terdakwa bisa mendapatkan penasihat hukum
Mengaku bersalah, kemudian Hakim akan mencoba menyelesaikan perkara
dan memberi putusan hari itu juga
Memberitahukan Hakim untuk mengajukan pembelaan. Biasanya perkara
ditangguhkan ke pemeriksaan persidangan pada hari lain, jika pengadilan
tidak mempunyai waktu untuk memeriksa kasus secara lanjut atau penuntut
tidak siap mengajukan saksinya.
Dalam persidangan di Magistrates Court selanjutnya, penuntut dan
terdakwa harus berunding secara khusus satu sama lain untuk menentukan
bahwa sebuah kasus dapat diselesaikan tanpa proses Trial atau pemeriksaan
persidangan. Setelah perundingan dengan terdakwa, penuntut boleh tidak
meneruskan penuntutan ataupun merubah tuntutan agar terdakwa menerima
tuntutan dan mengaku bersalah. Jaksa sebaiknya memberitahu terdakwa dengan
jelas apa yang akan saksi katakan, jadi terdakwa dapat membayangkan apakah
dia masih akan melakukan pembelaan. Sementara itu terdakwa tidak harus
menunjukkan kepada Jaksa tentang pembelaannya atau tentang apa saja bukti-
bukti yang akan ia hadirkan di Trial. Jika perundingan ini tidak bisa
menyelesaikan sebuah kasus maka dimulai lah proses Trial.
Pada proses Trial, Jaksa harus membuktikan bahwa terdakwa melakukan
pelanggaran dan juga terdakawa mengerti apa yang ia lakukan, pembuktian ini
harus dilakukan dengan tanpa ragu (beyond reasonable doubt). Untuk memulai
pemeriksaan, terdakwa ditanyakan bagaimana responnya terhadap tuntutan,
jika masih membela dan menganggap tidak bersalah, Jaksa selanjutnya harus
mengajukan lagi argumennya. Jaksa akan memberikan ringkasan singkat dari
tuntutannya dan memberi tahu berapa banyak saksi yang akan dihadirkan.
18
Selanjutnya petugas kepolisian dan saksi-saksi dipanggil satu persatu
untuk memberikan keterangan mereka yang terlebih dahulu disumpah. Lalu
Jaksa bertanya seluruh hal yang perlu diketahui di dalam persidangan dan
setelah selesai terdakwa dapat melakukan pemeriksaan kembali terhadap saksi.
Untuk memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak, Hakim hanya dapat
mempertimbangkan kembali bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan
termasuk keterangan yang diberikan oleh saksi dibawah sumpah. Jika Jaksa atau
terdakwa keberatan dengan informasi tertentu yang diberikan, Hakim harus
memutuskan apakah informasi tersebut memenuhi Rules of Evidence (suatu
aturan mengenai bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan). Apabila
memenuhi, maka informasi tersebut termasuk ke dalam bukti dan Hakim dapat
mempertimbangkannya dalam mengambil keputusan. Sebaliknya bila tidak
memenuhi maka informasi tersebut tidak termasuk ke dalam bukti yang sah.
Ketika semua saksi yang dihadirkan Jaksa telah memberikan keterangan
dan argument-argumennya telah ditutup, terdakwa dapat meminta hakim untuk
menolak tuntutan Jaksa dengan alasan Jaksa tidak dapat memberikan bukti yang
kuat. Jika Hakim setuju maka tuntutan digugurkan dan kasus selesai. Sementara
jika tidak setuju, terdakwa harus memberikan argumennya.
Lain halnya dengan Jaksa, terdakwa tidak harus membuktikan bahwa dia
tidak bersalah dan tidak wajib untuk menghadirkan bukti apapun. Terdakwa
dimungkinkan untuk menunjukkan inkonsistensi dan kelemahan tuntutan Jaksa
dan menganggap tuntutan tersebut tidak dapat membuktikan bahwa ia
bersalah. Terdakwa dapat juga bersaksi dibawah sumpah dan memanggil saksi-
saksi lainnya untuk kepentigan pembelaannya. Dalam teorinya, beban
pembuktian pada pengadilan di Australia adalah beban pembuktian biasa,
namun sebenarnya terdakwa pun diberikan hak untuk membuktikan bahwa
dirinya tidak bersalah atas tuduhan. Setelah semua bukti atau keterangan
diperdengarkan, Jaksa dan terdakwa mempunyai hak untuk berbicara kepada
hakim mengenai mengapa terdakwa harus atau tidak harus dinyatakan bersalah
atas tuduhan. Jaksa selalu didahulukan dalam hal ini.
19
Setelah semuanya selesai, Hakim berkewajiban untuk memutuskan
apakah terdakwa bersalah atau tidak. Tetapi Hakim berhak untuk menundanya
untuk mempertimbangkan kesalahan yang dituduhkan terhadap terdakwa. Jika
ada keraguan bahwa terdakwa bersalah, maka tuduhan akan dibatalkan. Namun
jika terbukti terdakwa bersalah menurut pengamatan hakim, maka aka nada
hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa.
2.4.2 Pengadilan Untuk Kejahatan Serius
Ada dua kategori untuk perkara ini yaitu Major Indictable Offences dan
Minor Indictable Offences. Major Indictable Offences harus disidangkan di District
Court atau Supreme Court. Persidangan ini dilakukan dihadapan Hakim dan Juri,
kecuali terdakwa memilih untuk menjalani sidang hanya dengan Hakim saja.
Kasus yang dapat ditangani dalam pengadilan ini misalnya, pembunuhan,
perampokan, dan pemerkosaan atau yang dendanya melebihi $30000.
Sementara itu Minor Indictable Offences disidangkan di Magistrates Court
dimana tidak terdapat juri, kecuali terdakwa mengajukan banding ke pengadilan
yang lebih tinggi (District Court atau Supreme Court).
Awalnya hakim akan mengadakan pemeriksaan pendahuluan untuk
mengetahui apa tuntutan jaksa. Jika terdakwa langsung mengakui kesalahan
yang dituduhkan maka hakim akan melimpahkan kasus tersebut ke Distrcit Court
atau Supreme Court untuk dilakukan penghukuman. Jika atas tuduhan tersebut
terdakwa tidak mengaku bersalah, maka pre-trial conference akan dilakukan.
Dalam kondisi ini terdakwa atau penasihat hukumnya wajib untuk hadir. Hakim
akan mengadakan sidang lagi untuk mempertimbangkan apakah kasus tersebut
dapat diselesaikan tanpa proses Trial. Hasil persidangan tersebut mungkin dapat
berupa;
Director of Public Prosecutions (DPP) setuju untuk menarik beberapa
tuntutan karena terdakwa mungkin akan mengaku bersalah
DPP mungkin akan setuju untuk mengubah tuntutan menjadi lebih sedikit
lebih ringan agar terdakwa mengaku bersalah
20
DPP dapat dibujuk untuk mempertimbangkan kembali bukti dan memeriksa
kembali saksi-saksi, dan selanjutnya memutuskan untuk tidak melanjutkan
kembali penuntutannya
Terdakwa dapat mempertahankan pernyataan tidak bersalah atas seluruh
tuntutan.
Proses Pre-trial ini pun dapat diundur jika hakim merasa bahwa negosiasi
dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut atau hakim merasa
bahwa DPP harus melengkapi materi dalam tuntutannya.
Pada proses Trial, penuntut dan terdakwa diharapkan sudah
mempersiapkan dengan matang seluruh bukti yang dimiliki, termasuk saksi yang
akan dihadirkan dalam persidangan.
Jaksa awalnya membuat pernyataan terbuka kepada juri dan kemudian
memanggil para saksi satu persatu. Sebelumnya para saksi harus disumpah agar
mengatakan yang sejujurnya. Kemudian jaksa bertanya kepada saksi yang
mungkin nantinya akan ditanya/diperiksa kembali oleh penasihat hukum
terdakwa. Jika jaksa atau terdakwa keberatan dengan informasi tertentu yang
diberikan kepada juri, hakim harus memutuskan apakah hal tersebut sesuai
dengan aturan. Kalau sesuai maka informasi tersebut termasuk dalam bukti yang
sah dan juri dapat mendengar dan bertindak atas dasar bukti tersebut.
Sebaliknya, jika tidak sesuai maka hal tersebut tidak termasuk dalam bukti yang
sah.
