wicara pura dalem kemoning 2.1 tinjauan tentang … ii.pdf · 41 bab ii tinjauan tentang majelis...
TRANSCRIPT
41
BAB II
TINJAUAN TENTANG MAJELIS UTAMA DESA PAKRAMAN DAN
WICARA PURA DALEM KEMONING
2.1 Tinjauan Tentang Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP)
Majelis Desa Pakraman (MDP), adalah satu-satunya organisasi Desa
Pakraman di Bali. Organisasi ini beranggotakan seluruh Desa Pakraman di Bali,
yang per mei 2011 berjumlah 1.482 Desa Pakraman.1 MDP terbentuk dengan
dasar hukum Perda Provinsi Bali Nomor 03 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman,
yang diubah dengan Perda Provinsi Bali Nomor 3/2003 tentang Desa Pakraman.
MDP Bali terbentuk melalui Paruman Agung yang dilaksanakan di wantilan
Pura Samuan Tiga, Bedulu, Gianyar, pada Sukra Wage, Krulut, 27 Februari 2004.
Tapi sebelum Paruman Agung dilaksanakan, beberapa kali telah digelar temu
wirasa yang melibatkan MDP kabupaten dan kecamatan, tokoh-tokoh masyarakat,
dan kalangan intelektual se-Bali.
Patut diketahui bahwa Desa Pakraman dan Majelis Desa Pakraman (MDP)
Bali yang berjenjang di tingkat Majelis Alitan Desa Pakraman (MADP) di
Kecamatan, Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) di Kabupaten/Kota, sampai
Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) di tingkat Provinsi Bali adalah satu
kesatuan sistem dalam satu tubuh sistem adat Bali sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 14 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001. Paruman dan/atau
Pasamuhan Agung (setara dengan kongres) Majelis Desa Pakraman seluruh Bali.
1 Diunduh dari http://bali.antaranews.com/berita/11217/setahun-11-desa-adat-
baru-di-bali, pada tanggal 25 Agustus 2014, pukul 11.00 wita .
42
Paruman Agung inilah yang mengeluarkan Keputusan-Keputusan yang mengikat
seluruh Desa Pakraman di Bali dan segenap Majelis Desa Pakraman.
Pembentukan MDP memiliki visi dan misi yang dituangkan dalam Pasal
Visi MDP Bali adalah terwujudnya persatuan Krama Desa Pakraman yang
harmonis dan terjaganya adat dan sosial budaya Bali yang dilandasi agama Hindu.
Sedangkan misi dari MDP Bali adalah ;
1. Mewujudkan persatuan dan kesatuan Desa Pakraman
2. Menciptakan kasukertan di Bali
3. Mengayomi adat dan sosial budaya Bali
4. Meningkatkan mutu Krama Desa Pakraman
5. Melestarikan lingkungan dan tanah Bali
MUDP juga memiliki tugas dan wewenang yang diamanatkan dalam Pasal
16 Perda Nomor 3 Tahun 2001. Adapun Tugas dari Majelis Desa Pakraman
adalah :
1. Mengayomi adat istiadat
2. Memberikan saran, usul, dan pendapat kepada berbagai pihak baik
perorangan, kelompok/lembaga, maupun pemerintah tentang masalah-
masalah adat.
3. Melaksanakan setiap keputusan-keputusan paruman dengan aturan-
aturan yang ditetapkan
4. Membantu penyuratan awig-awig
5. Melaksanakan penyuluhan adat-istiadat secara menyeluruh
Sedangkan untuk Kewenangan Majelis Desa Pakraman adalah :
1. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah
adat dan agama untuk kepentingan Desa Pakraman
2. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat diselesaikan
pada tingkat desa.
3. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, di
kabupaten/kota dan provinsi.
43
2.2 Tinjauan Umum Tentang Wicara atau Perkara Adat
2.2.1 Pengertian, Tujuan, Asas dan Bentuk Akhir Penyelesaian Wicara
Wicara atau perkara adat adalah perkara yang muncul karena sengketa adat
atau pelanggaran norma hukum adat Bali, baik tertulis maupun tidak tertulis
(catur dresta) yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu, yang tidak termasuk
sengketa perdata dan/atau pelanggaran hukum menurut hukum negara.2 Adapun
yang dimaksud “perkara adat murni” dalam pengertian ini adalah perkara yang
muncul karena sengketa adat atau pelanggaran norma hukum adat Bali, baik
tertulis maupun tidak tertulis (catur dresta), yang dijiwai oleh nilai-nilai agama
Hindu, yang tidak termasuk sengketa perdata dan/atau pelanggaran hukum
menurut hukum negara. Perkara adat murni inilah dalam hukum adat Bali
dinamakan Wicara.3
Wicara tentunya muncul dari pelanggaran hukum adat. Mengenai istilah
“Hukum Adat” di Palangkaraya, hampir sama dengan istilah yang diberikan oleh
pemerintahan kolonial Belanda Adat Recht yang dikemukakan oleh Cornelis Van
Vollenhoven dalam bukunya Het Adat Recht van Nederlands-Indie, menyebutkan
bahwa hukum adat itu adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang dilain
pihak mempunyai sanksi.4 Menurut Ihromi, apa yang dinamakan hukum adat
2 Majelis Desa Pakraman, 2012, Purwaka Tata Cara Penyelesaian Wicara Oleh Majelis
Desa Pakraman (MDP) Bali Cet-I, Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, Denpasar
3 Ibid
4 Kamal Firdaus, 1980, Seraut Wajah Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, hal .
103.
44
dalam kenyataannya mempunyai eksistensi yang tidak dapat dipisahkan dari adat
pada umumnya.5
Penyelesaian perkara adat biasanya tercantum dalam awig-awig pada intern
Desa Pakraman. Pelanggaran terhadap norma-norma hukum adat secara teoritis
(tercantum dalam awig-awig) menurut kalangan para sarjana sering disebut
dengan delik adat. Sebagaimana yang disebutkan oleh B.Ter Haar, berikut :
Pada masyarakat-masyarakat hukum kecil rupa-rupanya yang dianggap
suatu pelanggaran (delik) ialah setiap gangguan segi satu (eenzijdig)
terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu barang-barang
kehidupan materiil dan inmateriil orang seorang atau daripada orang-orang
banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan), tindakan itu
menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh
hukum adat ialah reaksi adat (adatreactie), karena reaksi mana
keseimbangan dapat dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan
pembayaran pelanggaran berupa barang-barang dan uang).6
Wicara belum tentu dapat diselesaikan di dalam intern Desa Pakraman,
apalagi misalnya terkait dengan Desa Pakraman yang lain. Apabila Wicara tidak
dapat diselesaikan di tingkat Desa Pakraman oleh prajuru (pengurus) Desa
Pakraman bersangkutan maka penyelesaian Wicara tersebut selanjutnya
diserahkan kepada sang rumawos (pihak berwenang), sebelumnya sang rumawos
bisa saja Raja atau penguasa atau pihak yang berwenang termasuk kepala adat.
