word fix
DESCRIPTION
manajemen perdarahanTRANSCRIPT
Manajemen Perdarahan pada Trauma Mayor
C Gaunt FRCA RAMC
TWoolley FRCA RAMC
Trauma mayor merupakan penyebab kematian yang signifikan di seluruh
dunia, terutama kejadian limajuta kematian setiap tahunnya. Sebagian besar
kematian disebabkan oleh perdarahan, dengan perhitungan 80% kematian di ruang
operasi dan 40% kematian dari seluruh trauma yang terjadi di Inggris.
Pengelolaan perdarahan mayor terdapat perubahan selama beberapa
dekade terakhir, terutama berdasarkan bukti retrospektif.Pendekatan kontemporer
menekankan kontrol cepat perdarahan, manajemen koagulopati awal,
pemeliharaan perfusi yang memadai, dan meminimalkan respon inflamasi.
Perkembangan fase resusitasi awal dan pencegahan atau manajemen awal
koagulopati dikombinasikan dengan pemahaman yang lebih baik mengenai tes
diagnostik yang mengarah ke target intervensi untuk mengontrol perdarahan yang
menyebabkan meningkatnya hasil yang lebih baik dan berkurangnya permintaan
produk darah.
Mengapa Perdarahan Mayor dapat menyebabkan masalah?
Respon Fisiologis
Sederhananya, perdarahan yang tidak terkendali dapat menyebabkan
hipovolemia dan syok. Respon fisiologis dari kejadian tersebut diawali takikardi
dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik (SVR) untuk mempertahankan
tekanan darah arteri (AP) meskipun curah jantung menurun. Setelah 20 – 30%
volume darah menghilang, terjadi bradikardi ditambah dengan hilangnya
resistensi vaskular sistemik yang menyebabkan menurunnya tekanan darah
arteri.Kehilangan darah hingga melebihi 40% mengarah ke fase pra terminal yang
meningkatkan respon simpatis dengan takikardi dan hipotensi, sehingga dapat
terjadi perdarahan dengan tekanan darah arteri yang masih bagus.
Peningkatan tonus simpatis mengalihkan darah dari organ-organ non vital
ke organ vital untuk mempertahankan perfusi, yang menyebabkan hipoperfusi dan
1
pengangkutan oksigen yang tidak memadai ke sistem vaskular dan mikrosirkulasi
pada organ non vital. Jika hipoperfusi pada mikrosirkulasi tidak ditangani maka
akan terjadi peningkatan aktivasi endotel vaskular, menyebabkan peningkatan
respon inflamasi. Unit mikrosirkulasi terdiri dari arteriol, kapiler, dan venula yang
sangat rentan terjadi hipoksia.Pengangkutan oksigen bergantung pada aliran darah
dan peningkatan tonus vasomotor pra kapiler baik oleh katekolamin endogen atau
vasopressor maupun mikrosirkulasi yang berpotensi memperburuk respon
inflamasi.
Trauma yang Menginduksi Koagulopati
Resusitasi biasa berkonsentrasi pada pemulihan volume darah dengan
penggunaan cairan kristaloid yang berfungsi untuk meningkatkan curah
jantung.Namun hal ini sering menyebabkan triad mematikan yaitu asidosis,
hipotermia, dan koagulopati.Tercatat dalam satu serial bahwa 95% dari pasien
trauma yang meninggal disebabkan oleh koagulopati. Resusitasi secara eksklusif
dengan penggunaan kristaloid atau koloid sintetik sebenarnya, pasti akan
menyebabkan dilusi faktor pembekuan dan hemoglobin pasien sendiri yang
akhirnya menyebabkan terjadi koagulopati. Aktivasi pengenceran koagulasi akan
menyebabkan konsumsi faktor pembekuan, terutama faktor V dan fibrinogen,
yang mengarah ke koagulopati konsumtif. Hipotermia dan asidosis merusak
kemampuan fungsional trombosit dan faktor pembekuan, terutama jika pH <7,1
dan suhu 338°C. Efek ini secara kolektif disebut trauma yang menginduksi
koagulopati (TIC) dan dapat terjadi selama resusitasi.
