wicara pura dalem kemoning 2.1 tinjauan tentang … ii.pdf · 41 bab ii tinjauan tentang majelis...

31
41 BAB II TINJAUAN TENTANG MAJELIS UTAMA DESA PAKRAMAN DAN WICARA PURA DALEM KEMONING 2.1 Tinjauan Tentang Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Majelis Desa Pakraman (MDP), adalah satu-satunya organisasi Desa Pakraman di Bali. Organisasi ini beranggotakan seluruh Desa Pakraman di Bali, yang per mei 2011 berjumlah 1.482 Desa Pakraman. 1 MDP terbentuk dengan dasar hukum Perda Provinsi Bali Nomor 03 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, yang diubah dengan Perda Provinsi Bali Nomor 3/2003 tentang Desa Pakraman. MDP Bali terbentuk melalui Paruman Agung yang dilaksanakan di wantilan Pura Samuan Tiga, Bedulu, Gianyar, pada Sukra Wage, Krulut, 27 Februari 2004. Tapi sebelum Paruman Agung dilaksanakan, beberapa kali telah digelar temu wirasa yang melibatkan MDP kabupaten dan kecamatan, tokoh-tokoh masyarakat, dan kalangan intelektual se-Bali. Patut diketahui bahwa Desa Pakraman dan Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali yang berjenjang di tingkat Majelis Alitan Desa Pakraman (MADP) di Kecamatan, Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) di Kabupaten/Kota, sampai Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) di tingkat Provinsi Bali adalah satu kesatuan sistem dalam satu tubuh sistem adat Bali sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001. Paruman dan/atau Pasamuhan Agung (setara dengan kongres) Majelis Desa Pakraman seluruh Bali. 1 Diunduh dari http://bali.antaranews.com/berita/11217/setahun-11-desa-adat- baru-di-bali , pada tanggal 25 Agustus 2014, pukul 11.00 wita.

Upload: nguyencong

Post on 10-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

41

BAB II

TINJAUAN TENTANG MAJELIS UTAMA DESA PAKRAMAN DAN

WICARA PURA DALEM KEMONING

2.1 Tinjauan Tentang Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP)

Majelis Desa Pakraman (MDP), adalah satu-satunya organisasi Desa

Pakraman di Bali. Organisasi ini beranggotakan seluruh Desa Pakraman di Bali,

yang per mei 2011 berjumlah 1.482 Desa Pakraman.1 MDP terbentuk dengan

dasar hukum Perda Provinsi Bali Nomor 03 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman,

yang diubah dengan Perda Provinsi Bali Nomor 3/2003 tentang Desa Pakraman.

MDP Bali terbentuk melalui Paruman Agung yang dilaksanakan di wantilan

Pura Samuan Tiga, Bedulu, Gianyar, pada Sukra Wage, Krulut, 27 Februari 2004.

Tapi sebelum Paruman Agung dilaksanakan, beberapa kali telah digelar temu

wirasa yang melibatkan MDP kabupaten dan kecamatan, tokoh-tokoh masyarakat,

dan kalangan intelektual se-Bali.

Patut diketahui bahwa Desa Pakraman dan Majelis Desa Pakraman (MDP)

Bali yang berjenjang di tingkat Majelis Alitan Desa Pakraman (MADP) di

Kecamatan, Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) di Kabupaten/Kota, sampai

Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) di tingkat Provinsi Bali adalah satu

kesatuan sistem dalam satu tubuh sistem adat Bali sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 14 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001. Paruman dan/atau

Pasamuhan Agung (setara dengan kongres) Majelis Desa Pakraman seluruh Bali.

1 Diunduh dari http://bali.antaranews.com/berita/11217/setahun-11-desa-adat-

baru-di-bali, pada tanggal 25 Agustus 2014, pukul 11.00 wita .

42

Paruman Agung inilah yang mengeluarkan Keputusan-Keputusan yang mengikat

seluruh Desa Pakraman di Bali dan segenap Majelis Desa Pakraman.

Pembentukan MDP memiliki visi dan misi yang dituangkan dalam Pasal

Visi MDP Bali adalah terwujudnya persatuan Krama Desa Pakraman yang

harmonis dan terjaganya adat dan sosial budaya Bali yang dilandasi agama Hindu.

Sedangkan misi dari MDP Bali adalah ;

1. Mewujudkan persatuan dan kesatuan Desa Pakraman

2. Menciptakan kasukertan di Bali

3. Mengayomi adat dan sosial budaya Bali

4. Meningkatkan mutu Krama Desa Pakraman

5. Melestarikan lingkungan dan tanah Bali

MUDP juga memiliki tugas dan wewenang yang diamanatkan dalam Pasal

16 Perda Nomor 3 Tahun 2001. Adapun Tugas dari Majelis Desa Pakraman

adalah :

1. Mengayomi adat istiadat

2. Memberikan saran, usul, dan pendapat kepada berbagai pihak baik

perorangan, kelompok/lembaga, maupun pemerintah tentang masalah-

masalah adat.

3. Melaksanakan setiap keputusan-keputusan paruman dengan aturan-

aturan yang ditetapkan

4. Membantu penyuratan awig-awig

5. Melaksanakan penyuluhan adat-istiadat secara menyeluruh

Sedangkan untuk Kewenangan Majelis Desa Pakraman adalah :

1. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah

adat dan agama untuk kepentingan Desa Pakraman

2. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat diselesaikan

pada tingkat desa.

3. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, di

kabupaten/kota dan provinsi.

43

2.2 Tinjauan Umum Tentang Wicara atau Perkara Adat

2.2.1 Pengertian, Tujuan, Asas dan Bentuk Akhir Penyelesaian Wicara

Wicara atau perkara adat adalah perkara yang muncul karena sengketa adat

atau pelanggaran norma hukum adat Bali, baik tertulis maupun tidak tertulis

(catur dresta) yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu, yang tidak termasuk

sengketa perdata dan/atau pelanggaran hukum menurut hukum negara.2 Adapun

yang dimaksud “perkara adat murni” dalam pengertian ini adalah perkara yang

muncul karena sengketa adat atau pelanggaran norma hukum adat Bali, baik

tertulis maupun tidak tertulis (catur dresta), yang dijiwai oleh nilai-nilai agama

Hindu, yang tidak termasuk sengketa perdata dan/atau pelanggaran hukum

menurut hukum negara. Perkara adat murni inilah dalam hukum adat Bali

dinamakan Wicara.3

Wicara tentunya muncul dari pelanggaran hukum adat. Mengenai istilah

“Hukum Adat” di Palangkaraya, hampir sama dengan istilah yang diberikan oleh

pemerintahan kolonial Belanda Adat Recht yang dikemukakan oleh Cornelis Van

Vollenhoven dalam bukunya Het Adat Recht van Nederlands-Indie, menyebutkan

bahwa hukum adat itu adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang dilain

pihak mempunyai sanksi.4 Menurut Ihromi, apa yang dinamakan hukum adat

2 Majelis Desa Pakraman, 2012, Purwaka Tata Cara Penyelesaian Wicara Oleh Majelis

Desa Pakraman (MDP) Bali Cet-I, Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, Denpasar

3 Ibid

4 Kamal Firdaus, 1980, Seraut Wajah Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, hal .

103.

