wp09

Download WP09

If you can't read please download the document

Upload: miftahol-hidayah

Post on 07-Aug-2015

20 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

KATA PENGANTAR

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem ekologi yang tersusun atas komponen-komponen biofisik dan sosial (human systems) yang hendaknya dipandang sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain. Namun secara administratif pemerintahan, wilayah DAS habis terbagi dalam satuan wilayah administrasi pembangunan kabupaten dan kota yang sangat terkotakkotak. Kondisi ini menyebabkan penanganan DAS menjadi tersekat-sekat dan sangat tidak efisien. Banyak program pemerintah yang dilakukan untuk menyelamatkan kondisi DAS dari kerusakan lingkungan yang semakin hari justru semakin bertambah sulit diatasi. Kenyataan ini juga seringkali memicu dan mempertajam konflik sosial diantara stakeholders yang ada di dalamnya. Terlebih setelah UU No. 22 Tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah diberlakukan, jarak kepentingan antara satu daerah dengan lain daerah administratif semakin terasa sementara derajat tekanan terhadap sumberdaya DAS yang terdapat di wilayahnya semakin kuat. Akibatnya pengelolaan terhadap DAS juga semakin terpecah-pecah dan dilakukan sangat segmented menurut kepentingan masing-masing pemangku otoritas wilayah administratif yang dilalui DAS tersebut. Akibat kelemahan integritas (kesatuan) penanganan DAS di setiap wilayah administrasi menyebabkan penanganan kerusakan sumberdaya alam memasuki wilayah politik-administrasi organisasional yang sulit penanganannya. DAS Citanduy merupakan salah satu dari 22 DAS yang tergolong kritis dan menghadapi masalah krisis-ekologi (erosi dan sedimentasi serta bahaya banjir) yang serius di Indonesia. Berkenaan dengan itu, Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor didukung oleh Partnership for Governance Reform in Indonesia UNDP melakukan studi aksi Decentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata-pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System) Daerah Aliran Sungai Citanduy dengan mengedepankan konsep Environmental Governance Partnership System EGPS atau Sistem Tata-pemerintahan Lingkungan Bermitra (STLB). Kegiatan ini mencoba menemukan sistem pengelolaan DAS secara bersama-sama (multipihak/multistakeholders) dengan pendekatan partisipatif. Empat prinsip yang hendak ditegakkan pada konsep tata-sumberdaya alam/lingkungan bermitra, adalah : (1) prinsip keberlanjutan (sustainability); (2) partisipasi; (3) kemitraan (partnership); dan (4) desentralisasi.

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

Working paper berjudul Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy : Perspektif Politik Ekologi menganalisis kekuatan-kekuatan sosio-politik dari beragam pihak yang memiliki kepentingan terhadap DAS Citanduy. Analisis tentang desentralisasi environmental governance system, diarahkan kepada fokus alokasi kekuasaan pengelolaan DAS dari negara kepada satu unitotoritas yang otonom dan independen. Unit tersebut, diisi oleh elemen dari tiga ruang kekuasaan : negara, masyarakat sipil, dan swasta. Setiap pihak merepresentasikan ideologi dan kepentingan masingmasing dalam memandang common pool resources. Unit otoritas tersebut bernama Dewan Sumberdaya Air (DSDA) DAS Citanduy, yang menjalankan fungsi-fungsi supervisi, advokasi, pengawasan, konsultasi, advisory, dan mitra negara dalam perumusan kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam. DSDA menjadi ruang koordinasi dan komunikasi kritis berbasiskan kemitraan yang selama ini tidak terbentuk. Konsep pembaharuan hubungan tata kelembagaan diarahkan pada pencapaian cita-cita one river, one plan, one management pada sistem pengelolaan DAS Citanduy. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak UNDP sebagai pendukung gagasan, LPPM IPB, dinas/instansi di kabupaten/kota di kawasan DAS Citanduy, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah serta Pemerintah Pusat (terutama BAPENAS, Departemen Pekerjaan Umum, dan Departemen Kehutanan). Tak lupa ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, masyarakat di DAS Citanduy dan semua pihak yang sudah memungkinkan kegiatan studi ini berlangsung.

Hormat kami,

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Teori Kegagalan Kelembagaan di Ruang Negara Sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di suatu daerah aliran sungai DAS (tidak terkecuali dalam hal ini, DAS Citanduy yang melintasi lima wilayah administratif kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah) menghadapi babakan baru persoalan kultural dan struktural pada sistem tata-pemerintahan lingkungan (cultural and structural dimensions of environmental governance1 problem) yang cenderung makin kompleks dimensinya sejak keputusan politik otonomi daerah (OTDA) sesuai UU No. 22/1999 atau undang-undang penyempurnaannya (UU No. 32/2004) disahkan dan dijalankan. Terdapat interpretasi berlebihan atas kebijakan otonomi daerah pada tata-cara pengelolaan sumberdaya alam di DAS Citanduy oleh masing-masing pemerintah administratif kabupaten/kota. Interpretasi berlebihan itu tercermin pada tingginya hasrat politik otoritas kabupaten/kota untuk menguasai secara mutlak sumberdaya alam (common pool resources CPR seperti DAS) yang melintas di kawasan administratif mereka masingmasing dan mengabaikan kepentingan atau hak pemanfaatan daerah tetangga atas CPR yang sama. Dengan UU OTDA, otoritas administratif pemerintah daerah kabupaten/kota tidak dapat lagi bersikap fleksibel dan menghormati mutual-interest terhadap pemangku otoritas administrasi pemerintahan tetangganya, utamanya dalam memandang keberadaan otoritas administratif tetangga dalam memanfaatkan sumberdaya alam sekawasan. Keputusan politik OTDA justru telah dipandang sebagai justifikasi dan peluang penting untuk makin mengukuhkan klaimsepihak dansikap egosentrisme atau absolutisme dalam menguasai sumberdaya alam (CPR) DAS yang melintas di wilayah administratif mereka. Pada titik ini, terbentuklah mentalitas self-centeredness yang mengeras dalam sistem tata1

Governance (tata-pemerintahan) merujuk pada pengertian: the sum of the many ways individuals and institutions, public and private, manage their common affairs. It is the continuing process through which conflicting or diverse interests may be accommodated and co-operative action may be taken (Commision on Global Governance dalam Weiss, 2000). Sementara itu World Bank (dalam Weiss, 2000) memberikan batasan tata-pemerintahan atau governance sebagai: the manner in which power is exercised in the management of the countrys economic and social resources. Tiga aspek penting sistem tata-pemerintahan adalah: (1) bentuk rezim (pengaturan) politik, (2) proses menjalankan kewenangan dalam pembangunan, (3) kapasitas pemerintahan untuk melakukan desain dan formulasi kebijakan serta implementasi kebijakan. Senada dengan Bank Dunia, United Nation Development Program UNDP (dalam Weiss, 2000) memberikan pengertian tata-pemerintahan sebagai: the exercise of economic, political and administrative authority to manage a countrys affair at all levels. It comprises mechanism, processes and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligations and mediate their differences. Sistem tatapemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan, dengan demikian mencakup paling tidak aspek-aspek berikut: (1) mekanisme menjalankan rezim politik sumberdaya alam, (2) kewenangan pemerintahan, (3) kelembagaan, (4) kapasitas mengantisipasi perbedaan dan konflik kepentingan pemanfaatan sumberdaya alam.

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

pemerintahan lingkungan. Sikap tersebut selain menafikan asas-asas pemanfaatan bersama atas kesatuan hidrologi-fisik DAS, juga telah mengesampingkan asas-asas solidaritas sosial, perasaan sekesatuan kawasan, dan semua nilai-nilai kebersamaan yang pada masa lalu (era sentralisme) pernah terpelihara dengan baik. Distorsi pemahaman penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam CPR pada era OTDA menyebabkan konflik sumberdaya alam antar pemangku otoritas sekawasan menjadi sangat mudah meletup. Salah satu faktor penting yang menjelaskan menguatnya sikap self-centeredness pada dasarnya adalah kebutuhan financial survival daerah, sejak era OTDA bergulir. Kebutuhan untuk menghimpun sumber pendanaan daerah demi berjalannya fungsifungsi pemerintahan kabupaten/kota yang bersangkutan, telah mendorong masing-masing pemerintah daerah mengeksploitasi habis-habisan sumberdaya alam yang tersedia di kawasan administratif mereka. Masingmasing pemerintah daerah tidak lagi menghormati DAS sebagai CPR yang seharusnya dijaga secara bersama-sama. Hingga titik ini, derajat susceptibility (kerawanan) DAS terhadap terjadinya tragedi kehancuran bersama meningkat tajam. Semangat eksploitasi berlebihan (income earning driven motivation) dan berkembangnya ego-wilayah/ego-sektoral menjadi faktor-faktor kuat yang menjelaskan mengapa tragedi kehancuran sumberdaya alam milik bersama makin berpeluang terjadi pada era OTDA (lihat juga studi Dwiyanto et. al. 2003). Sementara itu pada ranah struktural, OTDA menghadapi persoalan kekosongan ruang kelembagaan. Keadaan ini digambarkan sebagai institutional crisis, dimana ruang-ruang dialog dan ruang-ruang yang memungkinkan terjadinya koordinasi antar pemegang otoritas administratif dalam membuat/merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara partisipatif, tidak terbentuk. Ketiadaan infrastruktur kelembagaan tersebut menjadikan sistem tatapemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan sulit mengembangkan proses-proses koordinasi dan komunikasi antar pemerintah daerah, antar sektor, serta antar beragam kepentingan lainnya. Keterpaduan kebijakan antar sektor dan antar wilayah administratif melemah secara nyata, seiring dengan tak ditemukannya ruang-ruang yang memungkinkan perbedaan-kepentingan saling diselaraskan dan dicarikan solusikonstruktifnya. Jikalaupun ada ruang-ruang komunikasi tersebut, keadaanya tetaplah tersekat-sekat sangat ketat (paling tidak secara psikologis), sehingga keselarasan persepsi atau kepentingan antar pihak/agensi pengelola sumberdaya alam dan lingkungan sulit dicapai. Ruangruang komunikasi yang terisolasi akan membuat derajat kepentingan sepihak/lokal kedaerahan menguat. Peluang terjadinya

konflik arah kebijakan antar daerah di satu wilayah DAS yang sama, makin besar, sehingga prinsip pengelolaan DAS one-river, one-plan and one manegement makin sulit dicapai.