Pada tahun 2003, Brohi dkk menemukan bahwa 24% dari pasien trauma di
Inggris mengalami koagulopati ketika tiba di unit gawat darurat (UGD) dan
insiden koagulopati meningkat seiring dengan keparahan cedera yang
menyebabkan juga meningkatnya volume cairan resusitasi yang diberikan. Pasien
yang tiba dengan kondisi koagulopati mengalami peningkatan kematian
dibandingkan dengan pasien non koagulopati. Koagulopati ini disebut koagulopati
trauma akut (KTA) dan mekanisme lain dari koagulopati yang masih dalam
payung KTA.
2
Mekanisme KTA belum terbukti namun tampaknya hal ini berhubungan
dengan hipoperfusi jaringan, menyebabkan up-regulasi endotelium pembuluh
darah dan perubahan pada jalur koagulasi.Hal ini bertepatan dengan aktivasi
koagulasi secara menyeluruh dengan konsumsi masif faktor pembekuan, faktor V
dan fibrinogen, aktivasi jalur protein C, dan peningkatan fibrinolisis.
Respon Inflamasi pada Perdarahan
Hipoperfusi jaringan menginduksi karakteristik respon inflamasi yaitu
cedera iskemik dan reperfusi.Berbagai mediator inflamasi, sitokin, dan oksidan
dilepaskan dan dapat menyebabkan kerusakan organ sekunder terkait dengan
kegagalan organ ganda dan kematian.Sindroma respon inflamasi sistemik (SIRS)
memicu respon anti inflamasi kompensasi simultan (CARS), yang menyebabkan
reprioritas fungsi selular dan penekanan imunitas adaptif yang disebut genomic
storm.Luas dan durasi CARS dan SIRS terkait dengan tingkat dan durasi
inflamasi awal. Pasien yang mengalami pemulihan ekspresi genom pada 2 – 3 hari
akan mengalami pemulihan yang normal, sedangkan yang tidak, akan mengalami
pemulihan yang lambat.
Beberapa model eksperimental telah melihat penelitian yang lalu dan
respon mediator inflamasi setelah resusitasi, dan telah menyarankan bahwa
meningkatnya oksigenasi jaringan mungkin memiliki efek menguntungkan pada
respon inflamasi dan jalur koagulasi. Hal ini didukung oleh beberapa bukti klinis
bahwa resusitasi dengan menggunakan transfusi darah dibandingkan dengan
kristaloid akan mengurangi respon SIRS setelah kejadian trauma dan dapat
menjaga integritas endotel.
Dengan demikian, KTA berimplikasi pada respon inflamasi yang
diinduksi oleh endotel hipoksia sebagai pendorong terjadinya koagulopati dan
kejadian SIRS setelah trauma. Hal ini masuk akal untuk mengasumsikan bahwa
pemulihan cepat jaringan hipoksia dan aliran darah ke mikrosirkulasi akan
menyebabkan penurunan kejadian SIRS, SARS, dan berpotensi meningkatkan
kelangsungan hidup.
3
Bagaimana seharusnya caramelakukan resusitasi setelah terjadi syok
hemoragik?
Damage Control Resucitation
Damage Control Resucitation (DCR) merupakan filosofi tim bedah,
berkonsentrasi hanya pada pemulihan fisiologi pasien. Hal ini hanya dapat dicapai
dengan resusitasi yang baik sebelum pasien mencapai rumah sakit dan koordinasi
tim bedah untuk menghentikan perdarahan, resusitasi mikrosirkulasi dan mitigasi
terhadap KTA.
