wp permasalahan etika dalam hukum

6
PERMASALAHAN ETIKA DALAM HUKUM: SEJAUH MANAA KEEFEKTIFANNYA UNTUK MENEGAKKAN KETENTUAN- KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN? Soetandyo Wignjosoebroto Manusia adalah makhluk yang demi kelestarian hidupnya – menurut imperativa kodratinya – tak dapat lain daripada hidup dalam suatu kolektia yang berketeraturan. Dikatakan dalam bahasa asing yang klasik, bahwa manusia adalah zoon politicon. Sekalipun manusia bukan satu-satunya makhluk yang bisa digolongkan sebagai zoon politicon., akan tetapi berbeda dengan makhluk zoon politicon lain yang hewani, manusia harus menata kehidupannya sendiri atas dasar karya ciptanya sendiri yang kultural, a contrario bukan yang natural. Daripenjelasan inilah datangnya kepahaman mengapa keteraturan hidup dalam kehidupan manusia itu amat digantungkan dari standar-standar perilaku yang diciptakan sendiri oleh manusia, entah secara sepihak oleh tokoh penguasanya, entah lewat kesepakatan oleh para warga dan/atau para wakilnya. Lama sebelum datangnya kehidupan bernegara bangsa yang modern, standar-standar perilaku itu tertampakkan sebagai pola-pola pengalaman yang diikuti bersama oleh manusia sekoletiva sebagai kebiasaan atau tatacra yang praktis. Inilah yang (pertama-tama!) oleh Sumner disebut folkways. Manakala pada masanya nanti standar yang dinamakan foklways ini tidak Cuma dinilai praktis, melainkan juga sudah dipandang sebagai

Upload: iman-saputra

Post on 29-Nov-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

etika

TRANSCRIPT

Page 1: Wp Permasalahan Etika Dalam Hukum

PERMASALAHAN ETIKA DALAM HUKUM:

SEJAUH MANAA KEEFEKTIFANNYA UNTUK MENEGAKKAN

KETENTUAN- KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN?

Soetandyo Wignjosoebroto

Manusia adalah makhluk yang demi kelestarian hidupnya – menurut imperativa

kodratinya – tak dapat lain daripada hidup dalam suatu kolektia yang berketeraturan.

Dikatakan dalam bahasa asing yang klasik, bahwa manusia adalah zoon politicon. Sekalipun

manusia bukan satu-satunya makhluk yang bisa digolongkan sebagai zoon politicon., akan

tetapi berbeda dengan makhluk zoon politicon lain yang hewani, manusia harus menata

kehidupannya sendiri atas dasar karya ciptanya sendiri yang kultural, a contrario bukan yang

natural. Daripenjelasan inilah datangnya kepahaman mengapa keteraturan hidup dalam

kehidupan manusia itu amat digantungkan dari standar-standar perilaku yang diciptakan

sendiri oleh manusia, entah secara sepihak oleh tokoh penguasanya, entah lewat kesepakatan

oleh para warga dan/atau para wakilnya.

Lama sebelum datangnya kehidupan bernegara bangsa yang modern, standar-standar

perilaku itu tertampakkan sebagai pola-pola pengalaman yang diikuti bersama oleh manusia

sekoletiva sebagai kebiasaan atau tatacra yang praktis. Inilah yang (pertama-tama!) oleh

Sumner disebut folkways. Manakala pada masanya nanti standar yang dinamakan foklways ini

tidak Cuma dinilai praktis, melainkan juga sudah dipandang sebagai sesuatu yangt normatif

-- dan yang oleh karena itu ‘sudah harus diikuti tanpa reserve karena hakikatnya sebagai

sesuatu yang bersubstantifkan kebaikan bagi kehidupan bersama’ – maka standar perilaku

seperti iyu (juga menurut Sumner) sudah mesti digolongkan ke dalam bidang mores aatu

‘moral sosial’. Moral sosial inilah yang apabila telah berhasil disosialisasikan, dan kemudian

daripada itu terinternalisasi untuk mernjadi keyakinan individual, akan dikenali dengan

sebutan etika.

