fhuiguide.files.wordpress.com · web viewpembuatan makalah ini merupakan salah satu metode...

89
ALAT BUKTI KETERANGAN TERDAKWA Disusun Oleh : Candace A. Limbong Ichsan Zikry Yohan David Misero Rose Angel Alexandra Wantah Rainer Faustine Jonathan Ahmad Fikri Rasyidi Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1

Upload: hoangtram

Post on 24-May-2018

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ALAT BUKTI KETERANGAN

TERDAKWA

Disusun Oleh :

Candace A. Limbong

Ichsan Zikry

Yohan David Misero

Rose Angel Alexandra Wantah

Rainer Faustine Jonathan

Ahmad Fikri Rasyidi

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

1

Kata Pengantar

Pembuatan makalah ini merupakan salah satu metode pembelajaran yang merangsang

keterlibatan aktif mahasiswa dalam pemahaman mengenai pembelajaran pembuktian yang

merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam suatu proses yang panjang dalam

sistem hukum acara pidana di Indonesia.

Makalah yang berjudul “Alat Bukti Keterangan Terdakwa” ini jelas menitikberatkan

pembahasan pada keterangan seorang Terdakwa dalam suatu persidangan. Alat bukti dalam

persidangan dalam hukum acara pidana diatur secara limitatif dalam pasal 184 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981).

Mengingat bahwa masih sedikitnya literatur yang membahas mengenai keterangan

terdakwa sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan, seraya untuk memenuhi penilaian

tim pengajar mata kuliah pembuktian di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tim penulis

juga sangat tertantang untuk turut aktif dalam memberikan sumbangsih pemikiran dalam

pembahasan mengenai keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan.

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas pimpinan dan

kehendak-Nya sehingga akhirnya makalah yang tim penulis kerjakan ini dapat selesai tepat

pada waktunya. Kami mengucapkan terima kasih kepada tim pengajar mata kuliah

pembuktian yaitu Pak Hasril Hertanto, S.H., M.H., Ibu Flora Dianti, S.H., M.H. , Pak

Chudry Sitompul, S.H., M.H. dan Ibu Febby Mutiara Nelson S.H, M.H. yang telah, sedang,

dan akan memberikan ilmu-ilmu bagi kami.

Terima kasih juga kami sampaikan kepada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Indonesia yang menyediakan literatur-literatur yang menjadi referensi dan memperkaya

materi pembahasan makalah ini.

2

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Keterangan Terdakwa merupakan salah satu dari Alat Bukti yang sah diatur dalam

pasal 184 KUHAP. Definisi mengenai Keterangan Terdakwa dijelaskan dalam pasal 189

KUHAP. Pada makalah ini akan dijelaskan mengenai keterangan terdakwa secara

komprehensif baik mengenai kekuatan pembuktiannya dan juga mengenai hal hal terkait

dengan keterangan Terdakwa. Keterangan Terdakwa adalah hal yang sangat penting dalam

pembuktian suatu perkara pidana, hal ini dikarenakan dari keterangan terdakwa dapat

diketahui bagaimana suatu tindak pidana terjadi dan menjadi penentu putusan dari tindak

pidana tersebut.

Alat bukti berupa Keterangan Terdakwa diantaranya juga menjadi salah satu faktor

penting untuk menemukan petunjuk guna membuat keyakinan hakim. Dalam alat bukti

berupa petunjuk salah satunya adalah memperhatikan singkronisasi antara keterangan saksi

saksi yang dihadirkan guna membuat terang suatu tindak pidana dan juga keterangan dari

terdakwa yang didakwakan melakukan tindak pidana tersebut.

Keterangan terdakwa memiliki aspek aspek yang erat kaitannya dengan Hak Asasi

Manusia, dimana dalam hal ini keterangan Terdakwa akan dikaitkan dengan Right to

remain silence dan Non Self Incrimination selaku asas penting yang keberlakuannya sudah

diakui secara umum. Selain itu keterangan terdakwa juga berkaitan dengan ‘saksi mahkota’

dalam hal terjadinya suatu tindak pidana yang berkaitan dengan penyertaan tindak pidana.

Saksi mahkota merupakan hal yang masih diperdebatkan eksistensinya sampai saat ini,

meskipun sudah ada putusan Mahkamah Agung yang mengatakan bahwa Saksi Mahkota

diperbolehkan dalam membuat terang suatu tindak pidana, namun ada juga Putusan

Mahkamah Agung lainnya yang menolak dihadirkannya saksi Mahkota dalam suatu

perkara pidana.

3

Nilai pembuktian dari keterangan terdakwa juga bergantung kepada sistem hukum

yang dianut oleh suatu negara dan tentunya berbeda satu sama lainnya, dan untuk itu pada

makalah ini akan dijabarkan secara singkat mengenai kedudukan keterangan terdakwa

dalam pembuktian suatu tindak pidana dari beberapa negara. Dan tidak hanya itu, akan

dibahas juga mengenai keterangan terdakwa dalam Rancangan Undang – Undang Kitab

Hukum Acara Pidana yang sampai saat ini belum disahkan. Selain itu pada makalah ini

juga akan disampaikan mengenai keterkaitan konsep Plea Guilty/Plea Bargain yang akan

coba dianut dalam RUU KUHAP tersebut.

I.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, adapun pokok permasalahannya adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah penerapan keterangan terdakwa dihadapkan dengan right to remain

silence?

2. Bagaimanakan kekuatan pembuktian Keterangan Terdakwa di Indonesia ?

3. Bagaimanakah kedudukan Saksi Mahkota dikaitkan dengan ICCPR (asas non self

incrimination)?

4. Bagaimanakah keterkaitan antara Hak Ingkar Terdakwa dan keterangannya

dipersidangan.

5. Bagaimanakah kedudukan Keterangan Terdakwa di Amerika Serikat?

6. Bagaimanakah kedudukan Keterangan Terdakwa di Inggris ?

7. Bagaimanakah kedudukan Keterangan Terdakwa di Prancis ?

8. Bagaimanakah kedudukan Keterangan Terdakwa di Cina ?

9. Bagaimanakah kedudukan Keterangan Terdakwa dalam RUU KUHAP dan

kaitannya dengan konsep Plea Guilty?

4

I.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diuraikan diatas, adapun penulisan ini

bertujuan sebagai berikut.

Bagaimanakah penerapan keterangan terdakwa dihadapkan dengan right to remain silence?

1. Mengetahui kekuatan pembuktian Keterangan Terdakwa di Indonesia

2. Mengetahui kedudukan Saksi Mahkota dikaitkan dengan ICCPR (asas non self

incrimination)

3. Mengetahui keterkaitan antara Hak Ingkar Terdakwa dan keterangannya

dipersidangan.

4. Mengetahui kedudukan Keterangan Terdakwa di Amerika Serikat

5. Mengetahui kedudukan Keterangan Terdakwa di Inggris

6. Mengetahui kedudukan Keterangan Terdakwa di Prancis

7. Mengetahui kedudukan Keterangan Terdakwa di Cina

8. Mengetahui kedudukan Keterangan Terdakwa dalam RUU KUHAP dan kaitannya

dengan konsep Plea Guilty

I.4 Metoda Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu

cara pengumpulan data dengan bersumber pada bahan-bahan pustaka yang terdiri dari:

1. bahan hukum primer, yang berupa ketentuan hukum dan perundang-undangan

yang mengikat serta berkaitan dengan studi ini;

2. bahan hukum sekunder, yang berupa literatur-literatur tertulis yang berkaitan

dengan pokok masalah dalam studi ini, baik berbentuk buku-buku, makalah-

makalah, laporan penelitian, artikel surat kabar, dan lain sebagainya.

5

BAB II

DEFINISI, SYARAT, HAK-HAK TERDAKWA, DAN

PRINSIP-PRINSIP KETERANGAN TERDAKWA

A. Definisi-definisi

Terdakwa adalah seseorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang

pengadilan (Pasal 1 butir 15 KUHAP).

Keterangan Terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang

perbuatan yang dia lakukan atau yang dia ketahui sendiri atau alami sendiri (Pasal

189 ayat (1) KUHAP). Keterangan tersebut tidak dapat diartikan secara sempit,

yaitu terkait dengan pengakuan saja, namun termasuk semua keterangan (pengakuan

dan pengingkaran) yang diberikan oleh terdakwa bahkan termasuk keterangan yang

diberikan baik di dalam maupun di luar persidangan.

B. Syarat Formil Keterangan Terdakwa

Masing-masing alat bukti memiliki syarat formil dan materiil yang berbeda. Pada

alat bukti keterangan terdakwa syarat formil dan materiilnya yaitu sebagai berikut.

1) Syarat Formil

a. Tidak dibawah sumpah (jadi terdakwa boleh berkata yang tidak sebenarnya)

Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-IX/2011, Pemeriksan

terhadap keterangan Terdakwa tanpa dilakukan pengambilan sumpah

sebelumnya adalah sesuai dengan hak konstitusional seorang warga negara.

Menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi, seorang Terdakwa berhak untuk

membantah dalil-dalil dakwaan yang diajukan kepadanya sebagaimana diatur

dalam Pasal 175 KUHAP yang menyatakan bahwa Jika terdakwa tidak mau

6

menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya,

hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan

dilanjutkan”.1

b. Asas non self-incrimination (tidak mempersalahkan/memberatkan dirinya

sendiri)

Menurut Pasal 66 KUHAP, dikatakan bahwa seorang Terdakwa tidak dibebani

beban pembuktian . Menurut article 14 point 3 point g International Covenant of

Civil and Political Rights/ICCPR, Terdakwa tidak boleh dipaksa untuk

mengaku bersalah.

c. Harus diucapkan sendiri di depan sidang

Pada pasal 189 ayat (1) KUHAP dikatakan bahwa untuk menjadi Alat Bukti

yang Sah, maka Keterangan Terdakwa haruslah dinyatakan di depan sidang.

Keterangan tersebut berupa penjelasan “yang diutarakan sendiri” oleh Terdakwa

maupun pernyataan yang berupa “penjelasan” atau “jawaban” Terdakwa atas

pertanyaan yang diajukan oleh Ketua Sidang, Hakim Anggota, Penuntut Umum,

atau pun Penasihat Hukum2

2) Syarat Materiil

a. Keterangan berupa perbuatan yang ia lakukan/ia ketahui sendiri/ia alami sendiri

(Pasal 189 ayat (1) KUHAP)

Menurut M. Yahya Harahap, yang dimaksudkan dengan perbuatan yang

dilakukan Terdakwa adalah perbuatan yang dilakukan oleh seorang Terdawa

yang perkaranya sedang diperiksa3. Hal yang diketahui oleh Terdakwa adalah

tentang pengetahuan seorang Terdakwa terhadap tindak pidana yang diperiksa

1 Diunduh dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=6561

2. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi 2, Cet 4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002) , hal. 320.

3 Ibid.

7

dan bukan sesuatu yang merupakan pendapatnya4. Sementara yang dimaksudkan

dengan apa yang dialami oleh Terdakwa adalah pengalaman si Terdakwa sendiri

yang memiliki hubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan5.

b. Merupakan alat bukti bagi dirinya sendiri (Pasal 189 ayat (3) KUHAP).

Maksudnya ialah keterangan yang diberikan oleh terdakwa hanya dapat

digunakan untuk perkara terdakwa itu sendiri.

Apabila salah satu dari persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka akan berakibat

alat bukti tersebut menjadi alat bukti yang tidak sah menurut hukum.

C. Hak-Hak Terdakwa

1. Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 ayat (3) KUHAP).

2. Untuk mempersiapkan pembelaan, terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan

jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan

kepadanya. (Pasal 51 huruf b KUHAP).

3. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, terdakwa berhak

memberikan keterangan secara bebas keapada penyidik atau hakim. (Pasal 52

KUHAP).

4. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, terdakwa berhak

untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 177. (Pasal 53 ayat (1) KUHAP).

5. Dalam hal terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 178, yaitu dibantu oleh penterjemah yang pandai bergaul

dengannya atau jika terdakwa masih bisa membaca dan menulis, maka semua

teguran dan pertanyaan padanya disampaikan secara tertulis (Pasal 53 ayat (2)

KUHAP).

4 Ibid.5 Ibid.

8

6. Mendapatkan bantuan hukum untuk kepentingan pembelaannya (Pasal 54

KUHAP).

7. Memilih sendiri penasihat hukum yang akan memberikan bantuan hukum

padanya (Pasal 55 KUHAP).

8. Dalam hal terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih

atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun

atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang

bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib

menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Penasihat hukum tersebut memberikan

bantuannya secara Cuma-Cuma (Pasal 56 ayat (1) dan (2) KUHAP)

9. Bagi Terdakwa yang dikenakan penahanan, berhak untuk menghubungi

penasihat hukumnya (Pasal 57 ayat (1) KUHAP). Jika ia berkebangsaan asing,

maka ia berhak untuk berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (2)

KUHAP).

10. Terdakwa berhak untuk menghubungin dan menerima kunjungan dokter

pribadinya untuk kepentinan kesehatannya (Pasal 58 KUHAP)

11. Terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan

atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan

dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah

dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan

oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan

bagi penangguhannya (Pasal 59 KUHAP).

12. Terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang

mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau

terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun

untuk usaha mendapatkan bantuan hukum (Pasal 60 KUHAP)

13. Terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya

menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak

9

ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan

pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61 KUHAP).

14. Terdakwa berhak berkiriman surat dengan Penasihat Hukumnya dan surat

tersebut tidak diperiksa oleh penyidik kecuali jika terdapat cukup alasan untuk

diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan dan jika pemeriksaan tersebut

telah dilakukan, maka terdakwa berhak diberitahu (Pasal 62 KUHAP).

15. Terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan (Pasal

63 KUHAP).

16. Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum

(Pasal 64 KUHAP)

17. Mengajukan saksi atau ahli yang keterangannya dapat meguntungkan diri

terdakwa (Pasal 65 KUHAP).

18. Terdakwa tidak dibebani beban pembuktian (Pasal 66 KUHAP).

19. Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan

pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala

tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum

dan putusan pengadilan dalam acara cepat (Pasal 67 KUHAP)

20. Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi

sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan selanjutnya (Pasal 68 KUHAP).

