hukum dan etika penyiaran

30
Pengertian Hukum Penyiaran Disusun oleh : Ahmad Naufal Fariz Fadlan Muhammad Iqbal Fikri Al-Kahfi

Upload: advaldredz14

Post on 26-Dec-2015

361 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

laporan

TRANSCRIPT

Pengertian Hukum Penyiaran

Disusun oleh :

Ahmad NaufalFariz FadlanMuhammad IqbalFikri Al-Kahfi

Pengertian Penyiaran Undang-Undang Republik  Indonesia  Nomor  24  Tahun

1997 Tentang Penyiaran

Penyiaran adalah kegiatan pemancar luasan siaran melalui sarana pemancaran

dan/atau sarana transmisi di darat, dilaut atau di antariksa dengan menggunakan

gelombang elektromagnetik, kabel, seratoptik, dan/atau media lainnya untuk dapat

diterima oleh masyarakat dengan pesawat penerima siaran radio dan/atau pesawat

penerima siaran televisi, atau perangkat elektronik lainnya dengan atau tanpa alat

bantu.

Pengertian Penyiaran menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2002 Tentang

Penyiaran, Pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 1

Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 mendefinisikan Penyiaran adalah

kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana

transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spectrum frekuensi

radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara

serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

 

Pengertian penyiaran (broadcasting) menurut para ahli: 

Pengertian broadcasting menurut buku An Introduction to Television

Studies, Jonathan Bignell, Routledge, London 2004, bahwa Broadcasting the

transmission signal from a central source which can be received by dispersed recievers

over a large geographical area.

Penyiaran sinyal transmisi dari sumber utama yang dapat diterima oleh alat

penerima yang tersebar di wilayah geografis yang luas

Pengertian broadcasting menurut buku Broadcast Management,Ward L Quaal and

James A Brown, Hasting House Publisher new york, 1976, menyatakan

bahwa Broadcasting is transmission of electromagnetic energy that is intended to be

recievedby the public.

Penyiaran adalah transmisi energy elektromagnetik yang dimaksudkan untuk

diterima oleh khalayak.

Pengertian mengenai Broadcast dan Broadcaster menurut Morissan MA dan JB

Wahyudi (1996):

Broadcast atau system transmisi siaran yang berisi pesan dari satu titik menuju

khalayak penerimanya yang tersebar.

Contoh: Penyelenggaraan program siaran televisi atau radio pada jam tertentu di

stasiun radio atau televisi tertentu, baik itu siaran langsung atau siaran tunda.

Broadcaster adalah stasiun penyelenggara siaran yang memancarluaskan pesan atau

materi siaran dari kepada khalayak yang tersebar.

Contoh: Stasiun televisi (Lembaga penyelenggarasiaran televisi), Stasiun Radio

(Lembaga penyelenggara siaran radio).

Broadcaster dapat diartikan pula sebagai individu atau orang yang berada di dalam

sebuah organisasi penyiaran dan atau bertugas dan/atau melakukan kegiatan

menyampaikan pesan kepada khalayak melalui perangkat lunak dan perangkat keras

yang terkait dengan proses penyelenggaraan siaran.

Contoh: Pembawa acara berita televisi atau presenter, Reporter dan Kamerawan dalam

meliput siaran langsung sebuah peristiwa, komentator acara olah raga.

Jenis-Jenis Penyiaran

Menurut regulasi penyiaran di Indonesia, terdapat empat jenis penyiaran:

1. Penyiaran swasta

Lembaga penyiaran swasta adalah lembaga penyiaran yang menjalankan usaha

penyiaran berdasarkan prinsip-prinsip komersial. Lembaga ini menjual usaha berupa

waktu tayang (air time), iklan dan usaha lain yang sah terkait dengan penyelenggaraan

penyiaran.

Di Indonesia untuk menjalan usaha penyiaran terlebih dahulu harus

mendapatkan izin dari negara setelah memperoleh persetujuan dari Komisi Penyiaran

Indonesia (KPI). Modal pendirian seluruhnya harus berasal dari warga negara

Indonesia dan atau badan hukum Indonesia. Untuk penambahan modal, dapat

menggunakan modal asing yang jumlahnya tidak lebih dari 20% dari seluruh modal

dan minimum dimilki oleh dua pemegang saham.

2. Penyiaran Publik

Lembaga penyiaran publik adalah lembaga penyiaran yang tidak bersifat

komersial, independen/netral dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan

publik. Sumber pendanaan penyiaran publik berasal dari negara, iuaran, iklan dan

donatur yang tidak mengikat. Menurut Effendi Gazali setidaknya terdapat lima ciri

penyiaran publik:

Pertama, akses publik, akses publik di sini dimaksudkan tidak hanya coverage

area, tetapi juga menyangkut bagaimana penyiaran publik mau mengangkat isu-isu

lokal dan memprosuksi program-program lokal sehingga misalnya dapat membentuk

secara alami dari bawah, tokoh-tokoh lokal yang betul-betul mengenal. Dikenal dan

mewakili masyarakatnya.