Sama seperti dalam persidangan pelanggaran ringan, no case to answer
dapat terjadi. Yaitu ketika pengajuan oleh salah satu pihak bahwa pihak lain
telah gagal membangun sebuah kasus untuk menuntut (kasus prima facie). Pada
kondisi ini juri dipersilahkan keluar ruang sidang dahulu. Bedanya dalam perkara
ini, terdakwa meminta kepada hakim untuk memberitahu juri bahwa penuntutan
yang dilakukan tidak memiliki bukti-bukti yang kuat. Bila hakim setuju, juri akan
dipanggil kembali ke ruang sidang dan hakim mengharuskan juri untuk
memutuskan terdakwa tidak bersalah. Maka kasus tersebut selesai dengan
putusan bahwa terdakwa tidak bersalah. Sementara itu jika hakim tidak setuju,
21
sama seperti pada pelanggaran, terdakwa wajib memberikan argument-
argumennya kepada juri.
Beban pembuktian pada perkara kejahatan ini sama seperti perkara
pelanggaran. Jaksa harus membuktikan tanpa ragu bahwa terdakwa bersalah,
sebaliknya terdakwa tidak harus menghadirkan fakta-fakta. Terdakwa dapat
membantah bahwa bukti-bukti dari jaksa tidak membuktikan bahwa ia bersalah
atau tidak memenuhi beyond reasonable doubt. Terdakwa dapat pula
membantah dengan menerangkan alibinya. Setelah semua fakta telah diberikan,
maka hakim menyimpulkan kasus kepada juri, menjelaskan hukum yang berlaku
terhadap kasus tersebut, dan kemudian juri melakukan perundingan secara
khusus di ruang juri untuk memberikan putusan. Putusan yang diambil adalah
putusan bersama atau minimal sepuluh keputusan yang sama diantara para juri,
dan kemudian keputusan tersebut diterima setelah empat jam, kecuali terdakwa
sedang diadili dalam kasus pembunuhan atau pengkhianatan.22
Juri dalam trial mendengarkan fakta, bukti, dan petunjuk, dan
memutuskan siapa yang harus dipercayai. Mereka adalah satu-satunya pihak
yang dapat menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Setelah juri
mencapai sebuah keputusan, maka sejak saat itu peran juri sudah selesai. Jika
juri menyatakan terdakwa bersalah, maka selanjutnya hakim akan mengambil
alih untuk menghukum terdakwa.
2.5 Sistem Pembuktian di Belanda
Puncak tertinggi sistem peradilan di Belanda adalah Hoge Raad.
Sedangkan puncak tertinggi pengadilan administrasi adalah Raad van State.
Pengadilan tingkat pertama membawahi 4 sektor:
1. Sektor gugatan kecil (small claim) yang diperiksa oleh hakim tunggal;
22 Australia, Juries Act 1927, s 57
22
2. Sektor pedata/hukum keluarga yang pada masa lalu semuanya ditangani
3 hakim tapi sekarang ditangani cukup dengan hakim tunggal;
3. Sektor pidana untuk perkara sederhana yang diperiksa oleh hakim
tunggal, yaitu untuk perkara dengan ancaman hukuman di bawah 1
tahun, sedangkan perkara yang lebih kompleks ditangani oleh 3 hakim.
4. Sektor hukum administrasi negara, di tingkat pertama diperiksa oleh
hakim tunggal.
Pada tahun 2002 berdiri sebuah organisasi yaitu Raad vor de Rechtspraak
( selanjutnya disebut RvR ) . Peran RvR adalah menjembatani parlemen (politik)
dan menjamin kemandirian peradilan. RvR bertanggung jawab pada masalah
personil, keuangan dan organisasi pengadilan juga mengawasi kualitas putusan
yang sebenarnya tetap di bawah tanggung jawab masinng-masing hakim. RvR
juga menjamin fasilitas persidangan misalnya tempat sidang dan gedung. Dengan
demikian Mahkamah Agung (Hoge Raad) di Negara Belanda hanya berwenang
melaksanakan fungsi yuridis sedangkan Raad vor de Rechtspraak berfungsi
melaksanakan tugas-tugas administrasi dan organisatoris. Angggota Komisi
terdiri dari Hakim dan non Hakim. Komisi Peradilan (Raad voor de rechtspraak)
adalah bagian dari sistem peradilan, tetapi tidak melakukan tugas-tugas
peradilan itu sendiri. Komisi ini mengambil alih tanggung jawab atas sejumlah
tugas dari Menteri Kehakiman, yaitu tugas-tugas organisatorial dan administrasi
pengadilan, termasuk alokasi anggaran, pengawasan manajemen keuangan,
kebijakan personalia, teknologi komunikasi dan fasilitas perumahan. Komisi ini
mendukung pengadilan dalam melaksanakan tugas mereka di wilayah
operasional pengadilan. Selain itu, Komisi bertugas untuk meningkatkan kualitas
sistem peradilan dan memberikan saran terhadap suatu undang-undang baru
yang memiliki implikasi kepada pelaksanaan fungsi pengadilan. Komisi juga
bertindak sebagai juru bicara pengadilan pada tingkat nasional dan internasional.
Komisi memiliki peran penting dalam hal mempersiapkan, melaksanakan dan
mengelola anggaran pengadilan. Komisi mengelola anggaran dengan
23
berdasarkan pada sistem pengukuran beban kerja. Ruang lingkup tugas Komisi
secara khusus meliputi kebijakan personal, fasilitas perumahan, teknologi
informasi dan urusan eksternal pengadilan. Budget pengadilan menjadi bagian
dari budget Menteri Kehakiman tetapi menjadi lampiran tersendiri. Budget
ditentukan berdasarkan perhitungan biaya per perkara yang telah ditangani
(performance based). Berbeda dengan MA yang menyusun anggaran
berdasarkan biaya perkara yang akan ditangani. Kemudian ditentukan berapa
yang kira-kira akan dapat diselesaikan oleh semua pengadilan. Kemudian RvR
mengatur pendistribusian budget ke seluruh pengadilan. Khusus untuk anggaran
Hooge Raad dan Raad van State tidak diajukan oleh RvR melainkan langsung
diajukan sendiri oleh MA dan RvS ke Menkeh.
Prosedur pembuktian pada Hukum Acara Belanda berlangsung dari
prinsip bahwa “siapa pun menegaskan fakta harus membuktikan itu”. Dengan
kata lain, setiap pihak yang bersengketa akan diminta untuk memberikan bukti
fakta untuk menegaskan fakta yang diungkapkannya. Tapi pada beberapa
kesempatan beban pembuktian mungkin terletak berbeda di bawah aturan
hukum tertentu yang berlaku atau berdasarkan prinsip kewajaran dan keadilan.
Fakta yang dituduhkan oleh salah satu pihak dan tidak dibantah oleh pihak lawan
dianggap oleh pengadilan sebagai terbukti. Tapi ada pengecualian, yaitu situasi di
mana menerima ini akan memerlukan konsekuensi hukum yang tidak bebas
tersedia untuk para pihak. Dalam hal bahwa pengadilan dapat menuntut bukti.
Bukti tidak diperlukan untuk fakta atau keadaan yang dianggap universal
dikenal atau aturan pengetahuan umum. “Fakta atau keadaan yang dianggap
universal dikenal” berarti fakta atau keadaan yang orang pada umumnya sudah
tahu atau bisa tahu. “Aturan pengalaman umum” berarti hubungan kausal
bahwa semua orang mengetahui hal tersebut. Dan tidak perlu pula membuktikan
fakta-fakta yang didapat pengadilan selama proses persidangan. Pengadilan
dapat dengan bebas memeriksa bukti-bukti yang diajukan, namun harus tetap
berpegang pada undang-undang yang berlaku.
24
Belanda menganut system pembuktian Negatif Wettelijk. Pada system
tersebut hakim hanya boleh menjatuhkan pidana bila terdapat paling tidak dua
alat bukti yang telah tercantum dalam undang-undang ditambah keyakinan
hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti tersebut. Teori Negatif Wettelijk
mengharuskan agar bukti-bukti yang digunakan sesuai dengan apa yang
disebutkan dalam undang-undang. Istilah “negatif” dipakai karena dalam
undang-undang disebutkan alat bukti apa saja yang dapat digunakan, namun,
dengan adanya semua bukti tersebut belum berarti hakim harus langsung
menjatuhkan hukuman. Masih dibutuhkan unsur keyakinan hakim berdasarkan
kebenaran yang telah dicari oleh Majelis Hakim23. Belanda juga menganut Non-
adversarial system. Pada system ini, hakim bersifat aktif dalam mencari
kebenaran. Hakim dapat mengajukan pertanyaan kepada terdakwa ataupun
saksi, dan keyakinan hakim dianggap sebagai alat bukti sah, namun tetap dibatasi
oleh undang-undang yang berlaku. Pada sistem Belanda, Jaksa Penuntut Umum
berada langsung dibawah pengawasan Menteri Kehakiman. Sedangkan
Kepolisian berada langsung dibawah pengawasan Jaksa Penuntut Umum.
