praperadilaneprints.ulm.ac.id/4431/1/2. sebelum_praperadilan_dr... · kata pengantar maha puji...

167
PRAPERADILAN: SARANA PERLINDUNGAN TERSANGKA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

Upload: others

Post on 23-Oct-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PRAPERADILAN: SARANA PERLINDUNGAN

    TERSANGKA DALAM SISTEM

    PERADILAN PIDANA INDONESIA

  • DR. Anang Sophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.

    EDITOR:

    DR. ABDUL HALIM BARKATULLAH, S.H., M.Hum.

  • KATA PENGANTAR

    Maha Puji Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga buku

    “PRAPERADILAN: SARANA PERLINDUNGAN TERSANGKA DALAM SISTEM

    PERADILAN PIDANA INDONESIA” ini bisa diselesaikan sesuai dengan target

    yang telah ditentukan. Selain itu tak lupa bacaan salawat patut diucapkan

    untuk Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang berpengaruh besar pada

    peradaban manusia hingga menjadi sekarang ini.

    Buku ini hanyalah salah satu dari sekian banyak buku tentang

    praperadilan untuk membantu mahasiswa agar lebih mudah memahami

    materi di samping kuliah dan buku-buku wajib lainnya karena, belajar

    dari satu buku saja tidaklah cukup.

    Penulis yakin bahwa buku ini banyak kekurangannya, maka oleh karena

    itu setiap kritik yang bermaksud untuk menyempurnakan buku ini disambut

    dengan gembira.

    Semoga buku ini bermanfaat bagi para mahasiswa Fakultas Hukum pada

    khususnya dan dunia hukum pada umumnya.

    Banjarmasin, 7 Agustus 2018

    Penulis

    Dr. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.

  • DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR

    DAFTAR ISI

    BAB I PENDAHULUAN

    BAB II LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

    INDONESIA

    A. Makna Filosofis, Historis, Yuridis dan Sosiologis Lembaga Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia —17

    B. Eksistensi Lembaga Pra Peradilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/

    PUU-XII/2014 —60

    C. Urgensi Pemberian Kewenangan Bagi Lembaga Praperadilan Dalam Menentukan

    Batas Penyidikan Terhadap Tersangka Korupsi —63

    BAB III

    JANGKA WAKTU PENYIDIKAN OLEH KPK BERDASARKAN PUTUSAN

    PRAPERADILAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

    A. Pengaturan Tentang Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia —87

    B. Pengaturan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan Pasca Penetapan Tersangka Berdasarkan Putusan Pra Peradilan —97

    C. Kedudukan Tersangka dalam Hukum Acara Pidana —112

    D. Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Tersangka Dalam Perspektif Hukum Acara

    Pidana —113

    E. Landasan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan oleh KPK Setelah Penetapan Tersangka

    Berdasarkan Putusan Praperadilan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia —121

  • BAB IV PENGATURAN MASA YANG AKAN DATANG TERKAIT

    KEWENANGAN LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM MEMBERIKAN

    BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA

    PUTUSAN PRAPERADILAN

    A. Pengaturan Lembaga Pra Peradilan Dalam Ius Constituendum —145

    B. Pengaturan Penyidikan dalam Ius Constituendum —149

    C. Konsep Baru Pengaturan Batas Waktu Penyidikan KPK Dalam Lembaga

    Praperadilan —151

    BAB V

    KESIMPULAN

    DAFTAR PUSTAKA

    BIOGRAFI PENUILIS

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    Hampir setiap hari kita disuguhkan episode-episode baru tindakan

    korupsi yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan ini dengan modus

    yang beragam. Masyarakat semakin hari semakin resah akan kasus korupsi

    ini. Ironis melihat tindak pidana korupsi saat ini bukan menjadi kejahatan

    terselubung, namun sudah menjadi tindak pidana yang dilakukan secara

    terang-terangan. Para pelaku melakukannya tak lagi secara sembunyi-

    sembunyi dan cenderung dilakukan secara berjamaah serta dengan modus

    operandi yang bermacam-macam demi berjalannya praktek haram korupsi.

    Perkembangan praktik korupsi di Indonesia sangat pesat dan sistemik.

    Praktik haram korupsi sebagai tindakan yang melanggar hukum sekarang

    sudah dianggap biasa bahkan sudah menjadi budaya. Ada selentingan

    bahwa tidak melakukan korupsi dianggap sebagai pejabat yang “munafik”.

    Inilah pikiran-pikiran yang harus dimusnahkan, terlebih sebagai pejabat

    negara melayani warga negara. Praktik korupsi sejatinya merusak sistem

    pembangunan negara indonesia yang sudah berpuluh-puluh tahun dirancang

    oleh Founding Father kita dan hingga kini belum terihat signifikan, akibat

    perilaku menyimpang para pejabat negara yang korupsi baik itu di ranah

    Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif.

    Tindak pidana korupsi sejatinya dapat merusak tatanan kehidupan

    berbangsa dan bernegara. Korupsi juga mampu merusak stabilitas keamanan

    nasional, menghambat cita-cita pembangunan, dan mengganggu kehidupan

    sosial ekonomi bangsa indonesia. Perilaku korup membuat kerugian negara

    yang sedemikian besar, membuat program pembangunan bangsa terhambat.

    Hingga ada akhirnya, harus disadari tindak pidana korupsi merupakan

    kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

    Sesungguhnya reformasi hukum terkait dengan pemberantasan tindak

    pidana korupsi sekarang sudah dilaksanakan. Reformasi dari perangkat

  • hukum, seperti aturan-aturan dan para aparat penegak hukum dilakukan

    secara besar-besaran. Menjadi langkah nyata ketika lahir Undang-undang

    Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    sebagaimana dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Dengan

    diberlakukannya Undang-undang ini, memberi harapan besar agar praktik

    korupsi menjadi berkurang dan memberi efek jera bagi koruptor. Inilah

    memang fenomena yang terjadi, Korupsi sudah menjadi kebiasaan bahkan

    membudaya hampir di seluruh elemen pemerintahan dan aparatur penegak

    hukum. Lihatlah sekarang, para bekas menteri, gubernur, walikota, polisi,

    hakim, jaksa bahkan pengusaha juga terjerat korupsi. Semakin ketat aturan

    dan tegasnya aparat hukum, ternyata tidak membuat korupsi berkurang.

    Wewenang penyidikan sebagaimana dalam Peraturan perundang-

    undangan yang berkaitan dengan kepolisian sebagai suatu subsistem

    peradilan pidana adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

    Kepolisian Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002

    tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

    Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tugas kepolisian yang

    terkait dengan sebagai subsistem peradilan pidana adalah fungsi penyelidikan

    (pasal 1 ayat 4 KUHAP), Pasal 14 ayat 1 huruf a KUHAP dan Undang-Undang

    Nomor 2 Tahun 2002.

    Di samping itu juga dalam fungsi penyidikan Kepolisian mempunyai

    wewenang secara umum dalam tindak pidana apapun (Pasal 1 ayat 1 KUHAP

    dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002). Dalam hal ini negara Indonesia

    merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

    Dasar 1945, yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia.

    Hukum di sini mempunyai arti yang sangat penting dalam aspek kehidupan

    sebagai pedoman tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan

    manusia lainnya.1

    Seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana sesuai dengan

    bukti permulaan yang cukup dapat dilakukan penangkapan. Dalam

    Pasal 17 KUHAP. Setelah adanya penangkapan perbuatan hukum yang

    dilakukan oleh polisi adalah melakukan penyidikan, dan hal ini tentunya

    polisi juga melakukan perbuatan hukum kembali dengan cara melakukan

    penahanan kepada seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana,

    penahanan yang dilakukan oleh penyidik terbatas waktunya misalnya untuk

    penahanan tahap awal polisi dapat melakukan penahanan atau dengan

    cara mengeluarkan Surat Perintah Penahanan (model Serse; A,6) selama 20

    hari (Pasal 20, 21, 24 KUHAP) dan apabila pemeriksaan penyidikan belum

    1 Sidik Sunaryo, System Peradilan Pidana, (Universitas Muhammadiyah: Malang, 2005), hlm. 227.

  • selesai maka penahanan tersebut ditambah kembali oleh jaksa selama 40

    hari (Pasal 24 KUHAP). Karena dalam pasal 24 ayat (2) KUHAP menggunakan

    kalimat “paling lama 40 hari” berarti secara umum yuridis memberikan

    perpanjangan penahanan.2

    Dikecualikan apabila ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal

    24 KUHAP, maka jangka waktu penahanan dalam tingkat pemeriksaan

    penyidikan dapat ditambah lagi oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 30 hari

    + 30 hari menjadi 60 hari sesuai dengan Pasal 29 KUHAP.

    “Tersangka atau Terdakwa yang menderita gangguan fisik atau mental yang berat dibuktikan dengan cara surat keterangan dokter atau Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara 9 tahun atau lebih”.

    KUHAP belum mengatur tentang batas waktu penyidikan terutama batas

    penyidikan terhadap tersangka korupsi. Selain itu penyidikan yang dilakukan

    oleh polisi yang berlarut-larut tanpa adanya jangka waktu bisa berbulan-

    bulan dan bertahun-tahun.

    Dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi adalah proses penyidikan

    karena merupakan tahap awal dalam proses peradilan pidana, oleh karena

    itu proses penyidikan ini menjadi sentral dan merupakan tahap kunci dalam

    upaya penegakkan aturan-aturan hukum pidana terhadap berbagai peristiwa

    yang terjadi.