Kedua, dana publik, perlu diingat bahwa lembaga penyiaran publik tidak hanya

mengandalkan keuangannya dari anggaran negara tetapi juga dari iuran dan donatur.

NHK di jepang misalnya 90% anggarannya berasal dari sumbangan sukarela

masyarakat Jepang. ABC di Australia mayoritas anggarannya berasal dari pemerintah

federal Australia.

Ketiga, akuntabilitas publik, karena dana utamanya dari publik, maka terdapat

kewajiban bagi penyiaran publik untuk membuatr akuntabilitas finansialnya. Di banyak

TV publik di Amerika Serikat, pemirsa dapat melihat neraca keuangan stasiunnya setiap

saat yang disebut public file.

Kempat, keterlibatan publik, keterlibatan publik di sini, bisa berarti (pertama)

menjadi penontonnya, kemudian menjadi kelompok yang dengan rela membantu

menyumbangkan tenaga, pikiran, dan dana untuk kelangsungan penyiaran publik; dan

yang demikian penting adalah keterlibatan dalam ikut memberi arah pada program-

program yang akan dibuat serta ikut mengaevaluasinya.

Kelima, kepentingan publik lebih dimenangkan dari pada kepentingan iklan.

Misalnya, ada satu acara yang begitu baik dan bermanfaat menurut publik, namun

ratingnya rendah, maka ia tetap akan diproduksi dan diupayakan tetap dipertahankan

penayangannya. Tentu kontras dengan penyiaran komersial.

Hakikat penyiaran publik adalah diakuinya supervisi dan evaluasi publik pada

level yang signifikan. Publik di sini dibaca sebagai "warga negara." Hanya karena

adanya hakikat inilah maka stasiun publik dapat melakukan apa yang didengung-

dengungkan sebagai public service itu. Bagi penyiaran publik, iklan bukanlah sesuatu

yang haram. Tergantung bagaimana publik ikut menentukan berapa pembatasan

penayangan iklan perjamnya dan iklan-iklan mana yang dianggap pas bagi penyiaran

publik.

Penyiaran publik tidak berarti tak boleh untung! Canadian Broadcasting

Corporation (CBC) misalnya, tahun 2001 memperoleh keuntungan 147,9 juta dollar AS.

Lalu, apa beda CBC dengan stasiun komersial? Jawabnya: konsultasi publik yang

digelar CBC secara konsisten di berbagai antero negeri. Mulai dari soal isi program,

iklan mana yang boleh ditayangkan atau tidak, serta apakah publik setuju dengan cara

pemanfaatan keuntungannya, dan lain-lain. (Effendi Gazali, 2002)

Tahun 2002, penerimaan iklan CBC turun 31 juta dollar AS antara lain untuk

mengurangi komersialisasi program sesuai usul publik. Soal penampilan dan

profesionalitas, studio, alat, atau orangnya, CBC tak kalah elegan dengan stasiun

komersial. Untuk konsultasi publik, pemerintah boleh menyampaikan pesan-pesannya

lewat stasiun publik, dan dana sosialisasi pada berbagai kantor pemerintah sah

digunakan di sana. Di Indonesia yang ditunjuk menjadi lembaga penyiaran publik

adalah TVRI dan RRI.

3. Lembaga Penyiaran Komunitas

Sama dengan penyiaran publik, penyiaran komunitas tergolong wacana baru

bagi dunia penyiaran di Indonesia, sebelumnya lembaga penyiaran yang dikenal di

Indonesia hanyalah lembaga penyiaran swasta dan milik pemerintah. Di Indonesia

penyiaran komunitas adalah suatu lembaga yang didirikan oleh komunitas tertentu yang

menjalankan aktivitas penyiaran secara independen/netral, daya pancar rendah,

jangkauan wilayah yang terbatas, tidak komersial, serta melayani kepentingan

komunitas. Karena khusus melayani komunitas, maka lembaga penyiaran ini boleh

menggunakan bahasa daerah sesuai dengan komunitas yang dilayaninya. Bahwa

penyiaran komunitas tidak boleh komersial mungkin sifatnya debatable. Tetapi yang

penting adalah penyiaran komunitas tidak boleh dimiliki atau berafiliasi dengan

kelompok usaha yang mencarai untung semata.

Di Indonesia mendirikan penyiaran komunitas persyaratannya sangat ketat.

Antara lain dilarang menjadi media partisan, tidak terkait dengan organisasi atau

lembaga asing serta bukan komunitas internasional, tidak terkait dengan organisasi

terlarang, tidak untuk kepentingan propaganda kelompok atau golongan tertentu.