2.6 Sistem Pembuktian Dalam Hukum Islam
Hukum Islam merupakan salah satu bentuk sistem hukum yang mulai
berkembang sejak kelahiran agama islam pada abad ke 6 Masehi.24 Hukum islam
merupakan bagian dari ajaran agama islam. Hal ini dikarenakan agama islam
dalam ajarannya melingkupi pengaturan mengenai hubungan antara manusia
dengan tuhannya dan hubungan antara manusia dengan sesama makhluk tuhan.
Aturan tersebut yang nantinya akan menjadi hukum dalam islam yang memiliki
sumber utama yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Hukum islam itu sendiri dapat
dikategorisasikan kedalam beberapa cabang hukum seperti hukum tata negara,
23 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia , cetakan kedelapan, ( Bandung : Sumur Bandung, 1974 ), halaman 91 - 9224 Ziauddin Sardar dan Zafar Abbas Malik, Mengenal Islam For Beginners, Cet.2 (Bandung: Mizan. 1998). Hal. 12.
25
hukum perdata, hukum internasional, dan hukum pidana, yang nantinya akan
dibahas lebih lanjut terkait sistem pembuktian dalam hukum pidana islam.25
Sebelum membahas tentang sistem pembuktian dalam hukum islam,
maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai bentuk-bentuk tindak pidana
dalam hukum islam karena hal tersebut berkaitan dengan sistem pembuktian
dalam hukum islam. Didalam hukum islam tindak pidana atau dikenal dengan
istilah jarimah dibagi menjadi tiga bentuk, yang pembagiannya didasarkan dari
segi berat atau ringannya hukuman.26 Jarimah tersebut antara lain:
a) Jarimah Hudud
Merupakan jarimah yang diganjar dengan hukuman hadd yaitu
hukumannya sudah ditentukan oleh Allah SWT terkait bentuk dan banyaknya
dan merupakan hak Allah SWT yang artinya hukuman tersebut tidak dapat
dihapus oleh siapapun.27 Menurut Abdul Qader Oudah hukuman hudud ini
dilakukan tanpa adanya pertimbangan dari keluarga atau kelompok korban dan
berdasarkan kepribadian pelaku. Selain itu hakim juga tidak berhak memaafkan
atau mengurangi hukuman hudud ini. Bentuk jarimah yang masuk kedalam
jarimah hudud ini antara lain berzina, menuduh berzina, mencuri, merampok,
memberontak, murtad, minum minuman keras / khamr, melakukan kerusakan di
muka bumi. Alasan mengapa hukuman jarimah merupakan hukuman yang harus
dilaksanakan karena hal-hal yang dikategorikan kedalam jarimah hudud
merupakan hal-hal yang mengganggu lima tujuan dari agama islam (al-maqasid
al-khamsah). Isi dari al-maqasid al-khamsah ini antara lain agama, keturunan,
akal, jiwa, dan harta.28
b) Jarimah Qisas Diyat
25 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Cet.6(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006). Hal. 56-5826 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Cet.2 (Bandung: Asy Syamil Press & Grafika. 2001). Hal. 140. Diambil dari pendapat Abdul Qadir ‘Audah.27 Topo Santoso, Wismar ‘Ain Marzuki, Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, Aspek Pidana Dalam Hukum Islam, Cet.1 (Jakarta: Cintya Press. 2005). Hal. 328 Mohammad Daud Ali, op. cit. Hal. 61.
26
Merupakan jarimah yang pelakunya karena perbuatannya diancam
hukuman qisas atau diyat yang mana telah ditentukan batasnya.29 Diantara tiga
jenis hukuman yang lainnya jarimah qisas memiliki posisi di tengah diantara
jarimah hudud dan ta’zir. Diyat biasanya berupa denda atau sejumlah barang
atau uang yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada keluarga korban atas apa
yang sudah dilakukannya. Yang termasuk jarimah qisas diyat antara lain adalah
pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena
sengaja, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja.30
c) Jarimah Ta’zir
Jarimah ta'zir merupakan bentuk hukuman dalam islam yang berasal dari
pemikiran akal yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah karena tidak diatur
secara langsung atau belum diatur oleh kedua sumber tersebut. Karenanya ta'zir
merupakan bentuk hukuman islam yang dapat dikembangkan disesuaikan
dengan kondisi dan keadaan. Menurut Al-Mawardi definisi dari ta’zir adalah
hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang ditentukan hukumannya
oleh syara’”.31 Sebagaimana artinya yaitu memberi pengajaran, maka prinsip
dasar dari jarimah ta'zir adalah restoratif dan pembinaan, rehabilitasi.32
Hukuman ta’zir ini ditentukan oleh penguasa setempat yang berwenang dan
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat dan syariah.
Dalam Hukum Pidana Islam sistem pembuktian yang digunakan tidak
menganut mutlak empat teori sistem pembuktian pada umumnya yaitu sistem
teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, berdasarkan
keyakinan hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang didukung oleh alasan
yang logis, dan berdasarkan undang-undang negatif.33 Hal ini disebabkan selain
karena hukum islam bukanlah hukum yang berdasarkan pada sistem common
29 Topo Santoso, Wismar ‘Ain Marzuki, Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis. Op.cit30Ibid. Hal. 15331 Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Khamsah As-Sulthaniyah, Cet.3 (Beirut: Mushthafa Al-Baby. Tanpa tahun). Hal.23632 Ibid. Hal. 433 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2001). Hal. 245.
27
law atau civil law, juga dikarenakan sistem pembuktian tersebut didasarkan
pada Al-Quran, As-Sunnah, dan Ar-Rayu atau penalaran yang biasanya berupa
pendapat-pendapat para fuqaha atau para alim ulama.34 Selain itu untuk tiap
kasus sistem pembuktiannya berbeda didasarkan pada bentuk tindak pidananya.
Contohnya dalam kasus tindak pidana hudud dan qisas dapat dibatalkan
hukumannya apabila dalam menjatuhkan keputusannya hakim memiliki
keraguan. Namun hal ini menurut pendapat para sarjana muslim tidak berlaku
bagi tindak pidana ta’zir. Contoh lainnya adalah dalam pembuktian kasus zina
yang pembuktiannya dapat menggunakan persaksian, pengakuan, dan qarinah
(petunjuk). Sedangkan untuk kasus pembunuhan selain ketiga alat bukti dapat
pula digunakan sumpah (qasamah). Berdasarkan contoh tersebut maka dapat
dilihat bahwa terdapat perbedaan cara pembuktian. Pada umumnya pada kasus-
kasus tindak pidana atau jarimah hudud digunakan alat bukti pengakuan,
persaksian, dan qarinah. Karenanya dalam pembuktian hukum pidana islam lebih
ditekankan pada alat bukti yang digunakan untuk membuktikan tindak pidana
tersebut. Berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijtihad beberapa ulama dan
fuqaha maka terdapat beberapa jenis alat bukti yang dapat digunakan dalam
pembuktian hukum islam antara lain adalah pengakuan, persaksian, sumpah (al-
qasamah), dan petunjuk (qarinah).35 Terkait alat bukti ini juga terdapat
perbedaan pendapat terkait jenis-jenis alat bukti yang dapat digunakan untuk
tindak pidana atas jiwa (pembunuhan), bukan jiwa (pelukaan), dan atas janin
atau yang termasuk kedalam jarimah qisas diyat. Pandangan pertama, menurut
para jumhur ulama, untuk pembuktian qisas dan diyat dapat digunakan 3 cara
alat pembuktian yaitu pengakuan, persaksian, dan al-qasamah. Sedangkan
pendapat kedua, menurut sebagian fuqaha seperti Ibnu Al-Qayyim dari mahzab
Hambali, untuk pembuktian jarimah qisas dan diyat digunakan empat alat
pembuktian yaitu pengakuan, persaksian, al-qasamah (sumpah), dan qarinah
(petunjuk).36
34 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2007). Hal. 16.35 Abd Al-Qadir Audah, at-tasyri al-jinaiy al-islamiy, juz II, (Dar al-kitab al-a’rabi, beirut, tanpa tahun).Hal. 30336 Ibid.
