wp permasalahan etika dalam hukum
DESCRIPTION
etikaTRANSCRIPT
PERMASALAHAN ETIKA DALAM HUKUM:
SEJAUH MANAA KEEFEKTIFANNYA UNTUK MENEGAKKAN
KETENTUAN- KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN?
Soetandyo Wignjosoebroto
Manusia adalah makhluk yang demi kelestarian hidupnya – menurut imperativa
kodratinya – tak dapat lain daripada hidup dalam suatu kolektia yang berketeraturan.
Dikatakan dalam bahasa asing yang klasik, bahwa manusia adalah zoon politicon. Sekalipun
manusia bukan satu-satunya makhluk yang bisa digolongkan sebagai zoon politicon., akan
tetapi berbeda dengan makhluk zoon politicon lain yang hewani, manusia harus menata
kehidupannya sendiri atas dasar karya ciptanya sendiri yang kultural, a contrario bukan yang
natural. Daripenjelasan inilah datangnya kepahaman mengapa keteraturan hidup dalam
kehidupan manusia itu amat digantungkan dari standar-standar perilaku yang diciptakan
sendiri oleh manusia, entah secara sepihak oleh tokoh penguasanya, entah lewat kesepakatan
oleh para warga dan/atau para wakilnya.
Lama sebelum datangnya kehidupan bernegara bangsa yang modern, standar-standar
perilaku itu tertampakkan sebagai pola-pola pengalaman yang diikuti bersama oleh manusia
sekoletiva sebagai kebiasaan atau tatacra yang praktis. Inilah yang (pertama-tama!) oleh
Sumner disebut folkways. Manakala pada masanya nanti standar yang dinamakan foklways ini
tidak Cuma dinilai praktis, melainkan juga sudah dipandang sebagai sesuatu yangt normatif
-- dan yang oleh karena itu ‘sudah harus diikuti tanpa reserve karena hakikatnya sebagai
sesuatu yang bersubstantifkan kebaikan bagi kehidupan bersama’ – maka standar perilaku
seperti iyu (juga menurut Sumner) sudah mesti digolongkan ke dalam bidang mores aatu
‘moral sosial’. Moral sosial inilah yang apabila telah berhasil disosialisasikan, dan kemudian
daripada itu terinternalisasi untuk mernjadi keyakinan individual, akan dikenali dengan
sebutan etika.
Dalam kehidupan yang kini telah berubah dan tertransformasi ke wujudnya yang
modern sebagai kehidupan bernegara bangsa yang modern dan yang umumnya berformat
serta berskala amat luas dan berkeadaan majemuk pula, standar-standar perilaku tersebut –
yang hendak difungsikan untuk mengintegrasikan seluruh kehidupan yang sudah berufuk luas
ini – bukanlah dan tidaklah mungkin lagi mores berikut individualisasinya yang disebut
‘etika’ itu , apalagi yang masih bertaraf folkways. Diperlukan suatu institusi berikut
organisasi baru yang bisa bekerja untuk merawat dan menjaga seluruh eksistensi dan fungsi
suatu gugus standar perilaku demi kemaslahatan bersama dalam kehidupan yang sudah
berformat dan berskala nasional itu. Pada tahap perkembangan inilah bermunculan upaya-
upaya untuk menegaskan – atau yang dalam istilah akademiknya disebut ‘mempositifkan’ –
folkways dan/atau mores dalam bentuknya yang sebagai ‘hukum perundang-undangan’.
Positivisasi membentuk ulang berbagai folkways dan/atau mores (yang di dalam
bahasa Latin klasik disebut ius) menjadi hukum undang-undang yang formal bagi kehidupan
bernegara bangsa (yang di dalam bahasa Latin disebut ius constitutum atau lege) ini
dilakukann oleh suatu institusi yang disebut ‘badan legislatif’. Positivisasi dilakukan dengan
cara menuliskan jelas-jelas dalam bentuk statemen-statemen yang eksplisit mengenai apa
peristiwa yang dinilai releven menurut norma hukumannya, dan apa pun, akibat (hukum)-nya
manakala peristiwa itu terjadi (by commision) atau tak terjadi (by ommision). Positivasasi
dikerjakan dengan maksud agar segala sesuatunya yang normatif itu bisa diketahui dan
dilaksanakan bersama di menimbulkan silang selisih dalam ihwal tafsir dan kepahamannya.
Sayangnya, positivisasi dalam proses pembentukan undang-undang untuk menjadikan
ius menemukan bentuk barunya sebagai ius condtitutum itu tak pernah berhasil untuk
ikutmentranfer kandungan etisnya. Positivisasi – sesuai dengan pengertian istilahnya –
memang hanya bisa menyuratkan norma-norma folkways dan mores dalam bentuk statmen-
statmen yang menyatakan adanya hubungan-hubungan kausal antara peristiwa hukum atau
perbuatan hukum dengan akibat hukumannya semata. Positivisasi yang dikerjakan di dalam
badan-badan legislatif tidak dalam mores (dan yang mungkin pula sudah terkandung dalam
folkways). Berihwal seperti itu positivisasi norma hanya akan menghasilkan statmen-statmen
teknis yang mengabarkan adanya hubungan-hubungan kausal yang mekanistik antara
peristiwa dan akibat.