44

dalam kenyataannya mempunyai eksistensi yang tidak dapat dipisahkan dari adat

pada umumnya.5

Penyelesaian perkara adat biasanya tercantum dalam awig-awig pada intern

Desa Pakraman. Pelanggaran terhadap norma-norma hukum adat secara teoritis

(tercantum dalam awig-awig) menurut kalangan para sarjana sering disebut

dengan delik adat. Sebagaimana yang disebutkan oleh B.Ter Haar, berikut :

Pada masyarakat-masyarakat hukum kecil rupa-rupanya yang dianggap

suatu pelanggaran (delik) ialah setiap gangguan segi satu (eenzijdig)

terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu barang-barang

kehidupan materiil dan inmateriil orang seorang atau daripada orang-orang

banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan), tindakan itu

menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh

hukum adat ialah reaksi adat (adatreactie), karena reaksi mana

keseimbangan dapat dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan

pembayaran pelanggaran berupa barang-barang dan uang).6

Wicara belum tentu dapat diselesaikan di dalam intern Desa Pakraman,

apalagi misalnya terkait dengan Desa Pakraman yang lain. Apabila Wicara tidak

dapat diselesaikan di tingkat Desa Pakraman oleh prajuru (pengurus) Desa

Pakraman bersangkutan maka penyelesaian Wicara tersebut selanjutnya

diserahkan kepada sang rumawos (pihak berwenang), sebelumnya sang rumawos

bisa saja Raja atau penguasa atau pihak yang berwenang termasuk kepala adat.

Menurut adat, kepala adat (kepala rakyat) bertugas memelihara hidup hukum di

5 Ihromi, 1981, Adat Perkawinan Toraja Saadan Tempatnya Dalam Hukum

Positif Masa Kini, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 158.

6 Terkutif dalam Anak Agung Istri Atu Dewi, 2008, Eksistensi Adat Kasepekang Ditinjau

Dari Perspetif Hak Asasi Manusia, Tesis, Universitas Udayana, Denpasar, hal. 124.

45

dalam persekutuan, menjaga supaya hukum itu dapat berjalan dengan selayaknya.7

Namun dalam penelitian peradilan melalui MUDP ini maka Sang rumawos yang

dimaksudkan itu adalah MDP Bali secara berjenjang yaitu MMDP dan MUDP,

sebagai wadah tunggal sekaligus “paying satu langit” Desa Pakraman se-Bali.

Dengan demikian, Keputusan Pasamuhan Agung I MDP Bali Tahun 2006

tersebut menjadi penegasan yang sangat penting dan strategis artinya dalam

tatanan sistem adat dan hukum adat Bali.

Dalam Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor :

002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis

Penyelesaian Wicara oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali dicantumkan

tujuan adanya penyelesaian Wicara. Adapun Tujuan Penyelesaian Wicara antara

lain :

1. Menciptakan kedamaian (kasukertan) bagi pihak yang berperkara

(mawicara) dan bagi masyarakat pada umumnya.

2. Menemukan kebenaran berdasarkan hukum adat Bali yang dijiwai oleh

nilai-nilai agama Hindu.

Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP

Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Penyelesaian

Wicara oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali juga mencantumkan asas

dalam penyelesaian Wicara. Terdapat asas penting yang dilakukan untuk

penyelesaian Wicara. Penyelesaian Wicara patut senantiasa memperhatikan dan

mempertimbangkan tiga asas :

7 R. Soepomo, (a), 2007, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita,

Jakarta, Cetakan Ketujuhbelas, hal. 66.

46

(1) Kalasyaan, yaitu diterima secara tulus ikhlas oleh pihak yang

mawicara.

(2) Kasujatian, yaitu kondisi objektif yang dihadapi oleh masyarakat.

(3) Kapatutan, yaitu kebaikan berdasarkan hukum adat Bali dan awig-awig

Desa Pakraman baik tertulis maupun tidak tertulis (catur dresta) yang

sesuai dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai agama Hindu.

Setelah proses penyelesaian Wicara dilaksanakan, akan ditemukan bentuk

akhir dari penyelesaian Wicara. Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali

Nomor : 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan

Petunjuk Teknis Penyelesaian Wicara oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali

menyebutkan Bentuk Akhir Penyelesaian Wicara, yaitu :

1. Bentuk penyelesaian Wicara secara kekeluargaan berupa kesepakatan

bersama yang dituangkan dalam surat pernyataan yang ditanda tangani

oleh para pihak yang mawicara dan diketahui oleh Bandesa MDP sesuai

jenjang.

2. Bentuk penyelesaian dengan menggunakan pihak ketiga sebagai

perantara (mediator) berupa kesepakatan bersama yang dituangkan

dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh para pihak yang

mawicara, pihak ketiga yang menjadi perantara (mediator) dan diketahui

oleh Bandesa MDP sesuai jenjang.

3. Bentuk penyelesaian Wicara dengan menggunakan MDP sebagai

perantara (mediator), berupa kesepakatan bersama yang dituangkan

dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh para pihak yang

mawicara dan Bandesa MDP sesuai jenjang.

4. Bentuk penyelesaian dengan cara diserahkan kepada MMDP berupa

Surat Keputusan Bandesa MMDP dan semua anggota Sabha Kerta

MMDP.

5. Bentuk penyelesaian dengan cara diserahkan kepada MUDP berupa

Surat Keputusan MUDP yang ditandatangani oleh Bandesa Agung dan

semua anggota Sabha Kerta MUDP.

Namun perdamaian yang dimaksud dalam penyelesaian perkara melalui

Majelis Desa Pakraman (MDP) Provinsi Bali, bukan perdamaian sebagaimana

yang dimaksud dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Atau yang biasa disebut

47

(Penyelesaian Sengketa Alternatif/Alternatif Dispute Resolution).8 Jadi dengan

adanya sebuah penyelesaian akhir maka berakhir pula Wicara yang terjadi bagi

para pencari keadilan melalui peradilan di MUDP Bali.

2.2.2 Kelembagaan dalam Penyelesaian Wicara

Kelembagaan dalam penyelesaian Wicara dalan MDP diatur dengan jelas

dalam Bahasan V Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor :

002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis

Penyelesaian Wicara oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali. Dalam

Penyelesaian Wicara, terdapat kelembagaan yang nantinya terlibat dalam

penyelesaian Wicara, Adapun kelembagaan dalam penyelesaian Wicara yaitu

Sabha Kerta Dan Panureksa. Kelembagaan inilah yang oleh Lawrence

M.Friedman dalam teorinya legal system disebut sebagai legal structure.9

a. Sabha Kerta

Sabha Kerta terdiri dari Sabha Kerta Majelis Madya Desa Pakraman

(MMDP) dan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP). Sabha Kerta MMDP

adalah perangkat MMDP yang berwenang memutuskan Wicara di Kabupaten.

Keanggotaan Sabha Kerta MMDP berjumlah ganjil terdiri dari unsur Bandesa

Madya, Panyarikan Madya MMDP, Panureksa (pemeriksa), ditambah dengan

para Bandesa Alit MADP se-Kabupaten/Kota. Dalam Sabha Kerta MMDP sangat

ditekankan bahwa Bandesa Madya atau Patajuh Bandesa Madya, Panyarikan

8 I Wayan Wiryawan & I Ketut Artadi, 2009, Penyelesaian Sengketa Di Luar

Pengadilan, Udayana University Press, Denpasar, hal. 26.