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

Terbatasnya ruang komunikasi kebijakan (lack of space for inter-regional government to establish a better environmental governance communication system) yang mencukupi menyebabkan tidak terbangunnya komunikasi partisipatif tentang seberapa dalam derajat pemanfaatan sumberdaya alam di masingmasing wilayah administratif harus dicapai. Ketidakhadiran ruang-komunikasi, juga menyebabkan ketidakcukupan informasi bagi pemangku otoritas kebijakan lingkungan untuk mengambil keputusan seberapa dalam derajat eksploitasi sumberdaya alam di kawasan masing-masing dapat ditoleransi. Ketiadaan ruang komunikasi mencapai taraf yang secara ekologis membahayakan manakala setiap pihak tidak lagi menghiraukan dan tidak ingin mempedulikan kebijakan lingkungan di wilayah administratif tetangganya. Hal ini akan menyebabkan eksploitasi sumberdaya alam tidak terkontrol. Faktor-faktor di atas telah menyebabkan mengapa local-regional environmental policies pada era OTDA secara sektoral terasa benar-benar kompartementalistik dan secara kewilayahan dipandang sebagai administratively isolated. Bahkan, tidak jarang terjadi pada era OTDA dimana sebuah kebijakan di suatu daerah administratif menetralisir/meniadakan efektivitas kebijakan yang diberlakukan di daerah lain. Persoalan ketidakberdayaan (disempowered) para pemangku otoritas administrasi dalam menghasilkan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang terintegrasi, efektif, dan mampu menyelamatkan CPR dari tragedy of the commons syndrome, berujung pada kehancuran ekosistem. Krisis strukturalkelembagaan bersama-sama dengan krisis sosio-kultural (selfcenteredness syndrome), telah membawa dampak pada penajaman persoalan-persoalan sosio-ekologis serta kehancuran fisik lingkungan (environmental damages) di kawasan DAS Citanduy. Lebih jauh, tragedi kehancuran bersama akan berujung pada persoalan klasikal di bidang sosial-ekonomi muncul berupa natural-resources-rooted in poverty yang makin parah dan semakin tidak tertangani. Hal ini terjadi karena, eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan oleh salah satu pihak akan mengakibatkan natural resources stock depletion yang sangat berarti bagi pihak lain. Daya dukung kawasan terhadap kehidupan menurun seiring dengan rusaknya sistem ekologi kawasan dan menyebabkan peningkatan derajat ketidakpastian sumber nafkah livelihood uncertainty. Masalah kemiskinan selanjutnya akan memberikan dampak balik berupa kehancuran lingkungan yang sangat berarti (ditandai oleh peningkatan erosi, sedimentasi, dan banjir) disebabkan oleh eksploitasi sumberdaya alam berlebihan demi mempertahan derajat minimal survival rumahtangga. Demikian proses kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan akan terus terjadi, secara berulang dan siklikal.

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

Proses penghancuran lingkungan akibat tergerusnya cadangan modal sumberdaya alam secara terus-menerus, telah menyadarkan sementara pihak bahwa OTDA ternyata menyebabkan peningkatan derajat tekanan ekologis pada suatu kawasan CPR yang melibatkan dimensi-dimensi baru, yang tidak pernah dialami sebelumnya. Dalam hal ini, ketidakberfungsian institusi-institusi administratif sumberdaya alam, penguatan sikap egosentrisme, dan ketidakselarasan kebijakan, ketidakberdayaan otoritas kekuasaan untuk menyatukan langkah kebijakan secara terpadu dalam mengelola CPR atau DAS, secara tidak disengaja telah berkontribusi terhadap proses penghancuran ekosistem DAS Citanduy secara sistemik. Masalah klasik DAS tahap berikutnya adalah kemungkinan munculnya konflik sosial (baik yang horisontal ataupun vertikal), yang cenderung membesar sebagai akibat menipisnya ketersediaan sumber pangan dan sumberdaya alam bagi kehidupan masyarakat. Dalam keadaan sekat-sekat otonomi daerah bekerja sangat ketat, maka gejala tragedi kehancuran bersama atas eksistensi sebuah CPR dapat berlangsung kapan saja dan sulit untuk bisa dihentikan. Hanya satu hal yang dapat mengurangi derajat tekanan ekologi CPR tersebut yaitu kesiapan masing-masing pihak (pemerintah daerah) untuk membangun saling-pengertian dan jejaring kerjasama antar pihak berbasiskan kesepahaman dan nilai-nilai solidaritas, kemitraan, dan kesatuan. Bila infrastruktur ruang koordinasi dan komunikasi antar pihak/wilayah tak terbentuk, maka persoalan-persoalan klasikal tersebut akan terus-menerus mengantarkan krisis sosio-ekologis CPR masuk ke tataran yang makin sulit dicarikan jalan keluarnya. Dari perspektif ini, krisis sosial-ekologi DAS Citanduy hanya akan dapat diatasi bila sistem regulasi negara berhasil dalam menjamin berlangsungnya sistem tata-pemerintahan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang memadai dan lestari. Artinya, kegagalan ruang negara dalam memelihara keselarasan langkah kebijakan dalam sistem manajemen DAS, akan mengakibatkan kehancuran ekosistem milik bersama yang sangat memprihatinkan.

1.2. Teori Kegagalan Kelembagaan di Ruang Masyarakat Sipil Sebagaimana diketahui, penurunan kualitas dan kapasitas dukung sumberdaya alam terhadap kehidupan sistem ekologi DAS Citanduy (the decline of natural resources carrying capacity of the Citanduy watershed ecological system) selama 25 tahun terakhir, ditandai secara jelas oleh meningginya tingkat deforestasi di atas ambang yang bisa ditolerir (devastating level of deforestation) di kawasan hulu, tingkat erosi dan sedimentasi pada river body yang mencemaskan, banjir secara

Proyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System): Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

permanen di kawasan hilir (di wilayah Ciamis Selatan dan Cilacap), serta penyusutan luas laguna Segara-Anakan di kawasan pesisir Cilacap secara signifikan, serta bermunculannya lahan kritis di berbagai kawasan sepanjang DAS (lihat Dharmawan et. al, 2004 dan Prasetyo, 2004). Sementara itu, kehancuran ekonomi sumberdaya alam yang berlangsung di DAS Citanduy mencapai besaran angka ratusan milyar rupiah per tahun untuk memulihkannya (lihat studi Yunus dan Dharmawan, 2005). Nilai ekonomi kehancuran lingkungan itu tidak termasuk hilangnya keanekaragaman hayati di laguna Segara-Anakan. Demikianlah, sehingga berkembang pemikiran, bahwa penyelesaian persoalan lingkungan DAS sepantasnya tidak hanya didekati melalui metode tunggal melainkan beragam pendekatan. Salah satunya, yang menjadi perhatian studi ini adalah reformulasi dan pembaharuan sistem tatapemerintahan dan tata-kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan (natural resources and environmental governance system) secara memadai (Roberts, 2004). Salah satu asumsi dasar langkah pembaharuan tata-pemerintahan lingkungan adalah adanya asumsi kegagalan kelembagaan2 di ruang kekuasaan masyarakat sipil atas pengelolaan sumberdaya alam di kawasan DAS selama ini. Secara historis, perspektif institusionalisme lingkungan, memberikan pelajaran bahwa kegagalan berfungsinya tatakelembagaan dalam sistem pemerintahan (governance system) yang partisipatif dan efektif serta efisien dipandang telah menyebabkan makin seriusnya krisis ekologi (ecological crisis) berlangsung di kawasan DAS (Citanduy). Kegagalan kelembagaan itu antara lain disebabkan oleh lemahnya kapasitas kontrol para pemegang otoritas kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan (public sector capacity to perform its core functions) dan keterlambatan suatu sistem menyediakan infrastruktur kelembagaan yang memadai dalam era transformasi sistem administrasi/kebijakan lingkungan dari fase sentralisme ke fase desentralisme. Krisis kelembagaan tersebut berlangsung, karena adanya kegagalan non-state organizations atau civil society associations (CSA) untuk membentuk networking dan aliansi yang kuat diantara mereka sebagai kekuatan penyeimbang institusi negara dalam tata-pemerintahan lingkungan yang fair. Ketidakseimbangan kekuatan inilah yang menyebabkan kontrol tidak terjadi. Situasi opresif berlangsung, karena posisi CSA terdominasi dan dikooptasi oleh negara dalam banyak hal. Kelemahan kapasitas koordinasi dari organisasi2

Kelembagaan didefinisikan sebagai rules of the games, regulations, atau konvensi yang mendorong sekaligus membatasi seseorang atau sekelompok orang/pihak tertentu untuk berperilaku.

Kelembagaan (pranata sosial) memberikan guidance kemana seseorang atau sesuatu pihak harus melangkah dan pada jalan mana seseorang tidak diperkenankan melaluinya. Dalam pengelolaan sumberdaya alam, kelembagaan adalah produk sosial yang muncul sebagai akibat proses-proses politik untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya alam, dimana otoritas/kewenangan, hakkewajiban, peraturan dinegosiasikan dan akhirnya ditetapkan untuk disepakati bersama (lihat North, 1990).

Proyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System):

7

Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

gerakan sosial (social movement organizations yang berintikan CSA dan Non-Governmental Organizations/NGOs), memiliki perhatian khusus pada bidang sumberdaya alam telah mengukuhkan dan melanggengkan dominasi negara (pemerintah daerah) dalam mengeksploitasi sumberdaya alam. Kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam dan pola pengelolaan lingkungan juga didefinisikan secara partikularistik tanpa menghiraukan suara dari akar-rumput. CSA dan NGO terus dipinggirkan secara politis dari sistem tata-pemerintahan lingkungan, sehingga sama sekali tidak mampu untuk memposisikan diri mereka secara signifikan sekedar sebagai supplement (tambahan), complement (pelengkap), adversaries atau bahkan opponent (pengawas kritis) yang menjalankan fungsi advokasi secara korektif dan massif (selanjutnya lihat analisis tentang environmental/social movement dari Young, 2000). Untuk itu ketiadaan jaringan CSA dan NGO dalam sistem tatapemerintahan lingkungan sepantasnya diperbaiki dan infrastrukturnya diperlengkapi. Jejaring organisasi masyarakat sipil, akan sangat berarti fungsinya dalam upaya penyelamatan sumberdaya alam milik bersama melalui perannya memberikan balance kekuatan politis-kritis pada kekuatan negara. Beberapa misi yang bisa dibawakan oleh CSA, adalah: (1) Membawa kesadaran baru tentang perlunya perubahan sikap dan pandangan masyarakat agar selalu kritis terhadap berbagai jenis sains dan teknologi yang diterapkan dalam aktivitas sosial-ekonomi. Hanya ilmu-pengetahuan dan teknologi yang bebas dari sifat merusak alam yang pantas digunakan science and technology (that are) realeased (terbebaskan) from their service to destruction and exploitation. (2) Mengembangkan sikap-sikap pro keberlanjutan dan kelestarian alam dan menekankan perlunya mereformasi tindakan atau perilaku masyarakat yang destruktif menuju kepada keramahan terhadap alam. (3) Memposisikan diri pada peran kritis dan pemihakan pada kalangan yang tertindas (socio-politically oppressed). Peran tersebut diarahkan pada penyadaran publik bahwa untuk alasan apapun, eksploitasi sumberdaya alam yang menyebabkan kemiskinan dan kehancuran lingkungan adalah tindakan ilegal, tidak bermoral, dan pantas untuk ditentang. Dengan perannya yang jelas, maka penguatan CSA/NGOs dalam sistem tatapemerintahan lingkungan di DAS Citanduy sangat mendesak dilakukan. Jawaban atas tantangan ini adalah memperkuat CSA melalui rebuilding viable and well-functioning as well as socially acceptable civil society institutions in the environmental governance system.