21. Terdakwa berhak untuk menolak untuk memberikan jawaban pada pemeriksaan

di sidang pengadilan (Pasal 175 KUHAP).

22. Terdakwa hanya bisa dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan (article 14

point 2 International Covenant of Civil and Political Rights/ ICCPR)

23. Terdakwa tidak boleh dipaksa untuk mengaku bersalah (article 14 point 3 point

g ICCPR)

D. Prinsip-prinsip mengenai Keterangan Terdakwa

10

1). Asas Equality Before The Law

Sebagai negara hukum, Indonesia tentunya menjunjung tinggi Hak Asasi

Manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari Konstitusi Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945). Pada pasal 27 ayat

(1) UUD 1945 dikatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya

didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan

itu dengan tidak ada kecualinya.

Persamaan kedudukan seseorang di dalam menjalani proses hukum adalah

salah satu penerapan dalam asas equality before the law. Hal tersebut berkaitan

dengan akses menuju keadilan dan mendapatkan proses peradilan yang adil

sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa pengadilan mengadili menurut

hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

2). Asas Presumption of Innocence (Praduga Tak Bersalah)

Menurut Pasal 8 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, seseorang yang disangka, ditangkap, dituntut dan dihadapkan ke muka

pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang

menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Hal

demikian senada dengan article 14 point 2 ICCPR yang menyatakan Terdakwa

hanya bisa dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan

3). Asas non-self incrimination

Article 14 point 3 ICCPR, yang mengatakan bahwa Terdakwa tidak boleh

dipaksa untuk mengaku bersalah, memiliki arti bahwa seseorang tidak dapat dipaksa

untuk bersaksi dan memberikan keterangan bagi pemeriksaan atas dirinya termasuk

hak untuk bebas dari paksaan untuk mengaku bersalah. Dalam KUHAP juga diatur

hak bagi terdakwa untuk menolak menjawab pertanyaan yang diajukan padanya

pada saat pemeriksaan di pengadilan (Pasal 175 KUHAP).

11

E. Saksi Mahkota

Jika mengacu padaketentuan Pasal 66 KUHAP dan Article 14 point 3 point

g ICCPR yang mengatakan bahwa Terdakwa tidak boleh dipaksa untuk mengaku

bersalah, maka seorang terdakwa tidak dibebankan suatu beban pembuktian dan

tidak dapat dipaksa untuk bersaksi atas dirinya sendiri atau dipaksa mengaku

bersalah (asas non-self incrimination), bahkan dalam Pasal 175 KUHAP pun

seorang terdakwa memiliki hak ingkar (right to remain silent), yaitu untuk menolak

menjawab pertanyaan yang diajukan pada dirinya di dalam persidangan, maka

dengan demikian rasanya mustahil untuk menghadirkan seorang yang secara

bersama-sama bertindak sebagai terdakwa dalam acara pemeriksaan di suatu sidang

pengadilan. Hal tersebut pun didukung oleh ketentuan dalam Pasal 168 huruf b

KUHAP yang menyatakan bahwa seseorang yang bertindak bersama-sama sebagai

terdakwa dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Demikian pula dengan

Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei

1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung MARI, No. 1950 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei

1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1952 K/Pid/1994, tanggal 29 April

1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1706 K/Pid/1994, Yurisprudensi

Mahkamah Agung No 381 K/Pid/1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung No 429

K/Pid/1995 yang melarang dihadirkannya seorang saksi mahkota dalam

pemeriksaan di pengadilan.

Namun, terdapat pengaturan berbeda tentang saksi mahkota di dalam

Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1967 No. 60

K/Kr/1967 yang menyatakan bahwa seorang terdakwa dalam perkara lain, meskipun

peristiwanya sama, tetapi keterangannya sebagai saksi dapat didengar di hadapan

persidangan; dan di dalam

R-KUHAP khususnya pada pasal 198. Pada pasal 198 R-KUHAP,

dikatakan bahwa terdakwa dalam perkara yang sama yang peranannya paling

ringan, dapat dihadirkan dalam persidangan sebagai seorang saksi dan jika ia

membantu terungkapnya perbuatan pidana tersebut, maka ia dapat dibebaskan dari

12

tuntutan pidana (Pasal 198 ayat (1) R-KUHAP). Dikatakan pula, bila tidak terdapat

terdakwa yang peranannya paling ringan dalam perkara yang sama, maka jika

terdakwa tersebut dihadirkan sebagai saksi dan dapat membantu terungkapnya

perbuatan pidana, maka hukuman terhadapnya dapat dikurangi (Pasal 198 ayat (2)

R-KUHAP).

13

BAB III

PEMERIKSAAN KETERANGAN TERDAKWA DI PERSIDANGAN

A. Pemanggilan Terdakwa

Diatur dalam Pasal 145 KUHAP:

1. Ayat (1); Pemberitahuan untuk datang ke sidang Pengadilan dilakukan secara

sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada Terdakwa di alamat

tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan

di tempat kediaman terakhir.

2. Ayat (2); Apabila Terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat

kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala Desa yang

berdaerah hukum tempat tinggal Terdakwa atau tempat kediaman terkahir.

3. Ayat (3); Dalam hal Terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan

kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.

4. Ayat (4); Penerimaan surat panggilan oleh Terdakwa sendiri atau pun oleh

orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.

5. Ayat (5); Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak

dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung

pengadilan yang berwewenang mengadili perkaranya.

B. Keterangan Terdakwa di Luar Persidangan (The Conffesion Outside The Court)

Keterangan Terdakwa adalah keterangan yang diberikan oleh terdakwa di

dalam persidangan, jadi jika keterangan tersebut diberikan di luar persidangan,

maka itu bukan merupakan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184

ayat (1) KUHAP. Namun, berdasarkan pasal 189 ayat (2) KUHAP, keterangan

terdakwa di luar perisdangan, dapat digunakan untuk membantu menemukan alat

bukti.

Bentuk keterangan di luar persidangan yang dapat dikualifikasikan sebagai

keterangan terdakwa di luar persidangan adalah (Pasal 75 ayat (1) huruf a jo. Ayat

14

(3) KUHAP) keterangan yang diberikan terdakwa pada saat pemeriksaan di

penyidikan6

a. keterangan tersebut dicatat dalam Berita Acara Penyidikan

b. Berita Acara Penyidikan tersebut ditandatangani oleh pejabat penyidik

dan terdakwa

tidak ada pemeriksaan lain bagi seorang terdakwa selain muka pengadilan sehingga

sebenarnya keterangan terdakwa yang tercantum dalam BAP diambil pada saat

kapasitasnya sebagai seorang tersangka. Hal ini mengakibatkan keterangan yang

disampaikan terdakwa di luar sidang pada wartawan ataupun lainnya tidak

memililki kekuatan hukum sama sekali.

C. Kekuatan Pembuktian Terdakwa

1. Keterangan Terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri

Ketentuan yang mengatur mengenai asas ini ada pada Pasal 189 ayat (3)

KUHAP. Jika dalam suatu perkara terdapat beberapa Terdakwa, maka masing-

masing keterangan setiap Terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat

kepada dirinya sendiri, misalkan: keterangan Terdakwa A tidak dapat

dipergunakan terhadap Terdakwa B, demikian sebaliknya7

2. Keterangan Terdakwa Saja Tidak Cukup membuktikan Kesalahannya

Asas ini diatur dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP dimana pengaturannya adalah

merupakan penegasan terhadap asa minimal pembuktian dalam Pasal 183

KUHAP, yaitu hakim memutus dengan keyakinan yang didasari minimal dua

alat bukti8.

3. Sifat Kekuatan Pembuktiannya Bebas

Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan

Terdakwa. Dia bebas bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di 6. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi 2, Cet 4, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2002) , hal. 324.

7 Ibid. hal. 321.8 Ibid. hal. 321-322.

15

dalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti

dengan jalan mengemukakan alasan-asalannya.9

1. Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa di luar Sidang

a. KUHAP

Menurut Pasal 189 ayat (2) KUHAP Keterangan terdakwa yang diberikan di luar

sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang. Berdasarkan hal

ini jelas bahwa keterangan terdakwa di luar sidang tidak dapat dijadikan alat bukti,

tetapi hanyalah sebagai ”pembantu” menemukan bukti di sidang dan sekaligus dapat

sebagai penguat keyakinan hakim.

b. M. Yahya Harahap

Jika pengakuan di luar sidang benar –benar bersesuaian antara yang satu dengan

yang lain, fungsi, dan nilai keterangan yang demikian sudah menjadi ”petunjuk” ini

berdasarkan pada Pasal 188 ayat (1) jo ayat (2) KUHAP10. Namun petunjuk disini tidak

dapat sama dengan alat bukti. Petunjuk maksudnya ”membantu”.

c. Yuriprudensi

1. MA No. 229 K/Kr/1959 tanggal 23 Februari 1960, MA no. 225 K/Kr1960, MA No.

6 K/Kr1961 tanggal 25 Juni 1961

Dijelaskan bahwa pengakuan diberikan di luar sidang tidak dapat dicabut kembali

tanpa dasar alasan yang logis, keterangan pengakuan teatap mempunyai fungsi dan

nilai pembuktian “petunjuk” atau sebagai “pembantu menemukan bukti”

dipersidangan pengadilan. Dari putusan ini berkaitan dengan kekuatan pembuktian

ini dapat dilihat bahwa penolakan pencabutan keterangan pengakuan,

mengakibatkan tetap dapat dipergunakan sebagai pembantu menemukan alat bukti

dan tetap mempunyai fungsi dan nilai pembuktian.

9 Ibid. hal.332.10 Ibid. hal. 326

16

2. MA No. 177 K/Kr/1965 tanggal 20 September 1977

Bahwa pengakuan-pengakuan para terdakwa I dan II di muka polisi dan jaksa,

ditinjau dalam hubungan satu sama lain dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk

menetapkan kesalahan terdakwa.

2. Keterangan Terdakwa di luar Sidang pada RUU KUHAP

Berdasarkan Pasal 177 ayat (1) RUU KUHAP, keterangan terdakwa di luar sidang

tidak termasuk alat bukti yang sah, namun keterangan terdakwa masih termasuk alat bukti

yang sah. Dan pada Pasal 181 ayat (2) RUU KUHAP yang berbunyi, keterangan terdakwa

yang diberikan di luar sidang pengadilan dapat digunakan untuk membantu menemukan

bukti di sidang pengadilan, dengan ketentuan bahwa keterangan tersebut didukung oleh

suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Pada pasal

tersebut masih sama dengan yang dimaksud oleh Pasal 189 ayat (2) KUHAP. Jadi sampai

saat ini belum ada perubahan mengenai keterangan terdakwa di luar sidang.

3. Pencabutan Keterangan Terdakwa di luar Sidang

Ditinjau dari segi etis yuridis, terdakwa “berhak” dan dibenarkan “mencabut

kembali” keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan. Namun Pasal 189 ayat

(2) KUHAP tidak mengatur secara rinci dan jelas mengenai pencabutan keterangan

terdakwa di luar sidang. Berdasarkan MA No. 229 K/Kr/1959 tanggal 23 Februari 1960,

MA no. 225 K/Kr1960, MA No. 6 K/Kr1961 tanggal 25 Juni 1961 bila akan mencabut

keterangan tersebut harus dengan alasan yang logis bila tanpa dasar tidak dapat diterima.

Dan penolakan pencabutan keterangan ini, mengakibatkan keterangan ini tetap dapat

dipergunakan untuk pembantu menemukan alat bukti.11

Menurut M.Yahya Harahap, alasan yang secara teoritis bersifat logis, antara lain:

11 Ibid. hal. 325

17

a. Terdapat bekas-bekas pemukulan dan atau siksaan pada tubuh terdakwa yang

didukung oleh para saksi atas pemukulan tersebut. Namun pada praktiknya bekas-

bekas pemukulan di penyidikan tidak terdapat lagi pada saat persidangan

b. Terdakwa tidak mempunyai data-data yang lengkap saat Berita Acara Pemeriksaan

penyidikan dibuat. Biasanya alasan ini dikemukakan dalam kasus Tindak Pidana

Korupsi; misalnya tersangka pada saat pemeriksaan penyidikan diminta oleh

penyidik untuk memberikan daftar kekayaannya, tetapi saat itu tersangka saat itu

belum dapat meberikan daftar kekayaan yang diberikan kepada penyidik belum

lengkap.12

Berdasarkan hal yang telah dikemukan di atas maka majelis hakim sangat

dibutuhkan kebijaksanaan dan pengetahuannya mengenai seluk-beluk hukum pembuktian

agar dalam menggunakan keterangan terdakwa di luar sidang secara tepat.

12

?. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi 2, Cet 4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002) , hal. 326.

18

BAB V

KETERANGAN TERDAKWA DI NEGARA LAIN

A. Keterangan Terdakwa di Amerika Serikat

Amerika Serikat menggunakan sistem hukum yang berbeda dengan Indonesia yaitu

common law di mana di sisi lain Indonesia menggunakan sistem civil law. Hukum acara

pidana di Amerika Serikat bersumber pada U.S. Constitution and Bill of Rights, state

constitutions, the U.S. Code, state codes, court decisions, federal rules of criminal

procedure, state rules of criminal procedure, dan department and agency rules and

regulations. The Federal Rules of Criminal Procedure mengatur prosedur seluruh proses

persidangan pidana di seluruh negara bagian Amerika Serikat tanpa terkecuali.13

Tahap-tahap persidangan di Amerika Serikat sendiri pada dasarnya dibagi menjadi14 :

1. Investigation (investigasi / penyidikan) dari pada tindak pidana oleh polisi. Tujuannya

ialah untuk mengumpulkan bukti-bukti demi mencari tersangka dan mendukung tindakan

penangkapan. Sebuah investigation mungkin membutuhkan sebuah search

(penggeledahan), sebuah inspeksi menyeluruh terhadap seseorang atau tempat. Sebelum

melakukan search harus ada probable cause yaitu fakta-fakta yang mendukung bahwa

search terhadap seseorang tersebut akan membawa ke suatu bukti baru.