Bahkan, untuk dana awal dan operasional dilarang menerima sumbangan dari pihak

asing. Penyiaran komunitas juga dilarang melakukan siaran iklan. Siaran komersial

lainnya, kecuali iklan layanan masyarakat. Lalu dari mana datangnya dana

operasionalnya? Biaya diperoleh dari kontribusi komunitas yang menjadi pemilik

lembaga penyiaran komunitas tersebut.

4. Lembaga Penyiaran Berlangganan

Lembaga penyiaran berlangganan adalah bentuk penyiaran yang

memancarkanluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada

pelanggan melalui radio, televisi, multimedia atau media informasi lainnya. Dalam

memancarluaskan siarannya lembaga penyiaran berlangganan menggunakan dapat

mengunakan satelit, kabel atau melalui teresterial. Di manca negara penyiaran

berlangganan kerap dikenal pay per view dimana penonton mengeluarkan sejumlah

uang untuk menonton atau mendengar (berlangganan) siaran yang dikeluarkan salah

satu siaran berlangganan.

Di Indonesia saat ini terdapat dua provider TV berlangganan yakni: Kabel Vision

dan Indo Vision. Kabel Vision menggunakan broadband sedangkan Indo Vision

menggunakan satelit. Aturan dan standar siaran yang digunakan pada siaran

berlangganan tidak seketat pada penyiaran komersial dan publik dengan alasan, bahwa

TV berlangganan penontonnya lebih sedikit dan selektif.

Pengertian Hukum

Pengertian hukum sulit diberikan secara perdefenisi. Ini disebabkan oleh

keberagaman disiplin ilmu dan latar belakang seseorang yang memberikan defenisi.

Namun bukan berarti hukum sulit dimengerti dan dipelajari. Jika kita hendak

merumuskan pengertian hukum, setidaknya unsur-unsur hukum harus kita ketahui.

Unsur-unsur pengertian hukum tersebut antara lain:

(1) Hukum dipahami sebagai perangkat peraturan

(2) Hukum dibuat oleh ”penguasa” berwenang

(3) Bentuk hukum bisa tertulis atau tidak tertulis

(4) Mengandung sifat memaksa

(5) Ada sanksi bagi pelanggarnya

(6) Ditujukan bagi aspek perilaku manusia dan

(7) Bertujuan menciptakan keamanan, ketertiban dan keadilan.

Secara etimologis kata hukum sering disamakan dengan law (Inggris) dan recht

(Belanda) yang berasal dari bahasa Arab, yakni Ahkam, artinya segala hukum, undang-

undang atau peraturan yang dihasilkan dari proses musyawarah para wakil rakyat.

Sedangkan dalam konteks kedaulatan, kata “hakim-iyah” diartikan bahwa kedaulatan

hukum yang merupakan kekuasaan tertinggi.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang hukum, berikut ini

dikemukakan beberapa defenisi tentang hukum untuk dapat dijadikan pegangan dalam

menemukan pengertian hukum:

a. Hukum adalah semua peraturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,

ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman

bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya (Prof. Mr. EM.

Meyers)

b. Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya

penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai

jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi

bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu (Leon Dequit)

c. Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari

seseorang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari

orang lain menurut peraturan hukum tentang kemerdekaan (Immanuel Kant)

d. Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang berisi perintah dan larangan

yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karenanya harus ditaati oleh

masyarakat itu (Utrecht, 1996)

e. Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan

sanksi-sanksi yang disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan

ketatatertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertban

terjamin (SM. Amin, SH)

f. Hukum adalah seluruh aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku

tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti

kerugian jika melanggar aturan-aturan itu, akan membahagiakan diri sendiri atau

harta, misalnya orang akan kehilangan kemerdekaan dan didenda (MH.

Tirtaatmaja, SH)

g. Hukum adalah perangkat peraturan baik yang bentuknya tertulis atau tidak

tertulis, dibuat oleh penguasa yang berwenang, mempunyai sifat memaksa dan

atau mengatur, mengandung sanksi bagi pelanggarnya, ditujukan pada tingkah

laku manusia dengan maksud agar kehidupan individu dan masyarakat terjamin

keamanannya dan ketertibannya.

Dari serangkaian defenisi di atas, umumnya hukum diartikan sangat beragam

sebagai berikut:

1. Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa

2. Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim

3. Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum

4. Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku

5. Hukum diartikan sebagai norma dan kaidah

6. Hukum diartikan sebagai tata hukum

7. Hukum diartikan sebagai tata nilai

8. Hukum diartikan Ilmu

9. Hukum diartikan sebagai sistem ajaran (disiplin hukum)

10. Hukum sebagai gejala sosial.

Tujuan Hukum

Karena hukum bersifat memaksa, maka barang siapa yang melangar hukum

wajib mempertangung jawabkan secara hukum dan dapat dikenai sanksi sesuai dengan

pelanggarannya. Hukum diperlukan untuk:

1. Menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, terutama

mengenai pelaksanaan hak-hak pribadi.