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

Persoalan berikut setelah penguatan CSA/NGOs berlangsung adalah bagaimana menyalurkan kekuatan kritis mereka dalam ruang kekuasaan. Mekanisme yang ditempuh adalah menciptakan ruang koordinasi dan komunikasi politis yang memadai agar antara CSA/NGOs dengan Negara (plus Swasta) terjalin hubungan politis yang kondusif. Dengan kuatnya struktur kelembagaan di ruang kekuasaan masyarakat sipil, maka kesetimbangan kekuatan-korektif negara versus masyarakat sipil dapat terpelihara dengan baik. Artinya, fungsi kontrol sosial yang selama ini tidak berjalan karena infrastruktur kelembagaannya tidak lengkap, kini dapat dihidupkan dan direvitalisasi kembali. Mengapa proses to equip the governance system with politicalinfrastructural institutions ini penting untuk dipertimbangkan, karena teori kegagalan kelembagaan melihat bahwa kekosongan kelembagaan kontrol, dalam jangka panjang justru akan dapat memicu instabilitas sosial, tekanan dan konflik sosial yang senantiasa meningkat potensinya (lihat Brinkerhoff and Brinkerhoff, 2002). Instabilitas sosial pada akhirnya akan memberikan tekanan ekologis yang berarti sehingga keberlanjutan lingkungan suatu kawasan serta kelestarian kawasan akan terancam.

1.3. Kapitalisme dan Teori Ketidakadilan Ekologi Selaras dengan pendekatan kelembagaan, perspektif ekologisme klasik memandang bahwa kehancuran lingkungan bisa terjadi akibat dari berlangsungnya kegagalan dalam mewujudkan proses pertukaran (energi, materi dan informasi) dalam suatu ekosistem yang berkeadilan. Studi ekologi mencatat bahwa kehancuran lingkungan bisa disebabkan karena adanya ketidakseimbang dan ketimpangan pertukaran materiinformasi-dan-energi (exchange mechanism) antara manusia yang berada di ruang sosial masyarakat (human system domain) versus sumberdaya alam di ruang non-human system (lihat Marten, 2001). Dalam hal ini sektor swasta yang berideologikan kapitalismeeksploitatif dan berintikan prinsip maksimisasi profit dipandang sebagai destruction agencies yang paling bertanggung jawab atas kehancuran sumberdaya alam. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Gorz (1996) sebagai berikut:In the interaction of ecological change and economic development.we are dealing with a crisis of capitalis accumulation, intensified by an ecological crisiswhat then is a crisis of overaccumulation.this is because the basic structural problem of capital economies is how to maintain rates of return per unit investment in an increasingly capital intensive and extensive economy. Companies faced with such a dilemma may sell more products or produce higher value-added productsat this pointthe dynamic of growth and the prevailing

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

economic rationality collide with (berbenturan dengan) the physical limits of natural world. The economic strategies for avoiding the downward recessionary spirals of overaccumulation are resolved, temporarily at any rate, by hightened levels of environmental damage

Pandangan yang diilhami oleh tradisi pemikiran Marxian tersebut melihat bahwa ketidakadilan ekologi akan terjadi saat sumberdaya alam terlalu banyak dieksploitasi melebihi kapasitasnya untuk melakukan regenerasi, demi pemenuhan kebutuhan manusia (lihat analisis tentang theory of environmental injustice dari Pellow, 2000). Tidak berlebihan juga bila dikatakan bahwa ketimpangan pertukaran inipun terjadi karena tidak memadainya semangat pemihakan kepada lingkungan yang terkandung pada setiap keputusan politik tentang pengelolaan sumberdaya alam yang dihasilkan dan dijalankan oleh otoritas kebijakan lokal. Kurangnya semangat pemihakan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, disertai masih kuatnya etika antroposentrisme (etika yang mementingkan posisi manusia di atas mahluk hidup dan tak hidup lain yang ada di alam), telah memperparah kondisi kawasan DAS Citanduy. Dari perspektif ini, perbaikan atas kerusakan lingkungan di DAS Citanduy hanya bisa berlangsung bila dilakukan dua hal secara bersamaan, yaitu: (1) mengubah etika pembangunan dari antroposentrisme, kepada etika ekosentrisme etika yang memandang manusia dan benda alam serta mahluk hidup lain berada pada posisi yang setara dan sama hak dan kewajibannya, (2) advokasi lingkungan oleh CSA ataupun voluntary sector bersama-sama dengan negara dan swasta, (3) mengharuskan sektor swasta berkolaborasi secara aktif bersama-sama dengan CSA dan Negara dalam mengelola sumberdaya alam secara lestari. Bila perlu, prinsipprinsip corporate social responsibility yang mengharuskan pelaku ekonomi atau sektor swasta bertanggung jawab terhadap nasib masyarakat dan lingkungan di sekitarnya , diterapkan secara konsekuen. Meski demikian, penting juga untuk diingat bahwa ketidakadilan lingkungan akan terus berlanjut di Indonesia umumnya atau DAS Citanduy khususnya, bila infrastruktur kelembagaan yang memungkinkan proses pendidikan lingkungan dan penyadaran akan pentingnya posisi lingkungan hidup sepenting posisi manusia, tidak terbangun dengan baik. Oleh karena itu, maka kemitraan Negara, CSA/NGOs dan Swasta, dalam tatapemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan harus memungkinkan ketiga pihak saling mendorong untuk memberikan pencerahan sesamanya. Pada titik ini semangat kebersamaan dan keterbukaan open-mindedness sangat diperlukan bagi berlangsungnya proses pendidikan tersebut.

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

1.4.

Krisis Tata-Pemerintahan Lingkungan Environmental Governance System

dan

Desentralisasi

Dari perspektif sistem administrasi pembangunan, akar persoalan kehancuran lingkungan terletak pada kegagalan bekerjanya natural resources and environmental governance system untuk mendorong proses-proses pertukaran ekologis secara efektif, efisien dan berkeadilan antara dua ruang yang berbeda namun saling terikat sesamanya. Ruang tersebut adalah ruang human systemdan ruang bagi non-human system di kawasan DAS. Kegagalan tatapemerintahan lingkungan tampak pada adanya inkonsistensi regulasi antar daerah dalam menata kawasan DAS. Otoritas administratif masing-masing daerah yang berada dalam kawasan DAS (Citanduy) gagal menghasilkan kebijakan lingkungan yang sinergis secara lintas sistem administrasi lokal (trans-local environmental policy implementation). Bilamana kegagalan demi kegagalan berlangsung terus-menerus, maka pada akhirnya terjadilah krisis ekologi yang akarnya terletak pada kegagalan keseluruhan sistem tata-pemerintahan lingkungan (environmental governance failure). Kekacauan sistem tata-pengelolaan dan regulasi pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan di ruang sosial selanjutnya akan mendorong krisis pada ruang sistem ekologi DAS, dimana ekosistem makin terkooptasi dan menerima beban yang sangat berat akibat kesalahan atau ketidakselarasan dalam kebijakan politik dan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sistem administrasi (lihat juga, Micklin and Poston Jr, 1998; Marten, 2001). Kenyataan inilah yang memunculkan tesis bahwa ecological crisis is an environmental governance crisis. Jika persoalan governance muncul selaras dengan kegagalan sistem desentralisme (OTDA) yang telah mengarah pada penguatan sentralisasi otoritas lokal, maka segera terpikirkan salah satu solusinya yaitu memperbaharui semangat desentralisasi agar re-sentralisasi tata-pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di tingkat daerah/kabupaten atau kota tidak berlanjut makin kronis. Pembaharuan tata-kelembagaan dan tata-pemerintahan lingkungan dipandang penting dilakukan, meski selama ini perspektif ekologi manusia klasikal mempercayai bahwa sistem ekologi (alam) memiliki kemampuan adaptasi untuk menstabilkan setiap guncangan dan ketidakstabilan, serta kehancuran ekosistem yang dialaminya tanpa campur tangan manusia (lihat Bennet, 1976). Namun, kekuatan alamiah untuk mendorong recovery alamiah dan proses penyesuaian diri dari dalam sistem ekologi DAS Citanduy tampaknya tidak mencukupi. Alam terlalu lemah untuk mengimbangi guncangan dan proses-proses

destabilisasi lingkungan yang telah berlangsung terus menerus dan berulang

Proyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System):

11

Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

secara makin cepat seiring dengan pertambahan penduduk dan jumlah aktivitas manusia selama dua dekade terakhir ini. Oleh karena itu, intervensi segera pada tataran makro sistem sosio-ekologi DAS menjadi sangat penting untuk diwujudkan. Pandangan ini didasarkan pada pemikiran, bahwa upaya perbaikan lingkungan yang mengandalkan tanpa rekayasa kelembagaan dan tata-pemerintahan akan sulit membantu proses regenerasi dan stabilisasi sistem ekologi DAS Citanduy secara cepat. Terlebih bila idenya adalah mengembalikan status ekologis ekosistem DAS Citanduy kepada keadaan ideal sebagaimana yang terjadi pada 100 tahun yang lalu. Dari pertimbangan tersebut, maka upaya memikiran kembali untuk memperbaharui sistem tata-pemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan DAS Citanduy (natural resources and enviornmental governance reform) menjadi sangat relevan dan mendesak untuk diwujudkan. Hingga titik ini, banyak anggapan yang memandang bahwasanya gagasan tentang reformasi decentralization3 of governance proses yang memberikan ruang lebih leluasa bagi (utamanya) masyarakat sipil untuk terlibat dalam pengelolaan DAS, adalah langkah konkret yang akan mampu memberikan banyak solusi berarti (bandingkan misalnya dengan pendapat Lane, 2003).