2. Arrest (penangkapan) tersangka oleh polisi. Sebuah arrest membawa seseorang dalam

pengawasan untuk menahan tersangka sampai saat persidangan. Dalam sebuah arrest

dibutuhkan probable cause sebagai sebuah ketentuan hukum yang mewajibkan adanya

hubungan yang beralasan antara seseorang dengan tindak pidana terkait.

13 The Process of Criminal Justicehttp://www.cliffsnotes.com/study_guide/The-Process-of-Criminal-Justice.topicArticleId-10065,articleId-9909.html, diakses pada hari Selasa, 13 Maret 2012 pada pukul 20.0314 Ibid.

19

3. Prosecution (penuntutan) kepada seorang tersangka oleh seorang jaksa wilayah. Ketika

memutuskan akan menuntut pidana terhadap seseorang, jaksa menimbang banyak faktor,

termasuk tingkat keseriusan tindak pidana dan kuat tidaknya bukti yang ada.

4. Indictment oleh grand jury atau filing of an information oleh penuntut umum. Dalam the

Federal Rules of Criminal Procedure, sebuah indictment ketika akan menuntut sebuah

kejahatan yang berat. Seorang penuntut umum memiliki pililhan untuk indictment atau an

information dalam kasus yang memungkinkan tersangka untuk dihukum penjara. Sekitar

setengah negara bagian, termasuk juga sistem federal, grand jury akan memutuskan apakah

akan melakukan penuntutan kepada seseorang dalam sebuah pertemuan tertutup di mana

penuntut umum akan memaparkan bukti-bukti. Tersangka tidak punya hak untuk hadir atau

pun hak agar pengacaranya mewakilinya dalam pertemuan tersebut. Standar untuk

meneruskan menuntut seseorang dalam indictment memiliki probable cause-nya tersendiri.

Di negara bagian yang lain, jaksa akan memasukan berkas-berkas penuntutan yang disebut

an information. Sebuah preliminary hearing (dengan probable cause-nya tersendiri pula)

diadakan untuk menentukan apakah ada cukup bukti untuk membawa kasus ini ke dalam

persidangan. Tersangka dan penasihat hukumnya dapat hadir ke dalam hearing ini untuk

dapat menjatuhkan tuntutan dari penuntut umum.

5. Arraignment dari hakim. Sebelum persidangan, tersangka muncul di pengadilan dan

memberikan plea. Plea yang umum tentu saja adalah bersalah atau tidak bersalah.

6. Pretrial detention (hukuman pra persidangan) dan / atau bail (jaminan). Hukumannya

berupa penahanan sementara sebelum persidangan. Bail berupa sejumlah uang yang

dibayar tersangka untuk meyakinkan dan memastikan bahwa ia akan muncul pada saat

persidangan.

7. Plea bargaining antara pengacara tersangka dan penuntut umum. Biasanya, dalam plea

bargaining, tersangka akan setuju untuk mengaku bersalah demi mengurangi ancaman

hukuman dan hukuman yang akan dijatuhkan.

20

8. Trial/adjudication of guilt (persidangan) oleh hakim atau juri, dengan partisipasi

penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa. Standar menentukan seseorang bersalah

atau tidak ialah beyond a reasonable doubt—boleh kurang dari keyakinan seratus persen

tapi lebih dari sekedar kemungkinan besar. Jika ada keraguan yang beralasan, terdakwa

dapat dibebaskan.

9. Sentencing (penentuan hukuman) oleh hakim. Jika terdakwa terbukti bersalah, maka

hakim akan menjatuhkan hukuman. Hukuman dapat berupa denda, percobaa, masa

penahanan di lembaga pemasyarakatan, seperti penjara, atau beberapa kombinasi

pengawasan di masyarakat dan penahanan.

10. Appeals (banding) yang dimasukan oleh pengacara di pengadilan banding dan akan

dipimpin oleh hakim banding. Pengadilan banding akan memutuskan apakah perkara

tersebut dapat disidangkan kembali atau tidak, jika bisa maka perkara tersebut akan

kembali ke trial court untuk retrial. Dengan pengembalian tersebut maka persidangan

sebelumnya dianggap semu atau dianggap tidak pernah ada. Jaksa kemudian akan

memutuskan akan melakukan penuntutan kembali atau pun tidak. Walaupun kemudian

jaksa memutuskan untuk tidak menuntut, si tersangka masih akan dapat dituntut lagi selama

masa untuk menuntut belumlah kadaluarsa.

Pada tahap trial yang disebutkan diataslah akan dihadirkan saksi-saksi untuk memberikan

testimonialnya mengenai perkara terkait. Terdakwa tidak diwajibkan untuk memberikan

keterangan sebagaimana diwajibkan dalam KUHAP yang menjadi dasar hukum acara

pidana di Indonesia. Di Amerika Serikat, keterangan terdakwa atau defendant’s testimony

adalah opsional bagi si terdakwa maupun penasihat hukumnya.

Pada awalnya baik di Amerika Serikat dan negara-negara common law yang lain menolak

adanya keterangan terdakwa dalam persidangan. Pada tahun 1762 sebuah pengadilan di

Pennsylvania menolak terdakwa untuk memberikan keterangan dengan memberikan alasan

21

bahwa masalah-masalah di pengadilan harus dibuktikan oleh saksi-saksi yang berbeda.15

Tapi pola pemikiran mulai diganggu oleh Jeremy Bentham yang berpikir bahwa

kemungkinan atau motif terdakwa untuk berbohong seharusnya menjadi pertimbangan nilai

kesaksian bukannya kemudian tidak diberikan hak tersebut.16

Terhadap pemikiran Bentham ini tentu saja muncul pertentangan. Yang menentang antara

lain adalah Stephen yang berkata bahwa “The prisoner coul never be a real witness; it is

not in human nature to speak the truth under such a pressure as would be be brought to

bear on the prisoner, and it is not a light thing to institute a system which would almost

enforce perjury on every occasion. It is a mockery to swear a man to speak the truth who is

certain to disregard it...17”

Tapi pendapat Bentham kemudian mendapat dukungan dari Chief Justice John Appleton

dari the Supreme Court of Maine. Appleton berpendapat bahwa bisa saja bahwa yang

menuduh, bukan yang tertuduh, yang sedang berbohong. Dia berpendapat bahwa jawaban

dari persoalan ini bukanlah melarang salah satu pihak memberikan kesaksian melainkan

membiarkan juri yang memutuskan. Appleton menambahkan bahwa melarang terdakwa

memberikan keterangan sangat bertentangan dengan prinsip presumption of innocence

karena secara implisit menyatakan bahwa terdakwa salah dan pelapor/penuduh adalah

benar.18

Pemikiran Appleton kemudian menjadikan Maine pada tahun 1864 menjadi negara bagian

pertama dari negara-negara berbahasa Inggris yang mengizinkan terdakwa memberikan

keterangan dalam pengadilan yang kemudian diikuti negara-negara bagian yang lain. Pada

tahun 1878 pada akhirnya sebuah undang-undang federal bahwa kesempatan bagi terdakwa

untuk memberikan keterangan telah menjadi hukum19. Tapi United States Supreme Court

baru melihat hal ini sebagai sebuah hal konstitusional pada tahun 1987 lewat kasus Rock v.

15 Rex v. Lukens, 1 U.S. (1 Dall.) 5, 6 (1762) quoted in Ferguson, 365 U.S at 57516 J. Bentham, Rationale of Judicial Evidence, (D.Berkowitz & S.Thorne ed. 1978), (London 1827)17 I J Stephen, A General View of The Criminal Law of England 201-02 (1863)18 J Appleton, Evidence 123-24(1860)19 Bradley, Havens, Jenkins, and Salvucci, and the Defendant’s “Right” to Testify, 18 Am. Crim. L. Rev. 419, 420 n.17 (1981)

22

Arkansas. Apa yang terjadi di Maine menjadi jalan untuk Amerika Serikat, dan jalan bagi

Amerika Serikat telah menjadi jalan juga bagi negara-negara common law yang lain. Pada

tahun 1955, Inggris, Australia, Kanada, Selandia Baru, Irlandia Utara, Irlandia, dan India

telah memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk memberikan keterangan.

***

The Bill of Rights memberikan beberapa hak tertentu pada terdakwa selama persidangan.

Terdapat dua aspek penting di dalam sistem peradilan pidana Amerika Serikat: asas

praduga tak bersalah, dan beban penuntutan untuk membuktikan kesalahan berdasarkan

beyond a reasonable doubt. Selain hal-hal tersebut terdakwa di sini memiliki hak-hak lain

yaitu20 :

Right to Remain Silent

The Fifth Amendment dari pada U.S. Constitution menyatakan bahwa seorang terdakwa

tidak bisa "be compelled in any criminal case to be a witness against himself."

Sederhananya, seorang terdakwa tidak bisa dipaksa untuk berbicara. Jika seorang terdakwa

memilih untuk tetap diam, maka penuntut umum tidak bisa memanggil terdakwa sebagai

saksi, begitu juga hakim dan pengacara terdakwa sendiri tidak bisa memaksa terdakwa

untuk memberikan keterangan.

Right to Confront Witnesses

"Confrontation clause" dari pada the Sixth Amendment memberikan terdakwa hak untuk

"be confronted by the witnesses against" mereka. Hal ini memberikan terdakwa hak untuk

menguji silang saksi-saksi.

Right to a Public Trial

The Sixth Amendment menjamin persidangan di hadapan publik untuk kasus-kasus pidana.

Ini merupakan hak yang penting, karena kehadiran teman-teman dan keluarga terdakwa,

20 Criminal Defendants' Rights During Trial: The Bill of Rightshttp://www.nolo.com/legal-encyclopedia/defendants-rights-during-court-trial-29793.html, diakses pada hari Selasa, 13 Maret 2012 pada pukul 23.14

23

warga biasa, dan pers dapat membantu untuk meyakinkan bahwa pemerintah memberikan

hak-hak terkait selama persidangan.

Right to a Jury Trial

The Sixth Amendment memberikan terdakwa hak untuk diadili oleh juri, kecuali untuk

tidandak pidana yang diancam hukuman kurang dari 6 bulan. Hak ini secara tradisional

diinterpretasikan kepada pembentukan juri yang terdiri dari 12 orang. Namun, secara

konstitusional juri dapat terdiri dari 6 orang, namun terdakwa yang diadili oleh 6 orang juri

hanya dapat dihukum bila tidak ada perbedaan pendapat di antara para juri.

Right to a Speedy Trial

The Sixth Amendment memberikan terdakwa hak untuk mendapatkan peradilan yang cepat.

Walau hal ini tidak menunjukan secara spesifik batas waktu tertentu. Maka dari itu, para

hakim sering harus memutuskan berdasarkan kasus per kasus untuk menentukan bahwa

suatu persidangan sudah berjalan terlalu lama untuk kemudian sidangnya dihentikan.

Dalam membuat keputusan ini, para hakim melihat lamanya penundaan, alasan penundaan,

dan apakah penundaan tersebut telah merugikan posisi si terdakwa.

Right to Be Represented by an Attorney

The Sixth Amendment menyatakan bahwa "in all criminal prosecutions, the accused shall

enjoy the right ... to have the assistance of counsel for his defense." Jika seorang terdakwa

tidak dapat membayar seorang pengacara (sehingga ia dikatakan sebagai "indigent"), maka

hakim harus menunjuk seorang pengacara yang akan dibiayai oleh pemerintah, tapi hanya

jika terdakwa diancam hukuman lebih dari 6 bulan penjara.

Right to Adequate Representation

The U.S. Supreme Court telah mengatur bahwa baik terdakwa yang pengacaranya ditunjuk

atau pun terdakwa yang membayar pengacaranya sendiri haruslah mendapat pengacara

yang memadai – yaitu pengacara yang kompeten dalam menjalankan tugasnya membela

terdakwa.

24

Right Not to Be Placed in Double Jeopardy

Di anatara pasal-pasal Fifth Amendment terdapat perkataan yang sering di dengar yaitu:

"nor shall any person be subject for the same offense to be twice put in jeopardy of life or

limb." Perkataan ini, yang dikenal sebagai the double jeopardy clause, melindungi

terdakwa dari dituntut dua kali terhadap perkara yang sama. Masalah double jeopardy

jarang terjadi, karena penuntut umum akan mengeluarkan tuntutan-tuntutanya dalam satu

proses persidangan.

B. Keterangan Terdakwa di Inggris.

Sistem hukum yang dianut oleh Inggris adalah sistem hukum Common Law atau

Anglo Saxon. Selain di Inggris, sistem hukum ini juga diterapkan di Irlandia, Australia,

Selandia Baru, Amerika Serikat dan lainnya. Sistem hukum ini mengandung kelebihan dan

kekurangan. Kelebihannya dari hukum tidak tertulis ini lebih memiliki sifat yang fleksibel

dan sanggup menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan masyarakatnya karena

hukum-hukum yang diberlakukan adalah hukum tidak tertulis (Common law).

Sistem hukum ini menganut doktrin yang dikenal dengan nama ”the

doctrinedebinding force of precedent / Stare Decisis”.21 Doktrin ini pada intinya

menyatakan bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan

putusannya pada prinsip hukum yang sudah ada dalam putusan hakim lain dari perkara

sejenis sebelumnya (preseden). Asas ini dimaksudkan agar mempercepat dalam

pengambilan keputusan oleh hakim. Pada dasarnya pernyataan hakim tertuang dalam

pemeriksaan dan putusannya dibedakan atas dua jenis22, yaitu:

a. Ratio Decidendi

21Sistem Hukum (4) Anglo Saxon (Common Law) http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/07/sistem-hukum-5-anglo-saxon-common-law.html diakses pada hari Jumat 9 Maret 2012 pukul 21.00 wib.22 Ratio Decinde Definitionhttp://www.duhaime.org/LegalDictionary/R/RatioDecidendi.aspx diakses pada hari Jumat 9 Maret 2012 pukul 21.15 wib

25

Yaitu, faktor determinan di dalam suatu putusan hakim dalam arti yang sebenarnya,

dimana bersifat menentukan sebagai inti dari suatu kasus hukum;

b. Obiter Dicta

Yaitu, sesuatu yang mempunyai nilai tersendiri dalam keseluruhan proses

pengadilan yang sedang berjalan, akan tetapi tidak langsung berhubungan dengan

persoalan yang dihadapi oleh pihak yang berperkara.