    Belum adanya kepastian hukum dalam proses penyidikan terkait dengan

    limitasi jangka waktu penyidikan mengakibatkan posisi seseorang yang

    diduga keras melakukan tindak pidana statusnya terkatung-katung dan

    prosesnya biasanya berbulan-bulan. Meskipun tidak jarang proses penyidikan

    ini sangat cepat tapi untuk kasus yang tidak jelas pula. Artinya tidak ada

    standar yang jelas dalam KUHAP mengenai waktu masa penyidikan.3

    Sebagai negara yang menganut sistem due process model sudah menjadi

    kewajiban bagi Indonesia untuk mengedepankan hak-hak yang dimiliki oleh

    tersangkanya dalam proses beracara pidana. Hak adalah merupakan sesuatu

    yang diberikan kepada seseorang tersangka, terdakwa dan terpidana. Apabila

    hak ini dilanggar, maka hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana atau

    terhukum telah dilanggar atau tidak dihormati.4 Kepada tersangka telah

    difasilitasi dalam pemenuhan haknya misalnya saja hak untuk pemeriksaan

    dengan segera mungkin, hak memberi keterangan secara bebas maupun hak

    2 H. M.A Kuffal, S.H, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2005), hlm. 81.

    3 Zenes Saut P S, Tindakan Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh KPK Dalam Hal Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, Universitas Padjajaran Bandung.

    4 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 54.

  • untuk mendapatkan bantuan hukum. Hak-hak tersebut diberikan kepada

    tersangka disamping untuk tegaknya kepastian hukum, dimaksudkan untuk

    memberikan perlindungan terhadap hak asasi dan harkat martabatnya.5

    Dalam upaya menjamin tegaknya hak-hak tersangka perihal tersebut

    telah diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan yaitu Undang-

    Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya

    akan disebut sebagai KUHAP). Hak-hak tersebut diantaranya terdapat dalam

    ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 156 KUHAP yang utamanya mengatur

    perihal proses pemeriksaan tersangka. Hak-hak tersebut pada dasarnya tidak

    boleh disimpangi dan harus dijunjung tinggi sebagaimana mestinya. Tetapi

    seringkali dalam upaya memperoleh kebenaran suatu perkara pihak aparat

    penegak hukum (penyidik) dalam melakukan tindakan yang melanggar

    hak-hak tersebut terutama apabila dalam peraturan perundang-undangan

    terdapat adanya celah untuk melakukan hal tersebut. Pada prinsipnya

    keterangan tersangka yang diberikan merupakan keterangan terdakwa

    yang diberikan diluar sidang dan dapat dipergunakan untuk membantu

    menemukan bukti disidang dengan didukung suatu alat bukti sah lainnya,

    dalam praktik peradilan lazimnya terhadap keterangan tersangka/terdakwa

    ketika diperiksa penyidik kemudian keterangan tersebut dicatat dalam berita

    acara penyidikan ditandatangani oleh penyidik dan tersangka/terdakwa.6

    Tata cara penyidikan telah diatur dalam KUHAP maupun kewenangan

    dari penyidik sendiri.7 Pendekatan KUHAP mengenai dasar pemberian

    wewenang kepada penyidik bukan didasarkan atas kekuasaan, melainkan

    berdasarkan pendekatan kewajiban dan tanggung jawab yang diembannya,

    kepada masing-masing pejabat tersebut diberikan kewenangan yang

    disesuaikan/diselaraskan dengan berat-ringannya kewajiban dan

    tanggung jawab masing-masing serta kedudukan, tingkat kepangkatan

    dan pengetahuannya.8

    Mengenai penempatan tersebut dimaksudkan agar terdakwa terlebih

    dahulu mendengar, melihat alat bukti yang lain, dan telah diperlihatkannya

    barang bukti. Dengan demkian diharapkan terdakwa benar-benar dapat

    merenungi, menyadari apa yang didakwakan, meskipun bukan berarti

    terdakwa harus membenarkan atau mengiyakan setiap alat bukti yang

    5 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 338.

    6 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan permasalahannya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 103.

    7 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus), (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 43.

    8 Djoko Prakoso, Peranan Psikologi dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap Penyidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 44.

  • dikemukakan dalam sidang.9 Namun untuk mengupayakan agar tersangka

    memberi keterangan dengan jelas dalam pemeriksaan penyidik sering

    melanggar hak-hak mereka sebagai tersangka.

    Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa perbuatan yang sedemikian

    rupa akan berakibat suatu kondisi yang tidak seimbang antara aparat penegak

    hukum dengan tersangka. Hal ini bertentangan dengan asas keseimbangan

    yang dianut dalam KUHAP dimana dalam setiap penegakan hukum harus

    berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan

    terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap

    kepentingan dan ketertiban masyarakat.10

    Dalam proses pemeriksaan sebelum persidangan sampai tahap

    penuntutan sangat rentan terjadi pelanggaran yang pada ujungnya akan

    merugikan tersangka yang pada akhirnya dalam tahap persidangan. Pada

    kenyataannya, sejarah membuktikan bahwa kenaifan hukum seperti ini

    diberlakukan dengan bangga oleh manusia selama berabad-abad lamanya.

    Bahkan, digunakan pada zaman orang sudah mengenal hukum yang rasional

    sejak masa kejayaan Romawi di Eropa Barat. Ini menjadi bukti kuat bahwa

    berbagai teori dan praktik hukum tidak selamanya berjalan seiring dengan

    perkembangan rasio manusia.11

    Pada masa itu banyak masyarakat tidak memandang keadaan tersebut

    sebagai suatu hal yang salah. Untuk timbulnya suatu keadaan hukum, maka

    harus ada suatu tindakan sosial yang oleh masyarakat dianggap sebagai yang

    salah, sedemikian salahnya sehingga selalu tidak diadakan sesuatu tindakan,

    maka pranata yang dijunjung tinggi dalam masyarakat akan terinjak.12

    Pada hakikatnya kualitas penegakan hukum tidak dapat dilepaskan

    dari tujuan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan kualitas

    pembangunan yang berkelanjutan (“sustainable development/sustainable

    society”).13 Sementara hukum sendiri bertujuan untuk mengadakan

    keselamatan, bahagia dan tata tertib dalam masyarakat itu.14

    Praperadilan merupakan hal yang baru dalam dunia peradilan Indonesia.

    Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan

    9 Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, (Bandung: Alumni, 2011), hlm. 79.

    10 M. Yahya Harahap, Op.Cit. hlm. 38. 11 Munir Fuady,Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung: Citra

    Aditya Bakti, 2006), hlm. 22. 12 T,O,Ihromi, Antropologi dan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984),

    hlm. 47. 13 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet, 3, (Bandung: Citra Aditya

    Bakti, 2013), hlm. 249. 14 Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut

    Hukum Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 3.

  • KUHAP dalam lingkungan penegak hukum. Dalam Pasal 1 butir (10) KUHAP

    menyatakan:

    “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas

    permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.

    b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

    c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”15

    Praperadilan tidak diatur dalam ketentuan Herzien Inlandsch

    Reglement yang selanjutnya disebut (HIR). Keberadaan praperadilan dalam

    KUHAP merupakan hal yang baru dan digunakan untuk melindungi hak-

    hak tersangka dalam proses penyidikan. Sehinga ada ruang keadilan bagi

    tersangka untuk mencari keadilan, dalam masa kolonial Belanda praperadilan

    tidak diatur. Hal ini dapat dimengerti, bahwa perbedaan tersebut dapat

    terjadi oleh karena HIR diciptakan dalam suasana zaman kolonial Belanda,

    yang pada dasarnya produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya

    dibentuk sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak yang berkuasa

    dalam hal ini pihak penjajah.16 Sehingga penting keberadaan praperadilan

    dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia.

    Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap tegaknya hak-hak

    yang dimiliki tersangka KUHAP mengatur tentang lembaga Praperadilan.

    Pengaturan lembaga Praperadilan dalam KUHAP, merupakan adopsi atas

    lembaga habeas corpus dari sistem peradilan pidana Anglo-Saxon. Namun

    wewenang yang diberikan kepada hakim dalam proses peradilan jauh lebih

    terbatas dibandingkan dengan wewenang hakim komisaris di negara-

    negara dengan tradisi civil law di Eropa daratan (rechter-commissaris, jugde

    d’instruction, juez de intruciœn, juiz intruçœo dan sebagainya).17 Praperadilan

    berawal dari gagasan Adnan Buyung Nasution bersama beberapa pakar

    hukum antara lain Gregory Churchill, lawyer Amerika Serikat (yang sedang

    menjadi dosen di Universitas Indonesia), Adnan Buyung Nsution kemudian

    merumuskannya menjadi praperadilan yang dikenal dalam KUHAP.18

    Praperadilan sebagai salah satu bentuk upaya perlindungan hak-hak asasi

    15 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam KUHAP, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 6.

    16 Ibid, hlm. 8. 17 Andi Hamzah dan RM Surachman, Pre-Trial Justice Discretionary Justice dalam

    KUHAP Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 106. 18 Ibid, hlm. 106-107.

  • manusia sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar

    Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28A sampai 28J kepada KUHAP

    khususnya ketentuan Pasal 28D. Dengan adanya lembaga praperadilan,

    diharapkan dapat menjadi sarana kontrol bagi aparat penegak hukum

    dalam menjalankan kewenangannya. Praperadilan sebagai satu kesatuan

    tidak terlepas dari struktur dan administrasi yudisial Pengadilan Negeri.

    Segala sesuatu yang menyangkut administrasi dan pelaksanaan tugas

    praperadilan, berada dibawah ruang lingkup kebijaksanaan dan tata laksana

    Ketua Pengadilan Negeri.19

    Praperadilan memberikan keuntungan kepada tersangka dari

    kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam melakukan proses

    penyidikan. Untuk memberikan perlindungan kepada orang yang diduga

    sebagai tersangka dari kewenangan aparat penegak hukum. KUHAP telah

    menyediakan lembaga praperadilan memiliki tugas untuk menjaga ketertiban

    pemeriksaan pendahuluan dalam rangka melindungi seseorang yang diduga

    tersangka terhadap tindakan-tindakan penyidik dan/atau penuntut yang

    melanggar hukum dan merugikan tersangka.20 Perlindungan terhadap hak-

    hak tersangka bisa diperjuangkan dalam proses praperadilan, sehingga proses

    yang dijalankan lebih transparan dan adil.