3

Salah satu batasan akademik konsep desentralisasi adalah: Decentralization refers to the transfer of state assets or power to local decision making bodies, including NGOs (civil society) (Agrawal and Ribot, 1999 in Lane, 2003). Sementara itu Rondinelli and Nellis (1986) sebagaimana dikutip oleh Cohen and Peterson (1999) mengemukakan bahwa desentralisasi adalah the transfer of responsibility for planning, management, and the raising and allocation of resources from the central government and its agencies to field units of government agencies, subordinate units or levels of government, semi autonomous public authorities or corporations, area-wide regional or functional authorities, or non-governmental private or voluntary organizations. Dalam sistem tata-pemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan DAS Citanduy, desentralisasi administratif lebih relevan untuk didalami daripada desentralisasi politik ataupun desentralisasi spasial. Alasan yang mendasari perlunya melakukan desentralisasi administratif adalah adanya masalah krisis ekologi DAS yang akarnya terletak pada sejumlah kegagalan tata-kelembagaan adminstrasi pengelolaan sistem ekologi di kawasan tersebut. Ada tiga bentuk desentralisasi-administratif yang dikenal dan penting untuk diketahui yaitu: (1) dekonsentrasi, yang menunjuk pada transfer kewenangan yang berlaku bagi specified decision-making, financial and management functions dari jenjang hirarki administrasi tertentu ke bawah, namun masih tetap dalam satu jurisdictional authority pada pemerintah pusat; (2) delegasi, yang menunjuk pada transfer of government decision-making and administrative authority untuk sebuah tugas tertentu kepada suatu organisasi tertentu yang sifatnya bisa tidak-secara-langsung ataupun independen dari kontrol pemerintah; (3) devolusi, yang menunjuk pada transfer kewenangan dari pemerintah (central government) kepada local-level governmental units yang mengemban status sebagai holding institution yang disahkan oleh peraturan hukum (legislation) (lihat Cohen and Peterson, 1999). Menurut Work (2001), devolusi dapat dikategorikan juga sebagai desentralisasi politik jika pengertiannya mencakup adanya transfer tanggungjawab atau kekuasaan pengaturan/regulasi secara penuh dalam decision-making, penggunaan resources, dan penciptaan pendapatan, dari otoritas tunggal-negara kepada otoritas publik (masyarakat sipil, negara dan swasta) yang otonom di tingkat lokal dan bekerja secara independent legal entity. Meski terdapat banyak kemungkinan bentuk desentralisasi administratif-politik yang dapat dipilih untuk dijalankan, namun yang terpenting untuk mengawali proses desentralisasi manajemen DAS adalah penghargaan atau pengakuan pihak negara terhadap keberadaan, aspirasi dan prakarsa pihak luar-negara (masyarakat sipil dan swasta) yang kelak akan menjadi mitra (partner) penting dalam sistem pengelolaan otoritas-administratif sumberdaya alam/air sungai. Oleh karena itu, negara sepantasnya memberikan ruang yang mencukupi serta akses yang lebih besar bagi kelembagaan yang menerima mandat devolusi otoritas manajemen DAS. Dalam hal ini devolusi dialamatkan kepada pemangku otoritas lingkungan di daerah tingkat kabupaten/kota bersama-sama dengan asosiasi-asosiasi masyarakat sipil (civil society association/CSA and institutions) dan swasta di setiap lokalitas. Dalam sistem tata-pemerintahan yang sehat, semua pihak memberikan kesempatan pada CSA, Negara dan Swasta untuk tumbuh bersama-sama dan

berperanserta lebih baik. Ketiga pihak berada dan diakui sejajar hak serta kewajibannya di ruang-ruang perencanaan pengelolaan DAS, dimana proses komunikasi dan koordinasi tidak tersekat-sekat dan terisolasi satu sama lain.

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

Artinya, governance reform dianggap mampu mengatasi kendala-kendala akibat bekerjanya beberapa teori kegagalan di atas. Kegagalan sektor (administratif) negara dalam mengawal kelestarian sumberdaya alam DAS selama ini, telah mendorong munculnya pemikiran alternatif yang lebih mencerminkan distribusi kekuasaan yang merata antara state dan non-state institutions. Rumusan yang lebih mencerminkan distribusi hak dan tanggung jawab secara merata direpresentasikan oleh konsep jejaring kemitraan4 (partnership-based networking) antar-beragam pemangku kepentingan dan otoritas administratif. Inti pemikiran dari environmental partnership-based governance system adalah sistem tata-pemerintahan yang lebih partisipatif dalam menjalankan kekuasaan, dimana keterlibatan masyarakat sipil relatif lebih intens pada proses-proses perumusan kebijakan politik pemanfaatan dan pengelolaan CPR/DAS. Bila dibandingkan dengan sistem tata-pemerintahan yang sentralistik atau government-oriented governance system, distribusi hak dan kewajiban kepada semua pihak lebih merata. Melalui mekanisme partisipatif, statefailure in natural resources management yang dialami oleh sistem adminstrasi sentralistik hendak dikoreksi secara total. Tentu saja, pemihakan secara khusus dalam pembaharuan tatapemerintahan sumberdaya alam dialamatkan kepada ruang civil society. Ruang ini mendapatkan pembagian kekuasaan untuk mengambil bagian lebih besar dalam tata-pengelolaan sumberdaya alam. Mengapa konsep partnership-based governance memberikan perhatian lebih besar pada ruang masyarakat sipil? Karena baik pada sistem tatapemerintahan sumberdaya alam berparadigma sentralisme (kekuasaan terpusat pada otoritas Negara) ataupun dalam era sentralisasi-kekuatanotoritas lokal pada era OTDA, Kemitraan (partnership) adalah salah satu dari enam varian/tipe participatory development yang terpenting.Terdapat beberapa tipe/varian model pembangunan partisipatif, dimana pihak negara, LSM/CSA atau masyarakat sipil dan pelaku usaha/swasta, bisa menjalin kerjasama. Model-model tersebut dispesifikasikan oleh UNDP (1999) sebagai berikut: (1) Consultation: this level entails two-way communication, where stakeholders have the opportunity to express suggestions and concerns, but no assurance that their input will be used at all or as they intended; (2) Consensus-building: here stakeholders interact in order to understand each other and arrive at negotiated positions which are tolerable to the entire group. A common drawback is that vulnerable individuals and groups tend to remain silent or passively acquiesce (persetujuan pasif); (3) Decision-making: when consensus is acted upon through collective decisions, this marks the initiation of shared responsibilities for outcomes that may result; (4) Risk-sharing: this level builds upon the preceding one but expands beyond decisions to encompass the effects of their results, a mix of beneficial, harmful, and natural consequences; (5) Partnership (kemitraan): this relationship entails exchange among equals working towards a mutual goal. Note that equal as applied here is not in terms of form, structure, or function but in terms of balance of respect . Since partnership builds upon the proceeding levels, it assumes mutual responsibility and risk sharing; (6) Selfmanagement: this is the pinnacle (derajat tertinggi) of participatory efforts, where stakeholders interact in learning processes which optimise the well-being of all concerned. Kemitraan adalah bentuk yang dipandang paling tepat untuk diimplementasikan dalam pembaharuan tata-pemerintahan pengelolaan sumberdaya alam di

4

DAS Citanduy. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa setiap pemangku kepentingan tetap eksis dengan baik sementara kewenangannya pun tidak berkurang. Namun, sebagai konsekuensi jalinan-kerjasama antar-pihak, maka dominasi kekuasaan-politik dari suatu pihak (negara) kini tidak terjadi lagi. Terdapat balance of power yang terpelihara dengan baik sebagai akibat jalinan kemitraan.

Proyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System):

13

Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

kelembagaan masyarakat sipil (civil society institutions and associations) senantiasa termarjinalisasikan posisinya. Aksesnya yang sangat kecil pada kekuasaan tidak memungkinkannya untuk dapat mengambil bagian terlalu besar dalam proses-proses pengambilan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Padahal, komunitas lokal beserta organisasi kemasyarakatan inilah yang selama ini mengetahui secara persis apa yang sesungguhnya terjadi dengan sumberdaya alam dan lingkungan di sekitarnya. Dalam sistem tata-pemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan yang diperbaharui, prinsip kemitraan (partnership) menjadi focal-point yang penting. Kemitraan akan menyatukan local-community atau civil society institutions (CSA), private sector dan negara menjadi satu kesatuan kekuatan yang integral dan tidak terpecah-pecah. Dalam hal ini tiga ideologi (yang saling bertentangan dan dianut oleh masing-masing elemen) dicoba untuk diintegrasikan. Ketiga prinsip itu adalah: individualisme (konsekuensi dari profit-maximization) yang dibawakan oleh sektor swasta (private sector), kolektivisme yang dibawa oleh asosiasi masyarakat sipil (CSA/NGO), dan sentralisme yang selalu menjadi ciri dari organisasi negara (lihat Van Vugt, 2002). Dalam sistem politik pengelolaan sumberdaya alam, perwujudan gagasan kemitraan atau partisipasi dapat dimasukkan dalam rumpun gerakan sosial yang memperjuangkan etika egalitarianisme. Gagasan sistem tatapemerintahan yang berbasiskan kemitraan selaras dengan prinsip community-based natural resources management dan mendukung penguatan devolved administrative authority dalam pengelolaan sumberdaya alam. Semangat yang hendak dibawakan dalam mekanisme yang cenderung kolektivistik-partisipatif itu adalah: (1) demokratisme dalam pengambilan keputusan dan (2) participatory development dalam menjalankan fungsi-fungsi administrasi lingkungan. Disinilah terjadinya wujud devolusi kekuasaan tata-pengelolaan sumberdaya alam secara sejati bagi kekuatan sosial yang pluralistik. Dikatakan sejati, karena mekanisme kontrol yang dimilikinya, memungkinkan proses penyelarasan paham yang berbedabeda dari berbagai pihak. Mekanisme saling mengontrol mampu menekan kecenderungan dominasi kekuasaan tunggal. Sebagai sebuah sistem gagasan, didalamnya terkandung pula beberapa norma yang menopang keberlangsungan sistem. Beberapa norma penting yang terkandung dalam gagasan partnership-based natural resources governance system tersebut yang pertama adalah, fungsi-fungsi perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam yang dapat dijalankan di tingkat lokal, tidak perlu lagi dilakukan di aras otoritas lebih tinggi. Namun

sebagai refleksi dari kesatuan hidrologis, perencanaan pengelolaan DAS di tingkat lokal tetap terintegrasiProyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System):

14

Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

dengan sistem secara keseluruhan di aras makro. Kedua, alokasi fungsifungsi pengelolaan sumberdaya alam di berbagai tingkatan (desa, kabupaten, dan provinsial) dijalankan dengan selalu melibatkan para-pihak (berbeda kepentingan) secara komplementer (saling melengkapi satu sama lain) dan tidak terkotak-kotak. Ketiga, tata-kelembagaan baru hasil pembaharuan tatapemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan adalah bukan badan yang berada di bawah kontrol otoritas negara (pemerintah), namun mengisi sejumlah ruang kosong independen yang selama ini memang belum disentuh oleh otoritas negara, swasta ataupun masyarakat sipil sekalipun. Sementara itu, fungsi-fungsi administratif yang selama ini telah berjalan tetap berlangsung sebagaimana semula, namun dengan memperhatikan selalu kebijakan yang dihasilkan pada ruang baru hasil persenyawaan tiga ruang kekuasaan (lihat Gambar 1). Mekanisme ini memungkinkan negara, masyarakat sipil serta swasta berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dalam mengatur sumberdaya alam di kawasannya. Meski demikian, legitimasi akhir sebuah keputusan pengelolaan sumberdaya alam memang selalu berada di tangan otoritas negara sebagai kelembagaan yang mendapatkan mandat untuk melakukan fungsi regulasi. Namun dengan berjalannya fungsi kontrol yang partisipasi, maka keputusan politik yang dihasilkan diharapkan telah mengapresiasi aspirasi masyarakat sipil dan swasta. Keempat, perencanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam dilakukan dengan memperhatikan aspirasi setiap lokalitas dan mengintegrasikannya menjadi kesatuan integral yang mewakili totalitas kepentingan sebuah DAS (bandingkan dengan studi Baumann,1998). Pertanyaannya kini adalah, hal-hal apa sajakah yang harus diantisipasi dalam merumuskan formulasi baru sistem tata-pemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan ini? Bagaimanakah bentuk tata-pemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan yang adapted dengan gagasan goodgovernance, desentralisme, lebih berkeadilan, partisipatif-inklusif, pluralistik, dan demokratis tersebut? 1.5. Menghilangkan Sekat-Sekat Sistem Kebijakan, Otoritas, Kekuasaan dan Menekan Peluang Terjadinya Tragedy of the Commons Pembaruan tata-pemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan didasarkan adanya kebutuhan untuk menyelamatkan sistem ekologi di suatu kawasan dengan pendekatan utama perekayasaan ulang environmental governance system. Secara teoritis, beberapa persoalan struktural pada sistem tatapemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat dikenali di berbagai kawasan DAS selama ini adalah: (1) konflik

kepentingan antar pihak pemangku

Proyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System):

