tukarpendapat.files.wordpress.com file · web viewbagaimana cara menanggulangi radikalisme itu,...

39
GUS DUR: ORANG NASRANI BUKAN KAFIR ? Anda ingin membantah Gus Dur? Kalau aku sih tak mampu; ilmu agamaku terlalu tipis. Berikut adalah wawancara Kajian Islam Utan Kayu di Radio 68H Jakarta dengan Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagaimana dikutip dari Jaringan Islam Liberal [JIL]. Keberagamaan umat Islam saat ini sering dikaitkan dengan radikalisme dan kekerasan. Apa yang salah menurut Gus Dur? Saya rasa persoalannya adalah ketidakmengertian. Mereka yang melakukan kekerasan itu tidak mengerti bahwa Islam tidaklah terkait dengan kekerasan. Itu yang penting. Ajaran Islam yang sebenar-benarnya — saya tidak memihak paham mana pun, baik Ahlus Sunnah, Syi’ah, atau apapun — adalah tidak menyerang orang lain, tidak melakukan kekerasan, kecuali bila kita diusir dari rumah kita. Ini yang pokok. Kalau seseorang diusir dari rumahnya, berarti dia sudah kehilangan kehormatan dirinya, kehilangan keamanan dirinya, kehilangan keselamatan dirinya. Hanya dengan alasan itu kita boleh melakukan pembelaan. Bagaimana cara menanggulangi radikalisme itu, Gus? Ya, kita tidak boleh berhenti menekankan bahwa Islam itu agama damai. Dalam Alquran, ajaran tentang itu sudah penuh. Jadi, kita tidak usah mengulang-ulang (pernyataan) lagi bahwa Islam itu damai dan rasional. Hanya saja, memang ada sisi-sisi lain dari Islam yang kurang rasional. Tapi kalau dipikir-pikir lagi secara mendalam, jangan-jangan itu rasional juga. Jadi dengan begitu, kita tidak boleh serta- merta memberikan judgement, pertimbangan, penilaian. Jangan. Kita harus benar-benar tahu latar belakang mengapa seseorang melakukan kekerasan. Tapi biasanya, yang pura-pura (Islam) itulah yang paling keras. Bagaimana Gus Dur mendefenisikan istilah kafir?

Upload: duongthien

Post on 30-Apr-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

GUS DUR: ORANG NASRANI BUKAN KAFIR ?

Anda ingin membantah Gus Dur? Kalau aku sih tak mampu; ilmu agamaku terlalu tipis.

Berikut adalah wawancara Kajian Islam Utan Kayu di Radio 68H Jakarta dengan Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagaimana dikutip dari Jaringan Islam Liberal [JIL].

Keberagamaan umat Islam saat ini sering dikaitkan dengan radikalisme dan kekerasan. Apa yang salah menurut Gus Dur?

Saya rasa persoalannya adalah ketidakmengertian. Mereka yang melakukan kekerasan itu tidak mengerti bahwa Islam tidaklah terkait dengan kekerasan. Itu yang penting. Ajaran Islam yang sebenar-benarnya — saya tidak memihak paham mana pun, baik Ahlus Sunnah, Syi’ah, atau apapun — adalah tidak menyerang orang lain, tidak melakukan kekerasan, kecuali bila kita diusir dari rumah kita. Ini yang pokok. Kalau seseorang diusir dari rumahnya, berarti dia sudah kehilangan kehormatan dirinya, kehilangan keamanan dirinya, kehilangan keselamatan dirinya. Hanya dengan alasan itu kita boleh melakukan pembelaan.

Bagaimana cara menanggulangi radikalisme itu, Gus?

Ya, kita tidak boleh berhenti menekankan bahwa Islam itu agama damai. Dalam Alquran, ajaran tentang itu sudah penuh. Jadi, kita tidak usah mengulang-ulang (pernyataan) lagi bahwa Islam itu damai dan rasional. Hanya saja, memang ada sisi-sisi lain dari Islam yang kurang rasional. Tapi kalau dipikir-pikir lagi secara mendalam, jangan-jangan itu rasional juga. Jadi dengan begitu, kita tidak boleh serta-merta memberikan judgement, pertimbangan, penilaian. Jangan. Kita harus benar-benar tahu latar belakang mengapa seseorang melakukan kekerasan. Tapi biasanya, yang pura-pura (Islam) itulah yang paling keras.

Bagaimana Gus Dur mendefenisikan istilah kafir?

Mengenai pengertian kafir, muballigh kayak Yusril Ihza Mahendra saja, menteri kita itu, nggak tahu. Dulu dia pernah bilang, “Saya kecewa pada Gus Dur yang terlalu dekat dengan orang Kristen dan Yahudi. Padahal, Alquran mengatakan, tandanya muslim yang baik adalah asyiddâ’u`‘alal kuffâr (tegas terhadap orang-orang kafir).” Terus saya balik tanya, “Yang kafir itu siapa?”

Menurut Alquran, orang Kristen dan Yahudi itu bukan kafir, tapi digolongkan sebagai ahlul kitab. Yang dibilang kafir oleh Alquran adalah ”orang-orang musyrik Mekkah, orang yang syirik, politeis Mekkah”. Sementara di dalam fikih, orang yang tidak beragama Islam itu juga disebut kafir. Itu kan beda lagi. Jadi, kita jelaskan dulu, istilah mana yang kita pakai.

Banyak sekali soal khilafiah di dalam masyarakat dalam menafsirkan agama yang satu sekalipun. Apa kriteria perbedaan yang membawa rahmat itu, Gus?

Dulu, ada perbedaan antara Muhammadiyah dengan NU soal tarawih dua puluh tiga rekaat atau sebelas. Kan begitu. Semua itu sama-sama boleh. Jadi, jangan ribut hanya karena masalah seperti itu. Yang harus kita selesaikan adalah masalah-masalah pokok seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan sebagainya. Tapi itu malah yang nggak pernah diurusi. Malah yang diributkan tentang shalatnya bagaimana; sebelas rekaat atau berapa. Itu kan bukan masalah yang serius.

Mengapa ada kelompok Islam yang ingin ajaran-ajaran spesifik Islam diatur dalam hukum negara, seperti kewajiban berjilbab dan lain-lain?

Pemikiran seperti itu sebetulnya bersifat defensif. Artinya, mereka takut kalau Islam hilang dari muka bumi. Itu namanya defensif; pake takut-takutan. Sebenarnya, nggak perlu ada rasa ketakutan seperti itu. Mestinya, hanya urusan-urusan kemanusiaan yang perlu kita pegang. Adapun soal caranya, terserah masing-masing saja. Jadi orang Islam nggak perlu takut (Islam lenyap).

Coba saja bayangkan, dulu Islam berasal dari komunitas yang sangat kecil. Tapi sekarang, Islam jadi agama dunia. Agama Buddha dulu juga demikian, Kristen juga demikian. Orang Kristen dulu dimakan macan; nggak bisa apa-apa. Sama rajanya diadu dengan tangan kosong, bahkan diadu dengan singa. Toh sekarang agama Kristen jadi agama yang merdeka di mana-mana.

Begitu juga dengan Islam. Jadi, tidak usah diambil pusing. Di negara Republik Rakyat Cina (RRC) yang katanya tak bertuhan, agama Konghucu atau Buddha dalam kenyataannya tetap ada dan berkembang walau secara sembunyi-sembunyi.

Ada kesan umat Islam memusuhi seni rupa. Jangankan menggambar sosok nabi, menggambar makhluk bernyawa saja dikecam. Bagaimana Islam memandang seni rupa, Gus?

Dulu ada KH. Ahmad Mutamakkin dari Pati. Dia dituduh para ulama fikih di daerahnya telah mengamalkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam. Kenapa? Dia membiarkan adanya gambar gajah dan ular di tembok masjid. Lalu tuduhan bertambah: dia anti-Islam, karena suka menonton wayang kulit lakon Dewa Ruci. Kata yang menuduhnya: orang Islam kok percaya dewa-dewi.

Memangnya kenapa; untuk nonton saja nggak boleh? Dari sana dia kan bisa mengambil teori-teori yang dia tidak cocok. Untuk itu, kita ini jangan gampang-gampang bereaksi, apalagi menganggap orang lain itu kafir.

Mengapa sering terjadi benturan klaim kebenaran antar agama-agama, bahkan dalam satu rumpun agama yang sama?

Karena kita berani-beraninya mengambil alih jabatan Tuhan, fungsinya Tuhan, kerjaannya Tuhan. Emangnya kita siapa, kok berani-beraninya. Nggak ada yang lebih tinggi daripada yang lain. Yang lebih tinggi dan lebih besar dari segalanya hanya Tuhan.

Bagaimana menentukan sikap Islam yang benar dalam kompleksitas kehidupan dunia ini?

Sikap Islam yang benar adalah sikap yang sesuai dengan ajaran pokok Islam. Ajaran pokok Islam ialah: Tuhan itu satu. Jadi kita dituntut untuk mematuhi ajaran Tuhan, saling mengasihi, dan sebagainya. Kita harus saling mengasihi antar-manusia

Raeed Hassoun Bakal:

Shabiah; Agama Samawi Yang Berasas Tauhid25/12/2006

Sebagai strategi politik, para pemimpin masyarakat Harran menyebut bahwa agama yang mereka anut adalah Shabiah. Sebab mereka tahu bahwa agama Shabiah sudah termaktub

dalam Alquran dan termasuk dilindungi Islam karena masuk kategori Ahli Kitab.

Agama Shabiah disebutkan tiga kali dalam Alquran. Dalam Surah al-Baqarah ayat 62, pemeluk Shabiah dianggap berkemungkinan memeroleh keselamatan di akhirat, sebagaimana Islam, Yahudi, dan Kristen. Khazanah tafsir klasik Islam memuat beragam pendapat, termasuk mispersepsi, terhadap agama ini. Apakah Shabiah merupakan agama penyembah bintang yang kini benar-benar sudah punah dari muka bumi? Mohamad Guntur Romli dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Raeed Hassoun Bakal, penganut Shabiah sekaligus Ketua Bidang Pers Komunitas Shabiah Mandaiyun Irak (The Sabean Mandean Community) yang mengunjungi Indonesia bulan lalu. Berikut petikannya.

Bisa Anda jelaskan makna agama Shabiah Mandaiyun yang Anda anut?