Adapun karakteristik dari Sistem Common Law adalah 23:

1. Sistem hukum Inggris bersumber kepada : custom, legislation dan case law;

2. Sistem hukum Inggris tidak sepenuhnya menganut asas legalitas;

3. Kekuasaan hukum didalam sistem Common Law sangat luas dalam memberikan

penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum dalam undang-undang;

4. Ajaran kesalahan dalam sistem Common Law dikenal melalui doktrin mens rea;

5. Dalam sistem Common Law, pertanggung-jawaban pidana tergantung dari ada atau

tidaknya actus reus dan mens rea. Namun demikian unsur “mens rea” ini

merupakan unsur yang mutlak dalam pertanggungjawaban pidana dan harus ada

terlebih dahulu pada perbuatan tersebut sebelum dilakukan penuntutan;

6. Tidak dikenalnya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran;

7. Pada prinsipnya menganut ‘system accusatoir’;

8. Sistem pemidanaan yang berlaku pada umumnya di Negara yang menganut

Common Law adalah bersifat kumulatif.

Pada sistem hukum ini menganut sistem juri, baik dalam perkara perdata maupun

pidana. Dimana hakim bertindak sebagai pejabat yang memeriksa dan memutus

hukumannya, sementara juri memeriksa peristiwa atau kasusnya kemudian menentukan

apakah terdakwa bersalah atau tidak. Tugas jaksa dan pengacara adalah menyakinkan juri

bahwa terdakwa bersalah atau tidak. Tujuan yang mendasar dari asas preseden yang

menggunakan juri adalah untuk mewujudkan hakekat ‘kepastian hukum’ sebagai salah satu

tujuan hukum dan juga sebagai implementasi dari aspek fleksibilitas dan kecermatan.

23 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana ( Bandung : Mandar Maju, 1996), hal 35.

26

Adapun Grand jury diselenggarakan untuk mendengar kesaksian saja dan bukti

untuk menentukan apakah ada kasus yang harus dijawab dan karenanya apakah terdakwa

harus didakwa dan mengirimkan untuk diadili. Dan jenis Jurinya adalah Juri Petit dan Juri

Menggantung.

Dalam Criminal Justice Act 200324 terdapat beberapa Artikel yang mengatur mengenai

Terdakwa/ defendant itu sendiri, yaitu :

1. Art. 101Defendants’s Bad Character

1)In criminal proceedings evidence of the defendant’s bad character is admissible if, but only if—

(a)all parties to the proceedings agree to the evidence being admissible,

(b)the evidence is adduced by the defendant himself or is given in answer to a question asked by him

in cross-examination and intended to elicit it,

(c)it is important explanatory evidence,

(d)it is relevant to an important matter in issue between the defendant and the prosecution,

(e)it has substantial probative value in relation to an important matter in issue between the defendant

and a co-defendant,

(f)it is evidence to correct a false impression given by the defendant, or

(g)the defendant has made an attack on another person’s character.

Bahwa berdasarkan Art. 101 Criminal Justice Act 2003 tersebut, seorang Terdakwa

diperbolehkan memberikan keterangan yang palsu atau dengan kata lain diperbolehkannya

karakter buruk dari Terdakwa dalam memberikan keterangan dengan syarat- syarat yang

telah ditetapkan dalam huruf a-g tersebut. Dan dalam hal tersebut pengadilan tidak perlu

mengakui bukti tersebut

2. Art. 104

Matter in issue between the defendant and a co-defendant”

(1) Evidence which is relevant to the question whether the defendant has a propensity to be untruthful

24 Criminal Justice Act UKhttp://www.legislation.gov.uk/ukpga/2003/44/section/101 , diakses pada hari Jumat, 9 Maret 2012 pukul 20.00 wib.

27

is admissible on that basis under section 101(1)(e) only if the nature or conduct of his defence is such

as to undermine the codefendant’s defence.

(2)Only evidence—

(a) which is to be (or has been) adduced by the co-defendant, or

(b) which a witness is to be invited to give (or has given) in cross-examination by the co-defendant,is

admissible under section 101(1)(e).

Dalam Article 104 ini menegaskan kembali apa yang dimaksud dalam Article 101 (1) (e)

yaitu Keterangan Terdakwa yang disampaikan di persidangan dapat digunakan untuk

memberatkan pihak lain yang dalam hal ini adalah rekan Terdakwa. Berbeda dengan

Ketentuan dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP25 yang menyatakan bahwa “Keterangan

Terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.”

26Keterangan Terdakwa atau yang dikenal dengan The Confession of a co-accused,

tidak bisa menjadi bagian substantif bukti, hanya dapat digunakan untuk mengkonfirmasi

kesimpulan yang ditarik dari bukti lainnya dalam sidang pidana. Dalam menangani kasus

terhadap Terdakwa, pengadilan tidak dapat memulai dengan pengakuan seorang terdakwa,

melainkan harus dimulai dengan bukti lain dikemukakan oleh jaksa dan setelah itu telah

membentuk pendapatnya mengenai kualitas dan efek dari kata bukti, maka diperbolehkan

untuk beralih ke pengakuan untuk menerima jaminan pada kesimpulan bersalah yang

pikiran peradilan adalah untuk mencapai pada mengatakan bukti lain. Pengadilan

menegaskan bahwa pengakuan tidak dapat diperlakukan sebagai bukti substantif terhadap

terdakwa. Dimana penuntutan bergantung pada pengakuan satu menuduh terhadap yang

lain, pendekatan yang tepat adalah untuk mempertimbangkan bukti lain seperti terhadap

terdakwa. Jika bukti mengatakan tampaknya memuaskan dan pengadilan cenderung

berpendapat bahwa bukti yang mereka dapat mempertahankan biaya dibingkai terhadap

terdakwa, pengadilan berubah menjadi pengakuan dengan tujuan untuk meyakinkan dirinya

sendiri bahwa kesimpulan yang lebih cenderung untuk menarik dari bukti lainnya adalah

25 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana UU No. 8 Tahun 1981 . 26 Confessions of co-accused not substantive evidence: SC, Pendapat Brench, Pengadilan Punjab dan Haryana Tinggi, India. http://www.deccanherald.com/content/201050/confessions-co-accused-not-substantive.html diakses pada hari Jumat 9 Maret 2012 pukul 21.00 wib.

28

benar.

Di Inggris dan Negara-negara yang menganut Sistem Common Law, mengenal

mengai konsep Plea Bargain atau Plea Guilty. Plea Guilty/ Plea Bargain secara luas

diartikan sebagai sebuah pernyataan bersalah dari seorang tersangka maupun terdakwa.

Plea Guilty banyak dianut di negara–negara yang menganut sistem Hukum Common Law.

Pengaturan mengenai Plea Guilty dapat dikategorikan sebagai sebuah upaya agar sebuah

perkara tidak perlu diajukan kemuka pengadilan untuk diselesaikan. Plea Guilty sebagai

sebuah Alternative Dispute sering berkaitan dengan upaya penyelesaian diluar sidang dan

penggunanya juga didasari oleh alasan alasan tertentu. Plea Guilty digunakan sebagai

sarana untuk mewadagi tersangka dan terdakwa yang mengakui perbuatannya dan mengaku

bersalah, sehingga tidak diperlukan lagi proses peradilan yang tentunya memakan waktu

dan biaya. Faktor lain yang menjadi pertimbangan seorang tersangka atau terdakwa

melakukan pengakuan bersalah adalah menghindari persidangan dikarenakan untuk

menjaga nama baiknya sendiri maupun pihak yang ia wakili (Korporasi)27.

Adapun mengenai konsep Plea Bargain atau Plea Guilty ini terkualifikasi menjadi

dua28, yaitu :

- Tawar menawar pembelaan

Dalam hal ini, Jaksa dapat meminta tawar-menawar pembelaan dalam kasus tertentu

untuk menghemat waktu berharga untuk pengadilan prioritas tinggi kasus. Jaksa

sering bisa menerima permohonan tawar-menawar dengan seorang terdakwa yang

mengaku bersalah dan menerima tanggung jawab untuk kejahatan: permohonan

tawar dalam konteks ini dianggap hadiah terdakwa untuk mengaku. Jaksa juga

menerima tawar-menawar pembelaan karena mereka dievaluasi sebagian besar

sesuai tarif keyakinan mereka dan semua hasil tawar-menawar pembelaan dalam

keyakinan karena terdakwa harus mengaku bersalah sebagai bagian dari 27 “Disgorgement of Profits” Bagi Korporasi Penyuap Oleh: Arsul Sani, SH, M.Si, MCIArb

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4af7905853711/disgorgement-of-profits , diakses pada hari Jumat 9 Maret 2012 pukul 22.00 wib

28 Plea Bargaining: A Shortcut to Justice.http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/Plea+Bargaining . Diakses pada hari Jumat 9 Maret 2012 pukul 22.10 wib.

29

kesepakatan pembelaan.Di pengadilan federal, misalnya, tawar-menawar pembelaan

diberi wewenang oleh ayat (e) peraturan 11 dari Peraturan Federal Acara Pidana. Di

bawah pemerintahan 11 (e), seorang jaksa dan terdakwa dapat mengadakan

perjanjian dimana terdakwa memohon bersalah dan jaksa menawarkan baik untuk

bergerak untuk pemberhentian biaya atau biaya, merekomendasikan kepada

pengadilan hukuman tertentu atau setuju untuk tidak menentang terdakwa meminta

hukuman tertentu, atau setuju bahwa kalimat tertentu adalah disposisi yang sesuai

dari kasus tersebut. Seorang jaksa bisa sepakat untuk mengambil salah satu atau

semua tindakan dalam perjanjian permohonan. Di bawah pemerintahan 11 (e),

tawar-menawar pembelaan harus dilakukan sebelum percobaan kecuali para pihak

menunjukkan tujuan baik untuk penundaan.

- Tawar menawar biaya dan hukuman

Seorang jaksa tidak diperlukan untuk memutuskan kasus sebelum sidang.

Sebaliknya jaksa wajib mengajukan tuntutan berdasarkan fakta dan untuk

menyajikan bukti untuk mendukung tuduhan. Jika tidak ada penafsiran yang wajar

dari fakta-fakta untuk mendukung biaya tertentu, biaya akan diberhentikan. Hakim

atau juri membuat keputusan akhir apakah keyakinan bukti waran pada pelanggaran

tertentu. Terdakwa dapat menerima hukuman yang lebih keras terhadap keyakinan

di pengadilan, tetapi dalam hal apapun kalimat harus disahkan oleh hukum. Dengan

demikian, perlindungan prosedural efektif melindungi terdakwa kriminal dari

bahaya pengisian yang berlebihan.

Pendukung tawar permohonan juga berpendapat bahwa kedua terdakwa dan

masyarakat menuai manfaat. Terdakwa menguntungkan karena kedua terdakwa dan

jaksa membantu untuk merekayasa sebuah hukuman yang sesuai. Masyarakat

manfaat karena terhindar dari biaya uji panjang sementara terdakwa mengakui

kejahatan dan masih menerima hukuman. Meskipun hukuman berdasarkan suatu

perjanjian permohonan umumnya kurang parah dari itu dikenakan pada keyakinan

setelah sidang, proses tetap menghasilkan efek jera pada perilaku kriminal karena

jaksa dapat memperoleh keyakinan lebih. Keyakinan masing-masing menempatkan

terdakwa di bawah super-visi dari sistem peradilan pidana, dan ini mengurangi

30

kebebasan terdakwa. Selain itu, keyakinan berikutnya setelah pengakuan bersalah

dapat dihukum lebih keras karena terdakwa dihukum sebagian besar menurut

sejarah kriminal mereka.

Hak-hak Terdakwa sama dengan punya Yohan :D

D. Keterangan Terdakwa di Perancis

D.1. Keterangan terdakwa dihadapkan dengan the right to remain silent di peradilan

Perancis

Pada KUHAP Indonesia disebutkan dengan jelas “keterangan terdakwa” sebagai

alat bukti pada Pasal 184 butir c, berbeda dengan peraturan lama yaitu HIR yang

menyebutkan “pengakuan terdakwa” sebagai alat bukti menurut Pasal 295. Dapat dilihat

dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama dengan

ataupun berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, baik itu

berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau

keadaan29. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti lebih luas pengertiannya dari pengakuan

terdakwa, menurut Memorie van Toelechting Ned. Sv. Penyangkalan terdakwa boleh juga

menjadi alat bukti sah 30.

Hak untuk diam (the right to remain silent) mencakup hak terdakwa untuk menolak

berkomentar atau memberikan jawaban ketika ditanya baik sebelum atau selama proses

hukum berlangsung di pengadilan. Hak untuk tetap diam dapat digunakan terdakwa sendiri

untuk menghindari hal-hal yang pada akhirnya akan memberatkan dirinya atas

keterangannya di pengadilan. Di Perancis, dalam KUHAPnya dijelaskan dalam Pasal 116 L

bahwa hakim diwajibkan untuk memberitahukan terdakwa bahwa terdakwa memiliki hak

untuk diam, untuk membuat pernyataan, atau menjawab pernyataan. Namun didalam

persidangan, terdakwa boleh dipaksakan untuk membuat pernyataan. KUHAP di Perancis

melarang untuk mendengarkan kesaksian terdakwa dibawah sumpah, melainkan terdakwa

29 Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika. 2005), halaman 27330 Ibid. sebagaimana yang dikutip dalam buku D. Simons Beknopte Handleiding tot het Wetboek van

Strafvordering, Harleem: De Erven F. Bohn 1925, halaman 158.

31

dapat memberikan pernyataan yang ia rasa dapat meringankannya, tanpa ia harus merasa

melakukan sumpah palsu.

Asas The Right to Remain Silent tidak diatur secara jelas dalam KUHAP Indonesia.

