“ analisis dampak acfta (asean-china free trade area) dalam kurun waktu 2004-2010 dan kebijakan...

19
MAKALAH DIPLOMASI INDONESIA “ Analisis Dampak ACFTA (Asean-China Free Trade Area) dalam Kurun Waktu 2004-2010 dan Kebijakan Pemerintah Indonesia di Balik Keputusan Penandatanganan ACFTA sebagai ASEAN-6 “ Oleh : Anindita Brilianti (1006664653) Colley Windya Tyas Buana (1006694334) Monica Agnes Sylvia (1006764164) Muhammad Iqbal (1006773755) Rista Sanjaya (1006694555) Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Depok

Upload: monica-agnes-sylvia

Post on 28-Jul-2015

1.816 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

A supposed to be Indonesian Diplomacy paper but the contains make it seems like a Politic and Economic paper

TRANSCRIPT

MAKALAH DIPLOMASI INDONESIA

“ Analisis Dampak ACFTA (Asean-China Free Trade Area) dalam Kurun Waktu 2004-2010 dan Kebijakan Pemerintah Indonesia di Balik

Keputusan Penandatanganan ACFTA sebagai ASEAN-6 “

Oleh :

Anindita Brilianti (1006664653)

Colley Windya Tyas Buana (1006694334)

Monica Agnes Sylvia (1006764164)

Muhammad Iqbal (1006773755)

Rista Sanjaya (1006694555)

1

Departemen Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

Depok

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Globalisasi adalah sebuah fenomena sosial yang ditandai dengan adanya kerjasama global yang intens antara aktor-aktor (state maupun non-state) dalam berbagai aspek seperti politik, ekonomi, sosial & budaya hingga lingkungan. Kerjasama tersebut membuat batas-batas antarnegara seakan-akan tidak lagi menjadi penghalang. Seiring dengan terjadinya globalisasi yang didukung juga oleh aspek teknologi yang telah berkembang pesat, interdependensi dan kerjasama antarnegara menjadi suatu hal yang sangat esensial dan tidak terelakkan.

Kerjasama antarnegara menjadi suatu hal yang mutlak bagi negara-negara tersebut untuk mewujudkan tujuan mereka masing-masing. Dalam rangka mewujudkan kerjasama yang memberikan dampak positif bagi negara-negara tersebut, tercetuslah ide untuk merumuskan kerjasama tersebut ke dalam lembaga yang lebih formal, yakni melalui sebuah institusi yang disepakati bersama.

Delapan Agustus 1967 Indonesia bersama empat negara lain yakni, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Singapura mendirikan organisasi regional yang mencakup kawasan Asia Tenggara yang kita kenal sebagai ASEAN. Dalam perkembangannya,semakin banyak negara di wilayah Asia Tenggara yang bergabung ke ASEAN.

Sebagai suatu organisasi dengan wilayah cakupan regional, ASEAN berfokus pada beberapa bidang di antaranya ekonomi, sosial, budaya, dan bidang-bidang lainnya. Seiring perkembangan, masing-masing bidang mengalami perubahan signifikan yang disesuaikan dengan keadaan anggotanya. Perkembangan itu seperti dibentuknya ACFTA antara ASEAN dengan China yang memperbolehkan barang China secara bebas masuk ke negara-negara anggota ASEAN.

Indonesia sebagai anggota ASEAN menjadi salah satu negara yang ikut serta menyetujui adanya ACFTA. Meskipun Indonesia dinilai tidak siap menghadapi ACFTA dilihat dari UKM-nya.

Atas dasar pertimbangan itu, tulisan ini akan membahas tentang dampak ACFTA terhadap perekonomian negara-negara anggotanya serta analisis mengenai keputusan pemerintah Indonesia yang bergabung dalam ACFTA, walaupun industri Indonesia (khususnya UKM) dinilai cenderung belum siap dalam menghadapi dampak impelementasinya. Lebih jauh lagi, tulisan ini akan membahas tentang indikasi tindakan pemerintah Indonesia yang bergabung dengan ACFTA sebagai suatu usaha pembangunan citra politik yang baik bagi Indonesia di mata internasional melalui diplomasi.

1.2 Pertanyaan Permasalahan1. Bagaimana dampak yang diberikan oleh ACFTA terhadap perekonomian negara-negara yang

menyetujuinya?2. Mengapa pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk menyetujui ACFTA?

1.3 Kerangka Teori / Konsep1. ACFTA

ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) adalah sebuah persetujuan kerjasama ekonomi regional yang mencakup perdagangan bebas antara negara anggota ASEAN (Assosiation of South East Asian Nation) dengan China. Persetujuan ini telah disetujui dan ditandatangani oleh negara-negara ASEAN dan China pada tanggal 29 November 2004. Dalam kerjasama ini, hambatan-hambatan tarif dan non-tarif dihilangkan atau dikurangi dalam rangka mewujudkan perdagangan bebas dalam kawasan regional ASEAN dan China1.