    Upaya paksa yang dilakukan dalam penyidikan maupun tahap

    penuntutan oleh lembaga yang berwenang dapat dilakukan kontrol melalui

    lembaga praperadilan. Tujuan dibentuknya lembaga praperadilan agar hak-

    hak tersangka dapat dilindungi terutama dalam hal penangkapan maupun

    penahanan yang tidak sah serta adanya penghentian penyidikan maupun

    penuntutan. Walaupun lembaga tersebut telah diatur dalam KUHAP,

    namun dalam aplikasinya masih terdapat beberapa kelemahan baik dalam

    formulasinya maupun dalam penerapannya di pengadilan, sehingga tidak

    memberikan perlindungan maksimal terhadap hak asasi manusia tersangka.

    Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum merupakan

    faktor utama dalam memaksimalkan keberadaan lembaga praperadilan.

    Ketidaktahuan masyarakat disebabkan tidak jalannya informasi dari

    pemerintah. Terbatasnya pengetahuan publik tentang mekanisme

    praperadilan merupakan indikasi adanya suatu penyimpangan dari asas

    transparansi dan akuntabilitas publik, dimana pemerintah seharusnya

    melancarkan kebebasan aliran informasi mengenai mekanisme

    permintaan praperadilan.

    19 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 12.

    20 S. Tanusubroto, Peranan PraPeradilan Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm.10.

  • Pengaturan praperadilan diatur dalam ketentuan Pasal 77 sampai dengan

    Pasal 83 KUHAP. Mengenai wewenang praperadilan dalam Ketentuan Pasal

    77 KUHAP dinyatakan: Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan

    memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini

    tentang:

    a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan

    atau penuntutan;

    b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara

    pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

    Kemudian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/XII-PUU/2014

    ketentuan mengenai syarat-syarat permohonan praperadilan ditambah

    dengan penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan sebagai obyek

    praperadilan. Mengenai alasan disetujuinya penambahan syarat praperadilan

    dapat diambil dari pertimbangan hakim anggota Anwar Usman yang tertuang

    dalam risalah sidang perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan:

    “Bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah „penetapan tersangka oleh penyidik‟ yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut. Padahal hukum harus mengadopsi tujuan keadilan dan kemanfaatan secara bersamaan sehingga jika kehidupan sosial semakin kompleks maka hukum perlu lebih dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang lebih baik dan sempurna. Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.”21

    Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga merubah konstruksi dari

    praperadilan itu sendiri. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi konstruksi

    dari praperadilan awalnya hanya berwenang memeriksa dan memutus

    sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan, sah atau tidaknya

    penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, serta permintaan

    ganti kerugian atau rehabilitasi, oleh putusan a quo kewenangannya diperluas

    dengan menambahkan pengujian mengenai sah tidaknya penggeledahan,

    21 Pendapat tersebut dikutip oleh Hakim Anggota Anwar Usman dari pendapat Shidarta, 2013, hlm. 207-214.

  • sah tidaknya penyitaan, serta sah tidaknya penetapan tersangka. Meskipun

    putusan a quo dinilai melebihi kewenangan Mahkamah Konstitusi karena

    dinilai telah membuat norma baru, namun putusan a quo tetap bersifat final

    dan mengikat sehingga harus dianggap sebagai hukum pelengkap KUHAP.

    Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memperluas kewenangan materi

    uji dalam praperadilan.

    Selain itu Mahkamah Konstitusi mengubah Pasal 1 angka 14, 17 dan

    Pasal 21 ayat (1) dengan menambakan frase “minimal dua alat bukti” dalam

    proses penetapan tersangka dan penyidikan. Hulu pertimbangan putusan

    ini adalah contoh pengujian terhadap keabsahan perolehan alat bukti atau

    (illegal secured evidence) yang menjadi pengaturan dari exclusionary rules,

    yaitu dari kasus Dominique Khan yang disangkakan melakukan perkosaan

    terhadap Nafissatou Diallo tahun 2011 di Magistrates Court New York, karena

    perolehan alat bukti penegak hukum dianggap melanggar Rights of Protection

    by the State, Disciplining the Police dan The Legitimacy of the Verdict.22 Selain itu

    mengenai ketentuan dua alat bukti ini juga diambil dari ketentuan dalam

    Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah lahir sebelum penambahan

    dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Peraturan dalam Undang-

    Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diasumsikan sebagai tanda

    awal perubahan norma dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

    Beberapa kasus korupsi di Indonesia telah mempergunakan lembaga

    praperadilan dalam hal penetapan tersangka. Berikut adalah kasus-kasus

    yang mengajukan praperadilan terhadap status tersangka:23

    NO KASUS KETERANGAN

    1 Miryam Haryani di Kasus Keterangan Palsu

    Miryam Haryani mengajukan gugatan praperadilan dengan permohonan agar status tersangka dugaan pemberian keterangan palsu dicabut. Miryam menyebut KPK tidak berwenang mengadili perkara yang disangkakan padanya. Hakim tunggal Asiadi Sembiring akhirnya menolak gugatan praperadilan yang diajukan Miryam S Haryani. Majelis hakim menyatakan penetapan status tersangka Miryam di KPK tetap sah. Hakim menegaskan, langkah KPK menetapkan Miryam sebagai tersangka pemberian keterangan tidak benar dalam persidangan dugaan korupsi e-KTP sudah memenuhi dua alat bukti. Penetapan tersangka dinyatakan hakim sesuai dengan prosedur.

    22 Indriyanto Seno Adji, Pra Peradilan dan KUHAP (Catatan Mendatang), (Jakarta: Diadit Media, 2015), hlm. 4-5.

    23 https://news.detik.com/berita/3509949/kpk-vs-tersangka-korupsi-di-5- praperadilan-terakhir. diakses pada 28 September 2017 Pukul 13.00 Wib

  • NO KASUS KETERANGAN

    2 Rohadi di Kasus Suap dan Gratiftkasi

    status tersangka suap dan gratifikasi digugat oleh keluarga Rohadi melalui praperadilan sebanyak 2 kali. Pertama ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan kedua ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada November 2016, anak bungsu Rohadi, Reyhan Satria Hanggara, mengajukan gugatan praperadilan ketiga terkait status tersangka Rohadi di kasus pencucian uang. Gugatan diajukan melalui pengacara Tonin Singarimbun. Lagi- lagi gugatan itu dimentahkan hakim. Gugatan tak dapat diterima dengan alasan kasus Rohadi yang lain, yakni terkait suap dan gratifikasi, telah disidangkan di Pengadilan Tipikor.

    3 Bupati Nganjuk Tauftqurrahman di Pembangunan Jembatan Hingga Perbaikan Jalan

    Bupati Nganjuk Taufiqurrahman memenangkan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Ia mengajukan gugatan praperadilan terkait kasus 5 proyek yang terjadi pada 2009.

    4 Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun di Kasus Suap Akil Mochtar

    Hampir semua pertimbangan KPK dilihat oleh hakim. Dengan putusan ini, proses penyelidikan perkara korupsi terus berjalan di KPK.

    5 Mantan Ketua DPD Irman Gusman di Kasus Suap Kuota Gula Impor

    Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) memvonis gugur gugatan praperadilan mantan Irman Gusman melawan KPK. Sebab perkara yang dimaksud sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta untuk segera diadili.

    Terkait penetapan tersangka di Indonesia masih memiliki permasalahan

    diantaranya mengenai batas waktu atau limitasinya terhadap seseorang.

    Seseorang berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP baru bisa berhenti

    menyandang statusnya sebagai tersangka apabila terhadap perkaranya

    dilakukan penghentian penyidikan. Sementara penghentian penyidikan

    sendiri menurut Pasal 76 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

    Indonesia No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

    baru dapat dilakukan apabila:

    a. Tidak terdapat cukup bukti;

    b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; dan

    c. Demi hukum, karena:

    1. Tersangka meninggal dunia;

    2. Perkara telah kadaluarsa;

    3. Pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan

    4. Tindak Pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang

    mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem).

    Tidak adanya limitasi terkait dengan status tersangka, merupakan

    kerugian oleh seseorang yang telah ditetapkan tersangka. Walau demikian

  • tersangka memiliki hak-hak yang telah diatur dalam Pasal 50 Ayat 1 dan 2

    KUHAP yang menyatakan:

    Ayat 1 tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. Ayat 2 tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum .

    Hak-hak tersangka ini merupakan upaya untuk memberikan keadilan

    bagi tersangka dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik yang

    berwenang. Namun dalam hak-hak tersangka ini belum sempurna, karena

    tidak ada batasan yang jelas untuk segera mendapatkan pemeriksaan. Dengan

    demikian status tersangka ini bisa dikatakan merugikan seseorang yang diduga

    melakukan pelanggaran tindak pidana, karena tidak adanya limitasi yang jelas.