Hak untuk diam ini memang sering menimbulkan pro dan kontra dari para sarjana hukum.31

Ini dikarenakan tidak terdapat pengaturan secara jelas dalam KUHAP. Di dalam KUHAP

hanya dinyatakan pada pasal 52: “dalam pemeriksaan pada tingkat penyidik dan

pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada

penyidik atau hakim. Dalam penjelasan pasal itu, jelas yang dimaksud yaitu tersangka tidak

boleh dipaksa atau ditekan.32 Jadi tidak dijelaskan apakah tersangka atau terdakwa berhak

untuk diam tidak menjawabb pertanyaan. Penjelasan itu mengatakan :”Supaya pemeriksaan

dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya, maka tersangka

atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya

paksaan atau tekanan terhadap terdakwa.” Ketentuan bahwa pemeriksa atau penyidik harus

memberitahukan tersangka bahwa ia berhak untuk berdiam tidak menjawab pertanyaan

sebelum pemeriksaan dimulai, terlampau jauh dan berlebihan. Hal ini akasn mempersulit

pemeriksa atau penyidik dalam usaha mencari kebenaran demi kepentingan umum.

Untunglah hal seperti ini tidak dianut di Indonesia.33

Mengenai ketentuan pada saat persidangan berlangsung hal ini diatur dalam

ketentuan pada Pasal 175 KUHAP yang menyatakan bahwa jika terdakwa tidak mau

menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, Hakim

ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu sidang dilanjutkan. Dalam

ketentuan pasal ini, dinyatakan bahwa terdakwa harus memeberikan jawaban atas

pertanyaan yang diajukan kepadanya setelah menerima anjuran dari Hakim ketua, maka

dengan demikian tidak diakui adanya hak untuk diam (the right to remain silent) dalam

KUHAP Indonesia.

Dalam KUHAP Indonesia diatur mengenai hak-hak tersangka dan terdakwa, yang

diatur dalam pasal 50-68. Hak-hak tersebut diantaranya adalah; hak untuk segera diperiksa,

31 Andi Hamzah, Op. Cit., halaman 6432 Ibid.33 Ibid. halaman. 65

32

diajukan ke pengadilan dan diadili, hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang

dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan didakwakan, hak untuk memberikan

keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim, hak untuk mendapat juru bahasa, hak

untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan, hak untuk mendapat

nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh penjabat yang bersangkutan pada

semua tingkat pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati dengan

cuma-cuma, hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi

dan berbicara dengan perwakilan negaranya, hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka

atau terdakwa yang ditahan, hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang

serumah dengan tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan atau

jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga, hak untuk

dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan perkara tersangka atau

terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau kepentingan kekeluargaan, hak tersangka atau

terdakwa untuk berhubungan surat-menyurat dengan penasihat hukumnya, hak tersangka

atau terdakwa untuk menghubingi dan menerima kunjungan rohaniawan, hak tersangka

atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de charge, hak tersangka atau

terdakwa untuk menuntut ganti kerugian, dan hak terdakwa untuk menuntut terhadap hakim

yang mengadili perkaranya34.

d.2. Kekuatan Pembuktian di Perancis

Teori pembuktian yang dikenal di Perancis adalah conviction intime, yaitu teori

pembuktian yang didasarkan atas keyakinan hakim secara serta merta. Hal ini karena alat

bukti yang berupa pengakuan terdakwa sendiripun dinilai tidak selalu membuktikan

kebenaran. Pengakuan terkadang tidak menjamin bahwa terdakwa benar-benar melakukan

perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan

hakim sendiri35. Bertolak pangkal dari pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan

hakim yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa

terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan

34 Andi Hamzah. Op. Cit., halaman 6635

? Ibid, halaman 248

33

dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang sebagaimana

yang dianut oelh peradilan juri di Perancis. Kekuatan pembuktian dalam KUHAP masih

tetap sama dengan yang tercantum didalam HIR yang pada dasarnya sama dengan

ketentuan didalam Ned. Strafvordering yang mirip pula dengan alat bukti di negara-negara

Eropa Kontinental yang salah satunya adalah negara Perancis. Alat-alat bukti itu antara lain

adalah (seperti yanag trcantum didalam Sv milik Belanda pasal 339 yang baru), sebagai

berikut;

a. Eigen waarneming van de rechter (pengamatan sendiri oleh hakim)

b. Verklaringen van de verdachte (keterangan terdakwa)

c. Verklaringen van een getuige (keterangan seorang saksi)

d. Verklaringen van een deskundige (keterangan seorang ahli)

e. Schriftelijke bescheiden (surat-surat)

Salah satu alat bukti yang diakui oleh negara-negara eropa kontinental yang tidak

diambil alih oleh KUHAP Indonesia adalah pengamatan sendiri oleh hakim atau menurut

undang-undang Mahkamah Agung disebut pengetahuan hakim.

E. KeteranganTerdakwa di RRC

Sistem hukum di Republik Rakyat Cina (RRC) secara umum dianggap sebagai civil law system. Akan tetapi berdasarkan panjang dan uniknya sejarah RRC yang

diasosiasikan dengan perkembangan masyarakat RRC, banyak sarjana yang mengatakan

sistem hukum RRC berbeda dengan sistem hukum negara lain. Pada awalnya RRC

melakukan reformasi sistem hukum pada akhir dinasti Qing, yaitu tahun 1901. Reformasi

civil law system di Cina disahkan dengan mengambil beberapa prinsip yang digunakan

dalam civil law system Jerman yang diadopsi pula oleh Jepang. Civil Law menjadi

dasar bagi lahirnya berbagai produk hukum di RRC antara lain hukum tata negara, hukum

perdata, hukum pidana, hukum acara pidana, dan hukum bisnis36. RRC menggunakan

sebuah Undang-Undang Acara Pidana sejak 1 Januari 1980 setelah selama tiga puluh tahun

(1949-1979) memiliki system hukum tersendiri tanpa adanya suatu kodifikasi hukum

36 ? Zengguang Huo dan Yuhua Shi, Overview of Legal Systems in the Asia Pacific Region : People’s Republic of China,(USA :Cornell Law Library,2004),hal.1.

34

pidana maupun hukum acara pidana. Satu-satunya peraturan perundang-undangan terkait

hukum acara pidana di RRC sebelum tahun 1980 adalah “Arrest and Detention Act” yang

diundangkan pada 20 Desember 195437. Sebelum tahun 1980, dalam sebuah buku yang

diterbitkan di Peking pada tahun 1979 dinyatakan bahwa dalam praktek seorang tersangka

akan disiksa agar memberikan pengakuan sehingga mempermudah jalannya persidangan38.

Kodifikasi Hukum Acara Pidana yang diterbitkan pada tahun 1980 ini berisi 192 pasal dan

dibagi dalam beberapa bagian antara lain Ideologi, Pelaku, Hukuman, Aplikasi Kongkret

dari Hukuman, dan lain sebagainya39.

Pada tahun 1996, amandemen dilakukan sehingga terbentuklah suatu Kodifikasi

Hukum Acara Pidana Republik Rakyat RRC yang digunakan hingga saat ini. Dalam pasal

42 Criminal Procedure Law of The People’s Republic of China disebutkan:

There shall be the following seven categories of evidence: (1) material evidence and documentary evidence;(2) testimony of witnesses; (3) statements of victims; (4) statements and exculpations of criminal suspects or defendants; (5) expert conclusions; (6) records of inquests and examination; and (7) audio-visual materials40.Ayat ke 4 menegaskan bahwa statements and exculpations of criminal

suspects or defendants (pernyataan dan pernyataan tidak bersalah dari terdakwa)

bahwa keterangan terdakwa dikategorikan sebagai bukti dalam hukum acara pidana di

RRC. Pasal 46 menyatakan

In settling any case, stress and emphasis must be given to evidences, investigation and study, and oral confessions shall not be readily depended on. Any defendant cannot be found guilty and 37

?Hungdah Chiu, China’s New Criminal and Criminal Procedure Codes,Occasional Papers/Reprints Series in Contemporary Asian Studies Number 6, (Maryland:School of Law,1980),hal.2.

38

? Ibid.,hal.4.39 Criminal Procedure Law of The People’s Republic of China http://www.nbcp.gov.cn/article/English/LawsRegulations/200904/20090400002314.shtml, diakses pada hari Jumat, 9 Maret 2012 pukul 11:1040

? Ibid.,

35

sentenced to criminal punishment if there is only his statement but no other evidence to support; Notwithstanding, a defendant still may be found guilty and sentenced to criminal punishment if evidences are sufficient and reliable, even without his statement.41

Kalimat pertama menjelaskan bahwa yang diutamakan dalam menyelesaikan setiap

kasus adalah bukti-bukti dan hasil investigasi, serta tidak sepatutnya bergantung pada

kesaksian seseorang. Kalimat kedua ingin menyampaikan bahwa seorang terdakwa tidak

dapat dinyatakn bersalah jika hanya bergantung pada pernyataannya seorang tanpa ada

bukti lainnya. Dalam kalimat terakhir dikatakan bahwa terdakwa dapat dinyatakan bersalah

jika terdapat cukup bukti, tanpa adanya pernyataan terdakwa. Secara eksplisit pasal ini

menjelaskan bahwa keterangan terdakwa kekuatannya dapat dikesampingkan dengan bukti

yang ada.

Bukti memang diutamakan dalam menentukan apakah seseorang bersalah atau

tidak, sehingga tanpa adanya bukti terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Mengenai

tata urutan kapan terdakwa memberikan keterangan, sebenarnya sama dengan hukum acara

pidana Indonesia, yaitu urutan terakhir. Terdakwa dalam memberikan keterangan dapat

ditanya oleh hakim, penuntut umum, korban (jika ada), dan pembela nya42.

Mengenai praktek nya di RRC, tidak ditemukan adanya putusan yang menjelaskan

fungsi keterangan terdakwa dalam persidangan. Akan tetapi, dari beberapa hasil penelitian

ditemukan adanya jejak keterangan terdakwa dalam suatu persidangan. Zhu Yu fu, anggota

Chinese Democratic Party, diinterupsi oleh hakim saat membacakan pernyataannya dalam

persidangan. Ia memohon agar membacakan pernyataannya sebagai salah satu bentuk

haknya, akan tetapi, pengadilan meminta para petugas keamanan untuk mengambil

pernyataannya tertulisnya tanpa membiarkan ia menyelesaikan pembacaan dari

41

? Criminal Procedure Law of The People’s Republic of China 1996,http://www.lehmanlaw.com/resource-centre/laws-and-regulations/general/criminal-procedure-law-of-the-peoples-republic-of-china-1996.html, diaksespada hari Jumat, 9 Maret 2012 pukul 11:14.42

?Ira Belkin,China’s Criminal Justice System : A Work in Progress, http://www.law.yale.edu/documents/pdf/chinas_criminal_justice_system.pdf, diakses pada hari Jumat, 9 Maret 2012 pukul 11:52., hal.19.

36

pembelaannya. Ia dituduh melakukan propaganda melawan pemerintah dengan

membacakan pernyataan akhirnya43.

Gao Qinrong, pada tahun 1999 dituduh menerima suap, ia tidak mengutarakan

keterangan dari dirinya dan dihukum 13 tahun penjara. Pada tahun 2000, An Jun, seorang

terdakwa dengan tuduhan tindak pidana subversi mengutarakan pembelaan terhadap dirinya

sendiri dalam persidangan namun berulang kali diinterupsi oleh hakim. Pada akhirnya

memang sulit untuk menarik kesimpulan mengenai bagaimana keterangan terdakwa benar-

benar memberikan kontribusi dalam pengambilan keputusan oleh hakim dalam persidangan

di RRC jika keterbukaan informasi sendiri sangat terbatas44.

RRC telah meratifikasi beberapa konvensi, antara lain Convention Against Torture

pada tahun 1988, International Covenant on Civil and Political Rights pada tahun 2001,dan

United Nations Declaration of Human Rights. Pasal 14 ayat 3 (b) ICCPR menyatakan “in the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled .... in full equality; to have adequate time and facilites for the preparation of his defense and to communicate with counsel of his own choosing” Dengan meratifikasi konvensi ini, maka pemerintah RRC berkewajiban untuk

menerapkan perlakuan serupa terhadap semua terdakwa, secara khusus dalam memberikan

keterangan dalam persidangan sebagai bentuk pembelaan terhadap dirinya sendiri.45

Jika dibandingkan dengan hukum acara pidana Indonesia, yang menarik adalah

melihat bahwa dalam pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.” Alat bukti yang dijabarkan dalam Pasal 184 KUHAP berperan

penting dalam menentukan keputusan hakim, dan keterangan terdakwa menjadi salah satu

43

? Human Rights in China, Empty Promises: Human Rights Protection and China’s Criminal Procedure Law in Practice,http://www.hrichina.org/sites/default/files/oldsite/pdfs/Empty_Promises_Text.pdf, diakses pada hari Sabtu, 10 Maret 2012 pukul 11:05,hal.74.44 ? Ibid.,hal.76.45 ?United Nations, Universal Declaration of Human Rights, http://www.un.org/events/humanrights/2007/hrphotos/declaration%20_eng.pdf, diakses pada hari Senin, 1 May 2012 pukul 22:45.

37

bentuk alat bukti maka hakim hanya membutuhkan satu alat bukti lagi untuk menyatakan

apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah46

Berbeda tipis dengan di RRC, setiap bukti punya hirarki, dengan barang bukti dan

hasil investigasi menempati peringkat paling atas. Keterangan terdakwa berada pada posisi

terbawah, bahwa kekuatannya dapat dikalahkan dengan bukti-bukti yang ada, namun hal ini

juga dapat menjadi keuntungan jika penuntut umum tidak mampu menyediakan bukti yang

cukup untuk membuktikan kesalahannya. Persepsi mengenai keterangan terdakwa saja

tidak bisa memberikan pembuktian yang cukup bagi juga dianut di Indonesia. Pasal 198

ayat (4) KUHAP “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertau

dengan alat bukti yang lain.” Menurut Yahya Harahap, pada hakikatnya asas ini hanyalah

penegasan kembali prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam pasal 183

KUHAP47. Kembali pada pembahasan awal mengenai keterangan terdakwa dalam hukum

acara pidana RRC, maka keterangan terdakwa diakui sebagai salah satu bentuk

bukti,namun kekuatannya tidak sebesar barang bukti dan kesaksian orang lain.