9 Teori Lewrence M Friedman mengenai legal system telah diuraikan dalam Bab I

tesis ini.

48

Madya atau Patajuh Panyarikan Madya, Panureksa, dan Bandesa MADP yang

berasal dari Desa Pakraman yang mawicara, tidak diizinkan menjadi anggota

Sabha Kerta dan keanggotaannya dapat digantikan oleh prajuru lainnya.

Sabha Kerta MUDP adalah perangkat MUDP yang berwenang memutuskan

Wicara di Tingkat Provinsi. Keanggotaan Sabha Kertha MUDP berjumlah ganjil

terdiri dari unsur Bandesa Agung, Panyarikan Agung MUDP, Panureksa

ditambah dengan para Bandesa Madya MMDP se-Provinsi Bali. Sama halnya

dengan penekanan ketentuan di Sabha Kerta MMDP, Bandesa Agung atau

Patajuh Bandesa Agung, Panyarikan Agung atau Patajuh Panyarikan Agung,

Panureksa, dan Bandesa MMDP yang berasal dari Desa Pakraman yang

mawicara, tidak diizinkan menjadi anggota Sabha Kerta dan keanggotaannya

dapat digantikan oleh prajuru lainnya.

Dalam penyelesaian Wicara, Sabha Kerta memiliki tugas dan wewenang.

Adapun Tugas dan Wewenang Sabha Kerta yaitu :

a) Tugas Sabha Kerta

(1) Mempelajari dengan seksama laporan tertulis yang disampaikan oleh

Panureksa.

(2) Menggali informasi, keterangan, dan fakta tambahan terkait dengan

Wicara yang ditangani.

(3) Menganalisa fakta objektif yang ditemukan oleh Panureksa,

berdasarkan hukum adat.

(4) Bali yang dapat dijadikan dasar penyelesaian Wicara.

(5) Merumuskan dan memutuskan penyelesaian Wicara yang ditangani.

b) Wewenang Sabha Kerta

(1) Sabha Kerta berwenang meminta penjelasan dari panureksa serta

informasi, keterangan, dan fakta tambahan pihak-pihak yang

mawicara. Apabila diperlukan.

(2) Sabha Kerta dapat menggali, menemukan, dan mengumpulkan

sendiri fakta-fakta tambahan dengan memanggil pihak-pihak yang

49

mawicara ke dalam pasukertan (persidangan) dan/atau Panureksan

(pemeriksaan) setempat.

(3) Sabha Kerta berwenang meminta keterangan ahli dalam bidang

tertentu yang terkait dengan substansi Wicara yang diselesaikan.

(4) Sabha Kerta berwenang merumuskan penyelesaian Wicara yang

ditangani.

(5) Sabha Kerta berwenang mengumumkan keputusan penyelesaian

Wicara yang telah ditangani.

Sabha kerta dalam penyelesaian Wicara, memiliki mekanisme persidangan

khusus guna yang disebut dengan Pasukertan. Keputusan Majelis Utama Desa

Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Wicara oleh Majelis Desa

Pakraman (MDP) Bali menentukan Pasukertan Sabha Kerta MMDP

dilaksanakan di Sekretariat MMDP atau di tempat yang ditentukan MMDP yang

dihadiri oleh anggota Sabha Kerta dipimpin oleh unsur Bandesa Madya dan unsur

Panyarikan Madya MMDP. Pasukertan dapat dilaksanakan apabila dihadiri oleh

2/3 (dua pertiga) jumlah anggota Sabha Kerta. Apabila kehadiran anggota tidak

mencapai kuorum, pasukertan ditunda paling lama tujuh hari. Pasukertan

berikutnya dapat dilangsungkan dengan dihadiri sedikitnya ½ (setengah) jumlah

anggota ditambah seorang anggota. Keputusan Sabha Kerta diambil berdasarkan

gilik saguluk paras-paros (musyawarah untuk mencapai mufakat). Apabila gilik

saguluk tidak tercapai, maka keputusan dapat diambil dengan suara terbanyak.

Pasukertan Sabha Kerta MUDP dilaksanakan di sekretariat MUDP atau

tempat yang ditentukan oleh MUDP yang dihadiri oleh anggota Sabha Kerta

MUDP dipimpin oleh unsur Panyarikan Agung MUDP. Pasukertan dapat

dilaksanakan apabila dihadiri oleh 2/3 (dua pertiga) jumlah anggota Sabha Kerta.

50

Apabila kehadiran anggota tidak mencapai kuorum, kerta (sidang) ditunda paling

lama tujuh hari. Kerta berikutnya dapat dilangsungkan dengan dihadiri sedikitnya

½ (setengah) jumlah anggota ditambah seorang anggota. Keputusan Sabha Kerta

diambil berdasarkan gilik saguluk paras-paros Apabila gilik saguluk tidak

tercapai, maka keputusan dapat diambil dengan suara terbanyak.

Sabha Kerta bersifat sebagai hakim karena memutus sebuah Wicara.

Seorang hakim memiliki tugas pokok untuk mengadili menurut hukum

setiap perkara yang diajukan kepadanya dengan seadil -adilnya, dengan

tidak membeda-bedakan orang berdasarkan suku, agama, ras, dan

golongan, jabatan dan kekayaan.10

Hakim Perdamaian Adat ini tetap diakui

oleh pemerintah nasional Republik Indonesia dalam Undang-undang

Darurat No.1 Tahun 1951.11

b. Panureksa

Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP

Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Penyelesaian

Wicara oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali mengatur juga Panureksa

dalam penyelesaian Wicara terdiri dari Panureksa MMDP dan MUDP. Dalam

menyelesaikan Wicara, Sabha Kerta MMDP dibantu oleh Panureksa yang

dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bandesa Madya yang Keanggotaan

Panureksa berjumlah ganjil dipimpin oleh seorang Manggala (Ketua) dan seorang

10

K. Wantjik Saleh, 1977, Kehakiman dan peradilan, Ghalia Indonesia, hal 39.

11

R.Soepomo, (a), op.cit, hal. 70.

51

Panyarikan (Sekretaris). Prajuru MMDP yang berasal dari Desa Pakraman yang

mawicara tidak dapat menjadi panureksa.

Sabha Kerta MUDP dibantu oleh Panureksa yang dibentuk berdasarkan

Surat Keputusan Bandesa Agung. Keanggotaan Panureksa berjumlah ganjil

dipimpin oleh seorang Manggala (Ketua) dan seorang Panyarikan (Sekretaris)

dan Prajuru MUDP yang berasal dari Desa Pakraman yang mawicara tidak dapat

menjadi Panureksa.

Panureksa memiliki tugas dan wewenang yang melekat. Adapun Tugas dan

Wewenang Panureksa tersebut adalah :

a. Tugas Panureksa

(1) Memeriksa kelengkapan administrasi Wicara yang diajukan pihak

yang mawicara.

(2) Meneliti rangkaian peristiwa yang terjadi berdasarkan informasi

dalam berkas Wicara yang diajukan dan mengklasifikasikan Wicara

yang terjadi dalam kelompok Wicara adat murni, bukan perkara adat

atau campuran keduanya.

