praperadilaneprints.ulm.ac.id/4431/1/2. sebelum_praperadilan_dr... · kata pengantar maha puji...
TRANSCRIPT
-
PRAPERADILAN: SARANA PERLINDUNGAN
TERSANGKA DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA INDONESIA
-
DR. Anang Sophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.
EDITOR:
DR. ABDUL HALIM BARKATULLAH, S.H., M.Hum.
-
KATA PENGANTAR
Maha Puji Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga buku
“PRAPERADILAN: SARANA PERLINDUNGAN TERSANGKA DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA INDONESIA” ini bisa diselesaikan sesuai dengan target
yang telah ditentukan. Selain itu tak lupa bacaan salawat patut diucapkan
untuk Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang berpengaruh besar pada
peradaban manusia hingga menjadi sekarang ini.
Buku ini hanyalah salah satu dari sekian banyak buku tentang
praperadilan untuk membantu mahasiswa agar lebih mudah memahami
materi di samping kuliah dan buku-buku wajib lainnya karena, belajar
dari satu buku saja tidaklah cukup.
Penulis yakin bahwa buku ini banyak kekurangannya, maka oleh karena
itu setiap kritik yang bermaksud untuk menyempurnakan buku ini disambut
dengan gembira.
Semoga buku ini bermanfaat bagi para mahasiswa Fakultas Hukum pada
khususnya dan dunia hukum pada umumnya.
Banjarmasin, 7 Agustus 2018
Penulis
Dr. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.
-
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
INDONESIA
A. Makna Filosofis, Historis, Yuridis dan Sosiologis Lembaga Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia —17
B. Eksistensi Lembaga Pra Peradilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/
PUU-XII/2014 —60
C. Urgensi Pemberian Kewenangan Bagi Lembaga Praperadilan Dalam Menentukan
Batas Penyidikan Terhadap Tersangka Korupsi —63
BAB III
JANGKA WAKTU PENYIDIKAN OLEH KPK BERDASARKAN PUTUSAN
PRAPERADILAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
A. Pengaturan Tentang Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia —87
B. Pengaturan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan Pasca Penetapan Tersangka Berdasarkan Putusan Pra Peradilan —97
C. Kedudukan Tersangka dalam Hukum Acara Pidana —112
D. Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Tersangka Dalam Perspektif Hukum Acara
Pidana —113
E. Landasan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan oleh KPK Setelah Penetapan Tersangka
Berdasarkan Putusan Praperadilan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia —121
-
BAB IV PENGATURAN MASA YANG AKAN DATANG TERKAIT
KEWENANGAN LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM MEMBERIKAN
BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA
PUTUSAN PRAPERADILAN
A. Pengaturan Lembaga Pra Peradilan Dalam Ius Constituendum —145
B. Pengaturan Penyidikan dalam Ius Constituendum —149
C. Konsep Baru Pengaturan Batas Waktu Penyidikan KPK Dalam Lembaga
Praperadilan —151
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BIOGRAFI PENUILIS
-
BAB I
PENDAHULUAN
Hampir setiap hari kita disuguhkan episode-episode baru tindakan
korupsi yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan ini dengan modus
yang beragam. Masyarakat semakin hari semakin resah akan kasus korupsi
ini. Ironis melihat tindak pidana korupsi saat ini bukan menjadi kejahatan
terselubung, namun sudah menjadi tindak pidana yang dilakukan secara
terang-terangan. Para pelaku melakukannya tak lagi secara sembunyi-
sembunyi dan cenderung dilakukan secara berjamaah serta dengan modus
operandi yang bermacam-macam demi berjalannya praktek haram korupsi.
Perkembangan praktik korupsi di Indonesia sangat pesat dan sistemik.
Praktik haram korupsi sebagai tindakan yang melanggar hukum sekarang
sudah dianggap biasa bahkan sudah menjadi budaya. Ada selentingan
bahwa tidak melakukan korupsi dianggap sebagai pejabat yang “munafik”.
Inilah pikiran-pikiran yang harus dimusnahkan, terlebih sebagai pejabat
negara melayani warga negara. Praktik korupsi sejatinya merusak sistem
pembangunan negara indonesia yang sudah berpuluh-puluh tahun dirancang
oleh Founding Father kita dan hingga kini belum terihat signifikan, akibat
perilaku menyimpang para pejabat negara yang korupsi baik itu di ranah
Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif.
Tindak pidana korupsi sejatinya dapat merusak tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Korupsi juga mampu merusak stabilitas keamanan
nasional, menghambat cita-cita pembangunan, dan mengganggu kehidupan
sosial ekonomi bangsa indonesia. Perilaku korup membuat kerugian negara
yang sedemikian besar, membuat program pembangunan bangsa terhambat.
Hingga ada akhirnya, harus disadari tindak pidana korupsi merupakan
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Sesungguhnya reformasi hukum terkait dengan pemberantasan tindak
pidana korupsi sekarang sudah dilaksanakan. Reformasi dari perangkat
-
hukum, seperti aturan-aturan dan para aparat penegak hukum dilakukan
secara besar-besaran. Menjadi langkah nyata ketika lahir Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Dengan
diberlakukannya Undang-undang ini, memberi harapan besar agar praktik
korupsi menjadi berkurang dan memberi efek jera bagi koruptor. Inilah
memang fenomena yang terjadi, Korupsi sudah menjadi kebiasaan bahkan
membudaya hampir di seluruh elemen pemerintahan dan aparatur penegak
hukum. Lihatlah sekarang, para bekas menteri, gubernur, walikota, polisi,
hakim, jaksa bahkan pengusaha juga terjerat korupsi. Semakin ketat aturan
dan tegasnya aparat hukum, ternyata tidak membuat korupsi berkurang.
Wewenang penyidikan sebagaimana dalam Peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan kepolisian sebagai suatu subsistem
peradilan pidana adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tugas kepolisian yang
terkait dengan sebagai subsistem peradilan pidana adalah fungsi penyelidikan
(pasal 1 ayat 4 KUHAP), Pasal 14 ayat 1 huruf a KUHAP dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002.
Di samping itu juga dalam fungsi penyidikan Kepolisian mempunyai
wewenang secara umum dalam tindak pidana apapun (Pasal 1 ayat 1 KUHAP
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002). Dalam hal ini negara Indonesia
merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Hukum di sini mempunyai arti yang sangat penting dalam aspek kehidupan
sebagai pedoman tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan
manusia lainnya.1
Seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana sesuai dengan
bukti permulaan yang cukup dapat dilakukan penangkapan. Dalam
Pasal 17 KUHAP. Setelah adanya penangkapan perbuatan hukum yang
dilakukan oleh polisi adalah melakukan penyidikan, dan hal ini tentunya
polisi juga melakukan perbuatan hukum kembali dengan cara melakukan
penahanan kepada seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana,
penahanan yang dilakukan oleh penyidik terbatas waktunya misalnya untuk
penahanan tahap awal polisi dapat melakukan penahanan atau dengan
cara mengeluarkan Surat Perintah Penahanan (model Serse; A,6) selama 20
hari (Pasal 20, 21, 24 KUHAP) dan apabila pemeriksaan penyidikan belum
1 Sidik Sunaryo, System Peradilan Pidana, (Universitas Muhammadiyah: Malang, 2005), hlm. 227.
-
selesai maka penahanan tersebut ditambah kembali oleh jaksa selama 40
hari (Pasal 24 KUHAP). Karena dalam pasal 24 ayat (2) KUHAP menggunakan
kalimat “paling lama 40 hari” berarti secara umum yuridis memberikan
perpanjangan penahanan.2
Dikecualikan apabila ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
24 KUHAP, maka jangka waktu penahanan dalam tingkat pemeriksaan
penyidikan dapat ditambah lagi oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 30 hari
+ 30 hari menjadi 60 hari sesuai dengan Pasal 29 KUHAP.
“Tersangka atau Terdakwa yang menderita gangguan fisik atau mental yang berat dibuktikan dengan cara surat keterangan dokter atau Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara 9 tahun atau lebih”.
KUHAP belum mengatur tentang batas waktu penyidikan terutama batas
penyidikan terhadap tersangka korupsi. Selain itu penyidikan yang dilakukan
oleh polisi yang berlarut-larut tanpa adanya jangka waktu bisa berbulan-
bulan dan bertahun-tahun.
Dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi adalah proses penyidikan
karena merupakan tahap awal dalam proses peradilan pidana, oleh karena
itu proses penyidikan ini menjadi sentral dan merupakan tahap kunci dalam
upaya penegakkan aturan-aturan hukum pidana terhadap berbagai peristiwa
yang terjadi.