28
Berikut adalah pembahasan terkait jenis-jenis alat bukti yang biasa
digunakan dalam hukum pidana islam:
2.6.1 Pengakuan (Iqrar):
Definisi dari pengakuan menurut arti bahasa adalah penetapan.
Sedangkan berdasarkan definisi dari syara’ “pengakuan atau iqrar adalah suatu
pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui
kebenaran tersebut”.37 Dasar hukum dari pengakuan ini disebutkan dalam
beberapa ayat Al-Quran dan Hadist. Ayat Al-Quran yang menyebutkan hal
tersebut antara lain:
Q.S. An-Nissa ayat 153
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah SWT biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu…"
Q.S. Ali-Imran ayat 81
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi: “Sungguh,
apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah,…”. Allah
berfirman: “apakah kamu mengakui dan menerima perjanjianKu terhadap yang
demikian itu?” mereka menjawab: “Kami mengakui.” Allah berfirman: “Kalau
begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.”
Sedangkan hadist yang menjadi dasarnya adalah:
Hadist Al-Asif
“…Dan pergilah kamu hai Unais untuk memeriksa istrinya laki-laki ini, apabila ia
mengaku (berzina) maka rajamlah dia.” (Muttafaq alaih)
HR. Ahmad dan Abu Dawud37 Ibid.
29
“Dari Sahl ibn Sa’ad bahwa seseorang laki-laki telah datang kepada Nabi SAW,
kemudian ia mengatakan bahwa ia telah berzina dengan seseorang perempuan
yang ia sebutkan namanya. Nabi SAW kemudian mengutus seorang sahabat
untuk mengambil perempuan tersebut, Nabi kemudian bertanya kepada
perempuan tersebut mengenai apa yang dikatakan oleh laki-laki tadi, tetapi
perempuan tersebut mengingkarinya. Akhirnya, nabi menghukum laki-laki
tersebut dan membebaskan perempuan yang tidak mengaku.” (HR Ahmad dan
Abu Dawud).
Hadist mengenai Ma’iz (Hadist Riwayat Bukhari)
“Barangkali engkau hanya menciumnya, atau meremas-remasnya, atau
memandangnya? Ma’iz menjawab: tidak, ya Rasulullah.” (HR Bukhari)
Alat bukti pengakuan dalam hal pembuktian hanya berlaku bagi orang
yang menyatakan pengakuan itu. Apabila dalam pengakuannya disebutkan nama
orang lain yang juga melakukan tindak pidana maka hal tersebut tidak termasuk
kedalam pengakuan, melainkan persaksian.38 Walaupun demikian, pengakuan
sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama dan fuqaha, merupakan alat
bukti yang memiliki kekuatan yang paling kuat dibandingkan alat bukti yang
lainnya. Hal ini didasarkan pada prinsip dasar bahwa manusia tidak akan
melakukan kebohongan yang akan merugikan dirinya terkait pengakuan ini.
Penggunaan pengakuan sebagai alat bukti memiliki syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh pengakuan tersebut. Syarat-syarat tersebut antara lain
adalah berupa pengakuan yang jelas, terperinci, pasti, serta tidak dapat
menimbulkan tafsiran lain terkait tindak pidana yang dilakukannya. Selain itu
juga dalam pengakuan tersebut perlu disebutkan hal-hal yang berkaitan seperti
waktu, tempat, cara melakukannya, dan lain sebagainya sehingga pengakuan
tersebut memiliki suatu kejelasan dan kepastian tanpa adanya dugaan atau
tafsiran tindak pidana di luar yang dilakukan olehnya. Dasar hukum dari syarat
tersebut adalah hadist mengenai kisah Ma’iz yang isinya adalah “Barangkali
38 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2005). Hal.229.
30
engkau hanya menciumnya, atau meremas-remasnya, atau memandangnya?
Ma’iz menjawab: tidak, ya Rasulullah.” (HR Bukhari)
Pengakuan juga harus disampaikan tanpa adanya paksaan dan
disampaikan oleh orang yang memiliki akal yang sehat.39
2.6.2 Persaksian (syahadat):
Menurut Wahbah Zuhaili definisi dari persaksian adalah “persaksian
adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu
kebenaran dengan lafazd syahadat di depan pengadilan”.40
Persaksian merupakan salah satu alat bukti yang penting dalam
pembuktian hukum pidana islam. Hal ini dikarenakan persaksian dapat
menjadikan pembuktian lebih objektif karena adanya saksi yang menguatkan.
Saksi juga menjadi kunci dalam pembuktian dalam suatu tindak pidana apabila
pelaku tidak mengaku. Selain itu apabila salah satu saksi memberikan keterangan
yang berbeda dengan keterangan pelaku maka hal tersebut dapat dijadikan
bahan pertimbangan terkait pembuktian kasus tersebut oleh hakim. Tanpa
adanya saksi ini pada umumnya akan sulit dibuktikan bahwa seseorang telah
melakukan suatu jarimah. Contohnya dalam kasus jarimah zina sebagaimana
yang telah disepakati oleh para ulama berdasarkan ayat Quran yang
mengharuskan adanya empat orang saksi yang melihat langsung kejadian untuk
membuktikan suatu jarimah zina. Apabila empat orang saksi ini tidak bisa
dihadirkan maka gugurlah tuduhan zina terhadap tersangka.
Yang menjadi dasar hukum alat bukti persaksian ini antara lain:
Q.S. Al-Baqarah ayat 282:
“..Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di
antaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki maka (boleh) seseorang lelaki dan dua
39Ibid. hal. 230.40 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islami wa Adillatuhu, juz VI (Damaskus: Dar Al-Fik. 1989). Hal. 388
31
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seseorang lupa,
yang seseorang lagi mengingatkannya”.
Q.S. Ath-Thalaaq ayat 2:
“..Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah..”.
Hadist Riwayat Nasa’i:
Dari ‘Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa anaknya Muhaishah
yang paling kecil diketemukan terbunuh di pintu Khaibar maka Rasulullah SAW
bersabda: “ajukanlah dua orang saksi atas orang yang membunuhnya, nanti
saya akan berikan kepadamu tambang untuk mengqisaskannya..”
Agar persaksian tersebut dapat diterima maka terdapat beberapa syarat-
syarat yang bersifat umum yang harus dipenuhi oleh saksi antara lain adalah
dewasa, berakal, kuat ingatannya, dapat berbicara, dapat melihat, adil, dan
islam. Terkait syarat saksi harus beragama islam ada perbedaan pendapat.
Beberapa sarjana mengemukakan bahwa penggunaan non muslim
diperbolehkan jika tidak ada saksi lain.41 aksi Pembuktian melalui persaksian ini,
berdasarkan tindak pidana pembunuhan dan pelukaan, dapat dibedakan menjadi
persaksian untuk tindak pidana yang hukumannya badaniah dan persaksian
untuk tindak pidana yang hukumannya maliah.42
Jarimah yang hukumannya badaniah:
Jarimah yang hukumannya badaniah bisa berupa qisas atau ta’zir.
Terdapat beberapa perbedaan pendapat terkait persaksian jarimah yang
hukumannya badaniah. Namun pada umumnya para ulama dan fuqaha sepakat
bahwa pembuktiannya harus dengan dua orang saksi laki-laki, dan tidak boleh
41 Ahmad Wardi Muslich, op. cit. Hal.4242 Ibid. Hal.232
32
dengan seorang laki-laki dan dua orang perempuan, atau seorang saksi Laki-laki
ditambah sumpahnya korban.43
Jarimah yang hukumannya maliah:
Pada umumnya dalam hal persaksian terhadap jarimah yang
hukumannya maliah, seperti diyat atau denda ganti rugi, para ulama dan fuqaha
sepakat bahwa pembuktian dapat dilakukan oleh dua orang saksi laki-laki, atau
satu orang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan. Pendapat lain
menyatakan bahwa dapat juga pembuktian dilakukan melalui seorang saksi laki-
laki dan sumpah penuntut atau keengganan bersumpahnya terdakwa, atau dua
orang saksi perempuan ditambah sumpah penuntut.