(3) Memastikan kepada pihak-pihak yang mawicara mengenai cara

penyelesaian Wicara yang dipilih dan menjelaskan konsekuensi

yang menyertainya.

(4) Mengumpulkan fakta-fakta berkaitan dengan Wicara yang sedang

ditangani oleh MDP, baik berdasarkan keterangan para pihak yang

mawicara atau saksi (pihak lain yang diperlukan keterangannya),

ilikita (bukti tertulis), maupun bukti (fakta objektif di lapangan).

(5) Menggali, menemukan, dan menginventaris alternatif penyelesaian

Wicara yang dihadapi menurut masing-masing pihak yang

mawicara.

(6) Menggali, menemukan dan menginventaris hukum adat Bali yang

dapat dijadikan dasar penyelesaian Wicara, baik hukum adat Bali

yang dapat dijadikan dasar penyelesaian Wicara.

(7) Menganalisa fakta-fakta yang berkaitan dengan Wicara berdasarkan

hukum adat Bali yang dapat dijadikan dasar penyelesaian Wicara,

baik hukum adat Bali yang tertulis maupun tidak tertulis (catur

dresta) yang tidak bertentangan dengan hukum nasional dan nilai-

nilai agama Hindu.

(8) Merumuskan dan melaporkan secara tertulis rekomendasi berupa

alternatif penyelesaian Wicara yang dimaksud kepada Sabha Kerta.

52

b. Wewenang Panureksa

(1) Memanggil dan meminta keterangan para pihak yang mawicara atau

saksi-saksi (pihak lain yang diperlukan keterangannya) dalam rangka

pengumpulan bukti (fakta-fakta) sehubungan dengan Wicara yang

sedang ditangani oleh Sabha Kerta.

(2) Meminta kelengkapan administrasi Wicara yang diajukan.

(3) Meminta para pihak yang mawicara untuk menghadirkan saksi

untuk dimintai keterangan.

(4) Meminta keterangan ahli di bidang tertentu terkait dengan Wicara

yang ditangani.

(5) Menyelenggarakan Panureksan dalam rangka pelaksanaan tugas-

tugasnya.

(6) Melakukan Panureksan setempat di tempat kejadian Wicara, apabila

dipandang perlu untuk pengumpulan bukti (fakta-fakta).

Panureksa dalam melaksanakan pemeriksaan, memiliki mekanisme

tersendiri yang dilakukan guna mencapai putusan yang adil. Panureksan

dilaksanakan di Sekretariat MDP sesuai jenjang atau di tempat yang ditentukan

oleh Panureksa. Dalam Panureksan, pihak yang mawicara atau saksi (pihak lain

yang diperlukan keterangannya) dapat dipanggil secara patut untuk hadir ke dalam

Panureksan. Apabila dalam tiga kali pemanggilan pihak-pihak yang mawicara

tidak hadir, maka pada panggilan ketiga Panureksa dapat melanjutkan

Panureksan berdasarkan bahan-bahan yang telah ada tanpa kehadiran pihak-pihak

yang mawicara.

53

2.3 Profil Desa Adat Kemoning Dalam Wicara Pura Dalem Kemoning

a. Profil Desa Adat Kemoning

Desa Adat Kemoning merupakan Desa Tua sudah ada sebelum/sekitar abad

10 sesuai peninggalan sejarah yang ada berupa Pura Hyang Api yang merupakan

sentral sebelum adanya Pura Kahyangan Tiga, Arca di Pura Petinggan, dan Pura

Puseh abad 13-14 serta Pusat Kerajaan Gelgel (Ida Dalem Gelgel) berkisar tahun

1383-1650.

Menjelang pindahnya kerajaan Gelgel ke Semarapura sekitar abad 16-17

dikisahkan beberapa pemuka desa/mekel agar membuka hutan untuk dijadikan

lahan pemukiman dan pertanian. Dalam perkembangannya menjadi hunian dan

akhirnya menjai sebuah Desa yang dinamakan Desa Kemoning yang lengkap

dengan tata ruang seperti Parahyangan, Pawongan dan Palemahan yang hidup

dalam suasana kebersamaan, tentram, aman, damai dan penuh dengan kehidupan

religious.

Desa Kemoning pernah mendapat Piagam dari Raja Gelgel/Semarapura

berupa lembaran perak (diperkirakan pada abad 16-17) Yang isinya BERBUNYI :

54

……….ne ring sadesa-desane yogya amarewanca ungguhe muang yogya

mangandika ya, ngerawose, mangkana panugrahane ring i mekel

kamoning, rehe buat ya ngayahe ring ida dalem tindihe ring

sepangandikane sareng ne padha adesa ring kamoning.

ngatitha mimitane nora ta kni pepanjingan muang papejahan, muang

tatuwiyan paicane ring i mekel kamoning antuk ida dalem, pepek

kaunggahang ring panugrahane, apan nora dadi daging kapunggel,

salungsure ring samara ungguha.

………..mangkana, kadi amalik ya tika tingkahe pada nganugraha, apang

memagehang paicane, rehe buat pengayahe, makadi ne ring i mekel

kamoning, kasapedangin antuk ragane ring kamoning tingkahe kaicen

padha laluputan muang dadautan papanjingan muang papejahan apang

makra mane kaota man, reh buat subaktine ngaula ring ida dalem, sama

mungguh ring paicane ne kegaduh olih i mekel kamoning apang kawruh

olih saterehe apang kadi ne ring nguni-nguni.

Desa Adat Kemoning juga sudah memiliki Awig-awig. Awig-awig Desa

Adat Kemoning mengatur tentang Pura Dalem, Pura Prajapati dan Setra Desa

Adat Kemuning, lengkap dengan Monografi.

55

DENAH DESA ADAT KEMUNING

b. Profil Pura Dalem Kemoning

Pura Dalem diempon 4 Tempek yaitu Tempek Kauh (Desa Budaga), Tempek

Kaja dan Tempek Kelod (Desa Adat Kemoning di tambah Br. Bajing), Tempek

Kangin (Br. Ayung, Br. Galiran, Br. Gunung Hiyang dan anak-anaking Br.

Bergan).

Gaya bangunan (bentuk arsitektur) Kori Agung Pura Kahyangan Tiga yang

dibangun sekitar abad 18-19 mempunyai kesamaan (satu type) khususnya murda

(pucak bangunan). Tata letak Pura Dalem Desa Adat Kemoning, sesuai ketentuan

yang ada (sastra) Pura Dalem adalah letaknya Kauh (Barat) dari Desa Adat

Kemoning. Jika dicermati dari Pura Puseh dan Pura Desa/Bale Agung ke barat ada

56

pertigaan (Jaba Pura Uluatu), lanjut ke barat ada Catus Pata (RSU Klungkung),

terus ke barat ada Marga Tiga. Sebelum Pura Prajapati ada kali kecil dulunya

mengairi sawah Bubun (sekarang RSU) dan Parang Bujuh dan Bantang Metiem

sebelah kanan jalan. Setelah Pura Prajapati ada Setra (Setra Gede) sisi selatan

jalan menuju Pura Dalem Desa Adat Kemoning dan Setra Prasanghyang sisi

utara jalan (setra khusus warga tertentu), setelah setra ini sebelah kanan jalan ada

pelinggih: Titi Gonggang, Pura Dalem Desa Adat Kemoning diapit oleh dua

sungai yakni sebelah timur Yeh Tanjung dan sebelah barat Kali Jinah. Lokasi Pura

Dalem Desa Adat Kemoning menjadi satu dengan carik (sawah) salah satu warga

Kemoning.