Menurut adat, kepala adat (kepala rakyat) bertugas memelihara hidup hukum di
5 Ihromi, 1981, Adat Perkawinan Toraja Saadan Tempatnya Dalam Hukum
Positif Masa Kini, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 158.
6 Terkutif dalam Anak Agung Istri Atu Dewi, 2008, Eksistensi Adat Kasepekang Ditinjau
Dari Perspetif Hak Asasi Manusia, Tesis, Universitas Udayana, Denpasar, hal. 124.
45
dalam persekutuan, menjaga supaya hukum itu dapat berjalan dengan selayaknya.7
Namun dalam penelitian peradilan melalui MUDP ini maka Sang rumawos yang
dimaksudkan itu adalah MDP Bali secara berjenjang yaitu MMDP dan MUDP,
sebagai wadah tunggal sekaligus “paying satu langit” Desa Pakraman se-Bali.
Dengan demikian, Keputusan Pasamuhan Agung I MDP Bali Tahun 2006
tersebut menjadi penegasan yang sangat penting dan strategis artinya dalam
tatanan sistem adat dan hukum adat Bali.
Dalam Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor :
002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis
Penyelesaian Wicara oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali dicantumkan
tujuan adanya penyelesaian Wicara. Adapun Tujuan Penyelesaian Wicara antara
lain :
1. Menciptakan kedamaian (kasukertan) bagi pihak yang berperkara
(mawicara) dan bagi masyarakat pada umumnya.
2. Menemukan kebenaran berdasarkan hukum adat Bali yang dijiwai oleh
nilai-nilai agama Hindu.
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP
Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Penyelesaian
Wicara oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali juga mencantumkan asas
dalam penyelesaian Wicara. Terdapat asas penting yang dilakukan untuk
penyelesaian Wicara. Penyelesaian Wicara patut senantiasa memperhatikan dan
mempertimbangkan tiga asas :
7 R. Soepomo, (a), 2007, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta, Cetakan Ketujuhbelas, hal. 66.
46
(1) Kalasyaan, yaitu diterima secara tulus ikhlas oleh pihak yang
mawicara.
(2) Kasujatian, yaitu kondisi objektif yang dihadapi oleh masyarakat.
(3) Kapatutan, yaitu kebaikan berdasarkan hukum adat Bali dan awig-awig
Desa Pakraman baik tertulis maupun tidak tertulis (catur dresta) yang
sesuai dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai agama Hindu.
Setelah proses penyelesaian Wicara dilaksanakan, akan ditemukan bentuk
akhir dari penyelesaian Wicara. Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali
Nomor : 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan
Petunjuk Teknis Penyelesaian Wicara oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali
menyebutkan Bentuk Akhir Penyelesaian Wicara, yaitu :
1. Bentuk penyelesaian Wicara secara kekeluargaan berupa kesepakatan
bersama yang dituangkan dalam surat pernyataan yang ditanda tangani
oleh para pihak yang mawicara dan diketahui oleh Bandesa MDP sesuai
jenjang.
2. Bentuk penyelesaian dengan menggunakan pihak ketiga sebagai
perantara (mediator) berupa kesepakatan bersama yang dituangkan
dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh para pihak yang
mawicara, pihak ketiga yang menjadi perantara (mediator) dan diketahui
oleh Bandesa MDP sesuai jenjang.
3. Bentuk penyelesaian Wicara dengan menggunakan MDP sebagai
perantara (mediator), berupa kesepakatan bersama yang dituangkan
dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh para pihak yang
mawicara dan Bandesa MDP sesuai jenjang.
4. Bentuk penyelesaian dengan cara diserahkan kepada MMDP berupa
Surat Keputusan Bandesa MMDP dan semua anggota Sabha Kerta
MMDP.
5. Bentuk penyelesaian dengan cara diserahkan kepada MUDP berupa
Surat Keputusan MUDP yang ditandatangani oleh Bandesa Agung dan
semua anggota Sabha Kerta MUDP.
Namun perdamaian yang dimaksud dalam penyelesaian perkara melalui
Majelis Desa Pakraman (MDP) Provinsi Bali, bukan perdamaian sebagaimana
yang dimaksud dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Atau yang biasa disebut
47
(Penyelesaian Sengketa Alternatif/Alternatif Dispute Resolution).8 Jadi dengan
adanya sebuah penyelesaian akhir maka berakhir pula Wicara yang terjadi bagi
para pencari keadilan melalui peradilan di MUDP Bali.
2.2.2 Kelembagaan dalam Penyelesaian Wicara
Kelembagaan dalam penyelesaian Wicara dalan MDP diatur dengan jelas
dalam Bahasan V Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor :
002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis
Penyelesaian Wicara oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali. Dalam
Penyelesaian Wicara, terdapat kelembagaan yang nantinya terlibat dalam
penyelesaian Wicara, Adapun kelembagaan dalam penyelesaian Wicara yaitu
Sabha Kerta Dan Panureksa. Kelembagaan inilah yang oleh Lawrence
M.Friedman dalam teorinya legal system disebut sebagai legal structure.9
a. Sabha Kerta
Sabha Kerta terdiri dari Sabha Kerta Majelis Madya Desa Pakraman
(MMDP) dan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP). Sabha Kerta MMDP
adalah perangkat MMDP yang berwenang memutuskan Wicara di Kabupaten.
Keanggotaan Sabha Kerta MMDP berjumlah ganjil terdiri dari unsur Bandesa
Madya, Panyarikan Madya MMDP, Panureksa (pemeriksa), ditambah dengan
para Bandesa Alit MADP se-Kabupaten/Kota. Dalam Sabha Kerta MMDP sangat
ditekankan bahwa Bandesa Madya atau Patajuh Bandesa Madya, Panyarikan
8 I Wayan Wiryawan & I Ketut Artadi, 2009, Penyelesaian Sengketa Di Luar
Pengadilan, Udayana University Press, Denpasar, hal. 26.
9 Teori Lewrence M Friedman mengenai legal system telah diuraikan dalam Bab I
tesis ini.
48
Madya atau Patajuh Panyarikan Madya, Panureksa, dan Bandesa MADP yang
berasal dari Desa Pakraman yang mawicara, tidak diizinkan menjadi anggota
Sabha Kerta dan keanggotaannya dapat digantikan oleh prajuru lainnya.
Sabha Kerta MUDP adalah perangkat MUDP yang berwenang memutuskan
Wicara di Tingkat Provinsi. Keanggotaan Sabha Kertha MUDP berjumlah ganjil
terdiri dari unsur Bandesa Agung, Panyarikan Agung MUDP, Panureksa
ditambah dengan para Bandesa Madya MMDP se-Provinsi Bali. Sama halnya
dengan penekanan ketentuan di Sabha Kerta MMDP, Bandesa Agung atau
Patajuh Bandesa Agung, Panyarikan Agung atau Patajuh Panyarikan Agung,
Panureksa, dan Bandesa MMDP yang berasal dari Desa Pakraman yang
mawicara, tidak diizinkan menjadi anggota Sabha Kerta dan keanggotaannya
dapat digantikan oleh prajuru lainnya.