1 “Agreement on Trade in Goods of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between the Association of Southeast Asian Nations and the People’s Republic of China” diakses dari http://www.aseansec.org/16646.htm pada tanggal 23 April 2011 pukul 18: 39 WIB.

2

Namun, tidak semua anggota ASEAN menyetujui penghapusan tarif dalam waktu bersamaan. ASEAN6 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, dan Filipina menyetujui penghapusan per 1 Januari 2010 sedangkan CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos,dan Vietnam) baru akan mengeliminasi dan menghapus tarif per 1 Januari 2015.Tidak hanya itu, negara-negara yang telah menyetujuinya juga akan meningkatkan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi serta meningkatkan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak ACFTA. Di dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China, kedua pihak sepakat akan melakukan kerjasama yang lebih intensif di beberapa bidang seperti pertanian, teknologi informasi, pengembangan SDM, investasi, pengembangan Sungai Mekong, perbankan, keuangan, transportasi, industri, telekomunikasi, pertambangan, energi, perikanan, kehutanan, produk-produk hutan dan sebagainya. Kerjasama ekonomi ini dilakukan untuk mencapai tujuan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China2.

Secara lebih spesifik, ACFTA antara lain bertujuan untuk :

Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara negara-negara anggota.

Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasaserta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi.

Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaanyang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.

Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru(Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam– CLMV) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.3

2. Konsep Diplomasi

Diplomasi secara garis besar didefinisikan sebagai proses bagi pemerintah menjalankan kebijakan luar negerinya. Lebih jauh lagi, pemerintah menempatkan diplomasi sebagai pengimplementasian kebijakan luar negeri yang telah dirumuskan4. Kebijakan luar negeri dan diplomasi merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam prakteknya. Mereka berdua akan saling mempengaruhi satu sama lain. Kebijakan luar negeri menjadi pedoman bagi para pelaku diplomasi dalam menjalankan fungsi diplomasinya. Di sisi lain, diplomasi akan menyesuaikan diri dengan kondisi politik luar negeri5.

Harold Nicholson membagi diplomasi ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama mengartikan diplomasi sebagai pembuatan kebijakan luar negeri dan kelompok kedua mengartikan diplomasi sebagai negoisasi. Pengertian kedua menjadi pemahaman umum yang sering digunakan oleh orang kebanyakan dalam mengartikan diplomasi. Karya tulis ini juga akan lebih melihat diplomasi yang diartikan sebagai negoisasi.

Terdapat dua teori diplomasi yang dikembangkan oleh Nicholson yakni warrior dan mercantile. Perbedaan yang ada di kedua teori tersebut terletak pada aspek yang digunakan oleh suatu Negara dalam menjalankan politik luar negerinya. Teori warrior memposisikan diplomasi sebagai poltik kekuatan. Di lain sisi, teori mercantile lebih mengarah pada negosiasi6.

2 “ASEAN-China Free Trade Area” diakses dari http://ditjenkpi.depdag.go.id/Umum/Regional/Win/ASEAN%20-%20China%20FTA.pdf pada tanggal 23 April 2011 pukul 21: 50 WIB.3 Log.cit.4 Martin Grifffiths dan Terry O’Challenge, International Relations : The Key Concept, (London: Routledge, 2002) p.79.5 Bantarto Bandoro, “Diplomasi Indonesia: Dahulu, Kini, dan Masa Depan”. Dalam Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa ed. Hadi Sosastro,( Jakarta: CSIS, 1991).6 Bandoro, Ibid, hlm. 46.

3

Teori warrior menekankan pada prestige negara dan politik kekuatan. Teori Nicholson tersebut ingin menunjukkan bahwa diplomasi digunakan oleh negara-negara di dunia untuk menunjukkan pada yang lain bahwa mereka merupakan negara yang mempunyai posisi lebih kuat dan terdapat prestis di dalamnya. Jika melihat pada teori ini, diplomasi merupakan jalan yang dipunyai oleh negara untuk menunjukkan kekuatan politik mereka kepada negara lain. Implementasi diplomasi macam ini mengharuskan adanya satu pihak yang kalah dan ada pihak lain yang menang.

Mercantile melihat pada negosiasi sebagai upaya perundingan. Di sini, negara-negara yang terlibat berusaha mencari jalan tengah atas persoalan yang ada dan dapat berdampak menguntungkan bagi kedua belah pihak. Teori Mercantile tidak menginginkan adanya satu pihak yang kalah sebagai konsekuensi adanya pemenang. Mereka menginginkan adanya pemahaman satu sama lain. Bentrokan-bentrokan antar kepentingan negara dapat diminimalisir sekecil mungkin dan kepentingan-kepentingan tersebut memperoleh penyelesaian yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.