57

58

Penyimpenan Betara Pura Dalem Desa Adat Kemoning ada di rumah salah

satu warga Desa Kemoning dan Jero Mangku (Jan Banggul) juga dan keturunan

salah satu warga Desa Kemoning.

2.4 Gambaran Umum Sengketa Pura Dalem Desa Adat Kemoning

Pura Dalem Desa Adat Kemoning diempon oleh 4 (empat) Tempek yaitu

Tempek Kauh (Desa Budaga), Tempek Kaja dan Tempek Kelod (Desa Adat

Kemoning di tambah Banjar Bajing) serta Tempek Kangin (Banjar Ayung, Banjar

Galiran, Banjar Gunung Hiyang dan anak-anaking Banjar Bergan) yang selalu

melakukan secara bersama-sama dalam Upacara yang diadakan di Pura Dalem

Desa Adat Kemoning. Sebagaimana terlihat dalam Parindikan Melis/Melasti

Ring Kenjekan Tawur Agung Kesanga Sejroning Kewentenan Pura Dalem

Kemoning Tertanggal 11 Maret 1991.

Pura Dalem Kemoning sebenarnya sudah pernah mengalami permasalahan

terkait dengan pembuatan jalan di Tanah Setra Prasang Hyang Kemoning

sebagaimana terlihat dalam Surat Pemerintah Kabupaten Klungkung

59

Kecamatan Klungkung Nomor 005/454/Pem Kepada Kelihan Tempek

Kelod Pura Dalem Kemoning Perihal Undangan Acara Pembahasan Tanah

Setra Prasang Hyang Kemoning Dipimpin Langsung Oleh Bapak Bupati

Tertanggal 14 Agustus 2006, yang akhirnya terselesaikan dengan baik

sebagaimana terlihat dalam Surat Nomor 03/KPD/VII/06 Kepada Bapak

Camat Kecamatan Klungkung Perihal Jawaban Undangan Tertanggal 14

Agustus 2006 dan Surat Pernyataan Nomor 03/KPD/VIII/16 ari Prajuru

pangempon Pura Dalem Beserta Jro Mangku Pura Dale mesa Adat

Kemoning.

Berawal dari perdebatan tentang Aran/Nama Pura yang akan dipakai dalam

kelengkapan pada Upacara Karya Mamungkah, Tawur Balik Sumpah Agung,

Nubung Pedagingan lan Pedudusan Agung sebagai Puncak Karya pada hari Rabu

Umanis wuku Medangsia tanggal 27 Juli 2011. Rencana Upacara Karya

Mamungkah tersebut sebenarnya telah dibahas beberapa kali yang pada akhirnya

disetujui oleh Para Pangempon untuk melaksanakan Upacara sesuai arahan dari

Ida Pedanda Gde Putra Tembau Geria Aan Klungkung, dimana Ida Pedanda Gde

Putra Tembau Geria Aan Klungkung sebagai Yajamana Karya dan untuk

Padewasan serta Pelutuk juga dari Ida Pedanda Gde Putra Tembau Geria Aan

Klungkung, sedangkan Puncak Karya adalah pada hari Rabu Umanis wuku

Medangsia tanggal 27 Juni 2011. Sebagai tapini adalah Ida Pedanda Istri Patni

dari Geria Batu Tabih Klungkung.

Sebagai tindak lanjut Karya, Kelihan Gde Dalem telah membentuk Panitia

Karya tanggal 1 April 2011, dilanjutkan dengan memulai prasarana Karya. Dalam

60

perjalanan persiapan Upacara, Pengenter Upacara menyarankan dalam

pembuatan Purana diperlukan nama Pura, sedangkan Seksi Penggalian Dana

(warga Tempek Kauh) juga memerlukan Nama Pura sebagai Kop Surat. Dari

sinilah perdebatan terjadi, Sehubungan hal-hal tersebut maka timbul

ketidaksepakatan nama Pura yaitu dari Tempek Kaja dan Tempek Kelod tetap

memakai nama: Pura Dalem Desa Kemoning, sedangkan pihak Tempek Kangin

dan Tempek Kauh tidak menyetujui.

Desa Adat Kemoning sangat meyakini nama Pura Dalem tersebut adalah

Pura Dalem Desa Kemoning, yang dibuktikan dengan beberapa bukti, antara lain ;

a. Surat panggilan dari Kecamatan Klungkung tanggal 14 Agutus 2006;

b. Pernyataan bersama tentang Pura Dalem Desa Kemoning tanggal 15

Agustus 2006;

c. Aturan Punia dari pihak Swasta untuk pembangunan pura tanggal 19 ]uli

2011;

d. Surat dari Panitia Pembangunan Pura Dalem dan Pura Prajapati Desa

Kemoning tanggal 2 Oktober 2006;

e. Dukungan Realisasi Dana Bencana Alam dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten Klungkung tanggal 23 Januari 2009.

Oleh karena adanya ketidaksepakatan tersebut, diadakanlah paruman pada

tanggal 22 Mei 2011 yang bertempat di Pura Dalem dari Paruman tersebut

dihasilkan Keputusan Paruman pada hari Minggu tanggal 22 Mei 2011 bertempat

di Pura Dalem yang dihadiri oleh 4 Tempek dengan Agenda kelanjutan jalannya

Karya dan nama Pura Dalem, dengan hasil terjadi deadlock pada agenda nama

Pura. Disamping itu, Kelihan Gede Dalem, Kelihan Tempek Kaja, Kelihan

Tempek Kelod dan Panitia Karya mengundurkan diri dalam upacara tersebut.

Sehubungan dengan mundurnya Kelihan Gede Dalem, Kelihan Tempek Kaja,

Kelihan Tempek Kelod dan Panitia Karya, maka uang urunan Karya langsung

61

pada saat itu diserahkan kepada masing-masing Tempek. Kelihan Gede Dalem,

Kelihan Tempek Kaja, Kelihan Tempek Kelod pada tanggal yang sama pada

malam harinya menyerahterimakan tugas, wewenang dan tanggung jawab Pura

Dalem kepada Bandesa/Kelihan Adat Desa Kemoning selaku pemberi mandat

sebagai Kelihan Dalem.

Desa Adat Kemoning sendiri kemudian melakukan Paruman dan membuat

Keputusan Paruman Agung Desa Adat Kemoning Nomor: 01/IV/2011/Desa Adat

Kemoning Tentang Status Pura Dalem, Pura Prajapati, Setra Dan Aturan – Aturan

Yang Mengikat, Serta Pelaksanaan Upakara Dan Upacara Yadnya Di Pura

Tersebut Tertanggal 1 April 2011, yang intinya menyatakan :

1. Bahwa Pura Dalem Tersebut adalah Pura Dalem Desa Adat Kemoning

2. Bahwa Pura Prajapati Tersebut adalah Pura Prajapati Desa Adat

Kemoning

3. Bahwa Setra Gede dan Setra Sanghyang adalah Setra Desa Adat

Kemoning

4. Krama Desa Adat Kemoning (Tempek Kaja dan Tempek Kelod) sebagai

pemilik sah/Pangempon pokok Pura Dalem tersebut serta ikut diempon

Tempek Banjar Budaga, Tempek Banjar Galiran, Tempek Banjar Ayung,

Tempek Banjar Bajing, Tempek Banjar Gunung Hyang, dan beberapa

dari Tempek Banjar Mergan

5. Padewasaan mendem utawi atiwa-tiwa mengikuti desa kala Patra,

wariga dresta, sebagai berikut : Pasah, Purnama, Tilem, Kala

Gotongan, semut sedulur, kajeng kliwon serta rainan Ida Bathara

Dalem dan Prajapati tidak boleh melaksanakan upacara tersebut.

