definisi tunarungu dan wicara

22
1. Pengertian Tunarungu Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran. Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan dari segi pendengaran sehingga memerlukan pelayanan khusus. Menurut Dwidjosumarto (Soemantri, 1995:140) bahwa “seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu”. Sedangkan Soemantri (1995:145) mengatakan bahwa “tunarungu adalah sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya”. Ketunarunguan tidak saja terbatas pada kehilangan pendengaran sangat berat, melainkan seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan, sedang berat, sangat berat. Selanjutnya Moores (Depdikbud, 2003:22) mendefinisikan ketunarunguan yaitu: Seseorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB ISO atau lebih sehingga ia tidak dapat mengartikan pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar. Sedangkan seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB ISO sehingga ia mengalami kersulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar Dari pendapat di atas dapat dideskripsikan bahwa ketunarunguan seseorang diukur berdasarkan tingkat kemampuan mendengar. Seseorang dikatakan tunarungu apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70-35 dB ISO. Dengan kata lain bahwa kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat kurang dari 35 dB ISO tidak dikategori tunarungu atau pendengarannya normal. Semantara itu, Heward & Orlansky (Depdikbud, 2003:22) memberikan batasan mengenai ketunarunguan sebagai berikut. Tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan sensori yang menghambat seseorang untuk menerima rangsangan semua jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi dimana suara-suara tidak dipahami walau dibantu dengan alat bantu dengar. Sedangkan kurang dengar (hard of hearing)

Upload: yusuf-wahyu-wibowo

Post on 17-Dec-2015

63 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

def

TRANSCRIPT

1. Pengertian TunarunguTunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran. Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan dari segi pendengaran sehingga memerlukan pelayanan khusus. Menurut Dwidjosumarto (Soemantri, 1995:140) bahwa seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. SedangkanSoemantri (1995:145) mengatakan bahwa tunarungu adalah sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya.Ketunarunguan tidak saja terbatas pada kehilangan pendengaran sangat berat, melainkan seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan, sedang berat, sangat berat. Selanjutnya Moores (Depdikbud, 2003:22) mendefinisikan ketunarunguan yaitu:

Seseorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB ISO atau lebih sehingga ia tidak dapat mengartikan pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar. Sedangkan seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB ISO sehingga ia mengalami kersulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengarDari pendapat di atas dapat dideskripsikan bahwa ketunarunguan seseorang diukur berdasarkan tingkat kemampuan mendengar. Seseorang dikatakan tunarungu apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70-35 dB ISO. Dengan kata lain bahwa kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat kurang dari 35 dB ISO tidak dikategori tunarungu atau pendengarannya normal. Semantara itu, Heward & Orlansky (Depdikbud, 2003:22) memberikan batasan mengenai ketunarunguan sebagai berikut.Tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan sensori yang menghambat seseorang untuk menerima rangsangan semua jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi dimana suara-suara tidak dipahami walau dibantu dengan alat bantu dengar. Sedangkan kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang kehilangan pendengaran secara nyata yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus. Berdasarkan batasan di atas, dapat dipaparkan bahwa seseorang disebut tuli apabila saraf penerima rangsangan bunyi/suara mengalami kerusakan sedemikian rupa sehingga tidak mampu mendengar bunyi/suara walaupun dibantu alat dengar bantu, sedangkan seseorang disebut kurang dengar apabila kurang mampu memahami bunyi sehingga memerlukan penyesuaian khusus.Selanjuntya Hallahan & Kauffman(Hernawati, 2007:101)mengemukakan bahwaOrang yang tuli (a deaf person) adalah orang yang mengalami ketidakmampuan mendengar, sehingga mengalami hambatan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aid). Sedangkan orang yang kurang dengar (a hard of hearing person) adalah seseorang yang biasanya menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan untuk keberhasilan memproses informasi bahasa, artinya apabila orang yang kurang dengar tersebut menggunakanhearing aid, ia masih dapat menangkap pembicaraan melalui pendengarannya.Batasan di atas dapat diuraikan bahwa seseorang yang tuliadalah mereka yang tidak bisa lagi mendengar suara walaupun telah dibantu dengan alat bantu dengar, sedangkanorang yang kurang dengar adalah mereka yang masih memiliki kemampuan mendengar bunyi pada frekuensi tertentu dan apabila dibantu dengan alat bantu dengar kemampuan mendengarnya semakin baik.Connix(Depdiknas, 2003:22)secara rinci mengemukakan bahwa anak tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian pendengarannya sehingga tidak mampu berkomunikasi secara verbal walaupun dibantu dengan alat bantu mendengar mereka tetap membutuhkan pelayanan khusus.Sedangkan menurut Notoatmojo (1989: 23) mengemukakan bahwa "anak tunarungu adalah yang sudah tuli total, mereka yang tidak mendengar sama sekali atau mereka yang pendengarannya demikian rusak.Senada pula batasan yang dikemukakan Salim (Soemantri;1995:140) bahwa:Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya.Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.Dari berbagai batasan yang dikemukakan beberapa pakar ketunarunguan maka dapat disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan pendengaran yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang, berat dan sangat berat yang dikelompokkan dalam dua golongan besar yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang dengar (kurang dari 90 dB) yang walaupun telah diberikan alat bantu mendengar masih tetap memerlukan pelayanan khusus.