Belum adanya kepastian hukum dalam proses penyidikan terkait dengan
limitasi jangka waktu penyidikan mengakibatkan posisi seseorang yang
diduga keras melakukan tindak pidana statusnya terkatung-katung dan
prosesnya biasanya berbulan-bulan. Meskipun tidak jarang proses penyidikan
ini sangat cepat tapi untuk kasus yang tidak jelas pula. Artinya tidak ada
standar yang jelas dalam KUHAP mengenai waktu masa penyidikan.3
Sebagai negara yang menganut sistem due process model sudah menjadi
kewajiban bagi Indonesia untuk mengedepankan hak-hak yang dimiliki oleh
tersangkanya dalam proses beracara pidana. Hak adalah merupakan sesuatu
yang diberikan kepada seseorang tersangka, terdakwa dan terpidana. Apabila
hak ini dilanggar, maka hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana atau
terhukum telah dilanggar atau tidak dihormati.4 Kepada tersangka telah
difasilitasi dalam pemenuhan haknya misalnya saja hak untuk pemeriksaan
dengan segera mungkin, hak memberi keterangan secara bebas maupun hak
2 H. M.A Kuffal, S.H, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2005), hlm. 81.
3 Zenes Saut P S, Tindakan Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh KPK Dalam Hal Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, Universitas Padjajaran Bandung.
4 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 54.
-
untuk mendapatkan bantuan hukum. Hak-hak tersebut diberikan kepada
tersangka disamping untuk tegaknya kepastian hukum, dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan terhadap hak asasi dan harkat martabatnya.5
Dalam upaya menjamin tegaknya hak-hak tersangka perihal tersebut
telah diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan yaitu Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya
akan disebut sebagai KUHAP). Hak-hak tersebut diantaranya terdapat dalam
ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 156 KUHAP yang utamanya mengatur
perihal proses pemeriksaan tersangka. Hak-hak tersebut pada dasarnya tidak
boleh disimpangi dan harus dijunjung tinggi sebagaimana mestinya. Tetapi
seringkali dalam upaya memperoleh kebenaran suatu perkara pihak aparat
penegak hukum (penyidik) dalam melakukan tindakan yang melanggar
hak-hak tersebut terutama apabila dalam peraturan perundang-undangan
terdapat adanya celah untuk melakukan hal tersebut. Pada prinsipnya
keterangan tersangka yang diberikan merupakan keterangan terdakwa
yang diberikan diluar sidang dan dapat dipergunakan untuk membantu
menemukan bukti disidang dengan didukung suatu alat bukti sah lainnya,
dalam praktik peradilan lazimnya terhadap keterangan tersangka/terdakwa
ketika diperiksa penyidik kemudian keterangan tersebut dicatat dalam berita
acara penyidikan ditandatangani oleh penyidik dan tersangka/terdakwa.6
Tata cara penyidikan telah diatur dalam KUHAP maupun kewenangan
dari penyidik sendiri.7 Pendekatan KUHAP mengenai dasar pemberian
wewenang kepada penyidik bukan didasarkan atas kekuasaan, melainkan
berdasarkan pendekatan kewajiban dan tanggung jawab yang diembannya,
kepada masing-masing pejabat tersebut diberikan kewenangan yang
disesuaikan/diselaraskan dengan berat-ringannya kewajiban dan
tanggung jawab masing-masing serta kedudukan, tingkat kepangkatan
dan pengetahuannya.8
Mengenai penempatan tersebut dimaksudkan agar terdakwa terlebih
dahulu mendengar, melihat alat bukti yang lain, dan telah diperlihatkannya
barang bukti. Dengan demkian diharapkan terdakwa benar-benar dapat
merenungi, menyadari apa yang didakwakan, meskipun bukan berarti
terdakwa harus membenarkan atau mengiyakan setiap alat bukti yang
5 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 338.
6 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan permasalahannya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 103.
7 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus), (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 43.
8 Djoko Prakoso, Peranan Psikologi dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap Penyidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 44.
-
dikemukakan dalam sidang.9 Namun untuk mengupayakan agar tersangka
memberi keterangan dengan jelas dalam pemeriksaan penyidik sering
melanggar hak-hak mereka sebagai tersangka.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa perbuatan yang sedemikian
rupa akan berakibat suatu kondisi yang tidak seimbang antara aparat penegak
hukum dengan tersangka. Hal ini bertentangan dengan asas keseimbangan
yang dianut dalam KUHAP dimana dalam setiap penegakan hukum harus
berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap
kepentingan dan ketertiban masyarakat.10
Dalam proses pemeriksaan sebelum persidangan sampai tahap
penuntutan sangat rentan terjadi pelanggaran yang pada ujungnya akan
merugikan tersangka yang pada akhirnya dalam tahap persidangan. Pada
kenyataannya, sejarah membuktikan bahwa kenaifan hukum seperti ini
diberlakukan dengan bangga oleh manusia selama berabad-abad lamanya.
Bahkan, digunakan pada zaman orang sudah mengenal hukum yang rasional
sejak masa kejayaan Romawi di Eropa Barat. Ini menjadi bukti kuat bahwa
berbagai teori dan praktik hukum tidak selamanya berjalan seiring dengan
perkembangan rasio manusia.11
Pada masa itu banyak masyarakat tidak memandang keadaan tersebut
sebagai suatu hal yang salah. Untuk timbulnya suatu keadaan hukum, maka
harus ada suatu tindakan sosial yang oleh masyarakat dianggap sebagai yang
salah, sedemikian salahnya sehingga selalu tidak diadakan sesuatu tindakan,
maka pranata yang dijunjung tinggi dalam masyarakat akan terinjak.12
Pada hakikatnya kualitas penegakan hukum tidak dapat dilepaskan
dari tujuan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan kualitas
pembangunan yang berkelanjutan (“sustainable development/sustainable
society”).13 Sementara hukum sendiri bertujuan untuk mengadakan
keselamatan, bahagia dan tata tertib dalam masyarakat itu.14
Praperadilan merupakan hal yang baru dalam dunia peradilan Indonesia.
Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan
9 Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, (Bandung: Alumni, 2011), hlm. 79.
10 M. Yahya Harahap, Op.Cit. hlm. 38. 11 Munir Fuady,Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2006), hlm. 22. 12 T,O,Ihromi, Antropologi dan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984),
hlm. 47. 13 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet, 3, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2013), hlm. 249. 14 Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut
Hukum Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 3.
-
KUHAP dalam lingkungan penegak hukum. Dalam Pasal 1 butir (10) KUHAP
menyatakan:
“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”15
Praperadilan tidak diatur dalam ketentuan Herzien Inlandsch
Reglement yang selanjutnya disebut (HIR). Keberadaan praperadilan dalam
KUHAP merupakan hal yang baru dan digunakan untuk melindungi hak-
hak tersangka dalam proses penyidikan. Sehinga ada ruang keadilan bagi
tersangka untuk mencari keadilan, dalam masa kolonial Belanda praperadilan
tidak diatur. Hal ini dapat dimengerti, bahwa perbedaan tersebut dapat
terjadi oleh karena HIR diciptakan dalam suasana zaman kolonial Belanda,
yang pada dasarnya produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya
dibentuk sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak yang berkuasa
dalam hal ini pihak penjajah.16 Sehingga penting keberadaan praperadilan
dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia.
Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap tegaknya hak-hak
yang dimiliki tersangka KUHAP mengatur tentang lembaga Praperadilan.
Pengaturan lembaga Praperadilan dalam KUHAP, merupakan adopsi atas
lembaga habeas corpus dari sistem peradilan pidana Anglo-Saxon. Namun
wewenang yang diberikan kepada hakim dalam proses peradilan jauh lebih
terbatas dibandingkan dengan wewenang hakim komisaris di negara-
negara dengan tradisi civil law di Eropa daratan (rechter-commissaris, jugde
d’instruction, juez de intruciœn, juiz intruçœo dan sebagainya).17 Praperadilan
berawal dari gagasan Adnan Buyung Nasution bersama beberapa pakar
hukum antara lain Gregory Churchill, lawyer Amerika Serikat (yang sedang
menjadi dosen di Universitas Indonesia), Adnan Buyung Nsution kemudian
merumuskannya menjadi praperadilan yang dikenal dalam KUHAP.18
Praperadilan sebagai salah satu bentuk upaya perlindungan hak-hak asasi
15 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam KUHAP, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 6.
16 Ibid, hlm. 8. 17 Andi Hamzah dan RM Surachman, Pre-Trial Justice Discretionary Justice dalam
KUHAP Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 106. 18 Ibid, hlm. 106-107.
-
manusia sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28A sampai 28J kepada KUHAP
khususnya ketentuan Pasal 28D. Dengan adanya lembaga praperadilan,
diharapkan dapat menjadi sarana kontrol bagi aparat penegak hukum
dalam menjalankan kewenangannya. Praperadilan sebagai satu kesatuan
tidak terlepas dari struktur dan administrasi yudisial Pengadilan Negeri.
Segala sesuatu yang menyangkut administrasi dan pelaksanaan tugas
praperadilan, berada dibawah ruang lingkup kebijaksanaan dan tata laksana
Ketua Pengadilan Negeri.19
Praperadilan memberikan keuntungan kepada tersangka dari
kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam melakukan proses
penyidikan. Untuk memberikan perlindungan kepada orang yang diduga
sebagai tersangka dari kewenangan aparat penegak hukum. KUHAP telah
menyediakan lembaga praperadilan memiliki tugas untuk menjaga ketertiban
pemeriksaan pendahuluan dalam rangka melindungi seseorang yang diduga
tersangka terhadap tindakan-tindakan penyidik dan/atau penuntut yang
melanggar hukum dan merugikan tersangka.20 Perlindungan terhadap hak-
hak tersangka bisa diperjuangkan dalam proses praperadilan, sehingga proses
yang dijalankan lebih transparan dan adil.