6. Jika ada Krama meninggal bisa mengubur (mekinsan) saat itu juga

kecuali pasha dilaksanakan sore hari, tidak menyuarakan kulkul

(sesiliban), tanpa upakara, tidak memakai gegumuk, selanjutnya upacara

lengkapnya dilaksanakan sesuai dengan padewasaan (panugrahan

sulinggih).

7. Kalau ada krama meninggal pada saat upacara wali di pura tersebut,

upacara menem, atiwa-tiwa dilaksanakan setelah selesai upacara wali.

8. Kelihan Gede Pura dalem dipilih oleh Krama Desa Adat Kemoning

9. Segala upakara dan upacara kecil maupun besar di Pura tersebut harus

seijin jro Mangku Pura Dalem dan Kelihan Gede Pura Dalem.

10. Klien Tempek dipilih oleh masing-masing Tempek.

62

Sejak saat itu Karya dilanjutkan oleh Desa Adat Kemoning dengan

membentuk Panitia, sesuai Padewasan dan Pelutuk sebelumnya, lalu memanggil

Tempek lainya untuk melaksanakan karya, sebagaimana terlihat dalam Surat

Kepada Mangku Nyoman Nama Budaga Perihal Undangan Karya Agung

Mamungkah Tawur Balik Sumpah Agung Ring Pura Dalem Kahyangan Tiga Lan

Prajapati Semarapura Tertanggal 29 Maret 2011.

Pada sisi lain Keputusan Paruman Agung Desa Adat Kemoning Nomor:

01/IV/2011/Desa Adat Kemoning tersebut, diberitahukan kepada seluruh pihak,

melalui Surat Desa Adat Kemoning Nomor 02/IV/2011 Desa Adat Kemoning

Perihal Keputusan Paruman Agung Desa Adat Kemoning Tertanggal 1 April

2011, namun ternyata mendapat penolakan dari Desa Pakraman Budaga

sebagaimana tercermin dalam Surat Desa Pakraman Budaga Nomor

02/DP/BDG/2011 Kepada Bandesa Adat Kemoning Perihal Hasil Paruman

Prajuru Desa Pakraman Budaga Dan Paruman Agung Krama Desa Pakraman

Budaga Tertanggal 10 April 2011, hal senada juga diungkapkan oleh Tempek

Kangin dari Desa Pakraman Semarapura sebagaimana Surat Desa Pakraman

Semarapura Tempek Kangin Nomor 01/DPS/TPK/IV/2011 Kepada Bandesa

Madia/Majelis Madia Perihal Hasil Paruman Agung Tempek Kangin Tertanggal

11 April 2011, yang intinya menolak keputusan Paruman Agung Desa Adat

Kemoning.

Adanya permasalahan tersebut sebenarnya Bupati Klungkung sebenarnya

telah berusaha mengakomodir dengan mengadakan tatap muka, sebagaimana

terlihat dalam Surat Bupati Klungkung Nomor 005/69/PEM Perihal Undangan

63

Acara Tatap Muka Dalam Rangka Menyikapi Gejala, Issue Yang Berkembang Di

Masyarakat Terkait Adat Tertanggal 13 April 2011, bahkan pertemuan besarpun

dibuat namun ternyata tidak mendapat hasil, sebagaimana dalam Laporan Hasil

Rapat Pura Dalem Desa Adat Kemoning Pada Hari Kamis Tanggal 21 April 2011.

Oleh karena tidak menghasilkan kesepakatan, maka Kelihan Gede Pura

Dalem meminta bantuan Bupati Klungkung untuk membantu menyelesaikan

permasalahan yang ada melalui Surat Kepada Bapak Bupati Klungkung Perihal

Penyelesaian Nama Dan Status Kepemilikan Pura Dalem, Pura Prajapati, dan

Setra Tertanggal 26 April 2011. Demi ketertiban dan keamanan pihak Puri-Puri

Sajebag Klungkung juga memanggil para Kelihan Tempek untuk datang ke Puri

Agung guna mencari jalan keluar dengan mengirimkan Surat Pengelingsir Puri –

Puri Sajebag Klungkung Sekretariat Puri Agung Klungkung Nomor

09/PNGLINSIR/P.KLK/V/2011 Perihal Undangan Tentang Pamargin Karya

Tertanggal 25 Mei 2011. Akhirnya keluarlah Pernyataan Sikap Bupati Terhadap

Permasalahan Pura Dalem Yang Diempon Oleh Empat Tempek Yakni Tempek

Kangin, Tempek Kaja, Tempek Kelod Dan Tempek Kauh Tertanggal 3 Juni 2011,

yang intinya menyatakan mencabut Keputusan Paruman Agung Desa Adat

Kemoning Nomor: 01/IV/2011/Desa Adat Kemoning, melaksanakan karya

sebagaimaa biasa, membicarakan nama pura secara bersama-sama, dan apabila

ada yang keberatan agar menempuh jalur hukum. Namun dengan berbagai alasan

Desa Adat Kemoning mengklarifikasi pernyataan sikap bupati tersebut dengan

Surat Desa Adat Kemoning Nomor 01/VI/2011/Desa Adat Kemoning Kepada

Bapak Bupati Klungkung Perihal Klarifikasi Tertanggal 4 Juni 2011, serta

64

kembali melakukan pemberitahuan pelaksanaan karya (yasa kerti) tersendiri

dengan Surat Desa Adat Kemoning Nomor 02/VI/2011/Desa Adat Kemoning

Perihal Yasa Kerthi Tertanggal 9 Juni 2011, bahkan dengan tegas pula mengajak

Tempek lainnya untuk ikut dalam karya dengan alasan menindaklanjuti pernyataan

sikap bupati yang dituangkan dalam Surat Nomor 01/06/KT/2011 Perihal

Menindaklanjuti Surat Pernyataan Bupati Tertanggal 14 Juni 2011.

Desa Adat Kemoning kemudian secara mantap pula menggelar karya

sebagaimana terlihat dalam :

1. Surat Desa Adat Kemoning Nomor 18/PAN//KMN/2011 Kepada Bapak

Kapolres Klungkung Perihal Surat Pengantar Mediasi Tertanggal 26

Juni 2011

2. Pernyataan Sikap Karma Desa Adat Kemoning Tertanggal 26 Juni 2011

3. Surat Nomor 02/06/KT/VI/2011 Perihal Pelaksanaan Upacara (Karya

Agung) Di Pura Dalem Tertanggal 20 Juni 2011

Adanya Upacara yang dirasakan sangat dipaksakan maka Kelihan Tempek

Kauh dan Kelihan Tempek Kangin memohon jalan keluar lanjutan atas kemelut

tersebut melalui Surat Nomor 03/07/KT/VII/2011 Kepada Ketua Majelis Madya

Desa Pakraman Kabupaten Klungkung Perihal Permohonan Jalan Keluar

Lanjutan Atas Perkembangan Kemelut “Pura Dalem” Tertanggal 4 Juli 2011.