3. Konsep Interdependensi

Interdependensi merupakan konsep yang dekat dengan paradigma liberalisme. Interdependensi apabila dilihat secara analisis dapat diartikan sebagai kondisi dimana aktor-aktor atau kejadian-kejadian di dalam bagian yang berbeda dari sebuah sistem mempengaruhi satu sama lainnya. Dengan kata lain, interdependensi dapat berarti ketergantungan yang saling menguntungkan7.

Terdapat tiga faktor yang menyebabkan masyarakat luas menjadi lebih sadar akan interdependensi, diantaranya adalah:

1. Meningkatnya komunikasi dan transportasi, 2. Meningkatnya aktivitas yang melewati batas-batas negara seperti turisme dan investasi, 3. Kebijakan negara yang memperbolehkan masuknya barang impor akibat permintaan

pasar dalam negeri8.

Negara-negara di dunia tidak bisa mengisolasi diri mereka secara keseluruhan karena negara tersebut tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan akhirnya kebijakan isolasi tersebut akan memakan biaya yang besar. Interdependensi dapat dibagi menjadi interdependensi militer yang muncul dari kompetisi militer dan interdependensi ekonomi. Kebijakan interdependensi ekonomi selalu melibatkan nilai dan harga. Dalam interdependensi ekonomi negara memiliki kepentingan untuk memaksimalkan keuntungan sekaligus memelihara hubungan dengan negara lain.

4. Konsep Regionalisme

Dalam kerangka Teori Ekonomi dan Politik Internasional, suatu region/kawasan tidak hanya didefinisikan sebagai wilayah yang memiliki kesamaan letak geografis, melainkan lebih kepada bagaimana aktor-aktor politik internasional menginterpretasikan makna dari region itu sendiri9. Regionalisme bukan hanya sebuah konsep geografis, melainkan juga sebuah proses dinamis yang di dalamnya mencakup hubungan ekonomi, politik, dan sosial budaya10.

Secara umum, regionalisme didefinisikan sebagai kondisi di mana sekelompok negara, biasanya yang terletak dalam wilayah geografis yang sama, setuju untuk bekerja sama dan membagi tanggung jawab untuk meraih tujuan yang sama11. Dalam konsep regionalisme, tiap-tiap negara memiliki

7Joseph S. Nye, Jr, Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History, (United States:Pearson Longman, 2009), hlm. 208.8Gary Michael Salloum, Economic Interdependence and International Politics:The Case of OPEC, (Canada, 1975), hlm. 109-110.9Andrew Hurrell. ―”Regionalism in Theoretical Perspective”, dalam Louise Fawcett dan Andrew Hurrell (ed.),Regionalism in World Politics: Regional Organization and International Order(New York: Oxford University Press, 1995), h. 41. 10Yeo Lay Hwee.Realism and Reactive Regionalism: Where Is East Asian Regionalism Headinghttp://revistas.ucm.es/cps/16962206/articulos/UNIS0505230008A.pdf diakses pada 6 Mei 2011, pukul 21.07. 11David N. Balaam dan Michael Veseth.Introduction to International Political Economy(New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2005), h. 242.

4

interestnya masing-masing. Regionalisme merupakan sebuah respon logis yang diambil suatu negara dalam menghadapi masalah yang terlalu besar untuk diselesaikan sendiri, atau masalah di mana tindakan suatu negara akan mempengaruhi negara lainnya12. Regionalisme merupakan konsep normatif yang merujuk pada nilai, norma, identitas, dan aspirasi yang dipegang oleh pihak-pihak tertentu. Pada beberapa definisi, aktor utama di balik regionalisme adalah negara; sementara pada beberapa definisi lain, aktor yang berperan tidak hanya terbatas pada negara. Menurut Anthony Payne dan Andrew Gamble, “regionalisme adalah sebuah proyek state-led atau states-led yang bertujuan untuk mengatur ulang suatu ruang regional tertentu bersama dengan tujuan ekonomi dan politik yang telah ditentukan”13.

BAB II

12Ibid, h.243.13Andrew Payne dan Andrew Gamble, “Introduction: the Political Economy of Regionalism and World Order”, dalam Andrew Gamble and Anthony Payne (eds.),Regionalism and World Order (Macmillan, 1996), h. 2.