2. Menjaga agar tidak terjadi konflik antar bermasyarakat sehingga keseimbangan

hidup bermasyarakat dapat tercapai. Hukum hadir untuk menyelesaikan konflik-

konflik yang terjadi agar kondisi sosial yang tidak seimbang dapat dipulihkan

kembali seperti sedia kala.

3. Menjamin terciptanya suasana aman, tertib dan nyaman untuk mendukung

tercapainya tujuan hidup bersama dan sejahtera.

Pengertian Hukum Dalam Konteks Komunikasi

Ada pepatah dalam bahasa latin yang berbunyi “Ubi ius ubi societas” artinya di mana

ada hukum di situ ada masyarakat. Dalam konteks ilmu komunikasi pepatah itu

berbunyi “Ubi comunicatio ubi ius” artinya tidak ada hukum seandainya tidak ada proses

penyampaian pesan antar manusia (komunikasi).

Kalau kita merujuk pada pengertian hukum berdasarkan etimologis bahasa Arab

tersebut maka hukum dalam konteks ilmu komunikasi diartikan undang-undang atau

peraturan yang dihasilkan dari proses musyawarah wakil rakyat yang ditujukan untuk

mengatur proses penyampaian pesan antar manusia. Disini kita kemudian mengenal

UU Pers, UU Penyiaran, UU Perfilman dll.

Menurut A, Muis hubungan antara komunikasi dan hukum menghasilkan dua

pengertian yakni komunikasi hukum dan hukum komunikasi. Komunikasi hukum adalah

mempelajari komunikasi dan hukum secara imperatif normatif. Dalam kontek ini

undang-undang, peraturan dan yurisprudensi adalah proses penyampaian pesan

(komunikasi dan informasi) kepada masyarakat dengan tujuan memaksakan prilaku

tertentu sesuai kaidah hukum itu sendiri. Pengertian ini merujuk pada pengertian hukum

berdasarkan etmologis tersebut di atas.

Sedangkan hukum komunikasi adalah akibat-akibat hukum yang muncul dari proses

penyampaian pesan antar manusia. Yang termasuk dalam pengetian ini misalnya,

pencemaran nama baik melalui media massa, menghinaan terhadap kepala negara

melalui media massa, dan lain-lain.

Delik Pers

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang delik pers terlebih dahulu kita akan

membahas tentang delik. Delik pengertian umumnya adalah perbuatan pidana atau

perbuatan melanggar undang-undang/peraturan dan pelakunya di ancaman hukuman

baik hukuman denda maupun kurungan. Sesuatu tindakan baru disebut sebagai delik

apabila ada undang-undang atau peraturan yang dilanggar. Jadi intinya adalah segala

perbuatan yang dilarang oleh UU dan pelakuknya diancam hukuman. Penjelasan lebih

jauh dari sudut pandang hukum harus terlebih dahulu ada undang-undangnya atau

peraturannya dan UU/peraturan itu dilanggar terlebih dahulu barulah ada perbuatan

pidana atau delik.

Perbuatan mengambil barang orang lain (mencuri) misalnya adalah delik pidana karena

dilarang oleh Undang-undang yakni pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP)

“Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian kepunyaan

orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena

pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling

banyak sembilan ratus rupiah”

Bila tidak ada undang-undang/peraturannya berarti tidak ada delik. Hal ini dijamin

dalam KUHP pasal 1 ayat 1 “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas

kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan

dilakukan.”

Apabila sesudah perbuatan dilakukan baru ada undang-undangnya, maka hal tersebut

diberlakukan aturan yang paling menguntungkan sipelaku (terdakwa) perbuatan pidana.

Hal ini diatur KUHP pasal 1 ayat 2: “Jika ada perubahan dalam perundang-undangan

sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang

paling menguntungkan”

Sebagian ahli hukum dan komunikasi berpendapat bahwa istilah delik pers

sesungguhnya bukan merupakan terminologi hukum, melainkan hanya sebutan umum

atau konvensi dikalangan ahli hukum dan komunikasi. Pasal-pasal yang mengatur delik

ini tidaklah berdiri sendiri,melainkan bagian dari delik yang berlaku umum. Karena yang

sering melakukan pelanggaran atas delik itu adalah pers, maka tindak pidana dikatakan

delik pers (Dewan Pers, 2002. hal 1)

A. Muis mengatakan bahwa delik pers dapat dilihat dari dua perpektif. Perspektif

komunikasi dan hukum. Dari perspektif komunikasi delik pers berarti proses

penyampaian pesan antar manusia melalui pers yang dilarang oleh undang-undang dan

komunikatornya diancam pidana. (A.Muis, 1999, 56)