Istilah "Shabi'ah" termaktub dalam kitab suci Anda "Alquran”sebanyak tiga kali. Dalam Surat al-Baqarah ayat 62, al-Maidah ayat 72, dan al-Hajj ayat 17. Shabiah (Sabean) berasal dari bahasa Aramik, shaba'a. Padanan katanya dalam bahasa Arab adalah ta`ammada yang berarti pembabtisan dan penyucian diri dengan air. Ritual baptis adalah sakramen kuno. Baptis merupakan syariat utama agama Shabiah. Makna dari syariat ini adalah permulaan hidup baru, maklumat bagi pertaubatan dan penyucian jiwa-raga. Seorang bayi yang baru lahir harus dibaptis agar ia sah menjadi pemeluk agama Shabiah.

Dalam upacara hari-hari besar keagamaan Shabiah, upacaya baptis hukumnya wajib. Pemeluk Shabiah dianjurkan untuk sesering mungkin melakukan sekramen ini agar dosa dan kesalahannya dihapus. Tobat tidak cukup hanya lewat pengakuan dosa, namun juga melalui sakramen ini. Sedangkan Mandaiyun (Mandaean) berasal dari kata manda yang berarti kearifan. Maka gabungan dua kata itu (Shabi'ah Mandaiyun) berarti orang-orang yang dibaptis dan arif karena menganut agama yang benar.

Bagaimana latar-belakang sejarah agama ini?

Shabiah Mandaiyun adalah agama kuno yang telah ada sejak manusia ini ada. Ia mengikuti ajaran-ajaran nabi pertama sekaligus nenek-moyang manusia, yaitu Nabi Adam. Pemeluk Shabiah juga melestarikan ajaran-ajaran yang termaktub dalam shahifah Idris, Syith, Sam bin Nuh, dan Yahya bin Zakaria yang diyakini sebagai nabi terakhir pemeluk agama ini. Hari Ahad (Minggu) merupakan hari suci bagi kami. Hari Ahad adalah hari pembabtisan Nabi Yahya bin Zakaria.

Sejak sebelum Masehi, agama ini tersebar di kawasan yang disebut Bulan Sabit Subur, meliputi Palestina, Suriah, Mesir, Jordania, Jazirah Arab, Irak, dan Iran. Namun akibat penindasan sepanjang sejarah terhadap pemeluk agama kami, lambat laun pengikutnya semakin menyusut. Dan sekarang kami terkonsentrasi di Irak Selatan.

Dalam beberapa literatur tafsir banyak pendapat yang menyatakan bahwa Shabiah adalah agama kaum penyembah bintang. Tanggapan Anda?

Pendapat ini keliru, namun telah tersebar luas. Kekeliruan ini berasal dari warisan sejarah yang amat panjang. Seperti yang telah saya jelaskan tadi, para pengikut Shabiah tersebar di beberapa wilayah Arab. Sumber-sumber sejarah Islam mencatat penaklukan-penaklukan dinasti Islam yang juga terkait dengan nasib kaum Shabiah. Dalam beberapa sumber disebutkan ada serombongan pasukan Islam yang sedang menuju kawasan Harran yang saat ini merupakan bagian negara Suriah. Waktu itu, kota Harran adalah kawasan niaga. Dan di situlah pasukan Islam menjumpai masyarakat yang mayoritas penduduknya menyembah bintang. Di tengah mereka ada pemeluk Shabiah, tapi sedikit.

Pasukan Islam lalu menuntut penjelasan tentang keyakinan masyarakat Harran itu. Bila mereka tidak memberi alasan yang kuat, mereka tentu akan diperangi. Sebagai strategi politik, para pemimpin masyarakat Harran menyebut bahwa agama yang mereka anut adalah Shabiah. Sebab mereka tahu bahwa agama Shabiah sudah termaktub dalam Alquran dan termasuk dilindungi Islam karena masuk kategori Ahli Kitab. Dari peristiwa inilah tersebar anggapan bahwa agama Shabiah adalah agama para penyembah bintang dan itu ditulis oleh para penulis tafsir Alquran. Padahal itu tidak benar. Shabiah adalah agama samawi yang berasaskan tauhid. Kini, penganut Shabiah Harran sudah hampir punah. Banyak dari mereka yang berganti agama; masuk Islam atau Kristen.

Apa saja rukun agama Anda?

Shabiah memiliki lima rukun. Pertama tauhid. Shabiah adalah agama samawi pertama yang mengikrarkan keesaan Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara jagat raya. Dia azali; tidak bermula, dan abadi; tidak berakhir. Segala puji dan sembahan hanya dipanjatkan ke hadirat-Nya. Kedua, salat yang dalam bahasa Mandaiyah disebut al-barakha. Ritual ini dilaksanakan dengan cara berdiri untuk beberapa saat menghadap kiblat yaitu ke arah Utara yang kami yakini sebagai jalan menuju cahaya dan surga. Lalu mengangkat kedua tangan sebagai bentuk salam, sembari membaca doa dan permohonan ampun atas segala dosa dan kesalahan.

Dalam salat itu ada sujudnya, tapi tidak boleh menyium atau menyentuh tanah. Sebab dalam keyakinan kami, tanah bukan tempat yang suci meski telah dibersihkan. Sujud adalah bentuk ketundukan yang hanya diperuntukkan bagi Tuhan, bukan bumi. Dan bagi kami, kepala manusia berisi akal-budi yang merupakan nurani-rabbani. Ia tidak layak diletakkan di atas tanah. Salat dalam tradisi kami, dilakukan tiga kali dalam sehari: saat terbit matahari, siang terik, dan waktu terbenamnya matahari. Sebelum salat, disyariatkan juga berwudu: menyuci muka, tangan, kaki, dan anggota badan lainnya dari segala kotoran.

Ketiga, kami juga mengenal syariat puasa yang terbagi ke dalam dua jenis: puasa kecil dan puasa besar. Puasa kecil adalah puasa ragawi, yaitu menahan diri untuk tidak memakan daging-daging hewan. Puasa kecil ini dilaksanakan pada hari-hari tertentu secara terpisah. Dalam setahun, puasa kecil berjumlah 36 hari. Sedangkan puasa besar adalah puasa jiwa, yaitu menahan jiwa dari “dosa jiwa†yang dilarang oleh Sang� Khalik dan tidak menyakiti sesama manusia. Keempat zakat (sedekah) yang dalam bahasa Mandaiyah disebut zidqa. Sedekah berasal dari golongan yang mampu untuk golongan yang tidak mampu. Kelima sakramen pembaptisan seperti yang telah saya jelaskan tadi.

Apa agama Shabiah punya kitab suci?

Ya. Dalam bahasa Mandaiyah, kitab suci kami disebut Kanza Raba. Padanan kata Arabnya adalah al-Kanz al-A'dzam (Harta Karun yang Agung, Red). Kitab ini merupakan kompilasi dari ajaran-ajaran Nabi Adam, Syith dan Sam bin Nuh yang berisi dua bagian. Pertama, dari sisi kanan memuat sifr takwin (kitab kejadian), kisah pertarungan antara kekuatan baik dan jahat, kekuatan cahaya dan kegelapan, pujian-pujian untuk Tuhan, dan beberapa aturan fikih. Kedua, dari sisi kiri, berisi bahasan tentang jiwa manusia yang berkaitan dengan pahala dan siksa. Selain kitab Kanza Raba, Shabiah juga memiliki kitab-kitab suci lain: kitab Darasyia Adihiya yang berisi ajaran Nabi Yahya bin Zakaria, kitab al-Qilsita yang berisi tentang asal-muasal jiwa Adam dan manusia secara umum, dan kitab al-Anfus yang berisi ritual dan pujian dalam acara pernikahan.

Ada hal-hal yang diharamkan dalam agama Anda?

Tentu saja ada. Dalam agama Shabiah, ada lima belas hal yang diharamkan, dan sebagian besar juga dijumpai dalam agama samawi lainnya. Yaitu: (1) kufur atau menyembah selain Tuhan (2) membunuh (3) berzina (4) mencuri (5) berbohong ( 6) bersumpah palsu (7) mengkhianati janji (8) menyembah syahwat (9) praktik sihir dan tenung (10) berkhitan (11) meminum khamar (12) mempraktekkan riba (13) meratapi mayat (14) makan darah dan daging hewan yang sedang hamil dan bangkai (15) praktek selibat.

Punya bahasa khusus juga?

Ya. Mandaiyah adalah salah satu dialek dari bahasa Aramaik yang berasal dari rumpun bahasa Semit. Bahasa ini diyakini suci dan hanya dipakai dalam ritual-ritual keagaman, penulisan kitab suci, dan syariat agama. Bahasa ini tidak dipakai dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Mandaiyah memiliki 24 huruf yang dimulai dan diakhiri dengan huruf alif, sesuai dengan keyakinan kami bahwa segala sesuatu akan berakhir pada permulaannya.

Bagaimana dengan hubungan agama dan negara; apakah ada tuntutan penerapan syariat Shabiah di tingkat negara?

Agama Shabiah tidak memiliki obsesi untuk membentuk negara atau memegang kekuasaan. Shabiah hanyalah ajaran agama, bukan konsep bernegara. Karena itu,

pemeluk agama ini menjadi sangat sedikit. Kami membatasi diri dari urusan politik. Tak pelak lagi, sikap ini memuluskan langkah mereka yang memegang kekuasaan untuk menyiksa dan mengusir kami.

Berapa jumlah pemeluk Shabiah saat ini?

Di Irak saat ini hanya berjumlah kurang lebih 10 ribu orang. Padahal di tahun 1960 dan 1970-an, kami mencapai 50-70 ribu orang. Akibat penindasan rezim politik Irak, tidak sedikit dari keluarga-keluarga kami yang memilih eksodus untuk mencari suaka politik dan tempat perlindungan ke negara lain. Karena itu, Anda dapat menjumpai penganut agama ini di beberapa negara seperti Australia, Swedia, Belanda, Denmark, dan beberapa negara Eropa lainnya. Yordania dan Suriah biasanya dijadikan tempat persinggahan pemeluk agama ini sebelum berpindah ke negara lain.

Mengapa kalian ditindas?

Sebab utamanya karena kami minoritas. Kalangan minoritas di berbagai belahan dunia ini selalu menjadi korban penindasan. Sebab lain, karena pemeluk Shabiah dilarang membalas dendam ketika ada anggota mereka yang ditindas dan dibunuh. Ini berbeda dengan perlakuan terhadap pemeluk agama atau anggota suku lain. Sebab lain juga karena matapencaharian pemeluk Shabiah di Irak adalah kerajinan emas. Pada tahun 1950-1970-an, mayoritas pemeluk Shabiah sangat tenar dengan kerajinan emasnya. Kita tahu, penambangan dan kerajinan emas selalu menjadi lahan rebutan. Para pengrajin emas di Irak yang mayoritas beragama Shabiah selalu menghadapi kasus pencurian, perampasan, dan pembunuhan.