15

Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

otoritas lingkungan di tingkat pemerintah daerah yang berlangsung baik secara horisontal (antar pemerintah daerah) maupun vertikal (pemerintah daerah versus pemerintah pusat), (2) lack of socially legitimated and enforced-decisions terutama yang berkaitan dengan kebijakan yang memperhatikan kepentingan bersama di kawasan DAS, (3) tingginya ragam orientasi ideologi dan sistem politik sumberdaya alam dan lingkungan yang dianut oleh masing-masing pemangku kepentingan ataupun otoritas lingkungan pemerintahan daerah yang bisa berakibat pada munculnya ketidakselarasan kebijakan publik yang diambil dan diimplementasikan di kawasan DAS, (4) rendahnya partisipasi CSA/NGOs dalam perumusan keputusan politik sumberdaya alam dan lingkungan, (5) ketiadaan ruang dialog dan koordinasi antar pihak yang memungkinkan proses-proses koreksi konstruktif atas pola pemanfaatan sumberdaya alam milik bersama. Dalam hal ini, dimensi kekuasaan, administrasi pemerintahan dan politik lingkungan memang terasa sangat kuat mempengaruhi keberlanjutan suatu DAS (lihat Doyle and Mc Eachern, 2001). Pertanyaannya, upaya apa yang perlu dilakukan demi menyelamatkan CPR DAS Citanduy? Sejauhmana pembaruan tata-pemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan berpendekatan perekayasaan governance system relevan dilakukan? Reformasi tata-pemerintahan lingkungan mendapatkan pembenaran hukum biofisik-alamiah. Dalam sistem tata-air, DAS secara biofisik dipandang sebagai kesatuan hidrologis yang menyatu dari bagian-bagian kawasan yang secara geografis terpisah-pisah. Sebagai kesatuan hidrologis, air yang mengalir dari hulu ke hilir akan sangat bergantung/ditentukan oleh tinggi-rendahnya kapasitas penyimpanan air (water retention capacity) oleh sistem ekologi di kawasan hulu dan tengah DAS. Artinya, debit air yang melaju ke hilir akan sangat ditentukan seberapa luas hutan dapat menangkap, meresapkan dan menahan serta menyimpan air di kawasan hulu dan tengah. Intensitas/luasnya tutupan lahan akan sangat mempengaruhi kapasitas retensi air tanah, sehingga mempengaruhi fluktuasi debit air musiman termasuk kualitas air yang mengalir di sepanjang sungai (water body) suatu DAS. Artinya, laju air yang juga berpotensi merusak lingkungan (daya rusak air), kekuatanrusaknya akan sangat ditentukan oleh seberapa baik/buruk kualitas lingkungan/hutan yang berfungsi menahan laju air di kawasan hulu dan tengah. Bahaya ekologis, seperti banjir di kawasan hilir akan sangat berpeluang muncul manakala sistem ekologis di kawasan hulu tidak berfungsi dengan baik dalam menahan laju air yang datang akibat presipitasi (hujan). Mekanisme ekologis semacam ini meneguhkan arti

sebuah DAS sebagai kesatuan hidrologis. Fakta ini juga menunjukkan betapa pentingnya kesatuan sistem kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan padaProyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System):

16

Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

sekatan-sekatan kawasan DAS. Ketidakselarasan sistem pengelolaan dan kebijakan sumberdaya alam yang berlaku di kawasan hulu-tengah-hilir pada sebuah DAS, akan menghasilkan kekacauan sistem tata-air secara keseluruhan di DAS yang bersangkutan. Dari perspektif biofisik DAS, sepantasnya bila kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan tidak diberlakukan secara tersekatsekat sesuai otoritas wilayah administratif dan sektor-pembangunan, melainkan berlaku secara integratif bagi semua kawasan dan semua sektor. Sementara itu, kualitas lingkungan suatu kawasan pengendali air akan sangat tergantung pada sistem pengelolaan kawasan tangkapan air (water catchment area), water use management system yang diterapkan oleh para pemangku kepentingan sumberdaya alam di kawasan setempat. Titik sentral dalam hal ini adalah terpeliharanya komitmen dan etika lingkungan yang memihak pada kesetimbangan dan kepentingan alam (ecological stewardship ethics). Ketika, semua sistem nilai dan norma yang memelihara keberlanjutan lingkungan tersebut diabaikan, hasilnya adalah (kembalinya) ketidakseimbangan dan kekacauan/guncangan pada ekosistem, utamanya rusaknya mekanismemekanisme pemelihara pertukaran materi, informasi dan energi di kawasan DAS sebagaimana disebutkan terdahulu. Akibatnya, bencana ekologis tak akan terelakkan terjadi (dan berpotensi berulang) atau bahkan mengalami peningkatan (recurrent and intensified ecological crisis). Bencana ekologis bisa dihindari hanya jika setiap pihak berkemauan untuk mengembalikan fungsi-fungsi setiap elemen ekosistem DAS seperti semula, atau paling tidak, berkemauan menghindari pola pemanfaatan eksploitatif yang tidak mengindahkan norma-norma keberlanjutan sistem lingkungan. Pada titik ini, etika dan komitmen seseorang/suatu pihak untuk menjaga kelestarian alam di kawasan DAS sangat ditentukan oleh proses-proses politik dan exercises of power yang menentukan kebijakan sumberdaya alam/lingkungan yang dijalankan oleh para pemegang otoritas kekuasaan (baik sektor negara, sektor partisipatoris/civil society, ataupun sektor swasta) di kawasan setempat (lihat Robbins, 2004:11). Persoalan bencana ekologis (ecological disaster seperti banjir) di kawasan DAS Citanduy sesungguhnya dimulai dari persoalan proses-proses exercise of power dari para pemangku kepentingan. Arah pemanfaatan sumberdaya alam DAS akan berciri eksploitatif ataukah konservatif, semuanya bergantung pada bagaimana konstelasi politik dan kekuatan pihak otoritas kekuasaan dalam merumuskan serta mengimplementasikan kebijakan sumberdaya alam dan lingkungannya. Hal ini selaras dengan temuan-temuan studi dari

Shackleton et. al (2002) bermanfaat bagi

yang memberikan lessons-learned

sangat

Proyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System):

17

Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

reformulasi sistem tata-pemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan agar lebih mencerminkan bobot demokratisme dan tidak terjebak pada syndroma reformasi tata-pemerintahan pura-pura. Generalisasi kesimpulan tersebut didasarkan pada hasil kajian Shackleton et. al (2002) yang menyimpulkan bahwa: (1) Kebanyakan devolved natural resources management hanya bersifat retorikapolitik dari pihak negara, daripada sebuah upaya pembenahan yang sungguh-sungguh pada sistem tata-pemerintahan secara substansial. Kebijakan politis yang diambil oleh pemangku otoritas lingkungan lebih mencerminkan kelanjutan dari sistem penguasaan CPR oleh negara daripada upaya yang sungguh-sungguh untuk memberdayakan komunitas lokal (genuine shift in authority to local people) terlibat dalam proses demokratisasi sistem politik lingkungan. (2) Cara merealisasikan devolusi kekuasaan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan memang bisa saja mengambil jalan yang berbedabeda tergantung kawasan dan latar-belakang sosial-budaya masyarakatnya, namun ada satu pengalaman yang pasti terjadi secara seragam (in common) bahwa apapun disain yang ditawarkan, kaum miskin tetaplah tertinggal dan terpinggirkan oleh proses desentralisasi tersebut. Masyarakat sipil, terutama mereka yang tergolong kalangan bawah karena keterbatasannya sulit terlibat dalam proses perumusan kebijakan lingkungan secara konstruktif. (3) Setiap pihak apakah negara, komunitas maupun pemangku kepentingan yang lain selalu memiliki perbedaan pandangan tentang proses devolusi (different visions of devolution) yang seringkali berakhir pada situasi konfliktual. Untuk itu, diperlukan penilaian-penilaian kembali yang memerlukan kehati-hatian agar pada akhirnya public interest dari bagian terbanyak yang kelak menerima hasil penataan kembali tatapemerintahan sumberdaya alam terakomodasi dan tidak dikorbankan suaranya. Upaya yang terpenting dilakukan adalah membangun aksesakses komunikasi partisipatif yang memadai untuk membangun konsensus politik lingkungan antar beragam pihak. (4) Model kelembagaan yang langsung memberikan keuntungankeuntungan berarti kepada disadvantaged resources users yang selama ini tertinggal, akan lebih mudah diterima jika langsung menyentuh persoalan kebutuhan lokal (embracing of local interest). Artinya, pembaharuan tatakelembagaan harus berorientasi pada kebutuhan lokal, dan tidak hanya mengacu pada perjuangan aspirasi politik yang seringkali justru mengaburkan

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

mengaburkan kebutuhan golongan masyarakat yang selama ini terpinggirkan. (5) Sebuah komunitas atau masyarakat sipil yang menjadi kekuatan penyeimbang negara bukanlah sistem yang homogen. Di dalam ruang masyarakat sipil terdapat CSA/NGOs dengan beragam ideologi dan kepentingan. Juga, kalangan elite komunitas (more powerful actors in communities) sangat berpeluang memanfaatkan keuntungan proses devolusi otoritas pengelolaan sumberdaya alam dari negara kepada masyarakat sipil. Oleh karenanya, diperlukan mekanisme check and balances yang berfungsi dengan baik agar baik proses-proses perumusan kebijakan publik (sebagai akibat devolusi) ataupun keuntungan-keuntungan sosial-ekonomipolitis yang diperoleh tidak hanya dimanfaatkan oleh elite semata-mata. Pada titik ini persoalan membangun struktur kelembagaan bagi tercapainya political control yang memadai menjadi tema penting sebuah proses penataan environmental governance system. Sebagaimana dikemukakan dimuka bahwa dalam proses memanfaatkan dan mengisi ruang kosong kelembagaan pengelola sumberdaya alam yang berciri multi-stakeholders, maka asumsi pluralisme kepentingan tidak dapat dielakkan. Ruang baru bagi terselenggaranya sistem tata-pemerintahan lingkungan yang partisipatif dan demokratis, kelak akan mewadahi dan memediasi perbedaan-perbedaan kepentingan dari beragam pihak tersebut, dan menghasilkan kesepakatan yang akomodatif bagi semua golongan. Dalam situasi dimana telah terjadi situasi disparitas kekuasaan yang sangat tajam antara negara (pemerintah daerah) dan masyarakat sipil sebagai dampak bekerjanya kekuatan opresif Orde Baru di masa lalu , maka peluang munculnya political-power domination suatu pihak atas pihak lain tetap akan signifikan pada masa OTDA saat ini. Dominasi kekuasaan hanya dapat ditekan kehadirannya, bila secara struktural tersedia ruang-ruang dialog ataupun ruang-ruang manajemen CPR bersama yang memungkinkan akses yang adil terhadap semua pihak kepada proses-proses komunikasi kritis dan aksi-aksi korektif. Ruang dialog tersebut secara kultural juga berfungsi sebagai ruang dimana proses pembelajaran politik antar beragam elemen kekuasaan berlangsung secara konstruktif. Oleh karenanya, fungsi terpenting kelembagaan hasil rekayasa tatapemerintahan lingkungan dalam hal ini adalah bagaimana menyediakan struktur kelembagaan yang memungkinkan terbukanya akses-akses politik agar aspirasi/kepentingan/ideologi yang berbeda-beda terhadap pola pengelolaan DAS terwadahi (lihat Lampiran 1 -6). Juga,

kelembagaan tersebut seyogianya mampu memediasi conflicting parties dan perbedaan kepentingan yangProyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System):