Dalam penyelesaian Wicara, Sabha Kerta memiliki tugas dan wewenang.
Adapun Tugas dan Wewenang Sabha Kerta yaitu :
a) Tugas Sabha Kerta
(1) Mempelajari dengan seksama laporan tertulis yang disampaikan oleh
Panureksa.
(2) Menggali informasi, keterangan, dan fakta tambahan terkait dengan
Wicara yang ditangani.
(3) Menganalisa fakta objektif yang ditemukan oleh Panureksa,
berdasarkan hukum adat.
(4) Bali yang dapat dijadikan dasar penyelesaian Wicara.
(5) Merumuskan dan memutuskan penyelesaian Wicara yang ditangani.
b) Wewenang Sabha Kerta
(1) Sabha Kerta berwenang meminta penjelasan dari panureksa serta
informasi, keterangan, dan fakta tambahan pihak-pihak yang
mawicara. Apabila diperlukan.
(2) Sabha Kerta dapat menggali, menemukan, dan mengumpulkan
sendiri fakta-fakta tambahan dengan memanggil pihak-pihak yang
49
mawicara ke dalam pasukertan (persidangan) dan/atau Panureksan
(pemeriksaan) setempat.
(3) Sabha Kerta berwenang meminta keterangan ahli dalam bidang
tertentu yang terkait dengan substansi Wicara yang diselesaikan.
(4) Sabha Kerta berwenang merumuskan penyelesaian Wicara yang
ditangani.
(5) Sabha Kerta berwenang mengumumkan keputusan penyelesaian
Wicara yang telah ditangani.
Sabha kerta dalam penyelesaian Wicara, memiliki mekanisme persidangan
khusus guna yang disebut dengan Pasukertan. Keputusan Majelis Utama Desa
Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Wicara oleh Majelis Desa
Pakraman (MDP) Bali menentukan Pasukertan Sabha Kerta MMDP
dilaksanakan di Sekretariat MMDP atau di tempat yang ditentukan MMDP yang
dihadiri oleh anggota Sabha Kerta dipimpin oleh unsur Bandesa Madya dan unsur
Panyarikan Madya MMDP. Pasukertan dapat dilaksanakan apabila dihadiri oleh
2/3 (dua pertiga) jumlah anggota Sabha Kerta. Apabila kehadiran anggota tidak
mencapai kuorum, pasukertan ditunda paling lama tujuh hari. Pasukertan
berikutnya dapat dilangsungkan dengan dihadiri sedikitnya ½ (setengah) jumlah
anggota ditambah seorang anggota. Keputusan Sabha Kerta diambil berdasarkan
gilik saguluk paras-paros (musyawarah untuk mencapai mufakat). Apabila gilik
saguluk tidak tercapai, maka keputusan dapat diambil dengan suara terbanyak.
Pasukertan Sabha Kerta MUDP dilaksanakan di sekretariat MUDP atau
tempat yang ditentukan oleh MUDP yang dihadiri oleh anggota Sabha Kerta
MUDP dipimpin oleh unsur Panyarikan Agung MUDP. Pasukertan dapat
dilaksanakan apabila dihadiri oleh 2/3 (dua pertiga) jumlah anggota Sabha Kerta.
50
Apabila kehadiran anggota tidak mencapai kuorum, kerta (sidang) ditunda paling
lama tujuh hari. Kerta berikutnya dapat dilangsungkan dengan dihadiri sedikitnya
½ (setengah) jumlah anggota ditambah seorang anggota. Keputusan Sabha Kerta
diambil berdasarkan gilik saguluk paras-paros Apabila gilik saguluk tidak
tercapai, maka keputusan dapat diambil dengan suara terbanyak.
Sabha Kerta bersifat sebagai hakim karena memutus sebuah Wicara.
Seorang hakim memiliki tugas pokok untuk mengadili menurut hukum
setiap perkara yang diajukan kepadanya dengan seadil -adilnya, dengan
tidak membeda-bedakan orang berdasarkan suku, agama, ras, dan
golongan, jabatan dan kekayaan.10
Hakim Perdamaian Adat ini tetap diakui
oleh pemerintah nasional Republik Indonesia dalam Undang-undang
Darurat No.1 Tahun 1951.11
b. Panureksa
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP
Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Penyelesaian
Wicara oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali mengatur juga Panureksa
dalam penyelesaian Wicara terdiri dari Panureksa MMDP dan MUDP. Dalam
menyelesaikan Wicara, Sabha Kerta MMDP dibantu oleh Panureksa yang
dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bandesa Madya yang Keanggotaan
Panureksa berjumlah ganjil dipimpin oleh seorang Manggala (Ketua) dan seorang
10
K. Wantjik Saleh, 1977, Kehakiman dan peradilan, Ghalia Indonesia, hal 39.
11
R.Soepomo, (a), op.cit, hal. 70.
51
Panyarikan (Sekretaris). Prajuru MMDP yang berasal dari Desa Pakraman yang
mawicara tidak dapat menjadi panureksa.
Sabha Kerta MUDP dibantu oleh Panureksa yang dibentuk berdasarkan
Surat Keputusan Bandesa Agung. Keanggotaan Panureksa berjumlah ganjil
dipimpin oleh seorang Manggala (Ketua) dan seorang Panyarikan (Sekretaris)
dan Prajuru MUDP yang berasal dari Desa Pakraman yang mawicara tidak dapat
menjadi Panureksa.
Panureksa memiliki tugas dan wewenang yang melekat. Adapun Tugas dan
Wewenang Panureksa tersebut adalah :
a. Tugas Panureksa
(1) Memeriksa kelengkapan administrasi Wicara yang diajukan pihak
yang mawicara.
(2) Meneliti rangkaian peristiwa yang terjadi berdasarkan informasi
dalam berkas Wicara yang diajukan dan mengklasifikasikan Wicara
yang terjadi dalam kelompok Wicara adat murni, bukan perkara adat
atau campuran keduanya.
(3) Memastikan kepada pihak-pihak yang mawicara mengenai cara
penyelesaian Wicara yang dipilih dan menjelaskan konsekuensi
yang menyertainya.
(4) Mengumpulkan fakta-fakta berkaitan dengan Wicara yang sedang
ditangani oleh MDP, baik berdasarkan keterangan para pihak yang
mawicara atau saksi (pihak lain yang diperlukan keterangannya),
ilikita (bukti tertulis), maupun bukti (fakta objektif di lapangan).
(5) Menggali, menemukan, dan menginventaris alternatif penyelesaian
Wicara yang dihadapi menurut masing-masing pihak yang
mawicara.
(6) Menggali, menemukan dan menginventaris hukum adat Bali yang
dapat dijadikan dasar penyelesaian Wicara, baik hukum adat Bali
yang dapat dijadikan dasar penyelesaian Wicara.
(7) Menganalisa fakta-fakta yang berkaitan dengan Wicara berdasarkan
hukum adat Bali yang dapat dijadikan dasar penyelesaian Wicara,
baik hukum adat Bali yang tertulis maupun tidak tertulis (catur
dresta) yang tidak bertentangan dengan hukum nasional dan nilai-
nilai agama Hindu.