Bagaimana dengan soal pernikahan pemeluk agama ini di Irak?

Ini juga masalah utama. Pengadilan-pengadilan di Irak hanya berasaskan pada syariat Islam saja. Karena itu ada masalah. Misalnya dalam urusan warisan. Dalam doktrin Shabiah, bagian waris perempuan sebanding dengan laki-laki. Ini berbeda dengan aturan syariat Islam. Aturan semacam itu menempatkan kami dalam posisi yang dilematis: tidak dapat menolak karena sudah menjadi aturan pemerintah, tapi juga tidak dapat menjalankannya karena bertentangan dengan ajaran agama kami.

Karena itu, kami harus memiliki lembaga tersendiri untuk soal pernikahan dan pewarisan dalam lingkungan rumah ibadah kami, yang disebut Manda. Di sinilah disahkan pernikahan, aturan waris, dan lain-lain. Agar pernikahan kami tercatat resmi oleh negara, maka lembaga ini bertugas mengirimkan rekomentasi kepada pengadilan negeri.

Apakah pernikahan beda agama diperkenankan?

Shabiah adalah agama yang eksklusif, karena itu pernikahan beda agama dilarang. Kalau ada pemeluk agama Shabiah menikah beda agama, ia dianggap keluar dari agama Shabiah.

Ada konsekuensi keagamaan seperti dikecam atau diteror bunuh?

Ha-ha-ha... tidak, tidak! Dia dianggap keluar dari agama saja. Konsekuensinya tidak sejauh itu. Mereka hanya tidak mendapat waris, dan dianggap keluar dari komunitas Shabiah. Itu saja. Tidak ada hukum bunuh-membunuh dalam Shabiah. Agama kami mengenalkan ajaran kasih-sayang.

Bagaimana pemeluk Shabiah memandang agama lain?

Kami hanya memiliki aturan internal yang khusus pemeluk agama Shabiah saja. Sedangkan soal hubungan dengan agama-agama lain, kami mengimani perlunya kebebasan beragama. Dasar pandangan kami adalah ajaran kemanusiaan yang universal. Kami selalu menginginkan perdamaian di dunia ini. Sebab, kami mengganggap bahwa setiap manusia hanyalah tamu di dunia yang fana ini. Kita selalu hidup dengan batasan dan tempo tertentu. Dan hidup ini adalah anugrah Sang Khalik. Karena itulah, kita diminta untuk menyembah-Nya, mengerjakan kebajikan, menolak kejahatan, dan melestarikan keturunan sebagai upaya melestarikan kehidupan. Bagi kami inilah tujuan umum hidup kita.

Bagaimana dengan hubungan laki-laki dan perempuan?

Shabiah menegaskan posisi yang setara bagi laki-laki dan perempuan. Perempuan dan laki-laki tidak bisa saling menafikan atau merasa lebih unggul atas yang lain. Seperti telah saya jelaskan tadi, hak waris laki-laki dan perempuan adalah setara dalam syariat kami. Bila seorang laki-laki dan perempuan berikrar untuk menikah, maka mereka akan dianggap menjadi pasangan di dunia dan di akhirat. Karena itu, dalam agama Shabiah perceraian sangat dilarang dan tidak boleh ada poligami.

Ada perbedaan soal aturan pakaian laki-laki dan perempuan?

Tentu saja. Perempuan Shabiah diharuskan memakai kerudung. Setiap perempuan tidak diperkenankan memperlihatkan rambutnya. Kami punya tatacara berpakaian yang khas dan berasal dari warisan nenek-moyang kami. Warna putih merupakan pakaian keagamaan resmi kami.

Kalau tidak pakai kerudung, apakah bakal dicambuk?

Ha-ha-ha.. tentu saja tidak! Kerudung memang dianjurkan oleh syariat kami, tapi tidak melalui paksaan dan hukuman. Agama selalu dapat dijalankan melalui nalar sehat manusia.

Bagaimana pemeluk Shabiah memahami konsep kematian dan hari akhir?

Dalam ajaran kami, tidak ada kematian; yang ada hanya perpindahan dari alam dunia ke alam akhirat. Karena itu, dalam ajaran agama kami, meratapi mayat sangat dilarang. Memakai seragam hitam dan adat-istiadat berkabung lainnya karena adanya kamatian,

tidak dikenal dalam agama kami. Tapi kami juga percaya bahwa di akhirat kelak akan ada bentuk perhitungan (hisab) atas amal kita; ada surga dan neraka.

Bagaimana kondisi pemeluk Shabiah di Irak saat ini?

Kami tentu sangat bersyukur dengan tumbangnya rezim Saddam Husein yang selama hidupnya selalu menindas kelompok-kelompok minoritas, termasuk kami. Selama rezim Saddam masih berdaulat, tidak hanya kalangan Shabiah, tapi seluruh kelompok minoritas tidak menikmati kebebasan beragama karena dianggap mengancam persatuan nasional. Era Saddam adalah era pemaksaan satu jenis pemahaman dan konsep bernegara. Kini, meski kami tidak memiliki wakil di Parlemen, karena jumlah kami yang memang sedikit, tapi keberadaan kami tetap diakui dan dilindungi oleh Konstitusi. Komunitas Shabiah di Irak tetap punya rumah ibadah sendiri, lembaga keagamaan, madrasah, lembaga-lembaga sosial, surat kabar, organisasi kepemudaan, dan lain-lain. Kami juga giat melakukan komunikasi lintasagama, kelompok sosial, partai dan suku, untuk menyelesaikan konflik berdarah di Irak sat ini. []

M. M. Billah:

Butuh Waktu Lama Mengubah Pola Pandang08/01/2007

Ada orang-orang yang yakin sekali bahwa Ahmadiyah itu berbahaya. Prinsip ajarannya mereka anggap sudah bukan Islam lagi. Dalilnya, Nabi Muhammad dianggap bukan

nabinya lagi, dan seterusnya. Itulah persepsi orang-orang tertentu. Ketika berinteraksi langsung dengan pimpinan-pimpinan dan kyai-kyai Ahmadiyah, mereka mengatakan bahwa nabi mereka tetap nabi Muhammad, Tuhannya juga sama dengan orang Islam

umumnya, kiblatnya juga sama, Qurannya juga sama.

Merasakan pengalaman hidup dalam kultur yang berbeda-beda tak serta-merta mengubah pola pikir dan tindakan seseorang dari yang lama ke yang baru. Namun pengalaman tersebut tetap merupakan modal penting untuk bersikap terbuka dan toleran terhadap orang lain. Demikian penuturan M. M. Billah, anggota Komnas HAM, tentang pegalaman keberagamaannya, kepada Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), Kamis (15/12) lalu.

Pak Billah, dalam kultur masyarakat seperti apa Anda tumbuh?

Kalau dikilas-balik, posisi saya agak unik dalam komunitas-komunitas keagamaan. Saya lahir dalam komunitas santri tulen Salatiga. Penduduk desa kami dikenal 100% beragama Islam. Tidak sekadar Islam abangan, tapi Islam yang saleh. Dalam Pemilu 1955, nyaris 100% orang desa saya menyalurkan suaranya ke Partai NU. Jadi lingkungan saya adalah santri dan NU. Ayah saya juga seorang santri. Jabatan terakhirnya adalah Ketua Peradilan Agama Semarang dan Salatiga. Di usia mudanya, beliau sempat nyantri di berbagai pesantren Jawa Timur. Konon, beliau seorang hafidz (penghafal Alqur’an, Red), yang saat itu masih langka.

Jadi, sejak lahir hingga usia 5 tahun, saya hidup dalam komunitas santri. Tapi kemudian, ayah saya bertugas di komunitas pinggiran hutan sebagai penghulu Kantor Urusan Agama (KUA). Di pinggir perhutanan itu, kelompok masyarakat yang dominan adalah orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Artinya, saya berpindah dari komunitas Islam santri ke komunitas Islam abangan yang PKI, sampai tamat SD. Setelah tamat SD, saya tinggal di Salatiga yang kulturnya priyayinya sangat kuat. Jadi, saya telah melalui proses sosialisasi masa kecil dari komunitas santri tulen, ke abangan, lalu ke priyayi. Setelah lulus SMA, saya melanjutkan studi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

Apakah Anda pernah menjadi santri benaran, dalam pengertian belajar agama Islam secara sistematis di pesantren?

Ya, karena ayah saya juga dianggap sebagai kyai. Saya menjadi santrinya ayah saya. Saat itulah saya sempat mengkaji kitab-kitab kuning yang elementer secara sorogan, seperti

Sullamut Tufiq dan Safinatun Najat dengan ayah saya. Kebetulan, Pakde saya juga punya pesantren. Di Jawa umumnya, ada istilah santri kalong yang tinggal di pesantren hanya sesaat. Saya sempat menjadi santri kalong. Sekitar tahun 1950-an, saya juga pernah mengikuti apa yang saat itu disebut sebagai sekolah Arab, tapi hanya sampai kelas 2. Setelah itu, saya pindah ke daerah abangan.

Apa pengaruh beragam kultur keagamaan itu dalam pembentukan kepribadian Anda?

Dari situ saya punya banyak teman di semua komunitas. Saya jadi belajar dan mengerti kultur masing-masing. Di komunitas santri, kalau berantem biasanya sampai menggunakan sumpah seperti wallahi atau ”demi Allah” dengan fasihnya. Sementara di lingkungan abangan atau PKI, kulturnya agak lain. Di lingkungan ini, saya jadi akrab dengan wayang, reog, dan semua kesenian yang saat itu jadi ujung tombak seni kelompok komunis.

Kalau nonton wayang bersama teman-teman, saya suka sekali dekat dengan dalangnya. Dari situ saya tahu, semua cerita-cerita Islam juga sudah banyak yang masuk dalam kisah wayang sebagaimana cerita dan moral wayang sendiri. Kita tahu, wayang diklaim sebagai kesenian non-santri meski dulunya dipercaya juga digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam di Jawa.