Upaya paksa yang dilakukan dalam penyidikan maupun tahap
penuntutan oleh lembaga yang berwenang dapat dilakukan kontrol melalui
lembaga praperadilan. Tujuan dibentuknya lembaga praperadilan agar hak-
hak tersangka dapat dilindungi terutama dalam hal penangkapan maupun
penahanan yang tidak sah serta adanya penghentian penyidikan maupun
penuntutan. Walaupun lembaga tersebut telah diatur dalam KUHAP,
namun dalam aplikasinya masih terdapat beberapa kelemahan baik dalam
formulasinya maupun dalam penerapannya di pengadilan, sehingga tidak
memberikan perlindungan maksimal terhadap hak asasi manusia tersangka.
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum merupakan
faktor utama dalam memaksimalkan keberadaan lembaga praperadilan.
Ketidaktahuan masyarakat disebabkan tidak jalannya informasi dari
pemerintah. Terbatasnya pengetahuan publik tentang mekanisme
praperadilan merupakan indikasi adanya suatu penyimpangan dari asas
transparansi dan akuntabilitas publik, dimana pemerintah seharusnya
melancarkan kebebasan aliran informasi mengenai mekanisme
permintaan praperadilan.
19 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 12.
20 S. Tanusubroto, Peranan PraPeradilan Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm.10.
-
Pengaturan praperadilan diatur dalam ketentuan Pasal 77 sampai dengan
Pasal 83 KUHAP. Mengenai wewenang praperadilan dalam Ketentuan Pasal
77 KUHAP dinyatakan: Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan
memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini
tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Kemudian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/XII-PUU/2014
ketentuan mengenai syarat-syarat permohonan praperadilan ditambah
dengan penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan sebagai obyek
praperadilan. Mengenai alasan disetujuinya penambahan syarat praperadilan
dapat diambil dari pertimbangan hakim anggota Anwar Usman yang tertuang
dalam risalah sidang perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan:
“Bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah „penetapan tersangka oleh penyidik‟ yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut. Padahal hukum harus mengadopsi tujuan keadilan dan kemanfaatan secara bersamaan sehingga jika kehidupan sosial semakin kompleks maka hukum perlu lebih dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang lebih baik dan sempurna. Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.”21
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga merubah konstruksi dari
praperadilan itu sendiri. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi konstruksi
dari praperadilan awalnya hanya berwenang memeriksa dan memutus
sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan, sah atau tidaknya
penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, serta permintaan
ganti kerugian atau rehabilitasi, oleh putusan a quo kewenangannya diperluas
dengan menambahkan pengujian mengenai sah tidaknya penggeledahan,
21 Pendapat tersebut dikutip oleh Hakim Anggota Anwar Usman dari pendapat Shidarta, 2013, hlm. 207-214.
-
sah tidaknya penyitaan, serta sah tidaknya penetapan tersangka. Meskipun
putusan a quo dinilai melebihi kewenangan Mahkamah Konstitusi karena
dinilai telah membuat norma baru, namun putusan a quo tetap bersifat final
dan mengikat sehingga harus dianggap sebagai hukum pelengkap KUHAP.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memperluas kewenangan materi
uji dalam praperadilan.
Selain itu Mahkamah Konstitusi mengubah Pasal 1 angka 14, 17 dan
Pasal 21 ayat (1) dengan menambakan frase “minimal dua alat bukti” dalam
proses penetapan tersangka dan penyidikan. Hulu pertimbangan putusan
ini adalah contoh pengujian terhadap keabsahan perolehan alat bukti atau
(illegal secured evidence) yang menjadi pengaturan dari exclusionary rules,
yaitu dari kasus Dominique Khan yang disangkakan melakukan perkosaan
terhadap Nafissatou Diallo tahun 2011 di Magistrates Court New York, karena
perolehan alat bukti penegak hukum dianggap melanggar Rights of Protection
by the State, Disciplining the Police dan The Legitimacy of the Verdict.22 Selain itu
mengenai ketentuan dua alat bukti ini juga diambil dari ketentuan dalam
Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah lahir sebelum penambahan
dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Peraturan dalam Undang-
Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diasumsikan sebagai tanda
awal perubahan norma dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Beberapa kasus korupsi di Indonesia telah mempergunakan lembaga
praperadilan dalam hal penetapan tersangka. Berikut adalah kasus-kasus
yang mengajukan praperadilan terhadap status tersangka:23
NO KASUS KETERANGAN
1 Miryam Haryani di Kasus Keterangan Palsu
Miryam Haryani mengajukan gugatan praperadilan dengan permohonan agar status tersangka dugaan pemberian keterangan palsu dicabut. Miryam menyebut KPK tidak berwenang mengadili perkara yang disangkakan padanya. Hakim tunggal Asiadi Sembiring akhirnya menolak gugatan praperadilan yang diajukan Miryam S Haryani. Majelis hakim menyatakan penetapan status tersangka Miryam di KPK tetap sah. Hakim menegaskan, langkah KPK menetapkan Miryam sebagai tersangka pemberian keterangan tidak benar dalam persidangan dugaan korupsi e-KTP sudah memenuhi dua alat bukti. Penetapan tersangka dinyatakan hakim sesuai dengan prosedur.
22 Indriyanto Seno Adji, Pra Peradilan dan KUHAP (Catatan Mendatang), (Jakarta: Diadit Media, 2015), hlm. 4-5.
23 https://news.detik.com/berita/3509949/kpk-vs-tersangka-korupsi-di-5- praperadilan-terakhir. diakses pada 28 September 2017 Pukul 13.00 Wib
-
NO KASUS KETERANGAN
2 Rohadi di Kasus Suap dan Gratiftkasi
status tersangka suap dan gratifikasi digugat oleh keluarga Rohadi melalui praperadilan sebanyak 2 kali. Pertama ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan kedua ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada November 2016, anak bungsu Rohadi, Reyhan Satria Hanggara, mengajukan gugatan praperadilan ketiga terkait status tersangka Rohadi di kasus pencucian uang. Gugatan diajukan melalui pengacara Tonin Singarimbun. Lagi- lagi gugatan itu dimentahkan hakim. Gugatan tak dapat diterima dengan alasan kasus Rohadi yang lain, yakni terkait suap dan gratifikasi, telah disidangkan di Pengadilan Tipikor.
3 Bupati Nganjuk Tauftqurrahman di Pembangunan Jembatan Hingga Perbaikan Jalan
Bupati Nganjuk Taufiqurrahman memenangkan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Ia mengajukan gugatan praperadilan terkait kasus 5 proyek yang terjadi pada 2009.
4 Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun di Kasus Suap Akil Mochtar
Hampir semua pertimbangan KPK dilihat oleh hakim. Dengan putusan ini, proses penyelidikan perkara korupsi terus berjalan di KPK.
5 Mantan Ketua DPD Irman Gusman di Kasus Suap Kuota Gula Impor
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) memvonis gugur gugatan praperadilan mantan Irman Gusman melawan KPK. Sebab perkara yang dimaksud sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta untuk segera diadili.
Terkait penetapan tersangka di Indonesia masih memiliki permasalahan
diantaranya mengenai batas waktu atau limitasinya terhadap seseorang.
Seseorang berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP baru bisa berhenti
menyandang statusnya sebagai tersangka apabila terhadap perkaranya
dilakukan penghentian penyidikan. Sementara penghentian penyidikan
sendiri menurut Pasal 76 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
baru dapat dilakukan apabila:
a. Tidak terdapat cukup bukti;
b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; dan
c. Demi hukum, karena:
1. Tersangka meninggal dunia;
2. Perkara telah kadaluarsa;
3. Pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan
4. Tindak Pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem).
Tidak adanya limitasi terkait dengan status tersangka, merupakan
kerugian oleh seseorang yang telah ditetapkan tersangka. Walau demikian
-
tersangka memiliki hak-hak yang telah diatur dalam Pasal 50 Ayat 1 dan 2
KUHAP yang menyatakan:
Ayat 1 tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. Ayat 2 tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum .
Hak-hak tersangka ini merupakan upaya untuk memberikan keadilan
bagi tersangka dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik yang
berwenang. Namun dalam hak-hak tersangka ini belum sempurna, karena
tidak ada batasan yang jelas untuk segera mendapatkan pemeriksaan. Dengan
demikian status tersangka ini bisa dikatakan merugikan seseorang yang diduga
melakukan pelanggaran tindak pidana, karena tidak adanya limitasi yang jelas.