Delik penyiaran sebenarnya juga masuk dalam kategori ini, karena media penyiaran

merupakan bagian dari pers. Sedangkan dari perspektif hukum, menurut Van Hattum

mengharuskan memenuhi tiga kreteria:

a. Ia harus dilakukan dengan barang cetakan

b. Perbuatan yang dipidanakan harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan

c. Dari perumusan delik harus ternyata, bahwa publikasi merupakan suatu syarat

untuk dapat menimbulkan suatu kejahatan, apakah kejahatan tersebut dilakukan

dengan suatu tulisan

Maksudnya ialah delik yang penyelesaianya memerlukan publikasi dengan pers dan

merupakan pernyataan pikiran atau perasaan yang diancam pidana. Dengan kata lain,

pernyataan pikiran atau perasaan yang dapat dijatuhi pidana yang penyelesaiannya

membutuhkan publikasi dengan pers. Artinya kejahatan sudah terjadi pada saat surat

kabar yang memuatnya selesai dicetak (terbit). Untuk menentukan ada tidaknya delik

ketiga kriteria tersebut harus ada. Salah satu satu dari ketiga kriteria tersebut hilang

maka gugur pula sebagai delik pers.

Penggolongan Delik Pers

Delik pers dapat digolongkan dalam 5 kelompok besar yakni:

1. Delik keamanan negara

Menurut Omar Seno Adji, yang tergolong dalam delik ini adalah melanggar pasal 112

dan 112 KUHP. Pada intinya kedua pasal tersebut memidana barang siapa dengan

sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan-keterangan yang

diketahuinya bahwa harus dirahasiakan (untuk kepentingan negara) atau dengan

sengaja memberitahukan atau memberikan kepada negara asing (pasal 112) atau

mengumumkan dan seterusnya, gambar-gambar peta atau benda yang bersifat rahasia

atau bersangkutan dengan keamanan dan pertahanan negara terhadap serangan dari

luar (pasal 113).

Tetapi S. Tasrif, SH menambahkan bahwa tidak hanya pasal 112 dan pasal 113 tetapi

juga pasal 155, 157, 207 dan 208 KUHP pasal-pasal ini lazim pula disebut sebagai delik

ketertiban umum.5

2. Delik Penghinaan

Objek penghinaan menurut Seno Adji meliputi: perorangan termasuk yang telah

meninggal dunia, Kepala Negara dan atau Wakilnya (pasal 134-136 bis KUHP), Kepala

Negara asing yang bersahabat, Kepala perwakilan Asing yang bersahabat, terhadap

pemerintah ataupun terhadap kekuasaan yang sah (lihat tulisan Menyoal Pasal-pasal

Penyebar Kebencian) dan terhadap golongan (group libel 156 KUHP).

Penghinaan disini sebagaimana maksud pasal 310 KUHP adalah menuduhkan

menyerang kehormatan atau nama baik seseorang atau lembaga dimana penghinaan

itu dilakukan secara tertulis dan dilakukan dengan menuduh melakukan hal. Sedangkan

yang maksud dalam pasal 315 KUHP adalah penghinaan tanpa adanya pencemaran

yang dilakukan terhadap seseorang atau lembaga. Penghinaan ini dalam terminologi

hukum disebut sebagai penghinaan ringan.

Namun, bisa saja penghinaan itu tidak dikategorikan sebagai pencemaran apabila

dilakukan demi untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk melakukan

pembelaan diri (pasal 310 ayat 3). Atau, pada saat ia diberi kesempatan oleh hakim

membuktikan tuduhannya dan mampu membuktikan tuduhan tersebut. Korban-korban

pasal 310 KUHP ini banyak sekali, salah satunya adalah kasus yang menimpa

Pemimpin Redaksi Warta Republik, Hoessein Madilis. Kasus ini bermula saat Madilis

menulis laporan di tabloid Warta Republik yang berjudul Try Sutrisno dan Edi

Sudradjat Berebut Janda di halaman cover dan Cinta Segitiga Dua Orang Jenderal

disertai selembar foto seorang perempuan dan laki-laki —yang menurut Hosien adalah

Nani dan Edy— di halaman 12 yang dimuat pada edisi 01/I/Minggu ke -III November

1998.

Namun pada saat persidangan Madilis tidak bisa membuktikan tuduhannya, dan ia

dikenai pidana penjara selama 6 bulan. Di negara-negara yang menganut sistem

hukum Anglo-Saxzon delik penghinaan lazim disebut sebagai libel. Libel artinya

pernyataan tertulis yang menyerang kehormatan atau reputasi seseorang. Sedang yang

penghinaan secara lisan atau dengan menggunakan gerak-gerik atau tanda (gesture)

disebut slander.

Menurut Fred Fedler ada tiga syarat pokok yang harus dipenuhi untuk mengkategori

suatu perbuatan sehingga disebut sebagai libel/fitnah/pencemaran nama baik.

a. menyebut nama seseorang (identification)

b. kata-kata yang dilontarkan bersifat fitnah, atau menyerang reputasi seseorang

(defamation)

c. ada unsur publikasi (publication).

Ketiga syarat tersebut mirip dengan kategori yang dikemukakan oleh Van Hattum.