DCR menggabungkan konsep resusitasi hemostatik (SDM) di mana whole
blood secara efektif ditransfusikan ke pasien. Hal ini secara efektif menyebabkan
rasio plasma beku (FFP): 1 sel darah merah (PRBC) sesuai protokol atau
trombosit yang ditargetkan dan kriopresipitat. Bukti ini terbatas pada studi militer
dan sipil retrospektif. Kebijakan perdarahan masif Pertahanan Medis Inggris (UK
DMS) mendukung penggunaan FFP dan PRBC dalam rasio 1: 1, bersama-sama
dengan pemberian komponen darah lainnya dan Asam traneksamat (TXA).
Prakteknya ditunjukkan pada Gambar 1.
Komplikasi Transfusi
Transfusi darah pasca trauma berhubungan dengan efek samping termasuk
peningkatan mortalitas, infeksi pasca operasi, MOF, dan sepsis. FFP dan
trombosit terlibat dalam peningkatan sindroma gangguan pernapasan dewasa
meskipun pada pemberian awal justru sebaliknya. Hal tersebut sangat penting
untuk memastikan transfusi darah dalam jumlah yang tepat.
Terapi Berbasis Tujuan
Klinisi harus berpikir secepatnya mengenai transfusi setiap produk darah
selama resusitasi karena administrasi produk darah dikaitkan dengan peningkatan
morbiditas dan rasio protokol resusitasi yang masih belum jelas.Waktu pergantian
protokol menjadi terapi target bergantung pada keadaan klinis, jumlah personil
yang berpengalaman, dan informasi yang tersedia untuk klinisi.
4
Tes pembekuan harus dilakukan untuk memantau terapi.Namun tes
laboratorium biasa memakan waktu terlalu lama.Perhitungan jumlah trombosit
cepat dikerjakan selama sistem laboratorium di rumah sakit tertentu telah
menetapkan untuk melakukan analisa segera. Tes analisis gas darah memberikan
hasil yang cepat dan informasi mengenai defisit dasar dan hemoglobin tetapi tidak
memberikan informasi mengenai status koagulasi.
Penggunaan tromboelastometri (TEG atau ROTEM) telah meningkat
selama operasi dan kejadian trauma. Hal ini memberikan interpretasi dinamis
mengenai pembekuan whole blood dan memantau inisiasi pembekuan, fibrinolisis,
dan kontribusi relatif fibrinogen fungsional dan trombosit. Namun penggunaannya
pada pasien trauma belum divalidasi dan manfaatnya mendukung transfusi dan
mendeteksi fibrinolisis pada pasien trauma masih belum bisa dijelaskan secara
rinci. Pandangan ini tidak disetujui di beberapa Negara Eropa, dimana ROTEM
digunakan untuk terapi target koagulasi dengan fibrinogen dan sel darah
konsentrat yang dikemas telah menyebabkan penurunan penggunaan produk darah
tanpa angka kematian yang dilaporkan. Schoch dkk menemukan bahwa
penggunaan ROTEM sebagai panduan terapi dengan fibrinogen konsentrat
sebagai lini pertama terapi hemostatik selain penggunaan protrombin kompleks
konsentrat, tingkat kelangsungan hidup pasien diamati (14% vs 27,8%). Jika
klinisi efektif mengobati TIC, maka pengawasan status koagulasi harus
dilakukan.Dengan tidak adanya tes POC, maka mekanisme yang mempercepat
pengujian dan penyebaran tes laboratorium harus terjadi, terutama di pusat-pusat
trauma.
Praktikalitas Transfusi
Memastikan transfusi darah yang aman pada situasi stress trauma
merupakan hal yang sulit. Pasien yang tepat harus mendapatkan produk darah
yang juga tepat.Kebijakan lokal mengenai teknik transfusi yang lebih baik harus
ditaati. Setengah dari efek samping yang dilaporkan pada tahun 2011 di database
Inggris untuk melacak terkait insiden transfusi darah, bahwa bahaya serius
transfusi adalah karena kesalahan manusia.