Nah, dalam perjalanan selanjutnya, di lingkungan Kristen UKSW, saya belajar agama Kristen, filsafat Kristen, dan etika Kristen. Dengan demikian, hal yang saya pelajari sangat bervariasi. Saya tak tahu kultur mana yang paling kuat membentuk kepribadian saya. Tapi yang pasti, ada hal-hal universal yang dapat saya tangkap dari berbagai macam lingkaran komunitas yang berbeda-beda tadi.

Otomatis Anda tidak bisa lagi menjadi santri totok, tapi sudah menyerap berbagai kebudayaan, ya?

Ya. Tapi dalam prosesnya perubahan kebudayaan itu tidak mudah. Sebab ketika di SMA, tepatnya tahun 1963, saya pernah menjadi aktivis dan ketua Pelajar Islam Indonesia (PII). Di tahun 1960-an itu, konflik antara kelompok komunis dengan kelompok Islam sangat tajam. Jadi, perdebatan-perdebatan ideologis dan politik, betapapun masih terbatasnya, sudah sangat tegang. Ketika berhadapan dengan teman-teman komunis, mereka pasti menyebut-nyebut Karl Marx dan segala macam rujukan berpikir.

Tapi dengan begitu, saya ikut terdorong untuk memperlajari pemikiran Marx. Sebab, waktu itu, kalau kalah berdiskusi, kan jadi malu. Fakta itu memberi dorongan kuat untuk mempelajari ”kitab suci-kitab suci” mereka juga. Meski dengan susah payah, saya juga terpaksa membaca karangan Marx, dll. Nah, pergulatan dan persaingan ideologis seperti itu ternyata membawa dampak positif untuk belajar lebih serius memahami pola pikir mereka. Mula-mula dengan niat untuk mengalahkan. Tapi positifnya, orang yang belajar akan jadi tahu lebih banyak tentang orang lain.

Tampaknya, pilihan ideologis masa itu hanya antara Islam dengan komunisme, ya?

Ketika itu, kita memang masih remaja dan pengetahuan pun masih terbatas. Kaum remaja sering kali tidak bisa melawan arus yang begitu kuat. Di PII, saya diberi pelajaran tentang pertentangan ideologis seperti itu, sehingga jangan kaget kalau PII itu seakan-akan bukan lagi kependekatan dari Pelajar Islam Indonesia, tapi Partai Islam Indonesia. Kalau sudah menjadi istilah partai, sudah tentu menjadi gerakan politik. Kalau gerakan politik, berarti ada persaingan politik yang diperebutkan. Pada masa itu, sisi militansi itu memang ditanamkan kuat sekali, karena lawannya juga militan. Jadi, ada suasana persaingan yang kadang-kadang mencekam, dan itu searah dengan arus Perang Dingin.

Karena itu, waktu itu belum terbayang adanya kemungkinan berdamai antara Islam dengan komunisme. Tapi dari yang saya pelajari, ternyata perhatian terhadap orang-orang yang tertindas dan kaum miskin, saat itu datang dari orang-orang PKI. Mereka mampu menciptakan nyanyian-nyanyian yang sangat sederhana dan mudah dihapal oleh kalangan jelata. Di sebuah kecamatan abangan, saya sering mendengar bagaimana anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) memberi pendidikan politik kepada orang-orang yang kebanyakan buta huruf. Misalnya lewat nyanyian: ”Ayo, poro konco ojo lali sinahu podo noto negoro (mari kawan-kawan, jangan lupa belajar menata negara, Red).”

Nah, ini kan pesan politik untuk ikut berpartisipasi menentukan kebijakan-kebijakan yang ditentukan negara. Nah, di dalam kelompok Islam, tidak banyak dilakukan pendidikan politik seperti itu. Di PII memang ada pesan-pesan politik. Tapi itulah yang terjadi sehingga saat itu kita belum punya bayangan bahwa pada suatu saat nanti kehidupan ideologi, perbedaan-perbedaan aliran, bisa tetap ada dan berdamai. Itu belum terbayang.

Tapi saya juga sadar bahwa pada waktu itu interaksi saya dengan teman-teman atau lawan politik kami bukan hanya interaksi ideologis tapi juga interaksi intelektual. Jadi tetap ada perdebatan-perdebatan dalam suasana yang oke. Ketika di Salatiga, saya memang menghadapi teman-teman yang suka berdebat. Dan kalau sudah berdebat, kita bisa sampai menghabiskan malam. Dan biasanya, keputusan pemenang debatnya ditentukan oleh yang paling tahan melek. Nah, strategi macam itu membuat kita saling belajar satu sama lain.

Bagaimana dengan pengalaman Anda kuliah di Universitas Kristen Satwa Wacana?

Sejak masih mahasiswa dan juga setelah lulus, saya bekerja di almamater saya (UKSW), tapi bukan sebagai dosen melainkan di Lembaga Penelitian Ilmu Sosial yang baru didirikan tahun 1970-an. Di lembaga itulah saya belajar, tidak hanya agama Kristen, tapi juga ilmu-ilmu sosial umumnya. Kuliah saya memang di Fakultas Ekonomi. Tapi, di Lembaga Penelitian Ilmu Sosial, saya mendapat pelajaran dari senior-senior tentang antropogi, sosiologi, dan lain sebagainya. Pada waktu itulah saya mulai membaca bukunya Clifford Geertz tentang santri, abangan, dan priyayi.

Dari situ saya juga menempa dan menguji iman dengan cara yang berbeda dari jalur yang pernah ditempuh di awal. Pengetahuan awal saya tentang Islam, saya dapatkan lewat jalur

yang islami. Tapi di sini, saya mulai membaca bermacam-macam buku yang tentang Islam, juga yang ditulis orang yang bukan Islam, dengan pendekatan yang berbeda. Nah, itu membuat saya sadar bahwa ada cara lain untuk menguji iman, meneguhkan iman, menempa iman.

Ada perubahan signifikan dalam cara Anda memandang agama setelah berkenalan dengan pendekatan-pendekatan baru itu?

Ada. Saya punya pengalaman yang sangat pribadi. Di dalam kultur santri seperti di pesantren, kita biasanya diajarkan bahwa kalau kulit laki-laki bersentuhan dengan perempuan, wudhunya batal. Kalau mau salat, makanya harus wudlu lagi. Nah, ketika saya membaca lebih banyak buku, saya menjumpai madzhab yang mengatakan bahwa maksud lain dari bersentuhan di situ. Yang dimaksud adalah persetubuhan, dan itulah yang pasti membatalkan wudhu. Karena itu, kalau saya bersentuhan dengan perempuan lain, wudhu saya tidak rusak dan saya bisa salat.

Akal atau rasio tentu menerima itu. Tapi untuk mengubah pola pandang lama, kita juga butuh waktu yang lama. Jadi, tidak bisa begitu ada sesuatu yang masuk akal, tingkah laku orang dalam beragama langsung berubah. Belum tentu. Perubahan-perubahan pandangan keagamaan, terkadang tidak serta merta mengubah pola pengamalan agama. Misalnya, bolehkah saya menjadi makmum seorang imam perempuan? Memang ada dalil yang membolehkan. Tapi untuk mengerjakannya, kita tidak serta merta bisa. Begitulah yang terjadi dalam hal-hal yang bersifat ibadah, juga persoalan teologis.

Apa yang membuat Anda berminat untuk membuka diri terhadap wawasan-wawasan keagamaan baru?

Karena ada hadis Nabi yang mengatakan, ”Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina!” Apa artinya itu dan mengapa Nabi menyuruh itu? Saya memahaminya sebagai anjuran agar kita berusaha memahami tradisi dan kebiasaan orang lain, bahkan iman atau tidak berimannya orang lain. Semua itu dibuka peluangnya oleh Rasullah. Ketika kuliah di Universitas Kristen, memang ada badai yang menimpa saya saat coba memahami orang lain. Saya dibilang sudah masuk Kristen, murtad, dan seterusnya. Sampai-sampai ayah saya sangat sedih.

Tantangannya memang banyak ketika itu. Waktu pertama kali masuk di universitas itu, banyak sekali kebiasaan-kebiasaan baru yang belum bisa dibayangkan oleh dunia santri. Di situ ada kebaktian, pengajian kitab Injil, dan lain-lain. Tapi dari situ saya tahu, orang Kristen yang di lingkungan saya dingggap kafir, ternyata tidak sejelek yang dipersepsi. Mereka disiplin, menghormati orang lain, punya kitab suci, dan kalau berdoa khusu’ bukan main, sampai meneteskan air mata. Nah, ini pengalaman kehidupan lain yang sebelumnya belum saya alami. Saya banyak belajar dari situ.

Tapi memang, banyak pemimpin agama yang melarang umatnya belajar agama lain. Saya dapat memahami itu. Sebab, dalam agama itu memang banyak sisinya. Ada aspek teologi yang ikut melarang. Kedua, bagaimana agama itu diajarkan. Ketiga, dan ini yang sering

kali menjadi perdebatan, soal kaitan antara agama dan politik identitas. Nah, pada sisi ketiga inilah ada perebutan kekuasaan yang mengatsnamakan agama. Biasanya, jenis yang ketiga ini akan berujung pada kekerasan, sehingga terjadi kekerasan antaragama seperti Perang Salib. Kelihatannya, semangat Perang Salib itu jugalah yang kini dihembuskan lagi, misalnya di daerah konflik seperti Poso.

Di tingkat global, Presiden AS, George W Bush juga menggunakan sentimen agama untuk melawan terorisme. Dia bilang, saya mendapat perintah Tuhan untuk melawan para teroris itu. Jadi dia juga membangkitkan sentimen keagamaan. Nah, sentimen keagamaan yang dia bangkitkan itu mengundang reaksi balik dari orang lain yang tidak mau diperlakukan sebagai teroris. Bagi saya, kalau ada upaya-upaya serius untuk memahami ajaran dan menghormati orang lain, barang kali konflik-konflik fisikal bisa kita hindari.

Anda masih merasakan adanya pertentangan-pertentangan ideologis masa lalu Indonesia yang muncul lagi saat ini?

Pergulatan ideologis yang terjadi di Indonesia tak bisa dilepaskan dari pergulatan-pergulatan politik yang terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Kalau bertolak dari masa Orde Baru, selama 30 tahun kita hidup terkekang. Nah, sekarang kekangan itu sudah lepas sehingga orang merasa bebas untuk mengekspresikan apapun juga. Itu artinya, orang-orang yang punya paham apapun, termasuk pemahaman agama yang radikal, merasa punya peluang dan hak untuk mengekspresikan keyakinannya. Dengan kata lain, sekarang kehidupan Indonesia lebih bervariasi dari pada sebelumnya.