    Status tersangka yang terkatung-katung (tanpa batas waktu) dapat dilihat

    dari kasus yang ditangani KPK menahan Andi Zulkarnaen Mallarangeng

    alias Choel Mallarangeng sebagai tersangka dugaan korupsi Pusat Pelatihan,

    Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P2SON) di Hambalang, Jawa

    Barat, tahun anggaran 2010-2012. KPK menetapkan Choel sebagai tersangka

    pada 16 Desember 2015 dan baru ditahan di rumah tahan KPK cabang Pomdam

    Jaya Guntur untuk 20 hari kedepan sampai dengan 25 Pebruari 2017.24

    Penetapan tersangka oleh KPK kepada Choel Mallarangeng sudah

    dilakukan tertanggal 16 Desember 2015 dan baru ditahan 25 Februari 2017,

    dengan demikian sudah 22 bulan tidak memiliki kejelasan dalam melakukan

    pembelaan terkait dengan status tersangka. Ketidak jelasan ini merupakan

    dampak tidak adanya sebuah peraturan yang jelas terkait dengan batasan

    atau limitasi tentang status tersangka. Dalam Pasal 50 Ayat 1 dan 2 KUHAP

    yang mengatur tentang hak-hak tersangka, juga tidak mengatur tentang

    limitasi status tersangka, sehingga permasalahan ini merugikan seseorang

    yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

    Status tersangka Choel Mallarangeng karena dugaan korupsi Pusat

    Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P2SON) merupakan

    salah bentuk kelemahan dari sistem hukum pidana Indonesia. Sudah lebih

    dari 22 bulan Choel Mallarangeng tidak mendapat kepastian hukum. Sebagai

    tersangka Choel Mallarangeng memiliki hak-hak seperti yang telah diatur

    dalam Pasal 50 Ayat 1 dan 2 KUHAP. Hak-hak tersangka yang dimaksud

    tentang, berhak untuk mendapatkan pemeriksaan dengan segera oleh

    penyidik sehingga bisa dilanjutkan ke penuntut umum dan perkaranya

    berhak untuk segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. Proses

    tersebut merupakan upaya dalam memberikan kepastian hukum kepada

    24 http: www. Covesia.com. terkatung-katung selama lima tahun, akhirnya Choel Mallarangeng Ditahan KPK. Diakses tanggal 29 Mei 2017.

    http://www/

  • tersangka dalam melakukan langkah hukum atau pembelaan dalam upaya

    mencari keadilan. Hak-hak tersangka seperti yang ada dalam Pasal 50 KUHAP

    tersebut belum berjalan efektif. Penyebab ketidak efektifan pasal tersebut

    adalah tidak adanya sebuah aturan yang jelas dalam menentukan batasan

    atau limitasi status tersangka.

    Mekanisme pelaksanaan praperadilan dalam Pasal 79 KUHAP yang

    menyatakan, “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu

    penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau

    kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.”

    Dari ketentuan tersebut mekanisme praperadilan, mengandung suatu norma

    yang sifatnya wajib agar setelah melakukan pengajuan permohonan gugatan

    praperadilan. Indonesia sebagai penganut due process model (mendapat

    perlindungan atau pembelaan diri sebagai hak), dalam sistem peradilan

    pidana tentunya mengharuskan jalannya proses peradilan pidana yang benar

    dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata

    lain tanpa adanya suatu pengajuan permohonan atas gugatan praperadilan

    oleh tersangka maka tidak dapat pula diproses keberatan tersangka atau

    pihak yang berkepentingan atas perbuatan aparat penegak hukum dalam

    proses pemeriksaan dari penentuan tersangka hingga menuju penuntutan.

    Dengan formulasi permohonan dalam mekanisme pengajuan gugatan

    praperadilan, terhadap pihak tersangka dan keluarga yang awam dengan

    hukum dan tidak didampingi oleh kuasa hukum akan menimbulkan suatu

    ketidakadilan terhadap posisi mereka dengan aparat penegak hukum. Dengan

    adanya persyaratan permohonan tersebut kesempatan untuk mengajukan

    praperadilan hampir tidak secara merata ada pada tiap masyarakat,

    melainkan bagi mereka yang mengenal hukum saja. Jika dibandingkan

    dengan pengajuan gugatan praperadilan oleh pihak penyidik dan Jaksa

    Penuntut Umum tentunya tidak terdapat keadilan karena pihak tersebut

    memiliki pengetahuan lebih dalam bidang hukum.

    Namun dari sudut pandang lain dalam permohonan gugatan praperadilan

    oleh pihak keluarga tersangka dapat dikategorikan sebagai ketidakadilan dari

    pihak aparat penegak hukum. Karena yang mengetahui dan mengalami

    dengan pasti terjadinya pelanggaran adalah pihak tersangka dan aparat

    penegak hukum saja, pihak keluarga tidak dapat memastikan. Fokus yang

    tidak kalah penting mengenai praperadilan mengenai limitasi waktu status

    tersangka. Tidak diaturnya limitasi ini mengakibatkan terkatung-katungnya

    status tersangka seseorang karena memang secara tegas tidak diatur dalam

    sistem peradilan pidana di Indonesia.

    Keberadaan praperadilan di Indonesia masih banyak dilakukan evaluasi

    karena masih banyaknya kelemahan dalam praktiknya. Tentu hal tersebut

  • sangat berbeda dengan beberapa negara yang memeliki lembaga yang

    berfungsi seperti praperadilan di Indonesia. Seperti di Belanda, Amerika

    sebagai negara penganut sistem Anglo Saxon dalam proses perkaranya

    memiliki lembaga praperadilan sendiri.

    Lembaga praperadilan Indonesia seyogyanya dapat mengakomodasi

    sistem lembaga praperadilan di AS dimana aparat penegak hukum setelah

    melakukan penangkapan atau penahanan dalam jangka waktu tertentu harus

    menghadirkan tersangka untuk pelaksanaan praperadilan yang meniadakan

    aspek permohonan dan menggantikan mekanismenya menuju ke arah yang

    otomatis. Perlu dibentuk suatu lembaga baru yang mengadopsi lembaga

    hakim Komisaris di Belanda yang berperan sebagai pengawas atau sarana

    kontrol praperadilan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai Pancasila

    khususnya kemanusiaan yang dianut oleh Indonesia.

    Sifat hukum acara pidana ini harus dipandang dari dua optik

    kepentingan yang fundamental sifatnya. Pertama, dari optik kepentingan

    masyarakat itu sendiri dalam artian bahwa kepentingan masyarakat harus

    dilindungi yang mana hal ini merupakan sifat hukum acara pidana sebagai

    bagian dari hukum publik (public law). Kedua, dari aspek kepentingan

    orang yang dituntut dalam artian hak-hak dari orang yang dituntut

    dipenuhi secara wajar sesuai ketentuan hukum positif dalam konteks

    negara hukum (rechtstaat).25

    Ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia lembaga praperadilan sekarang

    ini masih belum mencerminkan suatu perlindungan HAM yang kokoh bagi

    pihak tersangka. Selama tidak ada permohonan pengajuan praperadilan maka

    tidak ada pula perlindungan dari lembaga praperadilan atas kesewenangan

    pihak penyidik. Penegakkan HAM tidak hanya perlu dilakukan oleh yang

    bersangkutan saja tetapi pihak lain juga memiliki peranan didalamnya.

    Hal ini bertentangan dengan tujuan dari kebijakan hukum pidana

    yang idealnya harus memperhatikan fungsi dan tujuan dari hukum

    pidana itu sendiri, yaitu mengatur dan melindungi kepentingan hukum

    anggota masyarakat dalam pergaulan sehari-hari sebagai warga negara

    dari masyarakat lainnya, tindakan dari anggota atau kelompok atau dari

    penguasa. Ketentuan mengenai lembaga praperadilan saat ini dirasa penulis

    masih belum mencerminkan hal sedemikian rupa dengan sistem pengajuan

    melalui permohonan.

    Karena sifat Praperadilan yang mengedepankan pengetahuan hukum,

    maka untuk melindungi hak-hak yang dimiliki oleh tersangka diperlukan

    peran dari penasehat hukum. Akan tetapi, tidak semua orang dapat

    25 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap: Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 11.

  • menghadirkan penasehat hukum dalam proses berperkara mengingat biaya

    jasa yang cukup tinggi.

    Dengan tidak adanya batasan limitasi jangka waktu status tersangka,

    maka hal tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum dan

    Presumption of Innocence (asas praduga tak bersalah). Dalam prinsip kepastian

    hukum terdapat suatu jaminan bahwa suatu hukum harus dijalankan dengan

    cara yang baik atau tepat. Kepastian pada intinya merpakan tujuan utama dari

    hukum. Jika hukum tidak ada kepastian maka hukum akan kehilangan jati

    diri serta maknanya. Jika hukum tidak memiliki jati diri maka hukum tidak

    lagi digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian hukum

    merupakan suatu konsep untuk memastikan bahwa hukum dijalankan

    dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun, hukum

    harus bisa menjadi pedoman, mengayomi dan melindungi masyarakat dari

    berbagai tindak kejahatan atau pelecehan pada individu ataupun kelompok.

    Asas kepastian hukum harus mencerminkan pula suatu falsafah keadilan

    bagi masyarakat. Konsep untuk menentukan kepastian hukum tersebut

    dijalankan melalui pengaturan hukum dalam suatu perundang-undangan

    yang ditetapkan oleh pemerintah. Kepastian hukum akan mengarahkan

    masyarakat untuk bersikap positif pada hukum negara yang telah ditentukan.

    Penetapan tersangka yang berlarut-larut tanpa adanya jangka waktu yang

    pasti, telah mencerderai konsep kepastian hukum bagi individu, selain

    itu dengan berlarut-larutnya penetapan tersangka tanpa adanya jangka

    waktu (limitasi) bertentangan dengan asas Presumption of Innocence

    (praduga tak bersalah). Penetapan bersalah atau tidaknya seseorang ada

    ditangan hakim, selama hakim belum memutuskan bahwasanya seseorang

    bersalah, seharusnya hukum memberikan perlindungan terhadapnya dengan

    tidak melakukan pelabelan sebagai tersangka pada diri individu tersebut.