2. Klasifikasi KetunarunguanPada umumnya klasifikasi anak tunarungu dibagi atas dua golongan atau kelompok besar yaitu tuli dan kurang dengar. Klasifikasi anak tunarungu menurut Samuel A. Kirk (Somad dan Hernawati:1996:29)0 db : Menunjukan pendengaran yang optimal0 26 db : Menunjukan seseorang masih mempunyai pendengaran yang optimal27 40 db : Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyian yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan)4155db : Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tergolong tunarungu sedang)5670 db : Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih punya sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu dengar serta dengan cara yang khusus (tergolong tunarungu berat)71 90 db : Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat kadang-kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan khusus yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara secara khusus (tergolong tunarungu berat)91 db : Mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan dari pada pendengaran untuk proses menerima informasi dan yang bersangkutan diangap tuli (tergolong tunarungu berat sekali).

Dari pendapat di atas dapat deskripsikan bahwa ketunarunguan diklasifikasikan menjadi tunarungu ringan dengan taraf pendengaran 2740 dB, tunarungu sedang dengan taraf pendengaran 41-55 dB, tunarungu berat dengan taraf pendengaran 5690 dB serta tunarungu sangat berat dengan taraf pendengaran 5690 dB serta tunarungu sangat berat dengan taraf pendengaran lebih dari 91 dB.Gangguan pada organ pendengaran bisa terjadi pada telinga luar, tengah, maupun telinga bagian dalam. Smith & Neisworth (Hernawati, 2007:110) mengklasifikasi tunarungu berdasarkan tempat terjadinya kerusakan pendengaran yaitu:1. Tunarungu tipe konduktif yaitu hilangnya pendengaran diakibatkan adanya gangguan pada telinga luar dan tengah,sehingga menghambat jalannya suara ke telinga bagian dalam2. Tunarungu sensorineural diakibatkan gangguan pada telinga bagian dalam serta syaraf pendengaran.3. Tunarungu campuran merupakan perpaduan antara tipe konduktif dan sensorineural.Myklebust (Abdurrachman dan Sudjadi, 1996:61) mengklasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran dengan menggunakan pendengaran deciBel (dB) sebagai hasil pengukuran dengan alat audiometer standar ISO (International Standart Organization), yaitu: sangat ringan (27-40 dB), ringan (41-55 dB), sedang (56-70 dB), berat (71-90 dB), sangat berat (91 dB ke atas). Selanjutnya Myklebust (Abdurrachman dan Sudjadi, 1996:61) mengklasifikasi tunarungu berdasarkan waktu terjadinya kehilangan pendengaran, dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu;(a)tunarungu bawaan; tunarungu sejak lahir sehingga indera pendengaran, dan (b) tunarungu perolehan; anak lahir dengan pendengaran normal akan tetapi dikemudian hari indera pendengarannya menjadi tidak berfungsi yang disebabkan karena kecelakaan atau suatu penyakit.Somad dan Hernawati (1996:26) mengemukakan klasifikasi anak tunarungu dalam dua kelompok yaitu:1.Anak yang tuli adalah anak yang mengalami kehilangan proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik menggunakan atau tidak menggunakan alat bantu dengar.2.Anak yang kurang dengar atau anak yang mengalami kehilangan sebagian kemampuan mendengar, akan tetapi ia masih mempunyai sisa pendengaran dan penggunaan alat bantu dengar memungkinkan keberhasilan serta membantu proses informasi bahasa melalui pendengaran.Klasifikasi anak tunarungu sesuai dengan taraf ketunarunguannya (Somad dan Hernawati, 1996:29) adalah :1.0 26 dB menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal.2.27 40 dB mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (tunarungu ringan)3.41 55 dB mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara, (tunarungu sedang).4.56 57 dB hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara khusus (tunarungu agak berat).5.71 90 dB hanya bisa mendengar bunyi sangat dekat, kadang dianggap tuli, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan secara khusus (tunarungu berat).6.91 dB ke atas mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dengan getaran, banyak tergantung pada penglihatan dari pada pendengaran untuk proses menerima informasi, dan yang bersangkutan dianggap tuli (tunarungu berat sekali).Dari klasifikasi di atas dapat dipaparkan bahwa ketunarunguan seseorang dapat diukur dengan menggunakan decibell (dB). Seseorang dikategorikan tunarungu apabila taraf ketunarunguannya berkisar antar 27-91dB ke atas. Semakin besar ukuran dB-nya, maka kemampuan mendengarnya semakin berkurang baik. Sebaliknya semakin kecil ukuran dB-nya, maka kemampuan mendengarnya semakin baik.Kirk & Gallagher (Hernawati, 2007:110) mengelompokkan ketunarunguan berdasarkan waktu terjadi pada masa prabahasa dan pasca bahasa yaitu:1. Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness), merupakan kehilangan pendengaran yang terjadi sebelum kemampuan bicara dan bahasa berkembang.2. Ketunarunguan pasca bahasa (post lingual deafness), merupakan kehilangan pendengaran yang terjadi setelah berkembangnya kemampuan bicara dan bahasa secara spontan.Berdasarkan klasifikasi di atas, maka dapat dideskripsikan bahwa ketunarunguan terjadi sebelum anak memiliki kemampuan berbahasa. Ini berarti ketunarunguan terjadi sejak sebelum lahir hingga masa kanak-kanak, sedangkan ketunarunguan terjadi sesudah anak memiliki kemampuan berbahasa artinya bahwa ketunarunguan terjadi setelah masa kanak-kanak hingga dewasa. Adapun klasifikasi yang bermanfaat bagi pelayanan pemberian pendidikan ialah klasifikasi menurut pengukuran audimetris, hal itu sesuai dengan pendapat Sastrawinata (1997: 13) sebagai berikut :1. Tunarungu taraf ringan (15 - 25 dB)Anak tunarungu pada taraf ini masih dapat belajar bersama-sama anak- anak pada umumnya dengan menggunakan alat bantu pendengaran, penempatan yang keempat yaitu anak harus disuruh duduk dipaling depan.2. Tunarungu taraf sedang (26 - 50 dB)Anak tunarungu pada taraf ini sudah memerlukan pendidikan khusus dengan latihan bicara, membaca ujaran/membaca bibir dan latihan mendengar dengan memakai alat bantu pendengaran.3.Tunarungu taraf berat (51 - 75 dB)Anak tunarungu pada taraf ini sudah harus mengikuti program pendidikan di sekolah luar biasa dan dengan mengutamakan pelajaran bahasa, bicara dan membaca ujaran, penggunaan alattetapi masih bisa dipakai di jalan jalan raya untuk bunyi klakson maupun untuk bunyi yang bernada tinggi.4.Tunarungu taraf berat sekali (75 dB ke atas)Anak tunarungu pada taraf ini lebih mengutamakan program pendidikan kejuruan meskipun pelajaran bahasa dan bicara masih dapat diberikan kepadanya. Penggunaan alat bantu pendengaran biasanya tidak memberikan manfaat baginya.Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua kelompok tunarungu yaitu tuli dan kurang dengar. Tuli adalah kehilangan kemampuan mendengar sehingga indera pendengaran dan alat bicara tidak berfungsi sama sekali, sedangkan kurang dengar adalah indera pendengaran kurang baik begitu pula alat bicaranya, tetapi masih berfungsi baik menggunakan alat bantu maupun terapi bicara.