Tapi kita juga melihat, di samping ada gerakan-gerakan yang sangat militan dan radikal, ada juga gerakan yang sangat moderat di berbagai macam ideologi dan agama. Di dalam Islam, ada yang radikal dan ada yang moderat. Begitu juga di agama-agama lain. Saya menduga, kerusuhan-kerusuhan atau konflik-konflik yang muncul saat ini, antar lain merupakan ekspresi dari kehendak kelompok-kelompok yang bisa disebut radikal guna memenangkan pertarungan-pertarungan atau hegemoni politik, bukan hanya hegemoni agama.

Karena menangangi kasus Ahmadiyah di Komnas HAM, apa penilaian Anda tentang perlakuan semena-mena sebagian orang terhadap jemaat Ahmadiyah saat ini?

Ada orang-orang yang yakin sekali bahwa Ahmadiyah itu berbahaya. Prinsip ajarannya mereka anggap sudah bukan Islam lagi. Dalilnya, Nabi Muhammad dianggap bukan nabinya lagi, dan seterusnya. Itulah persepsi orang-orang tertentu. Ketika berinteraksi langsung dengan pimpinan-pimpinan dan kyai-kyai Ahmadiyah, mereka mengatakan bahwa nabi mereka tetap nabi Muhammad, Tuhannya juga sama dengan orang Islam umumnya, kiblatnya juga sama, Qurannya juga sama.

Artinya, ada sesuatu yang dipercaya, yang tidak jelas juntrungannya, yang selama ini digunakan sebagai alat untuk menyingkirkan rival tertentu oleh kelompok tertentu. Dan Ahmadiyah itu dianggap rival oleh kalangan mainstream. Mengapa? Saya duga karena

pencetus Ahmadiyah itu datang dari India, bukan Arab. Sekarang, pusatnya berada di London, bukan Mesir atau Arab Saudi. Persaingan pusat dan pinggiran itu memuncak menjadi pertikaian dan saling tidak suka. Pandangan itulah yang dikembangkan. Siapa yang mengembangkan, masih harus kita cari bersama-sama.

Tapi bagi saya, kalau diadakan dialog, saling menghargai, mungkin tindakan-tindakan kekerasan selalu bisa dihindarkan. Apakah ajaran Ahmadiyah itu berbahaya atau tidak, tergantung bagaimana kita melihatnya. Semua ajaran yang bertahan hidup, selalu akan mempengaruhi otak manusia. Dia akan bahaya kalau kita perlakukan sebagai musuh yang dianggap mengancam eksistensi kita. Tapi kalau diperlakukan sebagai aliran yang harus dihormati, mungkin tidak berbahaya. []

Arab Saudi dan Islam Moderat

Oleh Ihsan Ali-Fauzi

30/04/2007

Karena watak Wahhabisme itu, banyak orang skeptis dengan niat pemerintah Arab Saudi mengembangkan Islam moderat (terutama) di Indonesia. Bukankah inti moderasi adalah kesiapan untuk memahami dan menerima yang lain, yang bertentangan dengan semangat

utama Wahhabisme?

Niat pemerintah Arab Saudi untuk bekerjasama dengan Indonesia dalam menumbuhkan pemikiran Islam moderat merupakan langkah maju. Niat itu disampaikan salah satu pejabat tingginya beberapa waktu lalu, setelah bertemu Presiden SBY di Jakarta. Dan niat itu kembali ditegaskan kepada Wapres JK ketika berkunjung ke Arab Saudi untuk Konferensi OKI. Sebelumnya, tak pernah terdengar pemerintah Arab Saudi memiliki niat itu. Yang kita tahu, mereka menyebarkan Wahhabisme ke seluruh dunia. Wahhabisme adalah doktrin resmi Kerajaan Arab Saudi. Paham ini dikenal ekstrem dan puritan, menekankan kemurnian “Islam Arab” dan mengecam pencampurannya dengan tradisi lokal. Filsafat dan tasawuf, misalnya, dianggap haram, karena keduanya dipandang barang impor dari Yunani, Persia dan Turki. Para pemimpin Wahhabi juga mengklaim, merekalah penerus generasi awal Nabi Muhammad yang paling otentik, sedang yang lainnya tidak layak dan harus dibungkam, jika perlu dengan kekerasan.

Karena watak Wahhabisme itu, banyak orang skeptis dengan niat pemerintah Arab Saudi mengembangkan Islam moderat (terutama) di Indonesia. Bukankah inti moderasi adalah kesiapan untuk memahami dan menerima yang lain, yang bertentangan dengan semangat utama Wahhabisme? Persoalannya saya kira bukan bisa atau tidak bisa, tapi bagaimana membuatnya bisa, berjalan seefektif dan semaksimal mungkin.

Kucuran Dana, Ekspansi Pengaruh

Sebelum masuk ke langkah-langkah rinci, harus diakui bahwa keinginan di atas tentu terkait dengan dana bantuan luar negeri dan perluasan pengaruh. Ini lumrah dalam semua hubungan antarnegara. No free lunch! Tak ada bantuan gratis.

Secara prinsip, keinginan itu tak boleh dihambat. Sebagaimana kita terima bantuan dari beragam pemerintah Barat, dana bantuan dari Arab Saudi juga harus dibolehkan masuk. Kalau dari AS dan Iran boleh, mengapa dari Saudi tidak?

Selain itu, dana Saudi juga terbukti bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan domestik. Selama ini, banyak lembaga pendidikan dan dakwah di Tanah Air, yang kurang dibantu pemerintahan kita sendiri, mengandalkan dana dari Timur Tengah untuk bertahan hidup. Banyak pula pelajar dan mahasiswa kita yang memperoleh beasiswa dan belajar di negara-negara Timur Tengah.

Soalnya menjadi lain jika dana itu digunakan untuk mengembangkan pemikiran dan aksi-aksi yang pada akhirnya bisa mengancam keamanan dan ketertiban negara. Sejak peristiwa 11 September 2001, Arab Saudi memang gencar dituduh sebagai pihak yang turut mendanai pengembangan pemikiran Islam radikal yang antara lain bisa berujung pada aksi-aksi teroris. Seperti dikemukakan Millard Burr dan Robert Collins dalam Alms for Jihad (2006), tuduhan paling gencar datang dari AS, sekutu terdekat Arab Saudi. Dalam pernyataan persnya (19 Februari 2004), Departemen Keuangan AS mengatakan, beberapa lembaga penyalur dana Saudi “tidak saja telah membantu tersebarnya kematian manusia dan kerusakan, tetapi juga telah mengelabui banyak orang untuk percaya bahwa mereka sedang menyebarkan kebaikan” (dikutip Burr dan Collins, 2006: 204).

Tapi ini masalah kompleks sehingga perlu disikapi secara hati-hati. Pertama, penerima dana Saudi bukan hanya muslim radikal. Muslim radikal pun tak monolitik. Mereka terbagi ke dalam kelompok yang membolehkan aksi kekerasan dan yang tidak. Mereka juga terpecah ke dalam kelompok yang mendukung aksi teroris dan yang mengecamnya. Kedua, menisbatkan aksi-aksi kekerasan di Indonesia hanya kepada faktor-faktor eksternal, seperti dana Saudi, juga tidak adil. Radikalisme Islam memiliki benih dan preseden dalam sejarah kita.

Pendeknya, kritik atas dana Saudi tidak bisa main hantam. Tak boleh ada standar ganda: dana dari negeri asing lain, diperbolehkan; tapi dari negeri-negeri muslim Timur Tengah, dilarang atau dihambat. Bahaya lainnya: tersumbatnya dana Timur Tengah akan mempersulit lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah Islam lokal untuk terus hidup, membuka kemungkinan lebih banyak orang menganggur, dan seterusnya. Ujungnya, ini akan memperkuat teori konspirasi, bahwa kita memang rentan terhadap tekanan “Barat” yang mau menghambat kemajuan Islam. Bukankah ini hanya mempersubur lahan radikalisme Islam?

“Menjinakkan” Wahhabisme

Menarik menyimak bagaimana pemeritah Saudi bereaksi terhadap tuduhan bahwa mereka mendukung Islam radikal, bahkan teroris. Pada 8 November 2002, Pangeran Salman bin Abd al-Aziz, Gubernur Riyadh, berkata: “Ketika seseorang memberi zakat kepada seorang miskin, ia tidak dapat mengajukan syarat-syarat tentang bagaimana si miskin itu akan memanfaatkan dananya. Jika dana itu digunakan untuk melakukan aksi-aksi kejahatan tertentu, maka hal itu bukanlah tanggung jawab si pemberi dana” (dikutip Burr and Collins, 2006: 26).

Ada kesan lepas tangan di sini. Bagaimana jalan tengah bisa dicapai? Yakni agar dana tetap tersalurkan, tetapi bahaya dana itu jatuh ke tangan kelompok yang salah bisa dihindari? Pertama, perlu ditegaskan kepada pemerintah Saudi agar mereka transparan dalam menyalurkan dana. Hal ini juga harus dimintakan kepada lembaga-lembaga donor Saudi yang bukan pemerintah–dan di sini kerjasama dengan pemerintah Saudi mutlak diperlukan. Dengan begitu bisa diketahui kepada siapa dana itu disalurkan dan untuk apa.

Strategi kedua adalah dengan “menjinakkan” ekspansi Wahhabisme. Kita harus mendudukkan perkara ini, karena Wahhabisme bagaimanapun adalah doktrin resmi Kerajaan Arab Saudi, yang pasti akan didesakkan kepada kita. Caranya, antara lain, dengan melibatkan mereka di dalam berbagai kegiatan dialog antariman. Kegiatan ini tak kalah pentingnya dibanding dialog ataragama. Karena, seperti umum diketahui, kekerasan sektarian terjadi bukan hanya di antara pemeluk agama yang berbeda, tetapi juga di antara pemeluk agama yang sama. Kekerasan Syi`ah melawan Sunni di Irak adalah contoh terakhir yang memilukan.

Percaya Diri

Kunci keberhasilan strategi di atas adalah jika kita punya rasa percaya diri yang cukup dan siap mendesakkan agenda-agenda di atas. Dan kita punya sumberdaya yang cukup untuk itu. Kesempatan pun ada di pihak kita.