5

PEMBAHASAN

ACFTA merupakan perwujudan dari konsep interdependensi antarnegara, khususnya negara-negara anggota ASEAN dan China. Hal ini khususnya terwujud dalam hal interdependensi ekonomi, dimana tiap-tiap negara memiliki spesialisasi masing-masing dalam memproduksi komoditas tertentu sehingga akan lebih efisien bagi negara-negara tersebut apabila melakukan ekspor dan impor perdagangan. Selain itu, peluang pasar beserta ikatan geografis juga menjadi faktor utama interdependensi negara-negara ASEAN dan China. China melihat peluang pasar yang besar dari negara-negara anggota ASEAN, begitu pula sebaliknya negara-negara ASEAN (termasuk Indonesia) juga melihat peluang pasar yang besar dari China. Hal inilah yang menjadi latar belakang dari tercetusnya ide ACFTA. Namun demikian, yang permasalahan adalah apakah ACFTA dalam implementasinya memang membawa dampak baik bagi perekonomian setiap negara anggota seperti apa yang diekspektasikan sebelumnya.

ACFTA merupakan area perdagangan bebas terbesar di dunia dengan 1.9 milyar populasi yang sejumlah dengan 30% populasi dunia. Total perdagangan mencapai 1.2 trilyun US$. Volume perdagangan bilateral naik sebesar 38,9% per tahun mencapai US $ 105.900.000.000. Dengan diimplementasikannya ACFTA, impor dan ekspor diharapkan akan meningkat sebesar 50%. Cina merupakan negara ketiga terbesar sumber impor ASEAN. Impor dari China mencapai senilai 107 miliar US$. China merupakan negara terbesar kedelapan investor ASEAN dengan akumulasi investasi sebesar 6.1 miliar US$ pada tahun 2008, sementara akumulasi investasi ASEAN pada tahun 2008 sebesar US$5.6 milyar14. Berdasarkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Indonesia, pelaksanaan ACFTA (terutama perdagangan China dengan Indonesia) telah membuat nilai impor produk industri China di 2010 naik 45% menjadi US$ 20,42 miliar dibanding tahun 2009.

Merujuk pada data dalam tabel dibawah, terlihat bahwa negara-negara ASEAN memiliki hubungan dagang yang cukup signifikan dengan China. Negara yang memiliki jumlah ekspor dan impor yang cukup tinggi dengan China adalah Singapura dengan jumlah impor yang sedikit berada di atas jumlah ekspor dan menunjukkan angka yang defisit. Pada tabel di bawah juga ditunjukkan bahwa pada tahun 2004 jumlah ekspor Indonesia masih berada di atas jumlah impornya dengan China, namun sejak tahun 2007 hal yang terjadi justru sebaliknya, yaitu jumlah impor dari China menjadi lebih tinggi daripada jumlah ekspor yang berujung pada terjadinya defisit neraca perdagangan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia bertendensi semakin tergantung dengan impor barang dari China. Data dibawah juga menunjukkan bahwa hampir semua hubungan ekspor-impor yang dilakukan negara-negara anggota ASEAN dengan China menunjukkan defisit perdagangan, kecuali yang terjadi pada Brunei Darussalam yang sejak 2004 hingga 2007 berhasil mempertahankan surplus perdagangan akan tetapi pada tahun 2008 turut mengalami defisit.

14 http://en.reingex.com/ASEAN-China-ACFTA.shtml diakses pada tanggal 6 Mei 2011 pukul 18:21 WIB.

6

Tabel 2.1 ASEAN Member States Trade with China, 2004-200815

Dampak ACFTA terhadap perekonomian Indonesia16

Di dalam tabel berikut ini disajikan data

mengenai jumlah ekspor impor Indonesia ke negara-negara ASEAN dan China17.

15www. asean sec.org/documents/acfta/AMS- Trade-with-China - 2004-2008 .xls diakses pada Senin, 2 Mei 2011 pukul 15:34 WIB.16 http://lipsus.kontan.co.id/v2/acfta/produk-china-menjadi-raja-industri-lokal-tak-berdaya diakses pada 6 Mei 2011 pukul 18:05 WIB.17http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4375&Itemid=29 diakses pada Jumat, 6 Mei 2011 pukul 17:19 WIB.

7

(Value in million US$)

Country Name 2004 2005 2006 2007 2008

Brunei Darussalam 243 234 174 201 0

Cambodia 12 15 13 11 13

Indonesia 4.605 6.662 8.344 8.897 11.637

Lao PDR 1 4 1 35 15

Malaysia 8.634 9.465 11.391 15.443 18.422

Myanmar 75 119 133 475 499

Philippines 2.653 4.077 4.628 5.750 5.467

Singapore 15.321 19.770 26.472 28.925 29.082

Thailand 7.098 9.083 10.840 14.873 15.931

Viet Nam 2.711 2.828 3.015 3.336 4.491

ASEAN Export 41.352 52.258 65.010 77.945 85.558

Brunei Darussalam 87 94 120 157 171

Cambodia 337 430 516 653 933

Indonesia 4.101 5.843 6.637 8.616 15.247

Lao PDR 89 185 23 43 131

Malaysia 11.353 14.361 15.543 18.897 18.646

Myanmar 351 286 397 564 671

Philippines 2.659 2.973 3.647 4.001 4.250

Singapore 16.137 20.527 27.185 31.908 31.583

Thailand 8.183 11.116 13.578 16.184 19.936

Viet Nam 4.416 5.322 7.306 12.148 15.545

ASEAN Import 47.714 61.136 74.951 93.173 107.114

Source: ASEAN Trade Statistics Database (Data as of July 2009)