3. Karakteristik TunarunguKarakteristik anak tunarungu merupakan ciri khas bagi semua anak tunarungu. Kekhasan ciri fisik, psikis, dan sosial pada anak tunarungu merupakan merupakan akibat langsung dari kelainan yang disandangnya. Menurut Sastrawinata(1997:22) bahwa karakteristik tunarungusebagai berikut.(1) egosentrisme yang melebihi anak normal (2) mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas, (3) ketergantungan terhadap orang lain (4) perhatian mereka lebih sukar dialihkan (5) mereka umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah, (6) mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung.

Depdiknas (2003;23) menguraikan karakteristik kognisi anak tunarunguadalah sebagai berikut.1.Kemampuan verbal anak tunarungu lebih rendah dibandingkan kemampuan verbal anak mendengar2.PerformanceIQ anak tunarungu sama dengan anak mendengar3.Daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah daripada anak mendengar terutama pada informasi yang bersifat suksesi/berurutan4.Namun pada informasi serempak antara anak tunarungu dan anak mendengar tidak ada perbedaan5.Daya jangka panjang hampir tidak ada perbedaan, walau prestasi akhir biasanya lebih rendah.Sedangkan Nuraeni (1997:119) mengemukakan beberapa karakteristik anak tunarungu, yakni:(1)sering tampak bingung atau melamun, (2) sering bersifat acuh tak acuh (3) kadang bersikap agresif (4) perkembangan sosialnya terhambat (5) keseimbangan kurang, (6) kepalanya sering miring (7) sering meminta agar orang mau mengulang kalimatnya (8) jika berbicara sering membuat suara-suara tertentu (9) jika bicara sering menggunakan tangan (10) Jika bicara sering keras, lemah, sangat monoton, tidak tepat, dan kadang-kadang menggunakan suara hidung.Somad & Hernawati (1996:35) membagi karakteristik anak tunarungu dalam segi: intelegensi, bahasa, bicara dan sosialnya. Secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut.1. Karakteristik dalam segi intelegensiPada dasarnya kemampuan anak tunarungu sama dengan anak normal pendengarannya. Anak tunarungu ada yang intelegensinya tinggi, rata-rata, dan rendah. Perkembangan intelegensi anak tunarungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, maka intelegensi anak tunarungu tampak rendah dibandingkan dengan anak normal. Jika materi diverbalisasikan, maka anak tunarungu sulit menerimanya.2. Karakteristik bahasa dan bicaraKemampuan bahasa dan bicara anak tunarungu berbeda dengan anak normal, hal ini disebabkan perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu sampai masa meraban mengalami hambatan. Setelah masa meraban perkebangan bahasa dan bicara anak tunarungu terhenti. Pada masa meniru anak tunarungu terbatas pada peniru yang sifatnya visual yaitu gerak dan isyarat.3. Karakteristik Emosi dan sosial.Ketunarunguan dapat mengakibatkan anak tunarungu terasing dari pergaulan sehari-hari. Keadaan ini menghambat perkembangan kepribadian anak tunarungu menuju kedewasaan. Akibat dari keterasingan tersebut menimbulkan efek negatif seperti; egosentris, takut akan lingkungan yang lebih luas, ketergantungan pada orang lain, perhatian sukar dialaihkan, cepat tersinggung.Dari beberapa karakteristik anak tunarungu yang diuaraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterlambatan/hambatan dalam hal intelegensi, perkembangan bahasa, komunikasi verbal, sosial, emosi. bicara, sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi, kurang/tidak tanggap bila diajak bicara, ucapan kata tidak jelas, kualitas suara aneh/monoton, sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar. Namun memiliki persamaan dalamperformanceIQ dan daya ingat jangka panjang. d. Penyebab KetunarunguanBrown seperti dikutip oleh Heward & Orlansky (Abdurrachman dan Sudjadi,1996: 71) mengatakan bahwapenyebab ketunarunguan adalah:1. Materna