(8) Merumuskan dan melaporkan secara tertulis rekomendasi berupa
alternatif penyelesaian Wicara yang dimaksud kepada Sabha Kerta.
52
b. Wewenang Panureksa
(1) Memanggil dan meminta keterangan para pihak yang mawicara atau
saksi-saksi (pihak lain yang diperlukan keterangannya) dalam rangka
pengumpulan bukti (fakta-fakta) sehubungan dengan Wicara yang
sedang ditangani oleh Sabha Kerta.
(2) Meminta kelengkapan administrasi Wicara yang diajukan.
(3) Meminta para pihak yang mawicara untuk menghadirkan saksi
untuk dimintai keterangan.
(4) Meminta keterangan ahli di bidang tertentu terkait dengan Wicara
yang ditangani.
(5) Menyelenggarakan Panureksan dalam rangka pelaksanaan tugas-
tugasnya.
(6) Melakukan Panureksan setempat di tempat kejadian Wicara, apabila
dipandang perlu untuk pengumpulan bukti (fakta-fakta).
Panureksa dalam melaksanakan pemeriksaan, memiliki mekanisme
tersendiri yang dilakukan guna mencapai putusan yang adil. Panureksan
dilaksanakan di Sekretariat MDP sesuai jenjang atau di tempat yang ditentukan
oleh Panureksa. Dalam Panureksan, pihak yang mawicara atau saksi (pihak lain
yang diperlukan keterangannya) dapat dipanggil secara patut untuk hadir ke dalam
Panureksan. Apabila dalam tiga kali pemanggilan pihak-pihak yang mawicara
tidak hadir, maka pada panggilan ketiga Panureksa dapat melanjutkan
Panureksan berdasarkan bahan-bahan yang telah ada tanpa kehadiran pihak-pihak
yang mawicara.
53
2.3 Profil Desa Adat Kemoning Dalam Wicara Pura Dalem Kemoning
a. Profil Desa Adat Kemoning
Desa Adat Kemoning merupakan Desa Tua sudah ada sebelum/sekitar abad
10 sesuai peninggalan sejarah yang ada berupa Pura Hyang Api yang merupakan
sentral sebelum adanya Pura Kahyangan Tiga, Arca di Pura Petinggan, dan Pura
Puseh abad 13-14 serta Pusat Kerajaan Gelgel (Ida Dalem Gelgel) berkisar tahun
1383-1650.
Menjelang pindahnya kerajaan Gelgel ke Semarapura sekitar abad 16-17
dikisahkan beberapa pemuka desa/mekel agar membuka hutan untuk dijadikan
lahan pemukiman dan pertanian. Dalam perkembangannya menjadi hunian dan
akhirnya menjai sebuah Desa yang dinamakan Desa Kemoning yang lengkap
dengan tata ruang seperti Parahyangan, Pawongan dan Palemahan yang hidup
dalam suasana kebersamaan, tentram, aman, damai dan penuh dengan kehidupan
religious.
Desa Kemoning pernah mendapat Piagam dari Raja Gelgel/Semarapura
berupa lembaran perak (diperkirakan pada abad 16-17) Yang isinya BERBUNYI :
54
……….ne ring sadesa-desane yogya amarewanca ungguhe muang yogya
mangandika ya, ngerawose, mangkana panugrahane ring i mekel
kamoning, rehe buat ya ngayahe ring ida dalem tindihe ring
sepangandikane sareng ne padha adesa ring kamoning.
ngatitha mimitane nora ta kni pepanjingan muang papejahan, muang
tatuwiyan paicane ring i mekel kamoning antuk ida dalem, pepek
kaunggahang ring panugrahane, apan nora dadi daging kapunggel,
salungsure ring samara ungguha.
………..mangkana, kadi amalik ya tika tingkahe pada nganugraha, apang
memagehang paicane, rehe buat pengayahe, makadi ne ring i mekel
kamoning, kasapedangin antuk ragane ring kamoning tingkahe kaicen
padha laluputan muang dadautan papanjingan muang papejahan apang
makra mane kaota man, reh buat subaktine ngaula ring ida dalem, sama
mungguh ring paicane ne kegaduh olih i mekel kamoning apang kawruh
olih saterehe apang kadi ne ring nguni-nguni.
Desa Adat Kemoning juga sudah memiliki Awig-awig. Awig-awig Desa
Adat Kemoning mengatur tentang Pura Dalem, Pura Prajapati dan Setra Desa
Adat Kemuning, lengkap dengan Monografi.
55
DENAH DESA ADAT KEMUNING
b. Profil Pura Dalem Kemoning
Pura Dalem diempon 4 Tempek yaitu Tempek Kauh (Desa Budaga), Tempek
Kaja dan Tempek Kelod (Desa Adat Kemoning di tambah Br. Bajing), Tempek
Kangin (Br. Ayung, Br. Galiran, Br. Gunung Hiyang dan anak-anaking Br.
Bergan).
Gaya bangunan (bentuk arsitektur) Kori Agung Pura Kahyangan Tiga yang
dibangun sekitar abad 18-19 mempunyai kesamaan (satu type) khususnya murda
(pucak bangunan). Tata letak Pura Dalem Desa Adat Kemoning, sesuai ketentuan
yang ada (sastra) Pura Dalem adalah letaknya Kauh (Barat) dari Desa Adat
Kemoning. Jika dicermati dari Pura Puseh dan Pura Desa/Bale Agung ke barat ada
56
pertigaan (Jaba Pura Uluatu), lanjut ke barat ada Catus Pata (RSU Klungkung),
terus ke barat ada Marga Tiga. Sebelum Pura Prajapati ada kali kecil dulunya
mengairi sawah Bubun (sekarang RSU) dan Parang Bujuh dan Bantang Metiem
sebelah kanan jalan. Setelah Pura Prajapati ada Setra (Setra Gede) sisi selatan
jalan menuju Pura Dalem Desa Adat Kemoning dan Setra Prasanghyang sisi
utara jalan (setra khusus warga tertentu), setelah setra ini sebelah kanan jalan ada
pelinggih: Titi Gonggang, Pura Dalem Desa Adat Kemoning diapit oleh dua
sungai yakni sebelah timur Yeh Tanjung dan sebelah barat Kali Jinah. Lokasi Pura
Dalem Desa Adat Kemoning menjadi satu dengan carik (sawah) salah satu warga
Kemoning.
58
Penyimpenan Betara Pura Dalem Desa Adat Kemoning ada di rumah salah
satu warga Desa Kemoning dan Jero Mangku (Jan Banggul) juga dan keturunan
salah satu warga Desa Kemoning.