2.6.3 Sumpah (Qasamah)
Berdasarkan arti bahasa qasamah adalah sumpah. Sedangkan menurut
Hanafiyah mendefinisikan qasamah “Dalam istilah syara’, qasamah digunakan
untuk arti sumpah dengan nama Allah SWT karena adanya sebab tertentu,
dengan bilangan tertentu, untuk orang tertentu yaitu si terdakwa dan menurut
cara tertentu”.44 Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
qasamah adalah sumpah yang dilakukan berulang-ulang yang dilakukan oleh
keluarga korban untuk membuktikan pembunuhan terhadap keluarganya yang
dilakukan oleh tersangka, atau dilakukan oleh tersangka untuk membuktikan
bahwa ia bukan pelaku pembunuhan.45 Para ulama sepakat bahwa penggunaan
qasamah ini hanya untuk tindak pidana pembunuhan saja. Dasar hukum dari
sumpah ini adalah hadist Nabi Muhammad SAW yaitu:
Hadist Riwayat Ahmad, Muslim, Nasa’i:
“Dari Abi Salamah ibn Abd Ar-Rahman dan Sulaiman ibn Yasar dari seorang laki-
laki sahabat Nabi SAW sekelompok kaum Anshar, bahwa sesungguhnya Nabi
43 Ibid.44 ‘Ala Ad-Din Al-Kasani, Kitab Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syarai’, (Beirut: Dar Al-Fikr. 1996). Hal. 422.45 Ahmad Wardi Muslich, op. cit. Hal.235
33
SAW menetapkan qasamah (sebagai alat bukti) sebagaimana yang berlaku di
zaman jahiliyah”.
Penggunaan qasamah seperti yang telah disebutkan diatas bahwa para
ulama telah sepakat hanya untuk kasus pembunuhan saja. Namun yang menjadi
perdebatan adalah kapan saat digunakannya qasamah ini. Pendapat pertama
mengatakan bahwa qasamah dilakukan ketika pelaku pembunuhan tidak
diketahui. Sedangkan pendapat kedua adalah ketika pelaku pembunuhan
diketahui karena adanya petunjuk yang mengarah kepadanya.
2.6.4 Petunjuk (Qarinah):
Qarinah atau petunjuk menurut definisi dari Wahbah Zuhaili adalah
“Qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas yang menyertai sesuatu yang
samar, sehingga tanda tersebut menunjukkan kepadanya”46
Contoh salah satu bentuk dari qarinah adalah hamilnya seorang
perempuan yang belum menikah dalam tindak pidana zina, bau alkohol pada
mulut seseorang dalam jarimah meminum minuman keras. Terwujudnya qarinah
ini harus memenuhi beberapa hal yaitu terdapat suatu keadaan yang jelas dan
diketahui layak untuk dijadikan dasar dan pegangan. Selanjutnya adalah terdapat
hubungan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara keadaan yang jelas dan
yang samar.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pembuktian dalam
hukum pidana islam tidak sama antara satu tindak pidana dengan tindak pidana
yang lainnya. Hal ini disebabkan untuk tiap kasus sistem pembuktiannya berbeda
didasarkan pada bentuk tindak pidananya.47 Yang menjadi kesamaan antara satu
tindak pidana dengan tindak pidana yang lainnya dalam pembuktian adalah jenis
alat bukti yang digunakannya. Selain itu perbedaan dalam pembuktian pidana
islam juga dibedakan berdasarkan jenis tindak pidananya yaitu jarimah hudud,
jarimah qisas diyat, dan jarimah ta’zir. Khususnya jarimah hudud terdapat
46 Ibid. hal.244 47 Ibid. hal. 227
34
perbedaan dalam syarat dan ketentuan alat bukti yang digunakan seperti
pembuktian jarimah zina. Dalam jarimah zina saksi yang harus dimunculkan
minimal empat orang laki-laki, berbeda dengan syarat minimal saksi pada
jarimah lainnya yang hanya mensyaratkan minimal dua orang laki-laki. Berikut
adalah contoh pembuktian dalam beberapa jenis tindak pidana dalam islam:
A. Tindak pidana pencurian:
Dalam tindak pidana pencurian pembuktiannya dapat dilakukan melalui
tiga alat bukti yaitu persaksian, pengakuan, dan sumpah.48
Dengan Persaksian
Pada umumnya syarat untuk persaksian dalam pembuktian tindak pidana
pencurian tidak jauh berbeda dengan syarat persaksian pada umumnya. Saksi
yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana pencurian minimal dua
orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Apabila syarat
tersebut tidak tidak terpenuhi maka pencuri tidak dapat dikenai hukuman.
Dengan Pengakuan
Pengakuan dalam tindak pidana pencurian cukup dinyatakan satu kali dan
tidak perlu diulang-ulang.
Dengan sumpah
Sumpah dapat dilakukan oleh sang tersangka bahwa ia melakukan
pencurian. Namun apabila sang tersangka enggan bersumpah maka sumpah
tersebut dapat dikembalikan kepada orang yang kehilangan barang (penuntut).
B. Tindak Pidana Zina
Pembuktian untuk tindak pidana perzinahan dilakukan dengan tiga jenis
alat bukti yaitu pengakuan, persaksian, dan petunjuk.49
48 Ibid. hal. 8149 Ibid. hal.41
35
Dengan Persaksian
Pada prinsipnya alat bukti saksi dalam pembuktian tindak pidana
perzinahan memiliki syarat yang sama dengan alat bukti saksi pada umumnya.
Namun ada beberapa perbedaan seperti jumlah saksi yang harus dihadirkan.
Dalam tindak pidana zina jumlah saksi minimal adalah empat orang. Empat
orang saksi ini harus melihat langsung kejadian. Mereka harus melihat kejadian
dengan mata kepala mereka sendiri. Tidak bisa hanya mendengar kejadian
tersebut dari orang lain, karena nantinya akan menimbulkan keraguan (syubhat)
yang dapat menyebabkan hukuman hudud gugur. Dasar hukum dari syarat saksi
ini adalah surat An-Nisa ayat 15 yang isinya adalah “dan (terhadap) para wanita
yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara
kamu (yang menyaksikannya)…”
Dengan pengakuan
Alat bukti memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi , antara lain
adalah pengakuan harus dinyatakan empat kali dan terperinci sehingga
menghilangkan syubhat (keragu-raguan). Namun pada prinsipnya sama dengan
alat bukti pengakuan pada umumnya.
Dengan Qarinah (petunjuk)
Pembuktian menggunakan petunjuk dalam tindak pidana zina dapat
berupa hamilnya seorang wanita yang tidak bersuami.
Terkait dengan beban pembuktian kepada siapa harus di bebankan, maka
dalam sistem pembuktian hukum islam beban pembuktian di bebankan kepada
penggugat. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa segala sesuatu diambil dari
lahirnya. Karenanya dalam hal ini penggugat harus membuktikan apa yang telah
ia gugat. Hal ini dapat dari syarat saksi dalam kasus perzinahan yang
mengharuskan bahwa penggugatlah yang harus menghadirkan saksi. 50 Seperti
yang tercantum dalam Al-Quran surat An-Nissa ayat 15. Apabila gugatan
50 Ibid. hal.42
36
tersebut tidak dapat dibuktikan maka meskipun apa yang gugatan sebenarnya
memang terjadi atau merupakan fakta maka tergugat tidak dapat dihukum.
Demikian pembuktian dalam hukum pidana islam. Dalam hukum pidana islam
sistem pembuktiannya memang berbeda dengan hukum pidana di Indonesia.
Dalam hukum pidana islam setiap tindak pidana bisa jadi memiliki syarat yang
berbeda terkait alat bukti yang digunakan dalam pembuktiannya.
BAB 3
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai beberapa pokok masalah maka dapat
ditarik kesimpulan berupa:
1. Pembuktian merupakan salah satu rangkaian dari proses peradilan yang
memiliki peran yang paling penting dalam mentukan bersalah tidaknya
37
seseorang. Cara penentuan tersebut ada bermacam-macam. Ada yang
didasarkan pada teori sistem pembuktian pada umumnya yaitu sistem teori
pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, berdasarkan
keyakinan hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang didukung oleh
alasan yang logis, dan berdasarkan undang-undang negatif. Beban
pembuktian secara umum dapat dibagi menjadi 3(tiga) yaitu beban
pembuktian umum, beban pembuktian terbalik dan beban pembuktian
berimbang. Dimana beban pembuktian umum, yang memiliki kewajiban
untuk membuktikan terdapat pada penuntut umum, sedangkan beban
pembuktian terbalik yang memiliki kewajiban untuk membuktikan terdapat
pada terdakwa. Dalam beban pembuktian berimbang, baik penuntut umum
maupun terdakwa mempunyai kewajiban untuk membuktikan.