5
Di rumah sakit Camp Bastion, Afghanistan, terdapat dua anggota tim
trauma yang dialokasikan untuk menyiapkan transfusi pada pusat trauma. Mereka
khusus bertanggungjawab menyiapkan transfusi selama operasi yang
membutuhkan resusitasi. Hal ini mungkin tidak praktis jika dibandingkan dengan
rumah sakit NHS (National Health Service) dimana staf medis lebih sedikit;
Namun keuntungannya, anggota tim yang menyediakan transfusi
bertanggungjawab dalam memeriksa, mengelola, dan mencatat semua produk
yang ditransfusikan berdasarkan instruksi dokter untuk meminimalisir kesalahan
yang terjadi, mereka tidak diganggu dengan tugas-tugas lainnya karena satu-
satunya pekerjaan mereka adalah memberi transfusi pada pasien. Karena mereka
tahu persis apa yang ditransfusikan, maka mereka bisa menggunakan daftar ceklist
mereka untuk meminta dokter untuk melakukan tes darah, meresepkan trombosit
dan kriopresipitat, dan memantau protokol transfusi.
Cairan diberikan dalam 250 ml bolus setelah diarahkan oleh ahli anestesi
dan diberikan melalui perangkat infus. Ahli anestesi akan mengarahkan perawat
seperti apa produk darah yang diberikan, berdasarkan hasil laboratorium dan
ROTEM, dan mengatur parameter lain (contohnya tekanan darah sistolik) dimana
perawat akan meminta instruksi lebih lanjut. Perawat juga dapat meminta dokter
anestesi untuk menyediakan produk darah apabila produk yang tersedia hampir
habis.
Penatalaksanaan Sistemik
Administrasi darah yang disimpan dalam jumlah besar dan
diadministrasikan dalam waktu singkat akan menyebabkan gangguan metabolik
serius, yang paling signifikan ialah hiperkalemia dan hipokalemia. Hiperkalemia
harus dimonitor menggunakan ABG dan diobati dengan insulin dan
dekstrosa.Hipokalsemia terjadi akibat pemecahan kalsium oleh sitrat pada darah
yang disimpan. Kadar kalsium harus dipertahankan di atas 1,0 mmol liter dengan
mengadministrasikan kalsium secara intravena menggunakan kalsium klorida
10% atau kalsium glukonat. Pada tahap awal resusitasi, dibutuhkan pemantauan
kadar potassium dan kalsium sesering mungkin setiap 15 menit tergantung pada
6
tingkat administrasi darah yang diberikan. Buffer harus dihindari sebisa mungkin
karena ia dapat menutupi defisit basa atau laktat sebagai indikator resusitasi yang
adekuat.
Penggunaan asam traneksamat telah meningkat selama bebeapa tahun
terakhir menyusul digunakannya trial CRASH-2.Ini adalah salah satu dari
pembuktian trial pada trauma dan randomisasi pada lebih dari 20.000
pasien.CRASH-2 melaporkan penurunan angka kematian secara menyeluruh,
terutama jika asam traneksamat diberikan lebih awal. Catatan follow up
menunjukkan terjadi peningkatan kematian jika asam traneksamat diberikan
setelah tiga jam setelah terjadinya cedera. Data militer pada trial 10 MATTERS
mendukung penggunaan asam traneksamat untuk menurunkan angka kematian,
terutama setelah 24 jam.Alasan mengapa efek asam traneksamat lambat terjadi
masih belum jelas, namun beberapa spekulasi memperkirakan bahwa asam
traneksamat bukan hanya bekerja pada stadium perdarahan akut atau fibrinolitik,
tetapi juga memiliki efek antiinflamasi yang mengimbangi efek plasmin pada
endotelium dan sel darah putih. Perlu dicatat bahwa asam traneksamat jarang
digunakan di Amerika Utara karena skeptisisme atas uji coba yang dilakukan di
luar Amerika Utara dan kekhawatiran akan efek prothrombinnya. Selanjutnya
analisis CRASH-2 menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan kejadian
thrombosis, dan faktanya mungkin telah terjadi penurunan kejadian thrombosis
arteri.Dalam pandangan penulis, asam traneksamat seharusnya diberikan pada
pasien trauma perdarahan berdasarkan pedoman CRASH-2. Hal ini akan dibahas
secara mendalam di artikel lain yang akan diterbitkan di kemudian hari.