2.4 Gambaran Umum Sengketa Pura Dalem Desa Adat Kemoning
Pura Dalem Desa Adat Kemoning diempon oleh 4 (empat) Tempek yaitu
Tempek Kauh (Desa Budaga), Tempek Kaja dan Tempek Kelod (Desa Adat
Kemoning di tambah Banjar Bajing) serta Tempek Kangin (Banjar Ayung, Banjar
Galiran, Banjar Gunung Hiyang dan anak-anaking Banjar Bergan) yang selalu
melakukan secara bersama-sama dalam Upacara yang diadakan di Pura Dalem
Desa Adat Kemoning. Sebagaimana terlihat dalam Parindikan Melis/Melasti
Ring Kenjekan Tawur Agung Kesanga Sejroning Kewentenan Pura Dalem
Kemoning Tertanggal 11 Maret 1991.
Pura Dalem Kemoning sebenarnya sudah pernah mengalami permasalahan
terkait dengan pembuatan jalan di Tanah Setra Prasang Hyang Kemoning
sebagaimana terlihat dalam Surat Pemerintah Kabupaten Klungkung
59
Kecamatan Klungkung Nomor 005/454/Pem Kepada Kelihan Tempek
Kelod Pura Dalem Kemoning Perihal Undangan Acara Pembahasan Tanah
Setra Prasang Hyang Kemoning Dipimpin Langsung Oleh Bapak Bupati
Tertanggal 14 Agustus 2006, yang akhirnya terselesaikan dengan baik
sebagaimana terlihat dalam Surat Nomor 03/KPD/VII/06 Kepada Bapak
Camat Kecamatan Klungkung Perihal Jawaban Undangan Tertanggal 14
Agustus 2006 dan Surat Pernyataan Nomor 03/KPD/VIII/16 ari Prajuru
pangempon Pura Dalem Beserta Jro Mangku Pura Dale mesa Adat
Kemoning.
Berawal dari perdebatan tentang Aran/Nama Pura yang akan dipakai dalam
kelengkapan pada Upacara Karya Mamungkah, Tawur Balik Sumpah Agung,
Nubung Pedagingan lan Pedudusan Agung sebagai Puncak Karya pada hari Rabu
Umanis wuku Medangsia tanggal 27 Juli 2011. Rencana Upacara Karya
Mamungkah tersebut sebenarnya telah dibahas beberapa kali yang pada akhirnya
disetujui oleh Para Pangempon untuk melaksanakan Upacara sesuai arahan dari
Ida Pedanda Gde Putra Tembau Geria Aan Klungkung, dimana Ida Pedanda Gde
Putra Tembau Geria Aan Klungkung sebagai Yajamana Karya dan untuk
Padewasan serta Pelutuk juga dari Ida Pedanda Gde Putra Tembau Geria Aan
Klungkung, sedangkan Puncak Karya adalah pada hari Rabu Umanis wuku
Medangsia tanggal 27 Juni 2011. Sebagai tapini adalah Ida Pedanda Istri Patni
dari Geria Batu Tabih Klungkung.
Sebagai tindak lanjut Karya, Kelihan Gde Dalem telah membentuk Panitia
Karya tanggal 1 April 2011, dilanjutkan dengan memulai prasarana Karya. Dalam
60
perjalanan persiapan Upacara, Pengenter Upacara menyarankan dalam
pembuatan Purana diperlukan nama Pura, sedangkan Seksi Penggalian Dana
(warga Tempek Kauh) juga memerlukan Nama Pura sebagai Kop Surat. Dari
sinilah perdebatan terjadi, Sehubungan hal-hal tersebut maka timbul
ketidaksepakatan nama Pura yaitu dari Tempek Kaja dan Tempek Kelod tetap
memakai nama: Pura Dalem Desa Kemoning, sedangkan pihak Tempek Kangin
dan Tempek Kauh tidak menyetujui.
Desa Adat Kemoning sangat meyakini nama Pura Dalem tersebut adalah
Pura Dalem Desa Kemoning, yang dibuktikan dengan beberapa bukti, antara lain ;
a. Surat panggilan dari Kecamatan Klungkung tanggal 14 Agutus 2006;
b. Pernyataan bersama tentang Pura Dalem Desa Kemoning tanggal 15
Agustus 2006;
c. Aturan Punia dari pihak Swasta untuk pembangunan pura tanggal 19 ]uli
2011;
d. Surat dari Panitia Pembangunan Pura Dalem dan Pura Prajapati Desa
Kemoning tanggal 2 Oktober 2006;
e. Dukungan Realisasi Dana Bencana Alam dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Klungkung tanggal 23 Januari 2009.
Oleh karena adanya ketidaksepakatan tersebut, diadakanlah paruman pada
tanggal 22 Mei 2011 yang bertempat di Pura Dalem dari Paruman tersebut
dihasilkan Keputusan Paruman pada hari Minggu tanggal 22 Mei 2011 bertempat
di Pura Dalem yang dihadiri oleh 4 Tempek dengan Agenda kelanjutan jalannya
Karya dan nama Pura Dalem, dengan hasil terjadi deadlock pada agenda nama
Pura. Disamping itu, Kelihan Gede Dalem, Kelihan Tempek Kaja, Kelihan
Tempek Kelod dan Panitia Karya mengundurkan diri dalam upacara tersebut.
Sehubungan dengan mundurnya Kelihan Gede Dalem, Kelihan Tempek Kaja,
Kelihan Tempek Kelod dan Panitia Karya, maka uang urunan Karya langsung
61
pada saat itu diserahkan kepada masing-masing Tempek. Kelihan Gede Dalem,
Kelihan Tempek Kaja, Kelihan Tempek Kelod pada tanggal yang sama pada
malam harinya menyerahterimakan tugas, wewenang dan tanggung jawab Pura
Dalem kepada Bandesa/Kelihan Adat Desa Kemoning selaku pemberi mandat
sebagai Kelihan Dalem.
Desa Adat Kemoning sendiri kemudian melakukan Paruman dan membuat
Keputusan Paruman Agung Desa Adat Kemoning Nomor: 01/IV/2011/Desa Adat
Kemoning Tentang Status Pura Dalem, Pura Prajapati, Setra Dan Aturan – Aturan
Yang Mengikat, Serta Pelaksanaan Upakara Dan Upacara Yadnya Di Pura
Tersebut Tertanggal 1 April 2011, yang intinya menyatakan :
1. Bahwa Pura Dalem Tersebut adalah Pura Dalem Desa Adat Kemoning
2. Bahwa Pura Prajapati Tersebut adalah Pura Prajapati Desa Adat
Kemoning
3. Bahwa Setra Gede dan Setra Sanghyang adalah Setra Desa Adat
Kemoning
4. Krama Desa Adat Kemoning (Tempek Kaja dan Tempek Kelod) sebagai
pemilik sah/Pangempon pokok Pura Dalem tersebut serta ikut diempon
Tempek Banjar Budaga, Tempek Banjar Galiran, Tempek Banjar Ayung,
Tempek Banjar Bajing, Tempek Banjar Gunung Hyang, dan beberapa
dari Tempek Banjar Mergan
5. Padewasaan mendem utawi atiwa-tiwa mengikuti desa kala Patra,
wariga dresta, sebagai berikut : Pasah, Purnama, Tilem, Kala
Gotongan, semut sedulur, kajeng kliwon serta rainan Ida Bathara
Dalem dan Prajapati tidak boleh melaksanakan upacara tersebut.