Rubella (campak) pada waktu ibu mengandung mudah terkena penyakit campak sehingga dapat menyebabkan rusaknya pendengaran anak;2. Faktor keturunan yang tampak dari adanya beberapa anggota keluarga yang mengalami kerusakan pendengaran.3. Ada komplikasi pada saat dalam kandungan dan kelahiran prematur, berat badan kurang, bayi lahir biru dan sebagainya.4. Meningitis (radang otak) sehingga ada semacam bakteri yang dapat merusak sensitivitas alat dengar dibagian dalam telinga.5. Kecelakaan/trauma atau penyakit.Berdasarkan paparan di atas dapat dideskripsikan bahwa ketunarunguan disebabkan oleh faktor keturunan, faktor penyakit dan faktor kecelakaan. Ini berarti keluarga yang mempunyai riwayat ketunarunguan, kemungkinan mempunyai anak yang mengalami kelainan ketunarunguan. Sedangkan ketunarunguan yang disebabkan penyakit maupun kecelakaan kemungkin tidak diturunkan kepada anak. Menurut Boothroyd (Abdurrachman dan Sudjadi, 1996: 72) membedakan atas beberapa penyebab ketunarunguan, yaitu:1. Karena keturunan, ada factor-faktor yang dibawah oleh orang tua.2. Karena penyakit, yaitu ibu pada waktu mengandung mudah menderita suatu penyakit seperti rubella3. Karena obat-obatan, kadang-kadang ibu yang sakit banyak meminum obat sehingga dapat berpenagaruh pada perkembangan alat dengar anak yang masih dalam kandungan, dan juga pada anak yang terlalu banyak minum obat atau salah ukurannya dapat mengganggu alat denagranya.4. Karena kondisi traumatis seperti kurang gizi, radiasi, kekurangan oksigen, pada saat kelahiran premature, atau karena mendengar ledakan yang terlalu kuat dan kebisingan.Abdurrachman dan Sudjadi (1996: 71) bahwa menurut waktu terjadinya ketunarunguan adalah :1.Ketunarunguan terjadi sebelum lahir (prenatal)Kondisi ibu yang terkena infeksi atau keracunan pada saat mengandung, sakit influenza, atau campak dapat menyebabkan kerusakan pendengaran anak terutama pada tiga bulan pertama usia kandungan serta karena ketidakcocokan darah anak dan darah ibu2.Ketunarunguan yang terjadi ketika lahir (natal)Pada saat lahir terjadi kecacatan pada bagian luar telinga, gendang suara pada bagian tengah dan perekambangan mekanisme saraf yang terhambat, penngunaan alat yang menyebabkan pendarahan di otak, sehingga merusak sistim saraf , anoxia.3.Ketunarunguan yang terjadi sesudah lahir (post natal)Karena penyakit atau kecelakaan, apabila terjadinya pada tahuan-tahuan awal kelahiran. Meningitis, infeksi, penyakit gondok, dipteri, dan sebagainya.Trybus (Somad dan Hernawati, 1996: 32 - 34) mengemukakan enam penyebab ketunarunguan pada anak di Amerika yaitu :1) Keturunan.2) Campak Jerman3) Komplikasi selama kehamilan dan kelaluran4) Radang selaput otak(meningitis)5) Otitis media (radang pada bagian telinga tengah)6) Penyakit anak-anak, radang dan luka

Somad dan Hemawati (1996: 33) menjelaskan bahwa faktor-faktor penyebab ketunarunguan dapat dikelompokkan sebagai berikut ;1) Faktor dalam diri anak, faktor penyebab ketunarunguan yang berasal dari dalam diri anak adalaha. Keturunanb. Ibu hamil menderita campak jerman(rubella)c. Ibu hamil menderita keracunan darah(toxophpesmosis)2) Faktor luar diri anak, faktor penyebab ketunarunguan yang berasal dari luar diri anak adalah:a. Infeksi saat kelahiranb. Meningitis atau radang selaput otakc. Otitis media (radang telinga bagian tengah) menimbulkan nanah dan nanah tersebut menggumpal dan mengganggu hantaran bunyid. Penyakit lain atau kecelakaan yang dapatDari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ketunarunguaan disebabkan oleh faktor dari dalam diri anak maupun disebabkan oleh faktor dari luar atau lingkungan anak yang waktu terjadinya pada saat sebelum lahir, saat lahir dan setelah lahir. Berbagai faktor penyebab ketunarungun disebabkan karena penyakit atau karena kecelakaan.