3 Delik Ponografi

Pornografi dalam KUHP diatur dalam pasal 282-283, 532-533 KUHP. Memang kata

yang ditemukan disana tidak secara eksplisit menyebut pornografi. Yang tertera di sana

kata “melangar kesusilaan.”

Pasal 282; “barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka

umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar

kesusilaan .....” Batasan mengenai “melanggar kesusilaan” diserahkan sepenuhnya

kepada hakim untuk menterjemahkannya. Namun pengertian itu selalu ikembalikan

atau didasarkan pada pandangan masyarakat setempat atau sebagian besar

masyarakat suatu bangsa. Di banyak negara penentuan batasan melanggar kesilaan

memang selalu dikembalikan pada hakim. Di Amerika Serikat misalnya, batasan

obscene (melanggar kesusilaan), oleh Mahkamah Agung (supreme court) AS

diserahkan kepada contemporary community standard atau standar masyarakat.

Hal yang sama terjadi pula di Inggris. Obscene Publicatin Act 1959 yang kemudian

menjadi The obscene Publications Act 1964 juga tampaknya tidak meninggalkan

pandangan masyarakat yang ada dalam menterjemahkan kata obscene. Untuk itu,

hakim perlu memiliki pandangan yang arif dalam menentukan kriteria malanggar

kesusilaan berdasarkan pandangan masyarakat atau sebagian besar masyarakat suatu

bangsa. Tentang perlunya hakim memahami pandangan masyarakat setempat atau

sebagian besar masyarakat suatu bangsa dalam menentukan batasan melanggar

kesusilaan terlihat pada kasus Nono Rintiarno, Pemimpin Redaksi majalah Matra pada

tahun 2002 silam.

4. Delik Agama

Delik agama sebagaimana yang maksud dalam pasal 156 dan 156a KUHP adalah

memidanakan barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan

atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat bermusuhan,

penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut (b) dengan maksud

agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan

Yang Maha Esa.

Korban pasal ini tercatat kasus Ahmad Welson di Solo. Kasus ini bermula dari talkshow

yang disiarkan langsung oleh Radio PTPN Rasitania, pada 24 Februari 2000. Acara

rutin yang disiarkan secara langsung tiap Kamis pukul 21.00-22.00 WIB itu mengangkat

tema: “Upaya Mengatasi Konflik Antar Umat Beragama”. Acara yang rencananya

dihadiri oleh beberapa narasumber akhirnya berlangsung dengan pembicara tunggal,

yaitu Ahmad Welson -seorang mantan pendeta. Dalam acara dialog interaktif itu

Welson mengeluarkan pernyataan kontroversial bahwa Muhammad itu sebelum

diangkat sebagai Nabi dan Rasul adalah memeluk agama Nasrani. Kontan, pernyataan

tersebut menuai protes, secara langsung pada radio PTPN Rasitania maupun melalui

media cetak.

Puncaknya, pada 2 Maret 2000, ratusan orang yang tergabung dalam Front Pemuda

Islam Surakarta (FPIS) mendemo Radio Rasitania. FPIS menuntut PTPN meminta

maaf kepada masyarakat lewat siarannya, ataupun media cetak yang ada di Jawa

Tengah selama tujuh hari berturut-turut. Tak cukup sampai di situ, melalui pengacara

Mohammad Taufik dari LBH Nurani, FPIS melaporkan Wilson, Zarkoni alias Jeffri Ohio

(penyiar) dan pimpinan PTPN Budiyono ke kepolisian dengan alasan pernyataan

Welson dalam dialog intersktif tersebut dianggap berpotensi menimbulkan konflik

SARA. Welson pun diajukan ke pengadilan. 3 Juli 2000 Pengadilan Negeri Surakarta

menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara pada Achmad Welson. Pengadilan mendakwa

Welson berdasarkan pasal 156a KUHP.

5. Delik Khabar Bohong (Penghasutan)

Delik khabar bohong diatur dalam pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946. Inti pasal 14:

memidanakan penyiaran kabar bohong, dengan sengaja menimbulkan keonaran di

kalangan rakyat, penyiaran berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat

menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa

berita atau pemberitahuan itu adalah bohong. Sedangakan pasal 15: menyiarkan kabar

yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia

mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau

mudah dapat menerbitkan keonaran. Menurut buku yang berjudul Delik Pers dalam

Hukum Pidana yang diterbitkan oleh Dewan Pers dan Lembaga Informasi Nasional,

2002, yang dimaksud dengan “menyiarkan berita atau kabar dalam dua pasal diatas

sesungguhnya tidak secara khusus ditujukan kepada pers atau wartawan melainkan

berlaku untuk siapa saja. Meskipun demikian, dalam prakteknya pers sering menjadi

korban penerapan pasal ini. Salah satu contoh kasus tuntutan atas “penyebaran kabar

bohong” yang pernah diajukan ke pengadilan adalah yang menimpa harian Berita

Buana pada tahun 1989. Redaktur Pelasana harian tersebut oleh Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat dijatuhi hukuman satu setengah tahun penjara (November 1989) karena

dinilai telah menyiarkan kabar bohong mengenai makanan kaleng yang mengandung

lemak babi.