6. Jika ada Krama meninggal bisa mengubur (mekinsan) saat itu juga
kecuali pasha dilaksanakan sore hari, tidak menyuarakan kulkul
(sesiliban), tanpa upakara, tidak memakai gegumuk, selanjutnya upacara
lengkapnya dilaksanakan sesuai dengan padewasaan (panugrahan
sulinggih).
7. Kalau ada krama meninggal pada saat upacara wali di pura tersebut,
upacara menem, atiwa-tiwa dilaksanakan setelah selesai upacara wali.
8. Kelihan Gede Pura dalem dipilih oleh Krama Desa Adat Kemoning
9. Segala upakara dan upacara kecil maupun besar di Pura tersebut harus
seijin jro Mangku Pura Dalem dan Kelihan Gede Pura Dalem.
10. Klien Tempek dipilih oleh masing-masing Tempek.
62
Sejak saat itu Karya dilanjutkan oleh Desa Adat Kemoning dengan
membentuk Panitia, sesuai Padewasan dan Pelutuk sebelumnya, lalu memanggil
Tempek lainya untuk melaksanakan karya, sebagaimana terlihat dalam Surat
Kepada Mangku Nyoman Nama Budaga Perihal Undangan Karya Agung
Mamungkah Tawur Balik Sumpah Agung Ring Pura Dalem Kahyangan Tiga Lan
Prajapati Semarapura Tertanggal 29 Maret 2011.
Pada sisi lain Keputusan Paruman Agung Desa Adat Kemoning Nomor:
01/IV/2011/Desa Adat Kemoning tersebut, diberitahukan kepada seluruh pihak,
melalui Surat Desa Adat Kemoning Nomor 02/IV/2011 Desa Adat Kemoning
Perihal Keputusan Paruman Agung Desa Adat Kemoning Tertanggal 1 April
2011, namun ternyata mendapat penolakan dari Desa Pakraman Budaga
sebagaimana tercermin dalam Surat Desa Pakraman Budaga Nomor
02/DP/BDG/2011 Kepada Bandesa Adat Kemoning Perihal Hasil Paruman
Prajuru Desa Pakraman Budaga Dan Paruman Agung Krama Desa Pakraman
Budaga Tertanggal 10 April 2011, hal senada juga diungkapkan oleh Tempek
Kangin dari Desa Pakraman Semarapura sebagaimana Surat Desa Pakraman
Semarapura Tempek Kangin Nomor 01/DPS/TPK/IV/2011 Kepada Bandesa
Madia/Majelis Madia Perihal Hasil Paruman Agung Tempek Kangin Tertanggal
11 April 2011, yang intinya menolak keputusan Paruman Agung Desa Adat
Kemoning.
Adanya permasalahan tersebut sebenarnya Bupati Klungkung sebenarnya
telah berusaha mengakomodir dengan mengadakan tatap muka, sebagaimana
terlihat dalam Surat Bupati Klungkung Nomor 005/69/PEM Perihal Undangan
63
Acara Tatap Muka Dalam Rangka Menyikapi Gejala, Issue Yang Berkembang Di
Masyarakat Terkait Adat Tertanggal 13 April 2011, bahkan pertemuan besarpun
dibuat namun ternyata tidak mendapat hasil, sebagaimana dalam Laporan Hasil
Rapat Pura Dalem Desa Adat Kemoning Pada Hari Kamis Tanggal 21 April 2011.
Oleh karena tidak menghasilkan kesepakatan, maka Kelihan Gede Pura
Dalem meminta bantuan Bupati Klungkung untuk membantu menyelesaikan
permasalahan yang ada melalui Surat Kepada Bapak Bupati Klungkung Perihal
Penyelesaian Nama Dan Status Kepemilikan Pura Dalem, Pura Prajapati, dan
Setra Tertanggal 26 April 2011. Demi ketertiban dan keamanan pihak Puri-Puri
Sajebag Klungkung juga memanggil para Kelihan Tempek untuk datang ke Puri
Agung guna mencari jalan keluar dengan mengirimkan Surat Pengelingsir Puri –
Puri Sajebag Klungkung Sekretariat Puri Agung Klungkung Nomor
09/PNGLINSIR/P.KLK/V/2011 Perihal Undangan Tentang Pamargin Karya
Tertanggal 25 Mei 2011. Akhirnya keluarlah Pernyataan Sikap Bupati Terhadap
Permasalahan Pura Dalem Yang Diempon Oleh Empat Tempek Yakni Tempek
Kangin, Tempek Kaja, Tempek Kelod Dan Tempek Kauh Tertanggal 3 Juni 2011,
yang intinya menyatakan mencabut Keputusan Paruman Agung Desa Adat
Kemoning Nomor: 01/IV/2011/Desa Adat Kemoning, melaksanakan karya
sebagaimaa biasa, membicarakan nama pura secara bersama-sama, dan apabila
ada yang keberatan agar menempuh jalur hukum. Namun dengan berbagai alasan
Desa Adat Kemoning mengklarifikasi pernyataan sikap bupati tersebut dengan
Surat Desa Adat Kemoning Nomor 01/VI/2011/Desa Adat Kemoning Kepada
Bapak Bupati Klungkung Perihal Klarifikasi Tertanggal 4 Juni 2011, serta
64
kembali melakukan pemberitahuan pelaksanaan karya (yasa kerti) tersendiri
dengan Surat Desa Adat Kemoning Nomor 02/VI/2011/Desa Adat Kemoning
Perihal Yasa Kerthi Tertanggal 9 Juni 2011, bahkan dengan tegas pula mengajak
Tempek lainnya untuk ikut dalam karya dengan alasan menindaklanjuti pernyataan
sikap bupati yang dituangkan dalam Surat Nomor 01/06/KT/2011 Perihal
Menindaklanjuti Surat Pernyataan Bupati Tertanggal 14 Juni 2011.
Desa Adat Kemoning kemudian secara mantap pula menggelar karya
sebagaimana terlihat dalam :
1. Surat Desa Adat Kemoning Nomor 18/PAN//KMN/2011 Kepada Bapak
Kapolres Klungkung Perihal Surat Pengantar Mediasi Tertanggal 26
Juni 2011
2. Pernyataan Sikap Karma Desa Adat Kemoning Tertanggal 26 Juni 2011
3. Surat Nomor 02/06/KT/VI/2011 Perihal Pelaksanaan Upacara (Karya
Agung) Di Pura Dalem Tertanggal 20 Juni 2011
Adanya Upacara yang dirasakan sangat dipaksakan maka Kelihan Tempek
Kauh dan Kelihan Tempek Kangin memohon jalan keluar lanjutan atas kemelut
tersebut melalui Surat Nomor 03/07/KT/VII/2011 Kepada Ketua Majelis Madya
Desa Pakraman Kabupaten Klungkung Perihal Permohonan Jalan Keluar
Lanjutan Atas Perkembangan Kemelut “Pura Dalem” Tertanggal 4 Juli 2011.