46 ? M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan,Banding,Kasasi,dan Peninjauan Kembali, (Jakarta:Sinar Grafika,2008),hal. 284

47 Ibid., hal.322.

38

BAB IV

ALAT BUKTI KETERANGAN TERDAKWA

DALAM PROSPEKSI RUU KUHAP

A. Definisi Keterangan Terdakwa dalam RUU KUHAP

Ketentuan mengenai Keterangan Terdakwa dalam RUU KUHAP diatur pada pasal

181 ayat (1) sampai (4). Perumusan pasal pada pasal 181 RUU KUHAP mengenai

keterangan terdakwa sebagai salah satu alat bukti yang sah pada dasarnya tidak memiliki

perbedaan signifikan dengan perumusan pasal 189 KUHAP ( Undang – undang no 8 tahun

1981 ). Dalam RUU KUHAP mengenai keterangan terdakwa masih berupa poin – poin

sebagai berikut48.

a) Keterangan terdakwa merupakan keterangan yang dinyatakan oleh terdakwa

didalam sidang pengadilan mengenai perbuatan yang ia lakukan sendiri, ia ketahui

sendiri atau ia lakukan sendiri.

b) Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar sidang pengadilan dapat digunakan

untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan, dengan ketentuan bahwa

keterangan tersebut didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal

yang didakwakan kepadanya..

c) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus

disertai dengan alat bukti yang sah lainnya.

Poin poin yang disebutkan diatas merupakan kutipan dari RUU KUHAP pasal 181 ayat 1 –

4. Dalam pengertian mengenai keterangan terdakwa diatas masih tergambarkan asas – asas

umum seperti halnya Non Self Incrimination dan Unnus Testis Nullus Testis.

48 Pasal 181 RUU KUHAP tahun 2010

39

B. Pengaturan Baru mengenai Keterangan Terdakwa dalam RUU KUHAP

Beberapa perbedaan dalam RUU KUHAP terkait dengan keterangan terdakwa dapat

dilihat pada Pasal 199 RUU KUHAP. Dalam Pasal 199 RUU KUHAP Bab XII bagian

keenam yang diberi nama Jalur Khusus, diatur mengenai keterangan terdakwa dalam

pemeriksaan persidangan yang berbeda dengan tahap pembuktian pada umumnya. Pada

Jalur Khusus ini mengakomodir pengakuan Terdakwa dalam persidangan dan pengakuan

tersebut diberikan pada tahap persidangan pembacaan surat dakwaan49. Pengakuan yang

diberikan oleh terdakwa mengenai perbuatan yang ia lakukan terbatas kepada perbuatan

yang ancaman pidananya di bawah 7 tahun penjara. Apabila Terdakwa mengakui

perbuatannya maka penuntut umum melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan

singkat dan pengakuan tersebut dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh

terdakwa dan juga penuntut umum50.

Pengakuan yang diberikan oleh Terdakwa dalam persidangan menimbulkan dampak

berupa hilangnya hak hak terdakwa berupa mengajukan upaya hukum sebagai akibat dari

pengakuan atas perbuatan yang ia lakukan51. Hakim juga diwajibkan untuk mengingatkan

mengenai lamanya pidana yang mungkin dikenakan dan juga menanyakan apakah

pengakuan atas perbuatan yang ia lakukan diberikan secara sukarela52. Hakim juga dapat

menolak pengakuan terdakwa dalam hal hakim meragukan kebenaran pengakuan

terdakwa53. Pengakuan yang diberikan oleh Terdakwa juga tidak boleh melebihi 2/3 dari

maksimum pidana tindak pidana yang didakwakan, jadi dalam hal terdakwa mengakui

perbuatannya maka ia berhak untuk mendapatkan maksimum pemidanaan yang lebih

49 Pasal 199 (1) RUU KUHAP tahun 2010 dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Ham Republik Indonesia50

? Pasal 199 (2) RUU KUHAP tahun 201051

? Pasal 199 (3) butir a RUU KUHAP tahun 201052

? Pasal 199 (3) butir b RUU KUHAP tahun 201053

? Pasal 199 (4) RUU KUHAP tahun 2010

40

rendah dari ancaman pidana seharusnya54. Ketentuan mengenai pengurangan pemidanaan

juga dibatasi dengan ketentuan Pasal 198 (5) RUU KUHAP yang mengatur mengenai

ancaman pidana maksimal untuk tindak pidana yang disidangkan dalam acara pemeriksaan

singkat.

Pengakuan Terdakwa dalam RUU KUHAP juga mengatur mengenai Saksi Mahkota

dalam Pasal 200. Saksi Mahkota merupakan terdakwa di persidangan lain dalam satu tindak

pidana yang dilakukan secara bersama sama ( Deelneming ). Dalam sebuah tindak pidana

yang dilakukan secara bersama sama dibuka kemungkinan bagi saksi yang memiliki peran

paling ringan untuk dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan sebagai imbalannya ia

dapat dibebaskan dari penuntutan pidana apabila saksi tersebut membantu mengungkapkan

keterlibatan tersangka lain yang patut dipidana dalam tindak pidana tersebut55. Dalam

keadaan tidak ada pelaku yang memiliki peranan ringan dalam suatu tindak pidana, maka

tersangka ataupun terdakwa yang mengakui kesalahannya dan membantu secara substantif

mengungkap tindak pidana dan peran tersangka lain dalam suatu tindak pidana juga dapat

diberikan pengurangan pidana dengan didasari kebijaksanaan hakim pengadilan negeri.

Saksi yang berposisi sebagai saksi Mahkota ditentukan oleh Penuntut Umum56.

Pengaturan baru yang tercantum diatas beberapa diantaranya merupakan

pengenyampingan dari ketentuan yang ada pada UU No 8 tahun 1981. Apabila dijabarkan

maka poin poin yang menjadi perbedaan adalah sebagai berikut.

a) Ketentuan mengenai Pengakuan Terdakwa dalam Jalur Khusus. Seperti yang telah

dijabarkan diatas, ketentuan mengenai pengakuan terdakwa yang dapat

menyelesaikan sebuah perkara dengan cepat bertentangan dengan pengaturan

mengenai keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya ( Pasal 189 ayat (4) ).

Secara substansial terdapat pengecualian baru terhadap pasal 189 ayat (4) UU no 8

54

? Pasal 199 (5) RUU KUHAP55

? Pasal 200 (1) dan (2) RUU KUHAP56

? Pasal 200 (3) RUU KUHAP

41

tahun 1981 melalui Jalur Khusus dalam RUU KUHAP, yang berarti keterangan

terdakwa saja sudah cukup untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan

kepadanya. Pengakuan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya juga

bertentangan dengan Haknya untuk tetap diam (Right to remain silence ) dan dan

tidak mengkriminalisasikan dirinya sendiri (Nonself Incrimination ). Dalam hal

terdakwa mengakui perbuatannya maka perkara dapat dilimpahkan ke acara

pemeriksaan singkat. Acara pemeriksaan singkat pada RUU KUHAP sama dengan

pengaturan pada KUHAP yang berlaku saat ini. Meskipun pada dasarnya Jalur

Khusus ini juga dapat dikecualikan dalam hal Hakim tidak meyakini Pengakuan

yang diberikan oleh terdakwa. Pengakuan Terdakwa yang dilakukan dengan tanpa

paksaan dan telah diyakini kebenarannya oleh hakim, pemeriksaannya dilanjutkan

kepada acara pemeriksaan singkat (Pasal 198 RUU KUHAP )

b) Saksi mahkota pada UU No 8 tahun 1981 belum diatur secara jelas definisinya.

Saksi mahkota disebutkan merupakan saksi yang digunakan dalam hal terjadi

penyertaan, dimana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya

oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim57. Seorang saksi

Mahkota juga tidak pernah dijelaskan secara gamblang mengenai kedudukannya

sebagai seorang saksi mahkota. Pada UU no 8 tahun 1981 keterangan terdakwa

dapat dijadikan sebagai sebuah keterangan pada persidangan terdakwa lain dalam

suatu tindak pidana yang sama dengan catatan telah dilakukan pemisahan berkas

perkara (Pasal 142 UU No. 8 Tahun 1981). Perbedaan mendasar mengenai

keterangan terdakwa di persidangan terdakwa lain dalam RUU KUHAP pada Pasal

158 disebutkan dengan jelas bahwa bersama sama dengan tersangka atau terdakwa

tidak dapat didengarkan keterangannya dan hanya dapat didengarkan keterangannya

atas persetujuan dari penuntut umum, saksi yang bersangkutan dan juga terdakwa.

Dan apabila tidak ada persetujuan dari salah satu pihak yang disebutkan diatas maka

saksi dapat memberikan keterangannya tanpa disumpah. Tidak hanya itu, perbedaan

lainnya juga terdapat kepada Reward yang diberikan bagi saksi mahkota berupa

57 dalam Surat Edaran JAMPIDUM-B-69-E-02-1997

42

kemungkinan penghentian penuntutan atau pengurangan pemidanaan bagi saksi

mahkota yang mau membongkar sebuah tindak pidana.

C. Keterkaitan konsep Plea Guilty pada Keterangan Terdakwa dalam RUU KUHAP.

Plea Guilty secara luas diartikan sebagai sebuah pernyataan bersalah dari seorang

tersangka maupun terdakwa. Plea Guilty banyak dianut di negara–negara yang menganut

sistem Hukum Common Law. Pengaturan mengenai Plea Guilty dapat dikategorikan

sebagai sebuah upaya agar sebuah perkara tidak perlu diajukan kemuka pengadilan untuk

diselesaikan. Plea Guilty sebagai sebuah Alternative Dispute sering berkaitan dengan

upaya penyelesaian diluar sidang dan penggunanya juga didasari oleh alasan alasan

tertentu. Plea Guilty digunakan sebagai sarana untuk mewadagi tersangka dan terdakwa

yang mengakui perbuatannya dan mengaku bersalah, sehingga tidak diperlukan lagi proses

peradilan yang tentunya memakan waktu dan biaya. Faktor lain yang menjadi pertimbangan

seorang tersangka atau terdakwa melakukan pengakuan bersalah adalah menghindari

persidangan dikarenakan untuk menjaga nama baiknya sendiri maupun pihak yang ia wakili

(Korporasi)58.

Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang menganut sistem Plea Guilty.

Sistem Plea Guilty dianut di Amerika Serikat atas dasar pemikiran untuk mengefektifkan

kinerja hakim dan pengadilan dalam menangani banyaknya perkara yang masuk. Seorang

Hakim di AS bernama Mcspadden menjelaskan bahwa penumpukan kasus di kota

metropolitan ( kota besar ) tidak dapat dihindari, sehingga diperlukan sarana Plea Guilty

untuk mencegah keluarnya biaya dan waktu yang dikeluarkan lebih banyak59. Penerapan

plea guilty sangat dipengaruhi oleh para aparat penegak hukumnya. Plea Guilty menuntut

Jaksa, Pengacara dan Hakim untuk maksimal memanfaatkan sistem ini. Dimungkinkan

dalam penerapannya adalah terjadi kondisi dimana seorang jaksa memang ingin segera

58 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4af7905853711/disgorgement-of-profits “Disgorgement of Profits” Bagi Korporasi PenyuapOleh: Arsul Sani, SH, M.Si, MCIArb*)59

? The Plea:Interviews:Judge Michael Mcspadden, Frontline, 17 Juni 2004, diunduh dari www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/.../mcspadden.htm? Jika diunduh berarti dari http/www.....

43

menyelesaikan kasusnya sehingga ia membuat tersangka atau terdakwa “mengaku” dengan

memberikan tekanan tekanan tertentu, begitupula dengan pengacara si tersangka atau

terdakwa yang memang tidak ingin membela kasus kliennya sehingga lebih menginginkan

perkara tersebut diselesaikan melalui Plea Bargain, dan juga dimungkinkan terjadinya

ketidakpedulian hakim terhadap kasus tersebut.60

Penyelesaian sengketa melalui Plea Guilty penerapannya masih mengalami banyak

pro dan kontra meskipun secara matematis terbukti mampu mengurangi jumlah perkara

yang masuk dan ditangani oleh pengadilan. Permasalahan lainnya adalah pengakuan yang

dibuat oleh tersangka atau terdakwa bukanlah dikarenakan mengakui perbuatan yang ia

lakukan dan bersalah telah melakukannya. Sebagai contoh adalah kasus perusahaan Enron

di Amerika Serikat, dalam kasus ini, para tersangka atau terdakwa yang merupakan direksi

dari perusahaan tersebut membuat pengakuan bersalah dikarenakan faktor lain diluar

hukum. Faktor yang mempengaruhi pernyataan bersalah dari Enron adalah dikarenakan

takut popularitasnya sebagai akibat dari dibawanya kasus mereka ke pengadilan.

Penerapan plea bargain pada tindak pidana tertentu juga dianggap mampu

memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat61. Salah satu contohnya adalah penerapan plea

bargain dalam tindak pidana korupsi di Nigeria. Pemberian hukuman didasari kepada

kuatnya bukti terhadap pelaku dan kebutuhan masyarakat untuk dilindungi dari pelaku di

masa depan. Jadi kesimpulannya dalam menentukan sebuah hukuman yang didasari oleh

Plea Guilty harus terdapat kemampuan dari aparat untuk memenuhi rasa keadilan dalam

masyarakat. Penuntut umum harus dapat mengajukan tuntutan yang adil sesuai dengan

perbuatan yang dilakukan, serta Hakim juga berperan penting dalam menjatuhkan putusan

guna menjamin ditegakkannya keadilan.