Ingat: di mata dunia, setelah peristiwa 11 September 2001, di mana 15 dari 19 teroris yang terlibat adalah warganegara Arab Saudi, kerajaan itu sedang sempoyongan dan sedang memperbaiki citra. Mereka antara lain menutup beberapa lembaga penyalur dana mereka di dunia. Dengan begitu, mereka sebenarnya sudah mengakui, setidaknya sebagian, tuduhan bahwa mereka ikut mengembangkan paham Islam radikal yang menumbuhkan terorisme. Inilah yang memecut mereka untuk memperbaiki citra. Niat kerjasama yang disampaikan pejabat pemerintah Arab saudi di depan SBY dan JK beberapa minggu lalu adalah bagian dari proyek memperbaiki citra ini.

Dibanding Arab Saudi, citra Indonesia jauh lebih baik. Sudah lama kita dikenal sebagai negeri muslim moderat, dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Kita juga negara yang tengah mengonsolidasikan demokrasi, yang keberhasilannya bisa menjadi contoh cocoknya perpaduan demokrasi dan Islam.

Ketika keharuman Islam belakangan ini dirusak segelintir pengikutnya yang memperjuangkan kepentingan mereka dengan aksi-aksi kekerasan, mata dunia tertuju ke kita, untuk mengembalikan keharuman itu. Ini mungkin beban terlalu berat untuk kita pikul, tetapi jelas ia memberi kesempatan dan sumberdaya kepada kita untuk mendesakkan agenda-agenda kita di dunia, termasuk dalam kerjasama kita dengan pemerintah Arab Saudi.

Siapa pun boleh bersikap skeptis terhadap niat pemerintah Saudi mengembangkan Islam moderat. Tetapi skeptisisme saja kurang membantu. Akan lebih produktif jika kita menerapkan beberapa strategi yang bisa mengurangi skeptisme kita, sambil mendesakkan kepentingan dan agenda sendiri

Ketika Negara Mengintervensi Agama

Oleh Abd Moqsith Ghazali

19/02/2004

Sekiranya RUU KUB jadi diundangkan, maka sejumlah orang yang memiliki pemikiran yang berada di luar pemikiran dominan mainstream akan bernasib sial, karena mereka bisa-bisa

mendapatkan sanksi pidana.Perselisihan tafsir atas agama selalu berakhir dengan eks-komunikasi, penghancuran, dan

pembunuhan. Luar biasa mengerikan. Padahal, bertafsir dan berijtihad bukanlah tindak kriminal yang harus dipidanakan. Jika ini terjadi, maka kita telah kembali ke abad pertengahan. Adalah Khalifah al-Qadir yang pernah melakukan inkuisisi terhadap orang-orang yang berada di luar cetak biru ideologi Mu'tazilah, ideologi yang telah menjadi pilihan negara Abbasiyah saat lampau. Sejarah mencatat, Abdullah bin Khabab, Abu Manshur al-Hallaj, Ahmad ibn Hanbal, Ibnu Rusyd, merupakan deretan orang yang menjadi korban dari kesewenang- wenangan negara hegemonik.

Era reformasi tampaknya belum benar-benar berhasil menghapus karakter dan kebiasaan buruk Orde Baru yang hegemonik dan intervensionis. Sebagaimana rezim Soeharto, rezim Megawati kini juga suka mengatur dan mengintervensi aktivitas keberagamaan umat di Indonesia. Segala gerak langkah umat beragama selalui diawasi, dikontrol, dan dipantau sehingga tidak mengganggu stabilitas dan keamanan kawasan. Indikator yang paling telanjang menyangkut pokok soal ini adalah dikeluarkannya RUU Kerukunan Umat Beragama oleh Pemerintah Indonesia melalui Badan Litbang Departemen Agama.

RUU KUB ini tergolong sangat tipis, karena hanya terdiri dari 15 bab dan 21 pasal. Hakikatnya, RUU ini memiliki tujuan adilihung, yaitu untuk memelihara kerukunan dan keharmonisan di kalangan umat beragama. Tidak tanggung-tanggung, RUU KUB ini memikul asas toleransi, pluralisme, dan kebebasan beragama (Pasal 2). Namun, tujuan adiluhung RUU KUB itu menjadi tawar kembali ketika kita membaca detail pasal-pasalnya. Batang tubuh RUU KUB niscaya mengandung bahaya dan problem yang cukup serius.

Memaksa? Pertama, melalui rancangan perundang-undangan, pemerintah Indonesia hendak memaksa

warganya untuk mengikuti dan menganut agama-agama yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Warga negara yang menganut agama di luar agama-agama yang ditetapkan itu (Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha) tentu akan kehilangan hak-hak keberagamaannya. Tindakan seperti ini tentu saja amat bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk memilih suatu agama bahkan untuk tidak beragama. Nabi Muhammad sekalipun pernah ditegur oleh Allah atas upaanya untuk memaksa seseorang agar masuk Islam. "Apakah kamu akan membenci manusia hingga mereka beriman (Afa anta tukrihu al-nas hatta yakunu mu`minin)". Allah SW melalui firman-Nya, faman sya`a falyukmin wa man sya`a falyakfur, telah memberikan kebebasan mutlak bagi manusia untuk bertuhan atau tidak bertuhan. Dengan meminjam terminologi ushul fikih, RUU KUB ini jelas berpunggungan dengan prinsip dasar Islam paling puncak, hifdz al-din (kebebasan dalam beragama).

Kedua, RUU KUB ini telah bertindak amat angkuh ketika memposisikan diri sebagai penentu bagi sah dan tidaknya sebuah agama. Telah diputuskan, misalnya, bahwa agama yang sah di Indonesia hanya ada lima, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha [Pasal 1 Ayat (1)]. Selain yang lima itu adalah batal dan tidak memenuhi persyaratan sebagai sebuah agama. Padahal,

secara faktual, agama dan keyakinan yang bersemai di bumi Indonesia ini bukan hanya lima, melainkan banyak-tak terkira. Dulu, melalui UU No 1/PNPS/1965, Konghucu pernah diakui sebagai agama resmi yang dapat secara sah tumbuh di Indonesia. Namun, sejak diterbitkannya keputusan Mendagri No 221a 1975 yang mengacu pada Tap MPR No. IV/MPR/1978, maka agama Konghucu kembali dianggap sebagai agama liar, seperti keliaran agama Bahai, Sikh, Adat Karuhun Kuningan dan lain-lain. Karena tidak diakui sebagai sebuah agama, sebagai konsekuensinya maka Bahai, Konghucu, Sikh, dan sebagainya tidak berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan ajaran-ajaran-nya. Perlindungan hanya diberikan kepada agama-agama yang diresmikan oleh ne- gara. (Lihat Pasal 4 RUU KUB).

Ketiga, RUU itu memiliki ambisi untuk mengatur dan mengawasi segala aktivitas keberagamaan di Indonesia. Aktivitas keberagamaan yang selama ini telah berlangsung di tengah masyarakat, tiba-tiba hendak diatur dan ditertibkan oleh negara melalui perundang-undangan. Padahal agama dan negara adalah dua entitas yang berbeda. Masing-masing tidak boleh saling mengintervensi. Sejarah Indonesia telah menunjukkan betapa kehadiran negara dalam panggung agama seringkali justru menjadi petaka daripada menjadi rahmat. Umat beragama yang plural yang sudah terbiasa saling bekerja sama, saling memahami, hidup rukun, maka dengan intervensi negara melalui RUU KUB ini bisa menjadi cerai berai.

Terus terang, pokok soal ini bermula dari kekeliruan negara di dalam mempersepsikan agama. Agama telah diletakkan sebagai sumber konflik, setangkup dengan etnis, suku, dan sebagainya. Sebagaimana tertera dalam naskah akademik RUU KUB ini, agama dinilai mengandung magma konflik yang luar biasa, dengan demikian ekspresi keberagamaan perlu diatur.

Pluralitas agama akan menjadi malapetaka dan ketidakrukunan sekiranya tidak ada peraturan semacam UU KUB. Dengan argumen ini, tampak dengan jelas arogansi negara untuk menghakimi agama-agama. Padahal, mestinya negara cukuplah menjadi fasilitator dari agama dan bukan menjadi hakim dari agama. Kekeliruan rezim Soeharto di dalam memperlakukan agama dan para pemeluknya tidak selayaknya terulang kembali pada era reformasi ini.

Hegemoni dan Monopoli Keempat, RUU KUB ini berupaya untuk melakukan hegemoni dan monopoli tafsir atas

agama (Pasal 17 Ayat 1 RUU KUB). Segala jenis tafsir atas agama (Islam) yang tidak sejalan dengan tafsir resmi, karuan saja akan diberangus. Implikasinya, kegiatan ijtihad dan bertafsir oleh setiap umat beragama akan terhenti, karena tafsir atas agama telah dikuasai dan dimonopoli oleh sekelompok orang. Segala pemikiran akan diseragamkan. Tindakan pemberangusan terhadap pemahaman yang tidak bersejalan dengan tafsir resmi akan terus dilakukan. Pola pemberangusan seperti itu tentu saja sangat problematis di tengah antusiasme Islam yang senantiasa mengobarkan semangat kebebasan berpikir (hifdz al-'aql).

Tegasnya, sekiranya RUU KUB jadi diundangkan, maka sejumlah orang yang memiliki pemikiran yang berada di luar pemikiran dominan mainstream akan bernasib sial, karena mereka bisa-bisa mendapatkan sanksi pidana. Perselisihan tafsir atas agama selalu berakhir dengan eks-komunikasi, penghancuran, dan pembunuhan. Luar biasa mengerikan. Padahal, bertafsir dan berijtihad bukanlah tindak kriminal yang harus dipidanakan. Jika ini terjadi, maka kita telah kembali ke abad pertengahan. Adalah Khalifah al-Qadir yang pernah melakukan inkuisisi terhadap orang-orang yang berada di luar cetak biru ideologi Mu'tazilah, ideologi yang telah menjadi pilihan negara Abbasiyah saat lampau. Sejarah mencatat, Abdullah bin Khabab, Abu Manshur al-Hallaj, Ahmad ibn Hanbal, Ibnu Rusyd, merupakan deretan orang yang menjadi korban dari kesewenang- wenangan negara hegemo-nik.

Bahkan, dalam jangka panjang, sekali lagi kalau RUU KUB ini positif menjadi undang-undang, maka tidak tertutup kemungkinan sejumlah tradisi dan kearifan-kearifan lokal sekiranya

oleh penguasa yang menganut ideologi tertentu dipandang sebagai aliran sesat yang menyimpang dari Islam maka akan dilarang hadir di bumi Indonesia. Tradisi ziarah kubur orang NU, waktu telu Orang Sasak, amalan tarekat para mistikus, dan sebagainya akan dibumihanguskan. Di sinilah bahaya dari negara jika terlibat sebagai hakim yang memegang palu godam untuk menentukan sah-tidaknya sebuah jenis penafsiran dalam agama.