Namun, Masalah Nama dan Upakara yang dilakukan di Pura Dalem Kemoning
masih menjadi perdebatan dan akhirnya menjadi Wicara atau perkara adat yang
diselesaikan melalui peradilan di Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP)
Provinsi Bali, dengan adanya permohonan pertama kali dari Kelihan Tempek
Kauh dan Kelihan Tempek Kangin, melalui Surat Nomor 04/07/KT/VI/2011
65
Kepada Ketua Majelis Madya Desa Pakraman Kabupaten Klungkung Perihal
mohon penyelesaian permasalahan Pura Dalem, Tertanggal 8 Juli 2011
2.5 Proses Penyelesaian Sengketa sebelum Peradilan oleh MUDP
Petunjuk Teknis Tata Cara Penyelesaian Wicara oleh Majelis Desa
Pakraman (MDP) Bali sebagaimana terdapat dalam Keputusan Majelis Utama
Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Wicara oleh Majelis Desa
Pakraman (MDP) Bali, penyelesaian Wicara dapat diselesaikan dengan beberapa
cara untuk menyelesaikan Wicara sebelum diadili di MUDP. Penyelesaian Wicara
sebelum peradilan oleh MUDP dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Penyelesaian secara kekeluargaan melalui perundingan langsung para
pihak yang terlibat dalam Wicara.
b. Penyelesaian secara perdamaian dengan perantaraan (mediasi) pihak
ketiga, baik perorangan maupun lembaga lain atau Majelis Desa
Pakraman (MDP) sesuai jenjang.
c. Penyelesaian dengan cara diserahkan kepada Majelis Madya Desa
Pakraman (MMDP).
d. Keberatan atas keputusan MMDP dapat diajukan kepada Majelis Utama
Desa Pakraman (MUDP).
e. Dalam keadaan darurat, MDP dapat mengambil langkah tertentu untuk
mengantisipasi, mengatasi, dan menyelesaikan Wicara, berkoordinasi
dengan instansi yang berwenang lainnya.12
Dengan melihat cara-cara tersebut sebenarnya Desa Pakraman memiliki
kemampuan untuk menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapi dengan cara
kekeluargaan. Jika antar pihak kemudian tidak dapat menyelesaikan perkaranya,
maka Desa Pakraman dapat meminta bantuan untuk membantu menyelesaikan
12
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP
Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Wicara
oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali
66
masalah yang dihadapi. Penyelesaian wicara yang melalui Majelis Desa
Pakraman dilakukan dengan cara berjenjang yaitu MMDP terlebih dahulu, kalau
ada keberatan dengan keputusan MMDP barulah kemudian perkara adat atau
Wicara diajukan kepada MUDP. Penyelesaian dengan cara diserahkan kepada
MMDP dan MUDP dapat dipilih dalam hal penyelesaian secara kekeluargaan
melalui perundingan langsung para pihak yang mawicara (berperkara) dan
penyelesaian dengan cara perantara (mediasi) gagal menghasilkan kesepakatan.
Proses penyelesaian Wicara oleh MDP sesuai jenjang mengikuti beberapa
tahapan. Pada Majelis Alit Desa Pakraman (MADP) Kecamatan baru akan
menyelesaikan Wicara yang terjadi di wilayahnya secara perdamaian (mediasi),
apabila prajuru Desa Pakraman tidak berhasil menyelesaikan Wicara berdasarkan
awig-awig Desa Pakraman setempat. Penyelesaian Wicara oleh MADP wajib
didampingi unsur MMDP. Apabila Wicara tidak dapat diselesaikan secara
perdamaian (mediasi) di tingkat MADP, maka pihak-pihak yang mawicara dapat
menyerahkan penyelesaian Wicara tersebut kepada MMDP dengan surat
pengantar Bandesa MADP Kecamatan setempat.
Dalam hal MMDP memutuskan Wicara yang diserahkan oleh pihak yang
mawicara, MMDP wajib berkonsultasi dengan MUDP. Apabila terjadi keberatan
oleh salah satu pihak maka Keberatan atas keputusan MMDP diajukan kepada
MUDP selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal keputusan
MMDP diterima oleh pihak yang mawicara. Apabila dalam tenggang waktu
tersebut belum ada pernyataan keberatan yang diajukan secara tertulis, maka
67
keputusan MMDP memiliki kekuatan hukum yang tetap. Sepanjang belum ada
keputusan lain dari MUDP, maka keputusan MMDP tetap berlaku.
MUDP Bali wajib memberikan keputusan terhadap Wicara (perkara) yang
diajukan kepadanya selambat-lambatnya 100 (seratus) hari sejak permohonan
tersebut diterima. Keputusan MUDP Bali bersifat final dan mengikat para pihak
yang mawicara. Dengan adanya keputusan final MUDP maka masalah adat
dinyatakan telah selesai.
Dalam permasalahan Pura dalem yang dimohonkan oleh Kelihan
Tempek Kauh dan Kelihan Tempek Kangin, melalui Surat Nomor
04/07/KT/VI/2011 Kepada Ketua Majelis Madya Desa Pakraman
Kabupaten Klungkung Perihal mohon penyelesaian permasalahan Pura
Dalem tertanggal 8 Juli 2011, telah mendapat Keputusan Majelis Madya
Desa Pakraman (MMDP) sebagaimana Keputusan Majelis Madya Desa
Pakraman (MDP) Klungkung Nomor 24/MDP.KLK/VII/2011 Tentang
Pembatalan Keputusan Paruman Agung Desa Adat Kemoning Nomor
01/IV/2011/Desa Adat Kemoning Tentang Status Pura Dalem, Pura
Prajapati, Setra dan Aturan – Aturan Yang Mengikat, Serta Pelaksanaan
Upakara dan Upacara Yadnya di Pura Tersebut Tertanggal 12 Juli 2011,
yang intinya menyatakan :
1. Membatalkan Keputusan Paruman Agung Desa Adat Kemoning Nomor:
01/IV/2011/Desa Adat Kemoning Tentang Status Pura Dalem, Pura
Prajapati, Setra Dan Aturan – Aturan Yang Mengikat, Serta Pelaksanaan
Upakara Dan Upacara Yadnya Di Pura Tersebut Tertanggal 1 April 2011
2. Memerintahkan kepada desa adat kemoning untuk menunda pelaksanaan
Karya Di Pura Dalem dan Prajapati.
68
Namun ternyata Keputusan Majelis Madya Desa Pakraman (MDP)
Klungkung Nomor 24/MDP.KLK/VII/2011 tersebut dipertanyakan oleh Desa
Adat Kemoning melalui Surat Desa Adat Kemoning Nomor 03/VII/2011/Desa
Adat Kemoning Kepada Majelis Madya Desa Pakraman (MDP) Klungkung
Perihal Permohonan Klarifikasi Dan Penjelasan Atas Keputusan Majelis Madya
Desa Pakraman (MDP) Klungkung Nomor 25/MPD/KLK/VI/2011 Tanggal 12
Juli 2011 Tertanggal 15 Juli 2011, sehingga MMDP harus memberikan balasan
dengan melakukan penegasan atas keputusan yang telas dibuat dengan Surat
Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Klungkung Nomor
25/MDP.KLK/VII/2011 Kepada Bandesa Adat Kemoning Perihal Penegasan
Keputusan Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Klungkung Tertanggal 21
Juli 2011.