Pembahasan mengenai konsep Plea Guilty diatas menjadi sangat penting mengingat

substansi pengaturan Plea Guilty mulai dianut dalam RUU KUHAP Indonesia. Pengaturan

60

? Tom Bawden Analysis : the Natwest Three Plea Bargain, Times Online, 28 November 2007, diunduh dari : http://business.timesonline.co.uk/tol/business/law/article2964329.ece61

? Yekini Abubakri Olakulehin, The Practice of Plea Bargaining and its effect on the anti corruption crusade in nigeria, 1 oktober 2008 diunduh dari http://pappers/ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract id=1279003

44

mengenai pengakuan bersalah terdakwa diatur dalam pasal 199 RUU KUHAP. Pengakuan

bersalah yang diadopsi dari sistem hukum Common Law ini tentu akan membawa dampak

dampak positif maupun negatif dalam pelaksanaannya, sama halnya dengan negara negara

yang telah lama menganut sistem Plea Guilty ini. Seperti yang telah dijabarkan diatas

mengenai penjelasan singkat sistem Plea Guilty, maka apabila dijabarkan akan terdapat

beberapa dampak positif maupun negatif sebagai berikut.

Dampak Positif;

1) Mengurangi beban perkara masuk pengadilan : sudah menjadi rahasia umum bahwa

salah satu faktor merosotnya kinerja lembaga peradilan di Indonesia dikarenakan

banyaknya kasus yang masuk ke pengadilan. Kasus yang masuk ke pengadilan

negeri sampai dengan kasasi berjumlah sangat banyak, dan tidak sebanding dengan

jumlah hakim yang ada perkara pada tahun 2011 tercatat mencapai 5.319.522

perkara sudah tentu tidak sebanding dengan jumlah hakim62. Banyaknya perkara

yang masuk sudah tentu menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja

hakim sebagai ujung tombak penegakan hukum. Penerapan Plea Bargain sudah

tentu dapat menyebabkan perkara yang masuk ke persidangan berkurang. Hal ini

dikarenakan pada dasarnya tidak sedikit para terdakwa yang mengakui bahwa ia

sebenarnya adalah pelaku dari perbuatan yang didakwakan kepadanya, sehingga

tidak perlu lagi dilakukan proses pembuktian yang akan memakan waktu lebih

banyak. Di Amerika serikat Plea Guilty mampu mereduksi jumlah perkara yang

masuk ke pengadilan sebesar 95% dari total seluruh perkara63

2) Memberikan reward bagi terdakwa yang mengakui perbuatannya : dalam RUU

KUHAP terdakwa yang mengakui perbuatannya berhak untuk mendapatkan

pengurangan maksimum ancaman pidana yang didakwakan kepadanya.

Pengurangan ancaman pidana ini mencapai 1/3 dari total ancaman maksimal pidana

62

? Diunduh dari http://www.pn-garut.go.id/2012/02/kurun-2011-pengadilan-di-seluruh-indonesia-adili-5jutaan-kasus.aspx 63

? Kenneth R. Tapscott : Plea Bargaining Pros And Cons, 20 September 2006, diunduh dari http://www.articlecity.com/articles/legal/article_719.shtml

45

yang didakwakan kepadanya. Pengaturan ini memberikan kesempatan bagi

terdakwa untuk mengungkapkan peristiwa pidana secara terbuka, hal ini

dimungkinkan dan sangat terbuka kesempatannya mengingat reward yang diberikan

apabila membongkar kejahatan. Sistem ini diharapkan mampu mempermudah

proses pengungkapan suatu tindak pidana. Selain kemungkinan hukuman yang

berkurang dari penerapan sistem ini, terdakwa juga dimungkinkan untuk

menghemat uangnya yang mungkin akan keluar lebih banyak apabila perkaranya

diproses dalam suatu peradilan pidana.

3) Keuntungan bagi pihak penuntut umum : bagi penuntut umum keuntungan dari

sistem ini adalah berupa berkurangnya beban perkara yang harus ia buktikan.

Penyelesaian perkara dengan sistem ini membuat perkara tetap dapat diselesaikan

dengan baik dan efektif. Dan tidak hanya itu juga, penerapan plea guilty di Amerika

Serikat juga disertai dengan Sentencing Guidelines yang memungkinkan pergeseran

paradigma pemidanaan dari penjara kepada bentuk hukuman alternatif yang lain.

Dari contoh beberapa keuntungan sistem plea guilty yang disebutkan diatas, ada juga

beberapa kekurangan dari plea guilty yang dirasakan selama pelaksanaannya di negara

negara yang telah menerapkannya, yaitu diantaranya berupa :

1) Hak terdakwa untuk diadili oleh hakim : salah satu poin penting dari kelemahan

penggunaan sistem ini adalah hak terdakwa untuk diadili di pengadilan, dalam

artian terdakwa memiliki hak untuk diam atas tindak pidana yang ia lakukan dan

dibuktikan oleh Penuntut Umum kesalahan yang dituduhkan kepadanya. Dalam

beberapa negara dianut mengenai minimum pembuktian yang mengharuskan untuk

membuktikan terdakwa bersalah atau tidak melalui minimal 2 alat bukti. Dengan

hanya menggunakan pengakuannya saja, maka maka hanya itulah yang menjadi

dasar pemidanaan sehingga syarat 2 alat bukti tidak terpenuhi. Di Indonesia yang

menganut sistem pembuktian negativ mengharuskan minimal 2 alat bukti dan

keyakinan hakim untuk menjatuhkan pidana bagi seorang yang didakwa melakukan

tindak pidana. Penyerapan Plea Guilty dalam pasal 199 RUU KUHAP tidak serta

merta mengenyampingkan minimum pembuktian yang selama ini dianut

46

dikarenakan meskipun perkara dilimpahkan ke acara pemeriksaan singkat tetapi

tetap berlaku minimum pembuktian. Yang menjadi pokok permasalahan adalah

dalam penerapannya perlu dipastikan bahwa pengakuan yang diberikan oleh

terdakwa juga diiringi oleh alat bukti yang lain, sehingga dalam menjatuhkan pidana

tidak berdasarkan pengakuan terdakwa semata. Dengan demikian diharapkan

penjatuhan pidana berdasarkan pengakuan terdakwa dapat mempermudah proses

peradilan, namun tidak melanggar hak asasi manusia.

2) Pengadilan dianggap akan terlalu berpihak kepada terdakwa. kemudahan

kemudahan yang diberikan bagi terdakwa yang mengakui perbuatannya salah

satunya berupa pengurangan masa hukuman maksimal yang diancamkan padanya

dipandang akan membuat pengadilan terlihat lebih lemah dan terlalu memihak

terdakwa dan tidak menegakkan hukum pidana dengan maksimal.

3) Tidak dimungkinkan upaya hukum bagi terdakwa yang menyetujui plea guilty :

terdakwa yang telah menyetujui dan mengakui kesalahan yang didakwakan

kepadanya maka ia tidak dapat mengajukan banding terhadap putusan yang

dikeluarkan dari pernyataan bersalah sebelumnya. Dalam RUU KUHAP tidak diatur

mengenai upaya hukum bagi terdakwa yang mengakui kesalahannya.

47

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. 2008. Jakarta : Sinar Grafika

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Tentang

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi 2. 2006.

Jakarta: Sinar Grafika

Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana Normatif, teoretis, praktik dan permasalahannya.

2007. Bandung : PT. Alumni

Pangaribuan, M.P. Luhut. Hukum Acara Pidana satu Kompilasi Ketentuan-ketentuan

KUHAP dan Hukum Internasional yang relevan. 2006. Jakarta : Djambatan, 2006)

Prints, Darwan. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. 1989. Jakarta : Djambatan

Soeparmono, R. Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara

Pidana. 2002. Bandung : Mandar Maju

Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana. 1996. Bandung : Mandar Maju

D. Simons Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordering, Harleem : De Erven

F. 1925, Bohn

Hungdah Chiu, China’s New Criminal and Criminal Procedure Codes,Occasional

Papers/Reprints Series in Contemporary Asian Studies Number 6, Maryland:School of Law

48

INTERNET

http://www.hukor.depkes.go.id/, diunduh pada tanggal 24 Februari 2011. Oleh Tioria Pretty

Stephanie

http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2223074-sistem-hukum-anglo-saxon/

#ixzz1ozuJ3Pwh

Criminal Procedure Law of The People’s Republic of China

http://www.nbcp.gov.cn/article/English/LawsRegulations/200904/20090400002314.shtml,

Criminal Procedure Law of The People’s Republic of China

1996,http://www.lehmanlaw.com/resource-centre/laws-and-regulations/general/criminal-

procedure-law-of-the-peoples-republic-of-china-1996.html,

Ira Belkin,China’s Criminal Justice System : A Work in Progress,

http://www.law.yale.edu/documents/pdf/chinas_criminal_justice_system.pdf,

Human Rights in China, Empty Promises: Human Rights Protection and China’s Criminal

Procedure Law in Practice,http://www.hrichina.org/sites/default/files/oldsite/pdfs/

Empty_Promises_Text.pdf,

ThePlea:Interviews:Judge Michael Mcspadden, Frontline, 17 Juni 2004,:

www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/.../mcspadden.htm

Tom Bawden Analysis : the Natwest Three Plea Bargain, Times Online, 28 November

2007, : http://business.timesonline.co.uk/tol/business/law/article2964329.ece

49

Yekini Abubakri Olakulehin, The Practice of Plea Bargaining and its effect on the anti

corruption crusade in nigeria, 1 oktober 2008 http://pappers/ssrn.com/sol3/papers.cfm?

abstract id=1279003

Kenneth R. Tapscott : Plea Bargaining Pros And Cons, 20 September 2006

www.articlecity.com/articles/legal/article_719.shtml

Peraturan Perundang - undangan

Het Herziene Indonesich Reglemen (Reglemen Indonesia yang Dibaharui) Stb. 1941 No.44

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 Tentang

Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01.PW.07.03 TH. 1982

Tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

50

JAWABAN

Pertanyaan dari Michael Pangaribuan

1. Siapa yang dapat menjadi penerjemah bagi terdakwa yang bisu-tuli seperti pada Pasal

178 KUHAP ?

Menurut Yahya Harahap, penerjemah yang dimaksudkan dalam Pasal 178 KUHAP adalah

seorang yang “pandai bergaul” dengan si Terdakwa, yaitu orang yang dapat memberi atau

menerima bahasa isyarat dari si Terdakwa. Bahasa isyarat yang dimaksud adalah segala

bentuk isyarat yang biasa digunakan oleh Terdakwa untuk berkomunikasi dan isyarat

tersebut tidaklah harus berdasarkan suatu kelimuan tertentu.

2. Bagaimana pengangkatan penerjemah tersebut ?

yang menghadirkan penerjemah tersebut adalah orang yang menghadirkan saksi yang bisu-

tuli tersebut, dalam hal yang diperiksa adalah Terdakwa yang bisu-tuli, maka yang

menghadirkan adalah Penuntut Umum atau bisa saja dipilih oleh Terdakwa sendiri.

Penerjemah tersebut diangkat oleh Ketua Sidang dengan sebuah pengucapan sumpah

seperti pada seorang juru bahasa, yaitu dengan mengucapkan kata-kata “akan

menerjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan”

Pertanyaan dari Vivi Ayunita

1. Bagaimana prosedur yang digunakan penegak hukum menemukan alat bukti yang sah menurut KUHAP yang didasarkan pada keterangan terdakwa di luar sidang

Perlu diperhatikan terlebih dahulu limitasi dari keterangan terdakwa di luar sidang. Mengenai hal ini dibatasi dengan pasal 75 ayat 1 huruf (a) jo. ayat 3 KUHAP yaitu keterangan terdakwa yang diberikan di depan pemeriksaan penyidikan yang dicatat dalam berita acara serta ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa64. Dari keterangan inilah dapat dicari alat bukti yang sah menurut KUHAP. Terhadap alat bukti keterangan

64 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan,Banding,Kasasi,dan Peninjauan Kembali, (Jakarta:Sinar Grafika,2008), hal. 324.

51

saksi, maka saksi yang dapat dipanggil penyidik ditentukan oleh pasal 1 butir 26 KUHAP yaitu seorang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, mengalami sendiri peristiwa pidananya, dan orang yang bersangkutan dapat menjelaskan sumber pengetahuan akan apa yang ia dengar65. Untuk alat bukti surat, penyidik dapat melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat (pasal 7 ayat 1 huruf e KUHAP) serta wewenang lain berdasarkan pasal 7 KUHAP untuk menemukan alat bukti yang sah yang didasarkan pada keterangan terdakwa di luar sidang.

2. Bagaimana dengan keterangan terdakwa yang pada tahap penyidikan telah diperiksa dengan lie detector ?

Penggunaan lie detector tidak diatur dalam KUHAP. Akan tetapi berdasarkan pasal 5 angka 2 UU Nomor 11 /2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka lie detector, yang dapat dikategorikan sebagai dokumen elektronik (lihat pasal 1 angka 4 UU ITE) merupakan alat bukti hukum yang sah. Namun, terbatas untuk tindak pidana tertentu saja yaitu tindak pidana ITE sendiri maupun tindak pidana yang peraturan perundang-undangannya telah memperluas pengertian alat bukti yang sah.

Jika keterangan terdakwa pada tahap penyidikan telah diperiksa dengan lie detector maka tidak akan berpengaruh terhadap keabsahan atau adanya pelanggaran asas hukum seperti non self incrimination maupun presumption of innocence jika hasil analisis lie detector menyatakan ia berbohong. Hal ini dikarenakan terdakwa berhak dan dibenarkan mencabut kembali keterangan pengakuan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan. Terdakwa boleh mencabut keterangannya asalkan ada alasan yang berdasar dan logis66. Salah satu alasan yang cukup logis untuk meminta agar keterangannya saat jadi tersangka dicabut adalah adanya tingkat ketidak akuratan sebesar 10% dari pemeriksaan lie detector. Menurut Yusti Probowati Rahayu, pemeriksaan hanya melihat detak jantung, denyut nadi, serta perubahan fisik sehingga dapat dimanipulasi dengan cara membuat kondisi tegang bagi orang yang akan diujikan kebohongan67. Sebenarnya berdasarkan pasal 187 huruf c KUHAP, hasil dari lie detector sendiri bisa dijadikan alat bukti surat, dengan menggunakan hasil akhir yang dianalisa oleh ahli psikologi forensik, sehingga 65 M.Yahya Harahap,, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal.125.66 M.Yahya Harahap, op.cit.,hal 325.67 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19995/lie-detector-tidak-populer-dalam-penanganan-kasus-korupsi, diakses pada hari Selasa, 1 Mei 2012 pukul 23:44.