Sifat Delik Pers

Terdapat dua jenis delik pers.

1. Delik Aduan.

Delik aduan artinya tidak ada suatu perkara kalau tidak ada yang mengadu. Dengan

kata lain, hanya akan ada kasus atau perkara yang diakibatkan adanya pemberitaan

pers, kalau pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers tersebut mengadu

kepada pihak yang berwajib. Pihak penyidik (polisi atau jaksa) tidak bisa melakukan

inisiatif penyidikan tanpa adanya aduan dari seseorang atau lembaga. Sekalipun ia

mengetahui terjadinya pelanggaran. Yang tergolong sebagai delik aduan adalah: pasal

310, 311, 315, 316, 317, 320 dan 321 KUHP.

2. Delik Biasa

Delik biasa artinya tidap perlu ada pengaduan. Bila aparat berwajib mengetahui terjadi

pelanggaran/kejahatan maka mereka berinisiatif melakukan mengusutan. Pasal-pasal

yang terkait dengan delik biasa adalah pasal 112,113 134, 137, 142, 143, 144, 154,

155, 156, 157, 156a, 160, 161, 162, 163 207, 208, 282, 532 dan 533.

KINI “PASAL KARET” ITU TELAH TIADA

Mahkamah Konstitusi telah menghapus pasal 154 dan 155 KUHP. Kebebasan

berekspresi dan beropini kini makin terjamin

Sumringah di wajah Panji Utomo segera membumcah, pertengahan Juli lalu. Ia tak

kuasa menyembunyikan kegembiraannya saat mengetahui Mahkamah Konstitusi

menghapus pasal 154 dan 155 KUHP. Pasal itulah yang mendera Direktur Forum

Komunikasi Antar Barak (FORAK) ini sehingga terkena vonis tiga bulan penjara di

Banda Aceh. Pasal yang sering disebut pasal karet ini menjadi memok para pekerja

media dan sejumlah aktivis yang kerap mengkritisi pemerintah.

Panji Utomo yang juga berprofesi dokter ini dituduh memicu bentrokan saat terjadi

demo di depan kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Aceh di tahun 2006.

Akibatnya, Panji didakwa mengeluarkan pernyataan permusuhan, kebencian, atau

penghinaan terhadap Pemerintah.

Panji pulalah yang mengajukan ke MK agar pasal tersebut dilenyapkan dalam KUHP.

Alasannya, ia merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal

tersebut karena dalam aksi itu sebenarnya ia mewakili kepentingan para pengungsi

korban tsunami yang menuntut hak-haknya.

Selain itu ia beranggapan pasal-pasal itu sudah tidak sesuai lagi dengan iklim

demokrasi yang tengah berjalan di Indonesia saat ini. Sehingga keberadaan pasal

tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 154 KUHP berbunyi:

 “Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau

merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling

lama tujuh tahun atau pidana denda paling  banyak empat ribu lima ratus rupiah”;

Pasal 155 KUHP berbunyi:

(1) “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan

dimuka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau

merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui 

oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

(2) “Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan

pencaharian dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi

tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat

dilarang menjalankan pencaharian tersebut”.

MK, dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan bahwa kualifikasi delik atau tindak

pidana yang dirumuskan dalam Pasal 154 dan 155 KUHP adalah delik formil yang

cukup hanya mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang

(strafbare handeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan. Akibatnya,

rumusan kedua pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan

kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa.

Menurut MK, seorang warga negara yang bermaksud menyampaikan kritik atau

pendapat terhadap Pemerintah, di mana hal itu merupakan hak konstitusional yang

dijamin oleh UUD 1945, akan dengan mudah dikualifikasikan oleh penguasa sebagai

pernyataan “perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan” terhadap Pemerintah

sebagai akibat dari tidak adanya kepastian kriteria dalam rumusan Pasal 154 maupun

155 KUHP tersebut untuk membedakan kritik atau pernyataan pendapat dengan

perasaan permusuhan, kebencian, ataupun penghinaan. Karena penuntut umum tidak

perlu membuktikan apakah pernyataan atau pendapat yang disampaikan oleh

seseorang itu benar-benar telah menimbulkan akibat berupa tersebar atau bangkitnya

kebencian atau permusuhan di kalangan khalayak ramai.

MK juga menjelaskan bahwa Pasal 154 dan 155 KUHP dapat dikatakan tidak rasional,

karena seorang warga negara dari sebuah negara merdeka dan berdaulat tidak

mungkin memusuhi negara dan pemerintahannya sendiri yang merdeka dan berdaulat,

kecuali dalam hal makar. Namun, ketentuan tentang makar sudah diatur tersendiri

dalam pasal lain dan bukan dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP.