Maka menegakkan ketentuan-ketentuan perundangan-undangan lalu, serta merta,
hanya akan tersimak sebagai upaya yang lugas, mekanistik, teknis yang jelas-jelas kausal-
behavioral semata sifatnya. Dari penjelasan inilah datangnya pahaman mengapa hukum
perundang-undangan lalu gampang terkonsepkan sebagai sarana untuk mengefektifkan
kontrol sosial. Sebagai sarana kontrol seperti ini, manakaladilaksanakan secara konsekuen
hanya akan menyebabkan hukum perundang-undangan nasional akan serta merta berkarakter
sebagai alat bengis di tangan otokrat yang lalim. Sementara itu, manakala kurang
dilaksanakan secara konsekuen, hukum perundang-undangan ini akan segera saja gampang
dikesan sebagai ‘macan ompong’ yang kehilanagan otoritasnya, dan – dalam frasenya yang
berbahasa asing – sering dikatakan will be honoured only by its breach.
Manakala realisasi apa yang telah diundangkan agar menjadi signifikan secara sosial
– yang dalam bahasa sehari-hari lebih dikenali dengan istilah ‘penegakan hukum’ – bisa lebih
efektif dan tak terkesan terlalu lugas (melainkan lebih bernuansa manusiawi), maka unsur
etik haruslah dihidupkan kembali dalam kehidupan hukum ditengah-tengah masyarakat yang
telah terorganisasikan ke dalam struktur negara bangsa ini. Dalam pengalaman, karena
hakikat pekerjaan legislasi tak lebih daripada kerja positivisasi, unsur etis ini hanya bisa
dimasukkan ke dalam hidup hukum pada proses-proses implementasinya saja. Ialah di
lapangan oleh aparat eksekutif dan di sidang-sidang penyelesaian kasus oleh para hakim
pengacara. Inilah unsur etis dalam kehidupan hukum – yang diimbuhkan semas proses
realisasi hukum tengah berjalan – yang dikenali sebagai ‘etika profesi’ (yang manakala telah
dituliskan agar dapat segera dianut dengan ketaatan yang sungguh-sungguh akan dikenali
sebagai kode etik profesi).
Etika – sebagaimana telah diketahui pada awal tulisan ini – adalah sesungguh-
sungguhnya standar perilaku jugalah adanya. Tumbuh kembangnya lewat sosialisasi dan
internalisasi akan menjadi etika (juga dalam kehidupan hukum) akan lebih bersifat dan
berfungsi sebagai ‘sarana kontrol dari dalam yang lebih bersifat volunter’ daripada sebagai
‘sarana kontrol dari luar yang lebih bersifatmemaksa’. Di lapangan, ‘sarana kontrol yang
bekerja dari dalam’ ini akan menyebabkan para warga masyarakat bisa memahami hukum
tidak lagi dalam konsepnya sebagai ‘sarana kontrol yang serba memakaskan’ melainkan
sebagai ‘norma-norma fasilitatif yang akan membantu terwujudnya kelancaran dalam
berbagai aspek kehidupan yang oleh karena itu sudash sepatutnya ditaati dengan semestinya.’
Sementara itu, di lapanagan pula, ‘sarana kontrol yang bekerja dari dalam’ ini akan
mendorong para “hamba wet” yang namanya polisi (atau sebangsanya, sepertibanpol, satpam,
dan petugas tibum) akan lebih berkeberanian secara moral untuk membuat diskresi-diskresi,
dan tak lagi berwatak militeristik yang beroparadigma ‘perintah adalah perintah’.
Dalam forum-forum sidang-sidang penyelesaian sengketa, semisal di sidang-sidang
pengadilan, etika akan lebih kuat mendorong para hakim dan pengacara (yang kedua-duanya
harus dibilangkan dalam satu kategori sebagai the legal professionals) untuk bersedia bekerja
dengan kearifan daripada dengan bersaranakan pengetahuan teknisnya yang amat legistis.
Dengan kearifan, di tangan para pengadil dan para pencari keadilan, hukum akan lebih
merupakan prudentia (>jurisprudence) atau geleerdgeid (>rechtsgelerdheid) daripada
science (>legal science) atau sebatas wetenschap (>rechtswetenschap). Dikampus-kampus,
dengan ikut memperhatikan peran etika dalam proses-proses untuk memnermaknakan hukum
dalam kehidupan, kajian-kajian hukumpun akan lebih berwatak sebagai realistic
jurisprudence yang Llewellian atau yang critical dan Ungerian daripada yang mekanistik
Langdelian atau puritan Kelsenian.
Berpangkal dari asa kearifan etik dalam setiap upaya menyelesaikan sengketa hukum
inilah bermulanya kesadaran akan kebutuhan suatu etika yang mesti dikukuhi bersama, dalam
wujud positivisasinya untuk diberlakukan secara khusus dikalangan para pendayaguna
hukum perundang-undangan. Itulah yang dinamakan etika yang dikodifikasikan, berlaku
dikalangan para legal professionals, disebut ‘kode etik’.