    Penetapan tersangka telah mengurangi hak-hak dari seorang individu, dan

    tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

    Asas praduga tidak bersalah secara internasional tertuang dalam Pasal 11

    Deklarasi Hak Asasi Manusia yang sifatnya fundamental untuk melindungi

    hak asasi manusia dari proses pidana yang sewenang-wenang.26 Dalam

    perundang-undangan di Indonesia, asas ini diletakkan dalam Pasal 8

    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

    Kekuasaan Kehakiman yang digantikan oleh Undang-Undang Nomor 48

    Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

    Penetapan tersangka yang menjadi objek praperadilan setelah keluarnya

    putusan MK No 21/PUU-XII/2014, ternyata juga tidak mengakomodir

    26 Eddy O,S, Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2014), hlm. 75.

  • pembatasan jangka waktu terhadap penetapan tersangka tersebut, putusan

    Mahkamah Konstitusi tersebut hanya mengatur tentang limitasi syarat

    penetapan tersangka, sehingga putusan praperadilan yang seharusnya

    dianggap sebagai suatu sarana mencari keadilan belum mampu untuk

    mewujudkannya

  • BAB II

    LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM SISTEM

    PERADILAN PIDANA INDONESIA

    A. Makna Filosofis, Historis, Yuridis dan Sosiologis Lembaga Praperadilan

    dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

    1. Makna Filosofis

    Keberadaan praperadilan sangat penting dalam memberikan

    kepastian dalam proses penyidikan dan penentuan tersangka, yang

    terdapat dalam hukum acara pidana. Sementara itu tujuan dari hukum

    acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-

    tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-

    lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan

    hukum acara pidana secara jujur dan tepat untuk mencari siapa pelaku

    dari suatu tindak pidana dan selanjutnya melakukan pemeriksaan di

    pengadilan untuk menentukan apakah terbukti bersalah atau tidak, juga

    mengatur pokok-pokok cara pelaksanaan dan pengawasan terhadap

    putusan yang telah dijatuhkan. Keberadaan praperadilan bisa dikatakan

    sebagai media untuk tersangka dalam mencarikejelasan yang terkait

    dengan proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik baik kepolisian

    atau kejaksaan atau oleh lembaga yang diberikan kewenangan.

    Badan Pembinaan Hukum Nasional menjelaskan mengenai sejarah

    dan landasan filosofis dari adanya proses praperadilan.1 Sejarah hukum

    acara pidana di Indonesia, pada masa prakemerdekaan, terdapat dua

    hukum acara yang berlaku di Indonesia, yaitu Strafverordering (Sv) yang 1 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan di

    Indonesia, http://www.bphn.go.id/data/documents/pk-2011-2.pdf, diakses pada tanggal 26 April 2015

    http://www.bphn.go.id/data/documents/pk-2011-2.pdf

  • berlaku bagi masyarakat eropa yang berada di Indonesia dan Inlands

    Reglement (IR), yang diganti dengan Herziene Indische Reglement (HIR)

    dengan Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941, untuk golongan pribumi.

    Terselenggaranya peradilan yang adil menjadi kewajiban penyelenggara

    negara dan menjadi hak dasar bagi tersangka atau terdakwa yang

    harus dipenuhi oleh negara. Pemenuhan hak dasar bagi tersangka atau

    terdakwa tersebut sebagai bagian dari pelaksanaan asas dasar dalam

    penyelenggaraan hukum pidana, baik dalam hukum pidana materiil

    maupun hukum pidana formil.

    Proses pengajuan praperadilan yang dilakukan oleh tersangka

    merupakan hak dalam mendapatkan keadilan sangat wajar mengingat

    adanya pembatasan terhadap hak kebebasannya. Segala bentuk tindakan

    hukum terhadap tersangka atau terdakwa yang berakibat terampasnya

    hak tersangka atau terdakwa harus berdasarkan undang-undang dan

    undang-undang harus memberikan syarat yang harus dipenuhi dan

    menjadi dasar hukum dalam melakukan tindakan hukum terhadap

    tersangka atau terdakwa tersebut agar wewenang yang diberikan oleh

    undang-undang kepada aparat penegak hukum tidak dipergunakan

    sewenang-wenang.

    Keadilan dan hukum tidak dapat dipisahkan, termasuk praperadilan

    sebagai wadah dalam mencari keadilan bagi tersangka. John Rawls

    yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”,

    berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya

    institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi

    seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat

    rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.

    Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.2

    Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota

    masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial

    yang ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik dimana

    keadilan sebagai fairness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip pengaturan

    institusi-institusi yang ada didalamnya.3 Keadilan bisa tercapai bukan

    hanya dengan pengaturan institusi-institusi, meliankan juga kepada

    masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip keadilan dalam

    menjalankan fungsi yang ada di institusi.

    Rawls memandang bahwa kesepakatan yang fair hanya bisa dicapai

    dengan adanya prosedur yang tidak memihak. Mereka yang meyakini

    konsep keadilan yang berbeda bisa tetap sepakat bahwa institusi-

    2 Pan Mohamad Faiz, Op, cit., hlm. 135. 3 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Op cit., hlm. 5.

  • institusi adalah adil ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang

    antar orang dalam memberikan hak dan kewajiban dan ketika aturan

    menentukan keseimbangan yang pas antara klaim-klaim yang saling

    berseberangan demi kemanfaatan kehidupan sosial.4 Keadilan sebagai

    fairness diungkapkan oleh Rawls dalam gagasannya sebagai prinsip-

    prinsip keadilan yang disepakati dalam situasi yang fair.5 Salah satu

    bentuk keadilan sebagai fairness yaitu memandang berbagai pihak dalam

    situasi awal sebagai rasional dan sama-sama netral.6

    Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian

    hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan

    hak persamaannya sesuai dengan hak proporsional. Kesamaan hak

    dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah

    yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara

    dihadapan hukum sama. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa

    yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah

    dilakukannya.7 Menurut Rawls, Aristoteles jelas-jelas mengasumsikan

    penilaian tentang apa yang layak menjadi milik seseorang dan apa yang

    berkaitan dengannya.8

    Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles terbagi ke

    dalam dua bentuk, keadilan “distributief” dan keadilan ”commutatief”.

    Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang

    porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama

    prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar

    barang dan jasa.9

    Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,

    kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam

    masyarakat. Dengan apa yang ada di benak Aristoteles ialah distribusi

    kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku di

    kalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan ditribusi yang

    sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.10

    Lembaga peradilan sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi setiap

    warga negara. Lembaga peradilan merupakan badan yang berdiri sendiri

    (independent). Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala

    4 Ibid, hlm. 6. 5 Ibid, hlm. 14. 6 Ibid, hlm. 15. 7 Marwan Effendy, Op.cit, hlm. 75-76. 8 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Op.Cit. hlm. 11. 9 L,J, Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita 1996),

    hlm. 11-12. 10 Marwan Effendy, Op.cit, hlm. 76.

  • sesuatu mengenai perkara peradilan.11 Peradilan juga dapat diartikan suatu

    proses pemberian keadilan di suatu lembaga.12 Dalam kamus Bahasa Arab

    disebut dengan Istilah qadha yang berarti menetapkan, memutuskan,

    menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah adalah penyelesaian

    sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang mana penyelesaiannya

    diselesaikan menurut ketetapan-ketetapan (hukum) dari Allah dan Rasul.

    Sedangkan pengadilan adalah badan atau organisasi yang diadakan oleh

    negara untuk mengurus atau mengadili perselisihan-perselisihan hukum13.

    Terkait aparat kepolisian yang melakukan tindakan-tindakan

    yang kurang sesuai dengan UU tidak sedikit terjadi di masyarakat.

    Banyak pendapat dari masyarakat tentang aparat Kepolisian yang

    sengaja memanfaatkan jabatannya untuk melakukan tindakan-

    tindakan yang tidak semestinya baik itu masih dalam melaksanakan

    tugas dan kewajibannya maupun diluar tugasnya sebagai pelindung

    masyarakat. Entah itu semua benar atau tidak namun dari segala apa

    yang berkembang dalam masyarakat mari fokuskan permasalahan pada

    masalah kesalahan penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian

    penyidikan dan penuntutan yang dilakukan penyidik yang didalamnya

    termasuk juga aparat Kepolisian yang semua ini berujung pada lahirnya

    lembaga Praperadilan sebagai suatu kontrol pada tindakan penyidik

    menyangkut perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Praperadilan itu.

    Keberadaan lembaga peradilan sangat penting untuk menyelesaikan

    perkara yang ada dalam masyarakat, tetapi yang tidak kalah pentingnya

    adalah adanya pengadil dalam lembaga peradilan adalah atau yang biasa

    disebut hakim. Hakim mempunyai peran yang besar dalam memberikan

    keadilan kepada setiap orang yang berperkara di persidangan. Sehingga

    diharapkan seorang hakim dalam memeriksa, menyelesaikan, dan

    memutus suatu perkara juga harus bebas dari pengaruh apa atau

    siapapun untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya kepada setiap

    orang yang berperkara di pengadilan.

    Penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain sebagainya yang

    bersifat mengurangi dan membatasi kemerdekaan dan hak asasi

    tersangka. Karenanya, tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan lembaga

    praperadilan ini adalah untuk menghindari adanya pelanggaran

    dan perampasan hak asasi tersangka atau terdakwa. Demi untuk

    terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, Undang-undang 11 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo

    Persada, 2003), hlm. 2. 12 Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia,

    (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005), hlm. 278. 13 Cik Hasan Basri, op.cit, hlm. 3.

  • memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk

    melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,

    penyitaan dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan penyidik

    penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan

    perlakuan yang bersifat:

    Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan

    pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka.

    Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-

    undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan

    perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan

    terhadap hak asasi tersangka.