2. Di Indonesia sistem pembuktian yang digunakan adalah sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian secara
negatif berarti dalam proses pembuktian keputusan bersalah atau tidaknya
seseorang didasarkan pada keyakinan hakim yang didukung oleh undang-
undang. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam pasal 183 KUHAP yang
isinya adalah “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari pasal tersebut dapat
disimpulkan bahwa untuk membuktikan suatu tindak pidana yang dilakukan
oleh seseorang dibutuhkan minimal dua alat bukti yang sah yang dengan alat
bukti tersebut hakim mendapat keyakinannya akan bersalahnya tersangka.
Sementara beban pembuktian yang digunakan di Indonesia yaitu beban
pembuktian umum atau konvensional dimana beban untuk membuktikan
terdapat pada Penuntut Umum. Hal tersebut dapat kita lihat pada Pasal 66
KUHAP yang isinya “ Terdakwa tidak dikenakan beban pembuktian”. Namun
dalam tindak pidana tertentu (seperti korupsi) menggunakan beban
pembuktian terbalik terbatas seperti yang terdapat dalam Pasal 37 ayat (1)
38
UU No. 21 tahun 2001 yang isinya “Terdakwa memiliki hak untuk
membuktikan dalam sidang pengadilan”. Maksud terbatas dalam beban
pembuktian itu adalah terdakwa memiliki hak untuk membuktikan di depan
pengadilan, namun Penuntut Umum harus membuktikan kenapa
mengajukan dakwaan tersebut ke pengadilan. Bentuk sistem pembuktian
selain yang dianut oleh Indonesia dapat dilihat dari sistem pembuktian di
Negara lain seperti Belanda yang menganut Civil Law dan Australia yang
menganut Common Law. Di Australia, untuk perkara ringan dan lebih berat
dibedakan sistem pengadilan, namun keduanya tetap diusahakan agar
perkara dapat diselesaikan tanpa proses persidangan. Jika pada akhirnya
akan diproses melalui sidang, maka kedua belah pihak, penuntut dan
terdakwa, hadir dalam persidangan dan saling melemparkan bukti dan
argumennya masing-masing. Penuntut memberikan bukti dan argumen
dengan tanpa ragu yang menjelaskan bahwa terdakwa bersalah. Sementara
terdakwa dapat melakukan pembelaan disertai bukti-bukti dan argumen
yang mendukung pula. Dalam perkara berat biasanya juri diperlukan untuk
memperoleh suatu putusan pengadilan, dan kemudian hakim yang
menyimpulkan putusan dan memberi hukuman sesuai dengan aturan yang
berlaku. Di Belanda, sistem pembuktiannya menganut sistem pembuktian
negatif ( keyakinan hakim namun dibatasi oleh undang-undang). Sifatnya
non-adversarial, berarti hakim bersifat aktif dalam mencari kebenaran
selama persidangan. Beban pembuktian berada pada pihak yang mendalilkan
fakta. Di peradilan Belanda, penuntut umum berada di bawah pengawasan
Menteri Kehakiman, dan Kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut
umum.
3. Sistem pembuktian dalam hukum islam tidak menganut teori-teori
pembuktian pada umumnya seperti sistem teori pembuktian berdasarkan
undang-undang secara positif, berdasarkan keyakinan hakim saja,
berdasarkan keyakinan hakim yang didukung oleh alasan yang logis, dan
berdasarkan undang-undang negatif. Hal ini disebabkan untuk tiap kasus
39
sistem pembuktiannya berbeda didasarkan pada bentuk tindak pidananya.
Bentuk tindak pidana tersebut dapat dibagi menjadi tiga yaitu jarimah hudud,
jarimah qisas diyat, dan jarimah ta’zir. Pembagian tindak pidana ini
didasarkan pada berat atau ringannya hukuman yang diberikan. Pada
masing-masing jarimah ini juga terdapat perbedaan dalam hal cara
pembuktiannya. Khususnya dalam hal jarimah hudud yang mana caranya
sudah ditentukan oleh Al-Quran yang berasal dari Allah SWT karena jarimah
ini merupakan salah satu bentuk kewenangan yang dimiliki Allah SWT.
Namun pembuktian dalam hukum islam dapat dilihat dari jenis alat bukti
yang digunakannya. Alat bukti yang digunakan dalam pembuktian antara lain
pengakuan, persaksian, sumpah, dan petunjuk. Jika dilihat dari kekuatan
pembuktiannya maka pengakuan dan persaksian memiliki kedudukan paling
tinggi. Penggunaan alat bukti tersebut juga harus memenuhi syarat.
Contohnya pada alat bukti persaksian syarat umum yang harus dipenuhi
antara lain saksi harus dewasa, berakal, kuat ingatannya, dapat berbicara,
dapat melihat, adil, dan islam. Pada umumnya untuk tindak pidana hudud
dapat menggunakan alat bukti petunjuk, persaksian,dan pengakuan.
Sedangkan untuk sumpah hanya digunakan untuk tindak pidana tertentu
seperti pembunuhan dan pencurian. Terkait dengan beban pembuktian,
dalam hukum islam dibebankan kepada penggugat. Hal ini didasarkan pada
prinsip bahwa segala sesuatu diambil dari lahirnya. Karenanya dalam hal ini
penggugat harus membuktikan apa yang telah ia gugat. Hal ini dapat dari
syarat saksi dalam kasus perzinahan yang mengharuskan bahwa
penggugatlah yang harus menghadirkan saksi.
Jadi pembuktian merupakan salah satu rangkaian dari proses peradilan
yang memiliki peran yang paling penting dalam mentukan bersalah tidaknya
seseorang. Cara penentuan tersebut ada bermacam-macam. Ada yang
didasarkan pada teori sistem pembuktian pada umumnya yaitu sistem teori
pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, berdasarkan keyakinan
hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang didukung oleh alasan yang logis,
40
dan berdasarkan undang-undang negatif. Di Indonesia sistem pembuktian yang
digunakan adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatif. Sistem pembuktian secara negatif berarti dalam proses pembuktian
keputusan bersalah atau tidaknya seseorang didasarkan pada keyakinan hakim
yang didukung oleh undang-undang. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam
pasal 183 KUHAP yang isinya adalah “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari pasal tersebut dapat
disimpulkan bahwa untuk membuktikan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang dibutuhkan minimal dua alat bukti yang sah yang dengan alat bukti
tersebut hakim mendapat keyakinannya akan bersalahnya tersangka.
Beban pembuktian di Indonesia menganut beban pembuktian umum /
konvensional. Beban pembuktian umum / konvensional merupakan beban
pembuktian yang memberikan kewajiban untuk membuktikan suatu tindak
pidana kepada penuntut umum karena didasarkan pada asas presumption of
innocence. Hal ini diatur didalam pasal 66 KUHAP. Namun untuk tindak pidana
tertentu seperti korupsi terdapat penyimpangan berupa berlakunya beban
pembuktian yang lain yaitu beban pembuktian terbalik terbatas. Hal ini diatur
didalam pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Bentuk sistem pembuktian selain yang dianut oleh Indonesia dapat dilihat dari
sistem pembuktian di Negara lain seperti Belanda yang menganut Civil Law dan
Australia yang menganut Common Law. Di Australia, untuk perkara ringan dan
lebih berat dibedakan sistem pengadilan, namun keduanya tetap diusahakan
agar perkara dapat diselesaikan tanpa proses persidangan. Jika pada akhirnya
akan diproses melalui sidang, maka kedua belah pihak, penuntut dan terdakwa,
hadir dalam persidangan dan saling melemparkan bukti dan argumennya
masing-masing. Penuntut memberikan bukti dan argumen dengan tanpa ragu
yang menjelaskan bahwa terdakwa bersalah. Sementara terdakwa dapat
41
melakukan pembelaan disertai bukti-bukti dan argumen yang mendukung pula.