Kelima, RUU KUB itu tampak sangat diskriminatif terhadap agama minoritas dan meng-anak emas-kan agama mayoritas. Mayoritas yang dimaksudkan adalah kelompok terbesar dari umat agama tertentu yang terletak pada suatu daerah atau wilayah. Tentu saja, mayoritas yang diuntungkan oleh RUU KUB ini bukan hanya Islam, seperti halnya di Jawa. Melainkan juga umat non-Islam, sebagaimana Hindu yang mayoritas di Bali, atau Kristen yang mayoritas di Ambon, dan sebagainya. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana nasib umat Islam yang minoritas di Kawasan Timur Indonesia, dan bagaimana nasib umat agama non-Islam yang minoritas di Jawa.

Sindrom mayoritas-minoritas sungguh amat berbahaya di tengah kondisi negara Indonesia yang tidak sepenuhnya normal. Dalam konteks demikian, maka mayoritas merupakan monster bagi yang minoritas. Begitu juga sebaliknya, yang minoritas adalah mangsa mayoritas. Keresahan akan timbul di mana-mana, terutama di kalangan minoritas.

Jika RUU KUB tidak segera dicegah-tangkal, maka tak ayal lagi akan terjadi gelombang konflik dan perkelahian massal antar umat beragama di pelbagai ruas wilayah Indonesia. Alih-alih untuk menciptakan kerukunan, yang terjadi justru RUU KUB akan menjadi bumbu dan penyulut konflik di tengah masyarakat..

Akhirnya, sebagai wujud partisipasi publik di dalam proses penentuan fondasi perundang-undangan, maka umat beragama kiranya tidak bisa berdiam diri menghadapi RUU KUB yang nyata-nyata akan mengganggu komunikasi internal umat suatu agama dan antar umat beragama di Indonesia. Melaui medium ini pula, perlu kita serukan bagi seluruh umat beragama di Indonesia untuk bangkit agar negara tidak bertindak intervensionis terhadap aktivitas keberagamaan di Indonesia

Muhammad Imarah:

Turâts, Tajdîd dan Relasi Agama-Negara

Oleh Tedi Kholiludin

07/03/2004

Sosok Muhammad Imarah juga bisa dikategorikan sebagai seorang intelektual kelas kakap di Tanah Arab. Responnya yang cukup antusias pada dunia akademis, terutama dalam menyikapi tren pemikiran Islam, telah mengibarkan namanya dalam dunia pendidikan dan pemikiran Islam kontemporer. Salah satu karyanya dalam merespons pemikiran tokoh sezamannya, adalah sebuah buku berjudul Suqûthul Ghuluwwil Almcnî (Gugurnya Kenaifan Kaum Sekuler). Buku ini merupakan karya ilmiahnya dalam merespons pemikiran Muhammad Sa`id Al-Asymawi yang cenderung sekuler.

Dalam diskursus turâts dan tajdîd, nama Muhammad Imarah mungkin bisa disejajarkan dengan sosok Hasan Hanafi atau Muhammed Abed Al-Jabiry. Mereka sama-sama menyerukan umat Islam untuk kembali menggali dan berdialog secara kritis dengan khasanah intelektual klasik yang selama ini berada dalam wilayah unthinkable. Sementara untuk urusan relasi agama dan negara, Muhammad Imarah sering disetarakan dengan sosok Ali Abdul Raziq. Bagi mereka berdua, Islam dan politik adalah dua entitas yang berbeda dan tak mungkin disatukan. Dalam beberapa hal, Imarah mengritik tajam Abdul Raziq yang terkesan sekuler, tapi di lain sisi, dia banyak terpengaruh oleh gurunya itu dalam menginterpretasi wahyu Tuhan dalam konteks politik dan ketatanegaraan.

Muhammad Imarah atau Amarah lahir di Desa Sharwah-Qalain Propinsi Kafr Al-Syaikh Mesir dalam sebuah lingkungan keluarga yang sangat sederhana. Meski kondisi perekonomian keluarganya tidak berlebihan, minatnya di bidang pendidikan tidak lantas jadi berkurang. Terbukti pada tahun 1975, ia berhasil menggondol gelar doktor dengan disertasi yang berjudul Al-Islâm wa Falsafatul Hukm (Islam dan Falsafah Pemerintahan).

Sosok Muhammad Imarah juga bisa dikategorikan sebagai seorang intelektual kelas kakap di Tanah Arab. Responnya yang cukup antusias pada dunia akademis, terutama dalam menyikapi tren pemikiran Islam, telah mengibarkan namanya dalam dunia pendidikan dan pemikiran Islam kontemporer. Salah satu karyanya dalam merespons pemikiran tokoh sezamannya, adalah sebuah buku berjudul Suqûthul Ghuluwwil Almcnî (Gugurnya Kenaifan Kaum Sekuler). Buku ini merupakan karya ilmiahnya dalam merespons pemikiran Muhammad Sa`id Al-Asymawi yang cenderung sekuler.

Selain cukup responsif terhadap tren pemikiran baru, Muhammad Imarah juga termasuk pemikir Islam yang termat menghargai pemikiran pendahulunya. Di antara pemikir muslim yang selalu mengilhaminya dan untuk itu dia apresiasi melalui karya ilmiah antara lain: Muhammad Abduh (melalui buku Al-Imâm Muhammad ‘Abduh: Mujaddidud Dunyâ bit Tajdîdid Dinî [Imam Muhammad Abduh: Pembaru Dunia Melalui Pembaruan Agama]); Jamaluddin Al-afghani (melalui buku Jamâluddin Al-Afghânî: Munqidzus Syarq wat Tamaddun Al-Islâmî [Jamaluddin Al-Afghani: Pembangkit Dunia Timur dan Peradaban Islam]); Qasim Amin (melalui buku Qâsim Amîn: Tahrîrul Mar`ah wat Tamaddun Al-Islâmî), serta Abdurahman Al-Kawakibi (melalui buku Al-A`malul Kâmilah li Abdir Rahmân Al-Kawâkibî [Kompilasi Karya Abdurrahman Al-Kawakibi]). Apresiasinya yang cukup dalam terhadap tema-tema baru keislaman, di samping penghargaannya yang tinggi terhadap karya klasik Islam, telah menjadikan Imarah sebagai pemikir Islam kontemporer yang cukup disegani.

Revitalisasi Turâts Salah satu tema besar pemikiran Muhammad Imarah adalah proyek revitalisasi turâts.

Muhammad Imarah, seperti halnya Hasan Hanafi dan Muhammed Abed Al-Jabiry nampaknya masih mempercayai turâts sebagi kekuatan revolusioner yang tak pernah tersentuh (untouchable). Proyeksi turâts dalam konteks masyarakat muslim saat ini, merupakan sebuah dialog tradisi antar ruang, yang membutuhkan energi besar karena harus menggali kembali warisan masa lalu. Di dalam proyek ini terpendam kesungguhan untuk menjadikan turats sebagai teks baru umat Islam. Sebab dalam pandangan Muhammad Imarah, turâts bisa menjadi salah satu solusi problem umat Islam saat ini. Hanya saja kesadaran untuk mengembalikan nilai luhur turâts, ternyata belum muncul dalam ruang kesadaran umat Islam. Turâts selalu diidentifikasi sebagai rongsokan dogma kaku yang mengkristal, serta hanya berproses pada masa yang sudah lewat.

Bagi Imarah, turâts tidak hanya sekedar warisan budaya dan peradaban yang terkubur dan berada dalam kerangkeng pemikir masa lalu. Turâts baginya tetap masih diperlukan spiritnya pada saat ini, terutama dalam menghadapi kooptasi peradaban lain atas dunia Islam. Dengan demikian, starting point atau langkah awal untuk menghidupkan kembali turâts (ihyâ’ut turâts) dalam konteks masyarakat saat ini adalah dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai turâts dan kontribusinya dalam setiap pranata kehidupan. Selain itu, umat Islam juga harus memahami adanya korelasi antara turâts dengan tujuan serta orientasi umat Islam saat ini.

Salah satu yang menjadi orientasi umat dalam rangka revitalisasi turâts , menurut Imarah adalah melalui optimalisasi fungsi dan peran akal dalam menerjemahkan wahyu Tuhan. Dengan kata lain, kebebasan berpikir yang dibangun di untuk menghidupkan kembali turâts harus menjadi salah satu tugas mahapenting umat Islam. Sebab, ternyata turâts membuka ruang yang cukup lebar bagi akal untuk dapat menemukan makna dari diturunkannya wahyu.

Hanya saja premis yang diterima oleh sebagian besar umat Islam tidak selalu mencerminkan hal di atas. Kebebasan berpikir selalu diasosiasikan dengan budaya Barat yang sudah sejak lama menyuarakannya. Jebakan discourse ini pada gilirannya akan menggiring kita pada kesimpulan bahwa umat Islam ternyata tidak punya banyak ruang dalam wacana kebebasan berpikir. Argumen yang dikemukakan para orientalis untuk mendukung tesis ini, biasanya didasarkan pada tiga hal.

Pertama, dalam kelompok Islam, hanya kalangan Muktazilah saja yang menyuarakan pentingnya kebebasan berpikir. Padahal dalam sejarah Islam, Muktazilah hanyalah sebuah sekte kecil. Kedua, kebebasan berpikir yang dianut kaum Muktazilah, itu pun menurut para orientalis, lebih karena pengaruh kalangan Kristen rasionalis yang masuk Islam. Ketiga, para orientalis juga mencermati bahwa Muktazilah sebagai kaum yang menyuarakan kebebasan berpikir, juga merupakan bagian dari rezim pro status quo dalam wilayah politik. Dengan demikian, poin kebebasan berpikir Muktazilah menjadi tereduksi oleh sikap politiknya sendiri. Dan ini akibatnya membuat kalangan orientalis meremehkan peran Muktazilah dan menyebutnya tidak banyak membuka peran akal.

Menanggapi hipotesa kaum orientalis ini, Muhammad Imarah tergerak untuk menyangkalnya. Kesimpulan ini, menurut Imarah sangat tergesa-gesa. Karena dilihat dari sudut pandang manapun, serta dalam corak kehidupan manapun, kaum Muktazilah jelas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada manusia. Baik dalam dimensi fikih, muamalah, akidah dan siyasah, kelompok Muktazilah tetap menjadikan kebebasan sebagai panglima dalam mewujudkan kemaslahatan.