Penggunaan rekombinan faktor VII (rFVIIa) masih kontroversial karena
terdapat risiko thrombosis dan tidak dianjurkan digunakan pada pasien
trauma.Sebuah penelitian kontrol randomisasi trial meneliti khasian dari rFVIIa
dan menemukan bahwa pengobatan dengan rFVIIa pada trauma tumpul
menyebabkan penurunan kebutuhan transfusi dalam jumlah besar pada pasien
yang bertahan selama lebih dari 48 jam, dan mengurangi angka kejadian ARDS.
Namun review dari Cochrane baru-baru ini menyimpulkan bahwa penggunaan
rFVIIa sebagai obat hemostatik masih belum terbukti. rVIIa bekerja
meningkatkan pembentukan thrombin dari platelet yang teraktivasi, namun
7
dengan tekanan darah, tampaknya terdapat faktor pembekuan darah yang beredar
dalam darah dan pembentukan thrombin cukup sufisien. Penggunaan rVIIa tidak
dianjurkan jika sistem transfusi di rumah sakit telah berjalan dengan baik.
Strategi Penatalaksanaan
Manajemen Pra Rumah Sakit
Manajemen pra rumah sakit pada pasien perdarahan seharusnya
berkonsentrasi untuk menghentikan perdarahan dan evakuasi cepat ke rumah sakit
trauma dimana penatalaksaan definitive dapat dilakukan.Pada situasi terbatas,
penyedia harus mengikuti rekomendasi ATLS secara berurutan (ABC):
manajemen jalan napas (airway), pernapasan (breathing), sirkulasi (circulation);
namun militant dan organisasi pre rumah sakit lainnya hanya mengadopsi C.
Pendekatan ABC dimana bencana perdarahan menjadi prioritas disbanding
manajemen jalan napas. Pertama, responden harus mengompresi segera dan
melakukan elevasi luka eksternal untuk mengurangi volume yang hilang.
Berbagai agen hemostatik topikalyang tersedia termasuk agen mukoadhesif
seperti Chitosan (Celox), dan faktor konsentrat seperti zeolite (QuikClot) yang
dapat diberikan sebagai perban siap pakai, kasa, swab, atau butiran, Hal ini dapat
berguna untuk perdarahan pada lipatan paha atau ketiak. Torniket digunakan pada
perdarahan ekstremitas yang tidak terkendali.Imobilisasi awal patah tulang
panjang dan splint panggul juga dapat mengurangi kehilangan darah.Asam
traneksamat harus diberikan jika perdarahan tidak berhenti.Beberapa layanan pra
rumah sakit saat ini dapat memulai resusitasi darah sebelum pasien tiba di rumah
sakit, termasuk Tim Medis Darurat (MERT) di Afganistan dan Layanan
Helikopter Darurat London (HEMS), tapi layanan tersebut tidak tersebar di semua
layanan pra rumah sakit.
Tekanan darah arteri sebagai penanda aliran darah bukanlah suatu titik
penting setelah terjadi trauma karena tonus simpatis dan efek kompensasi yang
terjadi setelah kehilangan volume cairan.Namun dalam lingkungan layanan pra
rumah sakit, hal tersebut masih berguna untuk melakukan resusitasi hingga denyut
radial teraba, sehingga membatasi kenaikan pada tekanan darah arteri dan
menyebabkan perdarahan yang lebih lanjut dan meminimalkan potensi
8
hipoperfusi berkepanjangan dan hipoperfusi ireversibel pada organ vital. Selama
fase pra rumah sakit yang panjang (lebih dari satu jam), militer Inggris telah
mengadopsi konsep baru yaitu resusitasi hybrid dimana tekan darah akan normal
setelah 60 menit menggunakan cairan apapun yang tersedia (biasanya kristaloid)
untuk membatasi hipoperfusi yang sedang terjadi.