    Hakim dalam memutus sebuah sengketa harus adil dan tidak bisa

    memihak salah satu pihak. Proses tersebut dilakukan dalam persidangan

    dengan cara, para pihak yang bersengketa mengajukan dalil-dalil yang

    saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil

    manakah yang benar dan dalil-dalil manakah yang tidak benar. Dalam

    melakukan pemeriksaan ini, hakim harus mengindahkan aturan-aturan

    tentang pembuktian yang merupakan hukum pembuktian.

    Karena upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum

    merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi

    tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggungjawab menurut

    ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law).

    Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan

    Undang-undang merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka.

    Setiap tindakan perkosaan yang ditimpakan kepada tersangka

    adalah tindakan yang tidak sah, karena bertentangan dengan hukum

    dan undang-undang (illegal). Akan tetapi, bagaimana mengawasi dan

    menguji tindakan paksa yang dianggap bertentangan dengan hukum.

    Untuk itu perlu diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk

    menentukan sah atau tidaknya tindakan paksa yang dilakukan oleh

    petugas dalam mencari atau mengumpulkan bukti dan informasi.

    Dalam proses praperadilan, hakim dalam memutus sebuah

    sengketa harus adil dan tidak bisa memihak salah satu pihak. Proses

    tersebut dilakukan dalam persidangan dengan cara, para pihak yang

    bersengketa mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan. Hakim

    harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan

    dalil-dalil manakah yang tidak benar. Dalam melakukan pemeriksaan

    ini, hakim harus mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian yang

    merupakan hukum pembuktian.

  • Pada hakekatnya yang harus dibuktikan adalah peristiwanya dan

    bukan hukumnya. Oleh karena itu yang wajib membuktikan peristiwanya

    atau mengajukan alat bukti adalah para pihak, sedangkan hakim harus

    menentukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah terbukti tersebut.

    Jadi hakim dalam proses perkara harus menetapkan dan menemukan

    kebenaran peristiwa atau hubungan hukumnya terhadap peristiwa yang

    telah ditetapkan itu.14 Sehingga dalam memutus sebuah perkara hakim

    harus melihat peristiwa hukum yang sudah terjadi. Sehingga putusan

    yang dibuat bisa adil dan tidak merugikan salah satu pihak.

    Filosofi keadilan dan kepastian hukum dalam praperadilan sudah

    tercermin sejak awal pendirian lembaga praperadilan ini. Sehingga

    semangat utama berdasarkan keadilan dan kepastian. Setiap hal yang

    baru, tentu mempunyai suatu maksud dan tujuan atau motivasi tertentu.

    Pasti ada yang hendak dituju dan dicapai. Tidak ada sesuatu yang ingin

    diciptakan tanpa didorong oleh maksud dan tujuan. Demikian pula

    halnya dengan pelembagaan praperadilan. Ada maksud dan tujuan yang

    hendak ditegakkan dan dilindungi.15

    a. Perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama mereka yang

    terlibat dalam perkara pidana, khususnya pada tahap penyidikan

    dan penuntutan.

    b. Alat kontrol terhadap penyidik atau penuntut umum terhadap

    penyalahgunaan wewenang olehnya.

    Menjunjung tinggi hak asasi manusia dan alat kontrol dilakukan

    sesuai dengan aturan yang berlaku. Bukan berarti terhadap seseorang

    yang disangka ataupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana

    diberikan haknya sedemikian rupa seperti halnya seseorang yang tidak

    tersangkut suatu tindak pidana, akan tetapi meskipun akan dilaksanakan

    tindakan-tindakan tertentu bagi mereka yang disangka maupun didakwa

    telah melakukan tindak pidana, hendaknya pelaksanaan tindakan-

    tindakan tersebut tidak sewenang-wenang, akan tetapi menuruti apa

    yang telah ditentukan undang-undang.

    Tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum

    merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi

    tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab

    menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due

    14 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberti, 2002), hlm. 106.

    15 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika,2012), hlm. 3.

  • process of law). Prinsip yang terkandung pada praperadilan bermaksud

    dan tujuan guna melakukan tindakan pengawasan horizontal untuk

    mencegah tindakan hukum upaya paksa yang berlawanan dengan

    undang-undang.16 Oleh karena itu dasar dari adanya lembaga

    praperadilan ini adalah merupakan suatu cerminan pelaksanaan dari

    asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) sehingga tiap

    orang yang diajukan sebagai terdakwa telah melalui proses awal yang

    wajar dan mendapat perlindungan harkat manusianya dan merupakan

    suatu lembaga yang melakukan pengawasan horizontal atas tindakan

    upaya paksa yang dilakukan terhadap tersangka selama ia berada dalam

    pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan

    itu tidak bertentangan dengan undang-undang.

    Pada umumnya pemeriksaan di sidang Pengadilan dalam hukum

    acara pidana merupakan pemeriksaan mengenai perkara pokok dalam

    artian pemeriksaan untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum.

    Kalau kita teliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP ”praperadilan”

    maka maksud dan artinya secara harfiah berbeda. Pra artinya sebelum,

    atau mendahului, berarti ”praperadilan” sama dengan sebelum

    pemeriksaan di sidang Pengadilan (sebelum memeriksa pokok dakwaan

    Penuntut Umum).

    2. Makna Historis

    Lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari

    adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon,

    yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia

    khususnya hak kemerdekaan Habeas Corpus Act memberikan hak pada

    seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut

    (menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi

    ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah

    tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai

    dengan ketentuan hukum yang berlaku.17 Hal ini untuk menjamin

    bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap

    seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi

    ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak

    asasi manusia.

    16 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam KUHAP, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 16.

    17 Adnan Buyung Nasution, PraperadilanVS Hakim Komisaris: Beberapa Pemikiran Mengenai Keberadaan Keduanya, http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan- vs -hakim–komisaris – beberapa – pemikiran – mengenai – keberadaan - keduanya, diakses tanggal 15 Juni 2017.

    http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan-

  • Surat perintah pengadilan yang berisikan hak Habeas Corpus

    tersebut tidak hanya ditujukan untuk kepada penahanan yang terkait

    dalam proses peradilan pidana saja, namun juga terhadap segala bentuk

    penahanan yang dianggap telah melanggar hak kemerdekaan pribadi

    seseorang yang telah dijamin oleh konstitusi.18 Dalam perkembangannya

    surat perintah Habeas Corpus menjadi salah satu alat pengawasan serta

    perbaikan terhadap proses pidana baik di tingkat federal maupun di

    negara bagian di Amerika Serikat.

    Prinsip dasar Habeas Corpus ini menciptakan suatu forum yang

    memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang

    menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya untuk

    mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan ketetapan

    dari tindakan kekuasaan berupa penggunaan upaya paksa (dwang

    middelen), baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan

    maupun pembukaan surat-surat yang diberlakukan oleh pihak kepolisian

    ataupun kejaksaan ataupula kekuasaan lainnya. Prinsip dasar Habeas

    Corpus memunculkan gagasan lembaga praperadilan yang memberikan

    perlindungan kepada terdakwa/tersangka terhadap upaya paksa yang

    dilakukan aparat penegak hukum.

    Keberadaan Lembaga Praperadilan dianggap bahwa lembaga ini

    melindungi hak-hak masyarakat yang hak asasinya dilanggar oleh aparat

    penegak hukum serta melalui lembaga ini juga dapat membawa oknum

    aparat penegak hukum tersebut untuk dimintai pertanggungjawabannya

    dalam bentuk ganti kerugian dan rehabilitasi atas dugaan kesewenang-

    wenangan dalam menggunakan kekuasaanya. Maksud dan tujuan luhur

    dari Praperadilan tersebut teryata penerapannya belum berjalan maksimal.

    Lembaga Praperadilan diperuntukan demi mendapatkan rasa keadilan

    dan penegakan hukum serta agar tindakan hukum dari para penegak

    hukum tidak semena-mena terhadap masyarakat kecil, maka tindakan dari

    Aparat Penegak Hukum yang ada di daerah, agar tindakannya betul-betul

    berdasarkan hukum yang berlaku dan tidak berdasarkan kewenangan saja

    selagi memangku jabatannya atau selaku aparat.

    Sejarah keberadaan lembaga praperadilan merupakan betukan baru

    yang tertuang dalam KUHAP. Sementara itu dalam masa kolonial Belanda

    yang menggunakan Het Herziene Indonesisch yang selanjutnya ditulis

    (HIR) belum mengatur tentang praperadilan.

    HIR diciptakan dalam suasana kolonial Belanda, yang pada

    dasarnya produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya dibentuk

    18 Indira Putiet, Perbandingan Praperadilan, Habeas Corpus dan rechter Commisarie, http://one.indoskripsi.com/node/10432, diakses tanggal 10 Agustus 2010.

    http://one.indoskripsi.com/node/10432

  • sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak yang berkuasa, dalam

    hal ini penjajah. Berhubungan dengan perkembangan dan kemajuan

    zaman yang semakin moderen serta didasari pada perkembangan era

    kemerdekaan negara Republik Indonesia, sistem yang dianut HIR

    dirasakan telah ketinggalan zaman, tidak sesuai lagi dengan cita-cita

    hukum nasional dan diganti dengan undang-undang hukum acara

    pidana baru yang mempunyai ciri kodifikasi dan unifikasi berdasarkan

    Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.19

    Lembaga Praperadilan pertama kali diperkenalkan di Indonesia sejak

    diberlakukannya KUHAP, tujuan Praperadilan adalah upaya ”pengawasan

    horisontal” atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka

    selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar

    benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum

    dan undang-undang. Upaya paksa (dwang meddelen) dalam hal ini adalah

    baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, ataupun

    pemeriksaan surat-surat yang dilakukan Penyidik ataupun Penuntut Umum.