Tabel 2.2 Ekspor Impor Indonesia ke Negara-negara ASEAN China

Merujuk pada data diatas, terlihat bahwa Indonesia sangat bergantung pada impor dari negara ASEAN lainnya, terlebih lagi bergantung pada China. Perbandingan antara jumlah ekspor dan impor yang dilakukan Indonesia masih jauh timpang. Contohnya hubungan dagang yang dilakukan dengan Singapura, Indonesia melakukan ekspor yang terus naik mulai dari bulan Januari 2009 hingga Januari 2010, namun sebaliknya angka impor turut naik berbanding lurus dengan angka ekspor. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan masih sangat bergantung pada impor yang dilakukan dengan negara lain.

Tidak hanya itu, peningkatan nilai ekspor produk industri Indonesia ke China melalui ACFTA pada tahun 2010 juga hanya naik 34% dibanding tahun 2009 yang hanya sebesar US$ 15,69 miliar. Hal ini membuat perdagangan Indonesia-China pada tahun lalu mengalami defisit hampir US$ 5 miliar.

Produk impor dari China yang mendominasi pasar di dalam negeri adalah mainan anak yang menguasai 73% dari total impor negara pengekspor lainnya. Posisi kedua ditempati produk mebel China dengan menguasai 54% dari total negara pengekspor lainnya. Tidak hanya itu, produk elektronika menguasai 36%, tekstil dan produk tekstil (TPT) sebesar 33% dan permesinan sebesar 22%.

Beberapa sektor industri seperti mebel, logam dan barang logam, mainan anak serta TPT cenderung mengalami peningkatan impor setiap bulannya sepanjang 2010. (lihat tabel )18.

Tabel 2.3 Share Impor Total Indonesia dari RRT vs Dunia Terhadap 6 Sektor

Berdasarkan Survei Kementerian Perindustrian pada Maret 2011, industri elektronika dan TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) khususnya garmen, mengalami peningkatan impor bahan baku, penurunan produksi, penurunan penjualan, penurunan keuntungan dan pengurangan tenaga kerja.

18 Diakses dari http://www.google.co.id/imglanding?q=grafik+perdangangan+ACFTA&um=1&hl=id&tbm=isch&tbnid=uRxh9SgBgfRwHM:&imgrefurl=http://lipsus.kontan.co.id/v2/acfta/produk-china-menjadi-raja-industri-lokal-tak-berdaya&imgurl=http://lipsus.kontan.co.id/assets/lipsus_acfta/images/RRT.jpg&w=326&h=260&ei=YcXDTeaOL87orQfTyuDsBA&zoom=1&biw=1102&bih=452 diakses pada tanggal 06 Mei 2011 pukul 17:01 WIB.

8

Dikutip dari Menteri Perindustrian, MS Hidayat, pasca pelaksanaan ACFTA rata-rata industri telah memangkas produksi sekitar 25%-50%. Hal ini membuat penjualan melorot sekitar 25%.

Penyebab Lemahnya daya saing produksi Indonesia

Meskipun aktualisasi ACFTA dapat menjadi peluang yang baik bagi Indonesia, terdapat permasalahan terhadap lemahnya daya saing produk Indonesia dalam implementasi ACFTA bagi Indonesia. Daya saing produk-produk buatan Indonesia relatif lebih rendah dibanding dengan negara-negara yang menyepakati ACFTA, terutama China. Menurut Kementrian Perindustrian Indonesia, daya saing produk industri dan manufaktur di Indonesia ke sesama negara ASEAN hanya 15% yang memiliki saing kuat dan hampir 60% produk memiliki daya saing yang lemah. Begitu pula halnya terhadap Cina, daya saing produk Indonesia yang bersifat kuat hanya 7%, sisanya memiliki daya saing sedang 29% dan lemah 55%19.

Lemahnya daya saing produk-produk industri dan manufaktur Indonesia dalam kompetisi dengan negara-negara ACFTA berasal dari faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal ini merupakan faktor yang berasal dari keunggulan komparatif dan kualitas produk dari negara yang berkompetisi dengan Indonesia. Misalnya, produk manufaktur yang berasal dari China lebih murah atau produk agrobisnis Thailand lebih berkualitas. Faktor internal merupakan faktor lemahnya daya saing produk-produk Indonesia yang berasalah dari hambatan domestik. Hambatan domestik ini berasal dari high cost economy Indonesia atau biaya tinggi yang ditanggung dalam kegiatan industri dan perdagangan. Biaya ekonomi yang tinggi ini terjadi karena permasalahan birokrasi, infrastruktur, dan suku bunga.