Dalam Wetboek van Strafrecht Belanda sendiri, yang merupakan sumber dari KUHP,

tidak terdapat ketentuan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 154 dan 155 KUHP. 

Bahkan, pada saat munculnya ide untuk memasukkan ketentuan demikian ke dalam

KUHP Belanda pada abad ke-19, Menteri Kehakiman Belanda ketika itu secara terang-

terangan menyatakan penolakan terhadap usul demikian dengan mengatakan, “De

ondergeteekende zou deze bepalingen, welke op zichzelf te verklaren zijn door de

behoefte van een koloniale samenleving, zeker niet voor het Rijk in Europa willen

overnemen” (Peraturan di bawah ini, dengan sendirinya dinyatakan hanya berlaku bagi

kebutuhan masyarakat kolonial, jelas tidak diperuntukkan bagi negara-negara di Eropa).

Sejarah menunjukkan bahwa ketentuan dalam Pasal 154 dan 155 KUHP tersebut

diadopsi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dari Pasal 124a British Indian Penal

Code Tahun 1915 yang di India sendiri sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Indian

Supreme Court dan East Punjab High Court karena  dinilai bertentangan dengan Pasal

19 Konstitusi India tentang kebebasan untuk memiliki dan menyatakan pendapat.

Sementara di Belanda sendiri, ketentuan demikian juga dipandang tidak demokratis

karena bertentangan dengan gagasan freedom of expression and opinion, sehingga

hanya dapat diberi toleransi untuk diberlakukan di daerah jajahan, in casu Hindia

Belanda.  Dengan demikian, nyatalah bahwa ketentuan Pasal 154 dan 155 KUHP,

menurut sejarahnya, memang dimaksudkan untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan

kemerdekaan di Hindia Belanda (Indonesia), sehingga telah nyata pula bahwa kedua

ketentuan tersebut bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara

merdeka dan berdaulat.

Panji tak sendirian menjadi korban pasal ini. Terdapat sejumlah korban pasal-pasal

'karet' tersebut. Dalam pemerintahan Orde Lama, kasus yang paling menonjol adalah

kasus pidana yang menimpa Goei Poo An Pemimpin Redaksi harian Trompet

Masjarakat, Surabaya pada bulan April 1957. Poo An dipidana sebulan penjara dengan

tuduhan melakukan penghinaan terhadap pemerintah melalui tulisan-tulisannya di

harian Trompet Masjarakat.

Selama Orde Baru pasal-pasal haatzai artikelen jarang dipakai, karena Pemerintah

Orde Baru lebih memilih membrangus suatu penerbitan jika dinilai membahayakan

pemerintah ketimbang membawanya ke pengadilan.

Namun demikian selama pemerintahan Orde Baru tercatat sejumlah kasus, di

antaranya kasus Tengku D Hafas, Pemimpin Redaksi harian Nusantara tahun 1971. TD

Hafas dijatuhi hukuman satu tahun penjara dengan tuduhan harian Nusantara memuat

sejumlah tulisan dalam tajuk rencananya dan rubrik "Tahan Ora" yang memuat gambar

dan karikatur yang dinilai menghina kekuasaan yang sah serta menghasut supaya

timbul rasa permusuhan dan kebencian dalam masyarakat terhadap pemerintah.

Tetapi yang paling fenomenal adalah kasus yang menimpa tiga aktivis Aliansi Jurnalis

Independen (AJI) pada tahun 1995, yakni: Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang

Kukuh Wardoyo. AJI yang saat itu dianggap sebagai organisasi terlarang menerbitkan

majalah Independen yang isinya mengkritik kebijakan pemerintahan Orde Baru yang

otitarian. Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo dipenjara dengan

tuduhan menyebarkan kebencian terhadap pemerintahan Soeharto dengan melanggar

pasal 154 KUHP.

Keputusan MK ini patut diberi dipuji, sebab dalam dua tahun terakhir ini MK telah

menghapus lima pasal yang tergolong dalam haatzai artikelen. Sebelumnya MK

menghapus pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Pasal ini tak kalah seramnya dengan

pasal 154 dan 155 KUHP , karena ini masuk sebagai penghinaan terhadap Presiden.

Meskipun MK telah mengahapus lima pasal tersebut, tetapi sesungguhnya masih

terdapat sejumlah pasal dalam KUHP (yang tergabung dalam kelompok haatzai

artikelen ) bisa mengancam kebebasan berekspresi dan beropini. Pasal-pasal tersebut

diantaranya: 156, 157 dan 207 dan 208 KUHP.

Kita berharap MK segera menghilankan pasal-pasal tersebut dari KUHP, agar

kebebasan berkespresi dan beropini makin terjamin. (Afdal Makkuraga Putra, dikutip

dari Jurnal Media Watch The Habibie Ceter, September 2007).