19

Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

dibawanya sedemikian rupa sehingga serta para pihak tetap dalam harmoni kesetaraan, kesejajaran, solidaritas, dan kesatuan. Kelembagaan baru tersebut harus mampu mengubah cara pandang suatu pihak terhadap posisi politis pihak lain, dari lawan politik atau musuh yang harus dieliminasi menjadi mitra yang justru dibutuhkan kehadirannya (lihat analisis Whitford, 2002). Persoalannya, mungkinkah semangat menciptakan tata-kelembagaan baru tersebut diwujudkan dalam era OTDA? Apa yang seyogianya dilakukan, jika UU OTDA justru cenderung menetralisir hadirnya ruang-ruang perencanaan dan komunikasi-kritis yang partisipatif di tingkat daerah? Undang-Undang OTDA No 22/1999 (atau UU No. 32/2004 sebagai penyempurnaan UU No. 22/1999) memberikan ruang yang lebih leluasa bagi otoritas daerah untuk mengontrol sumberdaya alam di wilayah administratif masing-masing. Dalam konteks sistem tata-pemerintahan lingkungan (environmental governance system) sesuai isi undang-undang pemerintahan daerah , maka kontrol, pemanfaatan serta pengaturan sumberdaya alam di kawasan DAS harus tunduk sepenuhnya (mutlak) pada otoritas pemerintahan daerah setempat. Peraturan perundangan otonomi daerah tersebut disatu sisi merepresentasikan wujud penghargaan pada kedaulatan otoritas lokal, namun di sisi lain juga dapat memunculkan dampak tak diinginkan. Undang-Undang tersebut membuka peluang dominasi kontrol dan penguasaan sumberdaya alam yang berlebihan atas sebuah kawasan oleh otoritas administratif setempat. Excessive control otoritas daerah pada sumberdaya alam yang bersifat common pool resources (CPR) seperti DAS berpotensi membahayakan keberlanjutan lingkungan dan memicu destabilisasi politik kawasan. Hal ini membahayakan, karena dominasi penguasaan sistem ekologi akan berkembang menjadi selfcenteredness syndrome di setiap otoritas pemerintahan daerah pada suatu DAS. Semangat ego-sentrisme tidak saja akan mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya alam secara sepihak, namun juga menutup kemungkinan hadirnya komunikasi antar pemangku otoritas, ataupun sekedar dialog-administratifdan dialog-politik tentang pemanfaatan sumberdaya alam yang memungkinkan pihak lain melakukan koreksi dan pertimbangan kritis atas kebijakan yang diambil. Hal itu bisa berarti bahwa egosentrisme dan ego-regionalisme pemanfaatan sumberdaya alam akan memunculkan proses resentralisasi proses kembalinya rezim sentralisme di daerah yang steril dari prinsip demokrasi dan keterbukaan. Resentralisasi menjadikan setiap wilayah daerah administratif akan terisolasi dari sistem tata-pemerintahan dan kebijakan pemanfaatan DAS

yang diberlakukan oleh daerah administratif tetangganya (neighboring environmental administrative territory). Dalam semangat pengelolaan sumberdaya alam yangProyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System):

20

Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

(isolated) demikian itu, maka sistem pengelolaan dan pemanfaatan DAS akan terus-menerus tersekat-sekat oleh kepentingan lokalistik dan terpaku pada orientasi kepentingan wilayah administratif setempat. Muara dari arogansi pengelolaan CPR semacam ini sudah dapat diduga yaitu berlangsungnya apa yang selama ini dikenal sebagai the tragedy of the common (Hardin, 1968), yaitu sebuah kehancuran ekosistem DAS (Citanduy) yang dimiliki oleh sejumlah pemerintah daerah kabupaten/kota secara bersama-sama yang sesungguhnya harus dimanfaatkan dalam bingkai semangat kebersamaan. Excessive control atas CPR/DAS menyebabkan kerusakan lingkungan massal, karena kontrolpemanfaatan yang tidak terkendali oleh para pemanfaat di semua wilayah administratif yang dilaluinya. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa sebagai sebuah sistem hidro-ekologi, pemeliharaan kelangsungan hidup dan keberlanjutan sistem suatu DAS, tidak pernah bisa dilakukan secara terpecah-pecah mengikuti sekatan wilayah administratif kabupaten atau kota maupun provinsial. DAS adalah sistem hidrologis dan ekologis yang pemanfaatan serta pengelolaannya harus terintegrasi dari sejak hulu hingga hilir. Penguasaan/kontrol sumberdaya alam secara mutlak dan berlebihan pada sepenggal kawasan DAS yang berada di wilayah administratif setempat, jelas melupakan keniscayaan akan integrasi sistem ekologi DAS dari hulu ke hilir. Adalah suatu kenyataan bila sejak diundangkannya UU No. 22/1999 atau UU 32/2004 tentang OTDA, segmentasi pengelolaan DAS berdasarkan wilayah administrasi makin terasa kuat. Ruang koordinasi dan komunikasi kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan antar daerah terasa sulit diwujudkan atau makin terasa kosong. Kekosongan ruang koordinasi dalam sistem tatapemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan membuat pola pemanfaatan sumberdaya alam yang berujung pada natural resources deprivation di kawasan DAS makin egosentris dan tidak pernah bebas dari kekuatan-kekuatan sosiopolitik kepentingan yang bersifat lokalistik. Kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan yang lokalistik dan tersekatsekat dimana tiap otoritas membawa kepentingan-kepentingan politik yang bercirikan self-centeredness demi masing -masing institusi, tidak terjalin koordinasi satu sama lain, serta pemberlakuan kebijakan secara tersegmentasi jelas mengingkari hakikat integrasi sistem ekologi DAS. Dalam jangka panjang, fakta ini akan membuat proses kehancuran lingkungan berjalan makin cepat sehingga benar adanya bahwa watershed ecological crisis has a very deep root in the environmental governance crisis. Pertanyaannya kini adalah, bagaimana cara mendekati penyelesaian masalah kehancuran lingkungan

dari perspektifProyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System):

21

Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

governance-reform tersebut? Dapatkah kecenderungan tumbuh dan menguatnya regional egocentricity akibat UU otonomi daerah yang berpotensi destruktif terhadap sumberdaya alam dan lingkungan bisa ditekan melalui upaya pembaharuan sistem tata-pemerintahan lingkungan? Bagaimanakah strategi environmental governance reform disusun menjadi jawaban yang memadai untuk menjawab permasalahan di atas? Bagaimana menumbuhkan ruang koordinasi dan ruang komunikasi yang kondusif bagi terciptanya good-environmental governance system? Benarkah ide-ide partisipasi, kemitraan, desentralisasi dan keberlanjutan sumberdaya alam dapat ditegakkan dalam sistem tatapemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan yang baru? Persoalan apa saja yang segera muncul dalam penumbuhan tata-kelembagaan sistem tatapemerintahan lingkungan yang baru? Bagaimana pentahapan implementasi strategi pengembangan tata-pemerintahan lingkungan di lapangan?

BAB II

TUJUAN DAN METODOLOGI

Sebagai bagian dari riset-aksi Sistem Tata-Pemerintahan Lingkungan Bermitra di DAS Citanduy, kajian ini bertujuan membahas persoalan sistem tatapemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan DAS Citanduy, serta mencarikan solusi/upaya untuk mereformasinya. Kajian akan diarahkan untuk mendalami dan mencari jawaban atas berbagai research questions yang terformulasi di sub-bab sebelumnya. Konsep environmental governance partnership system diperkenalkan sebagai salah satu pendekatan untuk mengatasi krisis ketatapemerintahan lingkungan (environmental governance crisis). Empat prinsip yang diperjuangkan/diajukan dalam pendekatan riset-aksi ini adalah: (1) partisipatory principle, (2) just and humane partnership principle, (3) decentralization principle, dan (4) sustainability principle. Kajian ini disusun dengan menggunakan data dan informasi yang dikumpulkan dan diperoleh dari lapangan. Metodologi riset kajian politik ekologi yang digunakan dalam studi ini sepenuhnya menggunakan pendekatan kualitatif, dimana pemahaman serta pemaknaan atas prosesproses politik pada ekologi DAS menjadi fokus perhatian utama. Penggalian data dan informasi dilakukan melalui wawancara mendalam atas sejumlah aktor politik dan pemegang otoritas kekuasaan yang menentukan kebijakan lingkungan di kawasan DAS Citanduy. Penggalian dan pendalaman data juga dilakukan melalui cara focus group discussion, pengamatan lapangan, dan wawancara mendalam terhadap beberapa tokoh penting. Sumber-sumber informasi dan data antara laian NGO baik di tingkat lokal maupun luar daerah, manajemen beberapa perusahaan di sektor swasta yang berada di kawasan DAS Citanduy dan stakeholder dari pemerintah di tingkat nasional maupun daerah. Telaah pustaka dan internet searching merupakan salah bagian penting yang sangat menunjang analisis kajian ini. Selain metode di atas, data-data dan informasi juga diperoleh melalui serial workshop maupun seminar yang dilaksanakan di tingkat provinsi dan kabupaten. Di tingkat provinsi workshop dilakukan di Provinsi Jawa Barat, sementara seri seminar dilaksanakan di Kabupaten/Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, dan Kabupaten Cilacap.