Namun, Masalah Nama dan Upakara yang dilakukan di Pura Dalem Kemoning

masih menjadi perdebatan dan akhirnya menjadi Wicara atau perkara adat yang

diselesaikan melalui peradilan di Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP)

Provinsi Bali, dengan adanya permohonan pertama kali dari Kelihan Tempek

Kauh dan Kelihan Tempek Kangin, melalui Surat Nomor 04/07/KT/VI/2011

65

Kepada Ketua Majelis Madya Desa Pakraman Kabupaten Klungkung Perihal

mohon penyelesaian permasalahan Pura Dalem, Tertanggal 8 Juli 2011

2.5 Proses Penyelesaian Sengketa sebelum Peradilan oleh MUDP

Petunjuk Teknis Tata Cara Penyelesaian Wicara oleh Majelis Desa

Pakraman (MDP) Bali sebagaimana terdapat dalam Keputusan Majelis Utama

Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Wicara oleh Majelis Desa

Pakraman (MDP) Bali, penyelesaian Wicara dapat diselesaikan dengan beberapa

cara untuk menyelesaikan Wicara sebelum diadili di MUDP. Penyelesaian Wicara

sebelum peradilan oleh MUDP dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Penyelesaian secara kekeluargaan melalui perundingan langsung para

pihak yang terlibat dalam Wicara.

b. Penyelesaian secara perdamaian dengan perantaraan (mediasi) pihak

ketiga, baik perorangan maupun lembaga lain atau Majelis Desa

Pakraman (MDP) sesuai jenjang.

c. Penyelesaian dengan cara diserahkan kepada Majelis Madya Desa

Pakraman (MMDP).

d. Keberatan atas keputusan MMDP dapat diajukan kepada Majelis Utama

Desa Pakraman (MUDP).

e. Dalam keadaan darurat, MDP dapat mengambil langkah tertentu untuk

mengantisipasi, mengatasi, dan menyelesaikan Wicara, berkoordinasi

dengan instansi yang berwenang lainnya.12

Dengan melihat cara-cara tersebut sebenarnya Desa Pakraman memiliki

kemampuan untuk menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapi dengan cara

kekeluargaan. Jika antar pihak kemudian tidak dapat menyelesaikan perkaranya,

maka Desa Pakraman dapat meminta bantuan untuk membantu menyelesaikan

12

Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP

Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Wicara

oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali

66

masalah yang dihadapi. Penyelesaian wicara yang melalui Majelis Desa

Pakraman dilakukan dengan cara berjenjang yaitu MMDP terlebih dahulu, kalau

ada keberatan dengan keputusan MMDP barulah kemudian perkara adat atau

Wicara diajukan kepada MUDP. Penyelesaian dengan cara diserahkan kepada

MMDP dan MUDP dapat dipilih dalam hal penyelesaian secara kekeluargaan

melalui perundingan langsung para pihak yang mawicara (berperkara) dan

penyelesaian dengan cara perantara (mediasi) gagal menghasilkan kesepakatan.

Proses penyelesaian Wicara oleh MDP sesuai jenjang mengikuti beberapa

tahapan. Pada Majelis Alit Desa Pakraman (MADP) Kecamatan baru akan

menyelesaikan Wicara yang terjadi di wilayahnya secara perdamaian (mediasi),

apabila prajuru Desa Pakraman tidak berhasil menyelesaikan Wicara berdasarkan

awig-awig Desa Pakraman setempat. Penyelesaian Wicara oleh MADP wajib

didampingi unsur MMDP. Apabila Wicara tidak dapat diselesaikan secara

perdamaian (mediasi) di tingkat MADP, maka pihak-pihak yang mawicara dapat

menyerahkan penyelesaian Wicara tersebut kepada MMDP dengan surat

pengantar Bandesa MADP Kecamatan setempat.

Dalam hal MMDP memutuskan Wicara yang diserahkan oleh pihak yang

mawicara, MMDP wajib berkonsultasi dengan MUDP. Apabila terjadi keberatan

oleh salah satu pihak maka Keberatan atas keputusan MMDP diajukan kepada

MUDP selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal keputusan

MMDP diterima oleh pihak yang mawicara. Apabila dalam tenggang waktu

tersebut belum ada pernyataan keberatan yang diajukan secara tertulis, maka

67

keputusan MMDP memiliki kekuatan hukum yang tetap. Sepanjang belum ada

keputusan lain dari MUDP, maka keputusan MMDP tetap berlaku.

MUDP Bali wajib memberikan keputusan terhadap Wicara (perkara) yang

diajukan kepadanya selambat-lambatnya 100 (seratus) hari sejak permohonan

tersebut diterima. Keputusan MUDP Bali bersifat final dan mengikat para pihak

yang mawicara. Dengan adanya keputusan final MUDP maka masalah adat

dinyatakan telah selesai.

Dalam permasalahan Pura dalem yang dimohonkan oleh Kelihan

Tempek Kauh dan Kelihan Tempek Kangin, melalui Surat Nomor

04/07/KT/VI/2011 Kepada Ketua Majelis Madya Desa Pakraman

Kabupaten Klungkung Perihal mohon penyelesaian permasalahan Pura

Dalem tertanggal 8 Juli 2011, telah mendapat Keputusan Majelis Madya

Desa Pakraman (MMDP) sebagaimana Keputusan Majelis Madya Desa

Pakraman (MDP) Klungkung Nomor 24/MDP.KLK/VII/2011 Tentang

Pembatalan Keputusan Paruman Agung Desa Adat Kemoning Nomor

01/IV/2011/Desa Adat Kemoning Tentang Status Pura Dalem, Pura

Prajapati, Setra dan Aturan – Aturan Yang Mengikat, Serta Pelaksanaan

Upakara dan Upacara Yadnya di Pura Tersebut Tertanggal 12 Juli 2011,

yang intinya menyatakan :

1. Membatalkan Keputusan Paruman Agung Desa Adat Kemoning Nomor:

01/IV/2011/Desa Adat Kemoning Tentang Status Pura Dalem, Pura

Prajapati, Setra Dan Aturan – Aturan Yang Mengikat, Serta Pelaksanaan

Upakara Dan Upacara Yadnya Di Pura Tersebut Tertanggal 1 April 2011

2. Memerintahkan kepada desa adat kemoning untuk menunda pelaksanaan

Karya Di Pura Dalem dan Prajapati.

68

Namun ternyata Keputusan Majelis Madya Desa Pakraman (MDP)

Klungkung Nomor 24/MDP.KLK/VII/2011 tersebut dipertanyakan oleh Desa

Adat Kemoning melalui Surat Desa Adat Kemoning Nomor 03/VII/2011/Desa

Adat Kemoning Kepada Majelis Madya Desa Pakraman (MDP) Klungkung

Perihal Permohonan Klarifikasi Dan Penjelasan Atas Keputusan Majelis Madya

Desa Pakraman (MDP) Klungkung Nomor 25/MPD/KLK/VI/2011 Tanggal 12

Juli 2011 Tertanggal 15 Juli 2011, sehingga MMDP harus memberikan balasan

dengan melakukan penegasan atas keputusan yang telas dibuat dengan Surat

Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Klungkung Nomor

25/MDP.KLK/VII/2011 Kepada Bandesa Adat Kemoning Perihal Penegasan

Keputusan Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Klungkung Tertanggal 21

Juli 2011.