    Upaya kontrol (pengawasan) tersebut dilakukan dalam rangka penegakkan

    hukum (law enforcement), sehingga tercipta kepastian hukum yang adil.

    Lembaga praperadilan diperkenalkan KUHAP dalam penegakan

    hukum dan bukan sebagai lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

    Serta bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai

    wewenang memberi putusan akhir atas suatu perkara pidana. Lembaga

    praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya:20

    a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada setiap

    pengadilan negeri, dimana praperadilan ini hanya dijumpai pada

    tingkat pengadilan negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah

    dari dan dengan pengadilan yang bersangkutan.

    b. Dengan demikian, praperadilan bukan berada diluar atau disamping

    maupun sejajar dengan pengadilan negeri.

    c. Administratif yustisial, personal teknis, peralatan dan finansialnya

    takluk dan bersatu dengan pengadilan negeri, dan berada di bawah

    pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua pengadilan negeri

    yang bersangkutan.

    d. Tatalaksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi

    yustisial pengadilan negeri itu sendiri.

    19 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 7.

    20 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Jilid II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1.

  • Dengan demikian, eksistensi atau keberadaan dan kehadiran

    praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri tetapi

    hanya merupakan pemberian wewenang baru dan fungsi baru yang

    dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri, sebagai wewenang

    dan fungsi tambahan terhadap wewenang dan fungsi pengadilan

    negeri yang telah ada selama ini. Kalau selama ini wewenang dan

    fungsi pengadilan negeri mengadili dan memutus perkara pidana

    dan perkara perdata sebagai tugas pokok, maka terhadap tugas pokok

    tadi ditambahkan tugas sampingan untuk menilai sah atau tidaknya

    penahanan, penyitaan atau penghentian penyidikan atau penghentian

    penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, yang

    wewenang pemeriksaannya diberikan kepada praperadilan.

    3. Makna Yuridis

    Pasal 1 butir 10 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

    menyebutkan bahwa21 “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri

    untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur undang-

    undang ini tentang (a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau

    penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain

    atas kuasa tersangka; (b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau

    penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan

    keadilan; (c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka

    atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

    diajukan ke pengadilan. Dengan demikian Praperadilan hanyalah

    menguji dan menilai tentang kebenaran atau ketepatan tindakan upaya

    paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum dalam hal yang

    menyangkut penangkapan dan penahanan, penghentian penyidikan

    dan penuntutan, serta hal ganti rugi dan rehabilitasi”. Akan tetapi

    meskipun lembaga tersebut telah diatur dalam hukum positif (UU No.

    18 tahun 1981) namun dalam aplikasinya masih terdapat kelemahan-

    kelamahan baik dalam formulasinya maupun dalam penerapannya di

    Pengadilan sehingga masih minimnya perlindungan Hak Asasi Manusia

    bagi Tersangka.

    Sebagaimana dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP, bahwa Praperadilan

    merupakan suatu bentuk upaya hukum yang dimaksudkan untuk

    menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan

    secara horizontal22, dalam hal ini berarti, praperadilan merupakan salah

    satu sarana yang dikenal dalam hukum acara pidana untuk memberikan

    21 Pasal 1 butir 10 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 22 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 190.

  • perlindungan hukum, keadilan dan kepastian hukum bagi para pencari

    keadilan yang berhadapan dengan aparat penegak hukum, khususnya

    terkait dengan Pencari Keadilan yang perkara pidananya sengaja tidak

    ditindaklanjuti dengan alasan yang tidak jelas di tingkat penyidikan,

    yang mana tindakan penyidik yang tidak menindaklanjuti suatu perkara

    pidana di tingkat penyidikan tersebut juga termasuk dalam proses

    penyidikan dan juga merupakan bagian dari Sistem Peradilan Pidana,

    sekaligus merupakan fungsi pengawasan suatu lembaga peradilan

    terhadap proses penyidikan dan dalam pelaksanaannya.

    Lembaga Praperadilan (Pengadilan Negeri) yang berwenang

    melakukan fungsi kontrol terhadap tindakan upaya paksa, ternyata

    tidak semua tindakan upaya paksa dapat dikontrol, Pasal 77 KUHAP

    membatasi kewenangan Pengadilan hanya terbatas pada pengujian

    sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan

    atau penghentian penuntutan; serta permohonan ganti kerugian dan/

    atau rehabilitasi bagi Tersangka yang perkara pidananya dihentikan

    pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Sedangkan untuk tindakan

    penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat-surat tidak

    dijelaskan dalam KUHAP, siapa yang berwenang memeriksa apabila

    terjadi pelanggaran dalam tindakan tersebut.

    Lembaga Praperadilan dikenal dalam KUHAP merupakan mekanisme

    kontrol yang berfungsi dan berwenang untuk melakukan pengawasan

    bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan

    pidana dan berwenang untuk memutus23:

    a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan;

    b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

    penuntutan;

    c) Apakah benda yang disita tidak termasuk alat pembuktian;

    d) Menetapkan ganti kerugian atau rehabilitasi.

    Keberadaan lembaga praperadilan memberikan dampak positif

    bagi setiap tersangka dalam mempertanyakan proses penyidikan, serta

    melindungi tersangka dari kesewenang-wenangan penyidik dalam

    proses penyidikan.

    Selain itu mengenai kewenangan Praperadilan yang ternyata bersifat

    pasif, karena Praperadilan tidak dapat menjalankan kewenangannya

    selama tidak ada permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak

    lain atas kuasa Tersangka untuk dilakukan pengujian. Sehingga apabila

    permintaan tersebut tidak ada, walaupun tindakan penangkapan atau

    23 Ratna Nurul Afiah, Op.Cit, hlm. vii

  • penahanan menyimpang atau melanggar ketentuan yang berlaku, maka

    sidang Praperadilan tidak dapat diadakan.

    Lembaga Praperadilan bukan merupakan lembaga tersendiri, tetapi

    merupakan suatu wewenang tambahan dari Pengadilan Negeri.

    Sebagaimana pengertian Praperadilan telah diatur dalam Pasal 1 angka

    10 jo Pasal 77 KUHAP, yaitu bahwa Praperadilan adalah wewenang

    suatu Pengadilan Nagari untuk memeriksa dan memutus sesuai

    dangan cara yang telah diatur dalam Undang-undang ini, yaitu

    tentang:

    a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas

    permintaan tersangka atau keluarga atau pihak lain atau kuasa

    tersangka;

    b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

    panuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

    c) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi olah tarsangka atau

    keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

    diajukan ke Pengadilan.

    Menyangkut Praperadilan banyak sekali hal-hal atau tuduhan

    miring kontroversial menyangkut pelaksanaannya. Tuduhan-tuduhan

    tersebut menyangkut antara lain seperti masalah gugurnya permohonan

    Praperadilan, dugaan adanya konspirasi terselubung antara pihak Hakim

    dengan termohon Praperadilan, hingga masalah pada ganti kerugian

    yang dianggap tidak sebesar kerugian yang sesuai dengan realitas yang

    diderita pemohon, hingga begitu rumitnya birokrasi mendapatkan ganti

    kerugian. Tidak jarang banyak orang menilai butuk terkait dengan praktik

    yang terjadi di lembaga praperadilan.

    Kehadiran Lembaga Praperadilan memberi peringatan24:

    1. Agar penegak hukum harus berhati-hati dalam melakukan tindakan

    hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada

    ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan

    diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang;

    2. Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi

    warganegara yang diduga melakukan kejahatan, yang ternyata tanpa

    didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari

    sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan

    prinsip hak-hak asasi manusia.

    24 S. Tanusubroto, Peranan Pra Peradilan Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung:

    Alumni, 1983), hlm. 2.

  • Pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian melalui

    Lembaga Praperadilan disebut sebagai Pemohon Praperadilan. Keberadaan

    Lembaga Praperadilan dianggap bahwa lembaga ini melindungi hak-hak

    masyarakat yang hak asasinya dilanggar oleh aparat penegak hukum

    serta melalui lembaga ini juga dapat membawa oknum aparat penegak

    hukum tersebut untuk dimintai pertanggungjawabannya dalam bentuk

    ganti kerugian dan rehabilitasi atas dugaan kesewenang-wenangan dalam

    menggunakan kekuasaaanya. Maksud dan tujuan luhur dari Praperadilan

    tersebut teryata penerapannya belum berjalan maksimal.

    1. Dalam KUHAP telah disebutkan dalam beberapa pasal, pihak-pihak

    yang dapat mengajukan permohonan pemeriksaan melalui lembaga

    praperadilan, diantaranya:

    2. Pasal 79 KUHAP, yang isinya bahwa permintaan pemeriksaan tentang

    sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan olah

    tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri

    dengan menyebutkan alasannya.

    3. Pasal 80 KUHAP, yang isinya bahwa permintaan untuk memeriksa

    sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan

    dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak

    ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan

    menyebutkan alasannya.

    4. Pasal 81 KUHAP, yang isinya bahwa permintaan ganti kerugian dan

    atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan

    atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan

    diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan

    kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya.

    5. Pasal 95 ayat (2) KUHAP, yang isinya bahwa tuntutan ganti kerugian

    oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan

    serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan pada Undang-

    undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang

    diterapkan sebagaimana di maksud dalam ayat (1), yang perkaranya

    tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus disidang praperadilan

    sebagaimana di maksud dalam Pasal 77.

    6. Pasal 97 ayat (3) KUHAP, yang isinya permintaan rehabilitasi oleh

    tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang

    berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai

    orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana di maksud dalam

    Pasal 95 ayat (1), yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan

    negeri, diputus oleh hakim praperadilan sebagaimana yang di

    maksud dalam Pasal 77.