BAB III PEMBAHARUAN SISTEM TATA-PEMERINTAHAN SUMBERDAYA ALAM DAS CITANDUY:

KONSEPTUALISASI GAGASAN

3.1. Dimensi-Dimensi Sumberdaya Alam Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) tersusun oleh kesatuan berlapis-lapis kawasan yang secara geografis membentang sejak dari hulu, tengah hingga hilir (kawasan pesisir). Di kawasan hulu, DAS menjadi daerah tangkapan air hujan dan berfungsi sebagai kawasan penahan run-off yang seterusnya akan menjamin ketersediaan pasokan air bagi keseluruhan sistem ekologi DAS utamanya bagi penduduk di kawasan tengah dan hilir. Secara hidrologis, kawasan hulu berfungsi penting sebagai kawasan penyimpan presipitasi air hujan serta mengalirkan kelebihannya melalui jaringan anak sungai dan infiltrasi aliran air bawah tanah (underground). Cadangan air tanah tersebut selanjutnya akan menjadi sumber air di berbagai tempat (water storage site) bagi mereka yang tinggal di kawasan hilir. Fungsi hidrologis DAS tersebut akan berjalan dengan baik selama tutupan lahan atau struktur vegetasi di kawasan hulu dan kawasan di bawahnya terpelihara dengan baik. Secara alamiah, luapan air bisa saja terjadi utamanya pada saat puncak heavy run-off di musim penghujan. Pada DAS yang terkelola baik, sistem ekologinya memiliki derajat fleksibilitas yang tinggi dalam menyimpan dan melepaskan cadangan air atau mengendalikan potensi run-off secara optimal. Kapasitas menyimpan air akan berkurang, manakala ekosistem DAS mengalami kerusakan sebagaimana yang terjadi bila luasan tutupan lahan oleh vegetasi berkurang secara nyata. Secara alamiah, aliran sungai mungkin terhambat dan berakumulasi di beberapa titik di kawasan hilir sebelum akhirnya terbuang ke laut. Pada titik-titik tersebut, dapat terbentuk genangan-genangan yang bersifat temporer ataupun permanen. Pada situasi dimana keadaan vegetasi tidak memungkinkan dukungan kapasitas simpan air (water retention capacity) secara memadai, maka genangan air akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengalirkannya ke laut. Pada ekosistem yang terganggu, maka genangan akan terjadi secara permanen. Masalah lingkungan muncul bila, genangan permanen terjadi di pemukiman dan kawasan pertanian yang tidak dikehendaki.

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

Dengan demikian, DAS secara biofisik memainkan peran sangat penting dalam mengendalikan neraca sumberdaya air dengan mengalirkan kelebihan pasokan air ke segenap kawasan. Namun DAS juga berpotensi berpotensi menghadirkan banjir dan merusak tatanan ekosistem di kawasan hilir, bila tingkat kesehatan lingkungannya tidak dijaga. Aliran sungai berpotensi menimbulkan kerusakan alam di kawasan hilir dikarenakan adanya karakter daya rusak air yang secara inheren terkandung pada aliran air. Melihat keterkaitan antar kawasan yang sangat erat, maka upaya pengendalian daya rusak air akan sulit menghasilkan hasil memuaskan bila dilakukan secara individual dan terpisah-pisah. Susswein et. al (2001) dalam Dwiprabowo dan Wulan (2003) mengemukakan tiga fungsi biofisik DAS sebagai berikut: (1) mengendalikan dan memelihara ketersediaan air-tanah (high-quality water) yang ditangkap oleh vegetasi dari curah hujan, (2) regulasi ketersediaan air (regulation of water quantity), (3) mengendalikan sedimentasi pada jumlah yang bisa ditoleransi, sehingga kerusakan alam dapat ditekan (maintaining water-sediment balance in watershed). Fungsi biofisik DAS yang demikian itu, menurut Buckles and Rusnak (1999) akan selalu menghadapi tantangan dan gangguan instabilitas, karena dalam setiap pemanfaatan sumberdaya alam terkait empat dimensi biofisik, ekonomi, sosio-politis, dan dimensi kultural yang penting, yaitu: (1) Sumberdaya alam ditemukan dan melekat (embedded) pada bentang kawasan geografis yang saling berhubungan satu sama lain (interconnected space), sehingga suatu tindakan yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang di satu titik akan menghasilkan dampak yang dirasakan hingga jauh di luar kawasan (off-site) dimana individu atau kelompok itu berada. (2) Sumberdaya alam terletak di dalam ruang sosial-politik dimana ditemukan kompleksitas hubungan sosial dan relasi kekuasaan yang seringkali tidak seimbang (complex and unequal relations) di antara kalangan pelaku sosial-ekonomi yang berinteraksi dan menjalankan pengaruhnya. Dalam kesatuan ruang geografis sumberdaya alam, maka keputusankeputusan sosio-politik yang dibuat oleh suatu pihak akan mempengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung posisi pihak lain di kawasan yang sama. Hal ini terjadi karena, mereka menyandarkan pada basis kehidupan (sumberdaya alam) yang sama. (3) Sumberdaya alam adalah material bernilai ekonomi yang selalu menghadapi persoalan kelangkaan disebabkan perubahan lingkungan (environmental change), peningkatan permintaan, dan ketimpangan distribusi. Perubahan lingkungan bisa terjadi karena, over-exploitation

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

lahan, land and water degradation, land-clearing yang dilakukan secara ekstensif, perubahan teknologi dan landuse. (4) Sumberdaya alam (land, forests, and water ways) tidak hanya dimaknai sebagai sumberdaya material dimana setiap individu dan kelompok berkompetisi untuk mendapatkannya. Namun lebih dari itu, sumberdaya alam juga berdimensi kultural dan bermakna sebagai particular way of life, sebagai identitas etnisitas, dan memiliki dimensi simbolik bagi komunitas tertentu. Dari sana terbentuklah local wisdom dan indigenous knowledge dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Dengan derajat kompleksitas dan kuatnya jalinan keterkaitan antar dimensi dalam pengelolaan sumberdaya alam yang cukup tinggi, maka persoalan memelihara derajat kesehatan lingkungan sebuah DAS pun seringkali tidak sederhana. Secara biofisik, derajat kesehatan lingkungan suatu DAS akan dapat dipertahankan pada tingkat yang cukup baik, jika DAS mampu menjamin ketersediaan air-bersih untuk kehidupan penduduk dan industri, serta mampu memasok air irigasi untuk kebutuhan aktivitas produksi pertanian dengan baik. Sebaliknya, bilamana kondisi biofisik ekosistem DAS berada dalam keadaan rusak (ditandai oleh luasnya lahan kritis atau tanah gundul yang tak bervegetasi ataupun tingginya derajat pencemaran air dan sedimentasi), maka kehidupan sosial-ekonomi dan ekologis di kawasan tersebut dipastikan terganggu. Secara sosiologisekonomis, kesehatan lingkungan DAS dikatakan lestari bila eksistensinya dapat menopang tingkat kehidupan masyarakat hari ini dan generasi mendatang secara stabil. Secara sosio-politis, DAS yang derajat kesehatan lingkungannya baik adalah DAS yang tidak menimbulkan perpecahan pada masyarakat, utamanya pada golongan-golongan yang berbeda ideologi dan kepentingan. Dari hasil studi-studi terdahulu, integrasi manusia dalam sistem ekologi DAS sangat mempengaruhi tingkat kelestarian sosio-ekologis sebuah DAS. Semakin besar tekanan penduduk, tekanan ekonomi, dan tekanan sosialpolitis terhadap DAS, maka makin besar tekanan-ekologis (ditunjukkan oleh carrying capacity atau daya dukung lingkungan bagi kehidupan yang menurun) terjadi pada sistem ekologi DAS. Artinya, resiko kehancuran ekosistem dan resiko munculnya krisis ekologi DAS berbanding lurus dengan tambahan jumlah aktivitas sosial-ekonomi dan menajamnya perbedaan kepentingan sosial-politis, serta konflik sosial yang ditunjukkan oleh masyarakat (manusia) yang hidup di kawasan tersebut. Dalam hal ini, sejumlah aktivitas sosial-ekonomi yang dianggap sebagai faktor penekan kesetimbangan ekologis DAS Citanduy selama ini, antara

lain: (1)

Proyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System):

26

Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

penggarapan tanah pertanian utamanya di persawahan, yang membawa konsekuensi erosi dalam jumlah yang tidak sedikit, (2) praktek pembukaan lahan melalui teknik yang rentan terhadap bahaya erosi di kawasan DAS Citanduy dikenal secara tradisional dengan teknik ngaguguntur yaitu membuka lahan (land clearing) dengan cara penggundulan tanah tanpa menghiraukan kemiringan tanah dan faktor datangnya hujan. Cara ini diklaim oleh beberapa studi sebagai teknik yang sangat berisiko terhadap erosi dan sedimentasi, karena derajat exposure tanah terhadap presipitasi terlalu tinggi (3) aktivitas pertambangan di permukaan tanah dan penambangan batu-pasirkerikil di sepanjang water-body DAS, (4) penebangan hutan yang tidak terkendali baik secara legal ataupun illegal, (5) aktivitas industri yang membuang limbahnya di sungai tanpa didahului oleh pengolahan limbah terlebih dahulu,

(6) kurangnya bangunan fisik pengendali daya-rusak air, (7) kegagalan konservasi sumberdaya alam akibat faktor-faktor sosial-ekonomi, politik, dan sistem administrasi. Secara sosial-ekonomis, kehancuran ekosistem DAS mengancam keberlanjutan sumber nafkah penduduknya. Secara ekologis, kerusakan DAS mengancam kelestarian alam dan menekan derajat keragaman hayati yang dimiliki oleh kawasan itu (eliminate critical natural habitat sites, thereby limiting biodiversity in the watershed). Dengan didasarkan pada adanya resiko krisis ekologi dan dengan mempertimbangkan dimensi-dimensi penting sumberdaya alam suatu DAS, maka upaya penyelamatan lingkungan dapat ditempuh melalui beberapa kemungkinan atau cara. Pertama, konservasi melalui pendekatan fisik atau rekayasa teknis-sipil adalah pendekatan pragmatis yang umum dilakukan untuk penyelamatan ekosistem daerah aliran sungai. Termasuk dalam kategori pendekatan pertama adalah pembangunan bendungan untuk menampung cadangan air, pembangunan turap sebagai penyangga pinggiran sungai sebagai pengendali erosi pada badan sungai, serta pengerukan sedimen. Kedua, pendekatan bio-fisik melalui konservasi sumberdaya alam via penghijauan atau penanaman bibit pohon/tanaman keras di kawasan tangkapan air. Masih dalam ranah konservasi adalah penerapan teknik pertanian yang akrab dengan lingkungan alam. Penetapan kawasan lindung dan hutan konservasi adalah bagian yang juga penting dari pendekatan kedua. Pendekatan ketiga adalah rekayasa kelembagaan di ruang sosio-politikal pengelolaan sumberdaya alam DAS. Termasuk dalam pendekatan ketiga adalah penguatan kapasitas ekonomi dan kelembagaan konservasi lokal. Pendekatan terakhir ini lebih banyak menyentuh dimensi ruang sosial dan kultural dari sebuah DAS. Dari ketiga pendekatan tersebut, pendekatan ketiga adalah yang selama ini paling sulit dilakukan karena melibatkan faktor-faktor yang tidak mudah dikendalikan

Proyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System):

27

Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

(menyangkut perilaku, keinginan dan beragam aspirasi manusia). Oleh karenanya, fokus dari telaah pada working-paper ini pun diarahkan kepada pendekatan ketiga, yaitu penyelamatan sumberdaya alam dan lingkungan DAS Citanduy dari perspektif pembaharuan tata-kelembagaan serta tatahubungan sosial-politik dalam sistem tata-pemerintahan.