52

nantinya ahli yang membuat laporan tersebut dapat diminta keterangan di sidang oleh hakim.

Pertanyaan dari Revi Laracaka

Apa saja alasan yang dapat diterima untuk mencabut BAP menurut KUHAP? Dan bagaimana pembuktian alasan tersebut?

Tidak ada pengaturan dalam KUHAP mengenai keterangan dalam BAP yang kemudian dicabut dalam persidangan. Jika ada pencabutan atau ada keterangan yang berbeda antara yang diberikan di sidang pengadilan dengan keterangan yang dimuat dalam BAP, maka berlakulah ketentuan dalam pasal 185 ayat (1) KUHAP. Terhadap pencabutan BAP yang dibuat penyidik tersebut dapat dijadikan petunjuk oleh hakim dalam merumuskan putusan pengadilan (pasal 188 ayat (2) KUHAP). Secara umum alasan pencabutan BAP adalah adanya paksaan atau tekanan yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka memperoleh keterangan. Dalam beberapa kasus adapula alasan pencabutan keterangan dalam BAP sebagai berikut;

a. Dalam kasus traveller cheque dengan terdakwa Ni Luh Mariani Tirtasari, Miranda

Goeltom selaku saksi yang dalam BAP mengaku mengenali terdakwa mencabut

keterangannya tersebut di persidangan. Pencabutan keterangannya itu dikarenakan

Ia mengaku salah membayangkan wajah Ni Luh Mariani Tirtasari.

b. Dalam kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di Tanjung Priok, terjadi

pencabutan BAP oleh saksi korban. Pencabutan BAP ini dilakukan dengan alasan

bahwa telah terjadi perdamaian antara saksi korban dengan orang-orang yang

terlibat pelanggaran HAM tersebut.

Mengenai pembuktian terhadap alasan pencabutan BAP dalam persidangan di pengadilan,

umumnya sulit untuk melakukan pembuktian terhadap alasan yang berupa tekanan terhadap

saksi tersebut, terlebih lagi apabila saksi atau terdakwa didampingi dengan penasehat

hukumnya. Tekanan yang berupa tekanan fisik masih terdapat kemungkinan untuk

dilakukan pembuktian terhadapnya, yaitu misalnya dengan melakukan visum, namun

tekanan yang terjadi secara psikis atau tekanan mental sulit untuk dibuktikan. Pada

umumnya apabila terjadi pencabutan BAP oleh terdakwa karena adanya tekanan, paksaan,

53

atau penyiksaan dari penyidik dalam tahap penyidikan, tindakan pertama yang dilakukan

hakim adalah dengan memanggil saksi verbalisan guna melakukan cross check atau

klarifikasi dengan penyidik untuk membuktikan kebenaran alasan dicabutnya keterangan

yang diberikan dalam BAP di sidang pengadilan. Apabila hasil klarifikasi menyatakan

bahwa benar telah terjadi pemaksaan, penyiksaan, atau tekanan oleh penyidik selama tahap

penyidikan maka alasan pencabutan keterangan dalam BAP dapat diterima, sehingga

keterangan dalam BAP dianggap tidak benar, dan berlaku juga sebaliknya.

Saksi verbalisan yangh dihadirkan oleh hakim dalam memberikan keterangannya dilakukan

dibawah sumpah. Oleh hakim keterangan saksi verbalisan ini dihubungkan dengan alat

bukti lainnya dalam persidangan, sehingga pada akhirnya hakimlah yang berperan aktif

dalam mencari kebenaran materil, hakim harus melihat keterangan secara logis dan masuk

akal yang dapat mendukung terjadinya perbedaan keterangan tersebut.

Pertanyaan dari Heber Situmorang

1. Jika pada suatu kasus seseorang dimintai keterangan sebagi saksi, kemudian statusnya

naik menjadi terdakwa apakah berita acara pemeriksaan saat ia masih berstatus sebagai

saksi akan dinyatakan gugur?

Di dalam KUHAP tidak pernah dinyatakan apabila seseorang naik statusnya sebagai

tersangka/terdakwa maka berita acara pemeriksaan saat ia masih berstatus sebagai saksi

akan gugur. Yang terjadi ialah apa yang tertulis pada pasal 189 ayat 2 KUHAP yaitu :

“Keterangan terdakwa di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti

di sidang dapat digunakan untuk menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu

didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan

kepadanya”

Dengan demikian berita acara pemeriksaan tersebut dipakai sebagai ‘alat bantu’ untuk

menemukan bukti di dalam persidangan selama didukung suatu alat bukti yang sah

sebagaimana disebutkan pada pasal 184 ayat 1 KUHAP.

54

2. Bolehkah seorang terdakwa menyatakan dalam sidang bahwa keterangannya akan sama

seperti yang ada pada penyidikan?

Tidak, karena jelas pada pasal 189 ayat 1 KUHAP dijelaskan bahwa “Keterangan terdakwa

ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang...” Dengan demikian walaupun apa-apa yang

telah disebutkan pada tahap penyidikan sama dengan apa yang akan dinyatakan di dalam

sidang, terdakwa tetap harus menyatakannya kembali di dalam sidang.

Pertanyaan dari Al Hadid

Apakah Miranda Rules applicable di Indonesia?

Pada intinya Miranda Rules adalah ketentuan untuk membacakan hak-hak terdakwa pada

saat terjadi penangkapan. Sedangkan di Indonesia pada saat penangkapan yang harus

dilakukan pada saat penangkapan menurut pasal 18 ayat 1 KUHAP ialah memperlihatkan

surat tugas, memperlihatkan surat perintah penangkapan, menyebutkan alasan

penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan, serta tempat ia diperiksa. Walaupun di

dalam KUHAP tidak disebutkan kapan harus dibacakan, tapi hak-hak tersangka dan

terdakwa dalam BAB VI KUHAP biasanya diberitahukan setelah proses penangkapan

dilakukan. Miranda Rules bukan tidak applicable di Indonesia melakinkan memang tidak

diatur sehinnga tidak diaplikasikan.

Pertanyaan dari Lestari

Terkait dengan Pasal 175 KUHAP apakah ada upaya yang dapat dilakukan oleh Hakim

jika Terdakwa tidak mau menjawab pertanyaan dalam persidangan?

Maksud dari Pasal 175 KUHAP ini haruslah dihubungkan dengan Pasal 52 KUHAP yakni

bahwa Terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada Hakim.

Dan berdasarkan Pasal 175 KUHAP dipisahkan menjadi dua hal yaitu:

a. Terdakwa tidak mau menjawab pertanyaan

b. Terdakwa menolak untuk menjawab pertanyaan

55

Atas kedua hal tersebut, maka KUHAP hanya memberikan kewenangan kepada Hakim

Ketua Sidang untuk memberikan suatu hal yang sifatnya anjuran. Karena Sifatnya anjuran,

maka hal tersebut diserahkan kembali kepada Terdakwa. Hakim Ketua Sidang tidak

mempunyai hak untuk memaksa agar Terdakwa menjawab pertanyaan. Dengan Demikian

kebebasan memberikan Keterangan dalam Pasal 52 KUHAP dijamin oleh Pasal 175

KUHAP, yang merupakan salah satu hak asasi manusia.68

Jika ingin dikaitkan dengan Pasal 270 HIR, maka Pasal 175 KUHAP adalah suatu bentuk

penghalusan bahasanya, namun ada beberapa perbedaan antara kedua pasal tersebut, yaitu :

1. Pada pasal 175 KUHAP tidak dijumpai kata-kata ‘kewajiban untuk menjawab’

sedangkan pada Pasal 270 HIR kata-kata tersebut terdapat dalam rumusannya.

2. Pada pasal 175 KUHAP tidak dijumpai kata-kata ‘memperingatkan Terdakwa untuk

menjawab’ sedangkan pada Pasal 270 HIR kata-kata tersebut terdapat dalam

rumusannya.

Dalam Pasal 175 KUHAP kalimat demikian diperhalus dengan kata menganjurkan

terdakwa untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Menurut Yahya Harahap, ada beberapa prinsip yang harus disadari oleh Hakim, Terdakwa

dan Penasehat Hukum dalam rangka mewujudkan keseimbangan dan keselarasan

kepentingan umum pada suatu pihak serta perlindungan kepentingan hak asasi terdakwa,

adapun prinsip-prinsip tersebut adalah :

1. KUHAP tidak menganut asas the right to remain in silence dalam arti

sempit.Sedangkan untuk menerapkan rumusan yang terdapat dalam Pasal 175 KUHAP

akan erat hubungannya dengan asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence

sebagaimana diatur daam Pasal 8 UU No. 14/ 1970.

2. Prinsip yang kedua adalah perlunya menempatkan Pasal 175 KUHAP ini sebagai suatu

sistem keseimbangan. Yang dikehendaki untuk terwujud adalah harmonisasi

keseimbangan dalam mengejar kepentingan dan perlindungan.

68 Prodjohamidjojo, Martiman S.H. Komentar Atas KUHAP . Jakarta : PT. Pradnya Paramita. 1984.

56

3. Prinsip ketiga, yaitu Hakim tidak boleh memaksa terdakwa untuk menjawab. Kalau

terdakwa tidak mau menjawab maka kewenangan hakim adalah menganjurkan

Terdakwa untuk menjawab.

4. Dan yang terakhir adalah bahwa Hakim Ketua Sidang ataupun Penuntut Umum dilarang

menjeneralisaasi kebungkaman dari Terdakwa sebagai tingkah laku dan perbuatan

menghalangi dan mengganggu ketertiban sidang.

Sehingga dari prinsip diatas, menurut Yahya Harahap pemeriksaan Terdakwa akan

menitikberatkan pada asas keseimbangan kepentingan perlindungan Terdakwa pada satu

pihak dan kepentingan umum pada pihak lain, demi terwujudnya kebenaran sejati dalam

suatu putusan. Dan untuk memperoleh kebenaran sejati adalah hal yang wajar, jika Terdakwa

ikut membantu menunjukan kebenaran itu dengan menjawab pertanyaan yang diajukan

kepadanya.69

Pertanyaan dari Dalmi

a. Berdasarkan penjelasan Saudara, mengenai Keterangan Terdakwa terdiri dari

pengakuan dan penyangkalan. Apakah penyangkalan bisa dijadikan dasar

pemidanaan?

b. Jika pada tahap penyidikan si Terdakwa mengakui perbuatannya dan pada saat

persidangan tibatiba dia tidak mengaku, bagaimana hubungannya dengan pengertian

Keterangan Terdakwa, yang mana yang digunakan?

Jawaban :

a. Berdasarkan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan Terdakwa ialah apa yang

Terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia

ketahui sendiri atau alami sendiri.

Pembentuk UU dalam hal ini yang menyusun KUHAP telah membuang jauh-

jauh mengenai pemakaian ‘pengakuan terdakwa’ dalam Pasal 295 HIR dan

69 Harahap, Yahya, S.H. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Jakarta : Sinar Grafika. 2000. Hal 215-218.

57

menggantikannya dengan ‘keterangan terdakwa’ dalam Pasal 184 huruf e

KUHAP.70

Antara ‘pengakuan’ dengan keterangan terdapat beda pengertian. Pengakuan

menurut Pasal 307 HIR diartikan pengakuan melakukan perbuatan yang

dituduhkan kepadanya disertai dengan dihubungkannya dengan alat bukti yang

lain terdapatnya persesuaian, maka pengakuan demikian boleh dijadikan bukti

cukup tentang kesalahannya.71

Contoh keterangan terdakwa :

“Saya memang ke rumah korban pada malam itu, tapi hanya untuk

bersilaturahmi dan bukan untuk membeli narkoba seperti yang PU katakan”.

Kata “Saya memang ke rumah korban pada malam itu” adalah pengakuan.

Sedangkan kata “tapi hanya untuk bersilaturahmi dan bukan untuk membeli

narkoba seperti yang PU katakan” adalah penyangkalan. Tapi keduanya tidak

bisa dipisahkan atau dibedakan secara tegas seperti konsep HIR. Keduanya

sama-sama sebagai keterangan. Kalimat pertama bisa dijadikan sebagai alat

bukti, sedangkan kalimat kedua yang bernada penyangkalan tidak dijadikan alat

bukti namun hakim tetap harus memperhatikannya.

b. Berdasarkan Pasal 52 KUHAP bisa dipisahkan mengenai dua hal, yakni

Keterangan Tersangka dan Keterangan Terdakwa.

Dalam bukunya, Martiman Prodjohamidjojo membedakan sesuai dengan

KUHAP, yakni Keterangan Tersangka yaitu apa yang disampaikan oleh

Tersangka kepada penyidik dan bukanlah termasuk dalam alat bukti dan sifatnya

‘bebas’. Sedangkan Keterangan Terdakwa adalah apa yang disampaikan oleh

Terdakwa di persidangan dan sifatnya menentukan, karena putusan hakim akan

mempertimbangkan apa yang Terdakwa sampaikan di persidangan.

70 Prodjohamidjojo, Martiman S.H. Komentar Atas KUHAP . Jakarta : PT. Pradnya Paramita. 1984. 71 Ibid. hal 141.

58

Dalam tahap pemeriksaan oleh Penyidik, tidak menutup kemungkinan adanya

paksaan, sehingga tetap pada Ketentuan Pasal 189 KUHAP, yaitu Keterangan

Terdakwa adalah yang disampaikan dipersidangan. Sehingga, jika ada

perbedaan antara Keterangan Tersangka dalam penyidikan dan Keterangan

Terdakwa dalam Persidangan, maka berdasar Pasal 189 KUHAP, hakim dapat

menggunakan Keterangan Terdakwa dalam persidangan dengan dilakukannya

pencabutan Keterangan Terdakwa pada saat penyidikan dimana pencabutan

tersebut harus berdasar alasan yang logis.72

72 Harahap, Yahya, S.H. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Jakarta : Sinar Grafika. 2000. Hal 327.

59