Diposkan olehanggitosaputradi05.13Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebookhttp://anggitosaputra.blogspot.com/2012/06/konsep-tunarungu.htmlMenurut Edja Sajaah dan Darjo Sukarja (1995, hal. 48), Pada umunya pendengaran anak tuna rungu berpengarauh terhadap kemapuan berbahsanya, anatara lain: Miskin dalam kosakata, sulit mengartikan ungkapan-ungkapan yang mengandung kiasan, sulit mengartikan kata- kata abstrak kurang menguasai irama dengan gaya bahasa.Dari ketunarunguan terjadi hambatan pada anak dalam pendidikannya, yaitu:Pertama, konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tuna rugu tersebut bahwa penderitaannya akan mengalami kesulitan dalam menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitrnya.Kedua, akibat kesulitan menerima rangsang bunyi, konsekuensinya penderita tuna rungu akan mengalami kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang terdapat di sekitarnya. (Mohammad Efendi, 2006, hal. 72).Dari uraian di atas, maka kehilangan pendengaran bagi seseorang sama halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab pendengaran merupakan kunci utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas perkembanganya secara optimal. Atas dasar itulah anak tuna rugu yang belum terdidik dengan baik, tampak pada dirinya seperti terbelakang, walaupun hal itu sebenarnya masih semu, serta tampak tidak komunikatif.Memperhatikan keterbatasan kemampuan anak tuna rungu dari aspek kemampuan bahasa dan bicaranya, maka sejak awal masuk sekolah pengembangan kemampuan bahasa dan bicara menjadi skala prioritas program pendidikannya. Pendekatan yang lazim digunakan untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tuna rungu, yaitu oral dan isyarat. Selama ini pendekatan yang digunakan dalam pendidikan secara kontroversial, sebab masing-masing institusi punya dasar filosofi yang berbeda. Menurut Sunaryo Kartadinata (1996, hal. 80), dampak tuna rungu wicara sehubungan dengan karakteristik anak tuna rungu yaitu: miskin dalam kosakata, sulit memahami kata-kata abstrak, sulit mengartikan kata-kata yang mengandung kiasan, adanya gangguan bicara maka hal ini merupakan sumber masalah pokok bagi anak tuna rungu wicara.Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kehilangan pendengaran bagi seseorang sama halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab pendengaran merupakan kunci utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas perkembanganya secara optimal. Usaha yang mungkin akan mendorong anak tuna rungu dapat bersekolah dengan cepat adalah mengikuti pendidikan pada sekolah normal/biasa dan disediakan program-program khusus bila mereka tidak mampu mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal.

...................................................................................................................................Anak Tunawicara

Bicara dan bahasa merupakan alat komunikasi. Komunikasi sendiri merupakan prosesenconding (mengirim pesan dalam bentuk yang dapat dipahami) dan prosesdeconding(menerima dan memahami pesan). Komunikasi aelalu melibatkan pengiriman dan penerimaan berita, namun tidak selalu melibatkan bahasa.

Secara umum kelainan bicara dan bahasa adalah hambatan dalam komunikasi verbal yang efektif, sedemikian rupa sehingga pemahaman akan bahasa yang diucapkan berkurang. Manifestasi kelainan bicara dapat dalam bentuk-bentuk yang berbeda seperti terlambat berbicara, pemakaian bahasa dibawah usia, keganjilan dalam artikulasi , penggunaan bahasa yang aneh, gagap. Intonasi suara atau kualitas suara yang lain dari biasanya, ketidakmampuan menggunakan kata-kata yang tepat, ekspresi diri yang buruk, sedikit Berbicara.

A. BATASAN KELAINAN BICARA DAN BAHASA

Berdasarkan kategori yang dikemukakan olehAmerican Speech-Language Hearing Association( dalam halaman dan Kauffman, 2006), kelainan bicara dapat digolongkan sebagai berikut:

1. kelainan Komunikasi, meliputi:a.Kelainan bicara, yaitu kelainan suara Kelainan artikulasi Gangguan kelancangan berbicarab.Kelainan bahasaBentuk bahasaIsi bahasaFungsi bahasa

2. Variasi dalam komunikasi, meliputi:a.Perbedaan komunikasi/ dialekb.Komunikasi tambahan(augmentative communication systems)I. Kelainan SuaraSalah satu aspek dari ekspresi verbal adalah kualitas suara pembicara. Bicara normal memliki variasi dalam nada(tone), alunan dan volume suara yang sesuai. Pada beberapa orang, pola kontrol dan variasinya terganggu sehingga kualitas suara terlalu keras atau lembut, terlalul rendah atau terlalu tinggi nadanya atau tampak Sstereotipi.