3.2. Rancangan Kelembagaan Partisipatif: Dewan Sumberdaya Air (DSDA) Terdapat paling tidak empat jenis desentralisasi yang dikenal dalam diskursus akademik selama ini (Cohen and Peterson, 1999). Keempat tipe itu adalah desentralisasi politik, spasial, pasar, dan administrasi. Desentralisasi politik menunjuk pada proses-proses transfer atau pengalihan decision-making power dari kekuasaan pusat kepada warganegara atau para wakil rakyat dalam mengambil keputusan politik. Desentralisasi spasial menunjuk pada penyebarluasan atau alokasi otoritas demi persebaran pertumbuhan ekonomi sebuah kawasan dari ibukota ke kawasan penyangganya. Desentralisasi spasial ditujukan untuk menghindari excessive urban concentration yang berlebihan di ibukota/suatu kawasan. Sementara, desentralisasi pasar memfokuskan diri pada proses alokasi otoritas dari kekuasaan negara kepada kelembagaan pasar sebagai bagian proses liberalisasi dan privatisasi. Desentralisasi administratif difokuskan pada proses-proses distribusi kekuasaan secara hirarkikal dan fungsional dari unit kekuasaan pusat ke unit kekuasaan daerah. Dengan memperhatikan dimensi-dimensi sumberdaya alam DAS, proses desentralisasi administratif lebih cocok diterapkan dalam rangka pembaharuan sistem tata-pemerintahan sumberdaya alam pada manajemen DAS Citanduy. Desentralisasi administratif pada pengelolaan DAS lebih dimaknai sebagai proses devolusi dari kekuasaan Negara (pusat dan daerah tingkat dua/kabupaten/kota) kepada suatu badan khusus yang lebih partisipatif dan inklusif dengan melibatkan secara intens masyarakat sipil. Unit khusus tersebut memiliki keberdayaan sosio-politis yang mencukupi dalam menerima alokasi kekuasaan dari negara untuk melakukan posisi kritis. Selanjutnya dengan kekuasaan dan otoritas yang dimilikinya unit tersebut juga mampu menjalankan proses-proses manajemen DAS secara akuntabel, transparan dan adil. Intinya, desentralisasi administratif dalam pengelolaan sumberdaya alam DAS Citanduy diarahkan kepada terciptanya good partnership-based environmental governance. Desentralisasi administratif dalam tata-

pemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tampil dengan munculnya Dewan Sumberdaya

Proyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System):

28

Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

Air5 (DSDA) pada satuan DAS Citanduy yang berisikan representasi beragam pihak dengan sistem nilai dan ideologi serta memperjuangkan kepentingan berbeda-beda. Kelembagaan DSDA selanjutnya memiliki scope of authority yang luas mencakup: supervisi, advokasi, monitoring, pengawasan, joint-decision making process, land-use planning, granting rights, hingga berperan menjadi pusat kekuatan kontrol atau sebagai watch-dog dalam manajemen DAS. Sebagai kelembagaan penampung alokasi kekuasaan dari otritas negara, DSDA bekerja secara lintas sektor, lintas kepentingan, lintas kawasan, lintas hirarkhi otoritas administrasi lingkungan. DSDA akan lebih banyak bekerja pada tataran makro dengan satuan wilayah sungai (DAS) sebagai unit-kerjanya. DSDA sebagai kelembagaan partisipatif, diisi oleh unsur otoritas administratif negara (instansi pemerintah terkait), CSA/NGOs, dan swasta. Unsur akademik dalam DSDA diwakili oleh perguruan tinggi. Sebagai penyeimbang kekuatan politik ekologi, DSDA akan bertidak kritis terhadap keputusan-keputusan yang dibuat oleh negara sebagai pihak yang menjalankan fungsi regulasi. Namun demikian, DSDA akan tetap menjadi forum non-politik-praktis. Sebagai kelembagaan profesional di bidang manajemen DAS, DSDA memiliki kewajiban untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat proaktif-konstruktif kepada pemegang otoritas regulasi di bidang sumberdaya alam. DSDA memperjuangkan kedaulatan dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan DAS. Ideologi sustainability yang dianut oleh DSDA diarahkan pada pencapaian tiga tujuan sekaligus, yaitu: (1) pencapaian derajat kesejahteraan ekonomi masyarakat artinya, DSDA berorientasi pada pengurangan angka kemiskinan secara berarti, (2) pencapaian derajat keselarasan kehidupan sosio-politik dan sosio-kultural dalam masyarakat, dan (3) pencapaian kelestarian lingkungan yang menjamin kepastian sistem nafkah bagi generasi kini dan mendatang.

3.3. Pelibatan Sektor Masyarakat Sipil via Jaringan Kemitraan dalam DSDA Terdapat sebuah asas yang telah menjadi orientasi penting pada tatapengelolaan dan pemanfaatan DAS yang lazim dikenal oleh banyak orang, sebagai: one river, one plan and one management principle. Artinya, pengelolaan sumberdaya alam DAS semestinya menganut asas-tunggal, dimana sekatPembentukan Dewan Sumberdaya Air tetap mengacu pada upaya pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan

secara keseluruhan. Isyu air mendapat penekanan khusus dalam hal ini disebabkan satu alasan, bahwa kerusakan sumberdaya alam apapun bentuknya, akan selalu berakhir pada penurunan derajat kualitas dan kuantitas air bagi kehidupan manusia dan komponen ekosistem lain. Alasan inilah yang digunakan mengapa pembaharuan tatapemerintahan sumberdaya alam dan lingkungan di DAS Citanduy mengambil isyu air sebagai focal point.

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

geografis antara wilayah hulu-tengah-dan-hilir, tidak boleh menyebabkan sistem manajemen DAS harus berbeda antara satu dengan lain lokalitas. Selama kawasan-kawasan tersebut terintegrasi dalam satu sistem DAS, maka sistem manajemen pengelolaan DAS harus seragam dan mencerminkan keterpaduan rencana, pengendalian serta monitoring pemanfaatan sumberdaya sejak hulutengah-hingga-hilir. Namun, kenyataan menunjukkan beberapa hal yang berbeda. Asas di atas sangat sulit ditegakkan dan diwujudkan di lapangan. Terlebih lagi, pada era OTDA, dimana setiap wilayah administratif tingkat kabupaten dan kota memiliki keleluasaan/kebebasan untuk mengontrol dan memanfaatkan sumberdaya alam di wilayah masing-masing tanpa perlu mempedulikan pihak lain. Pencapaian pemenuhan target pendapatan asli daerah untuk mendanai pembangunan, telah mendorong setiap pemerintah daerah mengeksploitasi sumberdaya alam di kawasannya seringkali hingga pada tingkat di luar kemampuan sumberdaya tersebut meregenerasi/memulihkan kesuburannya. Kompetisi masing-masing daerah dalam mengeksploitasi sumberdaya alam DAS di wilayahnya, menyebabkan sistem ekologi DAS menghadapi resiko destabilisasi, guncangan, stress yang tinggi dan kehancuran ekosistem yang mengkhawatirkan. Destabilisasi lingkungan selanjutnya menyebabkan ketidakpastian dukungan ekosistem terhadap dukungan kehidupan nafkah masyarakat yang hidup di kawasan DAS Citanduy. Untuk mengatasi resiko dan ketidakpastian ekologis, diintroduksikan tata-kelembagaan baru dalam sistem tata-pemerintahan lingkungan alam DAS Citanduy. Sistem kelembagaan dalam tata-pemerintahan sumberdaya alam yang baru tersebut harus mampu menekan semangat kompetisi dan konflik antar pihak yang diyakini bisa berdampak sangat destruktif terhadap eksistensi alam. Sistem yang baru juga bersemangatkan decentralized governance system, dimana menjunjung tinggi prinsip partisipasi antar pihak. Sistem tata-pemerintahan baru diharapkan juga memperjuangkan good environmental governance yang menurut Work (2001) berarti bahwa sistem tata-pemerintahan tersebut memastikan bekerjanya prosesproses politik, sosial dan ekonomi yang berbasiskan kesepakatankesepakatan, kesepahaman-kesepahaman, salingpengertian (broad consensus) dalam masyarakat, dimana aspirasi semua pihak tertampung dalam perumusan kebijakan dan alokasi sumberdaya pembangunan, termasuk golongan termiskin dan kaum perempuan. DSDA yang dibentuk di aras DAS dipandang mampu mengemban amanat-amanat di atas. Buckles and Rusnak (1999) mengemukakan bahwa manakala prinsip keterwakilan dalam sebuah kelembagaan publik terjaga dengan baik, maka

Proyek Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pamong Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System):

30

Kasus Common Pool Resources Daerah Aliran Sungai Citanduy

Sistem Tata-Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik Ekologi

keputusan-keputusan yang dihasilkan akan lebih relevan dengan kebutuhan lokal, membumi (down to earth) serta mampu menciptakan sense of local ownership of identified problems and solutions. Dengan sifatnya yang demikian, maka keberlanjutan manajemen sumberdaya alam (DAS) secara jangka panjang dapat dijamin. Secara teoritis, terdapat tiga ruang sosial-politik dimana setiap elemen yang berada di setiap ruang harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kelembagaan ffd8ffe000104a4649460001020100c800c80000ffe20c58 pengelolaan 4943435f50524f46494c4500010100000c484c696e6f021 sumberdaya 000006d6e74725247422058595a2007ce0002000900060 alam DSDA0310000616373704d53465400000000494543207352474 (Gambar 1). 20000000000000000000000000000f6d6000100000000d 32d4850202000000000000000000000000000000000000 0000000000000000000000000000000000000000000000 0000000000000116370727400000150000000336465736 Gambar 1. 3000001840000006c77747074000001f000000014626b7 07400000204000000147258595a0000021800000014675 8595a0000022c000000146258595a00000240000000146 46d6e640000025400000070646d6464000002c40000008 8767565640000034c0000008676696577000003d400000 0246c756d69000003f8000000146d6561730000040c000 0002474656368000004300000000c725452430000043c0 000080c675452430000043c0000080c625452430000043 c0000080c7465787400000000436f70797269676874202 863292031393938204865776c6574742d5061636b61726 420436f6d70616e7900006465736300000000000000127 35247422049454336313936362d322e310000000000000 00000000012735247422049454336313936362d322e310 0000000000000000000000000000000000000000000000 0000000 Ruang-Ruang Kekuasaan Pembentuk Partnership-Based Environmental Governance System (DSDA) Dalam sistem tata-pemerintahan berbasiskan kemitraan (DSDA), dibangun kesepakatan dan konsensus yang dibentuk oleh tiga pihak berbeda dimana masing-masing pihak mewakili ideologi politik dan ekonomi yang saling berlawanan. Dalam hal ini negara, masyarakat sipil dan swasta membawakan watak dan pandangan politik yang distinct. Setiap pihak menghendaki cara pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai dengan ideologinya. Negara selama ini memperjuangkan rezim (sistem pengaturan) sentralisme, sementara masyarakat sipil menghendaki kolektivisasi pemanfaatan sumberdaya alam. Sektor swasta yang biasanya menganut paham maksimisasi keuntungan dan hedonisme, menghendaki rezim privatisasi dan individualisasi