Permasalahan birokrasi merupakan permasalahan yang berasal dari sistem prosedur yang harus dilakukan dalam melaksanakan proses industri dan proses perdagangan luar negeri. Proses yang rumit dalam birokrasi yang mengatur perindustrian menyebabkan pungutan-pungutan yang membebani biaya produksi.

Permasalahan infrastruktur menjadi hal yang perlu disoroti dalam hal lemahnya daya saing produk industri dan manufaktur Indonesia. Kerusakan infrastruktur perhubungan dapat mempengaruhi efektivitas dari kegiatan industri di Indonesia. Kerusakan jalan, kemacetan dan inefektivitas kerja pelabuhan menjadi beban biaya bagi perusahaan sehingga menambah biaya produksi. Kenaikan biaya produsi ini kemudian berimbas pada harga jual yang meningkat sehingga mengurangi daya saing produk tersebut.

Selain hal yang berhubungan dengan perhubungan, permasalahan infrastruktur seperti kesediaan energi listrik bagi dunia industri juga menjadi hambatan. Ketidakstabilan sumber energi listrik yang menyebabkan pemadaman listrik bergilir membuat pengusaha industri mengubah sumber listriknya menjadi genset. Penggunaan genset lebih menambah biaya produksi dibanding menggunakan listrik dari perusahaan pembangkit.

Permasalahan suku bunga berasal dari tingkat suku bunga bank di Indonesia yang masih tinggi untuk menunjang pertumbuhan industri. Besarnya suku bunga ini menyebabkan semakin tingginya costs of loan yang harus ditanggung oleh perusahaan yang dibiayai melalui kredit. Lebih lanjut, suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang merupakan sumber pendanaan yang paling potensial bagi sektor UKM di Indonesia merupakan suku bunga kredit rakyat tertinggi kedua di dunia, setelah Myanmar20. Adapun, idealnya suku bunga kredit yang diperuntukkan bagi pengembangan sektor UKM harus berada di tingkat satu digit atau maksimal 10%. Kenyataannya, saat ini suku bunga KUR untuk usaha mikro di Indonesia untuk pinjaman Rp 20 juta ke bawah, sebesar 22%. Sementara itu, suku bunga KUR ritel untuk pinjaman Rp 20 juta-Rp 500 juta, sebesar 14%. Sedangkan, suku bunga kredit di Cina dan Thailand hanya berkisar pada level 4-8%.

19 Pariaman Sinaga, Kajian Awal terhadap Kebijakan ACFTA ( ASEAN- China Free Trade Area) dan Kaitannya dengan KKUM. http://www.smecda.com/File_ACFTA/kebijakan_acfta_PS.pdf diakses pada hari Sabtu, 7 Mei 2011

20 Suku Bunga Kredit Mikro Tertinggi Kedua di Dunia. http://bataviase.co.id/node/424865 diakses pada hari

Sabtu, 7 Mei 2011.

9

Jadi, dapat dikatakan bahwa produk-produk Indonesia memiliki daya saing yang relatif rendah. Hal ini dikarenakan oleh high cost economy yang terjadi di Indonesia. Biaya-biaya produksi tambahan ini berasal dari prosedural birokrasi, tanggungan utang dari suku bunga yang tinggi, dan kerusakan infrastruktur. Ekonomi biaya tinggi ini mempengaruhi harga jual yang menjadi tinggi tinggi dan kalah bersaing dengan harga negara-negara kompetitor terutama China.

Langkah Pemerintah Indonesia dalam Mengambil Keputusan Bergabung dengan ACFTA

Berdasarkan analisis di atas, dapat dilihat bahwa Indonesia cenderung belum siap dengan keputusannya bergabung dengan ASEAN-6 untuk melakukan perdagangan bebas dalam ACFTA per 1 Januari 2010. Namun demikian, pemerintah tetap memberlakukan kebijakan tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah apa alasan pemerintah Indonesia dibalik keputusan bergabung dengan ASEAN-6 dalam memberlakukan ACFTA per 1 Januari 2010 dan bukan bergabung dengan CLMV yang memberlakukan ACFTA per 1 Januari 2015.