II. Kelainan ArtikulasiCartwright, dan Ward, 1981 (dalam Woolfolk, 1998) mengatakan bahwa kelainan artikulasi meliputi kesalahan-kesalahan dimana anak mendistrosikan bunyi kata(shup untuk sup),mensubsitusikan bunyi suatu kata dengan lainya(cenang untuk senang,menambahkan bunyi yang tidak relevan terhadap suatu kata(ider untuk ide),atau menghilangkan suatu bunyi pada sebuah kata (sa-it untuk sakit). Masalah artikulasi lain yang sering terjadi adalah Lalling, dimana bunyi r dan l didistrosikan.

Masalah-masalah dalam artikulasi adalah karakteristik umum yang muncul dalam perkembangan bicara. Semua anak memproduksikan sewaktu belajar bericara. Misalnya, sebagian besar anak yang berbhasa inggris baru berhasil membunyikan semua bunyi ahasa inggris pada usia 6 sampai 8 tahun (dalam Woolfolk, 1998). Bila masalah ini menetap esmentara usianya semakin besar maka ini akan mengganggu, karena menghambat komunikasi yang jelas dapat menyebabkan frustasi, baik pada pembicara maupun pendengar.

III. Gangguan Kelainan BicaraMasalah yang paling dikenal adalah ketidak teraturan dalamtimingbicara. Hal ini biasanya disebabkan ketidak mampuan dalam mengontrol pernapasan saat berbicara. Contoh: stuttering (gagap).

IV. Kelainan BahasaSering dikenal dengan exspressive aphasia atau severe language delay. Suatu kelainan bahasa biasanya disebabkan oleh disfungsi susunan syaraf pusat yang menghalangi pemahaman atau penggunaan kata-kata. Aphasia adalah suatu istilah yang menunjukan ketidakmampuan dalam mengguanakan kata-kata.Aphasia reseptif, bila kemampuan tersebutn menghalangi pemahaman bahasa lisan.Aphasia ekspresifbila tidak mampu menemukan kata yang tepat untuk mengekspresiakan suatu ide atau berkomunikasi secara verbal. Kedua tipe aphasia ini dapat terjadi pada orang yang sama dan dapt terjadi tanpa disadari oleh orang yang bersangkutan.

Gangguan ini bisa bersifat luas dan melibatkan gangguan:a)bentuk bahasa (fonologi, morfologi, sintaks)b)isi bahasa (semantic)c)fungsi bahasa dalam komunikasi (pragmatic)

B. KARAKTERISTIK

Prevalensi kelainan bicara dan bahasa sulit dihitung karena jenis gangguan dan jenos kelainanya sangat bervariasi dan luas, sulit diidentifikasi, serta seringkali tejadi sebagai bagian dari kelainan lainya (Hallahan dan Kauffman, 2006, p. 289). Namun mereka mengestimasi bahwa sekitar 10-15% anak-anak pra sekolah dan 6 % siswa sekolah dasar dan menengah pertama mengalami gangguan bicara, sedangkan gangguan bahasa dialami oleh 3% anak usia pra sekolah 1% anak usia sekolah. Doorlag dan Lewis (1991) juga mengatakan bahwa sebagian besar masalah bicara terdeteksi pada usia dini, misalnya gangguan artikulasi umum ditemukan terjadi pada anak-anak di usia sekolah awal. Lalu, gangguan bahasa juga diidentifikasikan terjadi pada anak-anak yang lebih muda tetapi dapat bertahan selama usia sekolah dasar dan menengah pertama.

Karakteristik-karakteristik menurut Sheridan (1973, dalam. Telford dan Sawrey, 1981): terjadi pada anak-anak yang lahir premature kemungkinan empat kali lipat pada anak yang belum berjalan pada usia 18 bulan belum bisa bicara dalam entuk kalimat pada usia 2 tahun memiliki gangguan penglihatan sering dikategorikan sebagai anak yang kikuk oleh gurunya dari segi perilaku kurang bisa menyesuaikan diri sulit membaca banyak tejadi pada anak laki-laki daripada perempuanC. ETIOLOGISecara spesifik, dikemkakan faktor-faktor yang berkaitan dengan kelainan bicra dan bahasa yaitu:

Faktor sentral:Yaitu berhubungan dengan susunan syaraf pusatKetidakmampuan berbahasa yang spesifikKetrbelakangan mentalAutismeDefisit dalam hal perhatian dan hiperaktifitasLuka otak(brain injury)Gangguan fungsi kognitifLain-lain

Faktor periferalYaitu berhubungan dengan gangguan sensoris atau fissikGanggaun pendengaranGangguan penglihatanGanggaun fisikGangguan motorik yang berhubungan dengan berbicara

Faktor lingkungan dan emosional, dikarenakan oleh faktor lingkungan fisik dan psikologikPenelantaran dan penganiyayaanMasalah perkembangan perilaku dan emosiTidak adekuat dalam mempelajari bahasa di rumah

Faktor-faktor campuran, yaitu faktor-faktor kombinasi di atas(Nelson, 1993 dalam Hallahan Kuffman, 1994; Woolfolk, 1998)

1. Etiologi dan Kelainan SuaraMasalah kualitas suara dapat disebabkan oleh suatu penyakit, misalnyalaryngitis,dimana suara menjadi serak; adanya tumor pada pita suara. Kelainan dalam pitch (tinngi/rendahnya nada), yakni suara bernada terlalu tinggi atau terlalu rendah, atau monoton, dapat disebabkan oleh konflik emosional, kebiasaan yang salah dalam menggunakn suara atau mengunakan secara berlebihan, kondisi fisik yang lemah dan hilang pendengaran.