Tapi menurut kacamata orientalis, idiom kebebasan berpikir yang berpijak pada nilai turâts sama artinya dengan tunduk pada iltizâmât (ikatan-ikatan agama yang rigid). Inilah yang menjadikan dua tema itu (kebebasan dan iltizâmât) menjadi paradoks. Ini kemudian berakhir pada keyakinan akan terkesampingnya kebebasan dari alam pikiran kaum Muktazilah. Padahal, kebebasan berpikir

tidak bisa diartikan sama dengan kebebasan. Bila keduanya dilihat secara literal, pun tidak pernah menunjukan satu makna yang inheren.

Tapi disamping itu, secara jujur Imarah mengakui bahwa unsur kebebasan berpikir dalam Islam memang tidak cukup mendapat perhatian para orientalis. Ini disebabkan dalam kamus Muktazilah, frase yang digunakan untuk menandai upaya pembebasan nalar adalah idiom al-ikhtiyâr sebagai antonim dari al-jabr, bukan huriyyatul fikr, atau kebebasan berpikir. Sehingga, perbedaan pada level istilah yang dipakai menyebabkan perbedaan pada makna yang ditangkap. Padahal al-ikhtiyâr dalam perspektif kaum Muktazilah sama halnya dengan huriyyatul fikr, yaitu upaya untuk mengoptimalkan fungsi dan peran akal ketika menghadapi permasalahan yang mempunyai beberapa kemungkinan.

Meskipun demikian, Imarah tidak menafikan kenyataan bahwa kebebasan berikir sebagai salah satu produk kebudayaan Barat. Di sini terlihat sikap moderat Imarah. Imarah menganggap kebebasan berpikir sebagai warisan tradisi intelektual yang kuat bercokol dalam tradisi Barat. Maka dari itu, Imarah menganjurkan dialog, dengan tidak terjebak pada dikotomi Islam dan Barat. Selama ada produk peradaban Barat yang bisa ditiru dan sesuai dengan prinsip universalitas Islam, maka sangat memungkinkan untuk dijadikan basis epistemologi kajian keislaman. Karena menurutnya, al-hikmah dhallatul mu`min, aina wajadaha fahuwa ahaqqun nâs bihâ (kearifan merupakan barang tercecer kaum beriman; dimanapun mereka menjumpainya, mereka berhak merangkulnya). Dengan landasan itu, meski sebauah kearifan datang dari warisan “the other” yang berbeda (nonmuslim), asal selaras dengan nilai-nilai universal Islam, maka sepatutnya tetap dijadikan referensi.

Upaya penggalian turâts serta revitalisasi fungsinya, bagi Imarah tidak hanya berhenti pada temuan materi karya-karya para intelektual muslim seperti halnya karya Abu Utsman `Amru ibn Bahr Al-Jahidh (775-872 M) yang memuat berbagai inovasi serta dimensi baru dalam pelbagai hal yang dilandaskan pada kebebasan berpikir, ataupun filsafat Ibn Rusyd saja (Tafsir Mâ Ba`dat Thabî`ah dan lain-lain). Jauh lebih penting dari itu, perlu ada dialektika kritis dari para penggali turâts untuk menjadikan warisan intelektual itu lebih bisa menunjukan elan vitalnya. Sebab, jika turâts diejawantahkan “telanjang bulat” tanpa adanya usaha untuk menggali dan menyesuaikannya dengan konteks masyarakat, maka itu akan menyebabkan terkungkungnya nalar kreatif manusia dan menjebaknya dalam ortodoksisme. Dalam literatur umat Islam, piranti teologis yang sangat memungkinkan untuk berkreasinya nalar manusia dan keluar dari jebakan ortodoksisme, diformulasikan dalam bentuk ijtihad. Ijtihad harus dilakukan sebagai upaya untuk melakukan tajdîd (pembaruan). Karena hanya dengan tajdîd umat Islam akan tercerahkan, sekaligus dapat membuktikan fleksibilitas Islam dalam merespon pelbagai perubahan.

Otoritas Politik dan Pluralisme Selain memokuskan diri pada upaya ihya’ut turâts atau revitalisasi turâts dalam skala makro,

Imarah juga termasuk piawai dalam mencermati urusan politik dan ketatanegaraan. Ide-idenya tentang politik, dia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Al-Islâm Wsa Shultatut Dîniyyah (Islam dan Otoritas Agama), serta Al-Islâm wal Wahdatul Qaumiyyah (Islam dan Kesatuan Nasional) yang konon berhasil terjual 11.000 eksemplar hanya dalam waktu sepuluh hari (Issa J. Boulata: 2002).

Salah satu point pemikiran politiknya adalah kritikannya yang cukup pedas terhadap konsep hakimiyatuLlâh (kuasa Tuhan). Selain Syi`ah, menurut Imarah tidak ada komunitas Islam yang mengklaim adanya kemungkinan orang suci, utusan Tuhan, serta figur maksum dalam Islam. maka dari itu, tidak cukup alasan baik normatif maupun historis untuk membentuk kekuasaan atas nama Tuhan dalam Islam, khususnya dalam tradisi Sunni. Otoritas religius dengan mengatasnamakan Tuhan, menurutnya harus dihindari oleh umat Islam pada altar politik. Sistem pemerintahan apapun yang pernah ada dalam sejarah umat Islam, sama sekali tidak didasarkan atas firman Tuhan. Ini

dibuktikan pada prosesi pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah dan khalifah lainnya. Semua didasarkan atas hasil ijtihad semata.

Meskipun demikian, ini tidak menunjukkan bahwa Imarah menganggap Islam memisahkan urusan agama dengan dunia (fashl). Menurut Imarah, dalam kasus yang bersifat ijtihadi, yang terjadi adalah pembedaan wilayah ( tamyîz ) antara agama dan dunia. Ini artinya, Islam tidak melepaskan urusan dunia secara radikal, untuk kemudian menyebabkan dunia tercerabut dari nilai luhur yang melandasinya (baca: Islam).

Hanya saja, memberi karakter religius pada dimensi politik atau sistem pemerintahan, menurut Imarah akan sangat bertentangan dengan semangat Islam. Karakter religius hanya akan tercermin dan berada pada wilayah yang penduduknya mempunyai keimanan tunggal. Sementara politik, terimplementasi pada ranah yang diwarnai oleh berbagai bentuk keimanan. Ini persis seperti yang tergambar dalam Piagam Madinah. Umat Islam dalam Piagam Madinah, berada pada ranah satu kesatuan ummah dengan kaum Yahudi, Banu Auf dan yang lainnya.

Dalam sejarah umat Islam, memang terdapat masa-masa yang oleh Imarah disebut sebagai masa gelap sejarah muslim. Banyak di antara para khalifah yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan status quo, serta memberangus lawan politiknya dengan menggunakan kekuasaan (agama) yang kejam. Dalam pandangan Imarah, ini merupakan salah satu miskonsepsi dari interpretasi umat Islam terhadap teks-teks keagamaan.

Otoritas keagamaan pada hakikatnya tidak boleh dipaksakan oleh satu orang kepada orang lain. Masing-masing individu tidak berhak menentukan doktrin keagamaan yang paling absah, meski ia seorang qadhi atau khalifah. Karena otoritas yang dimiliki oleh individu adalah otoritas madani atau sipil yang dibingkai dalam frame hukum Islam. Otoritas ini berwenang sebatas pada memberikan nasihat dan menyerukan amar makruf, bukan untuk memaksakan sebuah doktrin yang akan menyebabkan timbulnya logosentrisme.

Pada kerangka otoritas politik, Imarah menegaskan bahwa Islam tidak menentukan sebuah model yang ideal dalam menjalankan roda pemerintahan, baik dalam pengangkatan pemimpin ataupun mekanisme pemerintahan. Sebab logikanya, aturan politik dibuat untuk kepentingan bersama yang didasarkan atas kebutuhan masyarakat pada saat itu. Formulasinya tentu akan disesuaikan dengan evolusi pemikiran manusia itu sendiri, selain locus (tempat) dan habitus (kebiasaan, adat, ‘urf) yang mereka anut.

Selain itu, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Imarah menekankan pentingnya memahami perbedaan agama dan keyakinan (tasâmuh). Sebab, tujuan sebuah negara dalam menciptakan stabilitas, tidak akan terwujud jika masing-masing individu yang berbeda keyakinan tetap mengedepankan sentimen primordialnya. Imarah kemudian merujuk pada beberapa ayat Al-Qur`an yang menurutnya telah meletakan fondasi yang cukup kuat bagi umat Islam dalam menyemai benih-benih toleransi, seperti pada QS. Hud: 18, An-Nahl: 93, dan As-Syuro: 8. dalam keyakinan Imarah, pada dasarnya agama adalah tunggal pada esensinya dan plural pada sisi ritualnya.

Sehingga, pada akhirnya posisi umat Islam dalam menghadapi persoalan keduniaan akan bermuara pada dua prinsip. Pertama, umat Islam harus meyakini bahwa agama yang diturunkan Tuhan termaktub dalam ajaran-ajaran Al-Qur`an. Untuk membantu memahaminya, umat Islam harus mencari bantuan Sunnah dengan tetap mengedepankan akal dalam mengawal proses interpretasi terhadap Al-Qur`an tersebut. Kedua, dalam persoalan politik dan hal lain yang tidak ada dalam Al-Qur`an, maka umat Islam harus menetapkannya melalui mekanisme pendapat personal atau ijtihad.

Menurut Imarah, pembaharuan (tajdîd) agama hanya dimungkinkan akan terjadi jika umat Islam berani melakukan ijtihad. Menurut Imarah, iktimâlud din (kesempurnaan agama) dan tajdîd pembaruan, meski sekilas terlihat paradoks, sebenarnya adalah dua hal yang integral dan mencerminkan murînatut islâm atau kelenturan Islam. Kesempurnaan agama Islam hanya berhenti

pada wilayah ushul (fondasi-fondasi pokok keagamaan). Tapi pada permasalahan furu` atau cabang-rantingnya, Islam belumlah sempurna. Makanya, ijtihad dan tajdîd adalah keniscayaan Islam. Ini tentunya dilakukan dengan mengedepankan kepentingan umat dan menjadikan Al-Qur`an sebagai landasan etika-moral.

Tedi Kholiludin, Mahasiswa Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo Semarang, Aktivis Komunitas eLSA (elemen Studi Agama).