Akhirnya Kelihan Tempek Kauh dan Kelihan Tempek Kangin semakin

geram karena Desa Adat Kemoning tidak mengindahkan Keputusan dari MMDP

Klungkung bahkan melanjutkan upacara karya di Pura dalem, sehingga akhirnya

Kelihan Tempek Kauh dan Kelihan Tempek Kangin mengajukan keberatan kepada

MMDP Klungkung melalui surat :

1. Surat Nomor 05/07/KT/VI/2011 Kepada Ketua Majelis Madya Desa

Pakraman Perihal Keberatan Atas Tidak Terlaksanakannya SK MMDP

Tertanggal 18 Juli 2011

2. Surat Nomor 06/07/KT/VI/2011 Kepada Ketua Majelis Madya Desa

Pakraman Perihal Keberatan Atas Masih Dilaksanakannya Karya

Tertanggal 22 Juli 2011

Sebagai tanggapan atas Surat Majelis Madya Desa Pakraman (MDP)

Klungkung Nomor 25/MDP.KLK/VII/2011 Kepada Bandesa Adat Kemoning

69

Perihal Penegasan Keputusan Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP)

Klungkung Tertanggal 21 Juli 2011, maka akhirnya dengan tegas Desa Adat

Kemoning kemudian menyatakan keberatan dan penolakan atas Keputusan

Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Klungkung Nomor

24/MDP.KLK/VII/2011 tersebut, dengan Surat Desa Adat Kemoning Nomor

04/VII/2011/Desa Adat Kemoning Kepada Majelis Madya Desa Pakraman

(MDP) Klungkung Perihal Pernyataan Keberatan Dan Penolakan Atas Keputusan

Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Klungkung Nomor

25/Mpd/KLK/VI/2011 Tanggal 12 Juli 2011 Tertanggal 15 Juli 2011.

Dalam hal MMDP memutuskan Wicara yang diserahkan oleh pihak yang

mawicara, MMDP wajib berkonsultasi dengan MUDP, atas dasar Surat Desa

Adat Kemoning Nomor 04/VII/2011/Desa Adat Kemoning yang menyatakan

keberatan dan penokannya terhaap Keputusan Majelis Madya Desa Pakraman

(MDP) Klungkung Nomor 25/Mpd/KLK/VI/2011 Tanggal 12 Juli 2011

Tertanggal 15 Juli 2011, maka MMDP akhirnya bersurat kepada MUDP untuk

menindaklanjuti penyelesaian pura dalem, dengan Surat Majelis Madya Desa

Pakraman (MDP) Klungkung Nomor 27/MDP.KLK/VIII/2011 Kepada Bandesa

Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Perihal Permohonan

Penindak Lanjutan Penyelesaian Masalah Pura Dalem Tertanggal 10 Agustus

2011.

Pada sisi lain, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Klungkung

ternyata mengeluarkan Hasil Inventaris dan Potensi Desa Pakraman Bali Tahun

2007-2008 Kabupaten Klungkung yang ternyata kembali mematik emosi warga

70

Desa Adat Kemoning karena dianggap mengklaim Setra milik desa Adat

Kemoning sehingga membuat Desa Adat Budaga dapat memasang Plang wilayah

(wawengkon). Keberatan Desa Adat Kemoning dituangkan dalam :

1. Surat Desa Adat Kemoning Nomor 07/VIII/2011/Desa Adat Kemoning

Kepada Kepala Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kab. Klungkung

Perihal Keberatan Dan Mohon Klarifikasi Atas Data Yang Tertulis

Dalam Buku “Hasil Inventarisasi Dan Potensi Desa Pakraman Bali

Tahun 2007 – 2008 Kabupaten Klungkung” Tertanggal 16 Agustus

2011

2. Surat Desa Adat Kemoning Nomor 08/VIII/2011/Desa Adat Kemoning

Kepada Prajuru Desa Adat Budaga Perihal Keberatan Atas Pemasangan

Plang Wewengkon Desa Adat Budaga Tertanggal 20 Agustus 2011

3. Surat Desa Adat Kemoning Nomor 10/IX/2011/Desa Adat Kemoning

Kepada Bandesa Madya, Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP)

Klungkung Perihal Klarifikasi Status Desa Adat Budaga Tertanggal 8

September 2011

Akhirnya Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, segera memberikan klarifikasi

dan jawaban dengan Surat Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Nomor

437/2077/Disbud Kepada Bandesa Desa Pakraman Kemoning Perihal Jawaban

Keberatan Dan Klarifikasi Atas Data Yang Tertulis Dalam Buku “Hasil

Inventarisasi Dan Potensi Desa Pakraman Bali Tahun 2007 – 2008 Kabupaten

Klungkung” Tertanggal 14 Oktober 2011. Selain memberikan penjelasan, surat

tersebut bertujuan meredam situasi yang mulai memanas.

Atas adanya surat dari MMDP Klungkung kepada MUDP Bali untuk

menindaklanjuti penyelesaian pura dalem, dengan Surat Majelis Madya Desa

Pakraman (MDP) Klungkung Nomor 27/MDP.KLK/VIII/2011 Kepada Bandesa

Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Perihal Permohonan

Penindak Lanjutan Penyelesaian Masalah Pura Dalem Tertanggal 10 Agustus

71

2011, maka kemudian MUDP Bali menindaklanjuti dengan mengundang para

pihak dengan :

1. Surat Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor 029/SP/MDP

Bali/X/2011 Kepada Prajuru Desa Pakraman Kemoning Perihal Tindak

Lanjut Penyelesaian Masalah Pura Dalem Tertanggal 24 Oktober 2011

2. Surat Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor 031/SP/MDP

Bali/X/2011 Kepada Prajuru Tempek Kangin Pangempon Pura Dalem

Perihal Tindak Lanjut Penyelesaian Masalah Pura Dalem Tertanggal 24

Oktober 2011

Undangan tersebut guna menjelaskan tata cara penyelesaian Wicara melalui

peradilan MUDP. Penjelasan tersebut segera direspon oleh Tempek Kauh dan

Tempek Kangin melalui surat permohonan ke MUDP guna pemutusan Wicara,

yaitu :

1. Surat Nomor 10/TK/BDG/X/2011 Kepada Majelis Utama Desa

Pakraman (MUDP) Dari Kelihan Tempek Kauh, Perihal Permohonan

Pemutusan Wicara Tertanggal 31 Oktober 2011

2. Surat Nomor : 02/TPK/X/2011, Kepada Majelis Utama Desa Pakraman

(MUDP) Dari Kelihan Tempek Kangin, Perihal Permohonan Pemutusan

Wicara Tertanggal 31 Oktober 2011

Dengan adanya keberatan oleh salah satu pihak maka Keberatan atas maka

keputusan MMDP Klungkung belum memiliki kekuatan hukum yang tetap dan

menunggu keputusan dari MUDP Bali.