2. Etiologi dari Kelainan ArtikulasiSeringkali kelainan artikulasi sulit dibedakan dengan kelainan suara. Namun secara spesifik, kelainan suara merupakan kelainan karena seseorang tidak mengguankan suara wicara secara semestinya/sesuai dengan aturan standar. Sedangkan kelainan artikulasi merupakan keadaan dimana suara bahasa doganti, dihilangkan,ditambah atau didistorsikan.

Penyebab-penyebanya: Kesalahan dalm memproduksi bunyi, yang akhirnya menjadi kebiasaan Faktor biologis, misalnya karena adanya luka otak atau kerusakan pada syaraf yang mengendalikan otot bicara. Hasil defisiensi dalam belajar3.Etiologi dan Gangguan Kelancaran BicaraPenyebab dari gagap: Gangguan emosi Kerusakan otak dan syaraf yang menyebabkan gangguan berbcaraMasalah kelancaran ini sering teridentifikasikan pada usia lima tahun. Dan masalah ini akan semakin parah apabila guru dan orangtua tidak menaruh perhatian khusus. Conture (2001 dalam Hallahan dan Kauffman, 2006) juga mengatakan bahwa mereka yang dianggap lebih dari satu setengah atau dua tahun berisiko menderita gagap kronis. Jika mereka tidak ditangani lebih lanjut maka anaka akan mengalami ketidak mampuan berkomunikasi, mengembangkan perasaan diri yang negatif, serta mengalami masalah dalam mengambil keempatan kerja atau pendidikan.

4. Etiologi Kelainan BahasaKelainan-kelainan yang disebabkan oleh disfungsi susunan syaraf pusat atau kerusakan syaraf pusat, secara medis sukar diperbaiki. Akibatnya mereka mengalami masalah dalam program pendidikan, perawatan psikologis dan latihan bahasa. Anak dengan hambatan bahasa biasanya adalah anak celebral palsy, anak yang aphasia dan anak yang tidak mampu atau mengalami kesulitan dalam mengemmbangkan kemampuan konseptual untuk mengunakan bahasa (bukan cacat mental).

Klasifikasi kelainan bahasa sebagaimana dikemukakan oleh ASHA meliputi kelainan fonologi (suara), morfologi (bentuk kata), sintaks (aturan struktur kalimat) semantik (arti kalimat) dan pregmatik (penggunaan bahasa secara sosial). Berdasarkan etiologinya, kelainan bahasa dibedakan menjadi dua suptipe, yaitu: primer dan skunder. Kelainan bahasa primer tidak diketahui penyebabnya, sedangkan kelainan ahasa skunder disebabkan kondisi lain, seperti retardasi mental, kerusakan pendengaran, gangguan spekturm sutistik, atau kecelakan otak yang traumatis.

D. DAMPAK PERKEMBANGANKonsekuensi kelainan bicara menyangkut tuntutan sosial dan pendidikan yang dihadapi anak. Kelainan artikulasi mungkin tidak menimbulkan konsekuensi yang negatif, sebaliknya kelainan bahasa akan mempengaruhi setiap aspek perkemangan dan mempengaruhi pendidikan, emosi dan hubungan interpersonalnya. Dalam mengamati konsekuensinya kelainan bicara, tampak bahwa tiptipe tertentu dari kelainan bicara, terlepas dari derajat beratnya, mempunyai efek yang lebih besar terhadap perkembangan. Sebagai contoh kelainan bahasa yang sedang mempunyai efek yang lebih serius terhadap perkembangan pendidikan dari pada kelainan artikulasinya atau kelancaran bicara yang tergolong berat.Konsekuensi perkembangan kelainan bicara menyangkut:

1. Kemampuan konseptual dan prestasi pendidikanKeterlambatan perkembangan bahasa dan aphasia ekspresif akan mempengaruhi perkembangan pendidikan dan kognitif, karena perkembangan pendidikan dan kognitif sangat tergantung pada pemahaman dan pengguana bahasa. Hal ini akan mempengaruhi lagi kemampuan verbal dan ninverbalnya. Sebaliknya kelainan artilkulasi, kelancaran suara dantimingtidak menunjukan efek uruk pada perkembangan pendidikan dan kognitif.

2. Faktor personal dan sosialKelainan artikulasi,timingdan suara menyebabkan konsekuensi negatif dalam relasi interpersonal dan perkembangan konsep diri pada anak. Pandangan ekspresi, ketidakpahaman orang lain ketika erkomunikasi, dapat menyeabkan rasa rendh diri, merasa terisolasi, tidak berani berbicara di depan umum dan bisa menimbulkan kecemasan tersendiri bagi abak tunawicara ini.