  • Berdasarkan pada pasal 80 KUHAP, menunjukkan bahwa selain dapat

    diajukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, permohonan praperadilan

    untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan

    juga dapat diajukan oleh “pihak ketiga yang berkepentingan”. Yang di

    maksud pihak ketiga yang berkepentingan di sini adalah pihak-pihak yang

    mempunyai kepentingan atas dihentikannya suatu penyidikan, dalam hal

    ini, bisa Korban Tindak Pidana, Pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau

    organisasi kemasyarakatan maupun masyarakat umum.25

    Sidang praperadilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau

    terdakwa ataupun keluarganya atau pula atas kuasanya merupakan

    suatu forum yang terbuka dan dipimpin seorang hakim atau lebih

    untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah

    melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakannya

    dimuka forum yang bersangkutan, apakah benar-benar beralasan dan

    berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka

    ini, maka tersangka atau terdakwa dijamin hak asasinya berupa hak

    dan upaya hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan

    kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik

    ataupun penuntut umum. Dalam forum itu penyidik atau penuntut

    umum wajib membuktikan bahwa tindakannya sah dan tidak melanggar

    hukum. Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun

    penuntut umum harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-

    syarat hukum yang diperlukan, baik berupa syarat-syarat formal maupun

    materiil, seperti misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan,

    adanya dugaan keras telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh

    bukti permulaan yang cukup, ataupun dalam hal penahanan dengan

    alasan yang nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri,

    menghilangkan barang bukti atau menggulangi kejahatannya.

    Menurut Darwan Prinst, yang dimaksud sebagai pihak ketiga yang

    berkepentingan dalam Pasal 81 KUHAPidana, adalah26:

    1. Tersangka / Terdakwa;

    2. Keluarga dari Tersangka / Terdakwa;

    3. Kuasa dari Tersangka / Terdakwa;

    4. Pelapor yang dirugikan dengan dilakukannya itu atau yang dapat

    kuasa dari dirinya.

    25 Pendapat Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi, M. Akil Mochtar dalam http://m. hukumonline.com/berita/baca/lt519b604ebe2e3/mk-tegaskan-lsm-bisa-ajukan- praperadilan diakses tanggal 25 Juli 2016, pukul 10.00

    26 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1984), hlm. 51.

    http://m/

  • Permintaan pemeriksaan praperadilan diajukan kepada Ketua

    Pengadilan Negeri yang berwenang. Dalam surat permohonan

    tersebut, Pemohon menyebutkan selaku apakah dia bertindak dalam

    permintaan pemeriksaan praperadilan yang diajukannya, menceritakan

    duduk perkaranya secara terperinci dan jelas serta menyebutkan

    hal yang menjadi alasan pemohon untuk mengajukan permintaan

    pemeriksaan praperadilan itu, serta mencantumkan putusan apakah

    yang dimohonkan.27

    Kelemahan lain dalam ketentuan KUHAP adalah hanya menentukan

    batas waktu penentuan hari sidang dan lama pemeriksaan persidangan.

    KUHAP tidak mengatur berapa lama batas waktu dimulainya sidang

    (sidang pertama) praperadilan sejak permintaan pengujian praperadilan

    didaftarkan. Lamanya waktu yang dibutuhkan pada tahap administrasi

    pengadilan sebelum sidang demikian bertolak belakang dengan

    semangat pemeriksaa praperadilan yang dilakukan secara cepat.

    Dalam praktek pemeriksaan praperadilan, hakim juga lebih banyak

    memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat-syarat formil semata-

    mata dari suatu penangkapan atau penahanan, seperti misalnya ada

    atau tidak adanya surat perintah penangkapan (Pasal 18 KUHAP), atau

    ada tidaknya surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP), tetapi

    sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya, seperti

    adanya “dugaan keras” telah melakukan tindak pidana berdasarkan

    “bukti permulaan yang cukup”. Ada tidaknya bukti permulaan yang

    cukup ini dalam praktek tidak pernah dipermasalahkan oleh Hakim,

    karena umumnya hakim praperadilan mengganggap bahwa hal itu

    bukan menjadi tugas dan wewenangnya, melainkan sudah memasuki

    materi pemeriksaan perkara.

    Oleh karena dalam prakteknya lembaga Praperadilan belum berjalan

    sebagaimana mestinya dan masih banyak kelemahan, maka kemudian

    dalam Rancangan KUHAP ditentukan lembaga baru untuk menggantikan

    lembaga Praperadilan saat ini yaitu lembaga Hakim Komisaris. Lembaga

    ini pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara Penyidik dan

    Penuntut Umum disatu pihak dan Hakim dilain pihak. Wewenang Hakim

    Komisaris dalam Rancangan KUHAP lebih luas dibandingkan lembaga

    Praperadilan. Akan tetapi timbul pertanyaan lain, apakah keberadaan

    lembaga Hakim Komisaris kelak akan lebih baik daripada lembaga

    Praperadilan yang telah ada saat ini? Dan Apakah akan membawa

    perubahan dan pengaruh yang cukup besar pada praktek pengadilan.

    27 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan Dan Ruang Lingkupnya, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1986), hlm. 84.

  • Alat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga

    pemasyarakatan dan advokat) dalam menjalankan tugasnya dibidang

    peradilan pidana diberi kewenangan untuk melakukan tindakan-

    tindakan yang merupakan pengurangan hak asasi tersangka atau

    terdakwa sebagai manusia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

    tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia28 yang menyatakan

    bahwa polisi merupakan institusi negara yang diberikan tugas, fungsi

    dan kewenangan tertentu, untuk menjaga keamanan, ketertiban dan

    mengayomi masyarakat.

    Harus diingat pula, bahwa aparat penegak hukum adalah manusia

    biasa, yang tidak terlepas dari perbuatan khilaf dan salah. Penangkapan

    atau penahanan yang sebetulnya dilakukan dengan tujuan untuk

    kepentingan pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan ketertiban

    dalam masyarakat ternyata kadang-kadang dilakukan terhadap orang

    yang tidak bersalah atau kadang-kadang dilakukan melampaui batas

    waktu yang ditentukan, sehingga tersangka atau terdakwa menderita

    lahir batin akibat sikap aparat penegak hukum. Untuk menjamin hak

    asasi manusia dan agar aparat penegak hukum menjalankan tugasnya

    secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga yang

    dinamakan praperadilan.

    Pasal 1 butir 10 KUHAP menyatakan praperadilan adalah wewenang

    pengadilan negeri untuk yang pertama memeriksa dan memutuskan

    tentang sah atau tidaknya suatu penagkapan dan atau penahanan atas

    permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas tersangka,

    yang kedua sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

    penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, dan

    yang ketiga permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka

    atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

    diajukan ke pengadilan.

    Putusan praperadilan menjadi ramai semenjak permohonan

    praperadilan oleh Komjen Pol Budi Gunawan atas penetapan tersangka

    yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah

    dikabulkan sebagian oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di

    satu sisi menghormati putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

    sebagai bentuk penghormatan kebebasan hakim sebagaimana yang

    dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

    1945 Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman

    merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

    28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

  • peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, serta dalam Pasal

    10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

    Kehakiman yang menyatakan bahwa Pengadilan dilarang menolak

    untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang

    diajukan dengan alasan bahwa hukum nya tidak ada, dalam hal

    ini pengadilan wajib untuk mengadili dan memeriksa hal tersebut

    yang membuat Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerima

    praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan atas penetapan tersangka.

    Disisi lain objek praperadilan atas penetapan tersangka Komjen Pol Budi

    Gunawan yang alasannya tidak tercantum dalam Pasal 77 KUHAP sudah

    dijelaskan kewenangan hakim praperadilan untuk memeriksa dan

    memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian

    penyidikan atau penghentian penuntutan, serta hakim praperadilan

    juga berwenang untuk memeriksa dan memutus permintaan ganti

    kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka yang perkaranya tidak di

    ajukan ke pengadilan.

    Sebelum membahas lebih jauh tetang putusan praperadilan,

    membahas terlebih dahulu pengertian putusan pada umumnya.

    Berdasarkan Pasal 1 Angka 11 KUHAP meyatakan bahwa: “Putusan

    Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

    pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanan atau bebas atau lepas

    dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang di atur

    dalam undang-undang”. Putusan pengadilan disampaikan oleh hakim

    diakhir persidangan setelah dilakukan proses pemeriksaan.

    Berdasarkan pengertian putusan dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP maka

    putusan dapat dibagi menjadi tiga yaitu:

    a. Putusan pemidanaan atau penjatuhan pidana

    Dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “jika pengadilan

    berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana

    yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan pidana”.

    b. Putusan bebas (vrijspraak)

    Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “jika pengadilan

    berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa

    atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara

    sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

    c. Putusan lepas dari segala tuntutan

    Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa: “jika pengadilan

    berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakannya kepada

    terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak

    pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

  • Berdasarkan Pasal 1 angka 10 KUHAP menyatakan Praperadilan

    adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus

    menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

    a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas

    permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa

    tersangka.

    b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

    penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

    c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

    keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

    diajukan ke pengadilan.

    Pasal 77 KUHAP menentukan bahwa pengadilan berwenang untuk

    memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

    undang-undang ini, tentang:

    a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian

    penyidikan atau penghentian penuntutan.

    b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara

    pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

    Dalam Pasal 82 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa putusan hakim

    dalam acara pemeriksaan praperadilan harus memuat dengan jelas dasar

    dan alasannya. Pasal 82 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa isi putusan

    selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga

    memuat hal sebagai berikut:

    a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan

    atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut

    umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera

    membebaskan tersangka;

    b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian

    penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidik atau penuntut

    terhadap tersangka wajib dilanjutkan;

    c.