Dalam kehidupan yang kini telah berubah dan tertransformasi ke wujudnya yang

modern sebagai kehidupan bernegara bangsa yang modern dan yang umumnya berformat

serta berskala amat luas dan berkeadaan majemuk pula, standar-standar perilaku tersebut –

yang hendak difungsikan untuk mengintegrasikan seluruh kehidupan yang sudah berufuk luas

Page 2: Wp Permasalahan Etika Dalam Hukum

ini – bukanlah dan tidaklah mungkin lagi mores berikut individualisasinya yang disebut

‘etika’ itu , apalagi yang masih bertaraf folkways. Diperlukan suatu institusi berikut

organisasi baru yang bisa bekerja untuk merawat dan menjaga seluruh eksistensi dan fungsi

suatu gugus standar perilaku demi kemaslahatan bersama dalam kehidupan yang sudah

berformat dan berskala nasional itu. Pada tahap perkembangan inilah bermunculan upaya-

upaya untuk menegaskan – atau yang dalam istilah akademiknya disebut ‘mempositifkan’ –

folkways dan/atau mores dalam bentuknya yang sebagai ‘hukum perundang-undangan’.

Positivisasi membentuk ulang berbagai folkways dan/atau mores (yang di dalam

bahasa Latin klasik disebut ius) menjadi hukum undang-undang yang formal bagi kehidupan

bernegara bangsa (yang di dalam bahasa Latin disebut ius constitutum atau lege) ini

dilakukann oleh suatu institusi yang disebut ‘badan legislatif’. Positivisasi dilakukan dengan

cara menuliskan jelas-jelas dalam bentuk statemen-statemen yang eksplisit mengenai apa

peristiwa yang dinilai releven menurut norma hukumannya, dan apa pun, akibat (hukum)-nya

manakala peristiwa itu terjadi (by commision) atau tak terjadi (by ommision). Positivasasi

dikerjakan dengan maksud agar segala sesuatunya yang normatif itu bisa diketahui dan

dilaksanakan bersama di menimbulkan silang selisih dalam ihwal tafsir dan kepahamannya.

Sayangnya, positivisasi dalam proses pembentukan undang-undang untuk menjadikan

ius menemukan bentuk barunya sebagai ius condtitutum itu tak pernah berhasil untuk

ikutmentranfer kandungan etisnya. Positivisasi – sesuai dengan pengertian istilahnya –

memang hanya bisa menyuratkan norma-norma folkways dan mores dalam bentuk statmen-

statmen yang menyatakan adanya hubungan-hubungan kausal antara peristiwa hukum atau

perbuatan hukum dengan akibat hukumannya semata. Positivisasi yang dikerjakan di dalam

badan-badan legislatif tidak dalam mores (dan yang mungkin pula sudah terkandung dalam

folkways). Berihwal seperti itu positivisasi norma hanya akan menghasilkan statmen-statmen

teknis yang mengabarkan adanya hubungan-hubungan kausal yang mekanistik antara

peristiwa dan akibat.

Maka menegakkan ketentuan-ketentuan perundangan-undangan lalu, serta merta,

hanya akan tersimak sebagai upaya yang lugas, mekanistik, teknis yang jelas-jelas kausal-

behavioral semata sifatnya. Dari penjelasan inilah datangnya pahaman mengapa hukum

perundang-undangan lalu gampang terkonsepkan sebagai sarana untuk mengefektifkan

kontrol sosial. Sebagai sarana kontrol seperti ini, manakaladilaksanakan secara konsekuen

hanya akan menyebabkan hukum perundang-undangan nasional akan serta merta berkarakter

Page 3: Wp Permasalahan Etika Dalam Hukum

sebagai alat bengis di tangan otokrat yang lalim. Sementara itu, manakala kurang

dilaksanakan secara konsekuen, hukum perundang-undangan ini akan segera saja gampang

dikesan sebagai ‘macan ompong’ yang kehilanagan otoritasnya, dan – dalam frasenya yang

berbahasa asing – sering dikatakan will be honoured only by its breach.