E. INTERVENSIMebantu anak seperti ini tidak dapat menjadi tanggung jawab satu idang saja, melainkan intervensinya haruslah kerja sama dengan guru kelas, ahli patologi bicara, serta orangtua. Ashman dan Elkins (1998) mengunakn beberapa prinsip umum penting dalam intervensi komunikasi yaitu,:Komunikasi merupakan aktifitas interaktifKemampuan komunikasi seharusnya dipelajari dan dilatihkan dalm konteks sekolah dan rumah.Ahli klinis harus mampu berperan secara fleksibel, dan meneruskan kemampuan serta informasi-informasi yang relevan kepada orangtua,guru, dan klien sendiri.Anak yang sebaliknya mendapatkan intervensi adalah mereka yang menunjukan jarak usia antara kronologis atau mental dengan kemampuan komunikasinya.Semua orang yang terlibat dengan klien harus bicara bersama untuk mengembangkan sebuah program yang terkoordinasi.Tuuan intervensi dibuat berdasarkan perkemangan normal atau kebutuhan komunikasi yang terlihat. Apabila memilih dasar yang kedua, harus memiliki pemahaman tentang sifat alami komunikasi dan perkembangan normalnya, serta alasan yang bagus mengapa tidak mengkuti urutan perkembangan normal.Anak belajar melalui observasi dan melakkan langsung. Maka, intervensi perlu menggunakan kombinasisocial learningdanoperant learning.Anak harus dilihat sebagai pelajar aktif yang perlu mengobservasi lingkunan kemampuan target yang kaya, dimana motivasi belajar sangat penting.Tujuan intervensi sebaiknya lebih banyak ke produktifitas daripadamaestry(penguasaan).Kelainan-kelainan dalam gangguan komunikasi berbeda-beda sifat maupun penyebabnya. Namun, perlu untuk diingat ahwa beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain:

1. Secara ModisPerawatan kelainan bicara selain dilakukan oleh seorangspeech pathologistjuga dilakukan oleh seorang ahli THT. Penanganan medis penting dalam perawatan kelainan bicara yang disebabkan kerusakan saluran pernafasan, otot wajah dan mulut. Misalnya pada kasus anak yang mengalamicleft palate, maka upaya operasi perlu dilakukan sedini mungkin, sehingga mungkinkan anak untuk belajar bahasa secara tepat.

2. Secara PsikologisAdanya kelainan bicara dapat menyebabkan problem penyesuaian diri. Intervensi secara psikologis lebih banyak digunakan untuk menolong anak-anak gagap dan anak-anak dengan kelainan bahasa. Intervensi secara psikologis ini tampak kurang efektif pada kelainan bahasa dibandingkan pada kasus gagap.

3. Dalam PendidikanPada beberapa kasus, usaha intensif dilakukan dengan mengajarkan anak bunyi-bunyi spesifik dan kemudian melalui pengulangan membentuk kata yang dihubungkan dengan objek stimulus tertentu. Walaupun demikian anak dengan kelainan bahasa yang berat mungkin hanya sedikit menunjukkan kemampuannya.

Keluarga perlu banyak menyediakan kegiatan bermain yang memungkinkan anak menggunakan verbalisasi. Orangtua, dalam hal ini paling berperan untuk mengajarkan anak untuk menguasai bahasa. Sedangkan pada masa prasekolah, guru bisa mengajarkan anak keterampilan bercakap- misalnya belajar mencetitakan pengalaman dan mensceritakan mengapa sesuatu terjadi. Coba awali dengan membicarakan hal-hal yang diminati anak, jangan terlalu banyak bertanya, jadikan anak sebagai pemimpin, dan tanggapi setiap pendapat anak. Kemudian dorong anak untuk bertanya, jangan terlalu cepat menilai apalagi menganggap lucu bahasa anak, gunakan nada dan suara yang menyenangkan. Lalu berikan waktu yang cukup utuk merespon, jangan menginterpretasi ia bicara.

Jadi, keteampilan yang dikembangkan bukan hanya menambah perbendaharaan kata. Guru seagai tokoh panutan juga harus menggunakan ahasa yang pantas untuk ditiru, misalnya dengan cara informatif, reflektif menawarkan pemecahan dalam berespons terhadap siswa (dalam Hallahan dan Kaufman,2006).

Apabila anak tampak bermasalah, maka guru harus bekerjasama denganspeech language pathologistdalam lingkungan alamiah anak, sehingga anak belajar dari lingkunganya secara tepat dan terarah.

Pendidikan InklusifPendidikan bagi anak kebutuhan khusus selama ini difasilitas dalam tiga macam lembaga, yaitu sekolah khusus (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan pendidikan terpadu. SLB menampung anak, dengan jenis kelamin yang sama, Sedangkan SDLB menampung anak dengan jenis kelamin yang berbeda-beda. Pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan dengan kurikulum, guru, sarana, dan kegiatan belajar mengajar yang sama .http://psikologisukanitha.blogspot.com/2011/12/anak-tuna-wicara.html