Status tersangka yang terkatung-katung (tanpa batas waktu) dapat dilihat
dari kasus yang ditangani KPK menahan Andi Zulkarnaen Mallarangeng
alias Choel Mallarangeng sebagai tersangka dugaan korupsi Pusat Pelatihan,
Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P2SON) di Hambalang, Jawa
Barat, tahun anggaran 2010-2012. KPK menetapkan Choel sebagai tersangka
pada 16 Desember 2015 dan baru ditahan di rumah tahan KPK cabang Pomdam
Jaya Guntur untuk 20 hari kedepan sampai dengan 25 Pebruari 2017.24
Penetapan tersangka oleh KPK kepada Choel Mallarangeng sudah
dilakukan tertanggal 16 Desember 2015 dan baru ditahan 25 Februari 2017,
dengan demikian sudah 22 bulan tidak memiliki kejelasan dalam melakukan
pembelaan terkait dengan status tersangka. Ketidak jelasan ini merupakan
dampak tidak adanya sebuah peraturan yang jelas terkait dengan batasan
atau limitasi tentang status tersangka. Dalam Pasal 50 Ayat 1 dan 2 KUHAP
yang mengatur tentang hak-hak tersangka, juga tidak mengatur tentang
limitasi status tersangka, sehingga permasalahan ini merugikan seseorang
yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Status tersangka Choel Mallarangeng karena dugaan korupsi Pusat
Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P2SON) merupakan
salah bentuk kelemahan dari sistem hukum pidana Indonesia. Sudah lebih
dari 22 bulan Choel Mallarangeng tidak mendapat kepastian hukum. Sebagai
tersangka Choel Mallarangeng memiliki hak-hak seperti yang telah diatur
dalam Pasal 50 Ayat 1 dan 2 KUHAP. Hak-hak tersangka yang dimaksud
tentang, berhak untuk mendapatkan pemeriksaan dengan segera oleh
penyidik sehingga bisa dilanjutkan ke penuntut umum dan perkaranya
berhak untuk segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. Proses
tersebut merupakan upaya dalam memberikan kepastian hukum kepada
24 http: www. Covesia.com. terkatung-katung selama lima tahun, akhirnya Choel Mallarangeng Ditahan KPK. Diakses tanggal 29 Mei 2017.
http://www/
-
tersangka dalam melakukan langkah hukum atau pembelaan dalam upaya
mencari keadilan. Hak-hak tersangka seperti yang ada dalam Pasal 50 KUHAP
tersebut belum berjalan efektif. Penyebab ketidak efektifan pasal tersebut
adalah tidak adanya sebuah aturan yang jelas dalam menentukan batasan
atau limitasi status tersangka.
Mekanisme pelaksanaan praperadilan dalam Pasal 79 KUHAP yang
menyatakan, “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau
kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.”
Dari ketentuan tersebut mekanisme praperadilan, mengandung suatu norma
yang sifatnya wajib agar setelah melakukan pengajuan permohonan gugatan
praperadilan. Indonesia sebagai penganut due process model (mendapat
perlindungan atau pembelaan diri sebagai hak), dalam sistem peradilan
pidana tentunya mengharuskan jalannya proses peradilan pidana yang benar
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata
lain tanpa adanya suatu pengajuan permohonan atas gugatan praperadilan
oleh tersangka maka tidak dapat pula diproses keberatan tersangka atau
pihak yang berkepentingan atas perbuatan aparat penegak hukum dalam
proses pemeriksaan dari penentuan tersangka hingga menuju penuntutan.
Dengan formulasi permohonan dalam mekanisme pengajuan gugatan
praperadilan, terhadap pihak tersangka dan keluarga yang awam dengan
hukum dan tidak didampingi oleh kuasa hukum akan menimbulkan suatu
ketidakadilan terhadap posisi mereka dengan aparat penegak hukum. Dengan
adanya persyaratan permohonan tersebut kesempatan untuk mengajukan
praperadilan hampir tidak secara merata ada pada tiap masyarakat,
melainkan bagi mereka yang mengenal hukum saja. Jika dibandingkan
dengan pengajuan gugatan praperadilan oleh pihak penyidik dan Jaksa
Penuntut Umum tentunya tidak terdapat keadilan karena pihak tersebut
memiliki pengetahuan lebih dalam bidang hukum.
Namun dari sudut pandang lain dalam permohonan gugatan praperadilan
oleh pihak keluarga tersangka dapat dikategorikan sebagai ketidakadilan dari
pihak aparat penegak hukum. Karena yang mengetahui dan mengalami
dengan pasti terjadinya pelanggaran adalah pihak tersangka dan aparat
penegak hukum saja, pihak keluarga tidak dapat memastikan. Fokus yang
tidak kalah penting mengenai praperadilan mengenai limitasi waktu status
tersangka. Tidak diaturnya limitasi ini mengakibatkan terkatung-katungnya
status tersangka seseorang karena memang secara tegas tidak diatur dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia.
Keberadaan praperadilan di Indonesia masih banyak dilakukan evaluasi
karena masih banyaknya kelemahan dalam praktiknya. Tentu hal tersebut
-
sangat berbeda dengan beberapa negara yang memeliki lembaga yang
berfungsi seperti praperadilan di Indonesia. Seperti di Belanda, Amerika
sebagai negara penganut sistem Anglo Saxon dalam proses perkaranya
memiliki lembaga praperadilan sendiri.
Lembaga praperadilan Indonesia seyogyanya dapat mengakomodasi
sistem lembaga praperadilan di AS dimana aparat penegak hukum setelah
melakukan penangkapan atau penahanan dalam jangka waktu tertentu harus
menghadirkan tersangka untuk pelaksanaan praperadilan yang meniadakan
aspek permohonan dan menggantikan mekanismenya menuju ke arah yang
otomatis. Perlu dibentuk suatu lembaga baru yang mengadopsi lembaga
hakim Komisaris di Belanda yang berperan sebagai pengawas atau sarana
kontrol praperadilan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai Pancasila
khususnya kemanusiaan yang dianut oleh Indonesia.
Sifat hukum acara pidana ini harus dipandang dari dua optik
kepentingan yang fundamental sifatnya. Pertama, dari optik kepentingan
masyarakat itu sendiri dalam artian bahwa kepentingan masyarakat harus
dilindungi yang mana hal ini merupakan sifat hukum acara pidana sebagai
bagian dari hukum publik (public law). Kedua, dari aspek kepentingan
orang yang dituntut dalam artian hak-hak dari orang yang dituntut
dipenuhi secara wajar sesuai ketentuan hukum positif dalam konteks
negara hukum (rechtstaat).25
Ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia lembaga praperadilan sekarang
ini masih belum mencerminkan suatu perlindungan HAM yang kokoh bagi
pihak tersangka. Selama tidak ada permohonan pengajuan praperadilan maka
tidak ada pula perlindungan dari lembaga praperadilan atas kesewenangan
pihak penyidik. Penegakkan HAM tidak hanya perlu dilakukan oleh yang
bersangkutan saja tetapi pihak lain juga memiliki peranan didalamnya.
Hal ini bertentangan dengan tujuan dari kebijakan hukum pidana
yang idealnya harus memperhatikan fungsi dan tujuan dari hukum
pidana itu sendiri, yaitu mengatur dan melindungi kepentingan hukum
anggota masyarakat dalam pergaulan sehari-hari sebagai warga negara
dari masyarakat lainnya, tindakan dari anggota atau kelompok atau dari
penguasa. Ketentuan mengenai lembaga praperadilan saat ini dirasa penulis
masih belum mencerminkan hal sedemikian rupa dengan sistem pengajuan
melalui permohonan.
Karena sifat Praperadilan yang mengedepankan pengetahuan hukum,
maka untuk melindungi hak-hak yang dimiliki oleh tersangka diperlukan
peran dari penasehat hukum. Akan tetapi, tidak semua orang dapat
25 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap: Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 11.
-
menghadirkan penasehat hukum dalam proses berperkara mengingat biaya
jasa yang cukup tinggi.
Dengan tidak adanya batasan limitasi jangka waktu status tersangka,
maka hal tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum dan
Presumption of Innocence (asas praduga tak bersalah). Dalam prinsip kepastian
hukum terdapat suatu jaminan bahwa suatu hukum harus dijalankan dengan
cara yang baik atau tepat. Kepastian pada intinya merpakan tujuan utama dari
hukum. Jika hukum tidak ada kepastian maka hukum akan kehilangan jati
diri serta maknanya. Jika hukum tidak memiliki jati diri maka hukum tidak
lagi digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian hukum
merupakan suatu konsep untuk memastikan bahwa hukum dijalankan
dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun, hukum
harus bisa menjadi pedoman, mengayomi dan melindungi masyarakat dari
berbagai tindak kejahatan atau pelecehan pada individu ataupun kelompok.
Asas kepastian hukum harus mencerminkan pula suatu falsafah keadilan
bagi masyarakat. Konsep untuk menentukan kepastian hukum tersebut
dijalankan melalui pengaturan hukum dalam suatu perundang-undangan
yang ditetapkan oleh pemerintah. Kepastian hukum akan mengarahkan
masyarakat untuk bersikap positif pada hukum negara yang telah ditentukan.