Dalam perkara berat biasanya juri diperlukan untuk memperoleh suatu putusan
pengadilan, dan kemudian hakim yang menyimpulkan putusan dan memberi
hukuman sesuai dengan aturan yang berlaku. Di Belanda, sistem pembuktiannya
menganut sistem pembuktian negatif ( keyakinan hakim namun dibatasi oleh
undang-undang). Sifatnya non-adversarial, berarti hakim bersifat aktif dalam
mencari kebenaran selama persidangan. Beban pembuktian berada pada pihak
yang mendalilkan fakta. Di peradilan Belanda, penuntut umum berada di bawah
pengawasan Menteri Kehakiman, dan Kepolisian berada di bawah pengawasan
penuntut umum.
Selain itu ada juga bentuk sistem pembuktian yang tidak termasuk kedalam
empat teori sistem pembuktian yang ada yaitu sistem pembuktian dalam hukum
pidana islam. Dalam hukum pidana islam sistem pembuktian antara satu jenis
tindak pidana dengan tindak pidana yang lainnya berbeda. Yang menjadi
persamaan hanyalah jenis alat bukti yang digunakan yaitu persaksian,
pengakuan, petunjuk, dan sumpah. Pada umumnya untuk tindak pidana hudud
dapat menggunakan alat bukti petunjuk, persaksian,dan pengakuan. Sedangkan
untuk sumpah hanya digunakan untuk tindak pidana tertentu seperti
pembunuhan dan pencurian. Contohnya dalam kasus tindak pidana zina dengan
tindak pidana pencurian. Dalam tindak pidana zina alat bukti yang dapat
digunakan adalah pengakuan, persaksian, dan petunjuk. Sedangkan untuk tindak
pidana pencurian alat bukti yang dapat digunakan adalah pengakuan,
persaksian,dan sumpah. Beban pembuktian dalam hukum pidana islam
merupakan hak yang dimiliki oleh kedua belah pihak yaitu penuntut dan pihak
yang dituntut.
Dari pembahasan diatas dapat dilihat perbedaan masing-masing dari Sistem dan
beban pembuktian dari beberapa negara dan hukum pidana islam. Perbedaan
tersebut pada dasarnya dipengaruhi oleh ajaran, budaya dan kondisi dari
masing-masing negara dan tempat yang menganutnya. Namun pada prinsipnya
42
keseluruhan sistem pembuktian tersebut memiliki kesamaan tujuan yaitu
mencari kebenaran yang sebenar-benarnya sehingga keadilan dapat ditegakkan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian. Prof. Oemar
Seno Adji, SH & Rekan: Jakarta. 2006.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam, Cet.6. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
2006.
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Cet.1. Sinar Grafika: Jakarta. 2007.
Al-Mawardi , Abu Al-Hasan. Al-Ahkam Al-Khamsah As-Sulthaniyah. Cet.3 (Beirut:
Mushthafa Al-Baby. Tanpa tahun).
Aronson, M.I., N.S Reaburn, and M.S Weinberg. Litigation, Evidence and
Procedure. Australia: Butterworths. 1976.
Bouman , Marlies. The Judiciary System in the Netherlands. Council for the
Judiciary. 2003
Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Penerbit PT Alumni:
Bandung. 2005.
43
Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia: Jakarta. 1984.
Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pustaka
Kartini: Jakarta. 1993.
Ingeten, Sri. Peranan Dokter Dalam Pembuktian Perkara Pidana. Fakultas Hukum
Universitas Sumatra Utara: Medan. 2008.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam,cet.1. Sinar Grafika: Jakarta. 2005
Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah.
Cet.2. Sinar Grafika: Jakarta. 2006.
Prodjohamidjojo, Martiman. Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik
Korupsi (UU No.31, Tahun 1999). Mandar Maju: Bandung. 2001
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Atjara Pidana di Indonesia. Sumur Bandung:
Jakarta. 1967.
Prints, Darwan. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bakti:
Jakarta. 2002.
Santoso, Topo, dkk. Aspek Pidana Dalam Hukum Islam, Cet.1. Cintya Press:
Jakarta. 2005.
Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam, Cet.1. Gema Insani Press:
Jakarta. 2005.
Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam, Cet.2. Asy Syamil: Bandung.
2001.
Sasangka, Hari. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata. Penerbit Mandar
Maju: Bandung. 2000.
Sardar , Ziauddin dan Zafar Abbas Malik. Mengenal Islam For Beginners, Cet.2.
Mizan: Bandung. 1998.
Wahbah, Zuhaili. Al-Fiqih Al-Islami wa Adillatuhu, juz VI (Damaskus: Dar Al-Fik.
1989)
Undang-undang
Australia, Summary Procedure Act 1921.
44
Australia, Juries Act 1927.
Australia, The Rules of the Magistrates Court.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Website
http://www.lawhandbook.sa.gov.au/
http://www.karyatulisilmiah.com/pengertian-sistem.html
Sumber Lain
Al-Quran edisi khat Madinah, Terjemahan Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran
Departemen Agama RI. PT.Sygma Examedia Arkanleema. Bandung.
LAMPIRAN
Pertanyaan:
1. Bela Annisa
Apa saja kewenangan Director of Public Prosecutor (DPP)?
Jawaban:
Fungsi utama Director of Public Prosecution (DPP) adalah menuntut perbuatan yang melanggar hukum dimana DPP mempunyai otoritas penuh dibawah hukum atas negara bagian tersbutMengadakan proses menyatakan pendapat Memberikan nasihat hukum kepada penyidik/polisiSetelah terdakwa siap untuk diadili, DPP berhak untuk melanjutkan atau tidak penuntutan yang dibuatnya, kewenangan ini disebut No Bill Application.Berhak mengajukan saksi untuk memberikan keterangan demi mendukung tuntutannyaBagian 9 pasal 6 Director of Public Prosecution Act, menyatakan bahwa dpp berhak menentukan apakah bukti-bukti yang diberikan oleh saksi akan dipakai atau tidak untuk melawan terdakwa.Bagian 9 pasal 6d Director of Public Prosecution Act memberi wewenang kepada dpp untuk menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut di bawah hukum persemakmuran sehubungan dengan suatu tindak pidana khusus
45
2. Ahmad Dalmi Nasution:
Sebutkan 3 jenis jarimah dan jelaskan cara pembuktian dalam hukum islam berdasarkan pembagian 3 jarimah!
Jawaban:
Pada dasarnya Jarimah dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan jenis hukumannya yang diterima ada tiga bentuk yaitu:a) Jarimah Hudud:
Merupakan jarimah yang hukumannya sudah ditentukan oleh Allah SWT terkait bentuk dan banyaknya dan merupakan hak Allah SWT yang artinya hukuman tersebut tidak dapat dihapus oleh siapapun.51 Pada prinsipnya umumnya dalam jarimah yang termasuk kedalam jarimah hudud sistem pembuktiannya menggunakan tiga jenis alat bukti yaitu pengakuan, persaksian, dan petunjuk. Namun dalam beberapa jarimah hudud ada juga yang menggunakan sumpah seperti jarimah pencurian. Berikut adalah penjelasan cara pembuktian dalam jarimah hudud:
Tindak pidana pencurian:
Dalam tindak pidana pencurian pembuktiannya dapat dilakukan melalui tiga alat bukti yaitu persaksian, pengakuan, dan sumpah.
Dengan Persaksian
Pada umumnya syarat untuk persaksian dalam pembuktian tindak pidana pencurian tidak jauh berbeda dengan syarat persaksian pada umumnya. Saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana pencurian minimal dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Apabila syarat tersebut tidak tidak terpenuhi maka pencuri tidak dapat dikenai hukuman.
Dengan Pengakuan
Pengakuan dalam tindak pidana pencurian cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu diulang-ulang.
Dengan sumpah
51 Topo Santoso SH. MH, Wismar ‘Ain Marzuki SH. MH, Neng Djubaedah SH. MH, Sulaikin Lubis SH. MH, Aspek Pidana Dalam Hukum Islam, Cet.1 (Jakarta: Cintya Press. 2005). Hal. 3
46
Sumpah dapat dilakukan oleh sang tersangka bahwa ia melakukan pencurian. Namun apabila sang tersangka enggan bersumpah maka sumpah tersebut dapat dikembalikan kepada orang yang kehilangan barang (penuntut).
Tindak Pidana Zina
Pembuktian untuk tindak pidana perzinahan dilakukan dengan tiga jenis alat bukti yaitu pengakuan, persaksian, dan petunjuk.