Indonesia merupakan salah satu negara pencetus berdirinya ASEAN pada tahun 1967. Indonesia juga sedang menjabat sebagai ketua ASEAN tahun 2011. Kedua hal ini menunjukkan besarnya peran Indonesia dalam ASEAN. Tidak hanya itu, citra Indonesia pasca krisis ekonomi tahun 1998 yang sempat terpuruk semenjak krisis ekonomi thn 1998 mulai beranjak pulih. Hal ditandai dengan pertumbuhan ekonomi bergerak positif dan tahun 2003 mencapai 4,1%. Peranan Indonesia yang besar dalam ASEAN dan pertumbuhan ekonomi yang bergerak positif merupakan hal yang patut dipertahankan dalam rangka mengharumkan citra Indonesia di forum internasional21.

Adapun kebijakan Indonesia utnuk bergabung dengan ASEAN-6 dirasakan sebagai sebuah upaya yang dinilai cukup efektif untuk membangun dan mempertahankan citra positifnya di forum internasional, terutama citra positif yang terkait dengan aspek ekonomi. Hubungan internasional saat ini ditandai oleh pergeseran konstelasi politik global dari bipolar ke multipolar, menguatnya kecenderungan arus globalisasi dan regionalisasi, meningkatnya peranan pelaku non-state, berkembangnya isu sektoral yang telah menjadi agenda internasional dan meningkatnya kecenderungan perumusan serta penerapan perumusan dan penerapan norma-norma internasional baru yang tidak berpihak kepada aspirasi mayoritas22. Perlu ditekankan pada fenomena terakhir, yakni penerapan perumusan yang tidak berpihak kepada aspirasi mayoritas. Dalam kasus persetujuan Indonesia bergabung dengan ASEAN-6 terkait ACFTA, hal ini dapat dikatakan sebagai wujud penerapan perumusan yang tidak berpihak kepada aspirasi mayoritas. Namun demikian, hal ini dapat menjadi sebuah pembenaran bagi pemerintah demi mewujudkan citra positif Indonesia terkait diplomasi dalam aspek ekonomi.

Dengan menyetujui ACFTA dan bergabung dengan ASEAN-6 yang notabene dinilai lebih siap dari CLMV, Indonesia dapat menciptakan citra kematangan ekonominya. Hal ini disebabkan karena forum internasional akan melihat bahwa Indonesia telah siap secara ekonomi untuk bersaing dan stabil secara ekonomi sehingga peluang investasi akan lebih besar. Disini kita dapat melihat interest Indonesia terutama dalam bidang ekonomi untuk menciptakan citra positif agar dapat mendorong iklim investasi yang baik dan pada akhirnya dapat memberikan keuntungan ekonomi kepada Indonesia.

Hal ini didukung dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Makarim Wibisono dalam bukunya yang berjudul Tantangan Diplomasi Multilateral bahwa arah dan kebijakan politik Luar Negeri

21 Makarim Wibisono, Tantangan Diplomasi Multilateral, Makmur Keliat dan Mohtar Mas'oed (ed.), Jakarta:LP3ES, 2006, hal. 285.22 Ibid., hal 286-287.

10

Indonesia tidak terlepas dari pernyataan visi politik dan hubungan luar negeri yang dituangkan dalam GBHN 1999-2004, yang antara lain adalah meningkatkan kualitas diplomasi guna mempercepat pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional di segala bidang, melalui kerjasama ekonomi maupun internasional dalam rangka membangun stabilitas, kerja sama dan pembangunan kawasan23. Hal inilah yang disinyalir menjadi alasan pemerintah Indonesia dalam mengambil keputusan untuk bergabung dengan ASEAN-6 daripada bergabung dengan CLMV dalam ACFTA. Dalam hal ini terlihat kaitan antara peranan dasar diplomasi yakni untuk menciptakan citra positif sebuah negara dan konsep regionalisme yang menjunjung tinggi nilai interdependensi antar negara demi mencapai interestnya masing-masing.

Dilihat dari segi diplomasi ekonomi, masuknya posisi Indonesia dalam perjanjian ACFTA dianalisis sebagai sebuah upaya diplomasi ekonomi Indonesia untuk memenuhi tujuan pertumbuhan ekonomi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menargetkan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar tujuh persen pada tahun 2014. Akan tetapi, pemerintah memiliki keterbasan anggaran pembangunan yang berkisar Rp. 1000 trilyun per tahun. Menteri Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan bahwa investasi dalam negeri tidak cukup untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Ia menjelaskan Indonesia membutuhkan anggaran sebesar Rp. 2.100 trilyun sehingga memerlukan investasi asing24.

Kepentingan Indonesia dalam ACFTA dapat dikatakan sebagai bentuk kebijakan dalam menarik investasi asing demi tercapainya target pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. ACFTA dapat menciptakan integrasi ekonomi dan regional melalui peningkatan laju perdagangan di antara anggotanya. Dampak dari liberalisasi perdagangan dan integrasi tersebut juga mampu menciptakan liberalisasi investasi dari negara-negara ASEAN dan China ke Indonesia. Sebagai contoh, rencana investasi China untuk membuat pabrik semen di Manokwari dan pembangkit listrik di Papua.