Penetapan tersangka yang berlarut-larut tanpa adanya jangka waktu yang
pasti, telah mencerderai konsep kepastian hukum bagi individu, selain
itu dengan berlarut-larutnya penetapan tersangka tanpa adanya jangka
waktu (limitasi) bertentangan dengan asas Presumption of Innocence
(praduga tak bersalah). Penetapan bersalah atau tidaknya seseorang ada
ditangan hakim, selama hakim belum memutuskan bahwasanya seseorang
bersalah, seharusnya hukum memberikan perlindungan terhadapnya dengan
tidak melakukan pelabelan sebagai tersangka pada diri individu tersebut.
Penetapan tersangka telah mengurangi hak-hak dari seorang individu, dan
tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Asas praduga tidak bersalah secara internasional tertuang dalam Pasal 11
Deklarasi Hak Asasi Manusia yang sifatnya fundamental untuk melindungi
hak asasi manusia dari proses pidana yang sewenang-wenang.26 Dalam
perundang-undangan di Indonesia, asas ini diletakkan dalam Pasal 8
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang digantikan oleh Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Penetapan tersangka yang menjadi objek praperadilan setelah keluarnya
putusan MK No 21/PUU-XII/2014, ternyata juga tidak mengakomodir
26 Eddy O,S, Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2014), hlm. 75.
-
pembatasan jangka waktu terhadap penetapan tersangka tersebut, putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut hanya mengatur tentang limitasi syarat
penetapan tersangka, sehingga putusan praperadilan yang seharusnya
dianggap sebagai suatu sarana mencari keadilan belum mampu untuk
mewujudkannya
-
BAB II
LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA INDONESIA
A. Makna Filosofis, Historis, Yuridis dan Sosiologis Lembaga Praperadilan
dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
1. Makna Filosofis
Keberadaan praperadilan sangat penting dalam memberikan
kepastian dalam proses penyidikan dan penentuan tersangka, yang
terdapat dalam hukum acara pidana. Sementara itu tujuan dari hukum
acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan
hukum acara pidana secara jujur dan tepat untuk mencari siapa pelaku
dari suatu tindak pidana dan selanjutnya melakukan pemeriksaan di
pengadilan untuk menentukan apakah terbukti bersalah atau tidak, juga
mengatur pokok-pokok cara pelaksanaan dan pengawasan terhadap
putusan yang telah dijatuhkan. Keberadaan praperadilan bisa dikatakan
sebagai media untuk tersangka dalam mencarikejelasan yang terkait
dengan proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik baik kepolisian
atau kejaksaan atau oleh lembaga yang diberikan kewenangan.
Badan Pembinaan Hukum Nasional menjelaskan mengenai sejarah
dan landasan filosofis dari adanya proses praperadilan.1 Sejarah hukum
acara pidana di Indonesia, pada masa prakemerdekaan, terdapat dua
hukum acara yang berlaku di Indonesia, yaitu Strafverordering (Sv) yang 1 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan di
Indonesia, http://www.bphn.go.id/data/documents/pk-2011-2.pdf, diakses pada tanggal 26 April 2015
http://www.bphn.go.id/data/documents/pk-2011-2.pdf
-
berlaku bagi masyarakat eropa yang berada di Indonesia dan Inlands
Reglement (IR), yang diganti dengan Herziene Indische Reglement (HIR)
dengan Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941, untuk golongan pribumi.
Terselenggaranya peradilan yang adil menjadi kewajiban penyelenggara
negara dan menjadi hak dasar bagi tersangka atau terdakwa yang
harus dipenuhi oleh negara. Pemenuhan hak dasar bagi tersangka atau
terdakwa tersebut sebagai bagian dari pelaksanaan asas dasar dalam
penyelenggaraan hukum pidana, baik dalam hukum pidana materiil
maupun hukum pidana formil.
Proses pengajuan praperadilan yang dilakukan oleh tersangka
merupakan hak dalam mendapatkan keadilan sangat wajar mengingat
adanya pembatasan terhadap hak kebebasannya. Segala bentuk tindakan
hukum terhadap tersangka atau terdakwa yang berakibat terampasnya
hak tersangka atau terdakwa harus berdasarkan undang-undang dan
undang-undang harus memberikan syarat yang harus dipenuhi dan
menjadi dasar hukum dalam melakukan tindakan hukum terhadap
tersangka atau terdakwa tersebut agar wewenang yang diberikan oleh
undang-undang kepada aparat penegak hukum tidak dipergunakan
sewenang-wenang.
Keadilan dan hukum tidak dapat dipisahkan, termasuk praperadilan
sebagai wadah dalam mencari keadilan bagi tersangka. John Rawls
yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”,
berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya
institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi
seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat
rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.
Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.2
Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota
masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial
yang ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik dimana
keadilan sebagai fairness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip pengaturan
institusi-institusi yang ada didalamnya.3 Keadilan bisa tercapai bukan
hanya dengan pengaturan institusi-institusi, meliankan juga kepada
masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip keadilan dalam
menjalankan fungsi yang ada di institusi.
Rawls memandang bahwa kesepakatan yang fair hanya bisa dicapai
dengan adanya prosedur yang tidak memihak. Mereka yang meyakini
konsep keadilan yang berbeda bisa tetap sepakat bahwa institusi-
2 Pan Mohamad Faiz, Op, cit., hlm. 135. 3 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Op cit., hlm. 5.
-
institusi adalah adil ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang
antar orang dalam memberikan hak dan kewajiban dan ketika aturan
menentukan keseimbangan yang pas antara klaim-klaim yang saling
berseberangan demi kemanfaatan kehidupan sosial.4 Keadilan sebagai
fairness diungkapkan oleh Rawls dalam gagasannya sebagai prinsip-
prinsip keadilan yang disepakati dalam situasi yang fair.5 Salah satu
bentuk keadilan sebagai fairness yaitu memandang berbagai pihak dalam
situasi awal sebagai rasional dan sama-sama netral.6
Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian
hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan
hak persamaannya sesuai dengan hak proporsional. Kesamaan hak
dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah
yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara
dihadapan hukum sama. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa
yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah
dilakukannya.7 Menurut Rawls, Aristoteles jelas-jelas mengasumsikan
penilaian tentang apa yang layak menjadi milik seseorang dan apa yang
berkaitan dengannya.8
Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles terbagi ke
dalam dua bentuk, keadilan “distributief” dan keadilan ”commutatief”.
Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang
porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama
prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar
barang dan jasa.9
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Dengan apa yang ada di benak Aristoteles ialah distribusi
kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku di
kalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan ditribusi yang
sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.10
Lembaga peradilan sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi setiap
warga negara. Lembaga peradilan merupakan badan yang berdiri sendiri
(independent). Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala
4 Ibid, hlm. 6. 5 Ibid, hlm. 14. 6 Ibid, hlm. 15. 7 Marwan Effendy, Op.cit, hlm. 75-76. 8 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Op.Cit. hlm. 11. 9 L,J, Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita 1996),
hlm. 11-12. 10 Marwan Effendy, Op.cit, hlm. 76.
-
sesuatu mengenai perkara peradilan.11 Peradilan juga dapat diartikan suatu
proses pemberian keadilan di suatu lembaga.12 Dalam kamus Bahasa Arab
disebut dengan Istilah qadha yang berarti menetapkan, memutuskan,
menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah adalah penyelesaian
sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang mana penyelesaiannya
diselesaikan menurut ketetapan-ketetapan (hukum) dari Allah dan Rasul.
Sedangkan pengadilan adalah badan atau organisasi yang diadakan oleh
negara untuk mengurus atau mengadili perselisihan-perselisihan hukum13.
Terkait aparat kepolisian yang melakukan tindakan-tindakan
yang kurang sesuai dengan UU tidak sedikit terjadi di masyarakat.
Banyak pendapat dari masyarakat tentang aparat Kepolisian yang
sengaja memanfaatkan jabatannya untuk melakukan tindakan-
tindakan yang tidak semestinya baik itu masih dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya maupun diluar tugasnya sebagai pelindung
masyarakat. Entah itu semua benar atau tidak namun dari segala apa
yang berkembang dalam masyarakat mari fokuskan permasalahan pada
masalah kesalahan penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian
penyidikan dan penuntutan yang dilakukan penyidik yang didalamnya
termasuk juga aparat Kepolisian yang semua ini berujung pada lahirnya
lembaga Praperadilan sebagai suatu kontrol pada tindakan penyidik
menyangkut perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Praperadilan itu.
Keberadaan lembaga peradilan sangat penting untuk menyelesaikan
perkara yang ada dalam masyarakat, tetapi yang tidak kalah pentingnya
adalah adanya pengadil dalam lembaga peradilan adalah atau yang biasa
disebut hakim. Hakim mempunyai peran yang besar dalam memberikan
keadilan kepada setiap orang yang berperkara di persidangan. Sehingga
diharapkan seorang hakim dalam memeriksa, menyelesaikan, dan
memutus suatu perkara juga harus bebas dari pengaruh apa atau
siapapun untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya kepada setiap
orang yang berperkara di pengadilan.
Penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain sebagainya yang
bersifat mengurangi dan membatasi kemerdekaan dan hak asasi
tersangka. Karenanya, tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan lembaga
praperadilan ini adalah untuk menghindari adanya pelanggaran
dan perampasan hak asasi tersangka atau terdakwa. Demi untuk
terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, Undang-undang 11 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm. 2. 12 Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005), hlm. 278. 13 Cik Hasan Basri, op.cit, hlm. 3.
-
memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk
melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,
penyitaan dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan penyidik
penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan
perlakuan yang bersifat:
Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan
pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka.
Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-
undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan
perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan
terhadap hak asasi tersangka.
Hakim dalam memutus sebuah sengketa harus adil dan tidak bisa
memihak salah satu pihak. Proses tersebut dilakukan dalam persidangan
dengan cara, para pihak yang bersengketa mengajukan dalil-dalil yang
saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil
manakah yang benar dan dalil-dalil manakah yang tidak benar. Dalam
melakukan pemeriksaan ini, hakim harus mengindahkan aturan-aturan
tentang pembuktian yang merupakan hukum pembuktian.
Karena upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum
merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi
tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggungjawab menurut
ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law).
Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan
Undang-undang merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka.
Setiap tindakan perkosaan yang ditimpakan kepada tersangka
adalah tindakan yang tidak sah, karena bertentangan dengan hukum
dan undang-undang (illegal). Akan tetapi, bagaimana mengawasi dan
menguji tindakan paksa yang dianggap bertentangan dengan hukum.
Untuk itu perlu diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk
menentukan sah atau tidaknya tindakan paksa yang dilakukan oleh
petugas dalam mencari atau mengumpulkan bukti dan informasi.
Dalam proses praperadilan, hakim dalam memutus sebuah
sengketa harus adil dan tidak bisa memihak salah satu pihak. Proses
tersebut dilakukan dalam persidangan dengan cara, para pihak yang
bersengketa mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan. Hakim
harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan
dalil-dalil manakah yang tidak benar. Dalam melakukan pemeriksaan
ini, hakim harus mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian yang
merupakan hukum pembuktian.
-
Pada hakekatnya yang harus dibuktikan adalah peristiwanya dan
bukan hukumnya. Oleh karena itu yang wajib membuktikan peristiwanya
atau mengajukan alat bukti adalah para pihak, sedangkan hakim harus
menentukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah terbukti tersebut.
Jadi hakim dalam proses perkara harus menetapkan dan menemukan
kebenaran peristiwa atau hubungan hukumnya terhadap peristiwa yang
telah ditetapkan itu.14 Sehingga dalam memutus sebuah perkara hakim
harus melihat peristiwa hukum yang sudah terjadi. Sehingga putusan
yang dibuat bisa adil dan tidak merugikan salah satu pihak.
Filosofi keadilan dan kepastian hukum dalam praperadilan sudah
tercermin sejak awal pendirian lembaga praperadilan ini. Sehingga
semangat utama berdasarkan keadilan dan kepastian. Setiap hal yang
baru, tentu mempunyai suatu maksud dan tujuan atau motivasi tertentu.
Pasti ada yang hendak dituju dan dicapai. Tidak ada sesuatu yang ingin
diciptakan tanpa didorong oleh maksud dan tujuan. Demikian pula
halnya dengan pelembagaan praperadilan. Ada maksud dan tujuan yang
hendak ditegakkan dan dilindungi.15
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama mereka yang
terlibat dalam perkara pidana, khususnya pada tahap penyidikan
dan penuntutan.
b. Alat kontrol terhadap penyidik atau penuntut umum terhadap
penyalahgunaan wewenang olehnya.
Menjunjung tinggi hak asasi manusia dan alat kontrol dilakukan
sesuai dengan aturan yang berlaku. Bukan berarti terhadap seseorang
yang disangka ataupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana
diberikan haknya sedemikian rupa seperti halnya seseorang yang tidak
tersangkut suatu tindak pidana, akan tetapi meskipun akan dilaksanakan
tindakan-tindakan tertentu bagi mereka yang disangka maupun didakwa
telah melakukan tindak pidana, hendaknya pelaksanaan tindakan-
tindakan tersebut tidak sewenang-wenang, akan tetapi menuruti apa
yang telah ditentukan undang-undang.
Tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum
merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi
tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab
menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due
14 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberti, 2002), hlm. 106.
15 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika,2012), hlm. 3.
-
process of law). Prinsip yang terkandung pada praperadilan bermaksud
dan tujuan guna melakukan tindakan pengawasan horizontal untuk
mencegah tindakan hukum upaya paksa yang berlawanan dengan
undang-undang.16 Oleh karena itu dasar dari adanya lembaga
praperadilan ini adalah merupakan suatu cerminan pelaksanaan dari
asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) sehingga tiap
orang yang diajukan sebagai terdakwa telah melalui proses awal yang
wajar dan mendapat perlindungan harkat manusianya dan merupakan
suatu lembaga yang melakukan pengawasan horizontal atas tindakan
upaya paksa yang dilakukan terhadap tersangka selama ia berada dalam
pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan
itu tidak bertentangan dengan undang-undang.
Pada umumnya pemeriksaan di sidang Pengadilan dalam hukum
acara pidana merupakan pemeriksaan mengenai perkara pokok dalam
artian pemeriksaan untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum.
Kalau kita teliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP ”praperadilan”
maka maksud dan artinya secara harfiah berbeda. Pra artinya sebelum,
atau mendahului, berarti ”praperadilan” sama dengan sebelum
pemeriksaan di sidang Pengadilan (sebelum memeriksa pokok dakwaan
Penuntut Umum).
2. Makna Historis
Lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari
adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon,
yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia
khususnya hak kemerdekaan Habeas Corpus Act memberikan hak pada
seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut
(menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi
ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah
tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.17 Hal ini untuk menjamin
bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap
seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak
asasi manusia.
16 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam KUHAP, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 16.
17 Adnan Buyung Nasution, PraperadilanVS Hakim Komisaris: Beberapa Pemikiran Mengenai Keberadaan Keduanya, http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan- vs -hakim–komisaris – beberapa – pemikiran – mengenai – keberadaan - keduanya, diakses tanggal 15 Juni 2017.
http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan-
-
Surat perintah pengadilan yang berisikan hak Habeas Corpus
tersebut tidak hanya ditujukan untuk kepada penahanan yang terkait
dalam proses peradilan pidana saja, namun juga terhadap segala bentuk
penahanan yang dianggap telah melanggar hak kemerdekaan pribadi
seseorang yang telah dijamin oleh konstitusi.18 Dalam perkembangannya
surat perintah Habeas Corpus menjadi salah satu alat pengawasan serta
perbaikan terhadap proses pidana baik di tingkat federal maupun di
negara bagian di Amerika Serikat.
Prinsip dasar Habeas Corpus ini menciptakan suatu forum yang
memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang
menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya untuk
mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan ketetapan
dari tindakan kekuasaan berupa penggunaan upaya paksa (dwang
middelen), baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan
maupun pembukaan surat-surat yang diberlakukan oleh pihak kepolisian
ataupun kejaksaan ataupula kekuasaan lainnya. Prinsip dasar Habeas
Corpus memunculkan gagasan lembaga praperadilan yang memberikan
perlindungan kepada terdakwa/tersangka terhadap upaya paksa yang
dilakukan aparat penegak hukum.
Keberadaan Lembaga Praperadilan dianggap bahwa lembaga ini
melindungi hak-hak masyarakat yang hak asasinya dilanggar oleh aparat
penegak hukum serta melalui lembaga ini juga dapat membawa oknum
aparat penegak hukum tersebut untuk dimintai pertanggungjawabannya
dalam bentuk ganti kerugian dan rehabilitasi atas dugaan kesewenang-
wenangan dalam menggunakan kekuasaanya. Maksud dan tujuan luhur
dari Praperadilan tersebut teryata penerapannya belum berjalan maksimal.
Lembaga Praperadilan diperuntukan demi mendapatkan rasa keadilan
dan penegakan hukum serta agar tindakan hukum dari para penegak
hukum tidak semena-mena terhadap masyarakat kecil, maka tindakan dari
Aparat Penegak Hukum yang ada di daerah, agar tindakannya betul-betul
berdasarkan hukum yang berlaku dan tidak berdasarkan kewenangan saja
selagi memangku jabatannya atau selaku aparat.
Sejarah keberadaan lembaga praperadilan merupakan betukan baru
yang tertuang dalam KUHAP. Sementara itu dalam masa kolonial Belanda
yang menggunakan Het Herziene Indonesisch yang selanjutnya ditulis
(HIR) belum mengatur tentang praperadilan.