Manakala realisasi apa yang telah diundangkan agar menjadi signifikan secara sosial

– yang dalam bahasa sehari-hari lebih dikenali dengan istilah ‘penegakan hukum’ – bisa lebih

efektif dan tak terkesan terlalu lugas (melainkan lebih bernuansa manusiawi), maka unsur

etik haruslah dihidupkan kembali dalam kehidupan hukum ditengah-tengah masyarakat yang

telah terorganisasikan ke dalam struktur negara bangsa ini. Dalam pengalaman, karena

hakikat pekerjaan legislasi tak lebih daripada kerja positivisasi, unsur etis ini hanya bisa

dimasukkan ke dalam hidup hukum pada proses-proses implementasinya saja. Ialah di

lapangan oleh aparat eksekutif dan di sidang-sidang penyelesaian kasus oleh para hakim

pengacara. Inilah unsur etis dalam kehidupan hukum – yang diimbuhkan semas proses

realisasi hukum tengah berjalan – yang dikenali sebagai ‘etika profesi’ (yang manakala telah

dituliskan agar dapat segera dianut dengan ketaatan yang sungguh-sungguh akan dikenali

sebagai kode etik profesi).

Etika – sebagaimana telah diketahui pada awal tulisan ini – adalah sesungguh-

sungguhnya standar perilaku jugalah adanya. Tumbuh kembangnya lewat sosialisasi dan

internalisasi akan menjadi etika (juga dalam kehidupan hukum) akan lebih bersifat dan

berfungsi sebagai ‘sarana kontrol dari dalam yang lebih bersifat volunter’ daripada sebagai

‘sarana kontrol dari luar yang lebih bersifatmemaksa’. Di lapangan, ‘sarana kontrol yang

bekerja dari dalam’ ini akan menyebabkan para warga masyarakat bisa memahami hukum

tidak lagi dalam konsepnya sebagai ‘sarana kontrol yang serba memakaskan’ melainkan

sebagai ‘norma-norma fasilitatif yang akan membantu terwujudnya kelancaran dalam

berbagai aspek kehidupan yang oleh karena itu sudash sepatutnya ditaati dengan semestinya.’

Sementara itu, di lapanagan pula, ‘sarana kontrol yang bekerja dari dalam’ ini akan

mendorong para “hamba wet” yang namanya polisi (atau sebangsanya, sepertibanpol, satpam,

dan petugas tibum) akan lebih berkeberanian secara moral untuk membuat diskresi-diskresi,

dan tak lagi berwatak militeristik yang beroparadigma ‘perintah adalah perintah’.

Dalam forum-forum sidang-sidang penyelesaian sengketa, semisal di sidang-sidang

pengadilan, etika akan lebih kuat mendorong para hakim dan pengacara (yang kedua-duanya

harus dibilangkan dalam satu kategori sebagai the legal professionals) untuk bersedia bekerja

Page 4: Wp Permasalahan Etika Dalam Hukum

dengan kearifan daripada dengan bersaranakan pengetahuan teknisnya yang amat legistis.

Dengan kearifan, di tangan para pengadil dan para pencari keadilan, hukum akan lebih

merupakan prudentia (>jurisprudence) atau geleerdgeid (>rechtsgelerdheid) daripada

science (>legal science) atau sebatas wetenschap (>rechtswetenschap). Dikampus-kampus,

dengan ikut memperhatikan peran etika dalam proses-proses untuk memnermaknakan hukum

dalam kehidupan, kajian-kajian hukumpun akan lebih berwatak sebagai realistic

jurisprudence yang Llewellian atau yang critical dan Ungerian daripada yang mekanistik

Langdelian atau puritan Kelsenian.

Berpangkal dari asa kearifan etik dalam setiap upaya menyelesaikan sengketa hukum

inilah bermulanya kesadaran akan kebutuhan suatu etika yang mesti dikukuhi bersama, dalam

wujud positivisasinya untuk diberlakukan secara khusus dikalangan para pendayaguna

hukum perundang-undangan. Itulah yang dinamakan etika yang dikodifikasikan, berlaku

dikalangan para legal professionals, disebut ‘kode etik’.