Selain menarik investasi asing dari negara-negara ACFTA, masuknya Indonesia dalam perjanjian ACFTA juga mampu meningkatkan daya tarik investasi dari dunia internasional. Melalui ACFTA, citra positif ekonomi Indonesia akan terbangun. Hal ini disebabkan karena dengan ikut sertanya Indonesia dalam perdagangan bebas akan menciptakan citra positif bahwa perekonomian Indonesia telah stabil dan layak untuk ditanamkan modal.

23 Ibid., hal.28624 Kejar Target Pertumbuhan Indonesia Pacu Investasi Asing. diakses dari http://www.kabarbisnis.com/nasional/286810- Kejar_target_pertumbuhan __Indonesia_ pacu_investasi _asing.html pada tanggal 8 Mei 2011 pukul 18:05 WIB.

11

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya implementasi ACFTA meningkatkan perdagangan kedua belah pihak. Ekspor negara-negara ASEAN memang meningkat, akan tetapi impor dari China justru cenderung lebih besar (mengingat China lebih efisien dalam hal memproduksi barang). Hal ini membuat neraca perdagangan ASEAN cenderung defisit dalam hal perdagangan dengan China. Oleh sebab itu, dalam perjanjian ACFTA keuntungan China pada dasarnya lebih mendominasi.

Di sisi lain, kebijakan pemerintah Indonesia untuk bergabung dengan ASEAN-6 yang melaksanakan ACFTA per 1 Januari 2010, meskipun kebijakan ini dinilai cenderung terlalu dini, hal ini sebenarnya merupakan sebuah upaya diplomasi Indonesia untuk memperoleh dan mempertahankan citra yang baik di dunia internasional. Hal tersebut diwujudkan dalam pencitraan stabilitas ekonomi Indonesia yang dapat meningkatkan iklim investasi dan membawa keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Dalam penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa konsep regionalisme memiliki keterkaitan dengan konsep diplomasi dalam upaya mewujudkan interest masing-masing negara.

12

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Balaam, David N & Veseth Michael. 2005. Introduction to International Political Economy. New York: Oxford University Press

Gamble, Andrew & Payne Anthony (ed). 1996. Regionalism and World Order. Macmillan: St Martin Press.

Griffiths, Martin dan O’Challenge Terry. 2009. International Relations: The Key Concept. London: Routledge

S.Nye, Joseph, Jr. 2009. Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History. New Jersey: Pearson Longman.

Sosatro, Hadi. 1991. Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Jakarta: CSIS Wibisono, Makarim. 2006. Tantangan Diplomasi Multilateral. Jakarta: LP3ES

Thesis

Salloum, Gary Michael. 1975. Economic Interdependence and International Politics: The Case of OPEC. Canada.

Web

http://ditjenkpi.depdag.go.id/Umum/Regional/Win/ASEAN%20-%20China%20FTA.pdf pada tanggal 23 April 2011 pukul 21: 50 WIB.

http://revistas.ucm.es/cps/16962206/articulos/UNIS0505230008A.pdf diakses pada 6 Mei 2011, pukul 21.07.

http://en.reingex.com/ASEAN-China-ACFTA.shtml diakses pada tanggal 6 Mei 2011 pukul 18:21 WIB.

www. asean sec.org/documents/acfta/AMS- Trade-with-China - 2004-2008 .xls diakses pada tanggal 23 April 2011 pukul 18: 39 WIB.

http://lipsus.kontan.co.id/v2/acfta/produk-china-menjadi-raja-industri-lokal-tak-berdaya diakses pada 6 Mei 2011 pukul 18:05 WIB.

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4375&Itemid=29 diakses pada Jumat, 6 Mei 2011 pukul 17:19 WIB.

http://www.google.co.id/imglanding?q=grafik+perdangangan+ACFTA&um=1&hl=id&tbm=isch&tbnid=uRxh9SgBgfRwHM:&imgrefurl=http://lipsus.kontan.co.id/v2/acfta/produk-china-menjadi-raja-industri-lokal-tak-berdaya&imgurl=http://lipsus.kontan.co.id/assets/lipsus_acfta/images/RRT.jpg&w=326&h=260&ei=YcXDTeaOL87orQfTyuDsBA&zoom=1&biw=1102&bih=452 diakses pada tanggal 06 Mei 2011 pukul 17:01 WIB.

http://www.kabarbisnis.com/nasional/286810- Kejar_target_pertumbuhan __Indonesia_ pacu_investasi _asing.html pada tanggal 8 Mei 2011 pukul 18:05 WIB.

13