HIR diciptakan dalam suasana kolonial Belanda, yang pada
dasarnya produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya dibentuk
18 Indira Putiet, Perbandingan Praperadilan, Habeas Corpus dan rechter Commisarie, http://one.indoskripsi.com/node/10432, diakses tanggal 10 Agustus 2010.
http://one.indoskripsi.com/node/10432
-
sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak yang berkuasa, dalam
hal ini penjajah. Berhubungan dengan perkembangan dan kemajuan
zaman yang semakin moderen serta didasari pada perkembangan era
kemerdekaan negara Republik Indonesia, sistem yang dianut HIR
dirasakan telah ketinggalan zaman, tidak sesuai lagi dengan cita-cita
hukum nasional dan diganti dengan undang-undang hukum acara
pidana baru yang mempunyai ciri kodifikasi dan unifikasi berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.19
Lembaga Praperadilan pertama kali diperkenalkan di Indonesia sejak
diberlakukannya KUHAP, tujuan Praperadilan adalah upaya ”pengawasan
horisontal” atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka
selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar
benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum
dan undang-undang. Upaya paksa (dwang meddelen) dalam hal ini adalah
baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, ataupun
pemeriksaan surat-surat yang dilakukan Penyidik ataupun Penuntut Umum.
Upaya kontrol (pengawasan) tersebut dilakukan dalam rangka penegakkan
hukum (law enforcement), sehingga tercipta kepastian hukum yang adil.
Lembaga praperadilan diperkenalkan KUHAP dalam penegakan
hukum dan bukan sebagai lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.
Serta bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai
wewenang memberi putusan akhir atas suatu perkara pidana. Lembaga
praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya:20
a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada setiap
pengadilan negeri, dimana praperadilan ini hanya dijumpai pada
tingkat pengadilan negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah
dari dan dengan pengadilan yang bersangkutan.
b. Dengan demikian, praperadilan bukan berada diluar atau disamping
maupun sejajar dengan pengadilan negeri.
c. Administratif yustisial, personal teknis, peralatan dan finansialnya
takluk dan bersatu dengan pengadilan negeri, dan berada di bawah
pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua pengadilan negeri
yang bersangkutan.
d. Tatalaksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi
yustisial pengadilan negeri itu sendiri.
19 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 7.
20 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Jilid II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1.
-
Dengan demikian, eksistensi atau keberadaan dan kehadiran
praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri tetapi
hanya merupakan pemberian wewenang baru dan fungsi baru yang
dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri, sebagai wewenang
dan fungsi tambahan terhadap wewenang dan fungsi pengadilan
negeri yang telah ada selama ini. Kalau selama ini wewenang dan
fungsi pengadilan negeri mengadili dan memutus perkara pidana
dan perkara perdata sebagai tugas pokok, maka terhadap tugas pokok
tadi ditambahkan tugas sampingan untuk menilai sah atau tidaknya
penahanan, penyitaan atau penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, yang
wewenang pemeriksaannya diberikan kepada praperadilan.
3. Makna Yuridis
Pasal 1 butir 10 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
menyebutkan bahwa21 “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri
untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur undang-
undang ini tentang (a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau
penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain
atas kuasa tersangka; (b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan
keadilan; (c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan. Dengan demikian Praperadilan hanyalah
menguji dan menilai tentang kebenaran atau ketepatan tindakan upaya
paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum dalam hal yang
menyangkut penangkapan dan penahanan, penghentian penyidikan
dan penuntutan, serta hal ganti rugi dan rehabilitasi”. Akan tetapi
meskipun lembaga tersebut telah diatur dalam hukum positif (UU No.
18 tahun 1981) namun dalam aplikasinya masih terdapat kelemahan-
kelamahan baik dalam formulasinya maupun dalam penerapannya di
Pengadilan sehingga masih minimnya perlindungan Hak Asasi Manusia
bagi Tersangka.
Sebagaimana dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP, bahwa Praperadilan
merupakan suatu bentuk upaya hukum yang dimaksudkan untuk
menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan
secara horizontal22, dalam hal ini berarti, praperadilan merupakan salah
satu sarana yang dikenal dalam hukum acara pidana untuk memberikan
21 Pasal 1 butir 10 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 22 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 190.
-
perlindungan hukum, keadilan dan kepastian hukum bagi para pencari
keadilan yang berhadapan dengan aparat penegak hukum, khususnya
terkait dengan Pencari Keadilan yang perkara pidananya sengaja tidak
ditindaklanjuti dengan alasan yang tidak jelas di tingkat penyidikan,
yang mana tindakan penyidik yang tidak menindaklanjuti suatu perkara
pidana di tingkat penyidikan tersebut juga termasuk dalam proses
penyidikan dan juga merupakan bagian dari Sistem Peradilan Pidana,
sekaligus merupakan fungsi pengawasan suatu lembaga peradilan
terhadap proses penyidikan dan dalam pelaksanaannya.
Lembaga Praperadilan (Pengadilan Negeri) yang berwenang
melakukan fungsi kontrol terhadap tindakan upaya paksa, ternyata
tidak semua tindakan upaya paksa dapat dikontrol, Pasal 77 KUHAP
membatasi kewenangan Pengadilan hanya terbatas pada pengujian
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan; serta permohonan ganti kerugian dan/
atau rehabilitasi bagi Tersangka yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Sedangkan untuk tindakan
penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat-surat tidak
dijelaskan dalam KUHAP, siapa yang berwenang memeriksa apabila
terjadi pelanggaran dalam tindakan tersebut.
Lembaga Praperadilan dikenal dalam KUHAP merupakan mekanisme
kontrol yang berfungsi dan berwenang untuk melakukan pengawasan
bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan
pidana dan berwenang untuk memutus23:
a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan;
b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan;
c) Apakah benda yang disita tidak termasuk alat pembuktian;
d) Menetapkan ganti kerugian atau rehabilitasi.
Keberadaan lembaga praperadilan memberikan dampak positif
bagi setiap tersangka dalam mempertanyakan proses penyidikan, serta
melindungi tersangka dari kesewenang-wenangan penyidik dalam
proses penyidikan.
Selain itu mengenai kewenangan Praperadilan yang ternyata bersifat
pasif, karena Praperadilan tidak dapat menjalankan kewenangannya
selama tidak ada permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasa Tersangka untuk dilakukan pengujian. Sehingga apabila
permintaan tersebut tidak ada, walaupun tindakan penangkapan atau
23 Ratna Nurul Afiah, Op.Cit, hlm. vii
-
penahanan menyimpang atau melanggar ketentuan yang berlaku, maka
sidang Praperadilan tidak dapat diadakan.
Lembaga Praperadilan bukan merupakan lembaga tersendiri, tetapi
merupakan suatu wewenang tambahan dari Pengadilan Negeri.
Sebagaimana pengertian Praperadilan telah diatur dalam Pasal 1 angka
10 jo Pasal 77 KUHAP, yaitu bahwa Praperadilan adalah wewenang
suatu Pengadilan Nagari untuk memeriksa dan memutus sesuai
dangan cara yang telah diatur dalam Undang-undang ini, yaitu
tentang:
a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarga atau pihak lain atau kuasa
tersangka;
b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
panuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi olah tarsangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke Pengadilan.
Menyangkut Praperadilan banyak sekali hal-hal atau tuduhan
miring kontroversial menyangkut pelaksanaannya. Tuduhan-tuduhan
tersebut menyangkut antara lain seperti masalah gugurnya permohonan
Praperadilan, dugaan adanya konspirasi terselubung antara pihak Hakim
dengan termohon Praperadilan, hingga masalah pada ganti kerugian
yang dianggap tidak sebesar kerugian yang sesuai dengan realitas yang
diderita pemohon, hingga begitu rumitnya birokrasi mendapatkan ganti
kerugian. Tidak jarang banyak orang menilai butuk terkait dengan praktik
yang terjadi di lembaga praperadilan.
Kehadiran Lembaga Praperadilan memberi peringatan24:
1. Agar penegak hukum harus berhati-hati dalam melakukan tindakan
hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada
ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan
diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang;
2. Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi
warganegara yang diduga melakukan kejahatan, yang ternyata tanpa
didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari
sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan
prinsip hak-hak asasi manusia.
24 S. Tanusubroto, Peranan Pra Peradilan Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung:
Alumni, 1983), hlm. 2.
-
Pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian melalui
Lembaga Praperadilan disebut sebagai Pemohon Praperadilan. Keberadaan
Lembaga Praperadilan dianggap bahwa lembaga ini melindungi hak-hak
masyarakat yang hak asasinya dilanggar oleh aparat penegak hukum
serta melalui lembaga ini juga dapat membawa oknum aparat penegak
hukum tersebut untuk dimintai pertanggungjawabannya dalam bentuk
ganti kerugian dan rehabilitasi atas dugaan kesewenang-wenangan dalam
menggunakan kekuasaaanya. Maksud dan tujuan luhur dari Praperadilan
tersebut teryata penerapannya belum berjalan maksimal.
1. Dalam KUHAP telah disebutkan dalam beberapa pasal, pihak-pihak
yang dapat mengajukan permohonan pemeriksaan melalui lembaga
praperadilan, diantaranya:
2. Pasal 79 KUHAP, yang isinya bahwa permintaan pemeriksaan tentang
sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan olah
tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri
dengan menyebutkan alasannya.
3. Pasal 80 KUHAP, yang isinya bahwa permintaan untuk memeriksa
sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak
ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan
menyebutkan alasannya.
4. Pasal 81 KUHAP, yang isinya bahwa permintaan ganti kerugian dan
atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan
atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan
diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan
kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya.