Dengan Persaksian
Pada prinsipnya alat bukti saksi dalam pembuktian tindak pidana perzinahan memiliki syarat yang sama dengan alat bukti saksi pada umumnya. Namun ada beberapa perbedaan seperti jumlah saksi yang harus dihadirkan. Dalam tindak pidana zina jumlah saksi minimal adalah empat orang. Empat orang saksi ini harus melihat langsung kejadian. Mereka harus melihat kejadian dengan mata kepala mereka sendiri. Tidak bisa hanya mendengar kejadian tersebut dari orang lain, karena nantinya akan menimbulkan keraguan (syubhat) yang dapat menyebabkan hukuman hudud gugur. Dasar hukum dari syarat saksi ini adalah surat An-Nisa ayat 15 yang isinya adalah “dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya)…”
Dengan pengakuan
Alat bukti memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain adalah pengakuan harus dinyatakan empat kali dan terperinci sehingga menghilangkan syubhat (keragu-raguan). Namun pada prinsipnya sama dengan alat bukti pengakuan pada umumnya.
b) Jarimah Qisas Diyat :Merupakan jarimah yang pelakunya karena perbuatannya diancam hukuman qisas atau diyat yang mana telah ditentukan batasnya.52
Dalam hal ini diyat diterapkan kepada pelaku apabila keluarga korban memaafkan tersangka. Dalam jarimah qisas diyat pembuktiannya menggunakan empat jenis alat bukti yaitu pengakuan, persaksian, sumpah, dan petunjuk.
c) Jarimah Ta’zir :
52 Topo Santoso SH. MH, Wismar ‘Ain Marzuki SH. MH, Neng Djubaedah SH. MH, Sulaikin Lubis SH. MH, Aspek Pidana Dalam Hukum Islam, Cet.1 (Jakarta: Cintya Press. 2005). Hal. 3
47
Jarimah ta'zir merupakan bentuk hukuman dalam islam yang berasal dari pemikiran akal yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah karena tidak diatur secara langsung atau belum diatur oleh kedua sumber tersebut. Dalam jarimah ta’zir ini pembuktianya menggunakan empat jenis alat bukti yaitu pengakuan, persaksian, sumpah, dan petunjuk.
3. Raffi:
Kenapa alat bukti saksi masih diperdebatkan ? sebutkan dasar hukumnya! Serta jelaskan jarimah yang hukumannya badaniah dan jarimah yang hukumannya maliah!
Jawaban:
Terkait alat bukti saksi yang masih diperdebatkan, hal itu dikarenakan ijtihad dari masing-masing ulama dan fuqaha yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut biasanya dipengaruhi kondisi dan situasi tempat dimana dia melakukan ijtihadnya atas hal tersebut. Contoh perbedaannya adalah dalam pembuktian menggunakan persaksian dalam jarimah hukuman qisas, menurut jumhur fuqaha harus dengan dua orang saksi laki-laki, dan tidak boleh dengan seorang saksi laki-laki dan dua perempuan, atau seorang saksi laki-laki ditambah sumpahnya korban atau keluarga korban. Sedangkan menurut imam malik hal tersebut hanya berlaku untuk qisas atas jiwa saja. Sedangkan untuk qisas bukan jiwa bisa menggunakan seorang saksi laki-laki dan sumpahnya korban atau keluarga korban. Dasar hukum dari hal tersebut adalah istihsan. Sedangkan dasar hukum penggunaan alat bukti saksi adalah :
Q.S. Al-Baqarah ayat 282:
“..Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di
antaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki maka (boleh) seseorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seseorang lupa, yang seseorang lagi mengingatkannya”.
Q.S. Ath-Thalaaq ayat 2:
“..Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah..”.
Perbedaan Jarimah Hukuman Badaniah dan Jarimah Hukuman Maliah:Jarimah yang hukumannya badaniah:
48
Jarimah yang hukumannya badaniah bisa berupa qisas atau ta’zir. Terdapat beberapa perbedaan pendapat terkait persaksian jarimah yang hukumannya badaniah. Namun pada umumnya para ulama dan fuqaha sepakat bahwa pembuktiannya harus dengan dua orang saksi laki-laki, dan tidak boleh dengan seorang laki-laki dan dua orang perempuan, atau seorang saksi Laki-laki ditambah sumpahnya korban.53
Jarimah yang hukumannya maliah:
Pada umumnya dalam hal persaksian terhadap jarimah yang hukumannya maliah, seperti diyat atau denda ganti rugi, para ulama dan fuqaha sepakat bahwa pembuktian dapat dilakukan oleh dua orang saksi laki-laki, atau satu orang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan. Pendapat lain menyatakan bahwa dapat juga pembuktian dilakukan melalui seorang saksi laki-laki dan sumpah penuntut atau keengganan bersumpahnya terdakwa, atau dua orang saksi perempuan ditambah sumpah penuntut.
4. Andrian Hilman:
Perbedaan perlakuan antara yang mengaku dan yang tidak mengaku!
Jawaban:
Tidak ada perbedaan perlakuan antara tersangka yang mengaku dengan yang tidak mengaku. Yang menjadi perbedaan adalah nilai pembuktianya dalam hal pengakuan memiliki bobot yang lebih besar dibanding dengan pembuktian menggunakan alat bukti lain seperti petunjuk dan sumpah. Pengakuan yang diberikan juga harus memenuhi syarat-syarat pengakuan pada umumnya seperti dilakukan oleh orang yang memiliki kehendak bebas dan tanpa adanya tekanan, pengakuan harus jelas, terperinci, dan pasti. Syarat-syarat ini harus dipenuhi kecuali untuk tindak pidana tertentu dalam jarimah hudud, karena dalam hukum pidana islam pada prinsipnya menganut presumption of innocence.
5. Bagaimana sistem pembuktian menurut hukum adat?Hukum adat memiliki ciri-ciri khusus, yaitu :
a. Tidak tertulisb. Adanya sifat kebersamaan/kekeluargaanc. Adanya peran sentral ketua adat
53 Ibid.
49
Kasus pelanggaran hukum adat yang peradilannya menggunakan hukum adat pernah terjadi di Bali, dimana ada seorang pemuda yang “memperkosa” seekor sapi miliknya sendiri. Pemuda tersebut akhirnya dihukum. Hukumannya antara lain :a. Pemuda dikawinkan dengan sapi yang telah diperkosanyab. Pemuda diasingkan dari perkampungan oleh masyarakat (diusir)c. Sapi di buang ke lautKeputusan itu diambil bersama dimana ketua adat bertindak sebagai hakim. Mengenai alat bukti tidak diatur dalam hukum adat mengingat sifat hukum adat yang tidak tertulis. Sistem ini lebih mirip dengan sistem pembuktian conviction in-time atau sistem conviction raisonnee yang didalamnya keyakinan hakim (ketua adat) memegang peran yang sangat penting dalam menjatuhkan hukuman.
6. Didalam sistem pembuktian hukum pidana Indonesia, hakim berperan aktif. Apakah hal ini tidak berpotensi menimbulkan abuse of power?KUHAP telah mengatur mengenai pertanyaan-pertanyaan atau sikap sikap yang tidak boleh dilakukan selama persidangan. Jika JPU melakukan hal tersebut maka penasihat hukum terdakwa berhak mengajukan keberatan dan penilaian atasnya diserahkan pada Hakim, dan sebaliknya. Memang, dalam hal ini ada ketidakseimbangan dimana Hakim berkedudukan sebagai orang yang lebih tinggi dibanding JPU, terdakwa, penasihat hukum, serta saksi-saksi. Ketidakseimbangan ini memungkinkan adanya sebuah abuse of power yang mungkin terjadi ketika Hakim mengajukan pertanyaan yang menjerat, menyimpulkan, atau memojokkan terdakwa atau saksi yang diajukan.
7. Bagaimana apabila dalam tindak pidana korupsi terjadi in absencia?
Pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi tidak semata-mata
pembuktian di tangan terdakwa. Pembuktian pada tindak pidana korupsi
menganut pembalikan beban pembuktian terbatas, sehingga kkewajiban
pembuktian tetap ada pada tangan penuntut umum meskipun tterdakwa
memiliki hak untuk membuktikan kalau dia tidak bersalah. Apabila dalam
sidang terdakwa ternyata in absencia, maka sidang korupsi tersebut harus
ditunda hingga tertangkapnya terdakwa tersebut dan terdakwa dapat hadir
dalam persidangan.
50
8.
51