Manajemen Dalam Rumah Sakit
Manajemen dalam Rumah Sakit harus merupakan kelanjutan yang baik
dari manajemen pra rumah sakit. C, pada pradigma ABC harus diikuti dengan
aktivitas bersamaan oleh tim terlatih. Torniket dan perban kompresi harus
diperiksa, jika memungkinkan, dan diberikan pertimbangan untuk diganti dengan
torniket pneumatik. Bukti syok atau perdarahan yang tidak bisa dikompresi harus
dipicu dengan tanggapan langsung bedah atau radiologi intervensi dengan dan
tanpa CT Scan dalam perjalanan ke ruang operasi. Responden yang mendapat
terapi cairan harus diobati dengan segera dioperasi dan transfer cepat harus
dilakukan tanpa perlu pemantauan invasif atau sebelum survei sekunder selesai.
Administrasi darah harus dipandu dengan hasil tes hematologik.Namun
selama situasi pasien mengalami sakit yang parah, administrasi produk darah
harus diikuti dengan mengikuti MHP (Major Haemorrhage Protocol) yang belum
ditentukan.Adalah sangat penting untuk menargetkan terapi sesegera mungkin dan
menentukan MHP awal untuk membatasi transfusi produk darah yang tidak jelas.
Tekanan darah arteri sebagai target harus terus diperhatikan karena bisa
saja terjadi hipovolemia dengan tekanan darah arteri yang normal ketika terjadi
mekanisme kompensatorik. Hal ini terutama berlaku pada pasien yang lebih
muda. Marker hipoperfusi seperti defisit basa atau laktat seharusnya menjadi
pemandu terapi; namun ia memiliki keterbatasan. Dengan tidak adanya cedera
kepala, vasopressor seharusnya digunakan dengan hati-hati pada pasien trauma
karena meningkatkan tonus vasomotor yang akan menyebabkan eksaserbasi
berkelanjutan dengan hipoksia endotel di mikrosirkulasi. Ada beberapa bukti
bahwa penggunaan vasopressor pada pasien trauma mengarah ke hasil
buruk.Adanya cedera kepala mempersulit gambaran ini dan pemeliharaan tekanan
9
perfusi serebral harus diprioritaskan dibanding menghindari penggunaan
vasopressor.
Militer baru-baru ini memperkenalkan adaptasi WHO yang terdiri dari
komando Huddle (dilakukan di UGD), Snap Brief, dan laporan situasi tim
manajemen pasien trauma yang terkoordinasi. Selama komando Huddle,
keputusan dibuat untuk operasi pengendalian kerusakan langsung, kontrol
perdarahan, pencitraan, atau manajemen lingkungan. Saat di ruang operasi, Snap
Brief dilakukan untuk mengkomunikasikan rencana bedah, produk darah yang
diadministrasikan termasuk tingkatannya, dan adanya koagulopati. Dalam interval
10 menit, perbaruan dikomunikasikan, produk darah diberikan, infus, status
pembekuan darah dan suhu dengan ROTEM, dan hasil tes gas darah dan
kemajuan bedah.
Kesimpulan
Resusitasi setelah terjadi syok hemoragik harus menghadapi efek samping
akibat trauma yang terjadi, efek samping bedah, dan efek samping
pengobatan.Merupakan tanggung jawab klinisi untuk memberikan terapi secepat
mungkin untuk menghindari kerusakan akibat iatrogenik. Terapi harus ditargetkan
untuk meresusitasi mikrosirkulasi untuk mengurangi respon inflamasi ketika pada
waktu yang bersamaan harus menghindari triad: hipotermia, koagulopati dan
asidosis. Penggunaan yang berlebihan pada produk darah justru bermanfaat, tetapi
cara yang tepat dalam penggunaannya harus berfokus dengan banyak penelitian
dan diskusi. Kebijakan lokal yang dilakukan oleh tim yang terlatih memiliki
dampak keberhasilan resusitasi dibandingkan mengkhawatirkan rasio yang benar.
10