5. Pasal 95 ayat (2) KUHAP, yang isinya bahwa tuntutan ganti kerugian
oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan
serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan pada Undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan sebagaimana di maksud dalam ayat (1), yang perkaranya
tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus disidang praperadilan
sebagaimana di maksud dalam Pasal 77.
6. Pasal 97 ayat (3) KUHAP, yang isinya permintaan rehabilitasi oleh
tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang
berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana di maksud dalam
Pasal 95 ayat (1), yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
negeri, diputus oleh hakim praperadilan sebagaimana yang di
maksud dalam Pasal 77.
-
Berdasarkan pada pasal 80 KUHAP, menunjukkan bahwa selain dapat
diajukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, permohonan praperadilan
untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan
juga dapat diajukan oleh “pihak ketiga yang berkepentingan”. Yang di
maksud pihak ketiga yang berkepentingan di sini adalah pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan atas dihentikannya suatu penyidikan, dalam hal
ini, bisa Korban Tindak Pidana, Pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau
organisasi kemasyarakatan maupun masyarakat umum.25
Sidang praperadilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau
terdakwa ataupun keluarganya atau pula atas kuasanya merupakan
suatu forum yang terbuka dan dipimpin seorang hakim atau lebih
untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah
melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakannya
dimuka forum yang bersangkutan, apakah benar-benar beralasan dan
berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka
ini, maka tersangka atau terdakwa dijamin hak asasinya berupa hak
dan upaya hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan
kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik
ataupun penuntut umum. Dalam forum itu penyidik atau penuntut
umum wajib membuktikan bahwa tindakannya sah dan tidak melanggar
hukum. Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun
penuntut umum harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-
syarat hukum yang diperlukan, baik berupa syarat-syarat formal maupun
materiil, seperti misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan,
adanya dugaan keras telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh
bukti permulaan yang cukup, ataupun dalam hal penahanan dengan
alasan yang nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri,
menghilangkan barang bukti atau menggulangi kejahatannya.
Menurut Darwan Prinst, yang dimaksud sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan dalam Pasal 81 KUHAPidana, adalah26:
1. Tersangka / Terdakwa;
2. Keluarga dari Tersangka / Terdakwa;
3. Kuasa dari Tersangka / Terdakwa;
4. Pelapor yang dirugikan dengan dilakukannya itu atau yang dapat
kuasa dari dirinya.
25 Pendapat Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi, M. Akil Mochtar dalam http://m. hukumonline.com/berita/baca/lt519b604ebe2e3/mk-tegaskan-lsm-bisa-ajukan- praperadilan diakses tanggal 25 Juli 2016, pukul 10.00
26 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1984), hlm. 51.
http://m/
-
Permintaan pemeriksaan praperadilan diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang. Dalam surat permohonan
tersebut, Pemohon menyebutkan selaku apakah dia bertindak dalam
permintaan pemeriksaan praperadilan yang diajukannya, menceritakan
duduk perkaranya secara terperinci dan jelas serta menyebutkan
hal yang menjadi alasan pemohon untuk mengajukan permintaan
pemeriksaan praperadilan itu, serta mencantumkan putusan apakah
yang dimohonkan.27
Kelemahan lain dalam ketentuan KUHAP adalah hanya menentukan
batas waktu penentuan hari sidang dan lama pemeriksaan persidangan.
KUHAP tidak mengatur berapa lama batas waktu dimulainya sidang
(sidang pertama) praperadilan sejak permintaan pengujian praperadilan
didaftarkan. Lamanya waktu yang dibutuhkan pada tahap administrasi
pengadilan sebelum sidang demikian bertolak belakang dengan
semangat pemeriksaa praperadilan yang dilakukan secara cepat.
Dalam praktek pemeriksaan praperadilan, hakim juga lebih banyak
memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat-syarat formil semata-
mata dari suatu penangkapan atau penahanan, seperti misalnya ada
atau tidak adanya surat perintah penangkapan (Pasal 18 KUHAP), atau
ada tidaknya surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP), tetapi
sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya, seperti
adanya “dugaan keras” telah melakukan tindak pidana berdasarkan
“bukti permulaan yang cukup”. Ada tidaknya bukti permulaan yang
cukup ini dalam praktek tidak pernah dipermasalahkan oleh Hakim,
karena umumnya hakim praperadilan mengganggap bahwa hal itu
bukan menjadi tugas dan wewenangnya, melainkan sudah memasuki
materi pemeriksaan perkara.
Oleh karena dalam prakteknya lembaga Praperadilan belum berjalan
sebagaimana mestinya dan masih banyak kelemahan, maka kemudian
dalam Rancangan KUHAP ditentukan lembaga baru untuk menggantikan
lembaga Praperadilan saat ini yaitu lembaga Hakim Komisaris. Lembaga
ini pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara Penyidik dan
Penuntut Umum disatu pihak dan Hakim dilain pihak. Wewenang Hakim
Komisaris dalam Rancangan KUHAP lebih luas dibandingkan lembaga
Praperadilan. Akan tetapi timbul pertanyaan lain, apakah keberadaan
lembaga Hakim Komisaris kelak akan lebih baik daripada lembaga
Praperadilan yang telah ada saat ini? Dan Apakah akan membawa
perubahan dan pengaruh yang cukup besar pada praktek pengadilan.
27 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan Dan Ruang Lingkupnya, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1986), hlm. 84.
-
Alat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga
pemasyarakatan dan advokat) dalam menjalankan tugasnya dibidang
peradilan pidana diberi kewenangan untuk melakukan tindakan-
tindakan yang merupakan pengurangan hak asasi tersangka atau
terdakwa sebagai manusia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia28 yang menyatakan
bahwa polisi merupakan institusi negara yang diberikan tugas, fungsi
dan kewenangan tertentu, untuk menjaga keamanan, ketertiban dan
mengayomi masyarakat.
Harus diingat pula, bahwa aparat penegak hukum adalah manusia
biasa, yang tidak terlepas dari perbuatan khilaf dan salah. Penangkapan
atau penahanan yang sebetulnya dilakukan dengan tujuan untuk
kepentingan pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan ketertiban
dalam masyarakat ternyata kadang-kadang dilakukan terhadap orang
yang tidak bersalah atau kadang-kadang dilakukan melampaui batas
waktu yang ditentukan, sehingga tersangka atau terdakwa menderita
lahir batin akibat sikap aparat penegak hukum. Untuk menjamin hak
asasi manusia dan agar aparat penegak hukum menjalankan tugasnya
secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga yang
dinamakan praperadilan.
Pasal 1 butir 10 KUHAP menyatakan praperadilan adalah wewenang
pengadilan negeri untuk yang pertama memeriksa dan memutuskan
tentang sah atau tidaknya suatu penagkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas tersangka,
yang kedua sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, dan
yang ketiga permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Putusan praperadilan menjadi ramai semenjak permohonan
praperadilan oleh Komjen Pol Budi Gunawan atas penetapan tersangka
yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah
dikabulkan sebagian oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di
satu sisi menghormati putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
sebagai bentuk penghormatan kebebasan hakim sebagaimana yang
dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
-
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, serta dalam Pasal
10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan bahwa Pengadilan dilarang menolak
untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang
diajukan dengan alasan bahwa hukum nya tidak ada, dalam hal
ini pengadilan wajib untuk mengadili dan memeriksa hal tersebut
yang membuat Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerima
praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan atas penetapan tersangka.
Disisi lain objek praperadilan atas penetapan tersangka Komjen Pol Budi
Gunawan yang alasannya tidak tercantum dalam Pasal 77 KUHAP sudah
dijelaskan kewenangan hakim praperadilan untuk memeriksa dan
memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan, serta hakim praperadilan
juga berwenang untuk memeriksa dan memutus permintaan ganti
kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka yang perkaranya tidak di
ajukan ke pengadilan.
Sebelum membahas lebih jauh tetang putusan praperadilan,
membahas terlebih dahulu pengertian putusan pada umumnya.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 11 KUHAP meyatakan bahwa: “Putusan
Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanan atau bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang di atur
dalam undang-undang”. Putusan pengadilan disampaikan oleh hakim
diakhir persidangan setelah dilakukan proses pemeriksaan.
Berdasarkan pengertian putusan dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP maka
putusan dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Putusan pemidanaan atau penjatuhan pidana
Dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan pidana”.
b. Putusan bebas (vrijspraak)
Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “jika pengadilan
berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa
atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
c. Putusan lepas dari segala tuntutan
Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa: “jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakannya kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
-
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 KUHAP menyatakan Praperadilan
adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Pasal 77 KUHAP menentukan bahwa pengadilan berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang ini, tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan.
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Dalam Pasal 82 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa putusan hakim
dalam acara pemeriksaan praperadilan harus memuat dengan jelas dasar
dan alasannya. Pasal 82 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa isi putusan
selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga
memuat hal sebagai berikut:
a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan
atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut
umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera
membebaskan tersangka;
b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian
penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidik atau penuntut
terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
c.