Akhirnya Kelihan Tempek Kauh dan Kelihan Tempek Kangin semakin
geram karena Desa Adat Kemoning tidak mengindahkan Keputusan dari MMDP
Klungkung bahkan melanjutkan upacara karya di Pura dalem, sehingga akhirnya
Kelihan Tempek Kauh dan Kelihan Tempek Kangin mengajukan keberatan kepada
MMDP Klungkung melalui surat :
1. Surat Nomor 05/07/KT/VI/2011 Kepada Ketua Majelis Madya Desa
Pakraman Perihal Keberatan Atas Tidak Terlaksanakannya SK MMDP
Tertanggal 18 Juli 2011
2. Surat Nomor 06/07/KT/VI/2011 Kepada Ketua Majelis Madya Desa
Pakraman Perihal Keberatan Atas Masih Dilaksanakannya Karya
Tertanggal 22 Juli 2011
Sebagai tanggapan atas Surat Majelis Madya Desa Pakraman (MDP)
Klungkung Nomor 25/MDP.KLK/VII/2011 Kepada Bandesa Adat Kemoning
69
Perihal Penegasan Keputusan Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP)
Klungkung Tertanggal 21 Juli 2011, maka akhirnya dengan tegas Desa Adat
Kemoning kemudian menyatakan keberatan dan penolakan atas Keputusan
Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Klungkung Nomor
24/MDP.KLK/VII/2011 tersebut, dengan Surat Desa Adat Kemoning Nomor
04/VII/2011/Desa Adat Kemoning Kepada Majelis Madya Desa Pakraman
(MDP) Klungkung Perihal Pernyataan Keberatan Dan Penolakan Atas Keputusan
Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Klungkung Nomor
25/Mpd/KLK/VI/2011 Tanggal 12 Juli 2011 Tertanggal 15 Juli 2011.
Dalam hal MMDP memutuskan Wicara yang diserahkan oleh pihak yang
mawicara, MMDP wajib berkonsultasi dengan MUDP, atas dasar Surat Desa
Adat Kemoning Nomor 04/VII/2011/Desa Adat Kemoning yang menyatakan
keberatan dan penokannya terhaap Keputusan Majelis Madya Desa Pakraman
(MDP) Klungkung Nomor 25/Mpd/KLK/VI/2011 Tanggal 12 Juli 2011
Tertanggal 15 Juli 2011, maka MMDP akhirnya bersurat kepada MUDP untuk
menindaklanjuti penyelesaian pura dalem, dengan Surat Majelis Madya Desa
Pakraman (MDP) Klungkung Nomor 27/MDP.KLK/VIII/2011 Kepada Bandesa
Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Perihal Permohonan
Penindak Lanjutan Penyelesaian Masalah Pura Dalem Tertanggal 10 Agustus
2011.
Pada sisi lain, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Klungkung
ternyata mengeluarkan Hasil Inventaris dan Potensi Desa Pakraman Bali Tahun
2007-2008 Kabupaten Klungkung yang ternyata kembali mematik emosi warga
70
Desa Adat Kemoning karena dianggap mengklaim Setra milik desa Adat
Kemoning sehingga membuat Desa Adat Budaga dapat memasang Plang wilayah
(wawengkon). Keberatan Desa Adat Kemoning dituangkan dalam :
1. Surat Desa Adat Kemoning Nomor 07/VIII/2011/Desa Adat Kemoning
Kepada Kepala Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kab. Klungkung
Perihal Keberatan Dan Mohon Klarifikasi Atas Data Yang Tertulis
Dalam Buku “Hasil Inventarisasi Dan Potensi Desa Pakraman Bali
Tahun 2007 – 2008 Kabupaten Klungkung” Tertanggal 16 Agustus
2011
2. Surat Desa Adat Kemoning Nomor 08/VIII/2011/Desa Adat Kemoning
Kepada Prajuru Desa Adat Budaga Perihal Keberatan Atas Pemasangan
Plang Wewengkon Desa Adat Budaga Tertanggal 20 Agustus 2011
3. Surat Desa Adat Kemoning Nomor 10/IX/2011/Desa Adat Kemoning
Kepada Bandesa Madya, Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP)
Klungkung Perihal Klarifikasi Status Desa Adat Budaga Tertanggal 8
September 2011
Akhirnya Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, segera memberikan klarifikasi
dan jawaban dengan Surat Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Nomor
437/2077/Disbud Kepada Bandesa Desa Pakraman Kemoning Perihal Jawaban
Keberatan Dan Klarifikasi Atas Data Yang Tertulis Dalam Buku “Hasil
Inventarisasi Dan Potensi Desa Pakraman Bali Tahun 2007 – 2008 Kabupaten
Klungkung” Tertanggal 14 Oktober 2011. Selain memberikan penjelasan, surat
tersebut bertujuan meredam situasi yang mulai memanas.
Atas adanya surat dari MMDP Klungkung kepada MUDP Bali untuk
menindaklanjuti penyelesaian pura dalem, dengan Surat Majelis Madya Desa
Pakraman (MDP) Klungkung Nomor 27/MDP.KLK/VIII/2011 Kepada Bandesa
Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Perihal Permohonan
Penindak Lanjutan Penyelesaian Masalah Pura Dalem Tertanggal 10 Agustus
71
2011, maka kemudian MUDP Bali menindaklanjuti dengan mengundang para
pihak dengan :
1. Surat Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor 029/SP/MDP
Bali/X/2011 Kepada Prajuru Desa Pakraman Kemoning Perihal Tindak
Lanjut Penyelesaian Masalah Pura Dalem Tertanggal 24 Oktober 2011
2. Surat Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor 031/SP/MDP
Bali/X/2011 Kepada Prajuru Tempek Kangin Pangempon Pura Dalem
Perihal Tindak Lanjut Penyelesaian Masalah Pura Dalem Tertanggal 24
Oktober 2011
Undangan tersebut guna menjelaskan tata cara penyelesaian Wicara melalui
peradilan MUDP. Penjelasan tersebut segera direspon oleh Tempek Kauh dan
Tempek Kangin melalui surat permohonan ke MUDP guna pemutusan Wicara,
yaitu :
1. Surat Nomor 10/TK/BDG/X/2011 Kepada Majelis Utama Desa
Pakraman (MUDP) Dari Kelihan Tempek Kauh, Perihal Permohonan
Pemutusan Wicara Tertanggal 31 Oktober 2011
2. Surat Nomor : 02/TPK/X/2011, Kepada Majelis Utama Desa Pakraman
(MUDP) Dari Kelihan Tempek Kangin, Perihal Permohonan Pemutusan
Wicara Tertanggal 31 Oktober 2011
Dengan adanya keberatan oleh salah satu pihak maka Keberatan atas maka
keputusan MMDP Klungkung belum memiliki kekuatan hukum yang tetap dan
menunggu keputusan dari MUDP Bali.